Bangsa Pengumbar Hasrat
Dari Filsafat Anti-Gosip sampai
Kaderisasi Terorisme
Kumpulan Esei Filsafat Populer
Reza A.A Wattimena
2010
Surabaya
Prakata
Buku ini adalah kumpulan tulisan filsafat saya yang telah dipublikasikan, baik secara nasional, lokal Surabaya, dan blog pribadi di internet dalam kurun waktu 2008-2010. Berbagai tulisan di dalam buku ini lahir dari pergulatan saya berhadapan dengan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, mulai dari persoalan individual, sampai persoalan negara yang mendesak. Pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan filsafat.
Harapannya para pembaca dapat menyadari betul, bahwa filsafat bisa menjadi pisau analisis yang sangat tajam dan mencerahkan, guna memahami dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan bersama.
Buku ini memiliki keunikannya tersendiri. Selama ini filsafat dipandang sebagai ilmu yang rumit. Orang
perlu mengerutkan dahi untuk berpikir, guna memahami teori-teori filsafat. Setelah membaca buku ini, saya berharap anggapan tersebut dapat berubah. Filsafat dapat digunakan untuk memahami hal-hal sehari-hari, dan disampaikan dengan bahasa yang komunikatif, tanpa mengurangi kedalaman refleksinya. Itulah yang kiranya menjadi keunikan dan kelebihan buku ini dibandingkan dengan buku-buku filsafat lainnya.
Saya memilih judul Bangsa Pengumbar Hasrat dengan alasan khusus. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia senang sekali mengumbar hasrat mereka untuk menguasai segala bidang, mulai dari bidang politik, ekonomi, sampai pendidikan. Hasrat untuk berkuasa dan mencapai kenikmatan seolah menutupi akal budi dan kontrol diri. Akibatnya kekacauan terjadi hampir di semua bidang kehidupan. Buku ini ditulis untuk meredam
pengumbaran semacam itu, serta mengembalikan akal budi dan kontrol diri ke dalam kehidupan bersama.
Buku ini ditujukan untuk semua orang yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan bersama. Buku ini juga ditujukan untuk semua orang merasa memerlukan pencerahan di dalam menjalani kehidupannya. Semoga buku ini bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca, supaya dapat menjalani hidup yang lebih bermutu dan bermakna. Selamat membaca dan salam sejahtera.
Reza A.A Wattimena,
Surabaya, 2010
Melenyapkan Gosip dari Ruang Publik
Filsafat dapat menjadi obat untuk menyembuhkan
“penyakit” gosip yang menjangkiti masyarakat Indonesia.
Dengan sifatnya yang kritis dan mendalam, filsafat sebagai displin berpikir mampu mengajarkan manusia untuk membedakan gosip dan fakta, serta bertindak seturut dengan pertimbangan akal budi yang jernih.
Filsafat juga dapat membantu manusia membuat keputusan yang tepat dengan mengacu pada data-data yang faktual dan koheren. Masyarakat Indonesia perlu untuk mempelajari filsafat lebih mendalam, supaya lebih mampu berpikir kritis dan rasional tentang masalah- masalah sosial yang ada.
Gosip adalah simbol terkikisnya peradaban manusia.
Semakin suatu komunitas diselubungi gosip dan rumor, semakin komunitas itu kehilangan peradabannya, dan menjadi biadab. Semakin suatu keputusan didasarkan pada gosip, semakin keputusan itu mencerminkan kebiadaban pembuat keputusan tersebut. Pada tulisan ini saya akan menjelaskan terlebih dahulu arti masyarakat yang beradab, menggali anatomi gosip, menjelaskan pembedaan antara ruang privat dan ruang publik, serta mengajukan argumen, bahwa filsafat bisa menjadi alat yang efektif untuk menangkis gosip yang seolah beredar tanpa kendali di masyarakat Indonesia.
Filsafat dan Peradaban
Sudah sejak sekitar 2300 tahun yang lalu Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, menulis bahwa manusia adalah binatang yang rasional (rational animal).
Yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk menggunakan akal budi, guna membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Dan sebaliknya dapat dikatakan, jika manusia tidak mampu, atau tidak mau, menggunakan akal budinya untuk membuat keputusan ataupun memahami dunianya, maka ia sama dengan hewan ataupun tumbuhan. Manusia menjadi manusia seutuhnya, karena ia mampu berpikir, dan bertindak seturut dengan pikirannya itu.
Ia lebih jauh juga melanjutkan, bahwa hidup yang baik adalah hidup yang dipimpin oleh akal budi, yakni hidup yang berkeutamaan. Dalam arti ini keutamaan adalah sifat-sifat baik yang ada di dalam diri manusia, dan diperoleh melalui pembiasaan (habituasi).
Misalnya orang bisa jujur, karena ia terbiasa berkata dan
bertindak jujur. Orang bisa menjadi terampil bermain musik, karena ia biasa bermain musik. Hidup yang beradab adalah hidup yang berkeutamaan. Itulah yang dikatakan Aristoteles.
Lalu apa kaitan antara hidup yang beradab dengan peradaban manusia? Dengan lugas dapatlah dikatakan, bahwa hidup yang beradab, yang berkeutamaan, adalah dasar dari peradaban manusia yang luhur. Peradaban muncul ketika sekumpulan orang memutuskan untuk hidup berdasarkan akal budi dan nilai-nilai kebaikan. Di dalam masyarakat yang beradab, kedamaian adalah sesuatu yang wajar ditemukan di kehidupan sehari-hari. Keadilan dan kebenaran lebih terasa daripada kejahatan dan kemunafikan!
Sekarang ini di Indonesia, sikap beradab diancam oleh mentalitas dan kultur gosip yang bersifat
menghancurkan. Orang lebih percaya gosip, daripada menggunakan akal budinya untuk berpikir sendiri, dan kemudian membuat keputusan. Akal budi dipasung oleh kemalasan dan kebodohan. Di balik rasa nikmat yang ditimbulkannya, gosip secara perlahan tapi pasti menghancurkan kepercayaan (trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama.
Anatomi Gosip
Mengapa dan dari mana gosip itu muncul? Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lugas tanpa terjebak pada kesesatan. Pandangan Francis Bacon seorang filsuf asal Inggris yang hidup pada abad ke-17 kiranya bisa membantu kita memahami anatomi gosip. Ia berpendapat bahwa di dalam proses untuk mencapai kebenaran, manusia seringkali dihalangi oleh idola-idola.
Saya ingin mengajukan argumen, bahwa gosip tersusun dari idola-idola yang menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.
Ada empat bentuk idola yang dirumuskan oleh Bacon. Yang pertama adalah idola tribus, yakni kecenderungan manusia untuk melihat adanya tatanan di dalam sistem lebih daripada apa yang sebenarnya ada.
Misalnya ilusi yang dibangun Suharto pada masa pemerintahan orde baru membuat orang melihat adanya kestabilan (peningkatan ekonomi dan kestabilan politis) yang lebih daripada apa yang sebenarnya ada (korupsi dan penculikan aktivis yang berpikiran kritis). Idola tribus menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.
Yang kedua adalah idola cava, yakni kecenderungan orang untuk menilai orang lain ataupun suatu peristiwa dengan berdasar pada sentimen pribadi,
dan bukan dengan kejernihan akal budi. Misalnya karena seorang manajer perusahaan tidak menyukai bawahannya, maka ia memecatnya tanpa alasan yang jelas. Di dalam idola cava ini, rasa suka ataupun tidak suka lebih kuat mempengaruhi keputusan, daripada fakta obyektif dan penalaran yang jernih. Idola cava juga menjauhkan manusia dari kebenaran.
Yang ketiga adalah idola fori, yakni kebingungan yang diciptakan, karena orang tidak memahami makna bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi sehari-hari. Akibatnya orang terjebak di dalam kesalahpahaman. Bahasa memang menjadi elemen kunci di dalam komunikasi. Jika orang tidak mampu berbahasa ataupun memahami makna bahasa yang digunakan secara tepat, maka komunikasi untuk mencapai kesepakatan akan sulit tercipta. Kebenaran pun semakin
jauh dari genggaman tangan.
Yang keempat adalah idola theatri, yakni bangunan pemikiran ataupun teori yang dibentuk oleh pendekatan yang tidak tepat. Misalnya orang memiliki keyakinan, bahwa semua pria suka berselingkuh.
Keyakinan ataupun pemikiran semacam ini didasarkan pada pendekatan yang sifatnya satu arah, karena mengabaikan fakta, bahwa begitu banyak pria yang setia pada pasangannya. Idola theatri menghalangi manusia untuk sampai pada kebenaran.
