• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE POSITIVE REINFORCEMENT UNTUK MENINGATKAN ATENSI BELAJAR PADA ANAK DENGAN INTTELECTUAL DISABILITY TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "METODE POSITIVE REINFORCEMENT UNTUK MENINGATKAN ATENSI BELAJAR PADA ANAK DENGAN INTTELECTUAL DISABILITY TESIS"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

METODE POSITIVE REINFORCEMENT UNTUK MENINGATKAN ATENSI BELAJAR PADA ANAK DENGAN INTTELECTUAL DISABILITY

TESIS

Miftahurrahman 201810500211025

PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA (DPPs)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022

(2)

i

(3)

ii

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : Miftahurrahman NIM : 201810500211025

Program Studi : Magister Profesi Psikologi

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul : “Metode positive Reinforcement Untuk Meningatkan Perhatian Belajar Pada Anak Dengan Inttelectual Disability”

Adalah hasil karya saya dan dalam naskah tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian atau keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

2. Apalagi ternyata didalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur plagiasi, saya bersedia tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang saya telah peroleh dibatalkan, serta diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan hak bebas royalti non eksklusif.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Malang,

Yang menyatakan,

MIFTAHURRAHMAN

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat, rezeki serta karunia- Nya yang telah diberikan sehingga penulisan thesis yang berjudul “”dapat terselesaikan.

Thesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi bidang klinis di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam penulisan thesis ini, penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan serta doa dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan dan keikhlasan hati, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Fauzan, M.Pd selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

2. Ibu Dr. Cahyaning Suryaningrum selaku Ketua Program Magister Psikologi 3. Bapak Dr. Latipun, M.Kes selaku pembimbing tesis I dan Ibu Dr. Djudiyah, M.Si

selaku pembimbing tesis II, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta mengarahkan dalam proses penulisan tesis ini.

4. Ibu Susanti Prasetyaningrum, M. Psi, Psikolog selaku pembimbing praktik kerja profesi (PKPP) yang telah membimbing penyusunan serta penyelesaian laporan praktik sehingga dapat menjadi acuan untuk penyusunan thesis ini.

5. Keluarga saya, Mama, Ayah, Adik saya, yang telah mendukung dan memotivasi saya untuk menyelesaikan sekolah pascasarjana.

6. Subjek penelitian yang telah meluangkan waktunya dan bersedia bekerja sama demi kelancaran tesis ini.

7. Para dosen dan karyawan Universitas Muhammadiyah Malang.

8. Teman-teman magister psikologi angkatan 2018 yang telah bersama-sama berjuang dan saling membantu dalam proses belajar dan berbagai pihak yang tak dapat disebutkam satu persatu-satu.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan balasan yang setimpal kepada pihak – pihak yang telah membantu peneliti selam proses penyelesaian skripsi ini dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Aamiin Ya Robbal

Alamin.

(6)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN ABSTRAK ... xi

PENDAHULUAN ... 1

KERANGKA TEORI ... 3

METODE PENELITIAN ... 7

A. Desain Penelitian ... 7

B. Subyek Penelitian... 8

C. Prosedur Penelitian ... 8

D. Analisis data ... 8

E. Presentasi Kasus... 8

F. Permasalahan dan Deskripsi Subjek ... 9

FORMULASI KASUS……… ... 12

DINAMIKA MASALAH... 15

INTERVENSI... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN... ... 19

Hasil Penelitian ... 22

KESIMPULAN... 27

(7)

vi

SARAN ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 26

DAFTAR TABEL DATA

(8)

vii

DATA 1 PENERAPAN POSITIVE REINFORCMENT... 7 DATA 2 ANALISIS ... 20 DATA 3 RANGKUMAN... 21

(9)

viii

METODE POSITIVE REINFORCEMENT UNTUK MENINGATKAN ATENSI PADA ANAK DENGAN INTTELECTUAL DISABILITY

Miftahurrahaman

Universitas Muhammadiyah Malang Mivta03@gmail.com

ABSTRAK

Individu dengan intellectual disability (ID) memuculkan gangguan dengan keterbatasan fungsi kognitif dan fungsi adaptif. Area konseptual mencakup salah satunya adalah keterampilan bahasa, membaca dan menulis. Tujuan penelitian ini untuk melihat efektifitas terapi perilaku positivereinforcement untuk meningkatkan atensi atau perhatian belajar pada anak dengan intellectual disability. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan subjek seorang anak berusia 12 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Instrument penelitian yang digunakan berupa wawancara dan observasi secara kualitatif dengan adanya perlakuan pada penguatan perilaku pada subjek. Penggumpulan data menggunakan observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa reinforcement posif mampu meningkatkan atensi anak disabilitas intelektual pada perhatian pada tugas-tugas sekolah (PR) nya. Orang tua memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai cara untuk meningkatkan minat anak dalam belajar melalui penguatan yang diperoleh pada saat intervensi.

Kata Kunci : intellectual disability, perhatian belajar, positive reinforcement

(10)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Intellectual disability merupakan keadaan yang ditandai dengan keterbatasan intelektual, perilaku adaptif, dan keterbatasan secara sosial yang muncul sebelum usia 18 tahun (Shree & Shukla, 2016). Penyebab intellectual disability dibagi menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor keturunan atau biologis yaitu gangguan pada kromosom, dan gangguan genetik. Sedangkan faktor eksternal meliputi maternal malnutrition, keracunan, radiasi, kerusakan otak waktu kelahiran karena lahir premature atau low brith weight, panas yang terlalu tinggi, infeksi pada orang tua, gangguan otak ataupun fisiologis (Oltmans& Emery, 2013). Faktor lain yang menyebabkan gangguan intellectual disability adalah faktor psikologis dan sosial yaitu lingkungan yang tidak kondusif dapat mempengaruhi dalam kecerdasan, dan lingkungan yang miskin serta status sosial keluarga yang rendah dapat menyebabkan anak keterbatasan intelektual karena lingkungan yang miskin dan kurangnya stimulatif dan responsif terhadap perkembangan intelektual anak (Oltmans&Emery,2013).

Saat ini, anak dengan intellectual disability atau disabilitas intelektual merupakan kategori yang paling banyak dari anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan.

Menurut data WHO, anak-anak dengan disabilitas intelektual memiliki sekitar 1-3% dari populasi anak-anak secara umum (Akhmetzyanova, 2014). Anak dengan disabilitas intelektual ditandai dengan beberapa simptom yaitu adanya defisit perkembangan pada keadaan domain intelektual dan adaptif secara sosial, konseptual dan praktikal yang terjadi sebelum usia 18 tahun (APA, 2013).

Fungsi- fungsi kognitif ditentukan oleh tes intelegensi dan kemampuan adaptif merujuk pada kemampuan konseptual, sosial, dan praktikal yang dipelajari seseorang untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (Mangunsong,2014). Penentuan keterbatasan intelektual ditentukan berdasarkan skor IQ (intelegentquotient) yang ditentukan oleh suatu tes intelegensi terstandart seperti skala Weschler atau Standford Binet Intelegence Scale. Fungsi intelektual meliputi kemampuan memberikan alasan,

(11)

2

memecahkan masalah perencanaan dan berfikir abstrak sedangkan fungsi adaptif seperti kemampuan dalam hal kemandirian dan tanggung jawab sosial (APA,2013).

Anak-anak dengan keterbatasan intelektual pun mampu dikembangkan berdasarkan ciri- ciri dan keterbasannya serta apa yang dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari- harinya. Subjek dalam kasus ini didiagnosis intellectual disability moderate dengan ciri- ciri IQ 51, adanya keterbatasan dalam fungsi adaptif dan sosial. Karateristik anak dengan intellectual disabilities moderate yaitu ia mampu untuk dilatih, meskipun berespon lama terhadap pendidikan dan sebuah pelatihan, anak dapat dilatih untuk mengurus diri. Selain itu, anak dengan intellectual disabilities memiliki kekurangan dalam kemampuan mengingat dan menggeneralisasi bahasa, konseptual, perseptual dan kreativitas sehingga perlu diberikan tugas yang simple dan singkat, relevan (Mangunsong,2014).

Seperti yang dijelaskan Baker (2015) bahwa peserta didik dengan disabilitas intelektual dapat mencapai kualitas hidup yang tinggi dalam beragam aspek kehidupan dengan diberikannya dukungan yang sesuai untuk membantu mereka mencapai potensi mereka dalam bidang kehidupan akademik dan fungsional seperti hidup mandiri. Namun, tidak semua anak Intellectual disabilitydapat diajarkan kemampuan bidang akademik, karena Intellectual disabilitydibagi menjadi beberapa kategori sesuai kemampuannya.

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V, disabilitas intelektual dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat keparahan ringan (mild), dimana pada usia sekolah individu mengalami kesulitan memahami penulisan, membaca, aritmatika, waktu, uang.

