i
ANALISIS STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA TARI TIBET PADA BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN
在棉藏族舞蹈的构、功能、意分析( zai mián lán zàngzú wǔdǎo de
jiégòu, gōngnéng, yìyì fēnxī)
SKRIPSI SARJANA OLEH :
JULI VERONIKA SITOMPUL 110710027
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI SASTRA CINA MEDAN
i ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tujuan penelitian dalam ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari eksistensi Tari Tibet di Kota Medan, yaitu: (a) struktur pertunjukan tari Tibet, (b) fungsi tari Tibet, dan (c) makna (bahasa dan budaya) tari Tibet. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan berupa: wawancara, observasi, perekaman pertunjukan tari, dan pengamatan terlibat, dan studi kepustakaan. Informan yang didapat di lapangan berjumlah enam orang, terdiri dari satu orang ketua Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya, satu orang guru tari, dan empat orang penari tari Tibet tersebut yang aktif. Penelitian ini menggunakan tiga teori utama untuk mengkaji tiga rumusan masalah. Untuk mengkaji struktur pertunjukan tari digunakan teori kinesiologi dalam etnokoreologi. Untuk mengkaji fungsi digunaklan teori fungsionalisme oleh Malinowski, dan untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik oleh Barthes. Temuan saintifik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) struktur Tari Tibet terdiri dari tiga ragam gerak, yaitu柏悠跨腿, 步, 跨腿踏步蹲 yang mengekspresikan hewan yak dan rasa
syukur kepada Tuhan atas hasil panen, yang didukung oleh busana, properti tari, tata rias yang kas budaya Tibet; (b) fungsi Tari Tibet sebagai sarana sosial, stimulan, komunikasi, pengungkapan emosional, hiburan, dan pengintegrasian masyarakat; (c) makna budaya Tari Tibet adalah ucapan rasa syukur masyarakat Tibet atas hasil panen, makna-makna bahasa yang ditemukan di Medan adalah menggunakan bahasa Mandarin (bukan bahasa Tibet), yang terdiri dari istilah untuk pakaian, kegiatan masyarakat, penghormatan dalam gerak, dan lain-lain.
ii ABSTRACT
This bachelor’s thesis entitled Analysis of Structure, Function, and Meaning of Tibet Dance in Medan City Tionghoa Culture. The aim of this research in the context writing this bachelor’s thesis is to know three aspects of Tibet Dance existention in Medan City, there were: (a) dance performance structure, (b) functions, and (c) the meaning of linguistic and cultural.
In this research I uce qualitative method and the writing in descriptive patterns. The methods to gathering the data do in field works, and then applied in: interview, observation, recording the dance performance, observe as participant observer, and library research. I use six key informants in the context of filed work, and they are: one the head of Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya (The Group of Wijaya Extended Family), one of them the dance teacher, four dancers of Tibet Dance.
This research use three main theory to analyze three research question problems. To analyze dance performance I use kinesiology theory from ethnochoreology disciplines. Then, to analyse dance funtions I use functionalism they from Malinowski. Beside that, to analyse the linguistic and cultural meanings I us Barthes’s semiotic theory. The scientific products of this research were: (a) the Tibet Dance structure shape by three kinds of body movement, which expressed the yak animal behavior and as a chanting thanks to the God, which give them agricultural harversting products, this dance developed by costume, dance properties, make-up, which exprerssed Tibetan culture identity; (b) the functions of Tibet Dance as social mediums, stimulance, communication, emotional expressed, entertainment, and integration of the Tibetan society; (c) the cultural meaning of Tibet Dance are the chanting thanks to the God in the harvesting context, and the language maning of this dance in Medan Tionghoa society are based on Mandarin language which expressed the costume, society activities, honour in the gesture, and so on.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya yang terus menyertai saya sejak sampai detik
ini, serta limpahan kekuatan yang begitu besar sehingga pada akhirnya saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet
pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar Sarjana
Sastra (S.S) pada Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih
tersebut penulis sampaikan kepada:
1. Yang terhormat, Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Yang terhormat, Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A, selaku Ketua Program Studi
Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Yang terhormat, Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, Msi selaku Sekretaris
Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara.
4. Yang terhormat, Drs.Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D selaku
iv
dengan penuh kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis untuk
pengerjaan skripsi ini.
5. Yang terhormat, Vivi Andryani Nasution,S.S.,MTCSOL selaku
pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan waktunya
dengan penuh kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis untuk
pengerjaan skripsi ini khususnya skripsi berbahasa Mandarin.
6. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program
Studi Sastra Cina, yaitu : Chen Shu Shu laoshi, Yu Xueling laoshi, Shenmi
laoshi, Wang Tian Tian laoshi, Liu Feng laoshi selaku dosen-dosen Jinan
University, Guangzhou, Hanban Republik Rakyat Cina (RRC) yang
selama ini telah bersabar mengajarkan ilmunya kepada penullis.
7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,
khususnya dosen Program Studi Sastra Cina yang telah mendidik dan
menuangkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan, dan tidak
lupa kepada kakak Endang yang sabar mengurus proses administrasi untuk
menyeleaikan skripsi ini.
8. Teristimewa buat yang saya cintai dan sayangi orangtuaku, alm.Roberth
Sitompul dan Ibunda Timurlan pangaribuan atas pengertian dan motivasi
mama yang tak pernah putus-putus selama pengerjaan skripsi ini. Secara
khusus terima kasih buat doa-doa mama yang selalu setia mendoakan
sehingga penulis mendapat kekuatan dan penghiburan diri dari Tuhan.
Terima kasih atas didikan luar biasa mama dan bapak kepada saya.
9. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara penulis yang
v
Agustina br.Sitompul,Am.Keb beserta abang Ir.Edison Simangunsong,
kakak Martini Elisabeth br.Sitompul,Am.Keb beserta abang Briptu Frans
Hutabarat, abang Freddy Fransisco S.Com, serta keponakan saya Larisha
Dewani, Chris Fernandez, Grace Cheryl, Gwynetha. Terima kasih buat doa
kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis.
10. Terima kasih kepada Beasiswa Karya Salemba Empat dan Beasiswa
Indofood Sukses Makmur buat finansial selama penulis menduduki
perkuliahan.
