• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Karya Tulis Ilmiah yang penulis susun yaitu dengan judul Gambaran. Keadaan Gigi Dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Pada Lansia Di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KATA PENGANTAR. Karya Tulis Ilmiah yang penulis susun yaitu dengan judul Gambaran. Keadaan Gigi Dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Pada Lansia Di"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas izin-Nya dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah. Sholawat serta salam semoga selalu terlimpah curah kepada jungjungan, Nabi besar Muhammad SAW.

Karya Tulis Ilmiah yang penulis susun yaitu dengan judul “Gambaran Keadaan Gigi Dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Budi Pertiwi Bandung”. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Bandung.

Penulis telah berusaha secara optimal dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika dalam kenyataannya jauh dari sempurna baik dalam hal materi maupun penyusunannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengalaman, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah di masa mendatang.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini selain upaya penulis juga tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada :

1. Allah SWT yang memberikan keridhoan serta mengabulkan panjatan doa dari Hamba-Nya sampai bisa menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini

(2)

ii

2. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati, sayangi dan cintai yang tiada henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungan dalam bentuk moril maupun materil

3. Kakakku tersayang, Dera Metasari 4. Adikku tersayang, Muthia Azizah

5. Dr. Ir. Oesman Syarif, M.KM selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung

6. Drg. Hetty Anggrawati K, M.Kes, AIFO selaku Ketua Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung

7. Drg. Tati Svasti I, M.Kes selaku wali kelas yang telah membimbing dan memberikan dukungan selama ini

8. Drg. Sri Mulyanti, M.Kes selaku dosen pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan serta dengan sabar membimbing penulis

9. Drg. Megananda Hiranya Puteri, M.Kes selaku dosen penguji dan pembimbing akademik yang banyak memberikan masukan kepada penulis 10. Drg. Eliza Herjulianti, M.Kes selaku dosen penguji yang banyak memberikan

masukan kepada penulis

11. Seluruh dosen pengajar dan staf tata usaha yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis

12. Bapak Agus Suryana, S.Sos selaku pengelola perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi yang telah memberikan banyak informasi serta bantuan

(3)

iii

13. Kepada seluruh keluarga besar Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Bandung yang telah berkontribusi dalam kelancaran penulisan Karya Tulis Ilmiah ini 14. Anggraeni A.L., Hana Adlina K., Bayu Kabul B., dan Riska A. yang telah

membantu banyak dalam proses penelitian di PTSW Budi Pertiwi.

15. Sahabat sahabat yang telah memberikan dukungan serta bantuan dan semangat kepada penulis dalam penulisan Karya tulis Ilmiah.

16. Seluruh teman-teman perjuangan JKG 18 angkatan 2012 yang telah bersama- sama saling membantu dan memberikan dukungannya dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

Semua pihak yang telah memberikan gagasan dan dukungannya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini yang belum tersampaikan. Tiada hal yang lebih baik selain kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya-karya penulis di masa yang akan datang.

Semoga Karya Tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Semoga segala kebaikan mendapat barakah dari Allah SWT.

Bandung, Maret 2015

Penulis

(4)

iv

(5)

v DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGUJI ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA (KAJIAN TEORI, KERANGKA TEORI) A. Kajian Teori ... 6

1. Gigi Geligi ... 6

2. Indeks DMF-T ... 9

3. Lanjut Usia (Lansia) ... 13

4. Keadaan Rongga Mulut pada Lansia ... 17

5. Dampak Kehilangan Gigi Terhadap Kualitas Hidup Lansia ... 19

6. Oral Health- Related to Quality of Life ... 21

7. Profil Panti Sosial Tresna Wredha ... 22

B. Kerangka Teori ... 23

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 24

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

C. Populasi dan Sample ... 24

(6)

vi

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 25

E. Alat dan Bahan Pengumpulan Data ... 26

F. Prosedur Penelitian ... 27

G. Pengolahan dan Analisa Data ... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 29

B. Pembahasan ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 39

B. Saran ... 40 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Indeks DMF-T pada Lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi ...

Distribusi Frekuensi Nilai Jumlah Rata-rata Gigi pada Lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi ...

29

30

(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar 4.1

Gambar 4.2

Gambar 4.3

Gambar 4.4

Gambar 4.5 Gambar 4.6

Gambar 4.7

Faktor Etiologi Karies ...

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Mengalami Keterbatasan Saat Mengunyah ...

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Mengalami Keterbatasan Saat Berbicara ...

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Mengalami Keterbatasan Saat Tersenyum ...

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Merasakan Malu atau Kurang Percaya Diri Saat Berkomunikasi ...

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Merasakan Kenyamanan Saat Berkomunikasi ..

Distribusi Frekuensi Persentase Lansia

Merasakan Kecemasan Saat Berkomunikasi ....

Distribusi Frekuensi Persentase Kepuasan Lansia Terhadap Status Kesehatan Gigi dan Mulut ...

20

30

31

31

32

33

33

33

(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Informed Consesnt Lampiran 3 Lembar Kuisioner

Lampiran 4 Lembar Status Kesehatan Gigi dan Mulut Lampiran 5 Tabel Indeks DMF-T

Lampiran 6 Tabel Keadaan Gigi Lansia Lampiran 7 Tabel Hasil Wawancara

Lampiran 8 Tabel Oral-Health Ralated to Quality of Life Lampiran 9 Dokumentasi

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa. Salah satunya dapat terlihat dari peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH)/Angka Harapan Hidup (AHH). Begitupun dengan Indonesia yang salah satu hasil pembangunan kesehatannya dilihat dari meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy). Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa- Bangsa 2011, pada tahun 2000-2005 UHH adalah 66,4 tahun, yang artinya rata-rata umur manusia bertahan hidup sampai dengan umur 66 tahun, angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun. Begitu pula dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan UHH. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun. Angka ini meningkat menjadi 69,43 dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (Abikusno, 2013).