Tingkat keparahan sedang (moderate) untuk anak usia sekolah, kemajuan dalam penulisan, membaca, matematika, dan uang terjadi secara lambat dan jauh tertinggal dibandingkan dengan teman sebaya. Tingkat keparahan berat (severe) individu umumnya memiliki sedikit pemahaman tentang bahasa tertulis atau konsep yang melibatkan jumlah, waktu, dan uang. Tingkat keparahan sangat berat (profound) individu umumnya diarahkan untuk dapat menggunakan benda-benda untuk perawatan diri, pekerjaan, dan rekreasi.

Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian ini akan berfokus pada anak dengan Intellectual disability ringan. anak Intellectual disability digolongkan berdasarkan pengukuran IQ menggunakan tes Stanford Binet, sehingga anak yang dikategorikan

(12)

3

sebagai anak Intellectual disability ringan berdasarkan tes tersebut adalah yang memiliki skor IQ 80-89 (Blake, 1976 dalam Soemantri, 2006).

Akhmetzyanova (2014), menjelaskan penerapan intervensi yang memungkinkan untuk meningkatkan atensi belajar pada anak dengan keterbatasan pada intellectual disabilities, lebih mengutamakan pada perubahan pada perilaku dikarenakan fungsi pada pengembangan yang lain memiliki kekurangan yang sangat signifikan karena fungsi kognitif yang dikategorikan low grade. Pada penerapan terapi yang dikembangkan oleh B.F skineer yang meniti beratkan pada operan conditioning yang menentukan perubahan perilaku yang di jadikan penguatan yang positif lebih memungkinkan untuk diterapkan pada anak dengan retradasi mental dan gangguan pada intellectual disabilities (Mash &

Wolfe, 2014). Pada penguatan positive yang berisi efek langsung dari reinforcement positiveadalah meningkatnya frekuensi respon karena konsekuensi penguat yang segera diberikan.

Sedangkan efek tidak langsung dari prinsip penguatan adalah menguatkan sebuah respons karena akan diikuti penguat, walaupun penguatnya tidak diberikan dalam waktu yang bersamaan.

Sedangkan kekurangan saat penerapan reinforcement positivelebih pada intensitas penguatan yang harus selalu control scheduling yang menjadikan penerapan intervensi lebih berdampak konseptual.

(Martin, G. & Pear, J, 2015). Dengan keterbatasan yang dimiliki anak dengan intellectual disabilities tentunya beberapa intervensi sulit untuk dikembangkan untuk mengatasi berbagai permasalahan pada anak salah satunya adalah penguatan terhadap perilaku positive.

subjek pada kasus ini memiliki kesulitan untuk masuk sekolah karena menganggap sekolah adaalah sesuatu yang kurang menyenangkan. Dalam kasus yang akan ditangani kali ini adalah anak dengan disabilitas intelektual atau gangguan kognitif yang mengalami kesulitan dalam mengatur tugas sekolahnya. anak yang menjadi sasaran disini sudah terbiasa susah masuk sekolah. Tepat waktu pada saat bel berbunyi merupakan salah satu tugas kepala sekolah dimana sebagian besar anak dengan IDD mengalami masalah ini.

Namun dalam kasus subjek masalah tersebut dapat diatasi dengan salah satu teknik modifikasi perilaku yaitu memerikan penguatan positive. Teknik penguatan positiveyaitu:

membentuk pola perilaku dengan memberikan penguatan atau penguatan positivesegera setelah perilaku yang diharapkan terjadi merupakan cara yang efektif untuk mengubah perilaku (Corey,1999).

(13)

4

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak dengan disabilitas intelektual mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya pada proses belajar di sekolah. Reinforcement positive merupakan salah satu teknik terapi dalam modifikasi perilaku yang diasumsikan mampu membantu anak-anak disabilitas intelektual dalam memuasatkan perhatian pada belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas reinforcement positive untuk meningkatkan atensi anak dengan disabilitas intelektual. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh orang tua atau significant others untuk membantu anak-anak dengan disabilitas intelektual di Sekolah.

KAJIAN PUSTAKA Kerangka Teori Reinforcement Positive

Metode perubahan pada Perilaku dengan teknik reinforcement positive merupakan suatu proses penguatan perilaku operan (reinforcement positive atau negative) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut berulang atau menghilang sesuai dengan keinginan (Nelson. R., & Jones, 2011). Reinforcement positive adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk reinforcement positive dapat berupa hadiah, perilaku atau penghargaan. Pendekatan dengan menggunakan behaviorisme mengutamakan pada bentuk perilaku yang disebabkan oleh rangsangan (Milteneger, 2008).

Teori yang mengutamakan pengkodisian pada operan conditioning yang dikemukakan oleh B.F Skinner menyatakan bahwa pengaruh lingkungan menghasilkan perilaku yang diperkuat dengan adanya perilaku yang diberikan stimulus secara berkelanjutan dengan berbagai rangsangan dan tanggapan yang dihasilkan mengarah pada pemberntukan kebiasan subjek (lefrancois, 2012). Perilaku subjek yang ditunjukan pada observasi pada saat pertemuan yaitu mudah teralihkan terhadap rangsangan di lingkungan belajar kemudian terus menjadi kebiasaan subjek. Perilaku yang ditunjukkan subjek bermula dengan adanya perlakuan pola asuh yang diberikan oleh orang tua. Teori behavioral yang disampaikan oleh Skinner melihat masalah psikologis berasal dari proses pembelajaran Hal

(14)

5

ini bertujuan untuk memunculkan minat subjek dalam melakukan aktivitas yang menyenangkan dan memberikan rasa nyaman serta dibarengi dengan pemberian penguatan positive untuk memperkuat perilaku yang diinginkan (Kenter, Busch, Rusc, 2009).

Menurut skinner penguatan positive positive reinforcement adalah apapun yang memperkuat dan meningkatkan kemungkinan bahwa suatu perilaku akan terjadi lagi.

Penting untuk di pahami sejak awal, yaitu dua point esensial tentang menerapkan reinforcement positive (Erford, 2016). Teknik Positive reinforcement yaitu jika seseorang dalam situasi tertentu melakukan sesuatu yang segera diikuti oleh positive reinforcement, maka orang tersebut cenderung akan melakukan hal yang sama pada saat dia dihadapkan pada situasi yang sama (Martin & Pear, 2003).

intellectual disabilities

Menurut Mangunsong (2009) berdasarkan batasan para ahli, anak yang tergolong luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan/ kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, disabilitas intelektual, gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak khusus / luar biasa, karena memerlukan tenaga yang terlatih dari tenaga profesional. Anak luar biasa atau memiliki kebutuhan khusus yang dibahas dalam penelitian ini adalah anak dengan disabilitas intelektual, atau dalam bahasa indonesia disebut juga dengan Intellectual disability. Di tahun 2010 IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) mendefinisikan disablitas intelektual sebagai “fungsi intelektual yang secara umum lebih rendah dari rata-rata, yang bersamaan dengan defisit dalam perilaku adaptif yang dimanifestasikan selama periode perkembangan dan berdampak buruk terhadap kinerja pendidikan anak (Turnbull, Turnbull, Wehmeyer & Shogren, 2012).

American Association on Disabilities and Developmental Disabilities (AAIDD) memperkenalkan istilah disabilitas intelektual dan mendefinisikannya sebagai “fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang secara signifikan terbatas (diungkapkan dalam keterampilan adaptif konseptual, sosial, dan praktis). Gangguan ini bermula sebelum usia

(15)

6

18 tahun (Turnbull, Turnbull, Wehmeyer & Shogren, 2012). Menurut Schalock (2010, dalam Turnbull, Turnbull, Wehmeyer & Shogren 2012) dua karakteristik utama disabilitas intelektual adalah keterbatasan dalam fungsi intelektual dan keterbatasan dalam perilaku adaptif, dimana :

1. Intelegensi anak degan disabilitas intelektual, mengacu pada keterbatasan kemampuan mental umum untuk menyelesaikan masalah, memperhatikan informasi yang relevan, berpikir secara abstrak, mengingat informasi dan keterampilan penting, belajar dari pengalaman sehari-hari, dan menggeneralisasi pengetahuan dari satu pengaturan ke pengaturan lainnya.

2. Ada tiga domain perilaku adaptif:

a) Keterampilan konseptual termasuk bahasa (reseptif dan ekspresif), membaca dan menulis, konsep uang, dan pengarahan diri sendiri.

b) Keterampilan sosial mencakup tanggung jawab, harga diri, mudah tertipu, dan mengikuti aturan.

c) Keterampilan praktis mencakup aktivitas kehidupan sehari-hari, keterampilan kerja, dan pemeliharaan lingkungan yang aman

Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas bahwa Intellectual disability adalah individu yang memiliki kecerdasan di bawah normal yang berpengaruh pada kemampuan belajar, beradaptasi dan berperilaku.