11.Yang selalu memberikan warna bagi hari-hariku dalam perkuliahan yaitu
teman-temanku yang kusayangi : dokter muda Sane Simanjuntak,
Letda.Furkan, Johanes, April, Amnesty, Riwan, Sri, July Dianita, Octavia,
Diah, Doharni, Simon, Suryani,Anastasya.
12.Rekan-rekan mahasiswa/i Sastra Cina (2011) dan adik-adik ’12-14’ yang
tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah menjalin tali silahturahmi
yang baik selama masa perkuliahan.
Atas semuanya ini penulis tidak dapat membalas segala jasa dan kebaikan
yang telah diberikan kepada penulis. Penulis hanya bisa mendoakan dan
memohon kepada Tuhan semoga diberikan balasan yang jauh melebihi
dari bantuan yang telah diberikan. Amin.
Medan, 8 Oktober 2015
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 18
1.3Tujuan Penelitian ... 19
1.4Manfaat Penelitian ... 19
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 19
1.4.2 Manfaat Praktis ... 20
1.5Batasan Masalah ... 21
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 22
2.1 Konsep ... 23
2.1.1 Kebudayaan ... 23
2.1.2 Masyarakat Tionghoa ... 24
2.1.3 Tari ... 24
2.1.4 Tari Tibet ... 26
2.1.5 Buddha Lamaistik ... 27
2.2Landasan Teori ... 29
2.2.1 Teori Kinesiologis Struktur tari dan Musik ... 29
2.2.2 Teori Fungsionalisme ... 32
2.2.3 Teori Semiotik ... 34
2.3 Tinjauan Pustaka ... 36
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
3.1Metode Penelitian ... 39
3.2Teknik Pengumpulan Data ... 42
3.2.1 Wawancara ... 43
3.2.2 Observasi ... 44
3.2.3 Studi Kepustakaan ... 44
3.3Data dan Sumber Data ... 45
3.4Teknik Analisis Data ... 46
vii
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA
DI KOTA MEDAN ... 48
4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia ... 48
4.2 Masyarakat Tionghoa di Indonesia ... 50
4.3 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan ... 53
4.4 Agama Buddha ... 57
4.5 Sistem Kemasyarakatannya ... 58
4.6 Sistem Kesenian ... 59
4.7 Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ... 60
BAB V STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA TARI TIBET ... 62
5.1Struktur Tari Tibet ... 62
5.1.1 Ragam dan Pola Gerak ... 63
5.1.2 Kostum dan Tata Rias ... 80
5.1.2.1 Kostum dan Properti ... 81
5.1.2.1.1 Kostum dan Asesoris Penari Perempuan . 81 5.1.2.2.2 Kostum dan Asesoris Penari Laki-Laki ... 83
5.1.2.2 Tata Rias ... 84
5.2Fungsi Tari Tibet ... 86
5.2.1 Fungsi Sosial ... 87
5.2.2 Fungsi Stimulan ... 88
5.2.3 Fungsi Komunikasi ... 88
5.2.4 Fungsi Emosional ... 89
5.2.5 Fungsi Hiburan ... 89
5.2.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 89
5.3 Makna Tari Tibet ... 90
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 96
6.1Simpulan ... 96
6.2Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN ... 102
Daftar Informan ... 102
Daftar Pertanyaan ... 104
viii
Gambar 4.2 Peta Distribusi Daerah Asal Leluhur Tionghoa-Indonsesia ... 53
Gambar 5.1.2.1 Kostum dan Properti Penari Perempuan untuk Tari Tibet .. 83
Gambar 5.1.2.2 Kostum dan Properti Penari Laki-laki untuk Tari Tibet ... 84
Gambar 5.3.1 Gerakan Pembuka开头作 ... 91
Gambar 5.3.2 Gerakan Lengan Panjang袖作 ... 92
Gambar 5.3.3 Gerakan Tubuh Miring ke Depan 前身体作 ... 92
Gambar 5.3.4 Gerakan membentangkan lengan dan kaki 手臂和脚作 ... 93
Gambar 5.3.5 Gerakan Lingkaran圈儿作 ... 94
Gambar 5.3.6 Gerakan Melompat跳作 ... 94
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
i ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tujuan penelitian dalam ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari eksistensi Tari Tibet di Kota Medan, yaitu: (a) struktur pertunjukan tari Tibet, (b) fungsi tari Tibet, dan (c) makna (bahasa dan budaya) tari Tibet. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan berupa: wawancara, observasi, perekaman pertunjukan tari, dan pengamatan terlibat, dan studi kepustakaan. Informan yang didapat di lapangan berjumlah enam orang, terdiri dari satu orang ketua Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya, satu orang guru tari, dan empat orang penari tari Tibet tersebut yang aktif. Penelitian ini menggunakan tiga teori utama untuk mengkaji tiga rumusan masalah. Untuk mengkaji struktur pertunjukan tari digunakan teori kinesiologi dalam etnokoreologi. Untuk mengkaji fungsi digunaklan teori fungsionalisme oleh Malinowski, dan untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik oleh Barthes. Temuan saintifik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) struktur Tari Tibet terdiri dari tiga ragam gerak, yaitu柏悠跨腿, 步, 跨腿踏步蹲 yang mengekspresikan hewan yak dan rasa
syukur kepada Tuhan atas hasil panen, yang didukung oleh busana, properti tari, tata rias yang kas budaya Tibet; (b) fungsi Tari Tibet sebagai sarana sosial, stimulan, komunikasi, pengungkapan emosional, hiburan, dan pengintegrasian masyarakat; (c) makna budaya Tari Tibet adalah ucapan rasa syukur masyarakat Tibet atas hasil panen, makna-makna bahasa yang ditemukan di Medan adalah menggunakan bahasa Mandarin (bukan bahasa Tibet), yang terdiri dari istilah untuk pakaian, kegiatan masyarakat, penghormatan dalam gerak, dan lain-lain.
ii ABSTRACT
This bachelor’s thesis entitled Analysis of Structure, Function, and Meaning of Tibet Dance in Medan City Tionghoa Culture. The aim of this research in the context writing this bachelor’s thesis is to know three aspects of Tibet Dance existention in Medan City, there were: (a) dance performance structure, (b) functions, and (c) the meaning of linguistic and cultural.