Meningkatnya angka harapan hidup bisa dikatakan bahwa populasi lansia semakin meningkat. Hal ini ditegaskan oleh Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2013) bahwa pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) diprediksi akan meningkat cepat di masa yang akan datang terutama di negara- negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang akan mengalami ledakan jumlah penduduk lansia.

(11)

2

Berdasarkan proyeksi 2010-2035, kelompok umur 0-14 tahun dan 15-49 tahun mengalami penurunan. Sedangkan kelompok umur lansia 50-64 tahun dan diatas 65 tahun jumlahnya terus meningkat. Biro Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara tahun 2005-2010 jumlah penduduk lansia sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di tahun 2050 jumlah warga lansia di Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa (Notoadmojo, 2011).

Lansia atau lanjut usia merupakan tahap akhir siklus kehidupan dari perkembangan normal yang dialami dan tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Perubahan yang terjadi pada lansia yaitu perubahan fisik, sosial dan psikologis. Perubahan fisiologis rongga mulut pada lansia salah satunya adalah kasus kehilangan gigi. Semakin bertambahnya umur, fungsi normal gigi menjadi berkurang. Menurut WHO (2013), kelompok usia 12 tahun memiliki gigi yang masih berfungsi normal sebesar 99,8%, usia 15 tahun gigi yang masih berfungsi normal 99,6%, usia 18 tahun gigi yang masih berfungsi normal 99,5%, usia 35-44 tahun gigi yang masih berfungsi normal 90,4%, usia 45-54 tahun gigi yang masih berfungsi normal 80,1% dan kelompok usia

≥65 tahun gigi yang masih berfungsi normal hanya 31,4%. Persentase ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia, jumlah gigi yang masih berfungsi normal semakin berkurang (Riskesdas, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Niken-Driyono (2001) menyatakan bahwa gigi yang hilang pada lansia rata-rata sebanyak 21 gigi per orang. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa lansia rata-rata memiliki gigi rata-rata

(12)

sebanyak 9-12 gigi. Sedangkan standar WHO menetapkan bahwa jumlah gigi lansia umur ≥65 tahun memiliki minimal 20 buah gigi berfungsi. Penyebab utama kehilangan gigi lansia di Indonesia adalah karies dan penyakit periodontal (Wibisono & Ghozali, 2010 cit, Ratmini, dkk, 2011)

Berkurangnya fungsi normal gigi pada lansia mempengaruhi kualitas hidup lansia, misalnya dengan berkurangnya jumlah gigi akan berakibat pada terbatasnya pemilihan makanan sehingga mengakibatkan asupan gizi yang kurang. Selain itu, lansia juga akan merasakan malu dalam tingkat tertentu pada penampilan diri yang kemudian akan membatasi interaksi sosial dan komunikasi (Anonim, 2004 cit Sriyono N.W, 2009). Seiring dengan meningkatnya UHH dan populasi lansia, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mempertahankan jumlah gigi yang ada pada lansia agar mereka memiliki kualitas hidup yang baik.

Kehilangan gigi pada lansia ternyata tidak hanya berpengaruh secara fisik seperti penurunan fungsi normal gigi, tetapi juga berdampak secara psikologis yaitu rasa malu dan kurang percaya diri saat berkomunikasi. Oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang Gambaran Keadaan Gigi Dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Budi Pertiwi Bandung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Gambaran Keadaan Gigi Dan Dampaknya

(13)

4

Terhadap Kualitas Hidup Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Budi Pertiwi Bandung?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran keadaan gigi dan dampaknya terhadap kualitas hidup pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi . 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui indeks DMF-T pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

b. Mengetahui gambaran rata-rata jumlah gigi yang masih berfungsi (bisa dipakai mengunyah, mahkotanya utuh, dan tidak goyang) pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

c. Mengetahui dampak kehilangan gigi terhadap kualitas hidup lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan, pengalaman, wawasan, dan informasi mengenai gambaran keadaan gigi dan dampaknya terhadap kualitas hidup pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi

(14)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Institusi Pendidikan Poltekkes Bandung, dapat menambah referensi di Perpustakaan mengenai keadaan gigi dan dampaknya terhadap kualitas hidup pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

b. Bagi PSTW Budi Pertiwi Bandung, dapat menambah informasi mengenai keadaan gigi dan dampaknya terhadap kualitas hidup pada lansia di Panti tersebut, sehingga dapat dijadikan acuan untuk lebih memperhatikan kesehatan gigi yang lebih memfokuskan pada tindakan pencegahan guna meningkatkan kualitas hidup lansia yang lebih baik lagi.

c. Bagi penentu kebijakan (Pemerintah), dapat dijadikan gambaran untuk lebih memperhatikan kesehatan pada lansia, khususnya di bidang kesehatan gigi dan mulut

(15)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA (KAJIAN TEORI, KERANGKA TEORI)

A. Kajian Teori 1. Gigi Geligi

a. Pengertian Gigi

Gigi merupakan bagian dari rongga mulut, dimana rongga mulut merupakan saluran cerna dan jalan masuknya makanan menuju usus halus. (Harsanur, 1991).

b. Fungsi Gigi

Pencernaan makanan sudah dimulai dari dalam mulut. Di dalam mulut makanan sudah dikecilkan dan bercampur dengan ludah supaya di dalam lambung dan usus bisa dicerna dengan baik. Gigi geligi juga berperan penting pada saat berbicara dan juga sangat menentukan bentuk wajah seseorang. Kelainan posisi gigi dan rahang tidak saja mempengaruhi fungsi pengunyahan tetapi juga pada fungsi berbicara dan roman muka seseorang. Gigi bisa saja diganti dengan gigi palsu atau buatan, namun hal ini sangat membutuhkan banyak biaya. Makin awal seseorang kehilangan gigi dan gerahamnya, makin sukar untuk usia lebih lanjut masih mempunyai suatu gigi-geligi tiruan yang berfungsi dengan baik.

