• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mempunyai peran penting untuk mendukung penelitian ini. Dari hasil pengamatan penulis mengenai pemanfaatan teknologi Youtube, penulis menemukan beberapa penelitian dari luar dan dalam negeri yang terkait. Penulis akan membahas lima penelitian terdahulu yang memiliki tema atau konsep yang terkait.

Penelitian pertama berasal dari jurnal Kajian Journalisme vol. 2, ditulis oleh Finna Prima Handayani dan Ika Merdekawati (2019, p. 198- 210) yang berjudul “Kebijakan Penggunaan Media Online Website Kompas TV Dan Youtube Untuk Menyalurkan Konten “Eksklusif Digital” Kompas TV”. Penelitian ini meneliti tentang kebijakan Kompas TV dalam memilih kanal website kompas.tv dan Youtube sebagai saluran distribusi konten Eksklusif Digital-nya.

Penelitian ini menggunakan mediamorfosis sebagai pisau analisisnya. Mewawancarai tiga informan dari Kompas TV, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, studi kasus instrinsik menurut Robert Stake. Alhasil, peneliti mewawancarai GM News & Current Affairs Kompas TV, Video Distributor Superintendent Departement Kompas TV, serta Community Superintendent Depertemen Digital Kompas TV.

(2)

11 Penelitian tersebut juga menemukan alasan dibalik Kompas TV memutuskan untuk menggunakan Youtube, yang antara lain untuk mencari penonton dari jumlah penikmati Youtube yang tinggi, mencari audiens baru selain dari televisi terestial, hingga mendapatkan revenue tambahan.

Penelitian ini menemukan fungsi tambahan Youtube terhadap media konvensional Kompas. Penemuan ini menginspirasi penulis untuk meneliti Youtube dalam pandangan berbeda, bukan dari kebijakan media melainkan dari pandangan jurnalis terhadap teknologi Youtube lewat pisau ukur konsep Social Construction of Technology (SCoT).

Penelitian kedua merupakan skipsi mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Angelia (2017), yang berjudul “Praktik Penggunaan Instagram dalam Aktivitas Jurnalisme: Studi Kasus Detikcom”. Penelitian Angelia memiliki pendekatan, metodelogi, serta teori yang menjadi inspirasi bagi penelitian ini. Dengan metode penelitian kualitatif deskriptif dan model studi kasus, penelitian ini ingin menjawab bagaimana media Detikcom mendefinisikan dan mengkonstruksikan Instagram sebagai saluran distribusi beritanya. Hasilnya, Detikcom menggunakan Instagram untuk beberapa hal, antara lain sebagai penyebaran informasi, pemasaran, mensosialisasikan Instagram ke pembacanya, memenuhi kebutuhan pembaca milenial, serta manfaat interaktivitas dari platform tersebut.

Dengan subjek penelitian dan aterfak teknologi yang berbeda, peneliti terinspirasi untuk mempelajari penggunaan media sosial lain dalam media

(3)

12 digital, dalam hal ini untuk mengetahui bagaimana Narasi.tv menggunakan dan mengkonstruksikan penggunaan Youtube dalam kerja jurnalismenya.

Penelitian ketiga berasal dari jurnal Digital Journalism vol. 7, ditulis oleh Balazs Bodo (2019, p. 1054-1075) dengan judul “Selling News to Audiences – A Qualitative Inquiry into the Emerging Logics of Algorithmic News Personalization in European Quality News Media”. Penelitian ini meneliti penerapan pelayanan personalisasi media secara algoritmik dari media-media di Eropa. Dalam penelitian ini, 16 individu dari 12 media di Eropa, antara lain di Belanda, Inggris, Swiss, Jerman dan Finlandia, diwawancara secara mendalam untuk mengetahui penerapan layanan personalisasi berita, penanganan masalah kepentingan redaksi dan bisnis media, serta fungsi dari sistem tersebut. Penelitian ini dilakukan dari pendekatan teknologi, bisnis, serta editorial organisasi berita terhadap sistem personalisasi.

