• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTINBÂTH HUKUM MELALUI PENDEKATAN KAIDAH LUGHOWIYYAH DAN KAIDAH MAQÂSHIDIYYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ISTINBÂTH HUKUM MELALUI PENDEKATAN KAIDAH LUGHOWIYYAH DAN KAIDAH MAQÂSHIDIYYAH"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

munasbauai. com

[30]

ISTINBÂTH HUKUM MELALUI PENDEKATAN KAIDAH LUGHOWIYYAH DAN KAIDAH MAQÂSHIDIYYAH

Ali Mutakin

1

dan Lusi Marwati

2

Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman Parung, Bogor Email: ni5316627@gmail.com dan lusimarwati272@gmail.com

ABSTRACT

Efforts to extract Islamic law from its sources (istinbath al-ahkâm) will not produce adequate results, except by taking appropriate approaches, which are supported by adequate knowledge, especially regarding legal sources. istinbâth al-ahkâm is closely related to the texts (Al-Qur'an and Hadith), the soul and purpose of the Shari'a. Therefore, the use of linguistic rules approach (lughowiyyah) and maqâshid al-syarî'ah (maqâshidiyyah) rules is a necessity. The use of an approach through linguistic rules is important because the study will involve shari'a texts, while the approach through maqâshid al-syarî'ah is important because the study involves the will of shari'a, which can only be known through the study of maqâshid al-syarî'ah. This article aims to analyze and describe legal istinbâth through the approach of linguistic rules and maqâshid al- syarî'ah rules. This study is a literature review that uses a qualitative approach. The primary data sources used are ushul fiqh books, while the secondary data sources are several books and articles related to the subject matter. This article finds that: 1) linguistic rules are the pillars of the study of ushûl al-fiqh (the istinbâth method), by which mujtahids can explore and derive laws from the Qur'an and the Hadith of the Prophet, therefore it is an unreasonable thing if someone those who do not understand Arabic will be able to take maximum legal rest from the Qur'an and hadith in Arabic; 2) understanding the text and extracting the law must be based on linguistic instructions and understanding the rules of the Arabic language as well as the prophet's instructions in understanding the legal content of the Qur'an and the explanation of the hadith on the legal content of the Qur'an; 3) In addition to linguistic rules, one of the ways or media to understand the goals behind dynamic and moderate Islamic law from the source of the Qur'an and hadith is through the rules of maqâshid al-syarî'ah, which is an important part from the science of ushul al-fiqh.

Keywords: Istinbath law, lughowiyyah rules, maqashidiyyah rules

ABSTRAK

Upaya penggalian hukum Islam dari sumber-sumbernya (istinbâth al-ahkâm) tidak akan membuahkan hasil yang memadai, kecuali dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama menyangkut sumber hukum. istinbâth al-ahkâm erat kaitannya dengan nash (Al-Qur’an dan Hadits), jiwa dan tujuan syariat. Oleh karenanya, penggunaan pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan (lughowiyyah) dan kaidah-kaidah maqâshid al-syarî‘ah (maqâshidiyyah) merupakan suatu keniscayaan. Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan menjadi penting karena kajian akan menyangkut nash (teks) syariat, sedangkan pendekatan melalui maqâshid al-syarî‘ah menjadi penting karena kajian menyangkut kehendak syâri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqâshid al-syarî‘ah.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis serta mendiskripsikan istinbâth hukum melalui pendekatan kaidah kebahasaan dan kaidah maqâshid al-syarî‘ah. Kajian ini merupakan kajian kepustakaan yang menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data primer yang digunakan adalah kitab-kitab ushul fikih, sedangkan sumber data sekundernya berupa beberapa buku dan artikel yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Artikel ini menemukan bahwa: 1) kaidah kebahasaan merupakan pilar kajian ushûl al-fiqh (metode istinbâth), yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi, oleh karenaya

(2)

munasbauai. com

[31]

suatu hal yang tidak masuk akal kalau seseorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat beristinbath hukum secara maksimal dari al-Qur’an dan hadis yang berbahasa Arab; 2) pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab serta petunjuk nabi dalam memahami kandungan hukum al- Qur’an dan penjelasan hadits atas kandungan hukum Al-Qur’an itu; 3) Di samping kaidah kebahasaan, salah satu cara atau media untuk memahami tujuan-tujuan di balik hukum Islam yang dinamis dan moderat dari sumbernya Al-Qur`an dan hadits adalah melalui kaidah-kaidah maqâshid al-syarî‘ah, yang merupakan bagian penting dari ilmu ushul al-fiqh.

Katakunci: Istinbâth hukum, kaidah lughowiyyah, kaidah maqâshidiyyah

PENDAHULUAN

Islam adalah agama samawi yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman seluruh umat manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat. Sebagai agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir, Islam telah memberikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan secara sempurna sebagaimana telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surat al- Maidah ayat 3. Pada ayat tersebut Allah menjelaskan sendiri melalui firmannya bahwa Allah telah menyempurnakan agamanya, serta mecukupkan hanya pada agama Islamlah yang diridloinya.

Meskipun demikian, bukan berarti seluruh aspek kehidupan umat manusia telah dijelaskan secara rinci oleh al-Qur'an dan hadits, yang keduanya merupakan sumber induk dari seluruh ajaran islam yang keduanya secara langsung turun dari syari’ (pembuat syariat) untuk dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Hal ini dapat dilihat, betapa sedikitnya ayat-ayat suci al-Qur'an yang menjelaskan tentang 'aqidah, ibadah dan mu'amalah. Menurut perhitungan para ulama, ayat-ayat al-Qur'an berjumlah 6236, sebagian terbesar dari jumlah tersebut berisi keterangan tentang kisah para nabi, para rasul, kitab-kitab yang mereka bawa serta riwayat tentang umat masing-masing. Kisah-kisah tersebut sangat diperlukan untuk dijadikan peringatan dan teladan bagi umat manusia dalam mengatur dan menjalani, hidup di dunia ini. Komponen terbesar pada Ayat Al-Qur’an adalah menjelaskan tentang fenomena alam di sekitar manusia yang perlu direnungkannya atau ayat-ayat kauniyyahnya.