Keempat idola ini dirumuskan oleh Bacon di dalam bukunya yang berjudul Novum Organum (1620).
Ia memang hanya membatasi dirinya pada perumusan metode saintifik yang dapat menjamin kebenaran dari pengetahuan yang didapat. Baginya seorang ilmuwan haruslah membersihkan dirinya dari idola-idola yang
menghalangi pikirannya untuk mencapai kebenaran.
Namun saya merasa bahwa argumen Bacon tidak hanya cocok untuk para ilmuwan, tetapi juga untuk semua orang, terutama mereka yang pikiran dan tindakannya dipengaruhi oleh gosip, sehingga mereka tidak mampu menemukan kebenaran! Mereka perlu untuk membersihkan pikiran mereka dari idola-idola!
Membedakan Ruang Publik dan Ruang Privat
Kehidupan sosial manusia terdiri dari dua bentuk ruang, yakni ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat untuk membicarakan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan bersama. Misalnya masyarakat membicarakan tentang bagaimana menangani korban gempa, memerangi korupsi, memilih presiden, dan sebagainya. Ruang publik adalah ruang
politis.
Di sisi lain masyarakat juga mengenal adanya ruang privat. Ruang privat adalah tempat bagi setiap pribadi untuk mengembangkan diri dan bertindak sesuai dengan dorongan pribadinya, tanpa perlu ada campur tangan dari orang lain. Misalnya saya ingin tidur terbalik, saya ingin punya pacar lebih dari satu, atau saya makan sayur yang dicampur dengan buah. Semua itu adalah urusan privat. Orang lain tidak boleh dan tidak berhak untuk mencampurinya!
Pendapat itu dirumuskan oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Richard Rorty. Dalam arti ini gosip adalah publikasi ruang privat. Artinya segala sesuatu yang sebenarnya urusan pribadi kini menjadi bahan pembicaraan publik. Gosip adalah pelanggaran atas privasi!
Masyarakat yang beradab mengenal betul pembedaan antara ruang publik dan ruang privat. Kedua ruang itu tidak boleh dicampurkan. Sebaliknya masyarakat yang tidak beradab mencampurkan keduanya begitu saja. Masyarakat gosip adalah masyarakat yang menjadikan urusan privat sebagai urusan publik.
Masyarakat gosip adalah masyarakat yang tidak beradab!
Jika ingin menjadi bangsa yang beradab, orang Indonesia perlu untuk mencegah publikasi ruang privat.
Orang Indonesia perlu untuk menghormati privasi setiap orang. Orang Indonesia juga perlu untuk membicarakan masalah publik dalam konteks debat yang rasional.
Ruang publik bukanlah ruang gosip, melainkan ruang untuk mencapai keadilan bagi kehidupan bersama. Gosip harus dimusnahkan!
Gosip juga seringkali mencemari nama baik
seseorang. Sebuah fakta dipelintir sedemikian rupa, sehingga kebenaran tidak lagi terkandung di dalamnya.
Akibatnya reputasi seseorang menjadi jelek di mata masyarakat. Secara hukum hal ini tentu saja bisa dituntut atas nama pencemaran nama baik. Jika anda mengalami hal ini, jangan ragu untuk melakukan tuntutan hukum!
Filsafat sebagai Anti Gosip
Filsafat sebagai displin berpikir kritis, rasional, dan mendalam dapat memberikan beberapa tips praktis untuk menyembuhkan penyakit suka bergosip. Yang pertama adalah cara berpikir skeptis, yakni cara berpikir yang curiga pada semua bentuk pernyataan, sampai pernyatan tersebut tidak bisa terbantahkan lagi kebenarannya. Di dalam filsafat skeptisisme adalah paham yang berpendapat, bahwa manusia tidak mampu
mencapai pengetahuan. Saya tidak mau berpikir seradikal itu. Cukuplah dikatakan bahwa setiap orang harus bersikap curiga terhadap apa yang ditemuinya, sampai ia sungguh yakin, bahwa apa yang ditemuinya tersebut sungguh benar.
Yang kedua adalah cara berpikir yang berpijak pada prinsip verifikasi. Prinsip ini dikembangkan secara sistematis oleh para filsuf positivisme logis yang berkembang pada awal abad ke-20. Intinya sangat sederhana yakni hanya pernyataan yang bisa diuji di dalam kenyataanlah yang layak menjadi dasar dari pengetahuan. Artinya pernyataan itu bisa dianggap benar, jika dapat ditemukan bukti-bukti konkret yang dapat diketahui oleh panca indera manusia.
Jika ditempatkan secara tepat, prinsip verifikasi mampu mencegah kita mengambil kesimpulan terburu-
buru. Prinsip verifikasi mengajak kita untuk bersikap obyektif di dalam membuat keputusan. Jika orang menerapkan prinsip ini di dalam hidupnya, ia tidak akan dibingungkan oleh gosip. Jika masyarakat menerapkan prinsip ini sesuai konteksnya, maka mereka akan menjadi masyarakat yang beradab.
Dengan demikian filsafat bisa menjadi obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit suka bergosip.
Filsafat juga dapat menjadi pendorong manusia untuk mewujudkan masyarakat yang beradab.
Dengan belajar dari filsafat Francis Bacon, kita bisa menyadari adanya gosip-gosip yang bercokol di kepala kita yang mungkin selama ini belum disadari. Dengan belajar dari Aristoteles, kita bisa mendirikan suatu masyarakat beradab yang berpijak pada akal budi dan keutamaan. Dengan belajar dari Richard Rorty, kita bisa
membedakan antara ruang privat dan ruang publik, serta tidak mencampurkan keduanya. Dengan belajar dari para filsuf positivisme logis, kita bisa belajar untuk mengecek secara tepat dan rasional setiap pernyataan yang kita dengar.
Memang pada akhirnya kehidupan manusia baru berharga dan bermakna, jika diarahkan untuk mencapai kebenaran. Di dalam kebenaran manusia akan menemukan kebahagiaan. Kebenaran yang mungkin awalnya menyakitkan, tetapi secara perlahan akan menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia yang otentik. Sikap hidup yang semakin jarang ditemukan di masyarakat kita sekarang ini.***
Mencari Pemimpin Sejati
Apakah seorang pemimpin lahir secara alami atau diciptakan oleh situasi? Itulah pertanyaan yang menggantung di berbagai refleksi filosofis tentang kepemimpinan. Pertanyaan itu semakin terasa penting untuk dipikirkan, mengingat lemahnya kepemimpinan nasional sekarang ini. Kultur permisif dan miskinnya integritas menjadi ciri pokok dari berbagai tingkat kepemimpinan di Indonesia, mulai dari tingkat RT, lembaga swasta, lembaga publik, sampai pada
kepemimpinan nasional! Akibatnya kepemimpinan tidak berjalan efektif! Tatanan yang awalnya diciptakan untuk menjamin keadilan dan kemakmuran justru menjadi bumerang, yakni menghancurkan sang empunya tatanan itu sendiri.
Sosok Pemimpin
Setidaknya ada dua teori yang mencoba memahami asal usul para pemimpin. Teori pertama bernada klasik. Seorang pemimpin adalah orang pilihan.
Sedari kecil ia dikondisikan dalam situasi yang membuat dia memahami hakekat manusia dan masyarakat, sehingga ia dapat memerintah sesuai dengan hakekat tersebut, dan membawa bangsa menuju kejayaan. Pola pendidikannya juga sangat khas, yakni menekankan kemampuan berpikir holistik yang melihat suatu masalah
dari kaca mata keseluruhan, dan bukan dari kaca mata personal, ataupun kelompok semata.
Pola ini banyak ditemukan di negara-negara yang masih menganut sistem pemerintahan monarki.
Seorang pemimpin dianggap orang terpilih, yang harus hidup dan dididik secara khusus. Pola ini memang terkesan ideal. Namun dalam prakteknya banyak raja-raja monarki cenderung memerintah sekehendaknya, dan tidak menerapkan ajaran-ajaran yang telah diberikan kepadanya. Fakta ini meninggalkan trauma yang sangat besar pada sistem pemerintahan monarki. Sebab utamanya adalah tidak ada kontrol atas kekuasaan, sehingga tidak ada jaminan, apakah seorang pemimpin akan memimpin secara tepat atau tidak.
Teori kedua menyatakan bahwa seorang pemimpin tidak dilahirkan, namun dibentuk oleh
keadaan. Seorang pemimpin hidup dan berkembang tidak dengan privilese, namun justru di dalam keterbatasan. Situasi sulit menempa mental dan intelektualitasnya. Sosok tersebut memiliki integritas yang lahir dari kerasnya dunia, dan bukan dari kemewahan monarkis.