(16)

Oleh karena itu, gigi adalah salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita. Menjaga kesehatan gigi sangat penting karena dengan menyumbang gigi-geligi secara keseluruhan, sama dengan menyumbang kesehatan umum dan kesejahteraan manusia. (Houwink, 1993)

Fungsi dari gigi yaitu sebagai berikut :

1) Untuk memotong dan memperkecil bahan-bahan makanan pada waktu pengunyahan.

2) Untuk mempertahankan jaringan penyanggah, supaya tetap dalam kondisi yang baik, dan terikat erat dalam lengkung gigi serta membantu dalam perkembangan dan perlindungan dari jaringan-jaringan yang menyanggahnya.

3) Untuk mwmproduksi dan mempertahankan suara/bunyi.

4) Untuk estetik (Harshanur, 1991).

c. Jumlah Gigi 1) Gigi Susu

Normal anak-anak mempunyai 20 gigi susu yang susunannya sebagai berikut:

10 gigi di rahang atas yaitu : 5 gigi di kiri, 5 gigi di kanan 10 gigi di rahang bawah yaitu : 5 gigi di kiri

5 gigi di kanan

(17)

8

V IV III II I I II III IV V V IV III II I I II III IV V Nama dari macam-macam gigi susu :

I ... gigi seri pertama/insisivus sentral/i1 II ... gigi seri kedua/insisivus lateral/i2 III ... gigi taring/kaninus/c

IV ... gigi geraham pertma/molar ke-1/m1 V ... gigi geraham kedua/molar ke-2/m2 Gigi anterior atau gigi depan ialah gigi i1, i2, dan c.

Gigi posterior atau gigi belakang ialah gigi m1 dan m2.

2) Gigi Tetap atau Gigi Permanen

Normal dewasa mempunyai 32 gigi tetap yang susunannya sebagai berikut:

16 gigi di rahang atas yaitu : 8 gigi di kiri,

8 gigi di kanan

16 gigi di rahang bawah yaitu : 8 gigi di kiri

8 gigi di kanan

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama dari macam-macam gigi susu :

1 ... gigi seri pertama/insisivus sentral/I1 2 ... gigi seri kedua/insisivus lateral/I2 3 ... gigi taring/kaninus/C

(18)

4 ... gigi geraham kecil pertama/premolar ke-1/P1 5 ... gigi geraham kecil kedua/premolar ke-2/P2 6 ... gigi geraham pertama/molar ke-1/M1 7 ... gigi geraham kedua/molar ke-2/M2 8 ... gigi geraham besar ketiga/molar ke-3/M3 (Harsanur, 1991)

2. Indeks DMF-T

Karies adalah interaksi dari bakteri di permukaan gigi, plak atau biofilm, dan diet ( komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri plak menjadi asam, terutama asam laktat dan asetat ) sehingga terjadi demineralisasi pada gigi. Streptococcus mutans merupakan organisme penyebab karies, karena mempunyai sifat yang menempel pada email, menghasilkan serta dapat hidup di lingkungan asam, berkembang pesat di lingkungan yang kaya akan sukrosa, dan menghasilkan bakteriosin yaitu substansi yang dapat membunuh organisme kompetitornya. ( Putri, dkk., 2010 ). Faktor etiologi terjadinya karies dapat dilihat pada Gambar 2.1

(19)

10

Gambar 2.1 Faktor Etiologi Karies

Faktor – faktor Penyebab Karies Gigi ( Edwina A.M.Kidd, 2012) : a. Mikroorganisme

Streptococcus mutans dan lactobacillus adalah bakteri penyebab

karies. Streptococcus mutans dan lactobacillus ini merupakan kuman kariogenik karena mampu membuat asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. Kuman – kuman tersebut dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan dapat menempel pada permukaan gigi, karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel yang sangat lengket dari karbohidrat makanan. Polisakarida ini yang terutama terdiri dari polimer glukosa, menyebabkan matriks plak gigi mempunyai konsistensi seperti gelatin. Akibatnya bakteri – bakteri terbantu untuk melekat pada gigi serta saling melekat satu sama lain, dan karena plak makin tebal maka hal ini akan menghambat fungsi saliva dalam menetralkan plak tersebut (Kidd, 2012).

(20)

b. Karbohidrat

Karbohidrat dengan berat molekul yang rendah seperti gula akan meresap ke dalam plak dan dimetabolisme dengan cepat oleh bakteri. Dengan demikian, makanan dan minuman yang mengandung gula akan menurunkan pH plak dengan cepat sampai pada level yang dapat menyebabkan demineralisasi email (Kidd, 2012).

c. Gigi

Bagian – bagian gigi yang rentan terhadap karies adalah (Kidd, 2012) :

1) Pit dan fissure pada permukaan oklusal molar dan premolar.

2) Permukaan halus di daerah aproximal sedikit di bawah titik kontak.

3) Email pada tepian di daerah leher gigi sedikit di atas tepi gingival.

4) Permukaan akar yang terbuka, yang merupakan daerah tempat melekatnya plak pada pasien denga resesi gingival karena penyakit periodintium.

5) Tepi tumpatan terutama yang kurang atau mengemper.

6) Permukaan gigi yang berdekatan dengan gigi tiruan dan jembatan.

d. Waktu

Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali mineral selama berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies tersebut terdiri atas periode perusakan dan perbaikan

(21)

12

yang silih berganti. Oleh karena itu, bila saliva ada di dalam lingkungan gigi, maka karies tidak menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun.

Dengan demikian, sebenarnya terdapat kesempatan yang baik untuk menghentikan penyakit ini (Putri, 2010 cit Andiani, 2012).

Indeks karies gigi adalah angka yang menunjukkan klinis penyakit karies gigi ( Herijulianti, 2002 ). Indeks yang digunakan yaitu :

Indeks DMF-T ( untuk gigi tetap )

D = Decay ( gigi tetap yang berlubang)

M = Missing ( gigi tetap yang dicabut karena berlubang )

F = Filling ( gigi tetap yang sudah ditambal karena berlubang ) T = Teeth ( jumlah gigi tetap yang mengalami decay, missing,

filling)

Kekurangan Indeks DMF-T yaitu :

1) Tidak dapat menggambarkan banyaknya karies yang sebenarnya, karena jika pada gigi terdapat dua karies atau lebih, karies yang dihitung adalah tetap satu gigi.