Jika dikalkulasikan, serta dikelompokan, maka didapatkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkan tentang 'aqidah, ibadah dan mu'amalah kurang lebih hanya 500 ayat, dengan perincian 130 ayat untuk 'aqidah, 140 ayat untuk ibadah dan 230 ayat untuk mu'amalah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa kesempurnaan agama Islam bukanlah

(3)

munasbauai. com

[32]

terletak pada penjelasan al-Qur'an secara rinci terhadap setiap persoalan yang dihadapi umat manusia, melainkan pada kandungannya yang berisi ajaran-ajaran dasar dan pokok.1

Sebab jika al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran Islam menjelaskan secara rinci terhadap seluruh persoalan yang dihadapi umat manusia, maka agama Islam justru akan kehilangan relevansi dengan dinamika masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur'an pada umumnya hanya mengandung ajaran- ajaran Islam dalam bentuk dasar-dasar dan pokok-pokok, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang perincian dan tata cara pelaksanaannya. Kemudian dalam batas-batas tertentu, terutama dalam bidang ibadah, Hadits memberikan penjelasan tentang perincian dan tatacara pelaksanaan ajaran-ajaran pokok yang dikandung oleh al-Qur’an tersebut. Dalam bidang mu'amalah (hidup kemasyarakatan), pada umumnya Hadits juga tidak banyak memberikan rincian yang bersifat aplikatif. Karena bidang mu'amalah senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia, di samping juga dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyetakan bahwa:

ناكملاو نامزلا ريغتب ماكحلأا ريغت

Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.

Al-Qur'an dan Hadits Nabi sebagai sumber utama dalam ajaran Islam yang pada umumnya hanya memberikan pedoman-pedoman dasar saja, maka para ulama dituntut untuk melakukan ijtihad dengan mencurahkan seluruh kemampuan guna mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional dengan cara istinbath.2 Dengan demikian ajaran agama Islam terutama dalam bidang mu'amalah dapat diaplikasikan oleh umat Islam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman serta mampu menjawab persoalan-persoalan fikih kontemporer.

Untuk mendapatkan hukum syara’ yang aplikatif sesuai dengan kebutuhan, metode istinbath adalah suatu hal yang harus dapat dipahami dan diketahui oleh mujtahid, dalam rangka perkembangan pemikiran hukum islam secara umum maupun khusus, agar dapat menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara rinci dalam al-Qur’an dan Hadits.3 Sebagaimana yang dikutib oleh Bahrissalim istinbath berarti mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan istinbath memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari

1 Afidah Wahyuni, “Metodologi Tafsir Ahkam: Beberapa Pendekatan & Aliran Dalam Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah (Studi Perbandingan)”, dalam Jurnal al-Mizan, Vol.2, No. 2, Hlm. 1-132, September 2018, ISSN: 2085-6792

2 Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al Syaukani, Irsyad al Fukhul, (Beirut: Daar al-Fikr,tt), h.250.

3 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), h. 124.

(4)

munasbauai. com

[33]

dalil. Seorang ahli hukum harus mengetahuii prosedur cara penggalian hukum (thuruq al istinbath).4

Upaya penggalian hukum Islam dari sumber-sumbernya (istinbâth al-ahkâm) tidak akan membuahkan hasil yang memadai, kecuali dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama menyangkut sumber hukum. Ali Hasaballah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushûl al-fiqh dalam melakukan istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqâshid al-syarî‘ah).5

Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Fathî al-Darainî, bahwa materi apa saja yang akan dijadikan objek kajian, maka pendekatan keilmuan paling tepat yang akan diterapkan terhadap objek tersebut hendaklah sesuai dengan watak objek itu sendiri. Sebab itu, jika yang akan menjadi objek kajian ialah istinbath hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu, pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan maqâshid al-syarî‘ah. Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks) syariat, sedangkan pendekatan melalui maqâshid al- syarî‘ah adalah karena kajian akan menyangkut kehendak syâri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqâshid al-syarî‘ah.6

Dalam tataran aplikasinya, penggunaan kaidah kebahasaan (lughawiyyah), dapat dilakukan oleh para mujtahid dengan menerapkan kaidah-kaidah bahasa Arab yang meliputi segala aspeknya. Suatu hal yang tidak masuk akal kalau seseorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbath hukum secara maksimal dari al-Qur’an dan hadis yang berbahasa Arab. Sebab itu, al-Ghazâlî menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar ushûl al-fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari sumber-sumbernya.7 Hal ini, merupakan suatu hal yang logis karena untuk mengkaji suatu hukum dari sumbernya yang berbahasa Arab tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam.

Oleh karenanya, para ulama’ Ushul membahas masalah bahasa dan pengertian- pengertiannya terlebih dahulu, sebelum membahas tema-tema yang laian, sebab hal tersebut dapat memberikan pengertian tertentu yang memberikan pandangan lebih tepat. Para ahli juga telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi.

4 Bahrissalim, “Ruang Lingkup Ushul Fiqih”, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 55.

5 Ali Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmi (Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1971), h. 3

6 Fathî al-Darainî, Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra’yi fi al-Tasyrî’ al-Islâm (Damaskus: Dâr al-Kitab al-’Arabi, 1975), h. 27

7 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Al-Mustafa fii ‘ilm al-Usul, (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 180.

(5)

munasbauai. com

[34]

Adapun pendekatan maqâshid al-syarî‘ah dalam istinbath hukum terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para mujtahid dalam upaya menggali dan menetapkan maslahat sebagai inti dari maqâshid al-syarî‘ah. Kedua metode tersebut adalah metode Ta’lîlî (metode analisis substantif) dan metode Istishlahî (metode analisis kemaslahatan). Dalam tataran aplikatifnya, metode ta’liîlî (metode analisis substantif) diterapkan pada qiyâs dan istihsân, sedangkan metode istishlâhî (metode analisis kemaslahatan) diterapkan pada al-mashahah al- mursalah dan al-dharî’ah baik kategori sadd al-dzarî’ah maupun fath al-dzarî’ah.8

Sedangkan menurut Al Syatibi ada tiga pendekatan yang dipakai oleh para mujtahid dalam memahami maqashid al syari’ah. Pertama, pendekatan yang berorientasi pada tekstual dan menolak penalaran qiyas. Kedua, pendekatan yang mendasarkan makna di balik nash dan tidak terikat dengan makna tekstualnya. Ketiga, penggabungan kedua pendekatan yakni para mujtahid menemukan maksud dengan tetap memperhatikan lafal sekaligus tidak mengabaikan makna dan memperhatikan makna bash tanpa mengabaikan lafal.9

Kajian tentang kaidah lughowiyyah (kaidah bahasa Arab) yang dikaitkan dengan intinbath hukum, setidaknya dapat dipetakan menjadi dua kelompok. Pertama, kajian tentang implementasi kaidah lughowiyyah dalam menetapkan hukum, seperti tulisan Mufti Ramadhan,10 dan Kartini11. Kedua, kajian kaidah kebahasaan dalam konteks memahami nash Al Qur’an, seperti Ahmad Nurul Kawakib,12 dan Amir Hamzah.13 Ketiga, kajian kebahasaan dalam proses ijtihad seperti Tihami,14 dan Farid Naya.15 Dengan demikian, tulisan ini mencoba untuk mengisi kekosongan tulisan sebelumnya.