Banyak gerakan politik yang membawa perubahan besar lahir dari tangan para pemimpin ini.
Lihat saja Julius Caesar, sang pendiri imperium Romawi, yang lahir dan berkembang di dalam kerasnya perang antar bangsa, dan kentalnya korupsi dunia politik Roma pada waktu itu. Atau Napoleon –seorang tokoh pembaharu republik Perancis pasca Revolusi Perancis yang legendaris- yang lahir juga dari keterbatasan, maju dalam tempaan krisis, serta membawa Perancis menjadi salah satu negara terkuat di Eropa pada jamannya. Atau
Sukarno yang menjadi bapak proklamasi Republik Indonesia, yang lahir dari sulitnya situasi, tekanan politik, perang, dan kemiskinan pada masa hidupnya.
Dari dua teori ini, kita bisa menemukan satu kesamaan mendasar, pemimpin lahir dari proses kehidupan! Pemimpin tidak turun dari langit, atau merupakan titisan dewa! Sebaliknya pemimpin sejati pada akhirnya adalah manusia biasa yang ditempa oleh keadaan, baik keadaan yang direkayasa, seperti pada sistem monarki, atau keadaan politis liar, seperti pola kepemimpinan kedua. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita bisa melahirkan pemimpin sejati di Indonesia tidak hanya untuk generasi sekarang, namun juga untuk generasi mendatang?
Pola Kepemimpinan Dewasa Ini
Ada dua ciri para pemimpin di Indonesia sekarang ini. Yang pertama adalah mental permisif, yakni mental yang memperbolehkan segala sesuatu berjalan, tidak berani mengambil keputusan yang tidak populer, dan pada akhirnya kehilangan kewibawaan di hadapan orang yang dipimpinnya. Mental permisif sebenarnya berakar pada mental pengecut, yakni mental ketakutan akan kehilangan posisi, atau ketakutan kehilangan popularitas. Hal ini juga terkait dengan mental selebriti yang menjangkiti banyak pemimpin kita! Seperti layaknya artis yang pekerjaannya menghibur dan membuat hati orang senang, para pemimpin juga berubah menjadi seorang penghibur, dan lupa pada tugas dan tanggung jawab sesungguhnya.
Pemimpin permisif semacam ini tidak lahir dan berkembang dalam proses. Sama seperti lahirnya
fenomena artis instan sekarang ini, para pemimpin dan politikus pun juga lahir dari proses yang sangat instan.
Mereka tidak ditempa oleh situasi! Mereka juga tidak menjalani proses pendidikan yang selayaknya diperlukan untuk menjadi pemimpin. Tanpa proses penempaan seorang pemimpin pada akhirnya hanya akan menjadi birokrat yang kinerjanya mengecewakan.
Pola kedua para pemimpin di Indonesia sekarang ini adalah miskinnya integritas. Pemimpin menjadi begitu pragmatis, sehingga mereka bersedia melakukan apapun untuk memperoleh keuntungan sosial maupun finansial, mempertahankan posisi, menjatuhkan saingan dan oposisi, serta melebarkan popularitas, seperti halnya selebriti. Pendek kata keputusan dan kebijakan para pemimpin dijual untuk penawar tertinggi. Inilah akibat dari miskinnya proses yang dijalani oleh para pemimpin
di Indonesia!
Pemimpin yang dibentuk secara instan akan memiliki cara berpikir pragmatis, yakni cara berpikir yang berfokus pada hasil, dan melupakan pentingnya proses. Ia hanya akan menjelma menjadi birokrat yang menghisap roh kreativitas dan kebenaran itu sendiri!
Kepemimpinan Sejati
Indonesia sedang dilanda oleh krisis kepemimpinan! Pernyataan itu tidak dapat diragukan lagi.
Saya melihat setidaknya dua kemungkinan solusi. Yang pertama adalah pemisahan antara dunia politik dan dunia hiburan. Politisi bukanlah artis! Maka politisi harus berhenti menjual wajah mereka di media, membuat album musik guna mencari popularitas, dan mulai berfokus pada pekerjaan nyata sesungguhnya seorang
pemimpin. Masyarakat juga tidak boleh memilih seorang pemimpin, hanya karena ia memiliki karakter selebritis, populer, dan memiliki wajah yang cantik atau ganteng!
Yang kedua para pemimpin harus mengingat kembali hakekat dari kepemimpinan, yakni proses penempaan karakter, pengorbanan diri, pengabdian, dan ketulusan! Keempat aspek ini berakar para satu prinsip, yakni prinsip askese. Prinsip askese berbunyi begini, ikatlah keinginan dan hasrat sesaatmu untuk mencapai keberhasilan dan keutamaan yang lebih luhur, dan memiliki dampak luas pada masyarakat. Prinsip askese ini yang semakin langka di dalam diri para pemimpin kita.
Seorang pemimpin sejati siap hidup asketis dalam kesederhanaan dan pengabdian! Ingatlah, Indonesia merindukan munculnya pemimpin sejati!
Indonesia dan Politik Eskapisme
Di dalam salah satu pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, bahwa demokrasi harus memperhatikan kesantunan. Dia meneladani sikap Nabi Muhammad yang bijak dan adil dalam memimpin berbagai kelompok yang berbeda latar belakang. Di tempat lain Wakil Presiden Budiono menyatakan, bahwa hidup ini penuh resiko, termasuk berbagai tuduhan politis yang datang padanya juga dipandang sebagai bagian dari resiko hidup. Dia menyatakan bahwa di senja hidupnya, ia akan mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. (Kompas, 27 Februari 2010)
Apa yang dapat kita analisis dari dua pernyataan para pemimpin bangsa ini? Di satu sisi Presiden SBY mencampurkan argumentasi politis dengan argumentasi
religius, yakni meneladan sikap hidup Nabi Muhammad yang menyebarkan salah satu agama terbesar di dunia.
Di sisi lain Wakil Presiden Budiono mencampurkan antara argumentasi politis dengan argumentasi eksistensial, yakni refleksi pribadi serta tujuan hidupnya. Keduanya menunjukkan gejala eskapisme, yakni melarikan diri dari permasalahan utama, dan bergerak ke retorika yang luhur, namun sesungguhnya tidak ada hubungan langsung. Keduanya menolak untuk berhadapan langsung dengan substansi masalah sebenarnya!
Eskapisme
Rupanya gejala melarikan diri dari substansi masalah ini sudah cukup umum. Di dalam salah satu opininya di harian Kompas, Ignas Kleden sudah mengajukan analisis atas fenomena ini dengan
menyatakan, bahwa para politikus harus berani menggunakan paradigma argumentum ad rem, yakni argumentasi yang langsung menghadapi isi persoalan, dan bukan berputar-putar untuk membingungkan. Dia menyoroti banyaknya kampanye partai dan presiden di 2009 yang tidak mampu melakukan hal ini.
Sebenarnya mengapa orang sering berargumentasi tidak langsung menghadapi isi permasalahan, tetapi malah berputar ke hal-hal yang tidak substansial? Saya setidaknya bisa menemukan tiga sebab. Yang pertama, sebab dari fenomena ‘melarikan diri dari substansi permasalahan’ ini adalah ketidakmampuan pihak terkait untuk berargumentasi.
Ketidakmampuan tersebut disembunyikan. Yang ditampilkan adalah pola komunikasi berputar yang seolah luhur, tetapi sebenarnya bertujuan untuk
menyembunyikan kelemahan! Hal semacam ini mudah sekali ditemukan di kalangan para pejabat publik, terutama yang sedang menjadi sorotan masyarakat.
Yang kedua, keinginan untuk menggeser tema masalah, sehingga kesalahan utama yang dilakukan menjadi tidak tampak. Inilah yang disebut mekanisme kamuflase, yakni mekanisme untuk memutar pola komunikasi sedemikian rupa, sehingga pembicaraan mengarah ke tema yang sama sekali berbeda, dan pihak terkait terselamatkan dari tuduhan ataupun pertanggungjawaban. Berbeda dengan sebab sebelumnya, keinginan untuk menggeser tema masalah didasarkan pada pengetahuan dan kemampuan penuh untuk berargumentasi. Pengetahuan dan kemampuan itu digunakan untuk mengarahkan wacana, dan meloloskan diri dari sorotan!