Hasilnya, penelitian ini menemukan beberapa konsep besar, seperti tujuan sistem dalam media, operasi layanan personalisasi, dan permasalahan yang dialami. Pembahasan menggenai penerapan, proses redaksi, pemahamam jurnalis, penggunaan sistem, serta kelebihan dan kekurangan dibahas secara menyeluruh dalam penelitian ini. Tidak hanya itu, Bodo juga menemukan pergeseran atau perubahaan fungsi penggunaan personalisasi dalam media, sehingga media dan orang-orang di dalamnya perlu berjuang untuk mengendalikan teknologi personalisasi berita. Hal ini mendorong

(4)

13 penulis untuk meneliti interpretasi pegiat media di Indonesia dalam menggunakan Youtube, dimana platform tersebut dipengaruhi oleh sistem algoritma personalisasi. Maka dari itu, penulis ingin mengetahui bagaimana interpretasi yang terjadi dalam penggunaan Youtube serta pengaruhnya terhadap berita yang dipersonalisasi oleh platform, dengan menggunakan analisis Social Construction of Technology (SCoT).

Penelitian lain berjudul “My Videos are at the Mercy of the YouTube Algorithm”: How Content Creators Craft Algorithmic Personas and Perceive the Algorithm that Dictates their Work yang ditulis oleh Emily Pedersen (2019) dan diterbitkan di jurnal Technical Report vol. 48 juga menambah pemahaman penulis mengenai algoritma Youtube dari segi sosial. Penelitian ini mewawancarai pembuat konten Youtube serta menganalisis konten-konten tersebut. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa pembuat konten memahami algoritma dengan memberikan karekteristik sosial manusia atau persona algortima. Alhasil, peneliti mengidentifikasi tiga persona algoritma utama di YouTube, yaitu Agent, Gatekeeper, dan Drug Dealer.

Tidak hanya menemukan persona dari algoritma, penelitian ini juga menemukan pemahaman pembuat konten tentang platform Youtube, seperti keinginan mereka untuk konten yang lebih beragam dan penghargaan terhadap konten kreatif. Tidak hanya itu, konteks yang lebih luas juga dibahas, seperti kekhawatiran komunitas Youtube dan sisi teknis teknologi

(5)

14 tersebut. Lewat penelitian ini, penulis dapat memahami algoritma Youtube sebagai bentuk konstruksi teknologi yang lebih sosial.

Penelitian terakhir merupakan skripsi Fransiskus Xaverius Praba Agung Mustika (2018) dari Universitas Multimedia Nusantara, yang berjudul “Pemanfaatan Robot Jurnalistik Dalam Produksi Konten Jurnalisme Data Beritagar.Id: Studi Kasus Dengan Analisis Social Construction Of Technology”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan teknologi robot jurnalistik dalam publikasi konten jurnalisme data di Beritagar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme, untuk melihat interpretasi jurnalis mengenai alat tersebut.

Data dianalisis menggunakan teori Social Construction of Technology (ScoT) dan menemukan interpretasi jurnalis Beritagar.id terhadap penggunaan alat robot jurnalistik tersebut. Penelitian ini menjadi relevan dengan penelitian yang penulis lakukan karena memberi gambaran jelas tentang alur penelitian yang akan dilakukan. Sama seperti penelitian Mustika (2018), dengan menggunakan konsep SCoT penulis ingin mengetahui interpretasi jurnalis Narasi.tv terhadap teknologi Youtube.

Melihat penelitian-penelitian tersebut, penulis tertarik untuk melihat perkembangan artefak Youtube dengan algoritmanya bagi kemajuan jurnalisme digital di Indonesia. Model penelitian lain, seperti konsep hingga metode penelitian menjadi inspirasi yang dapat membantu peneliti untuk

(6)

15 merancang penelitian ini. Dengan itu, makna journalisme dapat berkembang setelah mengetahui konstruksi sosial yang selama ini dipahami jurnalis, dalam hal ini penggunaan teknologi Youtube di media digital.

Teori atau Konsep yang digunakan 2.2.1 Homeless Media

Pemahaman tentang media konvensional sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan kepada banyak media-media sekarang. Tidak hanya di Indonesia, setiap orang cenderung menggunakan smartphone untuk mengakses informasi berita setiap harinya. Survei We Are Social (2021) menemukan bahwa pengguna internet telah mencapai 4,66 miliar jiwa, dimana 4,22 miliar merupakan pengguna media sosial. Hal ini menunjukkan kearah mana perusahaan media harus pergi mencari penontonnya, yaitu media sosial.