Atensi Belajar

Kerig dan Wenar (2006) menyatakan Atensi adalah pemusatan pikiran, dengan jelas dan sadar, terhadap suatu objek oleh adanya keinginan untuk menghadapi objek tersebut. Atensi merupakan salah satu fungsi kognitif yang penting. Tanpa atensi, mempelajari informasi yang baru dan penting akan menjadi sulit. Menurut APA (2000), timbulnya gejala pada inatesni atau kurangnya perhatian seperti bermain atau menghadiri kelas, serta keluhan kegagalan pada akademik juga dikaitkan dengan kurangnya pengawasan orangtua yang ditandai dengan interaksi antara orang tua dan anak yang negatif atau kurang intens. Pada perilaku inatensi atau kurangnya perhatian dengan perkembangan intelektual pada anak yang menunjukkan hasil intelektual dibawah rata-rata

(16)

7

disebabkan oleh kurangnnya rangsangan pada lingkunagn internal yaitu orangtua, keluarga, dan perhatian, menimbulkan kecerdasan yang dibawah rata-rata, dan juga menunjukkan kinerja pada penguatan perhatian yang menimbulkan inatensi atau kurangnya perhatian dalam penguatan belajar anak.

B.F Skinner mengembangkan Teori Operant Conditioning yang menyatakan bahwa tingkah laku tidak hanya sekedar respon pada stimulus, tapi suatu perbuatan sengaja (operant). Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam situasi tertentu disebut tingkah laku. Tingkah laku tersebut berada diantara dua pengaruh yakni pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Kondisi ini bisa digambarkan seperti di bawah ini:

Kerangka Berfikir

A B C

ANTENCENDENT TINGKAH LAKU KONSEKUENSI

Pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) anak mengalami penurunan terhadap atensi pada belajar mejadi salah satu faktor diakibatkan oleh pola asuh yang avoidence dan kurang peduli pada subjek, serta dukungan pada lingkungan yang menurunkan minat belajar subjek

Subjek sering menghindari belajar dan sulit memahami pemecahan tugas seperti pekerjaan rumah yang diberikan guru

Menurunnya kemampuan belajar anak yang bisa dioptimalkan dengan memberikan dukungan dan perhatian untuk meningkatkan belajar anak

Metode Positive Reinforcement Meningkatkan Atensi Belajar

Anak

Perilaku Off-Task Pada Anak Menurun

Anak Dengan Intellectual Disabilty

(17)

8 HIPOTESIS PENELITIAN

Ada pengaruh pemberian metode positive reinforcement pada peningkatan atensi belajar anak dengan intellectual disabilty

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus dengan subjek tunggal. Penelitian studi kasus dengan subjek tunggal adalah metode penelitian untuk mengevaluasi efek suatu intervensi atau suatu tindakan pada kasus tunggal. Yang dimaksudkan dengan kasus tunggal ialah subjek yang diteliti tunggal atau dapat berupa beberapa subjek dalam satu kelompok (Latipun, 2008). Kasus tunggal dapat diteliti menggunakan kasus individu, keluarga maupun kelompok (Morgan & Morgan, 2009). Desain penelitian dengan menggunakan studi kasus subjek tunggal dapat memberikan pemahaman lebih banyak dan mendalam mengenai mekanisme perubahan dalam intervensi (Gallo, Comer, & Barlow,2013).

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini sebanyak satu orang. Subjek berjenis kelamin wanita yang berusia 12 tahun dan merupakan salah satu murid pada sekolah dasar di kota Malang.

Subjek tinggal bersama kedua orangtuanya dan adik laki-lakinya. Subjek sedang menempuh sekolah dasar.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian menggunakan empat tahap asessmen yaitu asessmen awal, ketika intervensi dan setelah intervensi :

1. Wawancara, untuk mendapatkan informasi yang mendalam terkait permasalahan yang dialami oleh subjek. Wawancara semi terstruktur dilakukan pada subjek dan orang dilingkungan subjek.

2. Observasi untuk melihat dan mengetahui perubahan perilaku subjek sebelum dan setelah intervensi.

(18)

9

3.Stanfor binnet diberikan sebelum intervensi dilakukan. Tes ini bertujuan untuk mengetahui taraf IQ subjek.

4. Skala kemajuan sosial untuk melihat kemampuan sosial dan perhatian belajar pada subjek pada saat sebelum dan sesudah diberikan perlakuan saat penelitan

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penilitian ini menggunakan metode analisa kualitatif. Metode analisa kualitatif dilakukan dengan cara mengamati perubahan langsung secara visual (Ray, 2015). Metode analisa ini memiliki empat langkah yang melibatkan dokumentasi pola dasar yang dapat diprediksi, pemeriksaan data dalam setiap fase untuk menilai pola, membandingkan data antar fase untuk menilai efek intervensi, dan integrasi informasi dari semua fase (Kratochwill, 2010).

Presentasi Kasus

Subjek yang merupakan seorang perempuan berusia 12 tahun saat ini tinggal bersama kedua orangtuanya di Malang. Subjek merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini subjek sedang menempuh sekolah dasar di salah satu SD di Malang. Subjek memiliki tinggi 140 cm dengan berat badan 39 kg.

Permasalahan dan Deskripsi Subjek

Subjek berjenis kelamin perempuan berusia 12 tahun saat ini menduduki bangku kelas 5 sekolah dasar. Sejak kecil subjek tinggal bersama dengan Orang tua. Subjek sejak kecil mengalami pertumbuhan yang tidak sama dengan teman-teman seusianya, subjek mengalami ketidakberfungsian pada saraf motorik kasar yaitu pada usia 4 tahun subjek belum bisa berdiri dan tidak dapat menyeimbangkan badan. Selain itu, subjek juga mengalami kesulitan dalam berbicara. Pada usia 7 tahun subjek mulai dapat berjalan dan berbicara namun masih belum lancar.

Pada perkembangan anak yang berusia 7 – 11 tahun pada saat sekolah membutuhkan karakteristik seperti kontrol diri, sopan santun. Terkadang moderasi dan kepatuhan terhadap aturan orang dewasa (Eccle, 1999) subejk sulit untuk bekerja secara mandiri, dan kurang mampu mempertahnkan fokus [ada tugas yang berdurasi 1 – 2 menit.

Dilema dalam menguatkan atensi dengan fokus pada tugas hingga selesai menjadi konflik dalam masa penguataan di perkenmbangan belajar anak dan akan menambahkan penagruh kebiasaan buruk sampai pada jenjang dewasa dan bisaanya akan timbul saat usia 5 – 7

(19)

10 tahun (Loeber et,al, dalam kerig dan wenar 2006).

Subjek pada saat memasuki bangku sekolah dasar pada usia 8 tahun, subjek bersekolah disalah satu sekolah dasar swasta di kota Malang, namun subjek mendapatkan pembullyan secara verbal dan fisik baik dari teman ataupun guru. Bentuk pembullyan yang didapatkan subjek dari guru adalah pembulyyan secara verbal dengan mengatakan bahwa subjek adalah anak yang bodoh. Selain itu, bentuk pembullyan yang didapatkan dari teman- teman subjek adalah pembullyan secara verbal dan fisik yaitu teman-teman subjek sering mendorong subjek kemudian mengatakan bahwa subjek adalah anak yang bodoh. Akibat dari pembullyan tersebut subjek kemudian dipindahkan oleh orangtuanya ke salah satu sekolah dasar di kota Malang namun orangtua merasa subjek tidak memiliki perkembangan dalam intelegensi sehingga orangtua subjek kemudian memutuskan untuk memindahkan subjek ke salah satu sekolah luar biasa (SLB) di kota Malang hingga saat ini subjek menduduki bangku kelas 5.

Sejak memasuki bangku sekolah luar biasa subjek mendapatkan pendampingan secara khusus yaitu selama proses pembelajaran di sekolah subjek diberikan guru pendamping khusus yang membantu subjek dalam belajar. Secara sosial subjek terlihat kurang mampu bersosialisasi dengan teman-temannya, subjek cenderung menyendiri pada saat jam istirahat, berjalan ke kantin sendiri dan makan sendiri tanpa membagi makanannya kepada teman. Selain itu, subjek juga kurang mampu bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya, subjek mengatakan bahwa pada saat pulang sekolah kegiatan yang sering dilakukan adalah bermain game dan menonton televisi di rumah. Subjek mengaku bahwa pada saat berada di rumah ia tidak pernah mengulang pelajaran dan menurut subjek orang tua cenderung bermain handphone tanpa membantu subjek dalam belajar.