Yang ketiga, dorongan untuk mempertahankan citra menjadi alasan, mengapa orang melarikan diri untuk berdiskusi soal substansi masalah. Akar persoalan diabaikan. Yang dibicarakan adalah hal-hal luhur, sehingga yang terlihat adalah sosok yang baik, religius, dan tidak layak menjadi terdakwa. Seperti yang banyak dikatakan oleh para analis, politik Indonesia jauh lebih memperhatikan citra daripada isi. Hal ini pulalah yang mendorong para politikus mengumandangkan hal-hal luhur, dan melarikan diri dari diskusi yang sungguh serius dan kritis tentang hal-hal yang menjadi masalah di kehidupan bersama.
Akibat dari Politik Eskapisme
Apa akibat dari kecenderungan politik eskapisme, atau politik melarikan diri, ini? Saya melihat
setidaknya tiga akibat. Yang pertama, berbagai masalah yang ada di dalam kehidupan bersama tidak akan pernah terselesaikan, karena tidak pernah menjadi tema yang sungguh secara serius dan kritis dibicarakan di dalam ruang publik. Korupsi akan terus menjadi kanker di dalam kehidupan sosial!
Kepemimpinan yang efektif dan legitim akan menjadi sesuatu yang langka di dalam kehidupan politik. Semua itu terjadi karena tidak pernah ada diskusi tentang substansi masalah! Yang ada adalah seremonial politik yang penuh dengan retorika luhur, tetapi tidak tepat membidik masalah. Jika sudah begitu rakyat akan semakin tidak peduli dengan politik. Egoisme akan menjadi paham yang secara luas dianut masyarakat.
Solidaritas sosial menipis!
Inilah gejala kedua yang saya sebut sebagai kedangkalan
politik dan kultural. Semua bidang kehidupan tidak ada yang memiliki akar kuat, karena tidak pernah sungguh dipikirkan secara matang dan mendalam. Pendidikan berubah menjadi pabrik manusia. Kesehatan berubah menjadi bisnis untuk mengeruk keuntungan sebesar- besarnya. Politik menjadi ajang perebutan kuasa, dan bukan lagi soal pengabdian publik. Semua bidang kehidupan bersama akan menjadi dangkal, karena tidak pernah dipikirkan secara serius, namun hanya diisi dengan retorika-retorika luhur yang sebenarnya miskin substansi!
Mengingat itu semua bangsa Indonesia perlu untuk berani menatap substansi permasalahan. Politik eskapisme harus ditinggalkan! Pembenaran-pembenaran luhur bernada religius dan moral memang membuat situasi menjadi dingin, namun tidak pernah sungguh
menyelesaikan masalah. Ada waktunya kita bernostalgia tentang nilai-nilai kebaikan yang pernah ada. Namun ada waktunya kita bekerja secara efektif, efisien, dan kritis menanggapi berbagai persoalan-persoalan bersama dengan cerdas dan tepat guna!***
Manusia, Tulisan, dan Peradaban
Peradaban manusia dibentuk oleh pemikiran, dan pemikiran dirumuskan serta disebarkan melalui tulisan. Bangsa tumbuh dan hancur, namun ingatan atasnya tetap melekat dan menjadi kajian wacana.
Semua dimungkinkan karena adanya tulisan yang memotret dan mengabadikan peristiwa. Tulisan adalah kisah tentang jatuh bangunnya manusia memahami dan memaknai dirinya sendiri.
Tulisan juga merupakan tanda, bahwa manusia merupakan mahluk yang hidup dan memaknai dirinya dalam simbol. Manusia adalah mahluk yang berpijak sekaligus mencipta sejarah, dan sejarahnya menjadi abadi selama itu tertulis, serta diwariskan ke generasi
berikutnya. Maka tidak dapat diragukan lagi, budaya tulis menulis sangat penting untuk mengembangkan peradaban manusia secara keseluruhan.
Manusia dan Tulisan
Ernst Cassirer pernah menulis, bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni mahluk simbol.
(Cassirer, 1944) Manusia hidup, berkembang, dan memaknai eksistensi dirinya di dalam kepungan simbol.
Simbol tersebut bisa beragam, mulai dari bahasa, sampai dengan simbol-simbol matematis yang merupakan abstraksi dari realitas. Tidak hanya itu konsep ‘manusia’
pun sebenarnya suatu simbol yang mengabstraksi entitas bertubuh, berdarah, berdaging, berotot, dan mampu berpikir.
Cassirer lebih jauh berpendapat, bahwa manusia
adalah mahluk hidup yang selalu berada dalam lingkup ekosistem tertentu. Ekosistem inilah yang memberikan kehidupan pada manusia. Dalam arti ini secara lebih luas, manusia adalah mahluk yang hidup dalam simbol, dan simbol itulah yang memberikan arti bagi segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Salah satu simbol yang dominan di dalam peradaban manusia adalah tulisan. (Basyir, 2008)
Kebudayaan dan peradaban merupakan hasil dari perkembangan simbol. Manusia tidak lagi pasif di hadapan alam, melainkan menjadi aktif mengartikan dan memberi makna pada dunia secara personal. Ide muncul dari pemikiran, dan menyebar melalui tulisan. Tulisanlah yang membentuk peradaban, dan melepaskan manusia dari insting dasariah yang seringkali bersifat hewani.
Di sisi lain manusia adalah mahluk historis.
Identitasnya ditentukan oleh sejarah hidupnya. Ia menjadi apa yang ada sekarang, karena ia telah menempuh proses historis tertentu. Tidak hanya itu manusia pun adalah mahluk yang menyejarah. Ia terjun langsung secara kreatif mencipta ulang realitas seturut dengan pemikiran dan tindakannya.
Oleh karena itu peran dokumentasi yang permanen amatlah penting. Sejarah yang merentang ke masa lalu, masa kini, dan mengembang menjadi harapan ke masa depan perlu untuk digoreskan dengan tinta di atas kertas, supaya orang selalu jelas akan apa yang menjadi identitasnya. Ia pun bisa mewariskan ke generasi berikutnya. Tulisan adalah alat untuk mewariskan apa yang penting di masa lalu dan masa kini kepada generasi berikutnya.
Tulisan dan Peradaban
Tulisan juga melatih orang untuk menganalisis apa yang dilihat dan dialaminya. Di dalam proses menulis, orang diminta untuk sekaligus tenggelam dan mengambil jarak dari peristiwa. Sikap mengambil jarak itu memungkinkan orang untuk menganalisis dan berpikir kritis. Dalam arti ini tulisan bisa mengembangkan kesadaran kritis bagi orang-orang yang terbiasa melakukannya.
Dengan kesadaran kritis orang tidak lagi hanyut di dalam arus peristiwa, namun mampu mengambil jarak dan menentukan sikap. Peradaban adalah hasil dari kemampuan manusia untuk mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap alam semesta yang penuh dengan ketidakpastian. Dengan akal budinya manusia memahami dan mematuhi hukum-hukum alam. Namun di dalam kepatuhan itu, manusia justru bisa bersikap
bebas di hadapan alam, karena ia tidak lagi ‘dijajah’ oleh alam, melainkan mampu memanipulir hukum-hukum alam itu untuk memenuhi kebutuhannya. (Bacon, 1620)
Itulah sebenarnya hakekat dari teknologi dan peradaban.
Manusia mampu menaklukan alam justru dengan terlebih dahulu memahami serta mematuhi hukum-hukumnya.
Semua itu bisa berkembang, karena manusia mendokumentasikan hasil pengetahuannya dalam bentuk tulisan, dan kemudian menyebarkannya untuk memperoleh tanggapan. Tulisan adalah medium untuk mengasah dan mempublikasikan pemikiran, terutama yang berguna untuk menegaskan status manusia sebagai subyek yang mampu mencipta ulang realitas.
Dengan demikian tulisan memiliki peran penting di dalam proses penciptaan identitas, penegasan eksistensi, serta pembentuk peradaban manusia secara keseluruhan.
Sebuah masyarakat baru dikatakan beradab, jika budaya tulis sudah berkembang dan mengakar di dalam masyarakat tersebut. Indonesia juga perlu menjadikan tulis menulis sebagai budaya untuk menyampaikan pendapat dan menyebarkan pemikiran. Hal ini berlaku bukan hanya untuk kaum terdidik, tetapi untuk semua orang memiliki kepentingan dan pemikiran untuk didengar. Saya jadi teringat diktum lama; “yang terkatakan akan lenyap, yang tertulis akan abadi.”