Pada dasarnya tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang metode istinbath yang digunakan oleh para ulama ushul melalui pendekatan kaidah lughowiyyah dan maqashidiyyah.

Oleh karena itu, tujuan tersebut dirumuskan menjadi: 1) bagaimanakah hakikat istinbath hukum

8 Muhammad Mustafa Shalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Bayrut: Dar al- Nahdah al Arabiyyah, 1981), h.

14-15. Lihat juga Mutakin, Ali. "Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum." Jurnal Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19.3 (2017): 547-570

9 M. Mawardi Djalaluddin, “ “Membaca Maksud” Tuhan Menurut Syariat” dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 121.

10 Mufti Ramadhan, “Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak (Perspektif Hakikat Dan Majaz)”, dalam Jurnal Al Falah, Vol. XIX No. 1 Tahun 2019.

http://ejurnal.staialfalahbjb.ac.id/index.php/alfalahjikk/article/view/81/76

11 Kartini, “Penerapan Al-Amr, Al-Nahy dab Al-Ibahah Sebagai Kaidah Penetapan Hukum”, dalam Jurnal Al-‘Adl, Vol. 9 No. 1, Januari 2016.

12 Ahmad Nurul Kawakib, “kaidah Kebahasaan dalam Memahami Al Qur’an”, dalam Jurnal Religia, Vol 14, No. 1, April 2011, 45-56. http://repository.uin-malang.ac.id/2512/

13 Amir Hamzah, “KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN: Sebuah Upaya dalam Memahami al- Qur’an”, dalam Jurnal AL-QALAM: Jurnal Kajian Islam & Pendidikan, Volume 7, No. 1, 2015, 26-46.

http://journal.iaimsinjai.ac.id/index.php/al-qalam/article/view/177/98

14 M.A. Tihami, “Pendekatan Kebahasaan Dalam Berijtihad, dalam Jurnal Al-Qalam, Vol 10 No 54 (1995). http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/1529

15 Farid Naya, “Al-Mujmal Dan Al-Mubayyan Dalam Kajian Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Tahkim, Vol. IX No. 2, Desember 2013.

(6)

munasbauai. com

[35]

dalam perspektif ulama ahli ushul?, 2) bagaiamanakah metode istinbath hukum dengan cara melalui pendekatan kaidah lughowiyyah? 3) bagaiamakah implementasi kaidah lughowiyyah tersebut? 4) bagaimanakah bentuk-bentuk kaidah lughowiyyah yang digunakan dalam istinbath hukum? 5) bagaiamankah penerapan kaidah maqashidiyyah dalam istinbath hukum?

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian library research (kepustakaan) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data primer diperoleh dari kitab-kitab ushul fikih, sedangkan sumber data sekunder berupa buku, artikel jurnal yang berkaitan dengan tema pembahasan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik deskripstif analisis, dimana data-data tersebut didiskripsikan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori Miles and Hubermen, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Istinbath Hukum dalam Islam

Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda an-nabth, yang merupakan bentuk masdar dari nabatha-yanbuthu-nabthan, yang berarti air yang keluar dari dalam sumur yang kali pertama digali.16 Secara terminologis kata istinbath berarti upaya mengeluarkan makna dari nash (al-Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan mencurahkan kekuatan nalar dan kemampuan yang optimal.17 Pengertian secara istilah tersebut masih bersifat umum sehingga istinbath dapat dilakukan oleh ulama fikih dan juga ulama yang ahli di bidang selain fikih. Oleh karenanya, pengertian istinbath tersebut harus dibatasi pada wilayah fikih (hukum Islam). Dengan demikian, istinbath adalah upaya untuk menarik hukum dari nash (al-Qur’an dan Hadits) dengan jalan ijtihad.18 Definisi tersebut yang mencantumkan istilah ijtihad, sejatinya memberikan isyarat bahwa istinbath harus dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah ushuliyyah sebagai pedoman operasional dalam menjelaskan nash-nash syar’i berdasarkan perspektif hukum Islam.19

Berdasarkan penjelasan di atas dapat tarik kesimpulan bahwa istinbath adalah suatu upaya menemukan hukum-hukum syara’ dari nash al-Qur’an dan Hadits yang dilakukan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan pikiran. Secara sepintas memang nampak ada

16 Abu Abdirrahman al Khalil bin Ahmad al Farahidi. Kitabul ‘Ain, Tahqiq: Mahdi al Makhzumi dan Ibrahim al-Samira’i, Dar dan Maktabah al Hilal, 2003), h. 184

17 Qutub Mustafa Sanu, Mu ‘jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh. (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), h.

61

18 Al-Fayumi, Al-Mishbah Al-Munir (Beirut: Maktabah Lubnan, 1987), h.225.

19 Muhammad Ar-Ruki, Nadzariyyah at Taq’id al Fiqhi wa Atsaruha fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Ribath: ad-Dar al-Baidha’, 1994) Cet. I, h. 71

(7)

munasbauai. com

[36]

persamaan antara pengertian istinbath dan ijtihad. Namun pada hakekatnya antara istinbath dan ijtihad terdapat perbedaan. Ijtihad mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan istinbath, karena istinbath merupakan kerangka kerja dari ijtihad. Fokus istinbath adalah nash al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan hukum yang dilakukan melalui metode qiyas, istishhab, dan istishlah dan dalil rasional lainnya disebut ijtihad.20

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa istinbath merupakan usaha untuk mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan al-Qur’an dan Hadits -sebagai dalil hukum Islam yang asasi- dalam menunjukkan hukum menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasa dan ada juga yang melalui maksud hukumnya. Di sisi lain, terdapat pula pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang tentunya memerlukan penyelasaian. Oleh karena itu, agar bisa mendapatkan hukum yang tepat dibutuhkan metode yang tepat pula, dan para ulama Ushul Fikih telah membahas dan merumuskan metode-metode yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath dari al-Qur’an dan Hadits.21

Secara garis besar metode dan kaidah yang digunakan untuk melakukan istinbath hukum diklasifikasikan menjadi dua, yaitu melalui pendekatan kebahasaan (ṭuruq lafdziyyah) dan pendekatan makna atau ruh nash (ṭuruq ma’nawiyah atau maqashid asy-syari’ah.22 Demikian ini karena, istinbath merupakan upaya menggali hukum yang berkaitan dengan nash al-Qur’an dan Hadits, yang tentunya selalu bersinggungan dengan lafadz kedua nash tersebut.

Oleh karenya, kaidah lughowiyyah digunakan untuk memahami nash tersebut secara dhahirnya, sedangkan kaidah maqashidiyyah (maqashid asy-syari’ah) diginakan untuk memahami makna dibalik dhahir nash tersebut.