Berdasarkan hasil saat wawancara pada guru, subjek adalah anak yang mempunyai kesulitan dalam berkonsentrasi dan ketika beraada dikelas subjek kurnag mampu memperhatikan dengan fokus kegiatan belajar- mengajar. Subjek mempunyai motivasi yang kurang pada saat belajar. Kemampuan subjek untuk meningkatkan perhatian dalam kegiataan belajar mengajar mengalami hambatan di bandingkan teman sebaya. hal ini dikarenakan subjek kurang memperhatikan dalam belajar. Selain itu, guru ini juga mengatakan bahwa subjek sering melamun, tidak memperhatikan penjelasan guru di depan kelas, menyebabkan subjek tidak memahami pelajaran yang diberikan oleh guru dan

(20)

11

bingung saat mengerjakan tugas. Hal ini membuat guru harus mengulang penjelasan yang disampaikan agar subjek mampu memahami pelajaran tersebut dan mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Pada penelitian yang dikemukakan oleh Barkley (2003), menjelaskan inatensi adalah keadaan dimana kurangnya perkembangan dalam menstimulasi atau rangsangan pada diri yang membuat susah untuk berkonsentrasi pada saat belajar ketika ada aktivitas atau tugas dalam belajar mengajar, untuk mengahafal dan mematuhi perintah pada saat belajar mengajar. Ketidakmampuan juga terjadi untuk mengabaikan faktor-faktor yang mengganggu saat melakukan aktivitas belajar menghar dan pekerjaan rumah yang akan di selesaikan pada saat dirumah. Ketika adanya pelajaran yang membuat anak sulit untuk memusatkan perhatian menjadikan anak membutuhkan waktu yang lama agar memahami proses belajar mengajar yang diberikan oleh guru.

Guru juga mengatakan bahwa subjek merupakan anak yang mudah lupa. Hal ini terlihat pada saat guru meminta subjek untuk membawa barang keperluan sekolah subjek terkadang melupakan hal tersebut sehingga tidak membawanya ke sekolah. Selain itu, pada saat berada didalam kelas subjek juga terkadang lupa untuk membawa pulang buku pelajarannya sehingga guru harus selalu mengingatkan subjek. Berdasarkan hasil tes psikologi Binnet didapatkan IQ subjek sebesar 81 atau berada pada kategori mentally defective. Berdasarkan hasil hasil skor mental age dapat diketahui bahwa kemampuan intelegensi subjek setara dengan anak usia 6 tahun. Menurut tahapan perkembangan piaget subjek termasuk kedalam tahap perkembangan operasional formal yang sesuai dengan usia perkembangan 12 tahun yaitu pemikiran yang lebih abstrak, logis dan idealis. Namun, sesuai dengan mental age dan usia kematangan sosial subjek yaitu berusia 6 tahun, maka saat ini subjek termasuk dalam tahapan perkembangan praoperasional yaitu kemampuan anak dalam mengembangkan pikirannya mengenai dunia sekitarnya (Santrok, 2011).

Pendekatan dengan menggunakan behaviorisme mengutamakan pada bentuk perilaku yang disebabkan oleh rangsangan (Milteneger, 2008). Teori yang mengutamakan pengkodisian pada operan conditioning yang dikemukakan oleh B.F Skinner menyatakan bahwa pengaruh lingkungan menghasilkan perilaku yang diperkuat dengan adanya perilaku yang diberikan stimulus secara berkelanjutan dengan berbagai rangsangan dan tanggapan yang dihasilkan mengarah pada pemberntukan kebiasan subjek (lefrancois, 2012). Perilaku subjek yang ditunjukan pada observasi pada saat pertemuan yaitu mudah

(21)

12

teralihkan terhadap rangsangan di lingkungan belajar kemudian terus menjadi kebiasaan subjek. Perilaku yang ditunjukkan subjek bermula dengan adanya perlakuan pola asush yang diberikan oleh orang tua.

Berdasarkan hasil asesmen menjelaskan bahwa subjek mendapatkan hasil dari tes Binnet sesuai dengan kriteria diagnosis gangguan Intellectual disability. Gangguan Intellectual disability berdasarkan hasil yang diketahui dari skor IQ subjek sesuai pada aspek yang ditentukann dan terbatasnya fungsi kognitif dan fungsi adaptif serta diikuti dengan masa perkembangan pada anak sebelum usia 18 tahun (APA, 2013). Tes intelegensi memberikan bahwa subjek mempunyai IQ 81 dalam skala binet yg termasuk pada disabilitas intelektual kategori moderate/ sedang. Fungsi adaptif terlihat dengan bagaimana subjek berinterksi dengan orang disekitarnya, subjek kurang mampu berintaraksi menggunakan bahasa yang terstruktur pada teman sebayanya dan memilih untuk tidak bergabung dikelas bersama sahabat-teman yg lainnya.

FORMULASI KASUS

Pada penelitian yang dipaparkan oleh Kerig dan Wenar (2006), menyatakan bahwa alasan anak mendapatkan perhatian adalah gairah yang rendah dalam menanggapi respon balik yang tertunda pada menjadikan penyelasian pada tugas dan diakibatkan kurangnnya pengawasan oleh orangtua. Lingkungan internal dalam penguatan perilaku subjek yaitu lingkungan rumah, dimana subjek kurang diberikan perhatian dan pengawasan oleh orangtua pada saat mendapatkan pelajaran dari sekolah membuat rangsangan pada respon anak untuk meningnkatkan perhatian belajar menjadi kurang karena tidak adanya perhatian yang intens diberikan oleh orangtua untuk mengawasi perkembangan berlajar anak dan mengapresisasi hasil kerja yang diberikan anak terhadap usaha anak dalam menyelesaikan tugas yang menyebabkan anak menjadi mudah teralihkan dikarenakan orangtua membiarkan anak tanpa pengawsan yang baik.

Intellectual disability menunjukkan perilaku intensitas yang sering memiliki risiko kesehatan yang serius. Risiko tersebut meliputi gizi buruk, penurunan berat badan, dehidrasi, kerusakan gigi, tersedak, perdarahan gastrointestinal, dan bahkan kematian.

Selain efek yang merugikan kesehatan, inatensi juga dapat mengakibatkan isolasi sosial dan mengurangi kesempatan pendidikan atau kejuruan dengan menghambat penampilan

(22)

13

seseorang dan menyebabkan bau busuk karena sering kontak dengan muntahan (Lang, et al, 2011). subjek diduga mengalami sensory processing disorder, yaitu respon tubuh pada stimulus lingkungan yang ada bisa berlebih atau kurang (Delaney, 2008). Lefrancois (2012), menjelaskan bagaimana mengatur lingkungan untuk mempengaruhi pembentukan perilaku anak sebagai agen sosial terutama orangtua yang sangat berperan penting dalam pembentukan perilaku anak. Tingkat respon orang tua terhadap perkembangan belajar maupun perilaku anak, tergantung bagaimana cara orangtua memberikan pola asuh untuk mendidik anak, mendisiplinkan anak dan keterlibatan orang tua terhadap perkembangan anak memberikan kesempatan untuk anak agar menstimulasi kegiatan atau pelajaran yang dilakukan setiap hari (Schunk, Pintinch, dan Mecce, 2012). Schunk, Pintinch, dan Mecce, (2012), juga menyatakan interaksi orangtua dan anak sebagai faktor kunci dalam perkembangan anak yang ditemukan pada penelitian yang dikemukakan. Kegembiraan anak diakibatkan hubungan yang intens dalam keseharian di lingkungan internal yaitu rumah besama orangtua dan anak menimbulkan ketertarikan antara orangtua dan anak yang hangat menciptakan penguatan dalam perilaku lalai, dan mudah terdistraksi anak dikarenakan kelekatan yang terjalin anatara orangtua dan anak. Hal ini akan menimbulkan kebiasaan belajar anak dirumah secara teratur dan menimbulkan dukungan pada kualitas bimbingan dari orangtua. Menurut Schunk, Pintinch, dan Mecce, (2012) orangtua yang memanjakan anak tetapi kurang menuntun anak pada perilaku yang positive akan mempengaruhi perkembangan anak. Banyak aturan yang ditekankan tetapi tidak diterapkan secara konsisten akan memungkinkan anak untuk mengatur perilaku mereke sendiri. Perilaku yang di tunjukkan pada lingkungan rumah oleh subjek cenderung diakibatkan kebiasaan dari memanjakan keinginan subjek agara tidak merajuk dirumah seperti pengalihan dalam memberikan gadget untuk perilaku inkonsisten dalam merayu ketika orantua tidak mengawasi anak dalam kegiatan yang lain, hal tersebut membuat kebiasaan dalam penguatan anak untuk terus fokus pada permainan gadget tanpa adanya fokus pada perhatian belajar yang menurunkan minat dalam perhatian belajar anak.