In this research I uce qualitative method and the writing in descriptive patterns. The methods to gathering the data do in field works, and then applied in: interview, observation, recording the dance performance, observe as participant observer, and library research. I use six key informants in the context of filed work, and they are: one the head of Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya (The Group of Wijaya Extended Family), one of them the dance teacher, four dancers of Tibet Dance.
This research use three main theory to analyze three research question problems. To analyze dance performance I use kinesiology theory from ethnochoreology disciplines. Then, to analyse dance funtions I use functionalism they from Malinowski. Beside that, to analyse the linguistic and cultural meanings I us Barthes’s semiotic theory. The scientific products of this research were: (a) the Tibet Dance structure shape by three kinds of body movement, which expressed the yak animal behavior and as a chanting thanks to the God, which give them agricultural harversting products, this dance developed by costume, dance properties, make-up, which exprerssed Tibetan culture identity; (b) the functions of Tibet Dance as social mediums, stimulance, communication, emotional expressed, entertainment, and integration of the Tibetan society; (c) the cultural meaning of Tibet Dance are the chanting thanks to the God in the harvesting context, and the language maning of this dance in Medan Tionghoa society are based on Mandarin language which expressed the costume, society activities, honour in the gesture, and so on.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku
bangsa. Tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang
berasal dari luar nusantara. Di Indonesia, selain ditemukan kebudayaan suku-suku
pribumi,1 dapat ditemukan juga kebudayaan dari suku pendatang dunia seperti
Arab, Tionghoa, dan suku lainnya (Hoed, 2011:198). Dengan keanekaragaman
suku yang ada di Indonesia, maka semakin banyak pula ragam kebudayaannya.2
1
Dalam disiplin ilmu antropologi, istilah pribumi ini lebih sering disebut sebagai natif (unsur serapan yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris native). Pada konteks sosiopolitis di Indonesia, kata pribumi dan nonpribumi dalam beberapa dekade belakang ini sudah agak ditinggalkan, dan gantinya adalah kata warga negara Indonesia (WNI) saja. Namun istilah etnik natif atau suku tempatan (setempat) masih digunakan secara mel;uas secara kultural di Indonesia. Hal ini berpa ekspresi sejarah bangsa ini. Bagaimanapun di wilayah tertentu di Indonesia ini perlu diberikan kekuasaan budaya bagi etnik setempat sebagai tuan rumah, dalam kopnteks integrasi Negara Kesatuan Republiok Indonesia. Pendatang tidak semena-mena terhadap kebudayaan setempat, dan suku setempat tidak pula tertutup kepada para pendatang.
Setiap suku ini memiliki kesenian, dan kesenian mereka pun memiliki
genre-genrenya tersendiri pula, baik itu seni rupa, tekstil, anyaman, kerajinan, tembikar,
2
2
sastra, pertunjukan, musik, tari, dan lainnya. Termasuk dalam skripsi ini adalah
Tari Tibet yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota
Medan.
Budaya atau kebudayaan berasal dari
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).
Dalam
colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur"
dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan kata budaya (culture) ini, padanannya dalam bahasa Mandarin
berasal dari dua huruf yakni 文化 (wénhuà). Lebih rinci lagi pengertian wénhuà
ini dalam Kamus Bahasa Mandarin Modern (代典) dijelaskan sebagai
berikut,“人在社会史展程中所造的物富和精神富的和,
特 指 精 神 , 如 文 学 , , 教 科, 学 等” [artinya: keseluruhan kekayaan material, dan kekayaan immaterial yang diciptakan oleh umat manusia dalam
proses sejarah berkembangnya masyarakat. Kekayaan immaterial adalah karya
sastra, seni, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain].
Cina merupakan salah satu negara yang memiliki kebudayaan yang
beranekaragam. Cina dikenal sebagai bangsa dengan peradaban yang begitu
tinggi. Masyarakat dunia mengenal nilai-nilai budaya Cina sebagai sesuatu yang
terus-menerus berkembang. Salah satu contoh yaitu tari. Seni tari memiliki sejarah
3
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar atau learned action (Koentjaraningrat, 2005:25). Lebih jauh lagi
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur (isi) kebudayaan
yaitu: bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979:203-204).
Selain itu kebudayaan dapat berwujud: gagasan (ide), aktivitas, dan artefak
(benda-benda).
Dalam rangka melihat isi dan wujud budaya dalam Tari Tibet, maka dapat
dilacak melalui unsur budaya seni. Tari Tibet diekspresikan melalui
gerakan-gerakan yang mengandung unsur keindahan (estetika) dan filsafat hidup
orang-orang Tibet. Tarian ini mengandung unsur budaya seperti sistem religi (Budha
Lamaistik), bahasa Tibet (dan juga Mandarin), sistem mata pencaharian (yaitu
bertani dan kemudian pada masa panen melalukan ritual bersyukur kepada
Tuhan), organisasi sosial (masyarakat agraris), dan lain-lainnya. Selain itu, dilihat
dari aspek wujud budaya, maka di dalam Tari Tibet ini terkandung aspek gagasan
atau ide kebudayaan, kegiatan tari itu sendiri, serta artefak-artefak seperti: kostum
tarian, tata rias, properti tari, panggung atau tempat pertunjukan, musik
pengiringnya, dan lain-lain. Dengan demikian Tari Tibet merupakan ekspresi
budaya melalui seni (tari dan musik).
Tari Tibet adalah salah satu tari yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tari ini secara difusi
4
Tibet. Tarian ini mengekspresikan kebudayaan orang-orang Tibet yang bersyukur
kepada Tuhan pada saat mereka usai melakukan panen hasil pertanian, terutama
gandum. Jadi mengkaji keberadaan Tari Tibet ini tidak dapat dilepaskan dari
sudut budaya yang lebih luas dan holistik. Tari Tibet adalah sebuah tarian yang
berasal dari provinsi Xizang, Qinghai, Gansu, Sichuan dan Yunnan, yang dalam
dalam bahasa Mandarin tari Tibet ( 庄) artinya merayakan panen raya serta
kebahagiaan dan kemujuran. Pada masa awalnya, pertunjukan tari Tibet ini
diadakan sebagai pertunjukan untuk acara doa ucapan syukur orang Tibet saat
masa panen menjelang musim gugur.