2) Indeks DMF-T tidak dapat membedakan kedalaman dari karies.

(22)

3. Lanjut Usia (Lansia) a. Pengertian Lansia

Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo, 2011). Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua.

Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011).

b. Batasan Lansia

Sampai saat ini belum ada kesepakatan umur lanjut usia secara pasti karena seorang psikologis membantah bahwa usia dapat secara tepat menunjukkan seseorang individu tersebut lanjut usia atau belum maka merujuk dari berbagai pendapat di bawah ini.

(23)

14

1) Menurut WHO

Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang dikatakan lanjut usia tersebut di bagi kedalam tiga kategori yaitu:

a) Usia Lanjut : 60 -74 tahun.

b) Usia tua : 75 – 89 tahun.

c) Usia sangat lanjut : > 90 tahun.

2) Menurut Dep. Kes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia membaginya lanjut usia menjadi sebagai berikut :

a) Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 tahun), keadaan ini dikatakan sebagai masa virilitas.

b) Kelompok usia lanjut (55 – 64 tahun) sebagai masa presenium.

c) Kelompok usia lanjut (> 65 tahun) yang dikatakan sebagai masa senim (Maryam, 2012).

3) Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro Lanjut usia dikelompokkan menjadi :

a) Usia dewasa muda (elderly adulhood) : 18 atau 29-25 tahun b) Usia dewasa penuh (middle years) : 25-60 tahun atau 65 tahun c) Lanjut usia (geriatric age) : ≥65 tahun atau 70 tahun Young old : 70-75 tahun

Old : 75-80 tahun Very old : ≥80 tahun

(24)

c. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.

1) Pralansia (prasenilis) : Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia : Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3) Lansia resiko tinggi : Seseorang yang berusia 70 tahun lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003)

4) Lansia potensial : Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. (Depkes RI, 2003)

5) Lansia tidak potensial : Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. (Depkes RI, 2003)

d. Karakteristik Lansia

Menurut Budi Anna Keliat (1999), lansia memiliki karakteristiksebagai berikut :

1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.

13 tentang Kesehatan).

2) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.

3) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

(25)

16

e. Proses Penuaan

Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh.

Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan. Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan lunak memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut penyakit degeneratif (Maryam, 2012).

f. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis. Menurut Boedhi Drmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan di mana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatric giant, di maan lansia akan mengalami 13i, yaitu imobilisasi; instabilitas (mudah jatuh);

intelektualitas terganggu (demensia); isolasi (depresi); inkontinensia;

impotensi; imunodefisiansi; infeksi mudah terjadi; impaksi (konstipasi); iatrogenesis (kesahalan diagnosis); insomnia; impairment

(26)

of (gangguan pada); penglihatan, pendengaran, pengecapan,

penciuman, komunikasi, integritas kulit, inaniation (malnutrisi) (Maryam, 2012).

4. Keadaan Rongga Mulut pada Lansia a. Tulang dan Tulang Alveolar

Tulang merupakan salah satu bagian tubuh terpenting. Massa tulang dewasa mencapai puncaknya sekitar 35 tahun. Kemudian, massa tulang menurun sejalan dengan usia terutama pada wanita yang di tandai dengan hilangnya baik tulang kortikal maupun tulang trabekular. Hal ini menyebabkan tulang tengkorak wajah mengalami perubahan. Kepadatan tulang mandibula menurun sekitar 20% antara usia 45 dan 90 tahun, dan bahwa diantara ini, angkanya pada wanita terlihat lebih rendah. Selain berkurangnya kepadatan, tulang biasanya lebih rapuh, dengan meningkatnya jumlah fraktur-mikro dari trabekula yang tipis yang sembuh dengan lambat karena remodeling yang melemah. Tulang alveolar tuut ambil bagian dalam hilangnya mineral tulang secara umum oleh karena usia melalui resorpsi matriks tulang.

Proses ini dapat dipercepat oleh tanggalnya gigi, penyakit periodontal, dan protesa yang tidak adekuat dan kurang baik pada individu secara genetik rentan atau menderita penyakit sistemik.

(27)

18

b. Kelenjar Saliva

Penyusutan fungsi kelenjar saliva merupakan suatu keadaan normal pada proses penuaan manusia. Lansia dianggap megeluarkan jumlah saliva yang yang lebih sedikit baik pada keadaan istirahat maupun sebagai respons terhadap rangsang sewaktu berbicara dan sedang makan dibandingkan orang setengah baya dan dewasa muda.

Secara umum dapat dikatakan bahwa saliva nonstimulasi (istirahat) secara keseluruhan berkurang volumenya pada usia tua sedangkan saliva yang di stimulasi tidak berkurang. Kelenjar saliva pada orang tua dapat bekerja dengan lebih efisien dibandingkan orang muda. Pada orang muda diperkirakan ada kapasitas persediaan fungsional saliva yang semakin meningkat dengan meningkatmya usia untuk mempertahankan respons fisiologi optimal pada tingkat stimulasi tertentu. Lebih jauh lagi, berkurangnya jumlah saliva nonstimulasi keseluruhan pada usia tua mungkin seimbang dengan tuntutan fisiologis dari rongga mulut pada masa itu. Xerostomia yang sering dialami lansia lebih merupakan akibat sampingan dari efek pengobatan daripada disebabkan perubahan akibat usia yang „alami‟ pada kelenjar saliva, di luar kerusakan histologis yang parah yang dialami kelenjar- kelenjar ini pada usia tua.

c. Gigi

Meskipun gigi-gigi biasanya menunjukkan tanda-tanda perubahan dengan bertambahnya usia, perubahan ini bukanlah sebagai akibat dari

(28)

usia tetapi refleks, keausan, penyakit, kebersihan mulut, dan kebiasaan.