Konsekuensi diakibatkan penguatan yang salah membuata anak cenderung kurang gigih dalam belejar dan tidak berusaha dalam menghadapi kesulitan.

Turner (2001) mengemukkan cara yang masif untuk terlibat dalam kegiatan anak adalah melibatkan anak adalam kegiatan dan pekerjaan rumah. Dalam konsekuensi positf

(23)

14

cenderung pemperkuat perilaku akademik anak dengan bantuan orangtua dalam bekajar.

Berbeda dengan keadaan subjek, pembiasaan yang dilakuan dirumah buka timbul diakibatkan penguatan bersama orantua namun terjadi diakibatkan keadaan penguatan bersama orang lain, mengakibtkan keadaan dalam proses perlajar tidak konsisten dikarenakan pola asuh yang tidak intens yang diberikan olaeh orangtua dan orang tua jarang memberikan perhatian pada saat anak mengerjakan tugas serta jarang memeriksa pekerjaan anak, ketika subjek menyelasikan kursus ataupun pekerjaan rumah tidak ada evaluasi yang mendalam yang diberikan oleh orang tua, mengakibatkan kebiasaan anak dalam perhatian belajar kurang maksimal. Orang tua yang memnajakan anak cenderung reseptif akan tetapin kurang menuntut anak atau subjek meningkatkan perkembangan dalam faktor tertentu. Perilaku anak terlihat kurang termotivasi ketika mendapat penguatan dari lingkungan internal yang cenderung memanjakan materi tanpa aturan untuk membiasakan anak dalam belajar, yang mmbuat anak kurang termotivasi dalam belajar (Turner, 2001).

Terapi reinforcement positive untuk meingkatkan perhatian pada materi pembelajaran anak dengan disabilitias intelektual dapat dikembangkan dengan kerangka teori yang mengkaitkan pada base line Behaviorisme yang menurut McLeod (2007) dianggap sebagai yang paling ilmiah dari perspektif psikologis, selain itu juga behaviorisme adalah paradigma yang sering menjelaskan mengenai pembelajaran. Hoy (2007) mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku. Pengalaman menghasilkan perubahan dalam perilaku seseorang. Perubahan harus terjadi karena pengalaman, baik pembelajaran itu disengaja atau tidak disengaja. Pembiasaan suatu perilaku yang baik menjadi sesuatu yang penting dilakukan saat belajar, sehingga penekanan terhadap perilaku baik tersebut banyak dikaitkan dengan proses pembelajaran. Ketidakmampuan seseorang dalam peningkatan pengetahuan dikelompokan suatu kesehalan yang harus diperbaiki dan keberhasilan dalam belajar dikelompokkan dalam perilaku yang perlu diberi reward.

Behaviorisme menyatakan bahwa pembelajaran terjadi sebagai hasil dari pengkondisian, suatu sistem pembentukan hubungan antara stimulus dan respon (Skinner, 1957).

Behavioris mendefinisikan pembelajaran sebagai perubahan permanen dalam perilaku yang terjadi sebagai akibat dari Latihan. Dengan cara ini, perilaku yang diinginkan

(24)

15

didorong atau diperkuat sementara perilaku yang tidak diinginkan tidak disarankan atau dilemahkan. Kondisi pembelajaran bisa menyesuaikan karakteristik serta kebutuhan subjek, ini dimaksud agar stimulus yang diberikan orang tua dan guru bisa direspon baik atau subjek terlatih untuk belajar. Orang tua dan Guru tentunya harus peka terhadap kebutuhan subjek, sehingga dapat segera merancang stimulus yang sesuai dengan kondisi didalam kelas, karakteristik subjek serta materi pembelajaran, sehingga dapat mendukung peserta didik dalam pembelajaran. Pengkondisian operan adalah model penguatan di mana pelajar mendapatkan perilaku baru.

Pengkondisian operan berfokus pada perubahan perilaku dengan penggunaan penguat.

Penguatan merupakan respon yang diberikan setelah perilaku yang diinginkan.Dengan memberikan positive reinforcement untuk Perhatian belajar pada anak yang memiliki kekurangan pada tahap perkembangan relative rendah, agar menunjang kemampuan atensi yang baik pada anak dengan developmental disabilities, termasuk disabilitas intelektual karena anak lebih cepat merasa diapresiasi atas tahapan perilaku yang berhasil dilakukannya (Martin & Pear, 2003). Formulasi pada kasus yang ditangani adalah perilaku off task yang menjadi tingkah laku diluar konteks kegiatan belajar yang terjadi pada anak dengan Intellectual disability. Secara general perilaku yang ditunjukkan oleh murid pada kegiatan belajar-mengajar di kelas. Terdapat peenguatan pada pembiasaan perilaku pada siswa ketika belajar mengajar terdapat perilaku yang muncul dengan dikenhendaki dengan perilaku yang sadar, perilaku tersebut dikenal dengan off task behavior. Jika perilaku yang tidak dikehendak terus dibiarkan dan terus diulang maka berakibat pada kegagalan akademik, seperti rendahnya nilai akademik, tidak mampu naik kelas, dan bahkan tidak lulus ujian akhir (Sparzo & Poteet, 1989). Sparzo & Poteet (1989), memaparkan perilaku murid yang dikehendaki (off task behavior) dikelas mempunyai beberapa ciri yaitu : implusiveness, inattension, noncompletation off task,out of seat, talking withouth permission, unmotivated to learn, unprepared for class, disruptive.

1. implusiveness, atau perilaku implusif yang memiliki dorongan yang tidak tertahankan untuk melakukan sesuatu menjadi implusi ketika seseorang bertindak berdasarkan instingnya

2. inattension, adalah rendahnya konsentrasi dan mudah untuk teralihkan perhatian dari satu kegiatan menjadi kegiatan yang lainnya

(25)

16

3. noncompletation off task, adalah perilaku yang menunda dan sulit untuk menyelesaikan tugas yang sudah terjadwal

4. out of seat, perilaku berikutnya adalah murid yang sulit fokusa pada pelajaran dan dengan mudahnya meninggalkan tempat duduk untuk mencari rangsangan yang lain.

5. talking withouth permission, yaitu perilaku yang membuat seseorang atau anak yang memiliki kontrol diri yang rendah dengan berbicara tanpa permisi pada kelas.

6. unmotivated to learn, adalah keadaan dimana siswa atau anak memiliki motivasi yang rendah pada kelas saat kegiatan belaja-mengajar dan sulit untuk meningkatkan minat pada perhatian belajar menhajar, serta sulit untuk menyelesaikan tugas yang sudah terjadwalkan.

7. unprepared for class, adalah keadaan dimana anak tidak mampu atau tidak siap mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, dan

8. disruptive, perilaku yang terakhir yang masuk pada kategori dikehendaki (off task behavior) adalah perilaku yang membuat orang lain terganggu pada kelas seperti, mengganggu teman sebangku, ataupun menjahili teman yang sedang melakukan kegiatan belajar mengajar.

Long (2011) mengemukakan bahwa pada penerapan reinforcment memiliki jenis penguatan dimana : Consumable reinforcer (makanan, minuman), Activity reinforcer (hobi, olahraga, belanja), Manipulative reinforcer (bersepeda, menggunakan internet), Possesional reinforcer (gelas kesayangan, baju favorit), dan Social reinforcer (pujian, pelukan, senyum).

Pada penjelasan penguatan yang dipaparkan menjadi base line dalam menentukan kemauan yang diinginkan oleh anak, dimana, keinginan yang menjadi penguatan anak untuk merubah perilaku didasari oleh jenis-jenis perilaku yang di stimulasi oleh anak yang menjadi penguatan sacara berturut-turut. Harmiyanto (2012), menyatakan bahwa perilaku off task adalah tingkah laku peserta didik yang timbul dari konteks kegiatan belajar memngajar yang signifikan dan menganggu proses belejar mengajar siswa. Jadi, sikap off task adalah perilaku yang muncul diakibatkan kurangnya komprehensi dalam kegitan atau aktivitas belajar mengjar. Keadaan pada subjek menunjukkan perhatian yang kurang disebabkan

(26)

17

kurangnya dukungan perhatian dari orang tua dan lingkungan untuk mendapatkan pelajaran yang sesuai dengan keadaan yang dialami subjek, dalam assessment yang dilakukan dengan tes binnet subjek menghasilkan tingkat IQ terdapat pada nilai 81 termasuk dalam disabilitas intelellectual kategori moderate/ sedang. Oleh karna itu dengan memberikan POSITIVE reinforcement yang baik akan menimbulkan kemampuan yang meningkat pada perhatian subjek. Dengan memberikan reward yang baik akan menimbulkan efek pada tingkat keberhasilan belajar subjek.