Dengan berpikir serta menulis, manusia yang rapuh dan fana ini akan mampu mewujudkan mimpi kecilnya yang sampai sekarang masih terlihat mustahil, yakni berpartisipasi di dalam keabadian. ***
Homo Mimesis dan Plagiarisme
Belakangan ini Indonesia sedang dihebohkan oleh fenomena plagiarisme di dunia akademik. Fenomena yang menurut beberapa ahli merupakan puncak gunung
es dari bobroknya dunia pendidikan kita. Namun sejauh ini belum ada yang mengajukan analisis cukup mendalam terhadap fenomena terebut. Para guru besar ‘terhormat’
dari berbagai perguruan tinggi masih berperan sebagai moralis yang menilai plagiarisme sebagai sebuah kejahatan. Itu sebenarnya klise.
Tentu saja penilaian itu benar. Namun ada sesuatu yang lebih mendalam di dalam fenomena tersebut, yang bercokol pada kodrat manusia itu sendiri. Alih-alih berperan menjadi moralis bagaikan malaikat agung yang menilai kejahatan para plagiat, lebih konstruktif jika kita memahami pengandaian antropologis dari plagiarisme.
Dari titik ini kita bisa lebih bijak memahami gejolak jiwa para plagiat, dan tidak menghakimi sembarangan, seperti para moralis akademik yang merasa diri seperti malaikat.
Manusia sebagai Mahluk Peniru
Manusia adalah mahluk yang multidimensi. Salah satu dimensi yang tertanam di dalam kodratnya adalah hasrat untuk meniru, atau mimesis. Mimesis sendiri memiliki beragam arti, seperti imitasi, dan berbagai bentuk tindakan yang meniru suatu obyek tertentu. Dasar filosofis dari mimesi sangatlah dalam. Banyak pemikir sepanjang sejarah mencoba memahami fenomena mimesis ini. Mimesis adalah hasrat yang mendasari tindak plagiarisme.
Sebagaimana dibaca dari Wikipedia, Plato, seorang filsuf yang hidup di masa Yunani Kuno, berpendapat bahwa mimesis adalah hasrat manusia untuk meniru alam.
Hasrat mimesis ini kental ditemukan pada diri penyair dan pelukis, karena mereka menjadikan alam sebagai obyek kreativitas mereka. Dengan kata lain para pelukis
dan penyair meniru alam, dan mengubahnya menjadi obyek seni untuk diapresiasi. (Plato, The Republic) Apakah para pelukis ini bisa disebut plagiat alam, terutama karena mereka tidak mencantumkan catatan kaki di bawah lukisan mereka?
Murid Plato –Aristoteles- memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan gurunya. Ia yakin bahwa seni merupakan mimesis dari alam. Tidak hanya itu seni merupakan representasi sekaligus penyempurnaan dari alam. Ia menyatakan dengan jelas, bahwa manusia adalah mahluk peniru (homo mimesis). Manusia didorong dari dalam dirinya untuk merefleksikan alam semesta, dan menuangkannya dalam sebuah karya, baik karya seni maupun tulisan. (Wikipedia, 2010)
Di dalam masyarakat kita terdapat pepatah bijak, bahwa orang pertama kali belajar dengan meniru. Dengan
meniru orang terbantu untuk menemukan bentuk pemikirannya sendiri. Di balik pepatah tersebut terdapat pengandaian antropologis, bahwa manusia hidup dan berkembang dengan meniru. Kita berbicara, berjalan, berelasi, dan bahkan buang air dengan meniru orang- orang yang ada di sekitar kita. Manusia adalah homo mimesis. Apakah ketika kita berjalan, dan tidak mencantumkan ‘catatan kaki’ di mana kita belajar, kita disebut sebagai plagiat?
Mimesis dan Plagiarisme
Saya tidak mau membenarkan tindak plagiarisme. Tindakan tersebut jelas salah. Mengambil ide atau karya orang tanpa mencantumkan keterangan apapun jelas merupakan pelanggaran. Namun ada sisi lain yang perlu juga dilihat, yakni sisi manusiawi,
terutama manusia yang memang sudah dari akarnya adalah mahluk peniru (homo mimesis). Hukuman dan pandangan terhadap para pelaku tindakan plagiarisme juga harus mempertimbangkan faktor manusiawi ini, dan tidak menjadi moralis “malaikat” yang merasa tidak punya dosa, dan berubah menjadi hakim-hakim akademik dalam sekejap mata.
Jelaslah bahwa plagiarisme adalah tindakan yang berakar pada hasrat untuk meniru. Suatu tindakan meniru tidak akan disebut plagiarisme, selama mencantumkan keterangan secukupnya dari sumber yang diacu. Yang diperlukan adalah kejelian dari memberi catatan referensi. Kegagalan memberikan referensi juga memiliki banyak motif, mulai dari ketidaktahuan (karena tidak pernah diajari-ini yang banyak terjadi di Indonesia, terutama di kalangan mahasiswa!), ketidaksengajaan,
niat jahat untuk mencuri ide orang lain, atau mencari popularitas.
Berpijak pada fakta ini, maka cap plagiarisme jangan terlalu gampang diberikan. Tuduhan tersebut tidak boleh sembarangan diajukan, terutama untuk menjatuhkan nama baik, atau pembunuhan karakter.
Praduga tak bersalah tetap harus diutamakan, sampai terbukti sebaliknya. Masyarakat harus berhenti menjadi hakim-hakim akademik. Para nara sumber juga harus cukup bijak mempertimbangkan fakta sederhana, bahwa manusia hidup dengan meniru, dan tindak meniru itu seringkali tidak disertai dengan referensi. Dan juga bahwa motif plagiarisme itu beragam. Dibutuhkan kebijaksanaan untuk menilai, dan bukan emosi untuk menjatuhkan reputasi orang lain.***
Memahami Makna Persahabatan
Mengapa manusia bersahabat? Apa hakekat atau inti terdalam dari persahabatan yang mewarnai cerita Amir dan Hasan di dalam novel The Kite Runner?
Pertanyaan tersebut memang terdengar retoris, namun itulah yang muncul di kepala saya, ketika diminta untuk menuliskan beberapa patah kata mengenai
persahabatan. Sejarah filsafat penuh dengan refleksi soal persahabatan. Dan karena psikologi adalah anak kandung filsafat, maka ada baiknya saya memperkenalkan anda dengan sebuah refleksi filsofis tentang persahabatan.
Hakekat Persahabatan
Ijinkan saya memperkenalkan mas Plato, seorang filsuf yang hidup lebih dari 2400 tahun yang lalu.
Dapat juga dikatakan Plato adalah filsuf pertama yang membuka percakapan yang sifatnya rasional dan sistematis di dalam sejarah pemikiran manusia. Apa pendapatnya tentang hakekat persahabatan? Coba kita teliti pandangannya.[1]
Di dalam persahabatan terselip sebuah kata dan konsep luhur yang seringkali digunakan, namun sulit
sekali untuk dipahami; cinta. Dapat pula dikatakan pendapat Plato tentang persahabatan terkait dengan pendapatnya soal cinta. Apa itu cinta? Menjawab pertanyaan itu Plato memperkenalkan tiga konsep; philia, eros, dan agape.
Secara singkat philia dan eros adalah jenis cinta yang masih berfokus pada kualitas orang yang dicintai.
Misalnya saya mencintai kamu, karena kamu ganteng, cantik, pintar, dan sebagainya. Jadi tindak mencinta (termasuk bersahabat) muncul, karena orang yang dicintai memiliki kelebihan tertentu. Eros biasanya terkait dengan cinta yang melibatkan nafsu seksual. Eros dengan mudah ditemukan pada pasangan yang tengah bercinta.
Sementara philia adalah cinta antar saudara, teman, sahabat, rekan kerja, ataupun cinta terhadap
orang-orang yang berasal dari bangsa maupun suku yang sama. Persahabatan antara Amir dan Hasan sangat mungkin didasarkan pada philia yang sangat kuat. Cirinya ada dua yakni keduanya mengagumi sosok sahabatnya (Amir ke Hasan, dan Hasan ke Amir), serta keduanya merasa kecewa, terutama ketika menghadapai fakta, bahwa sahabatnya ternyata tidak sesuai dengan persepsi yang mereka bangun masing-masing. Ciri khas philia dan eros adalah, bahwa keduanya hancur, ketika orang yang kita cintai (termasuk sahabat) tidak lagi menjadi seperti yang kita inginkan.
Bagi Plato tingkat cinta tertinggi adalah agape, yakni cinta yang tidak lagi berfokus pada keunggulan ataupun kehebatan orang yang dicintai, melainkan justru ingin mengembangkan orang yang dicintai untuk mempunyai keunggulan yang sebelumnya tidak ada.