Perubahan-perubahan yang terjadi secara nyata yaitu:

1. Email : Email mengalami sejumlah perubahan yang nyata karena pertambahan usia, termasuk kenaikan konsentrasi nitrogen dan flouride sejalan dengan usia.

2. Pulpa : Penurunan ukuran pulpa sejalan dengan terbentuknya dentin sekunder. Selain itu, terjadi insidensi klasifikasi pulpa.

3. Serabut Kolagen : meningkatnya jumlah serabut kolagen terutama pada daerah korona.

4. Sementum : Terjadi peningkatan ketebalan sementum yang progresif sepanjang hidup.

5. Akar gigi : Akibat klasifiasi, akar gigi menjadi kurang elastik.

d. Jaringan Periodontal

Perubahan pada jaringan periodontal yang terjadi sejalan dengan usia. Penyakit periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gigi, yaitu jaringan gingiva, tulang alveolar, sementum dan ligamen.

(Barnes, 2006)

5. Dampak Kehilangan Gigi Terhadap Kualitas Hidup Lansia a. Status Gizi

Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), gizi adalah makanan yang bermanfaat untuk kesehatan. Perubahan fisik dan penurunan

(29)

20

fungsi organ tubuh akan memengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi besi. Defisiensi zat gizi termasuk zat besi pada lansia, mempunyai dampak terhadap penurunan kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh.

Perubahan fisiologis rongga mulut pada lansia ditandai dengan menurunnya daya kunyah, daya cerna, daya kecap, akibat berkurangnya jumlah gigi, serta kemampuan sekresi ludah dan jonjot (papillae foliata) pada lidah yang berisi ujung saraf rasa kecap (taste buds). Dengan berkurangnya daya kecap, makanan jadi terasa tidak

enak yang menyebabkan lansia hanya makan sedikit, makanan terasa kurang asin atau kurang manis, dan sering diantisipasi dengan menambahkan gula atau garam. (Maryam, 2012)

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya gizi pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-penyakit kronis pengaruh psikologis, kesalahan pada pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, menurunnya energi serta hilangnya gigi (Maryam, 2012).

. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia yaitu berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau ompong, berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa, esophagus atau kerongkongan mengalami pelebaran, rasa lapar menurun dan asam lambung menurun, gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan

(30)

biasanya menimbulkan konstipasi, penyerapan makanan di usus menurun. (Azizah, 2011). Dapat disimpulkan bahwa kesehatan mulut termasuk berkurangnya jumlah gigi dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia.

6. Oral Health- Related to Quality of Life

Dari hasil penelitian Skaret dkk. (2004) didapatkan, bahwa tidak ada satupun alat ukur yang dipandang standar dan komprehensif untuk menilai kesehatan mulut yang berhubungan dengan kualitas hidup. Namun Kressin dkk. (2008) telah mengembangkan dua alat ukur baru yang disebut sebagai Oral Health- Related to Quality of Life, yang menghipotesiskan kerangka

kerja yang terdiri dari 4 dimensi:

1. Fungsi Fisik, misalnya adanya keterbatasan mengunyah, atau berbicara

2. Fungsi Psikososial (dengan 3 subdimensi : fungsi peran, nyaman dan kecemasan). Fungsi psikososial misalnya kemampuan untuk menapilkan peran sosial seperti berbicara, tersenyum, dapay memenuhi kewajiban pada pekerjaan dan keluarga, kepuasan pasien dengan estetika gigi-giginya, nyaman dengan hubungan interpersonal, cemas, penuh perhatian dan malu astau kurang percaya diri disebabkan masalah gigi atau gusinya.

3. Kelemahan atau Penyakit, dan

(31)

22

4. Persepsi. Persepsi kesehatan mulut termasuk penilaian diri secara global dan kepuasan tentang status kesehatan mulut dan estetika termasuk kebutuhan perawatan.

Alat ukur tersebut terbukti dapat memperlihatkan memiliki psikometri yang baik dan sensitif terhadap indikator pemeriksaan klinik kesehatan mulut, serta dapat digunakan untuk menilai dampak kondisi kesehatan mulut dan dampak perawatan kesehatan mulut pada populasi yang berhubungan dengan kualitas hidup. (Sriyono, 2009)

7. Profil Panti Sosial Tresna Wredha

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) “ Budi Pertiwi” berdiri pada tanggal 19 November 1948 dengan akta notaris No.23 tanggal 14 Juni 2006, tugas pokok dari PSTW “Budi Pertiwi” adalah memberikan pelayanan, bimbingan keagamaan, keterampilan serta pelayanan bimbingan dalam bentuk fisik, mental, sosial. Panti ini merupakan organisasi berbadan hukum yang bergerak dalam bidang pelayanan kesejahteraan sosial bagi para Lanjut Usia agar dapat terpenuhi kebutuhan hidup baik jasmani, rohani dan sosial. Sehingga lansia dapat menikmati hari tua dengan ketentraman lahir dan batin.

(32)

B. Kerangka Teori

Kondisi Gigi pada Lansia di Panti Sosial

Tresna Wredha Budi Pertiwi

1. Indeks DMF-T 2. Jumlah rata-rata

gigi yang masih berfungsi di rongga mulut (Kriteria Inklusi : bisa dipakai mengunyah, mahkotanya utuh, dan tidak goyang.)

Kualitas Hidup Lansia

Oral-Health Related to Quality of Life

1. Fungsi Fisik 2. Fungsi

psikososial 3. Kelemahan atau

penyakit 4. persepsi

(Kressin, 2008)

(33)

24 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Tujuan utama jenis penelitian deskriptif adalah membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Keadaan yang digambarkan adalah keadaan gigi pada lansia yang meliputi indeks DMF-T, jumlah rata-rata gigi yang masih berfungsi, serta dampak kehilangan gigi terhadap kualitas hidup lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

B. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu

Penelitian ini dilaksnakan pada November-Juni 2015 meliputi kegiatan persiapan surat ijin, pengumpulan data dan pengolahan data.

2. Tempat

Penelitian dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi yang beralamat di Jalan Sancang No. 2 Bandung.