B. Istinbath Melalui Pendekatan Kaidah Lughowiyyah

Kaidah lughowiyyah adalah kaidah-kaidah yang dipetik dari bahasa, yang berkenaan dengan lafadz arab. Kaidah lughowiyyah, yang berkenaan dengan kajian pemahaman lafaz arab, setidaknya mencakup empat segi pokok pembahasan yaitu pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz, pemahaman lafaz dari segi penunjukannya terhadap hukum, pemahaman lafaz dari segi

20 Muhammad Ar-Ruki, Nadzariyyah at Taq’id al Fiqhi wa Atsaruha fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Ribath: ad-Dar al-Baidha’, 1994) Cet. I, h. 71

21 Satria Effendi M. Zein. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:Kencana, 2005), cet. II, h. 177

22 Muhammad Abu Zahrah, us}ul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tth). h. 115

(8)

munasbauai. com

[37]

kandungannya terhadap satuan pengertian (afrâd) dalam lafaz dan pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum (taklîf).23

Berkaitan dengan hubungan lafaz dengan makna yang dikandungnya, para ulama ushûl al-fiqh klasik telah membahas secara panjang lebar dalam beberapa bab di kitab-kitab mereka.

Padadasarnya pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil- dalil yang am dan khas, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy dan sebagainya. Dalam kaidah-kaidah kebahasaan dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara dhahir, sehingga seluruh dalil yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan bahasa berhubungan langsung dengan nash- nash dalam Al Quran dan Sunnah.24

C. Bentuk-bentuk Pendekatan Lughowiyyah

Kaidah lughowiyyah banyak bentuk dan macamnya, tergantung dilihat dari sisi mana kaidah lughowiyyah tersebut. Berikut adalah bentuk-bentuk kaidah lughowiyyah yang lazim dibicarakan para ulama ahli ushul sebagai metode istinbath hukum.

1. Dari segi penyampaian teks

Jika dilihat dari segi penyampaian teks, maka kaidah-kaidah lughowiyyah dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu amar (perintah) dan nahi (larangan).

a. Amar (perintah)

Amar adalah suatu perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Karena kajian ushul fikih berkaitan dengan hukum syara’ maka perintah yang dimaksud dalam pengertian diatas adalah perintah yang dapat menjadi sumber penggalian hukum syara’, yaitu perintah yang berasal dari Allah dan rasul-Nya.

Perintah (amar) merupakan uslub-uslub yang lazim digunakan oleh orang Arab untuk arti tersebut. Dengan demikian, teks al-Qur’an dan hadits yang menunjukan makna perintah (amar) setidaknya terdapat tiga macam, yaitu: 1) bentuk mufrad (yang secara bahasa menunjukan makna perintah), 2) bentuk jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna perintah dalam manthuq-nya, dan 3) jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna perintah dalam mafhum-nya.

23 Amir Syarifuddin, Ushul al-Fiqih, jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000), h. 2.

24 Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, (Jakarta:Logos, 1997), hlm. xi.

(9)

munasbauai. com

[38]

Para ulama telah membangi bentuk mufrad yang secara bahasa menunjukan makna perintah, pada beberapa bentuk, yaitu:25

1) Fi’il amar, seperti QS. Al-Isra [17]: 78

2) Fi’il amar yang disertai dengan lam amar, seprti QS. Al-Thalaq [65]: 7 3) Mashdar yang menggantikan posisi fi’ilnya, seperti QS. Muhammad [47]: 4 4) Isim fi’il amar, seperti QS. Al-An’am [6]: 150

Adapun jumlah murakab (kalimat) yang menunjukan makna perintah dalam manthuq- nya, ulama telah menentukan bentuk-bentuknya, yaitu:

1) Dengan memakai huruf jar (lam, fi, ‘ala). Seperti QS. Al-Nisa [4]: 7, QS. Al- Baqarah [2]: 184

2) Dengan menggunakan huruf sindiran dan anjuran, seperti ala dan laula. Contoh QS.

Al-Taubah [9]: 13, QS. Al-Qalam [68]: 28

3) Istifham yang ditafsirkan menjadi perintah, yang dibangun di atas mathlub khabari.

Seperti QS. Al-Maidah [5]: 90-91, QS. Ali Imran [3]: 20 4) Perintah majazi

5) Berita (khabar) yang berimplikasi jawab yang dijazamkan. Seperti QS. Al-Shaf [61]: 10-12

6) Kalimat berita bersyarat (jumlah syarthiyyah khabariyyah) yang jawabanya mengandung pujian bagi yang melaksanakan pekerjaan yang disertai syarat tersebut. Seperti QS. Al-Anfal [8]: 65

Sedangkan jumlah murakab (kalimat) yang menunjukan makna perintah dalam mafhum-nya, seperti yang terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]: 228, QS. Al-Taubah [9]: 60.

Kaidah-kaidah lughowiyyah yang berbentuk amar ini antara lain adalah sebagai berikut:

1) Pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkan dari hukum semula.

Hal tersebut telah disepakati ahli bahasa dan didasarkan atas QS. Al-Nur [24]: 62 yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah, adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa perintah itu wajib dilaksanakan.

2) Suatu perintah harus dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja.

25 Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul, terj. Ushul Fiqih: Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), hlm. 258-260

(10)

munasbauai. com

[39]

Menurut jumhur ulama’, pada dasarnya suatu perintah tidak mengharuskan berulang kali dalam pelaksanaannya, kecuali ada dalil, karena perintah pada dasarnya menuntut terwujudnya suatu perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan itu bisa terwujud meskipun perintahnya hanya dilakukan satu kali.26

3) Perintah harus dilakukan segera atau boleh ditunda-tunda

Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan, karena yang dimaksud dari perintah itu sendiri adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.27

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa, bentuk lafadz amar diciptakan untuk memberi pengertian wajib, selama lafal amar tersebut tetap dalam kemutlakannya menunjuk pada arti hakiki, yakni wajib.28 Jika ada dalil atau qarinah yang memalingkannya dari makna hakikatnya maka petunjuk lafadz amar dapat berubah sesuai perubahan dalil atau qarinah yang menyertainya.29 Dalam tataran aplikasinya dapat dicontohkan pada penggalan QS. Al-Nur [24]:

56.

ْاوُميِقَأ َو َة ٰوَلَّصل ٱ ْاوُتاَء َو َة ٰوَك َّزل ٱ

“...dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat...”

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan kewajiban menunaikan zakat. Hal ini dapat dipahami dari tuntutan amar yaitu lafadz ( ْاوُميِقَأ َو) dan ( ْاوُتاَء) yang keduanya tidak disertai dengan qarinah yang dapat memalingkan makna amar tersebut.