Tarian ini merupakan wujud untuk mengekspresikan emosi mereka dan
sukacita dalam bentuk menari dan menyanyi, tetapi juga merupakan komunikasi
dengan para dewa untuk memperoleh panen berlimpah dan perlindungan. Tarian
Tibet ini ada yang terlihat sangat riang gembira, ada pula yang sangat anggun, dan
ada pula yang ditarikan dengan gerakan santai. Mereka saling bergandengan
tangan membentuk suatu lingkaran besar sambil menari sepuas hati dan itulah
yang disebut tarian guōzhuāng (锅庄).
Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti.
Pertama, keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya dan sebagainya). Kedua, karya yang diciptakan dengan keahlian
yang luar biasa seperti tari, lukisan, ukiran, dan sebagainya. Ketiga, kesanggupan
5
Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang
dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku
Luckman Sinar, 1996:5).
Tibet merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai
petani dan peternak, dan Tibet dipimpin oleh seorang Dalai Lama yang
merupakan reinkarnasi Avalokitesvara. Tibet meupakan tempat lahirnya
biksu-biksu, sehingga mayoritas penduduknya beragama Buddha.
Tarian Tibet ini merupakan bentuk ucapan syukur atas hasil pertanian
mereka, maka dalam tarian Tibet ini orang-orang Tibet meminum arak qingke,
yaitu arak yang terbuat dari gandum yang dicampur dengan mentega, dan mereka
menggunakan kostum yang terbuat dari sutra yang hanya digunakan ketika pesta
tarian Tibet. Kostum tarian Tibet ini memiliki banyak warna seperti warna putih,
coklat, dan biru. Bagi orang Tibet warna pada kostum tersebut merupakan simbol
yaitu warna putih yang merupakan simbol kecerdasan, warna coklat mengandung
arti keberanian dan keteguhan hati sedangkan warna biru mengartikan belas kasih.
Orang-orang Tibet membajak sawah mereka menggunakan hewan yak
(semacam sapi khas Tibet), hewan ini sangat kuat sehingga masyarakat
menggunakan untuk mengangkat barang-barang mereka melewati pendakian
gunung. Motif gerakan Tari Tibet ini diambil dari gerakan hewan seperti hewan
yak, karenanya tarian ini banyak gerakan lompatan-lompatan
Dalam tarian Tibet ini terefleksi secara mendalam cara hidup tradisional
orang-orang Tibet yang unik. Ciri yang paling istimewa dari gaya tarian ini adalah
6
lutut si penari, selain itu ciri unik yang lain yaitu sering membentangkan lengan
dan kaki secara bersamaan serta gerakan dengan kibasan lengan panjang, gerakan
ini merupakan simbol kedewasaan dan kegagahan suku Tibet itu sendiri.
Untuk mengetahui lebih dalam, penulis melakukan suatu penelitian ilmiah
yang memfokuskan tulisan ini pada struktur, fungsi, dan makna Tari Tibet.
Menurut Bapak Sutrisno Tari Tibet ini merupakan suatu tarian tentang
daerah dan budaya Tibet, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak
tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Dari struktur Tari Tibet
ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan gerak
tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Tionghoa gerakan tari selalu
berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu
menggambarkan makna yang terkandung pada Tari Tibet. Biasanya menceritakan
sifat manusia hubungannya dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan
sosialnya.
Tari Tibet ditarikan oleh laki-laki dan perempuan yang komposisi
penarinya berjumlah 4 orang atau lebih. Tarian ini sebagai bentuk hiburan yang
biasanya dipertunjukan pada festival, acara pernikahan, maupun pada hari besar
perayaan Tionghoa.
Kostum penari Tari Tibet ini dipesan langsung dari negara Cina, yaitu
kostum penari perempuan白的衫/bái de chènshān (baju lengan panjang putih)
7
kostum laki-laki 的衫/hóng de chènshān (baju lengan panjang merah),
子/cháng kùzi (celana panjang), 鞋子/xiézi (sepatu boot).
Dalam sebuah tarian, peranan musik sangat penting, karena bisa dirasakan
kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton.
Menurut Soedarsono (1986:109) dikatakan bahwa musik dalam tari bukan hanya
sekedar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang secara langsung dapat
mendukung dan memperkuat sajian tari. Begitu juga dalam penyajian tari Tibet
lagu pengiring dalam tarian Tibet ini berjudul 快的/kuàilè de nuò sū.
Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Perhimpunan Keluarga Besar
Wijaya, yang dipimpin oleh Bapak Indra Wahidin. Beliau juga adalah ketua
dewan kehormatan Indonesia Tionghoa Sumatera Utara sekaligus Ketua DPP
Indonesia Tionghoa. Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ini berada di Jalan
Mahoni, no.9 kecamatan Medan Timur. Lokasi penelitian ini ditetapkan karena
pertunjukan tari Tibet di Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ini masih dianggap
fenomenal dan tetap dilestarikan.
Adapun ilmu yang penulis gunakan dalam mengkaji keberadaan Tari Tibet
ini adalah: ilmu budaya (antropologi) dan bahasa, sebagai ilmu utama yang
penulis pelajari di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara selama ini. Kedua ilmu utama ini dibantu dengan ilmu
etnokoreologi dan etnomusikologi. Untuk itu perlu penulis jelaskan secara umum
ilmu-ilmu tersebut.
Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari
8
membantu kita memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh
masyarakat yang berbeda. Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut
sebagai antropologi sosial. Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang
berhubungan dengan struktur sosial, agama, politik, dan berbagai faktor lainnya.
Ruang lingkup bidang antropologi sangat luas. Berbagai perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat akan tercermin dalam adat, tingkah laku (prilaku), dan bahasa.
Berbagai perubahan ini secara bersama-sama mengungkapkan gambaran terhadap
budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai budaya.
Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi
budaya manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik,
ekonomi, dan faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah
tertentu. Para ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog
budaya. Fakta dan data budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode
seperti survei, wawancara, observasi, perekaman data, pengamatan terlibat
(partisipant observer), pendekatan emik dan etik, dan lainnya.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya
dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan
upaya yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan
Edward Tylor. Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan
oleh para pedagang, penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan
demikian, antropologi budaya adalah cabang ilmu antropologi yang khusus
9
Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi
budaya digunakan untuk mengkaji Tari Tibet dalam konteks kebudayaan
masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ilmu ini juga digunakan untuk membantu
mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya tari ini di dalam kebudayaan masyarakat
Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka, Khek, dan lainnya.