(27)

18

Data 1 : bagan alur permasalahan

INATENSI Kondisi internal :

1. IQ subjek dibawah rata-rata

2. Pendiam, ragu, dan cenderung menarik diri

3. Terdapat

permasalahan Pada perkembangan fisik 4. Kurang termotivasi

dan tidak semangat dalam kegiatan belajar mengajar

Konsekuensi dan kondisi lingkungan internal atau rumah :

1. Kurangnya pembiasaan mengulang pembelajaran dirumah

2. Kualita pendampingan dalam kegiatan belajar di rumah yang kurang intens 3. Pengaruh pola asuh dirumah cenderung kurang konsisten

4. Dipermudahkan dalam mendapatkan fasilitas permainan yang menjadi kebiasaan anak ketika pengawasan orangtua yang sedang sibuk bekerja dengan memberikan

Gadget untuk

mengalihkan pengawasan dalam pola asuh di rumah

1. Sulit menyelesaikan tugas 2. Guru selalu mengulang

penjelasan untuk meningkatkan pemahaman subjek

3. Hasil dalam belajar mengajar mengalami penurunan

Stimulus dari lingkungan kelas dengan siswa yang berada dikelas sebanyak 23 siswa

Respon perilaku murid (off task behavior) :

1. Implusiveness, dimana perilaku subjek yang melamun, terdistraksi dengan siswa lain, sering mengalihkan fokus dengan memainkan objek diatas meja, dan menundukan kepala di meja

2. unprepared for class, perhatian subjek dalam kegiatan belajar mengajar tidak konsisten dimana pemusatan perhatian yang kurang fokus dan durasi untuk

memperhatikan perlajaran hanya beberapa menit saja

3. unmotivated to learn, kurangnya keinginan untuk menyelesaikan tugas dalam kegiatan belejar mengajar

4. inattension, adalah rendahnya konsentrasi dimana subjek mudah lupa saat diberikan pemahaman secara verbal oleh guru

(28)

19 INTERVENSI

Pendekatan pada intervensi yang dilakukan menggunakan Positive Reinforcement, pada intervensi yang digunakan sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Blondis dan Piffner (2005), menyatakan modifikasi perilaku mempunyai signifikansi untuk diberikan pada anak dengan gangguan atensi, Langkah yang dapat dilakukan artinya mengidentifikasi perilaku anak yang ingin dirubah dengan meniti beratkan pada proses belajar mengjar serta pendampingan orang tua. Penggunaan metode penguatan atau reinforcement mrmiliki efektifitas untuk menurunkan perilaku off-task dengan pemeberian penguatan secara terjadwal yang membuat pembiasaan yang continue dalam intervensi yang diberikan (Long, 2011).

Menurut Austin dan Soeda (2008), memaparkan bahwa penguatan dalam perilaku yang sudah terjadwalkan pada waktu yang efektif untuk mengurangi perilaku off-task.

Reward Reinforcement pada subjek dijadikan penguatan untuk membiasakan perilaku untuk diapresiasi oleh praktikan dan orangtua sesuai dengan kebutuhan subjek. Ketika proses pembibingan dalam penguatan belajar subjek diberikan penguatan pujian Ketika perilaku yang diinginkan muncul dan Reward positive lainnya. Proses Intervensi sebagai berikut :

Sesi 1: Identifikasi masalah dan penetapan tujuan

Pada sesi identifikasi masalah dan penetapan tujuan, terapis membangun rapport dengan orang tua. Tujuan dari sesi ini adalah untuk menentukan masalah yang dialami subjek. Terapis menjelaskan gambaran mengenai prosedur terapi yang akan dilakukan, tujuan dan manfaat dari proses terapi tersebut. Terapis kemudian menyampaikan kepada orangtua bahwa permasalahan yang dialami subjek saat ini adalah ketidakmampuan dalam mempertahankan perhatian. Terapis menjelaskan kepada orangtua subjek bahwa intervensi yang dilakukan bertujuan untuk membantu meningkatkan perhatian subjek. Terapis menyampaikan kepada orang tua bahwa intervensi dapat berhasil apabila adanya dukungan dari pihak orangtua dan guru.

Intervensi ini berjalan dengan baik karena orangtua dan guru memahami tujuan dan prosedur dari terapi.

(29)

20 Sesi 2 : Melatih atensi pada anak

pada sesi kedua ini, memunculkan kegiatan untuk dilakukan pada orangtua agar mampu membimbing anak denga proses mengajar dengan penggunaan penguatan yang berfokus pada Give Me Five yaitu, Ears are Listening yaitu mendengarkan intruksi saat orangrua dan guru menjelaskan pembelajaran untuk subjek dengan pemahaman dan penguatan yang menarik seperti menyelipkan permainan dalam proses kegiatan belar dengan menambahkan permainan puzzel dalam kegiatan berhitung subjek untuk menigkatkan ketertarikan subjek dalam memusatkan perhatian, Quite hand, yaitu subjek diberikan arahan untuk tidak memainkan angggota tubuh diatas meja yang tidak diperlukan untuk meningkatkan proses pengerjaan tugas, eyes are watching melatih siswa untuk fokus pada orang yang sedang berbicara, face forward wajah menghadap kedepan, lips are closed siswa tidak berbicara saat sedang tidak diberikan arahan untuk berbicara sesuai dengan tugas yang perlu, ketika subjek tidak mengerti akan pelajaran dan diberikan Reward positive berupa pujian dan Ketika mampu mendapatkan hasil yang meingkat akan diberikan reward tambahan seperti cek list permintaan untuk keinginan yang sudah disepakati. Orangtua diminta memberikan reinforcement positive dengan menyampaikan apresiasi melalui pujian dan hadiah serta memberikan intruksi ketika subjek melakukan perilaku off task ketika mengerjakan tugas, dengan mengarahkan subjek mengingat aturan Give Me Five. Terapis memberikan pada orangtua apabila subjek tidak bisa memperhatikan di saat mengerjakan tugas maka orangtua wajib mengingatkan subjek terkait Give Me Five tersebut agar subjek bisa mempertahankan perhatiannya.

Sesi 3 : Pemberian penguatan pada anak berupa hal yang disukai

Pada sesi ketiga, berdasarkan permasalahan yang dialami subjek yaitu kurangnya perhatian pada saat proses pembelajaran. Terapis meminta orangtua subjek untuk memberikan model pembelajaran yang interaktif agar subjek lebih mudah memahami dan mampu meningkatkan minat dalam proses belajar. Subjek mampu meningkatkan perhatian apabila terapis dan orangtua memberikan perhatian pada kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Selain itu, terapis juga menanyakan hal yang disukai subjek dan subjek mengatakan bahwa subjek senang menggambar. Hal tersebut dapat menjadi

(30)

21

penguat yang dapat diberikan kapada subjek apabila tidak memperhatikan pelajaran.

Subjek dapat diberikan jeda untuk menggambar terlebih dahulu kemudian setelah itu subjek diminta lagi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Selain itu, orangtua subjek juga diberikan tugas untuk tidak membandingkan subjek dengan adiknya.

Orangtua diharapkan untuk mulai menghargai kemampuan subjek dengan memberikan pujian terhadap keberhasilan subjek dalam memperhatikan pelajaran di kelas. Selain itu, orangtua juga diminta untuk memberikan hadiah kepada anak berupa permen, dan perhatian pelukan dan senyuman. Hal ini dapat membantu anak untuk mengembangkan minat yang dimilikinya dalam menggambar.

Sesi 4 : Evaluasi dan terminasi

Pada sesi ini terapis melakukan evaluasi pada semua sesi yang dilakukan secara menyeluruh. Terapis menjelaskan manfaat yang didapatkan orangtua subjek selama proses terapi kemudian terapis membuat kesimpulan kegiatan terapi dari awal sampai akhir.Terapis memantau kegiatan yang telah dilakukan dan memberikan evaluasi terhadap orangtua. Terapis melakukan pemberhentian terapi dan memberikan apresiasi kepada orangtua karena bersedia terlibat aktif dalam proses intervensi. Orangtua mendengarkan terapis dan memberikan respon yang baik kepada terapis serta mengatakan bahwa terapi yang dilakukan bermanfaat bagi subjek. Hasil pada sesi ini yaitu adanya perubahan perilaku pada anak sehingga anak dapat meningkatkan perhatiannya.

Sesi 5 : Follow Up

Terapis mengevaluasi sejauh mana keberhasilan dari terapi yang telah dilakukan dan hasil yang sudah dicapai dalam jangka waktu satu bulan sesudah proses terapi. Tujuan dari sesi ini yaitu mengetahui sejauh mana keberhasilan dari terapi yang telah dilakukan. Orangtua menjelaskan kepada terapis mengenai perkembangan subjek setelah intervensi. Menurut orangtua subjek mengalami perubahan yang signifikan yaitu subjek mampu untuk perhatian dalam mngerjakan tugas dan mendengarkan penjelasan guru.