Hal ini membuat pengamat jurnalistik menemukan fenomena media baru yaitu “Homeless Media”. Homeless media atau media tanpa rumah merupakan perusahaan media yang tidak memerlukan halaman beranda atau aplikasi, melainkan saluran atau platform media sosial untuk menyebarkan kontennya. (Marconi, 2015, para. 1). Dalam artikel di The Medium, Francesco Marconi (2015), manajer strategi dan pengembangan bisnis The Associated Press, mengungkapkan bahwa beberapa media telah beralih dari mengandalkan pendapatan dari situs web ke pendapatan lewat third-

(7)

16 party platform, seperti media sosial. Hal ini disebabkan oleh peningkatkan akses media sosial, serta keuntungan distribusi dan monetisasi yang dihadirkannya.

Maka dari itu, Francesco menekankan kepada jurnalis- jurnalis konvensional untuk melihat dan menganalisis penerapan konsep media tanpa rumah, terutama keuntungannya di segi bisnis dan editorial (Marconi, 2015, para. 11). Kebanyakan media di Indonesia telah menerapkan konsep media tanpa rumah, meski belum sepenuhnya. Menurut Risang B. Dhananto, Opini.id menjalankan konsep media tanpa rumah dengan menjadikan platform sebagai media. Media massa menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita, dan saat tautan di media sosial di-klik, pembaca akan diarahkan ke halaman web untuk konten lebih lengkap (Hanum, 2016, para. 3).

Untuk menjalankan konsep media tanpa rumah, Mudhita Dharmasaputra menjelaskan tiga komponen utama yang perlu dipahami media (Hanum, 2016, para. 6-9). Komponen pertama adalah pemahaman mengenai proses pembuatan konten, dimana jurnalis harus lebih adaptif dan mengenali karakteristik konten di setiap platform media sosial berbeda. Komponen kedua merupakan pemahaman jurnalis mengenai bisnis media, dimana jurnalis perlu memahami keunggulan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uang. Dan terakhir, jurnalis juga perlu

(8)

17 memperhatikan cara dan melakukan pemasaran yang sesuai di setiap platform-nya.

Hal ini juga dipahami Andrew Pemberton (2015). Dalam artikel Campaign yang berjudul “Homeless Media will make media like Buzzfeed homeless”, Pemberton mengungkap masalah dari model media baru ini. Dengan membangun penonton di platform yang dikendalikan media, perusahaan media harus membangun merek mereka sendiri, agar tidak ‘dikuasai’ media sosial (Pemberton, 2015, para. 10).

Selain itu, perusahaan media perlu memperhatikan kontrol dari media sosial, dimana konten umumnya dikurasikan berdasarkan perilaku pengguna di masa lalu. Kontrol personalisasi ini membuat kekuasaan platform, sebagai pihak yang membuat dan mengubah aturan, menjadi lebih tinggi dibanding perusahaan media yang menerbitkan konten. Maka dari itu, perusahaan media tanpa rumah harus memperhatikan aspek ini untuk menjalankan bisnisnya, yang berfokus pada penggunaan platform (Pemberton, 2015, para. 11-12).

2.2.2 Algoritma Youtube

Diluncurkan pada tahun 2005 dengan fokus pada konten yang dibuat pengguna atau user-generated content, YouTube telah berkembang menjadi salah satu platform dominan video online di

(9)

18 seluruh dunia. Dalam laporan Digital 2021 yang dirilis Data Reportal, situs laporan data didukung oleh Hootsuite dan We Are Social, sebanyak 159,46 juta dari 170 juta pengguna internet di Indonesia merupakan pengguna YouTube. Laporan tersebut juga memaparkan bahwa rata-rata lama waktu akses pengguna Youtube di Indonesia mencapai 25,9 jam per bulannya. (Luthfi, 2021, para.

4). Hal ini menunjukkan fenonema penggunaan Youtube di Indonesia, dimana hampir seluruh pengguna internet pernah bahkan rutin menggunakan aplikasi tersebut. Jadi, tidak heran jika platform ini menjadi lokasi penting dalam perkembangan beberapa tren dan kontroversi terbaru, baik perdebatan politik, ekonomi, hingga budaya media baru (Burgess, 2011).