Dengan kata lain cinta agape adalah cinta yang membangun. Orientasi utama agape bukanlah kepentingan dan kepuasan diri, melainkan kepentingan dan perkembangan orang yang dicintai. Dengan mudah kita menemukan cinta ini pada ibu yang merawat anaknya dengan penuh kasih sayang, dan seorang suami yang dengan setia dan tulus mencintai istri dan anaknya.
Alasan Persahabatan
Dengan filsafatnya tentang cinta (yang memang menjadi dasar kokoh untuk persahabatan), Plato tetap tidak menjawab pertanyaan mengapa manusia bersahabat. Ia menjelaskan hakekat persahabatan, namun tidak menjelaskan alasan mengapa orang bersahabat. Muridnya yang bernama Aristoteleslah yang akan menjawab pertanyaan ini. Uraiannya tentang
persahabatan terdapat di dalam bukunya yang legendaris, Nicomachean Ethics.
Menurut Aristoteles ada tiga alasan orang menjalin persahabatan, yakni kenikmatan (hedonic/pleasure), kegunaan (utility), dan keutamaan (arete/virtue). Artinya sederhana saya bersahabat dengan anda, karena anda memberikan saya kenikmatan (pleasure), seperti bisa diajak diskusi, pintar, suka berbagi ilmu, suka mentraktir saya, suka berpetualang bersama (untuk yang suka jalan-jalan), atau suka membelikan saya barang-barang mewah. Alasan lainnya adalah bahwa saya bersahabat dengan anda, karena anda berguna untuk saya. Ketika menjelang ujian anda mau membagikan ilmu dengan diskusi, atau dengan berteman dengan anda, saya memiliki koneksi lebih banyak, serta motif-motif ‘berguna’ lainnya. Dan alasan
ketiga adalah, saya bersahabat dengan anda, karena anda adalah orang yang memiliki keutamaan, seperti anda rendah hati, murah hati, sabar, penyayang, dan sebagainya.
Dari pemaparan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa bagi Aristoteles persahabatan tidak pernah sungguh-sungguh murni, karena selalu diwarnai motif- motif di balik persahabatan itu. Namun begitu tidak berarti persahabatan lalu menjadi ternoda. Justru di dalam konsep persahabatan sudah selalu terkandung konsep ‘motif’, yakni motif kenikmatan, kegunaan, dan keutamaan. Persahabatan dan motif tidaklah bisa dipisahkan.
The Kite Runner
Persahabatan Amir dan Hasan adalah persahabatan yang
didasari oleh cinta. Seperti sudah saya tekankan sebelumnya, dasar dari hubungan mereka adalah philia, yakni cinta yang berorientasi pada persaudaraan. Sekilas philia memang tampak luhur, namun philia juga sangatlah rapuh, karena ketika orang yang dicintai tidak lagi sesuai dengan gambaran kita, maka kita dapat segera meninggalkannya. Akhir dari philia adalah kekecewaan, karena harapan yang tidak menjadi kenyataan. Hal itu dengan jelas dapat terlihat di dalam tragedi yang memisahkan Amir dan Hasan.
Pada hemat saya hubungan Amir dan Hasan adalah hubungan yang mencerminkan ketiga motif yang diutarakan oleh Aristoteles. Amir mengagumi Hasan karena ia memiliki keutamaan (berani, gagah, dan sebagainya). Keduanya mendapatkan keuntungan (kegunaan) dari relasi persahabatan mereka. Akibatnya
persahabatan pun membawa kenikmatan (pleasure) bagi keduanya, yakni kenikmatan yang muncul dari rasa kebersamaan dan persaudaraan. Itulah motif-motif yang mendasari persahabatan mereka. Namun dasar itu tetaplah lemah, karena masih melulu didasarkan pada philia.
Kunci sukses terpenting (berdasarkan pemaparan ini) di dalam dunia perkuliahan (dan juga di dalam kehidupan) adalah persahabatan, dan bagaimana mengelola persahabatan itu. Dari Plato kita semua bisa belajar untuk memiliki cinta konstruktif kepada orang yang kita cintai (termasuk sahabat kita), yakni cinta yang membangun dan mengembangkan. Dari Aristoteles kita bisa belajar untuk memiliki cinta yang berkeutamaan, yakni cinta yang mau belajar untuk menjadi orang yang berkeutamaan (rendah hati, jujur, sabar, murah hati,
rajin) dari orang yang kita cintai.
Cinta yang membangun (agape), dan cinta yang mau belajar untuk berkeutamaan (virtue), adalah kunci sukses kehidupan. Bentuklah pemikiran seperti ini sedari awal, maka segalanya (termasuk harta, kuasa, dan kebahagiaan sejati) akan ditambahkan kepadamu. Have faith and have hope (yakin dan berharaplah).***
Demokrasi Cacat Hati Nurani
Jumat 5 Februari 2010, ratusan imigran asal Sri Lanka memasuki Indonesia, tepatnya di kawasan Cilegon, Provinsi Banten. Beberapa di antara mereka sakit. Ada satu orang yang telah meninggal dunia. Sampai saat ini belum ada keputusan final soal status para imigran tersebut. Pejabat setempat masih menunggu perintah dari pemerintah pusat. Memang para imigran yang sakit telah memperoleh perhatian medis. Namun sebagian di antara mereka telah ditempatkan di rumah detensi di Jakarta (Kompas, Sabtu 6 Februari 2010) Mereka terjebak tanpa status legal di tanah asing.
Apa hubungan antara keberadaan para imigran tersebut dengan demokrasi, terutama aspirasi Indonesia untuk sepenuhnya menjadi negara demokratis yang sejahtera dan sehat secara politis? Dengan lugas dapatlah dikatakan, bahwa perhatian yang penuh hormat
dan empati kepada para imigran adalah ekspresi konkret dari nilai-nilai demokrasi yang paling mendalam.
Empati pada para imigran adalah suatu sikap yang sepenuhnya beririsan dengan nilai-nilai demokrasi, terutama nilai-nilai hak-hak asasi manusia universal. Di dalam masyarakat demokratis, hak-hak asasi manusia adalah suatu postulat yang menjadi dasar dari semua kebijakan maupun praktek politis.
Sikap Pemerintah Indonesia yang mengabaikan para imigran, seolah mereka itu binatang yang menjadi beban, adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai demokrasi tidak sungguh dihidupi. Dalam arti ini demokrasi telah berfungsi dengan mengabaikan hati nurani. Demokrasi menjadi impersonal, dan seringkali mengorbankan manusia untuk memastikan terlaksananya prosedur.
Indonesia adalah negara demokratis yang cacat hati
nurani.
Dekonstruksi Stigma
Yang perlu untuk terus ditegaskan adalah, bahwa lepas dari semua kekurangan yang mereka miliki dan beban yang mereka bawa, imigran adalah manusia.
Konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah; mereka memiliki hak-hak asasi yang bersifat inheren di dalam kemanusiaan mereka, lepas dari status legal politis yang mungkin tidak jelas.
Beberapa hak-hak asasi yang bersifat fundamental adalah hak untuk hidup, hak untuk secara bebas mengejar aspirasi kehidupan, dan hak untuk memperoleh serta mempertahankan kepemilikan. Dari ketiga hak tersebut dapat dijabarkan hak asasi untuk mendapatkan perawatan kesehatan, fasilitas pendidikan, dan pekerjaan
manusiawi. Hak-hak inilah yang wajib untuk dimiliki oleh para imigran.
Banyak orang berpendapat bahwa imigran adalah beban.
Mereka adalah manusia yang tidak berguna, pelarian, orang bodoh, miskin, dan pemalas. Ini adalah stigma yang telah lama dilekatkan pada diri imigran. Pandangan ini tidak memiliki dasar yang kokoh.
Imigran bukanlah alien. Mereka memang berbeda suku, bangsa, ataupun agama dari kita, namun mereka adalah manusia, sama seperti manusia-manusia lainnya. Dalam bahasa filsafat pasca modernisme, imigran adalah “yang lain” (berbeda suku dan agama), namun tetap dalam kaitan dengan “yang sama” (manusia) dengan kita.
(Levinas, 1985) Mereka berbeda sekaligus sama dengan kita. Di mana kesamaannya?
Imigran adalah orang-orang yang melarikan diri dari
tanah kelahirannya, baik karena bencana alam ataupun bencana sosial dalam bentuk represi politis, kemiskinan, perang, penyakit, dan sebagainya. Mereka di dorong oleh hasrat untuk pelestarian diri (self-preservation). Hasrat ini berpijak pada hasrat yang lebih mendasar yang bercokol di dalam kodrat manusia, yakni hasrat untuk menyelamatkan diri (survival). (Hobbes,1651) Dua hasrat ini dimiliki oleh semua manusia, lepas dari suku, ras, bangsa, jenis kelamin, ataupun agama. Dalam arti ini kita sama dengan para imigran.
