• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers

Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi

oleh

Jennifer Sidharta (13140110345) Annisa Meidiana (13140110306)

Joshua Kevin (13140110343)

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA TANGERANG

2015

(2)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 1 A. Pengalaman tentang Kebebasan

Kebebasan adalan unsur hakiki dalam kehidupan manusia, kodrat manusia. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebebasan sebagai keadaan bebas, kemerdekaan.

Sementara, kamus hukum Black mendefinisikan kebebasan yaitu sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan, kecuali larangan yang telah diatur di dalam undang-undang. Kamus John Kersey menyatakan kebebasan adalah „kemerdekaan, meninggalkan atau bebas meninggalkan.‟

Dalam filsafat, kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak.

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berakal budi (homo rationale) yang memiliki jiwa (anima), yakni:

(1) anima avegatitiva atau disebut roh vegetatif. Anima ini juga dimiliki tumbuh-tumbuhan, dengan fungsi makan, tumbuh, dan berkembang biak;

(2) anima sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, sehingga manusia punya naluri, nafsu, mampu mengamati, bergerak, dan bertindak; serta

(3) anima intelektiva, yakni jiwa intelek. Jiwa ini tidak ada pada binatang dan tumbuh- tumbuhan. Anima intelektiva memungkinkan manusia untuk berpikir, berkehendak, dan punya kesadaran.

B. Arti Kebebasan

Kebebasan sosial politik mengacu pada suatu bangsa atau rakyat, sedangkan kebebasan individual pada individu. Dalam sejarah modern, kebebasan sosial politik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kebebasan rakyat VS kekuasaan absolut serta kemerdekaan VS kolonialisme.

1. Kebebasan Rakyat VS Kekuasaan Absolut

Kebebasan sosial politik pertama kali terjadi di Benua Eropa, tepatnya di Inggris dan Perancis. Dimulai dari Magna Charta (1215) --piagam yang terpaksa dikeluarkan Raja John untuk menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu kepada para baron dan uskup Inggris- mengenai hak-hak parlemen terhadap monarki. Proses pembatasan kuasa absolut monarki berlanjut hingga terjadilah The Glorious Revolution (1688).

Terbentuknya demokrasi modern di mana perwakilan rakyat membatasi dan mengontrol kekuasaan raja dipicu kesusahan serta penderitaan rakyat akibat penindasan oleh

(3)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 2 raja-raja absolut. Akhirnya, timbul kesadaran bahwa yang berdaulat bukanlah raja, melainkan rakyat. Seperti termaktub dalam semboyan “Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan” atau Liberte, Egalite, Franternite (Revolusi Perancis, 1789).

2. Kemerdekaan VS Kolonialisme

Kebebasan sosial politik bentuk kedua direalisasikan dalam proses dekolonisasi.

Kebebasan yang biasa disebut “kemerdekaan” ini didasari pada timbulnya keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain, dan karena itu situasi kolonialisme tidak pernah boleh terjadi lagi dan dianggap tidak etis.

Aspek etis itu dirumuskan dalam kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945, dan dalam Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples (UN General Assembly, 1960): adalah hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk menentukan nasibnya sendiri.

C. Anatomi Kebebasan Individual 1. Kesewenang-wenangan

Kebebasan dimaknai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, atau dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat sesuka hati. Contoh pengertian ini dipakai saat membicarakan „pergaulan bebas‟. “Bebas” dianggap terlepas dari segala peraturan atau kaidah. Dalam konteks ini, kebebasan adalah suasana permisif. Pemaknaan ini juga melatarbelakangi liberalisme (abad ke-19). Free enterprise menurut penganut liberalisme adalah bisnis sebagai usaha bebas, tanpa regulasi, peraturan, campur tangan dari luar, khususnya pemerintah.

2. Kebebasan Fisik

Tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas jika bisa bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Seseorang bisa saja tidak menikmati kebebasan fisik, tetapi sungguh-sungguh bebas. Friedrich Schiller, penyair Jerman akhir abad ke-18 mengatakan, “Manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun lahir terbelenggu.”

3. Kebebasan Yuridis

Syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret; syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat

(4)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 3 mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan semestinya. Kebebasan yuridis berdasarkan pada hukum kodrat dan hukum positif.

Kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat --semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat begitu erat dengan kodrat manusia-- tidak pernah boleh diambil dari anggota masyarakat.

Kebebasan yang berdasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara. Kebebasan- kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan, jika tidak dirumuskan maka sampai saat ini kebebasan tersebut tidak akan pernah ada.

4. Kebebasan Psikologis

Manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya, serta menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri khasnya sebagai makhluk berasio yaitu berpikir sebelum bertindak. Dengan kata lain, kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas” (free will).