Demikian pula bagaimana secara budaya tarian ini tumbuh dan berkembang di
kawasan Tibet di Republik Rakyat Cina.
Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai
berikut. Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna,
sehinga seringkali membingungkan. Untuk jelasnya perhatikan pemakaian kata
bahasa dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang.
2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak.
3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu!
4. Dalam kasus itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai
satu bahasa yang sama.
5. Katakanlah dengan bahasa bunga.
6. Pertikaian itu tidak bisa diselasaikan dengan bahasa militer.
7. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata
daripada dan akhiran -ken.
8. Kabarnya, Nabi Sulaiman mengerti bahasa semut.
Kata bahasa pada kailmat (1) jelas menunjuk pada bahasa tertentu. Jadi,
10
bahasa menunjuk bahasa pada umumnya. Jadi suatu langage. Pada kalimat (3)
kata bahasa berarti sopan-santun. Pada kalimat (4) kata bahasa berarti
'kebijaksanaan dalam bertindak. Pada kalimat (5) kata bahasa berarti
'maksud-maksud dengan bunga sebagai lambang'. Pada kalimat (6) kata bahasa berarti
'dengan cara'. Pada kalimat (7) kata bahasa berarti ujaran, yang sama dengan
parole. Yang terakhir, pada kalimat (8) kata bahasa berarti hipotesis. Dari
keterangan di atas, bisa disimpulkan hanya pada kalimat (1), (2), dan (7) saja kata
bahasa itu digunakan secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan
secara kias. Dengan demikian, yang dimaksud bahasa adalah suatu lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja
sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai alat komunikasi
manusia, bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus
sistemis. Yang dimaksud dengan sistemis adalah bahwa bahasa itu bukan suatu
sistem tunggal, melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem, yaitu subsistem
fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem semantik
=definisi+ilmu+bahasa).
Ilmu bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin
lingua. Lingutsik modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De
Saussure membedakan langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari
kedua istilah tersebut. Bagi de Saussure, langue adalah salah satu bahasa
(misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris atau bahasa Indonesia) sebagai suatu
11
seperti dalam ucapan "manusia memiliki bahasa, binatang tidak memiliki bahasa."
Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret. Ilmu
linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya
menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada
umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa
linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu
bahasa pada umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud
bahasa di sini adalah bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan
oleh manusia sebagai alat komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias. Bahasa
sebagai objek kajian linguistik adalah seperti yang digunakan pada kalimat (1),
kalimat (2), dan kalimat (7). Pada kalimat (1) bahasa sebagai langue, pada kalimat
(2) bahasa sebagai langage, dan kalimat (7) bahasa sebagai parole.
Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena
parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu
masyarakat bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu
berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage
merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara
universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole
itulah yang berwujud konkret, nyata, yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian
terhadap parole dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan
dari kajian terhadap langue ini akan diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah
12
Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu
tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau
lebih tepat lagi telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering
jugs disebut linguistik umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu
tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa
Arab, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang
menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam peristilahan Prancis
disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut. Kata bahasa Indonesia
perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan
panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna
'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'. Sekarang
perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di sini
jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif.
Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem
kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan
membandingkan ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa
makna kausatif baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa
Belanda. Ataupun dalam bahasa lain. begitulah bahasa-bahasa di dunia ini
meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada
ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti linguistik. Maka karena itulah
linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu pula nama ilmu ini,
13
Ilmu bahasa atau linguistik umum ini penulis pergunakan untuk mengkaji
ekspresi kebahasaan yang terkandung di dalam pertunjukan Tari Tibet di dalam
kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Satu di antara ekspresi
kebahasaan dalam Tari Tibet adalah pada terminologi 白 的衬衫 (bái de
chènshān). Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai baju lengan panjang
putih. Dalam konteks sosiolinguistik, bái de chènshān adalah busana tradisional suku Tibet, berlengan panjang, longgar, tanpa saku, dan berwarna putih, yang
dapat dikategorikan sebagai pakaian adat Tibet, yang penuh dengan makna-makna
kebudayaan. Lengan yang panjang melambangkan kegagahan suku Tibet.
Selanjutnuya, warna putih adalah lambang dari kesucian hati yang
menggunakannya. Jadi sifat gagah dan suci diekspresikan di dalam pakaian ini.
Seterusnya untuk mengkaji struktur, fungsi, dan makna Tari Tibet pada
masyarakat Tionghoa di Kota Medan, yang merupakan media seni gerak yang
distilisasi, penulis menggunakan disiplin ilmu yang disebut etnokoreologi. Lebih
rinci, yang dimaksud dengan etnokoreologi adalah sebagai berikut.
14
spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi
(juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui
penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi
(etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru,
yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari
hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian,
etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis
untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut
para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup
gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini,
tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta
sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis
sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali
tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan
bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari
terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses
pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan
wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
15
budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk
membawa keberuntungan dalam damai atau perang. Hal-hal ini terjadi pula di
dalam Tari Tibet yang menjadi fokus kajian penulis di dalam skripsi ini.
Untuk mengkaji musik iringan Tari Tibet penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu
Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).3
3
16
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu
dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan
etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang
unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung
kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi
menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem
tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan
musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian
yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa
sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang
cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran
yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi
musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan
etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian
struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat
17
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan
oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan
hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk
dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat
variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun
terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam
konteks kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang
etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi.
Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera
Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang
terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit
oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang
berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan
42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah
dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.4
4
18
Hal-hal di atas menarik perhatian peneliti untuk meneliti dan melihat
pertunjukan tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di kota Medan. Di mana semua
komponen tari menjadi bahan penelitian yang menarik untuk dibahas. Jadi dalam
hal ini penulis akan mengangkat dan menganalisis suatu penampilan tari Tibet
melalui gerakan tari tersebut. Penulis juga tertarik untuk meneliti fungsi dan
makna tari Tibet, dengan latar belakang diatas penulis membuat judul penelitian
ini Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat
Tionghoa di Kota Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana struktur Tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa di Kota
Medan?