Jika anda mengalami perang saudara, wabah penyakit mematikan, bencana alam yang menghancurkan semua milik anda, kemiskinan akut karena ketidakadilan politis, atau pengejaran oleh penguasa karena anda dianggap pengkhianat, maka hasrat untuk menyelamatkan diri akan mendorong anda untuk mencari tempat aman di
daerah asing. Ini adalah hasrat dan tindakan yang manusiawi. Inilah yang dirasakan oleh para imigran.
Imigran adalah orang yang hidup dalam situasi terjepit.
Dan di dalam situasi terjepit, seperti pernah dinyatakan oleh Anthony Giddens, kesadaran diskursif untuk bersikap kreatif dan inovatif akan bertumbuh dan menjadi semakin tajam. (Giddens, 1989) Para imigran siap bekerja keras. Mereka rela mengerjakan pekerjaan- pekerjaan berat, supaya bisa hidup layak sebagai manusia di tanah asing. Dalam bahasa manajemen para imigran adalah aset sumber daya manusia yang berharga untuk perkembangan bangsa, selama ditata secara tepat dan manusiawi.
Dengan demikian stigma bahwa imigran adalah bebas tidaklah benar. Jika dipahami dan ditata secara tepat serta manusiawi, imigran bisa menjadi bagian integral
dari sebuah bangsa, dan bahkan bisa menjadi pendorong kreatifitas ekonomi maupun kultural. Cara pandang yang merendahkan dan meremehkan imigran haruslah diubah.
Imigran juga manusia sama seperti kita semua.
Demokrasi dan Imigran
Demokrasi berdiri atas pilar pengakuan, penghormatan, dan penerapan hak-hak asasi manusia.
Demokrasi berdiri dan berkembang secara maksimal di atas pluralisme. Demokrasi memberi ruang bagi warga untuk memperjuangkan kesejahteraannya masing- masing sejalan dengan hukum yang adil. Demokrasi adalah pemerintahan dengan berpijak pada hati nurani yang peka pada kebutuhan dan kegelisahan rakyat.
Demokrasi Indonesia pun harus memiliki hati nurani yang terwujud dalam perhatian penuh hormat dan
empati pada para imigran. Stigma imigran sebagai beban haruslah dilenyapkan secara perlahan. Tanda kebesaran sebuah bangsa adalah seberapa ramah bangsa tersebut terhadap pihak yang paling lemah di dalamnya, yang dalam hal ini adalah para imigran. Demokrasi menjadi hidup ketika dihayati dan diterapkan dengan hati nurani.
Demokrasi yang berjalan tanpa hati nurani bukanlah demokrasi, melainkan tirani.***
Demokrasi Penuh Kontradiksi
Jumat 29 Januari 2010, Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, diinterogasi oleh Komisi Penyelidikan Perang Irak di London, Inggris. Selama enam jam Blair diminta bersaksi dalam dengar pendapat (hearing) tentang dukungan Inggris untuk menyerang Irak pada 2003 lalu. Walaupun pada waktu itu sebagian besar rakyat Inggris menentangnya, Blair tetap nekat mengirimkan tentara Inggris untuk membantu Amerika Serikat menginvasi Irak. Kini ia diminta bertanggung jawab atas keputusannya itu. (Kompas, 30 Januari 2010)
Demokrasi dan Kontradiksi
Ada dua hal yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini.
Yang pertama, elit politik tidak kebal hukum. Hukum menjadi tolok ukur utama bagi penentuan keputusan.
Ketika orang yang paling berkuasa melanggarnya, dan dengan demikian menusuk rasa keadilan masyarakat, maka ia juga akan dikenakan sanksi legal.
Para elit politik di Indonesia juga tidak boleh kebal hukum. Tugas masyarakatlah untuk memastikan, bahwa semua elit politik maupun ekonomi yang melanggar hukum, dan menodai rasa keadilan masyarakat, harus menerima sanksi legal yang memadai. Tentu saja tantangan pasti datang beragam dengan intensi yang besar. Namun walaupun bumi hancur, keadilan tetap harus ditegakkan. Inilah prinsip yang tidak bisa diubah.
Yang kedua, pemerintah sesungguhnya dari sebuah negara adalah rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya, dan kemudian wakil-wakil tersebut duduk bersama untuk merumuskan hukum dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat. Relasi antara rakyat-perwakilan- hukum itu adalah sistem di dalam masyarakat demokratis. Sistem itulah penguasa politis sesungguhnya.
Ketika para wakil dan elit politik yang memerintah membuat hukum ataupun kebijakan yang merugikan rakyat, maka terjadi kontradiksi kekuasaan. Stabilitas politis goyah. Peluang untuk terjadinya perubahan muncul, entah ke arah yang baik ataupun justru buruk.
Oleh karena itu elit politik perlu untuk terus mengontrol dirinya sendiri dan memastikan, bahwa manuver politis yang mereka buat berpihak pada kepentingan rakyat.
Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah elit politik
seolah kebal hukum. Penguasa sesungguhnya bukanlah rakyat, melainkan para elit politik maupun ekonomi yang memainkan pion kekuasaan di meja-meja nyaman mereka. Sulit untuk membayangkan dua hal ini terjadi di sebuah negara yang mengklaim dirinya demokratis. Inilah esensi dari demokrasi yang penuh dengan kontradiksi, yakni demokrasi yang menghancurkan prinsip-prinsip dasarnya sendiri. Indonesia adalah negara demokrasi yang penuh dengan kontradiksi kekuasaan di dalamnya.
Hakekat Kekuasaan
Ketika orang tersesat maka ia perlu kembali meniti jalannya dari awal. Dan ketika orang mengalami disorientasi dalam hidupnya, maka ia perlu untuk menanyakan kembali tujuan awal ia bertindak, dan bahkan tujuan awal hidupnya. Demokrasi yang penuh
dengan kontradiksi adalah sebuah tanda disorientasi.
Para elit politik sudah tersesat. Mereka tidak bisa membedakan antara kepentingan publik yang harus mendapat prioritas, dan kerakusan kepentingan privat yang harus ditunda terlebih dahulu.
Jika meniti jalan sampai ke awal, kita akan menabrak sebuah pertanyaan sederhana, apa hakekat kekuasaan? Para filsuf politik sepanjang sejarah telah berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Di dalam masyarakat totaliter, hakekat kekuasaan adalah pemuasan kebutuhan sang pemimpin. Sebagai timbal baliknya sang pemimpin akan membuat rakyatnya sejahtera, namun itupun bukanlah sebuah kewajiban.
Kesejahteraan rakyat bisa terjadi, karena kebaikan hati sang pemimpin.
Pada masyarakat teokratis kekuasaan adalah
untuk memuliakan Tuhan yang ada di dalam suatu tradisi agama tertentu. Negara diperintah dengan mengacu secara harafiah pada ajaran agama tertentu.
Kesejahteraan rakyat menjadi nomor dua. Jika rakyat sejahtera akibat pemerintahan teokratis, maka itu hanyalah akibat sampingan, dan bukan tujuan utama.
Kedua bentuk kekuasaan di atas sudah banyak ditinggalkan, walaupun belum sepenuhnya. Kritik atas dua bentuk kekuasaan tersebut melahirkan bentuk kekusaan baru, yakni kekuasaan demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, kekuasaan ada di tangan rakyat yang kemudian secara bebas memilih wakil-wakilnya di pemerintahan eksekutif. Para wakil tersebut kemudian merumuskan hukum dan kebijakan yang menjadi protokol pengaturan negara. Pada titik ini kekuasaan tertinggi ada di tangan hukum yang merupakan cerminan
langsung dari kehendak rakyat.
Di Indonesia sekarang ini, seperti sudah ditegaskan sebelumnya, demokrasi menelan prinsip- prinsipnya sendiri. Elit politik yang dipilih rakyat berada lebih tinggi dari hukum. Akibatnya ketika mereka merugikan rakyat, mereka lolos begitu saja tanpa sanksi legal. Para wakil rakyat semakin jauh dari usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi sungguh mengalami kontradiksi. Cara untuk mengurangi kontradiksi itu adalah dengan mengingat dan menegaskan kembali hakekat kekuasaan di dalam masyarakat demokratis.