5. Kebebasan Moral

Kebebasan tanpa paksaan moral alias sukarela (voluntary). Contoh, seorang sandera dipaksa oleh teroris menandatangani sepucuk surat pernyataan. Secara psikologis perbuatan itu bebas, tetapi dari segi kebebasan moral perbuatan tersebut tidak bebas karena sandera melakukannya akibat paksaan atau karena takut dibunuh.

6. Kebebasan Eksistensial

Kebebasan yang menyeluruh, yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan tertinggi, kebebasan etis. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna bagi kehidupan manusia. Orang yang bebas secara eksistensial seolah-olah memiliki dirinya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas, dan kematangan rohani.

D. Masalah-Masalah dalam Kebebasan: Kebebasan Positif dan Kebebasan Negatif Filsuf politikus terkemuka, Isaiah Berlin, mnyatakan perbedaan antara dua perspektif –kebebasan sosial politik serta kebebasan individual-- sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif.

Kedua aliran dalam filosofi politik demokratis –dua model yang membedakan John Locke dari Jean-Jacques Rousseau-- tersebut memengaruhi motivasi hidup seseorang dalam lingkungan tertentu.

(5)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 4 Kebebasan negatif adalah adalah bebas dari hambatan dan diperintah oleh orang lain.

William Ernest Hockin dalam Freedom of the Pers: A Framework of Principle (1947) menyatakan definisi kebebasan yang digunakan liberalisme klasik, yaitu kebebasan (negatif) berarti tidak adanya batasan.

Sementara, kebebasan positif adalah tersedianya kesempatan untuk menjadi penentu atas kehidupan Anda sendiri dan untuk membuatnya bermakna dan signifikan.

Kebebasan positif adalah poros konseptual berkembangnya tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan positif dikembangkan oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilidnya, Government and Mass Communication (1947).

E. Kebebasan Berekspresi serta Kontradiksi Kebebasan dan Tanggung Jawab Muatan Pesan

Ada beberapa aspek dari media massa yang membuat dirinya penting sehingga menampilkan karya dan ide melalui media massa merupakan hal strategis. Pertama, daya jangkauannya (coverage) yang amat luas dalam menyebarluaskan informasi, yang mampu melewati batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin, status sosial-kebebasan (demografis), dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Dengan demikian, ide dan karya kita yang dimediasikan akan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.

Kedua, kemampuan media untuk melipatgandakan pesan (multiplier of message) yang luar biasa. Satu ide atau karya kita dilipatgandakan pemberitaannya, sesuai jumlah eksemplar koran, tabloid, dan majalah yang dicetak; serta pengulangan penyiarannya (bila kemudian dikutip di radio atau televisi) sesuai kebutuhan. Pelipatgandaan ini menyebabkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak.

Ketiga, setiap media massa dapat mewacanakan sebuah ide atau karya sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional setiap media menentukan bentuk tampilan dan isi beritanya. Karena kemampuan inilah, media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Seringkali media massa menggunakan karya penulis luar untuk mewacanakan pendapat redaksi media itu sendiri.

Keempat, fungsi penetapan agenda (agenda setting) yang dimilikinya. Media massa memiliki kesempatan luas untuk memberitakan ide atau karya kita. Isu-isu dan hal-hal yang secara sangat mencolok ditayangkan dalam media massa (agenda media) „menjadi‟

persoalan-persoalan yang dianggap penting yang ada di dalam pikiran (agenda publik).

(6)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 5 Kajian tentang agenda setting menunjukkan ada perbedaan hasil penelitian di antara para peneliti, yaitu sebagai berikut.

1. Tidak terdapat hubungan signifikan antara dua jenis media yang berbeda seperti televisi dan surat kabar. Dengan asumsi bahwa media massa merupakan suatu entitas yang homogen yang berpengaruh atas publik.

2. Fungsi agenda setting surat kabar lebih efektif daripada televisi. Agenda setting media cetak sering ditemukan lebih sesuai dengan agenda publik dibandingkan dengan agenda media siaran (televisi atau radio).

Kebebasan dan tanggung jawab muatan pesan sebagai etika komunikasi terkadang masih bersifat kontradiktif dalam implementasinya. Namun, kenyataannya kedua norma itu bukanlah kontradiktif. Tidak harus memilih salah satu untuk ditinggalkan, tetapi sebagai sinkronisasi. Kebebasan bukanlah lawan dari tanggung jawab, dan tidak akan kehilangan kebebasan hanya untuk menjalankan tanggung jawabnya.

F. Tanggung Jawab

Dalam filsafat, tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak bertanggung jawab adalah perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.

Menurut Prof. Burhan Bungin, tanggung jawab merupakan restriksi (pembatasan) dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia, tanpa mengurangi kebebasan itu sendiri. Tidak ada yang membatasi kebebasan seseorang, kecuali kebebasan orang lain (2006: 43).