Sehingga kedua bentuk amar tersebut, dimaknai perintah secara hakiki. Di samping itu, padadasarnya amar dalam kajian ushul fikih merupakan tuntutan dari Allah kepada hamba-Nya untuk memenuhi suatu perbuatan yang pada dasarnya menunjukkan hukum wajib tanpa terikat dengan waktu dan kuantitas pelaksanaannya. Sehingga semua perbuatan yang diperintah oleh syari’at bernilai baik.30

b. Nahi (Larangan)

Nahi diartikan sebagai larangan. Artinya larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Adapun yang

26 Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih..., hlm 43.

27 Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 186.

28 Firdaus, Ushul..., hlm. 143.

29 Suwarjin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 196.

30 Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 174.

(11)

munasbauai. com

[40]

dimaksud dengan pihak yang lebih tinggi di sini adalah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan maksud pihak yang lebih rendah adalah manusia yang mukalaf.31

Nahi sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama ushul, yakni memiliki arti larangan, secara lazim uslub-uslubnya dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) bentuk mufrad (yang secara bahasa menunjukan makna larangan), 2) bentuk jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna larangan dalam manthuq-nya, dan 3) jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna larangan dalam mafhum-nya.

Nahi (larangan) yang menggunakan uslub mufrad, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama Ushul adalah sebagai berikut:

1)

(لعفتلا) fi’il mudlori’ diawali dengan huru ta’ yang didahului huruf la, seperti QS. Al- Taubah [9]: 84, QS. Al-Isra [17]: 23

2)

(لعف ) fi’il mudlori’ diawali dengan huru ya’ yang didahului huruf la, dalam يلا penggunaannya bentuk ini mengikuti (setelah) kata (لعفتلا). Seperti QS. Al-Baqarah [2]:

282, Al-Nur [24]: 22

3)

(لعف ) fi’il mudlori’ diawali dengan huru hanzah, yang didahului huruf la, bentuk ini ألا jarang digunakan.

Nahi (larangan) yang menggunakan uslub jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna larangan dalam manthuq-nya, seperti QS. Ali Imran [3]: 102, QS. Al-Nisa [4]: 43, QS.

Al-Isra [17]: 32, QS. AL-Baqarah [2]: 35, QS. Luqman [31]: 33, QS. Al-Nisa [4]: 112. Adapun nabi (larangan) yang menggunakan uslub jumlah murakab (kalimat) yang mengandung makna larangan dalam mafhum-nya, seperti QS. Al-Nisa [4]: 141, QS. Al-A’raf [7]: 33, QS. Al-Maidah [5]: 3.32

Kaidah-kidah lughowiyyah yang terdapat pada nahi ini meliputi, diantaranya adalah:33 a) Pada dasarnya larangan itu adalah menunjukan haram. Sebagaimana menurut Al-

Baidlawi dan Asnawi, keharaman tersebut berdasarkan pada QS. Al-Hasyr: 7 b) Larangan terhadap sesuatu berate perintah terhadap lawan-lawanya.

c) Larangan yang bersifat mutlak, menunjukan terus-menerus sepanjang masa.

d) Larangan itu adalah menunjukan rusaknya yang dilarang dalam bidang ibadah.

31 A. Basiq Djalil, Ilmu ushul Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 60-61

32 Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul, terj. Ushul Fiqih: Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), hlm. 268-281

33 Baca juga di Abdul Hamid Hakim, As Sulam Juz 2, (Jakarta: Sa’adoyah Putera, 2007), hlm. 15- 17. Suwarjin, Ushul Fiqih..., hlm. 199. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 184-187.

(12)

munasbauai. com

[41]

2. Dari segi cakupan makna

Jika dilihat dari sisi cakupan makna yang dimiliki oleh suatu lafadz, maka akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu lafadz ‘Am dan lafadz Khash.

a. ‘Am (Lafadz Umum)

‘Am artinya adalah umum. Artinya lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Sebagaimana pengertian lafadz ‘Am yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, yaitu lafadz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan sekaligus. Seperti kata

“laki-laki (لجرلا” lafadz tersebut mencakup semua jenis laki-laki. Atau lafadz “manusia (ناسنلاا)” lafadz ini mencakup semua jenis manusia. Kata yang menunjukkan makna umum (‘am), meliputi:34

1) Kata kull (setiap) dan jami’ (semua), kafatan dan ma’syarun. Seperti QS. Ali Imran [3]: 185, QS. Al-Mudzatsir [74]: 38.

2) Kata jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti QS. Al-Nisa [4]: 7

3) Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif lam. Seperti QS. Al-Maidah [5]:

38

4) Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan). Seperti QS. Al-Baqarah [2]: 185 5) Isim nakirah (indefinite noun) yang dinafikan. Seperti QS. Al-An’am [6] : 91 6) Isim maushul (kata ganti penghubung). Seperti QS. Al-Ra’du [13]: 15

Adapun kaidah-kaidah lughowiyyah yang berkaitan dengan lafadz ‘Am adalah sebagai berikut:

1) Kata kerja yang sifatnya mutsbat, apabila di dalamnya terkandung beberapa bagian, maka tidaklah menunjukan umum pada semua bagiannya.

2) Yang dianggap (dari pengertian suatu redaksi) adalah umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.

3) Muqtadli itu tidak ada keumuman padanya

4) Menyebut bagian afrad ‘am dengan hukumnya, tidak berarti dikhususkannya.

5) Lafadz umum yang sudah dikhususkan, hujah hanya ada pada yang lainnya.

6) Pembicaraan yang khusus untuk satu orang dari umat Nabi Muhammad Saw.

memberikan faidah umum, hingga ada dalil yang menunjukan khusus.

34 Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul, terj. Ushul Fiqih: Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), hlm. 293-

(13)

munasbauai. com

[42]

7) Beramal dengan dalil umum sebelum mencari dalil yang mengkhususkannya tidak boleh.35

b. Khash (Lafal Khusus)

Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.36 Lafal ini menunjukkan kepada sesuatu satuan tertentu artinya lafal itu hanya diperuntukkan untuk hal-al yang tertentu. Lafal khas terdiri dari afrad/satuan-satuan yang lain 37

Bila ada lafal khas dalam nash syar’i maka makna khas yang ditunjukkan adalah qath’i bukan dzanny, selama tidak ada dalil lain yang mengalihkan kepada tidak qath’i.38 Seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 228:

َوٱ ُتَٰقَّلَطُمۡل َن ۡصَّب َرَتَي َّنِهِسُفنَأِب

َةَث َٰلَث ء ٓو ُرُق

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'

Lafadz tsalatsah adalah khash dan maknanya qath’i. Jadi wanita yang dicerai oleh suaminya harus beriddah selama tiga quru’ (baca:haid). Lafadz khash ada yang muthlaq dan ada yang muqayyad.39

3. Dari segi batasannya

Jika dilihat dari sisi batasannya, maka suatu lafadz dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu mutlaq dan muqayyad.

a. Mutlaq

Para ulama ushul menjelaskan bahwa mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu hakikat tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya. Seperti penggalan firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 89.