Ketika tersesat kita perlu untuk meniti jalan ke awal berdirinya negara Indonesia. Kontradiksi di dalam demokrasi Indonesia tidak boleh berbuah menjadi anarki ataupun revolusi berdarah. Sebaliknya kontradiksi harus
dilampaui dengan menciptakan sintesis demokrasi. Dan mungkin suatu saat, kita bisa berbesar hati mengadili para pemimpin kita yang korup di hadapan hukum yang sah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Inggris terhadap Tony Blair. Semoga.***
Diplomasi Tanpa Keadilan
Dalam salah satu pernyataan persnya, Marty Natalegawa,
Menteri Luar Negeri RI, menyatakan, bahwa Indonesia akan menempatkan diplomasi untuk mencapai konsensus sebagai paradigma hubungan luar negerinya pada tahun 2010. Diplomasi yang bermuara pada konsensus akan menjadi senjata utama Indonesia untuk menanggapi isu- isu bilateral dan multilateral dunia, baik yang berskala domestik, internasional, ataupun intermestik, yakni ketika perbedaan antara isu domestik dan internasional tidak terlalu jelas. (Kompas, 9 Januari 2010)
Sekilas argumen tersebut terlihat masuk akal dan luhur.
Namun ada problem besar di baliknya. Apakah konsensus itu semata-mata merupakan bentuk konformisme terhadap dunia internasional, dan mengakibatkan kepentingan fundamental RI, seperti soal TKI dan batas- batas teritorial Indonesia, dikorbankan demi rasa aman dan reputasi? Apakah diplomasi dan konsensus itu adalah
selubung untuk menutupi ketakutan, kepengecutan, dan ketidakmampuan RI untuk menegaskan hak-haknya sebagai bangsa yang berdaulat? Atau diplomasi sungguh upaya yang tulus untuk menyelesaikan konflik dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan fundamental kedua belah pihak yang terlibat konflik?
Diplomasi untuk mencapai konsensus adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan tegangan ataupun konflik di berbagai bidang. Namun diplomasi tidak harus mencapai konsensus, terutama bila ada pihak yang kepentingan- kepentingan fundamentalnya dirugikan. Disensus –lawan dari konsensus- dimungkinkan terjadi demi terwujudnya rasa keadilan. Politik luar negeri RI tidak boleh mencerminkan kepengecutan dalam bentuk hasrat berlebihan untuk mencapai konsensus, namun pada akhirnya mengakibatkan terlukanya rasa keadilan
masyarakat.
Disensus dan Pascamodernisme
Di dalam filsafat, seni, dan ilmu-ilmu sosial, paradigma pascamodernisme lahir sebagai revolusi terhadap semua bentuk pemikiran yang memiliki klaim universal. Salah seorang pemikir pascamodernis, Jean- Francois Lyotard, menyatakan bahwa narasi-narasi besar, yakni pemikiran-pemikiran universal, telah kehilangan legitimasinya, dan tidak lagi menjadi otoritas tunggal di dalam dunia. Yang lahir kemudian adalah narasi-narasi kecil yang tertanam pada lokalitas kultur ataupun cara pandang dunia tertentu. (Lyotard, 1979) Akibatnya perbedaan lebih penting daripada kesatuan, dan disensus –ketidaksepakatan- lebih mendapatkan prioritas dari konsensus yang seringkali hanya menutupi fakta
ketidakadilan di belakangnya.
Argumen Lyotard tersebut menggetarkan dunia filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada jamannya. Filsafat yang selama berabad-abad mengendepankan pencarian kebenaran dalam bentuk sintesis yang absolut, baik secara sekular maupun religius, kini berhadapan dengan tantangan dari berbagai penjuru. Perbedaan (difference) dan disensus dianggap lebih mampu menampung keadilan daripada kesatuan (unity) dan konsensus.
Perbedaan dan disensus menunjukkan keterbukaan pada ketidakpastian realitas, serta kerendahan hati untuk terus mencari solusi dengan tetap mempertahankan ketegasan jati diri.
Politik luar negeri Indonesia tahun 2010, seperti yang diutarakan oleh Marty Natalegawa, perlu untuk memperhatikan catatan dari Lyotard tersebut. Kerinduan
berlebihan untuk mencapai konsensus, tanpa ada upaya untuk menegaskan jati diri dan –jika perlu- menciptakan disensus, hanya akan mengorbankan rasa keadilan masyarakat. Itulah kiranya yang menjadi politik luar negeri Indonesia selama ini. Terlihat di dalamnya sikap pengecut, cari aman, dan konformisme berlebihan yang berselubungkan retorika luhur ‘diplomasi untuk mencapai konsensus’, namun faktanya justru mengorbankan kepentingan fundamental bangsa, serta mencoreng rasa keadilan masyarakat.
Diplomasi adalah sarana untuk memperjuangkan hak-hak bangsa, dan bukan sarana untuk mengorbankan hak-hak bangsa demi mencari keamanan sesaat.
Konsensus yang Sejati
Pandangan Lyotard ditantang oleh seorang
pemikir Jerman yang bernama Jürgen Habermas. Baginya politik disensus tidak akan menyelesaikan masalah- masalah masyarakat. Politik disensus akan bermuara pada anarkisme yang akhirnya menghancurkan masyarakat itu sendiri. Maka diplomasi untuk mencapai konsensus adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan politik yang stabil sekaligus adil. Namun diplomasi yang macam apa?
Habermas memberi catatan tentang syarat- syarat untuk mencapai diplomasi yang adil. Secara sederhana ia menulis, bahwa diplomasi haruslah mematuhi setidaknya tiga rambu, yakni jujur, benar, dan komprehensif. Jujur berarti menyatakan fakta seadanya tanpa rekayasa. Benar berarti mengikuti jalur logika argumentasi yang bisa diterima oleh akal sehat.
Komprehensif berarti diplomasi berpijak pada data yang
menyeluruh, dan berorientasi pada konsensus yang menyeluruh pula. Tujuan akhir dari diplomasi –Habermas menyebutnya diskursus- adalah konsensus rasional yang bebas dominasi. (Habermas, 1994)
Walaupun tampak berseberangan Lyotard dan Habermas sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni mencipakan keadilan melalui diplomasi. Lyotard ingin memberikan ruang bagi keadilan di dalam konsensus semu yang seringkali terjadi. Ruang keadilan itu disebutnya sebagai disensus. Sementara Habermas ingin menegaskan kembali hakekat dari diplomasi, yakni untuk mencapai konsensus rasional yang bebas dominasi yang menjadikan keadilan sebagai tujuan utamanya.
Politik luar negeri Indonesia perlu untuk memperhatikan catatan dari dua pemikir besar dunia ini.
Diplomasi untuk mencapai konsensus memang jalan yang
baik dan layak diperjuangkan. Namun konsensus haruslah merupakan konsensus yang sejati, yang dibangun atas dasar komunikasi yang jujur, benar, dan komprehensif.
Jika itu tidak bisa dicapai, maka disensus adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam situasi semacam ini, disensus adalah jalan untuk mencapai keadilan. Kita tidak boleh terpesona oleh slogan-slogan luhur, seperti diplomasi untuk mencapai konsensus, dan lupa, bahwa seringkali slogan-slogan luhur hanyalah selubung dari ketidakadilan yang bersembunyi di belakangnya.***
Bersembunyi di Balik Birokrasi
Birokrasi adalah prosedur yang diselimuti aturan untuk memperlancar proses kerja dan menghindari kebocoran administratif. Kebocoran administratif itu bisa berupa penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada kerugian ekonomis dan kerugian sosial (social lost) dalam bentuk krisis kepercayaan. Jelaslah bahwa alasan keberadaan birokrasi adalah sesuatu yang positif. Namun dalam prakteknya birokrasi seringkali menjadi penghalang perubahan ke arah yang lebih baik, sekaligus sebagai pembunuh kreatifitas.
Banyak orang yang bersikap pengecut bersembunyi di balik birokrasi untuk mematahkan gejolak perubahan,baik dalam hukum maupun dalam praksis
manajemen sehari-hari. Alasan sebenarnya adalah ketakutan untuk berubah dan ketakutan untuk kehilangan posisi. Namun alasan tersebut dibalut dengan argumentasi birokratis, guna menutupi mentalitas pengecut yang bersembunyi di baliknya. Birokrasi menjadi pembenaran bagi sikap pengecut dan ketakutan berlebihan pada sesuatu yang tidak diketahui (fear of the unknown).
Sistem dan Rasionalitas Instrumental
Darimanakah akar pemikiran untuk mendirikan birokrasi di negara modern maupun perusahaan bisnis?
Menurut Horkheimer dan Adorno, birokrasi adalah nyawa dari sistem di dalam pemerintahan maupun bisnis modern. (1944) Sistem sendiri menurut Niklas Luhmann, seorang pemikir teori sistem, bertujuan untuk