C. Populasi dan Sample 1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah semua lansia yang ada di Panti Jompo Yayasan Tresna Wredha Budi Pertiwi sebanyak 30 orang lansia

(34)

yang berumur 66-91 tahun. Menurut Depkes RI (2013) yang termasuk kategori lansia yaitu yang berumur ≥60 tahun.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi untuk diteliti dapat mewakili populasi. Pada penilitian yang akan dilakukan, penulis menggunakan teknik pengambilan sampel dengan total sampling yaitu seluruh anggota populasi diambil sebagai sampel, yaitu 30 lansia.

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh dari pemeriksaan langsung keadaan gigi pada lansia, serta pengisian kuisioner melalui wawancara lansung. Sedangkan data sekunder adalah data yang berisi biodata lansia dan profil panti jompo di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi.

2. Pengumpulan Data a. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan pemeriksaan langsung keadaan gigi lansia yang meliputi pemeriksaan indeks DMF-T, jumlah rata-rata gigi yang masih berfungsi, seta pengisisan kuisioner melalui wawancara langsung mengeni dampak kehilangan gigi terhadap kualitas hidup lansia di Panti Sosia Tresna Werdha Budi

(35)

26

Pertiwi. Setelah data terkumpul, dihitung, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

b. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi yang berisi biodata lansia dan profil dari panti tersebut.

E. Alat dan Bahan Pengumpulan Data 1. Alat penelitian :

a. Alat Tulis Kantor (ATK) : 1) Lembar hasil pemeriksaan 2) Lembar kuisioner

3) Buku 4) Balpoint b. Alat Diagnostik

1) Sonde 2) Pinset 3) Kaca mulut 4) Eksavator

c. Alat Pelindung Diri (APD) 1) Masker

2) Sarung tangan

(36)

2. Bahan penelitian : a. Tissue

b. Alkohol 70%

F. Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara : 1. Persiapan

a. Surat dari pihak Institusi Jurusan Keperawatan Gigi untuk melakukan penelitian

b. Persiapan alat dan bahan untuk melakukan pemeriksaan c. Persiapan lembar hasil penelitian

d. Persiapan lembar kuisioner 2. Pelaksanaan

a. Pengumpulan data

1) Pemeriksaan langsung kesehatan gigi dan mulut 2) Pengisian quisioner dengan wawancara langsung b. Pengolahan data

G. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan data

Data yang telah didapatkan, dikumpulkan dan hasil pemeriksaan responden diteliti kembali untuk menghindari kekeliruan dalam pengisian hasil pemeriksaan, dan selanjutnya dimasukkan kedalam tabel secara manual dan komputer.

(37)

28

2. Analisa data

Data yang dihasilkan diolah dan akan disajikan dengan menggunakan metode analisa data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

(Notoadmojo.S,2005)

(38)

29 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap lansia mengenai indeks DMF-T, jumlah rata-rata gigi yang masih berfungsi (mahkota utuh, tidak berlubang dan tidak goyang), serta dampak kehilangan gigi terhadap kualitas hidup lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi, didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Nilai Indeks DMF-T

Tabel 4.1 Ditribusi Frekuensi Indeks DMF-T Pada Lansia di Panti sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi No Kategori Jumlah responden

(N)

Presentasi DMF-T (100 %)

1 ≤2 : Baik 0 0 %

2 ≥2 : Buruk 30 100 %

Jumlah 30 100 %

Pada tabel 4.1 terlihat sebanyak 30 responden (100%) mengalami DMF-T yang terkategori buruk.

(39)

30

2. Nilai Jumlah Rata-Rata Gigi

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Rata-Rata Gigi Lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi

Pada tabel 4.2 terlihat sebanyak 30 responden (100%) memiliki jumlah gigi sehat yang berkategori buruk.

3. Dampak Kehilangan Gigi Terhadap Kualitas Hidup Lansia a. Dampak Terhadap Fungsi Fisik

Gambar 4.1 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Mengalami Keterbatasan Saat Mengunyah

Pada gambar 4.1 terlihat sebanyak 16 keterbatasan saat mengunyah.

No Kategori Jumlah

responden (N)

Presentse Jumlah Gigi

(%)

1 >20 : Baik 0 0 %

2 < 20 : Buruk 30 100 %

Jumlah 30 100 %

(40)

b. Dampak Terhadap Fungsi Psikososial

Gambar 4.2 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Mengalami Keterbatasan Saat Berbicara

Pada gambar 4.2 terlihat sebanyak 16 responden (53%) tidak mengalami keterbatasan saat berbicara.

Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Mengalami Keterbatasan Saat Tersenyum

Pada gambar 4.3 terlihat 19 responden (63% tidak mengalami keterbatasan saat tersenyum.

(41)

32

Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Merasakan Malu atau Kurang Percaya Diri

Saat Berkomunikasi

Pada gambar 4.4 terlihat sebanyak 18 responden (60%) tidak merasakan malu atau kurang percaya diri saat berkomunikasi.

Gambar 4.5 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Merasakan Kenyamanan Saat Berkomunikasi

Pada gambar 4.5 terlihat sebanyak 17 responden (57%) merasakan kenyamanan saat berkomunikasi.

(42)

Gambar 4.6 Distribusi Frekuensi Persentase Lansia Merasakan Kecemasan Saat Berkomunikasi

Pada gambar 4.6 terlihat sebanyak 21 responden (70%) tidak merasakan kecemasan saat berkomunikasi.

c. Persepsi atau Kepuasan Terhadap Status Kesehatan Gigi dan Mulut

Gambar 4.7 Distribusi Frekuensi Persentase Kepuasan Lansia

Terhadap Status Kesehatan Gigi dan Mulut

Pada gambar 4.7 terlihat sebanyak 18 responden (53%) merasa puas terhadap status kesehatan gigi dan mulut.