2. Sejauh apa fungsi Tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa di Kota
Medan?
3. Bagimana makna (bahasa dan budaya) yang terkandung di dalam Tari
Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan?
19
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini diselaraskan dengan tiga rumusan masalah di
atas, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui struktur tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota
Medan.
2. Untuk mengetahui sejauh apa fungsi tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di
Kota Medan.
3. Untuk mengetahui bagaimana makna (bahasa dan budaya) yang terkandung di
dalam Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap
analisis struktur, fungsi, dan makna tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa
di Kota Medalah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menambah wawasan tentang struktur, fungsi, dan makna tari
Tibet bagi masyarakat Tionghoa.
2. Sebagai materi keilmuan baik dari ilmu budaya, bahasa, dan seni yang dapat
dipergunakan dalam rangka pengembangan disiplin bahasa dan Sastra Cina,
khususnya di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
20
3. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan perbandingan penelitian-penelitian
yang akan datang, dengan latar belakang, tema, dan kajian yang berkait dengan
penelitian yang peneliti lakukan ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah menambah pengetahuan penulis, serta masyarakat Indonesia, tentang
bagaimana struktur, fungsi, dan makna tari Tibet di Kota Medan serta
keberadaannya di Indonesia sehingga mampu menarik perhatian masyarakat luas
untuk lebih mengenal kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, baik
kebudayaan “asli” (natif) dari Indonesia maupun kebudayaan etnis dunia yang
kemudian berintegrasi menjadi bahagian tak terpisahkan dari kebudayaan
Indonesia, khususnya budaya Tionghoa di Indonesia.
Selain itu juga, penulis berharap penelitian dapat dijadikan rujukan untuk
penelitian-penelitian yang akan datang ataupun sebagai bahan pelajaran muatan
lokal. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat untuk
menerapkan kembali (revitalisasi) kesenian tari Tibet dalam masyarakat sehingga
21
1.5 Batasan Masalah
Masyarakat Tionghoa memiliki banyak kebudayaan seni yang sudah
berakulturasi dengan Indonesia, termasuk dalam jenis-jenis tari Tionghoa yang
ada di Indonesia dan masing-masing memiliki sejarah serta cerita tersendiri di
dalamnya. Begitu juga dengan jenis tari-tarian Tonghoa yang beranekaragam.
Oleh karena sudah adanya akulturasi,5
Batasan di atas selaras dengan sistem tata kelola pemerintahan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sumatera Utara adalah sebagai sebuah provinsi,
yang dipimpin oleh seorang gubernur. Selanjutnya, Kota Medan adalah sebuah
wilayah administratif pemerintahan kota yang dipimpin oleh seorang wali kota.
Baik gubernur maupun walikota adalah diplih secara demokratis lima tahun
sekali, dalam negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi.
maka banyak pula perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam pertunjukan tari Tibet di di Indonesia. Maka untuk
menghindari batasan yang terlalu luas, peneliti mencoba membatasi ruang lingkup
penelitian hanya pada kajian struktur, fungsi, dan makna tari Tibet di Kota Medan,
Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
5
22
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab II ini, penulis memaparkan konsep, landasan teori, dan tinjauan
pustaka, yang digunakan yang berkaitan dengan topik penelitian, rumusan
masalah, dan rujukan-rujukan saintifik dalam skripsi sarjana ini. Tujuannya adalah
untuk memperjelas baik itu konsep mapun teori, serta bahan-bahan kepustakaan
yang digunakan di dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini konsep yang penulis gunakan adalah mencakup: (a)
kebudayaan, (b) masyarakat Tionghoa, (c) tari, (d) Tari Tibet, dan (e) Budha
Lamaistik. Selanjutnya teori yang penulis gunakan untuk mengkaji tiga rumusan
masalah adalah tiga teori juga. Untuk mengkaji struktur tari dan musik iringan tari
digunakan teori kinisiologis struktur tari dalam disiplin etnokoreologi dan
etnomusikologi. Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat
Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu
budaya (antropologi budaya), khususnya yang dikemukakan oleh
Radcliffe-Brown dan Malinowski. Untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan
23
2.1 Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian
(Singarimbun, 1989:33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan
ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental
dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain
Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang
apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat
mengaburkan tujuan penelitian.
2.1.1 Kebudayaan
Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam
buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke
dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi
warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa
kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya
yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya
kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam
24
2.1.2 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7.
Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir
timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga
Tionghoa yang mulai bermigrasi ke Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai
utara Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara
India dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh
keturunan Cina, berasal dari kata 中 zhōnghuá, dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa.
Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya
yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.
2.1.3 Tari
Di dalam kebudayaan Cina dijumpai beberapa jenis atau genre tarian. Di antaranya adalah tari tradisional, tari Xuanzi, tari Reba, tari Guozhuang, dan
lain-lainnya.
Tarian tradisional Cina 中 国 舞/zhōngguó chuántǒng wǔdǎo adalah
25
gembira, marah, suka, duka, risau serta watak dan adegan cerita dari tokoh pemeran sipil maupun militer. Tarian Cina dalam pertunjukan sendratarinya masih terdapat bagian performa tarian. Performa tarian ini berbeda dengan pertunjukan pada drama, teater dan pertunjukan opera. Perferma tarian Cina menggunakan perpaduan ekspresi dan gerakan anggota tubuh, ditampilkan secara maksimal. Berikut ini tarian Cina berdasarkan etnis dan daerah.
Di Tibet ada beberapa jenis tarian. Salah satu di antaranya yaitu tarian
etnis Lisu, tarian ini dibuat dengan meniru gerak-gerik kambing, tarian ini
ekspresi kecintaan etnis Lisu terhadap alam dan kehidupan mereka.
Tarian Xuanzi, 玄子的舞蹈/xuánzi de wǔdǎo ini dan dipersembahkan oleh
kaum pria dan wanita dengan diiringi irama musik tradisional Cina dan Tibet.
Tarian Xuanzi merupakan tarian yang menggambarkan perasaan penduduk lokal
setelah makan dan bekerja.