Tanggung jawab berkaitan dengan “penyebab”. Yang bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau yang melakukan tindakan. Orang yang tidak menjadi penyebab suatu akibat maka dia tidak harus bertanggung jawab juga.

Bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan- perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab tetapi juga harus menjawab. Tanggung jawab juga berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang tingkah laku atau perbuatannya.

Tanggung jawab bisa berarti langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab pun bisa berarti prospektif ataupun retrospektif.

(7)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 6 Tanggung jawab prospektif yaitu bertanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Sementara, tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala konsekuensinya.

Selain tanggung jawab personal, ada pula tanggung jawab kolektif atau tanggung jawab kelompok. Tanggung jawab kolektif bukan tanggung jawab struktural –organisasi atau institusi--, melainkan beberapa individu seperti A, B, C, D, dan seterusnya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, tetapi semuanya bertanggung jawab sebagai kelompok.

Paham tentang tanggung jawab kolektif secara moral sulit untuk dimengerti, karena sulit untuk mengakui suatu kesalahan yang tidak secara langsung kita lakukan.

Manusia adalah mahluk sosial. Dalam kesosialannya diandaikan kebebasan dan setiap kesosialan yang mengandaikan kebebasan selalu lahir implikasi yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan dan sebaliknya.

Kebebasan yang kita miliki tidak boleh diisi dengan sewenang-wenang, tetapi secara bermakna. Artinya, semakin bebas, semakin bertanggung jawab.

Jika kita bebas berbuat, maka orang lain juga memiliki hak untuk bebas dari konsekuensi pelaksanaan kebebasan kita. Dengan demikian, kebebasan manusia harus dikelola agar tidak terjadi kekacauan. Norma untuk mengelola kebebasan itu adalah tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sendiri merupakan implementasi kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Maka demi kebaikan bersama, pelaksanaan kebebasan manusia harus memerhatikan kelompok sosial di mana ia berada.

Teori tanggung jawab sosial mendapat kritik antara lain menyatakan adanya kecenderungan monopoli pada media, bahwa masyarakat atau publik tidak kurang memerhatikan dan tidak berkepentingan dengan hak-hak atau kepentingan golongan di luar mereka, dan bahwa komersialisasi menghasilkan budaya rendah dan politik yang serakah. Media harus meningkatkan standar secara mandiri, menyediakan materi mentah dan pedoman netral bagi warga negara untuk mengatur dirinya sendiri.

G. Tingkat-Tingkat Tanggung Jawab

Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan seseorang, yang berkaitan Contoh kasus mengenai derajat tanggung jawabnya: „mencuri‟.

1. Ali mencuri tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri.

(8)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 7 Ali mengambil tas milik orang lain berisikan uang 100 juta rupiah, karena ia berpikir tas itu adalah tas miliknya sendiri. Warna dan bentuknya persis sama dengan tas yang menjadi miliknya.

2. Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman.

Budi juga mengambil tas berisikan uang milik orang lain tapi ia menerima kelainan jiwa yang disebut "kleptomani", yaitu ia mengalami paksaan batin untuk mencuri.

3. Cipluk mencuri, karena dalam hal ini ia sangka ia boleh mencuri.

Cipluk ini seorang janda yang mempunyai lima anak yang masih kecil. Mereka sudah beberapa hari tidak dapat makan, karena uangnya sudah habis sama seakali. Ia sudah menempuh segala cara yang dapat dipirkan untuk memperolah makanan yang dibutuhkan.

Mengemis pun ia sudah coba. Namun, ia selalu gagal. Pada suatu ketika, ia mendapat kesempatan emas untuk mencuri tas berisikan uang. Cipluk berpendapat bahwa dalam hal ini ia boleh mencuri.

4. Darso mencuri karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya.

Karena perawakannya pendek, Darso dipaksa oleh majikannya untuk masuk kamar seseorang melalui lubang kisi-kisi di atas pintu, guna mengambil tas berisikan uang. Kalau menolak, ia akan disiksa, dan mungkin dibunuh. Darso tidak melihat jalan lain kecuali menuruti perintahnya.

5. Eko mencuri karena dia tidak bisa mengendalikan nafsunya.

Eko juga mencuri uang satu juta rupiah yang oleh pemiliknya disimpan dalam sebuah tas. Disaat tidak ada orang yang melihat, ia mengambil tas itu dan langsung kabur. Eko sudah lama mencita-citakan akan mempunyai televisi berwarna. Eko berasal dari keluarga pencuri profesional. Ayahnya mencari nafkah dengan mencuri. Demikian juga kakak-kakaknya.