ٖۖ ةَبَق َر ُري ِر ۡحَت ۡوَأ

“….atau memerdekakan seorang budak…”

lafadz “raqabatin” (seorang hamba sahaya) pada penggalan ayat tersebut dikatakan mutlaq, karena tidak terikat oleh sesuatu sifat tertentu, sehingga dapat mengenai pada hamba

35 A. Basiq Djalil, Ilmu ushul Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 76-84

36 Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 205.

37 Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 6.

38 Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2..., hlm. 6.

39 Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 205.

(14)

munasbauai. com

[43]

mukmin dan hamba yang kafir. Oleh karena itu, kaidah lughowiyyahnya menetapkan bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kait) nya.

b. Muqayyad

Muqayyad diartikan sebagai suatu lafadz yang menunjukan pada suatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa) ikatannya. Seperti penggalan firman Allah dalam QS. Al- Nisa [4]: 92:

ةَنِم ۡؤُّم ةَبَق َر ُري ِر ۡحَتَف

“…(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…”

Lafadz “raqabah” (seorang hamba sahaya) pada penggalan ayat di atas, disebut sebagai lafadz muqayyad, karena telah terikat dengan lafadz “mukminatin”, yang berarti bahwa hamba sahaya yang dimerdekakan itu tidaklah sembarang hamba sahaya, melainkan haruslah yang mukmin. Dengan demikian, lafadz muqayyad adalah lafadz muthlaq yang diberikan ikatan dengan lafadz lain sehingga artinya lebih tegas dan terbatas. Namun keterbatasan lafadz muqayyad tidak menghilangkan jangkauan kepada lafad-lafad yang lain. Muqayyad merupakan suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

4. Dari segi pengertian dan pemahamannya a. Mantuq

Mantuq diartikan sebagai sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz sesuai dengan teks uacapan itu. Menurut ulama ushul fikih, mantuq dibagi menjadi dua:

1) Mantuq sharih, artinya jelas dan tegas. Maksudnya adalah lafadz yang tidak memungkinkan untuk ditakwil. Seperti QS. Al-Maidah [5]: 89

2) Mantuq ghairu sharih, artinya tidak jelas dan tegas. Maksudnya adalah lafadz yang memungkinkan untuk ditakwil. Seperti QS. Al-Dzariyyat [51]: 47

b. Mafhum

Mafhum diartikan sebagai sesuatu yang ditunjuk oleh suatu lafadz diluar teks ucapan itu. Maksudnya adalah suatu pengertian tersirat dari suatu lafal (mahum muwafaqah) atau

(15)

munasbauai. com

[44]

pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Oleh karena itu, para ulama’ ushul fikih menjadi mafhum menjadi dua bagian, yaitu:

1) Mafhum Muwafaqah, adalah mafhum yang sesuai dengan manthuqnya. Seperti misalnya QS. Al-Isra [24]: 23, QS. Al-Nisa [4]: 10

2) Mafhum Mukhalafah, adalah mafhum yang didapati dengan jalan mengambil kebalikan dari mantuqnya. Seperti QS. Al-Jum’ah [62]: 9

5. Dari segi jelas dan tidak jelasnya makna

Jumhur ulama Ushul Fiqih membagi lafal dari segi jelas dan tidak jelasnya kepada tiga tingkatan, yaitu mujmal, dan mubayan.

a. Mujmal dapat diartikan sesuatu yang samar, tidak jelas dan kabur. Maksudnya adalah suatu lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan (penjelasan).

b. Mubayyan diartikan sebagai yang menjelaskan. Para ulama menjelaskannya upaya mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur/samar) kepada bentuk yang terang. Sehingga dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa, bayan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan.

D. Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Maqashidiyyah (Maqashid Syari’ah)

Jika pendekatan kebahasaan menitikberatkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks al-Qur’an dan Hadits, maka pendekatan maqashidiyyah (maqâshid al-syarî‘ah) lebih menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan ini penting dilakukan, terutama karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan umat senantiasa muncul. Dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan.40

Maqâshid al-syarî‘ah terdiri dari dua kata, maqâshid dan al-syarî‘ah. Kata “maqâshid”

dalam bahasa Arab bentuk jamak dari kata maqshad yang artinya maksud dan tujuan.

Sedangkan kata “syari’ah” mempunyai arti ketetapan Allah yang berkaitan dengan orag-orang mukallaf (subyek hukum) ataupun berupa wadhi’ (sebab akibat).41 Maka dengan demikian,

40 Arip Purqon, “Corak Pendekatan Dalam Ushûl Al-Fiqh”, dalam jurnal Miqot Vol. XXXIV No.

2 Juli-Desember 2010, h. 233

41 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1958), h. 26.

(16)

munasbauai. com

[45]

maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.42 Izzuddin ibn Abd al-Salam, mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah tidak membutuhkan ibadah seseorang, karena ketaatan dan maksiat hamba tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemulian Allah. Jadi, sasaran manfaat hukum tidak lain adalah kepentingan manusia.43 Oleh karena itu, pendekatan Maqashidiyyah ini disebut juga dengan pendekatan makna, nalar, atau maqashid al-syari’ah.

Para ulama berbeda-beda dalam merumuskan maqâshid al-syarî‘ah. Menurut Abdullah al-Dar’an, bahwa tujuan umum disyari’atkannya hukum Islam adalah menciptakan kemudahan dan menghilangkan kesulitan, menyedikitkan beban serta bertahap dalam mensyari’atkan hukum.44 Secara umum tujuan utama disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk memelihara kemashlahatan, maksudnya adalah untuk memberikan suatu manfaat bagi manusia itu sendiri dan menghindarkan manusia dari segala mafsadat, sehingga bisa tercipta kemaslahatan dan keadilan diantara manusia, menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga nasab, dan menjaga harta.

Kedudukan maqashid al-syari'ah dalam system hukum Islam adalah angatlah urgen.

Urgensi tersebut setidaknya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan Hadits) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, salah seorang pakar ushul fikih, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum).45 Wahbah al-Zuhaili pun juga mengatakan

42 Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 5

43 Khairul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 125

44 Abdullah al-Dar’an, Al-Madkhal li al-Fiqh al-Islami, (Arab Saudi: al-Taubat, 1993),h. 31.

45 Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da'wah alIslamiyah, 1968), h.