(31)

22 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Pemberian intervensi pada subjek berupa reinforcment untuk menunjukkan adanya pencapaian perilaku yang dikehendaki pada saat terapi berlangsung dengan menggunakan observasi secara mendalam pada perilaku yang ingin diubah sehingga anak dapat mengurangi perilaku inatensi. Hal ini diperoleh dengan memberikan intervensi pada anak dan orangtua dimana orangtua memahami cara untuk memusatkan perhatian anak dalam belajar dan memberikan penguatan yang positive untu meningkatkan intensitas belajar anak, subjek diperkuat dengan keiniginan yang tercapai akan penyelesaian tugas dalam melakukan kegiatan serta memuji keberhasilan subjek pada saat meneyelesaikan tugas. Pendekatan behaviorisme menjadi pilihan untuk menrubah perilkau yang tidak konsisten pada anak dikarenakan adanya perilaku penguatan dan meniru dalam melakukan kegiatan pada anak sehingga perilaku inatensi pada anak berkurang. Orang tua diajarkan untuk lebih memberikan perhatian pada subjek ketika sedang merajuk dengan hal lain yang disukainya dan memberikan pujian dan reward, ketika subjek melakukan kegiatan diluar dari perhatian belajar maka diberikan aturan dimana subjek harus mengkuti arahan dan mengajak serta mengajarkan subjek kepada hal sudah disepakati dalam melakukan tugas tersebut agar anak bertanggung jawab dan orang tua harus memahami apa keinginan anak dan tidak membadingkan anak satu sama lain.

(32)

23

Gambar . Analisis Perubahan pada atensi

Response Antecendent Consequence Strength

Subjek mengerjakan PR dengan pendampingan berasama orang tua

Ketika mengerjakan PR di rumah

(+) Ibu/Ayah pendapingan yang intensif pada subjek selama belajar (+) adik meniru dan menikmati belajar dengan subjek dengan pengawasan orang tua

Frekuensi:

Setiap mengerjakan PR di rumah

Durasi: rata-rata seminggu 2 kali

Gambar . Rangkuman perubahan perilaku pada

atensi

Target Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Subjek  Subjek mudah terdistraksi

karena adik

 Saat pengerjaan tugas subjek sering memainkan tangan

 Perilaku belajar di rumah yang selalu sebentar dan bermain game

 Subjek jarang diganggu adik ketika belajar

 Kebiasaan subjek memainkan tangan selama pengerjaan tugas mulai berkurang

 Perilaku belajar dilakukan 30 menit

Orang tua

 Kurangnya kualitas pendampingan belajar pada subjek waktu malam hari dirumah dalam saat mengerjakan PR

 Lingkungan belajar subjek yang selalu terdistraksi menggunakan televisi dan gadget yg simpel diraih anak

 kebiasaan orang tua bermain gadged daripada mendampingi anak

 Orang tua menyadari bahwa subjek membutuhkan perhatian dan dukungan emosional dalam belajar di rumah

 Ibu menyadari pentingnya menciptakan lingkungan rumah yang kondusif untuk subjek belajar dengan menetapkan waktu untuk menonton televisi dan membatasi gadget anak

 Orang tua mau mendampingi anak saat mengerjakan tugas dengan membantu subjek mencari jawaban dari tugas

 Ayah menyadari bahwa subjek setidaknya dibiasakan untuk fokus dalam mengerjakan

(33)

24

Berdasarkan kesimpulan yang didapat setelah intervensi, terdapat perubahan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan. Intervensi yang dilakukan menunjukkan perubahan perilaku pada anak yang didukung oleh orangtua. Subjek dapat meningkatkan perhatian sehingga jarang melakukan perilaku off-task anak diberikan penguatan berupa perhatian pada anak untuk meningkatkan kemauan belajar anak pemberian pujian dan reward pada anak akan memberikan efek yang positive karena sebelum dilakukan intervensi pada anak orang tua sibuk dengan kegiatannya sendiri dan kurang memberikan perhatian pada pendampingan anak di rumah menyebabkan anak mengalihkan kegiatan dengan bermain gadget. Dalam melakukan kegiatan Anak diajak untuk merasakan kesenangan pada saat pembelajarn ketika anak bosan dengan pelajar maka bisa diubdah dengan mengembangkan pengajaran yang lebih ekspresif dimana anaka diajak bermain diluar sehingga anak dapat melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan ketertarikan pada sesuatu yang sedang dipelajari.

Terapis menjadi model kepada orang tua untuk mengurangi perilaku inatensi sehingga menjadi jarang perhatian dan perilaku off-task anak diberikan penguatan berupa perhatian pada anak untuk meningkatkan kemauan belajar anak pemberian pujian dan reward pada anak akan memberikan efek yang positive anak dan memuji kegiatan anak yang dapat dialihkan sehingga anak dapat memperhatikan dan perhatian pada tugas.

Penguatan perilaku yang dilakukan kepada orang tua dan Subjek pada kasus ini dilaksanakan dalam enam sesi yaitu identifikasi masalah dan penetapan tujuan, memberikan perhatian pada anak, penguatan padahal yang disukai anak, penguatan yang dapat menguatkan inatensi, evaluasi dan terminasi serta follow up.Target yang ingin

 Ayah berpandangan membebaskan subjek ingin bermain saat terdapat PR yg wajib dikerjakan

tugas

Guru  guru belum tahu penyebab asal permasalahan subjek secara mendalam serta manifestasinya di kegiatan pembelajaran di sekolah

 pengajar mengetahui kelebihan dan kelemahan subjek sebagai akibatnya dapat menjadi bahan buat merancang contoh pedagogi di kelas

(34)

25

dicapai bersama antara terapis dan orang tua yaitu terjadi perubahan perilaku inatensi dimana anak mampu meningkatkan perhatian dan tidak gampang tedistraksi dengan hal- hal yang lain dan orantua mampu memberikan penguatan untuk memberikan kemajuan dalam intervensi sehingga anak dapat diperhatikan dan meningkatkan perhatian pada tugas yang diberikan.

Hasil dari intervensi ini terjadi perubahan perilaku pada anak yaitu anak menjadi jarang diganggu oleh adiknya ketika belajar, kebiasaan subjek memainkan tangan selama pengerjaan tugas mulai berkurang, Kegiatan belajar dilakukan 30 menit. Anak dapat diajak untuk melakukan hal yang disukainya yaitu menggambar dan kemudian bercerita sehingga dengan melakukan kegiatan tersebut anak dapat lebih ekspresif dalam belajar dan menguatkan perilaku atensi pada pelajaran Karena dengan memberikan model pembelajaran yang interaktif anak lebih mudah memahami sesuatu dan menigkatkan minat dalam proses belajar mengajar.

PEMBAHASAN

Menurut APA (2000), timbulnya gejala pada inatesni atau kurangnya perhatian dalam situasi kelompok seperti bermain atau menghadiri kelas, serta keluhan kegagalan pada akademik juga dikaitkan dengan kurangnya pengawasan orangtua yang ditandai dengan interaksi antara orang tua dan anak yang negatif atau kurang intens. Pada perilaku inatensi atau kurangnya perhatian dengan perkembangan intelektual pada anak yang menunjukkan hasil intelektual dibawah rata-rata disebabkan oleh kurangnnya rangsanagan pada lingkunagn internal yaitu orangtua, keluarga, dan perhatian, menimbulkan kecerdasan yang dibawah rata-rata, dan juga menunjukkan kinerja pada penguatan perhatian yang menimbulkan inatensi atau kurangnya perhtian dalam penguatan belajar anak. Pada penelitian yang dipaparkan oleh Kerig dan Wenar (2006), menyatakan bahwa alasan anak mendapatkan perhatian adalah gairah yang rendah dalam menanggapi respon balik yang tertunda pada menjadikan penyelasian pada tugas dan diakibatkan kurangnnya pengawasan oleh orangtua. Lingkungan internal dalam penguatan perilaku subjek yaitu lingkungan rumah, dimana subjek kurang diberikan perhatian dan pengawasan oleh orangtua pada saat mendapatkan pelajaran dari sekolah membuat rangsangan pada respon anak untuk

(35)

26

meningnkatkan perhatian belajar menjadi kurang karena tidak adanya perhatian yang intens diberikan oleh orangtua untuk mengawasi perkembangan berlajar anak dan mengapresisasi hasil kerja yang diberikan anak terhadap usaha anak dalam menyelesaikan tugas yang menyebabkan anak menjadi mudah teralihkan dikarenakan orangtua membiarkan anak tanpa pengawsan yang baik.