Sedari kecil kecil ia sudah diajak oleh saudaranya untuk ikut serta dalam kegiatan jahat mereka. Mencuri bagi dia menjadi hal yang serba biasa, hati nuraninya juga tidak menegur lagi. Ia hampir tidak bisa membayangkan cara hidup lain.

H. Pengertian Pesan

Pesan merupakan acuan dari berita atau peristiwa yang disampaikan melalui media- media. Suatu pesan memiliki dampak yang dapat memengaruhi pemikiran khalayak pembaca dan pemirsa, karenanya pesan bisa bersifat bebas dengan adanya suatu etika yang menjadi tanggung jawab pesan itu sendiri.

(9)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 8 Dalam sosiologi, komunikasi dijelaskan sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan oleh seorang terhadap informasi, sikap dan perilaku orang lain yang berbentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan, sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap dan perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah ia alami.

Munculnya banyak media massa sesungguhnya untuk kepentingan masyarakat, tetapi hal ini mengakibatkan berbagai dampak. Pada saat ini khalayak dihadapkan pada beraneka ragam media dan isi media. Mulai dari pesan yang bersifat informatif, edukatif, hingga menghibur.

I. Etika Komunikasi

Sobur (2001) menyatakan etika pers atau etika komunikasi massa adalah filsafat moral yang berkenaan kewajiban-kewajiban pers tentang penilaian pers yang baik dan pers yang buruk; kesadaran moral, yaitu pengetahuan tentang pers baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers.

Shoemaker dan Reese (1991), mengemukakan perdapatnya mengenai Etika Komunikasi Massa dalam Nurudin (2003), yaitu sebagai berikut.

1) Tanggung Jawab

Tanggung jawab yang berdampak positif.

2) Kebebasan Pers

Kebebasan yang bertanggung jawab. Jakob Oetama (2001) dalam Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus menyatakan “pers yang bebas dinilainya tetap bisa lebih memberikan kontribusi yang konstruktif melawan error and oppression (kekeliruan dan penindasan), sehingga akal sehat dan kemanusiaanlah yang Berjaya.” Robert A. Dahl mengakui pentingnya kebebasan pers sebagai “the availability of alternative and independent source of information.

3) Masalah Etis

Bebas dari kepentingan. Mengikuti Kode Etik Jurnalistik.

4) Ketepatan dan Objektivitas

Melaporkan berita dengan tepat dan objektif.

5) Tindakan Adil untuk Semua Orang.

Etika komunikasi selalu berhubungan dengan orde hukum dan lembaga-lembaga;

hubungan kekuasaan; serta peran asosiasi, organisasi konsumen, dan komisi regulasi.

(10)

Kebebasan & Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media/Pers 9 Tujuan filosofis komunikasi selalu berhubungan dengan nilai-nilai demokrasi serta hak untuk berekspresi.

J. Dimensi-Dimensi Etika Komunikasi

Hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan untuk berekspresi (B.

Libois, 2002: 19). Untuk menjamin otonomi demokrasi ini, dibuatlah etika komunikasi.

Etika komunikasi bukan hanya mengenai perilaku aktor komunikasi (pers) serta tidak dibatasi deontologi jurnalisme. Praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik, dan ekonomi juga berhubungan dengan etika komunikasi. Maka, diperlukan aspek sarana atau etika-strategi dalam bentuk regulasi guna menjaga kredibilitas panggilan pers sebagai pelayanan publik alias memperkuat deontologi jurnalisme.

Dilema etika komunikasi adalah kebebasan berkespresi VS tanggung jawab terhadap pelayanan publik; yang dibahas dari perspektif meta-etika –yang bergelut dengan ideal normatif dan wacana filsafat--.

Tiga dimensi etika komunikasi saling terkait, yaitu tujuan, sarana, dan aksi komunikasi.

Referensi

Dokumen terkait

JAMINAN KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB PERS DALAM PERSPEKTIF HUKUM

 Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus

Deskripsi Singkat: Mata kuliah ini menjelaskan pemahaman konsep Etika Komunikasi, Pentingnya Etika Komunikasi, dan Implementasi Etika Komunikasi dalam ruang lingkup

ETIKA KOMUNIKASI BISNIS “Etika Pasar Bebas”. Di Susun

dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika komunikasi islam adalah tata cara berkomunikasi yang sesuai dengan nilai moral dalam menilai benar atau salah

Adapun hakekat tanggung jawab menurut Levinas adalah: tanggung jawab sebagai fakta terberi eksistensial, tanggung jawab non normatif, tanggung jawab bagi orang lain,

Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial  Pengertian Etika Bisnis  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Etika Bisnis  Tanggung Jawab Sosial Bisnis Terhadap Pelanggan, Karyawan,

 “Etika adalah standar‐standar moral yang mengatur perilaku manusia bagaimana harus bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak” Verderber Hukum & Etika Komunikasi 01 Dasar‐dasar