198

(17)

munasbauai. com

[46]

bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia syari'ah.46

Menurut Imam asy-Syathiby seorang ahli ushul fikih dari mazhab Maliki menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama ushul fikih terhadap nash, kelima masalah pokok itu ialah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lima kemaslahatan pokok ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan syariat yang mengandung perintah, larangan dan keizinan yang harus dipenuhi oleh setiap mukalaf. Dalam mewujudkan dan memelihara kelima pokok di atas, ulama ushul fikih menstratifikasi sesuai dengan kualitas kebutuhannya. Ketiga kategori tersebut adalah (a) kebutuhan dlaruriyyah (bersifat pokok, mendasar), (b) kebutuhan hajiyyah (yang bersifat kebutuhan) dan (c) tahsiniyyah (bersifat penyempurna, pelengkap), dengan penjelasan sebagai berikut:47

a. Dharuriyat

Adalah segala hal yang menjadi sesuatu yang menjadi penting dalam kehidupan manusia.

Hal-hal tersebut harus tetap eksis demi terciptanya kemashlahatan dalam kehidupan manusia. Al-umurudh dharuriyah dikelompokan menjadi lima macam: urusan agama, urusan jiwa, urusan akal, urusan keturunan, dan urusan harta benda.

b. Al-Umurul-Hajiyah

Adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kelapangan dan keleluasan, menanggung beban taklif dan beban kehidupan yang lainnya. Apabila sesuatu tidak ada, maka tidak akan timbul kekacauan dan kemafsadatan, akan tetapi manusia hanya akan mendapat kesulitan dan kesempitan.

c. Al-Umurut-Tahsiniyah

Adalah sesuatu yang dikehendaki oleh muru’ah, etika, dan perilaku yang didasarkan kepada jalan yang paling lurus. Hal yang bersifat tahsiniy mengacu kepada kemuliaan ahlak dan adat istiadat yang baik. 48

46 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 1017

47 Nilda Susilawati, “Stratifikasi Al-Maqasid Al-Khamsah Dan Penerapannya Dalam Al- Dharuriyat, Al-Hajjiyat, Al-Tahsiniyyat”, dalam Jurnal Mizani Vol. IX, No.1, Februari 2015

48 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da'wah alIslamiyah, 1968), h.

313.

(18)

munasbauai. com

[47]

Dari ketiga macam maqashid at-tasyri’iyyah diatas, Al-Umurudh-Dharuriyah merupakan hukum yang paling penting dan paling berhak untuk dijaga. Sedangkan al-umurudh- hajiyat dan al-umurut-tahsiniyah sebagai pelengkap bagi hukum-hukum yang disyariatkan bagi hal-hal hajiyah.

Dalam tataran aplikatifnya, penggalian maslahat sebagai substansi maqashid al-syari’ah, dapat dilakukan melalui berbagai macam metode ijtihad. Pada dasarnya metode-metode tersebut bermuara pada upaya penemuan ”maslahat”, dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para mujtahid dalam upaya menggali dan menetapkan maslahat. Kedua metode tersebut adalah metode Ta’lili (metode analisis substantif) dan metode Istishlahi (metode analisis kemaslahatan).49

Metode ta’lili adalah metode analisis hukum dengan melihat kesamaan ‘illat atau nilai- nilai substansial dari persoalan tersebut, dengan kejadian yang telah diungkapkan dalam nash.

Secara operasional, metode yang telah dikembangkan oleh para mujtahid dalam bentuk analisis tersebut, termanifestasikan dalam metode qiyas dan istihsan. Masing-masing keduanya akan diuraikan sebagai berikut:50

1. Metode Qiyas

Qiyas adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits, dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Definisi tersebut dapat dipahami bahwa dalam qiyas terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi, unsur-unsur tersebut adalah ashl, far’, hukmul al-ashl, dan ‘illat. Keempat unsur tersebut lazim disebut dengan rukun qiyas. Pembahasan tentang keempat rukun qiyas tersebut, rukun yang terakhir yakni ‘illat merupakan pembahasan yang paling penting, karena ada atau tidak adanya suatu hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidaknya ‘illat pada kasus tersebut. Hal ini berdasarkan kaidah al-hukm yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa

‘adaman (hukum itu berkisar pada ada atau tidaknya sebuah ‘illat).

2. Metode Istihsan

Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan mengamalkan qiyas lain yang dianggap lebih kuat darinya karena adanya dalil yang menuntut serta kecocokanya pada kemaslahatan manusia.

49 Ali Mutakin, "Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum."

Dalam Jurnal Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19.3 (2017): 547-570.

50 Ali Mutakin, "Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum."

Dalam Jurnal Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19.3 (2017): 547-570.

(19)

munasbauai. com

[48]

Hal ini didasarkan pada kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah ataupun maknawiah.

Pada hakikatnya Istihsan merupakan perpindahan dari qiyas jail (yang jelas illatnya) kepada qiyas khafi (yang samar illatnya). Hal ini bisa terjadi karena, menggunakan qiyas jali yang illatnya dapat diketahui dengan jelas, namun dampaknya kurang efektif. Sebaliknya, menggunakan qiyas khafi walaupun illatnya tidak dapat diketahui dengan jelas, namun dampak yang ditimbulkanya lebih efektif. Atau mengecualikan dalil kulli (umum) berdasarkan dalil yang lebih kuat.

Adapun metode istishlahi, merupakan metode pendekatan istinbath atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja, metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Metode analisis kemaslahatan yang dikembangkan oleh para mujtahid ada dua, yaitu al-mashlahah al-mursalah dan sadd al-dzari’ah maupun fath al-dzari’ah. Masing-masing keduanya akan diuraikan sebagai berikut:51

1. Metode Mashlahah Mursalah

Mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Muhammad Sa’id Ramdlan al-Buthi, bahwa hakikat mashlahah al-mursalah adalah setiap kemanfaatan yang tercakup ke dalam tujuan syari’ dengan tanpa ada dalil yang membenarkan atau membatalkan. Dengan demikian, mashlahah al-mursalah merupakan dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dikarenakan sejatinya konsep mashlahah al-mursalah sebagi salah satu metode penetapan hukum, dalam operasionalnya sangat menekankan aspek mashlahah secara langsung.

2. Metode Sadd Dzari’ah

Pada dasarnya sadd al-dzari’ah merupakan upaya mujtahid dalam menetapkan larangan suatu masalah yang pada dasarnya adalah mubah. Larangan itu lebih disebabkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang, sehingga konsep sadd al-dzari’ah ini lebih bersifat preventif. Secara tegas Abu Zahrah menjelaskan bahwa ketentuan hukum yang ditetapkan melalui al-dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaran hukum. Menurutnya sumber hukum terkait dengan konsep sadd al- dzari’ah terbagi menjadi dua. Pertama maqashid (tujuan) yaitu perkara-perkara yang

51 Ali Mutakin, "Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum."

Dalam Jurnal Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19.3 (2017): 547-570.

(20)

munasbauai. com

[49]

mengandung mashlahah atau mafsadah. Kedua wasa’il (perantaraan) yaitu suatu perantara yang membawa kepada maqashid, di mana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi sasaranya, baik berupa halal maupun haram.