(43)

34

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh reponden yaitu berjumlah 30 (100 %) memiliki indeks DMF-T ≥2 buruk. Sebanyak 30 responden memiliki rata-rata DMF-T sebanyak 19,87, dimana rata-rata decay yaitu 7,70 yang berarti setiap responden memiliki 7-8 lubang gigi, rata-rata missing 12,17 yang berarti setiap responden sudah kehilangan gigi akibat

karies atau lubang gigi sebanyak 12 gigi dan filling 0 yang berarti lubang gigi tidak pernah dilakukan perawatan penambalan. Data missing pada penelitian ini belum dikatakan akurat karena terbatasnya ingatan lansia dan hanya 77%

responden yang mengetahui penyebab hilangnya gigi karena karies.

Tingginya indeks DMF-T yang dialami responden sangat jauh dengan standar WHO yang menyatakan bahwa indikator DMF-T dikatakan baik apabila lubang gigi tidak lebih dari dua. Tingginya angka DMF-T mempengaruhi fungsi fisik seperti terbatasnya kemampuan lansia untuk mengunyah makanan serta fungsi psikososial seperti keterbatasan untuk berkomunikasi. Pada wawancara kuesioner yang dilakukan peneliti, tingginya angka DMF-T yang dialami respoden di Panti Tresna Wredha Budi Pertiwi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kurangnya kesadaran diri dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, kurangnya pengetahuan akan pentingnya memelihara kesehatan gigi dan mulut serta waktu dan teknik menyikat gigi yang kurang tepat. Solusinya yaitu dengan meningkatkan pemeliharaan melalui penyuluhan yang dilakukan baik dari pihak panti maupun bekerja sama dengan puskesmas atau pihak lain yang berkompeten. Dengan

(44)

bertambahnya pengetahuan, diharapkan lansia dapat merubah perilaku dari yang tidak benar menjadi benar agar nilai DMF-T tidak bertambah tinggi.

Selain itu, engadakan kerjasama dengan puskesmas atau pihak lain yang berkompeten untuk meningkatkan tindakan kuratif seperti perawatan penambalan gigi berlubang, pencabutan sisa akar, pembersihan karang gigi guna mencegah terjadinya penyakit atau infeksi lebih lanjut.

Semakin bertambahnya usia, jumlah gigi yang masih berfungsi normal semakin berkurang (Riskesdas, 2013). Berdasarkan hasil penelitian peneliti, rata-rata missing lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata decay dan filling.

Data ini menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang dicabut giginya daripada berupaya memelihara dan mempertahankan gigi. Rata-rata responden hanya memiliki 7-8 buah gigi yang masih berfungsi (mahkota utuh, tidak berlubang, dan tidak goyang) dan kehilangan sebanyak 23-24 buah gigi. Kejadian kehilangan gigi ini sangat jauh dari standar WHO yang menyatakan bahwa lansia berumur ≤ 65 tahun seharusnya memiliki minimal 20 buah gigi berfungsi normal. Sebanyak 23 responden (40%) mengetahui penyebab hilangnya gigi, yaitu karena sakit gigi (77%) sehingga dilakukan perawatan pencabutan gigi (63%). Sedikitnya jumlah gigi yang masih berfungsi pada lansia ini mengakibatkan penurunan kualitas pencernaan.

Sebagaimana mulut berfungsi sebagai tempat masuknya makanan lalu gigi yang berfungsi untuk memotong, merobek, serta mengunyah, menjadi tidak maksimal fungsinya. Lansia tentu harus memilah-milah jenis makanan yang mampu mereka konsumsi yaitu makanan yang lembut dan mudah untuk

(45)

36

dicerna. Terbatasnya pemilihan makanan mengakibatkan asupan gizi menjadi tidak optimal. Solusi untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan pemakaian protesa sehingga dapat meningkatkan kemampuan mengunyah dan tidak terjadinya pemilihan makanan serta kebutuhan gizi lansia terpenuhi dengan baik.

Berkurangnya fungsi normal gigi pada lansia berdampak pada kualitas hidup lansia (Anonim, 2004 cit Sriyono N.W, 2009). Untuk mengetahui dampak kualitas hidup pada lansia akibat dari status kesehatan gigi, peneliti menngacu kepada alat ukur yang telah dikembangkan oleh Kressin dkk. (2008) yang disebut sebagai Oral Health- Related to Quality of Life, menghipotesiskan kerangka kerja yang terdiri dari 4 dimensi; 1)Fungsi

Fisik ;2) Fungsi Psikososial (dengan 3 subdimensi : fungsi peran, nyaman dan kecemasan); 3) Kelemahan atau Penyakit, dan 4) Persepsi. Dalam hal ini, peneliti hanya mengambil tiga dimensi saja yaitu fungsi fisik, fungsi psikososial dan persepsi atau kepuasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari fungsi fisik, sebanyak 16 responden (53%) mengalami keterbatasan mengunyah karena berkurangnya fungsi normal gigi akibat adanya lubang pada gigi dan gigi yang hilang karena dicabut, tetapi hanya sebagian lansia menggunakan protesa yaitu sebanyak 3 responden (10%).

Lansia mengalami keterbatasan dalam pemilihan makanan, hanya makanan tertentu saja yang dapat dikonsumsi seperti; nasi tim, sayur, tempe tahu atau makanan yang lembut dan tidak keras. Sebanyak 14 responden (47%) tidak mengalami keterbatasan mengunyah dengan alasan gigi geraham mereka

(46)

yang masih utuh atau masih adanya gigi yang bisa digunakan untuk menyunyah sekalipun yang tersisa hanya satu hingga dua gigi saja. Untuk mengatasi dampak kehilangan gigi pada fungsi fisik keterbatasan mengunyah, yaitu dengan pemakaian protesa sehingga dapat meningkatkan kemampuan mengunyah.