Tarian Reba, 吧 的 舞 蹈/rè ba de wǔdǎo tarian ini terkenal di kota
Tacheng, sebuah kota kecil di Kabupaten Otonom Etnis Lisu Weixi provinsi
Yunnan China. Tarian Reba dipersembahkan saat merayakan perayaan
keagamaan, memohon keselamatan penduduk desa kepada Buddha saat kejadian
bencana alam dan serangan wabah. Tarian Reba dibagi sebagai tiga jenis tarian,
yaitu tarian Reba klasik, tarian seniman di jalan, dan tarian persembahan
komersial.
Tarian Guozhuang, 庄 的 舞 蹈/guōzhuāng de wǔdǎo sebuah tarian di
26
berwarna menyolok merah dan putih.Ran ba dirajut dari benang wol murni,
khusus dipakai untuk menghadiri pesta tarian Tibet.
2.1.4 Tari Tibet
Tari Tibet berasal dari 5 provinsi di Cina yaitu: Tibet, Yunnan, Qinghai,
Gansu, dan Sichuan. Tari Tibet merupakan tarian tradisonal masyarakat Tionghoa
yang sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Tibet yang menjadi topik penulisan
ini, yaitu di Kota Medan, mengalami perubahan-perubahan karena faktor ekologi
budaya di Indonesia pada umumnya dan Kota Medan secara khusus.
Berbicara tari Tibet pada masa awalnya dulu, terbentuk karena cara hidup
tradisional orang-orang Tibet yang unik secara mendalam terefleksi dalam tarian
mereka. Ciri yang paling istimewa dari gaya tarian ini adalah tubuh yang miring
ke depan, ditemani juga oleh lompatan yang terus menerus dari lutut si penari.
Awalnya digunakan untuk ucupan syukur masyarakat Tibet atas hasil panen
mereka.
Tari Tibet ini berkembang di kota Medan, ditarikan oleh kaum perempuan
dan laki-laki. Menurut informasi dari nmarasumber yaitu bapak Sutrisno, tari
Tibet adalah tarian yang mencerminkan keadaan daerah Tibet tersebut dan lebih
menceritakan budaya Tibet.
Tari ini biasanya dibawakan oleh 4 orang penari maupun lebih. Tarian ini
bisa ditarikan oleh perempuan dan laki-laki, namun gerakan penari perempuan
lebih anggun sedangkan gerakan penari laki-laki lebih tegas. Tari Tibet tampil
27
festival maupun kegiatan sosial lainnya seperti acara bazar. Tari Tibet yang
dipakai di Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya sudah diperbaharui dan
dikreasikan kembali.
Gerakan Tari Tibet ini meniru gerakan hewan Yak, yang mencerminkan
masyarakat Tibet yang kuat sehingga gerakan tari Tibet ini banyak
gerakan-gerakan lompatan. Serta lagu pengiring dalam tarian Tibet ini adalah lagu
tradisional daerah yaitu 快的kuàilè de nuò sū.
2.1.5 Buddha Lamaistik
Agama Buddha masuk ke Tibet pada abad kedelapan setelah
perkembangan pemikiran sejarah Buddha di India pada tahun 500 sebelum
Masehi. Sejak saat itu, pengajaran turun-temurun dilakukan, hal ini adalah salah
satu cara bagi penganut Buddha Tibet mengikuti praktik agama seperti pada
zaman Buddha Gautama masih hidup.
Pada umumnya orang-orang Tibet lebih menyukai metode pemerintah
kependetaan, upacara religius dan rumusan magis. Maka tidak heran bila
Lamaisme adalah suatu agama yang memenuhi untuk rakyat Tibet karena tiap-tiap
orang menemukan jawaban yang diperlukan ketika mengalami kebingungan
dengan berhubungan dengan Dewata sambil mengucapkan kata-kata suci tanpa
henti yakni Om Mani Padme Hum. Bagi rakyat Tibet, kata-kata itu merupakan
mantra yang berkuasa, suatu rumusan magis yang memberikan jasa ke arah
kesempurnaan dan mayoritas para rahib menerima hal ini sebagai suatu simbol
28
cari dan dalam pencarian ini dipisahkan sebagian kecil dari dan di atas perjuangan
insani.
Orang-orang Tibet sangat mempercayai adanya reinkarnasi atau
penjelmaan kembali. Dalai Lama yang dalam bahasa Tibet berarti samudera
kebijaksanaan dipercayai sebagai inkarnasi Avalokitesvara. Pembahasan
mengenai Buddhisme Tibet oleh L.Austine Waddell dalam bukunya The
Buddhism of Tibet or Lamaism memaparkan tentang agama Buddha pada awalnya
di Tibet dengan cara pemujaan mistik, simbol, dan mitos, serta hubungannya
dengan Buddhisme India. Karena masuknya agama Buddha ke Tibet salah satunya
berasal dari India. Dari sekte Buddha Mahayana yang berkembang yakni Tantra
sampai perubahan dalam Buddisme primitif menuju Lamaisme.
Dalai Lama pertama merupakan titik awal sejarah adanya gelar dan
kepercayaan-kepercayaan seputar dalai lama sebagai inkarnasi Avalokitesvara,
sedangkan Dalai Lama ke-14 berhubungan dengan modernitas dan kemajuan
jaman serta invasi Cina di Tibet. Dalai lama adalah kepala pemerintahan Tibet dan
kepala Tibetan Buddhism. Para dalai lama memerintah di Tibet sampai Republik
Rakyat China.
Demikian konsep-konsep yang penulis gunakan dalam rangka penelitian
terhadap Tari Tibet ini. Kemudian diuraikan landasan teori yang digunakan di
29
2.2 Landasan Teori
Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan
untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang
akan diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Teori Kinesiologis Struktur Tari dan Musik
Dalam ilmu-ilmu tari, perkembangan kinesiologi terjadi hampir bersamaan
dengan perkembangan ilmu induknya yaitu anatomi. Pada tahun 384--322 SM.
dimulailah penulisan tentang bekerjanya otot-otot yang diarahkan pada analisis
geometrik. Orang yang pertama-tama melakukan penyelidikan adalah Aristoteles
yang sekarang dikenal sebagai bapak kinesiologi. Observasi yang dilakukannya
menghasilkan ingatan, bahwa hewan yang bergerak mengadakan perubahan letak
dengan jalan menekan kakinya pada apa yang diinjak, Ia pula yang pertama-tama
mengkaji dan menulis tentang adanya proses yang begitu kompleks pada cara
jalan manusia, yang ternyata terdiri atas gerakan berputar (rotasi) yang selanjutnya
dirobah menjadi gerak lurus (translatasi). Peranan gaya-berat (gravitasi), hukum
30
dapat dilihat adanya kenyataan, bahwa seorang pelompat jauh akan dapat
melompat lebih jauh lagi dengan membawa beban pada kedua tangannya bila
dibandingkan dengan yang tanpa membawa beban. Seorang pelari akan lebih
cepat larinya, bila ia mengayunkan lengannya, karena dengan demikian terjadi
extensi lengan yang sakan-akan dapat menjadi sandaran terhadap tangan dan
pergelangannya.