Jika dilihat dari segi tingkatan hukum, ketetapan hukum terhadap wasaiil jauh lebih ringan dibandingkan dengan ketetapan hukum yang berada pada maqashid. Terlepas dari tingkatan hukum tersebut, pada dasarnya yang menjadi dasar diterimanya sadd al-dzari’ah sebagai metode penetapan hukum Islam adalah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan.

Perbuatan yang menjadi perantara mendapatkan ketetapan hukum sama dengan perbuatan yang menjadi sasaranya, baik perbuatan tersebut dikehendaki ataupun tidak dikehendaki. Tegasnya bahwa jika suatu perbuatan itu mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (mathlub), maka ia menjadi diperintahkan (mathlub), begitu pula sebaliknya, jika sesuatu tersebut mengarah kepada suatu perbuatan yang dilarang, maka ia pun akan dilarang.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istinbâth al-ahkâm atau upaya penggalian hukum Islam dari sumbernya yakni Al-Qur’an dan hadits, tidak dapatmencapai hasil yang maksimaldan memadai, kecuali dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Terdapat dua pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushûl al-fiqh dalam melakukan istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqâshid al-syarî‘ah). Penggunaan pendekatan kaidah kebahasaan dikarenakan kajian akan menyangkut nash (teks) syariat, sedangkan penggunaan pendekatan maqâshid al-syarî‘ah dikarenakan kajian akan menyangkut kehendak syâri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqâshid al-syarî‘ah.

Dengan demikian, kedudukan kaidah kebahasaan merupakan pilar dalam ber-istinbath hukum Islam, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan memetik hukum secara maksimal dari al-Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab. Pemahaman nash dan penggalian hukum harus berdasarkan pada petunjuk kebahasaan dan pemahamaan kaidah bahasa Arab yang baik dan benar. Di samping itu, pengetahuan dan penguasaan terhadap maqâshid al-syarî‘ah (tujuan-tujuan disyari’atkannya hukum Islam), merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang akan melakukan ijtihad. Maqâshid al-syarî‘ah atau kaidah maqashidiyyah merupakan media yang sangat penting untuk memahami tujuan-tujuan dibalik hukum Islam yang dinamis dan moderat dari sumbernya Al-Qur’an dan Hadits.

(21)

munasbauai. com

[50]

DAFTAR PUSTAKA

Abdussomad, Muhyiddin. Fiqh Tradisionalis. Malang: Pustaka Bayan, 2005.

al Farahidi, Abu Abdirrahman al Khalil bin Ahmad. Kitabul ‘Ain, Tahqiq: Mahdi al Makhzumi dan Ibrahim al-Samira’i, Dar dan Maktabah al Hilal, 2003.

al Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Irsyad al Fukhul. Beirut: Daar al-Fikr,tt.

al-Dar’an, Abdullah. Al-Madkhal li al-Fiqh al-Islami. Arab Saudi: al-Taubat, 1993.

al-Darainî, Fathî. Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra’yi fi al-Tasyrî’ al-Islâm, Damaskus: Dâr al-Kitab al-’Arabi, 1975.

Al-Fayumi, Al-Mishbah Al-Munir. Beirut: Maktabah Lubnan, 1987.

al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al- Ushûl. Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993.

al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

Ar-Ruki, Muhammad, Nadzariyyah at Taq’id al Fiqhi wa Atsaruha fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Ribath: ad-Dar al-Baidha’, 1994. Cet. I.

Asmawi, Ushul al-fiqh al Islami. Jakarta: Amzah, 2011.

bin Khalil, Atha. Taisir al-Wushul ila al-Ushul, terj. Ushul Fiqih: Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis,.

Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.

Djalil, A. Basiq. Ilmu ushul Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Djamil, Faturrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.

Hasaballah, Ali. Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmi. Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1971.

Jaya, Asafri. Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Khallaf, Abd al-Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah alIslamiyah, 1968.

Mutakin, Ali. "Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum." Dalam Jurnal Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19.3 (2017): 547-570.

Purqon, Arip. “Corak Pendekatan Dalam Ushûl Al-Fiqh”, dalam jurnal Miqot Vol. XXXIV No.

2 Juli-Desember 2010.

Sanu, Qutub Mustafa. Mu ‘jam Mushthalahat Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr, 2000.

Shalabi, Muhammad Mustafa. Ta’lil al-Ahkam. Bayrut: Dar al- Nahdah al Arabiyyah, 1981), h.

14-15.

Susilawati, Nilda. “Stratifikasi Al-Maqasid Al-Khamsah Dan Penerapannya Dalam Al- Dharuriyat, Al-Hajjiyat, Al-Tahsiniyyat”, dalam Jurnal Mizani Vol. IX, No.1, Februari 2015

Syarifuddin, Amir. Ushul al-Fiqih, jilid II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000.

Umam, Khairul. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Wahyuni, Afidah. “Metodologi Tafsir Ahkam: Beberapa Pendekatan & Aliran Dalam Mengetahui Maqashid Al-Syari’ah (Studi Perbandingan)”, dalam Jurnal al-Mizan, Vol.2, No. 2, Hlm. 1-132, September 2018, ISSN: 2085-6792

Zahrah, Muhammad Abu. ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.

(22)

munasbauai. com

[51]

Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2005, cet. II.

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan jeli dengan merk yang berbeda ini dapat ditujukan untuk memberikan perbandingan hasil yang berupa seberapa banyak kandungan pewarna sintetis, khususnya

Tujuan penelitian adalah menyusun model pendampingan UMKM sektor pangan yang ideal, efektif dan berkelanjutan untuk dapat diimplementasi- kan oleh lembaga inkubator

(3) Setiap mahasiswa yang mengikuti credit transfer sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b berhak mendapat pengakuan transfer kredit mata kuliah sesuai dengan

SECURITY LEVEL 1 ADALAH TINGKATAN DIMANA TINDAKAN PENCEGAHAN KEAMANAN MINIMUM YANG HARUS DILAKSANAKAN SECARA TERUS MENERUS.. PSC

Kapsul gelatin keras yang diisi dipabrik dapat ditutup secara sempurna dengan cara dilekatkan, suatu proses dimana lapisan gelatin dioleskan satu kali atau lebih diseluruh

Dalam molase masih banyak kandungan zat yang dapat dimanfatkan sebagai media pertumbuhan mikroba, hal tersebut dikarenakan molase masih mengandung

Célunk, hogy a gyakorlati sportszakmai képzést alátámasztó, segítő elméleti képzést is nyújtsunk, és elősegítsük OKJ-s sportszakmák megszerzését ”

Berdasarkan wawancara dengan para pengguna jasa mini bus travel Saudara Tohiruddin Hasibuan menjelaskan bahwa penambahan biaya yang dipungut ditengah perjalanan adalah