Lefrancois (2012), menjelaskan bagaimana mengatur lingkungan untuk mempengaruhi pembentukan perilaku anak sebagai agen sosial terutama orangtua yang sangat berperan penting dalam pembentukan perilaku anak. Tingkat respon orang tua terhadap perkembangan belajar maupun perilaku anak, tergantung bagaimana cara orangtua memberikan pola asuh untuk mendidik anak, mendisiplinkan anak dan keterlibatan orang tua terhadap perkembangan anak memberikan kesempatan untuk anak agar menstimulasi kegiatan atau pelajaran yang dilakukan setiap hari (Schunk, Pintinch, dan Mecce, 2012). Schunk, Pintinch, dan Mecce, (2012), juga menyatakan interaksi orangtua dan anak sebagai faktor kunci dalam perkembangan anak yang ditemukan pada penelitian yang dikemukakan. Kegembiraan anak diakibatkan hubungan yang intens dalam keseharian di lingkungan internal yaitu rumah besama orangtua dan anak menimbulkan ketertarikan antara orangtua dan anak yang hangat menciptakan penguatan dalam perilaku lalai, dan mudah terdistraksi anak dikarenakan kelekatan yang terjalin anatara orangtua dan anak. Hal ini akan menimbulkan kebiasaan belajar anak dirumah secara teratur dan menimbulkan dukungan pada kualitas bimbingan dari orangtua. Menurut Schunk, Pintinch, dan Mecce, (2012) orangtua yang memanjakan anak tetapi kurang menuntun anak pada perilaku yang positivE alan mempengaruhi perkembangan anak.

Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa perilaku inatensi disebabkan karena anak kurang mendapatkan perhatian dan mengalihkan pada perilaku off-task dimana anak kurang menuruti keinginan orang tua sehingga anak mengulang perilaku tersebut.

Melalui intervensi yang diberikan, orang tua diberikan pemahaman mengenai permasalahan anakdan penyebabnya. Melalui intervensi ini orang tua dapat memahami bahwa anak belum diajarkan caranya untuk mengendalikan inatensi dan dukungan dan perhatian yang lebih mampu membuat anak meningkatkan atensi pada pembelajaran karena mendapatkan perhatian dan dukungan. Setelah mendapatkan pemahaman dari

(36)

27

permasalahan yang terjadi orang tuan menginginkan perilaku inatensi anak dapat berkurang sehingga anak menjadi perhatian dan dapat memahami pembelajaran.

KESIMPULAN

Metode yang digunakan bepusat pada perubahan perilaku untuk membantu subjek meningkatkan perilaku atensi dalam belajar dengan menurunkan perilaku off- task. Setelah menyelesaikan intervensi subjek dapat meningkatkan ketertarikan dalam proses belajar dengan pengguanaan penguatan reinforcement positif yang berdampak pada peningkatan atensi belajar pada subjek gangguan intelektul defisit dengan kategori Rata-rata Bawa. Subjek dapat meningkatkan atensi dalam memahami pelajaaran dengan proses belajar yang tepat dengan mevisualisasikan program belajar dengan permainan ataupun perilaku pengajaran yang interaktif dengan perhatian yang mampu meningkatkan minat anak. Subjek sudah mampu mengeja dengan benar dan memahami kata dengan interpetasi yang jelas.

SARAN

untuk keluarga dan guru agar dapat memberikan pelajaran yang interaktif dan menyenangkan pada anak dengan gangguan intelektual defisit agar mampu mengembangkan minat anak dalam belajar

(37)

28

DAFTAR PUSTAKA

Akhmetzyanova, A. I. (2014). The Development of Self-Care Skills of Children with Severe Mental Retardation in the Context of Lekoteka. World Applied Sciences Journal 29 (6): 724-727

Alwisol (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders fifth edition DSM-5. Washington DC.

Austin, J.L., & Soeda, J.M. (2008). Fixed-Time Teacher Attention to Decrease Off-Task Behavior of Typically Developing Third Grades. Journal of Applied Behavior Analysis. Vol 41(2): 279-283

Aykut, C., Emecen, D.D., Dayi, E., & Karasu, N. (2014). Teaching chained tasks to students with intellectual disabilities by using video prompting in small group instruction. Educational Sciences: Theory & Practice, 14(3), 1082-1087.

Barnes, H. L., & Olson, D. H. (1982). Parent-adolescent communication scale.

En D. H. Olson, H. McCubbin, H. L. Barnes, A. Larsen, M. Muxen, &

M. Wilson (Eds.), Family inventories: Inventories used in a national survey of families across the family life cycle.

Blondis, T,A., & Pfiffner, L. 2005. Behavioral and Self-Regulatory Management of ADHD. Journal of Current Management in Child Neurology. Vol 3:198-2013

Delaney, T. (2008). The sensory processing disorder answer book : practical answers to the top 250 questions parents ask. Illinois: Sourcebooks.

Eccles, J.S. (1999). The Development of Children Ages 6 to 14. The Future of Children When School is Out. Vol 9 (2): 30-44

Erford, Bradley T. 2016. 40 Teknik yang Harus Diketahui Setiap Konselor:

Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gallo, K. P., Comer, J. S., & Barlow, D. H. (2013). Direct-to-consumer marketing of psychological treatments for anxiety disorders. Journal of Anxiety Disorders, 27(8), 793-801.

Godwin, K.E., et al. (2013). Classroom activities and off-task behavior in elementary school children. Journal of Education Science.

Gupta, D. (2011). Functional clothing – definition and classification. Indian Journal of Fibre & Textile Research, 36, 321-326.

(38)

29

Harmiyanto. 2012. Efektivitas Teknik Stop and Think untuk Menurunkan Perilaku Off Task dalam Pembelajaran Matematika di SD. Malang :Universitas Negeri Malang

Kerig, P.K., & Wenar, C. (2006). Developmental Psychology From Infancy Through Adolescence (Fifth Edition). New York: McGraw Hill.

Kratochwill, T., Hitchcock, J., Horner, R., Levin, J., Odom, S., Rindskopf, D.,

& Shadish, W. (2010). Single-case designs technical documentation.

Lang, R., et. al. (2011). Behavioral interventions for rumination and operant vomiting in individuals with intellectual disabilities: A systematic review. Research in Developmental Disabilities 32 (2011) 2193–2205 Latipun. (2008). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.

Lefrancois, G.R. (2012). Theories of Human Learning: What the Professor Said (6th ed). United States of America: Wadsworth Cecage Learning.

Long, L. (2011). Self-Monitoring Using a MotivAider (R) During Independent Work Time to Increas On Task Behavior.

Mangunsong, F. (2014). Psikologi pendidikan anak berkebutuhan khusus (Jilid 1). Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi UI (LPSP3 UI).

Marotz, L. R. & Allen, K. E.(2013). Developmental profiles: pre-birth through adolescence (7th ed). Belmont: Cengage Learning.

Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2014). Abnormal Child Psychology – Sixth Edition. USA : CENGAGE Learning Martin, G. & Pear, J. (2010).

Behavior modification: what it is and how to do it (9th ed. examination copy). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Matson, J. L. (1990). Handbook of behavior modification with the mentally retarded 2nd ed. New York: Springer Science+Business Media.

McDermott, D. (2008). Developing Caring Relationships Among Parents, Children, School, and Communities. United States of America: Sage Publication, Inc.

Miltenberger, R.C. (2004). Behavior Modification: Principles and Procedures (fourth edition). Belmont: Thomson Wadsworth.

Morgan, D. L., & Morgan, R. K. (2009). Single-case research methods for the behavioral and health sciences. Thousand Oaks, CA: Sage.

Ncube, A. C. (2014). Challenges faced by learners with severe intellectual disabilities in the acquisition of adaptive behaviour: insights from

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa maksud dari judul Pengembangan Desa Plumbon sebagai Desa Wisata berbasis Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu cara

hipotesa (Ho) diterima dan Ha ditolak artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Budaya Organisai (X) terhadap variabel Kinerja Pegawai (Y) pada kantor

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan penelitian, maka penelitian tersebut dilakukan di Kepolisian Resor Kota Pekanbaru, dimana penyelidikan terhadap

Dapat  dikatakan  dalam  rangka  mengakkan  prinsip  GCG  pada 

Upaya kesehatan lingkungan adalah upaya yang dilakukan oleh Puskesmas untuk menjadikan lingkungan yang sehat dalam rangka pencegahan terhadap penyakit

Menurut Baker (1995: 26-42), strategi yang dapat digunakan dalam penerjemahan istilah- istilah, khususnya istilah budaya khusus adalah sebagai berikut: 1) penerjemahan dengan

Metde numerik digunakan untuk menyelesaikan persalan dimana perhitungan secara analitik tidak dapat digunakan. Metde numerik ini berangkat dari pemikiran

Data yang diperoleh dengan cara melakukan pengukuran kadar gula darah sampel yang telah ditetapkan, 5-10 menit sebelum Senam Diabetes dan 5-10 menit sesudah