Pada tahun itu pula Archimedes memberikan andilnya dengan prinsip
hidrostatikanya. yang sampai sekarang masih dipakai dalam kinesiologi renang
dan perjalanan ruang angkasa.
Setelah itu Galen dalam karangannya “De Motu Musculorum”
mengajukan pengertian tentang adanya otot-otot agonis dan antagonis dan mulai
pula dipakai kata-kata “diarthrosis” dan “sinarthrosis” pada sistem persendian.
Sesudah Galen perkembangan kinesiologi menjadi statis dan baru pada tahun
1452-1519 Leonardo da Vinci membangkitkan kembali dengan memberikan
perhatiannya pada struktur tubuh manusia yang dihubungkan dengan penampilan
atau peragaannya, dan hubungan antara pusat gravitasi dan keseimbangan tubuh
serta pusat tumpuannya.
Alfonco Borelli pada tahun 1608--1679 mulai menggunakan formula
matematika untuk memecahkan problema gerakan otot dan mulai mengadakan
pembedaan antara berbagai macam kontraksi otot serta mengemukakan
dasar-dasar innervasi resiprok. Karena pengkajiannya yang mendalam tentang problema
gerakan tadi, maka Feindler (ahli kinesiologi masa kini) menyebutnya sebagai
31
dikembangkan oleh Webers pada tahun 1836. Uraiannya didasarkan atas adanya
observasi yang menyatakan bahwa sikap tegak tubuh disebabkan oleh adanya
tegangan pada ligament dan hanya sedikit saja atau tidak adanya kerja otot
sedangkan pada berjalan atau lari maka gerakan ke depan dari tungkai merupakan
ayunan bandul yang disebabkan oleh adanya gravitasi. Keadaan ini menyebabkan
gerakan jatuh ke depan dari badan yang selanjutnya disalurkan ke tungkai.
Webers pula yang menyatakan, bahwa panjang otot akan berkurang pada waktu
kontraksi dan tulang berperan sebagai pengumpil.
Isaac Newton pada tahun 1642--1727 memberikan dasar-dasar dinamika
modern yang ternyata sangat penting artinya bagi perkembangan Kinesiologi.
Dasar ini tertuang dalam “Hukum Newton.” Mulai tahun 1861--1917 dengan
adanya perkembangan teknik fotografi Otto Fischer mengadakan studi
eksperimental tentang cara manusia berjalan. Rudolf A.Fick sekitar tahun itu pula
meneliti tentang sikap (postur) manusia dan mekanik gerakan sendi.
Kari Culmann 1821--1S81 seorang insinyur Jerman mengadakan analisa
yang menghasilkan teori trakyektori untuk arsitektur tulang. Sejalan dengan
kemajuan teknologi, maka sejak tahun 1912 telah dipakai alat-alat
elektromyograf. cinematograf dan sekarang dengan elektronik stroboskop yang
dapat mengambil gambaran dengan kecepatan l juta sekon yang merupakan alat
pada dewasa ini yang sewajarnya dipakai dalam pendidikan olahraga. Selain
pemakaian alat-alat baru tersebut diatas ternyata terjadi pula perubahan dalam
32
sebelumnya telah ditinggalkan dan diganti dengan mekanisme servo maupun
mekanisme umpan-balik (feedback).
Pada beberapa tahun sesudah Perang Dunia II berakhir, kecuali terlihat
adanya perkembangan teknologi mulai terjadi pula adanya pendekatan-pendekatan
secara multidisipliner antara ahli-ahli faal. anatomi, psikolog, teknik, seni tari,
seni musik, dan lain-lainnya, yang pada akhirnya berhasil membuahkan suatu
ilmu baru yang sebetulnya merupakan saudara kembar dari kinesiologi.
2.2.2 Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tari Tibet dalam kebudayaan
masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori fungsionalisme yang
ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang
dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan
antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada
masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial
didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran,
dan pasar terwujud.
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera
keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra
Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan
33
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama
studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat,
sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi
kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori
fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian
mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru
besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga
meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya,
diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu
(Malinowski 1944).
Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi
teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa
semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat.
Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan
mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan,
setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam
suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang
bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa
kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para
34
(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,
kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul
kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga
dipenuhi oleh kebudayaan.
Dari teori Fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski itu, penulis
berasumsi bahwa tari Tibet dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa pastilah
berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga sosiobudaya ini pastilah mati atau
menjelma dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan sosiobudya tari Tibet ini
memainkan peran dalam konteks kesinambungan dan integrasi kebudayaan
Tionghoa secara umum.
2.2.3 Teori Semiotik
Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam tari Tibet pada
masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori
semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa
Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra
dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu
objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama
dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan
istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering
digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara,
35
Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification,
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai
suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda
36
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah
menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab;
buku; buku primbon (KBBI,2003:912). Jadi, tinjauan pustaka yaitu hasil
meninjau, pandangan, pendapat terhadap buku-buku maupun jurnal-jurnal yang
sudah diselidiki atau dipelajari sebelumnya.
Skripsi Inovasi Gerak Si Menyon dalam Topeng Benjang menjadi Topeng
Rehe Di Ujung Berung Bandung, Jawa Barat (Kiki Yovita, 2012). Dalam
penelitian ini membahas tari Topeng Rehe yang merupakan inovasi dari Topeng
Benjang; sebuah kesenian yang berasal dari Ujung Berung. Tari Topeng Rehe
merupakan tari Jaipongan yang diciptakan oleh seorang penata tari Jaipongan
bernama Gondo, di mana dalam