Dampak kehilangan gigi jika dilihat dari fungsi psikososial, sebanyak 16 responden (53%) tidak mengalami keterbatasan berbicara, bahkan mereka masih bisa bernyanyi dengan baik. Sebanyak 29 responden (63%) tidak memiliki keterbatasan saat tersenyum, bahkan beberapa diantara mereka masih bisa tertawa tanpa harus menutup mulut dengan tangan. Sebanyak 18 responden (60%) tidak merasa malu atau kurang percaya diri, sebanyak 17 responden (57%) merasa nyaman saat berkomunikasi, sebanyak 21 responden (70%) tidak merasa cemas saat berkomunikasi. Dampak kehilangan gigi tidak banyak terpengaruh terhadap fungsi psikososial karena dari presentase diatas, jumlah responden yang memiliki keterbatasan lebih sedikit dibanding jumlah responden yang tidak merasa terbatasi akibat status gigi dan mulutnya.

Responden masih dapat berbicara dengan cukup baik, tersenyum, tertawa, bernyanyi, dan bahkan merasa sangat percaya diri. Motivasi, dukungan dan harapan tetap harus diberikan kepada lansia agar lansia dapat hidup sejahtera baik lahir maupun batin.

Persepsi atau kepuasan pada estetik dan kebutuhan perawatan sangat diperlukan guna mendapatkan kualitas hidup yang baik. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebanyak 16 responden (53%) merasa puas terhadap

(47)

38

status gigi dan mulutnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, responden yang memiliki kepuasan tersendiri dari segi estetik walaupun dari segi kebutuhan perawatan sendiri belum cukup terpenuhi, memiliki alasan yaitu mereka menyadari bahwa umur mereka sudah mencapai lanjut usia dan dapat menerima keadaan tersebut bahkan tetap merasa bersyukur dengan keadaan status gigi dan mulutnya. Lansia di PTSW masih bisa aktif menjalankam aktivitas keseharian seperti senam, pengajian rutin setiap minggu, bermain kesenian angklung, dsb. Beberapa responden merasa tidak puas dengan status kesehatan gigi dan mulutnya beralasan bahwa mereka ingin di rawat dan mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan terutama untuk pemasangan protesa. Solusi untuk masalah tersebut yaitu dengan pemakaian protesa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri pada lansia karena kebutuhan estetik terpenuhi.

(48)

38 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Indeks DMF-T pada responden dengan nilai DMF-T ≥2 sebanyak 100 % dengan kategori buruk.

2. Rata-rata jumlah gigi sehat yang masih ada pada responden sebanyak sebanyak 7-8 buah gigi dan termasuk kategori buruk sebanyak 100 %.

3. Dampak status kesehatan gigi dan mulut terahadap kuakitas hidup lansia menurut Kressin (2008) yaitu :

a. Menurut fungsi fisik, sebanyak 53% responden mengalami keterbatasan saat mengunyah.

b. Menurut fungsi psikososial, terdiri dari:

1) Keterbatasan berbicara

Sebanyak 53% tidak mengalami keterbatasan saat berbicara.

2) Keterbatasan tersenyum

Sebanyak 63% tidak mengalami keterbatasan saat tersenyum.

3) Malu atau kurang percaya diri saat berkomunikasi

Sebanyak 60% tidak merasakan malu atau kurang percaya diri saat berkomunikasi.

(49)

40

4) Kenyamanan saat berkomunikasi

Sebanyak 57% merasakan kenyamanan saat berkomunikasi.

5) Kecemasan saat berkomunikasi

Sebanyak 70% tidak merasakan kecemasan saat berkomunikasi.

c. Kepuasan terhadap status kesehatan gigi dan mulut (persepsi) sebanyak 53% merasa puas terhadap status kesehatan gigi dan mulut.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, perlu adanya perhatian khusus dari pihak panti terhadap status kesehatan gigi dan mulut lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi, maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Meningkatkan pemeliharaan melalui penyuluhan yang dilakukan baik dari pihak panti maupun bekerja sama dengan puskesmas atau pihak lain yang berkompeten.

2. Mengadakan kerjasama dengan puskesmas atau pihak lain yang berkompeten untuk meningkatkan tindakan kuratif seperti perawatan penambalan gigi berlubang, pencabutan sisa akar, pembersihan karang gigi.

3. Mengadakan kerjasama dengan puskesmas atau pihak lain yang berkompeten untuk meningkatkan tindakan rehabilitatif seperti pembuatan protesa.

(50)

4. Memberikan motivasi, dukungan dan harapan bagi lansia baik secara fisik maupun psikologis agar lansia dapat hidup sejahtera baik lahir maupun batin.

5. Memberikan makanan yang beraneka ragam dan memiliki kandungan gizi yang cukup bagi lansia serta makanan yang disajikan diolah dengan lembut.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuktikan bahwa implikasi “jika P, maka Q” benar, kita mulai dengan memisalkan bahwa P benar dan kemudian berusaha menunjukkan bahwa Q juga benar. (Jika P salah, maka “P

Hasil analisis menunjukkan pemasangan filter pasif menyebabkan kandungan THD arus dan tegangan telah sesuai dengan standar IEEE 519-1992 yang ditentukan yaitu ≤

Adapun alasan penulis menggunakan model pendekatan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan pembakuan nama rupabumi secara tertib administrasi di Kota

Berdasarkan analisa hasil perhitungan menggunakan fungsi distribusi Weibull, didapatkan kecepatan rata-rata pertahun pada lokasi yaitu Gedung Syariah Hotel Solo

Ompusunggu dan Ranggabuwana (2006: 5) mene- mukan hubungan antara partisipasi dengan job rele- van information, dalam proses partisipasi, bawahan/ pelaksana anggaran diberi

Hal tersebut menunjukkan bahwa subtes EAS 4 kecepatan dan ketelitian visual memiliki validitas kriteria yang baik yang ditunjukkan oleh korelasi positif yang sangat

Berdasarkan uraian tentang pernyataan tersebut, maka penelitian ini ingin mengkaji tentang analisis terdapat pengaruh antara perkembangan kredit simpan pinjam, pengembangan

pada penderita diare anak di Puskesmas Rawat Inap kota Pekanbaru yaitu sebanyak 10 orang (10,41%) yang lebih banyak didapat pada anak laki-laki dengan usia 1-3 tahun..