Kurang dari dua tahun didirikannya YouTube, platform video tersebut diakuisisi oleh Google dengan biaya $ 1,65 miliar, menjadikannya momen penting dalam perkembangan web yang berbasis user-generated content atau konten yang dibuat pengguna, seperti Wikipedia, Myspace dan Facebook (Arthurs, 2018, p. 1).

Afiliasinya dengan Google, mesin pencari otomatis terbesar di dunia, membuat teknologi mesin pencari di web Youtube juga berkembang secara dominan. Lebih tepatnya, Youtube dilengkapi Google dengan teknologi algoritma personalisasi yang unggul dalam distribusi konten.

(10)

19 Holland (2016) juga mengungkapkan perkembangan Youtube sejak afiliasinya dengan Google, dimana platform tersebut berevolusi dari situs pemutaran video amatir dan bebas iklan ke tujuannya yang sekarang digunakan oleh video komersial dan profesional. Perubahannya kearah monetisasi konten membuat Youtube yang awalnya merupakan sumber distribusi video untuk hobi berkembang menjadi sumber pendapatan bagi para pembuat konten, tidak terkecuali bagi para perusahaan media.

Tidak hanya itu, Youtube juga mulai memperkenalkan sistem pencarian yang dapat mengidentifikasi video yang mungkin dinikmati pengguna. Cunningham et al. (2016) menjelaskan teknologi YouTube yang disebut sebagai misteri, yaitu algoritma yang memberi saran dan rekomendasi penayangan video (dalam Arthurs, J., 2018, p. 8). Dari makalah yang diterbitkan oleh peneliti di Google, Airoldi, dkk. (2016) menemukan bahwa algoritma YouTube dibuat sesuai dengan prinsip komputasi collaborative filtering analysis atau analisis penyaringan kolaboratif, menyiratkan fungsi prinsip tersebut merupakan hasil elaborasi sistem algoritmik serta logika sosial dalam menonton video (dalam Arthurs, J., 2018, p. 8). Secara sederhana, algoritma dengan pembelajaran mesinnya akan melihat setiap interaksi pengguna. Saat pengguna memilih dan memutar salah satu video yang disarankan untuk diputar, algoritma

(11)

20 akan mempelajari bahwa ada hubungan antara video yang ditonton dan video disarankan (Bryant, 2020, p. 86)

Salah satu komponen utama dari algoritma YouTube adalah sistem rekomendasi, yang menurut Arthurs (2018, p. 8), akan menyarankan konten bagi pengguna yang sekiranya cocok untuk diakses, dibeli, atau dilihat, dan memainkan peran penting dalam menentukan video mana yang akan lebih sukses daripada yang lain.

Secara langsung atau tidak langsung, sistem algoritma personalisasi Youtube memiliki dua mata pisau yang bisa membawa dampak positif, ataupun negatif dalam hal distribusi konten.

Seperti kebanyakan besar terknologi algoritma dalam suatu platform, formulasi dari teknologi personalisasi Youtube ini juga dirahasiakan. Pasquale (2015) menyebut teknologi Youtube sebagai

‘black box’ atau kotak hitam, dimana kurangnya pengetahuan tentang teknologi ini membawa konsekuensi ke berbagai pihak, baik produser hingga pemegang saham (dalam Arthurs, 2018, p. 8).

Menurut Bryant (2020, p. 87), algoritma Youtube terbagi menjadi dua sisi, yaitu desain algoritma dari sisi teknisi dan desain algoritma yang tidak diketahui. Desain kedua memandang algoritma sebagai sesuatu yang terus berkembang, dimana teknologi ini dipandang sebagai jaringan netral yang menentukan dan mengembangkan pola terbaik sendiri lewat pembelajaran mesin. Meski begitu, lewat diskusi publik yang sudah berlangsung belasan tahun lamanya,

(12)

21 beberapa orang mencoba mengobservasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi algoritma Youtube.

Menurut Werner Geyser (2021, para. 15) dalam artikelnya yang berjudul “How Does the YouTube Algorithm Work: A Peek into YouTube’s Algorithm Changes in 2022”, pengguna Youtube dapat melihat efek algoritma rekomendasi video lewat enam tempat, yaitu di hasil pencarian video, di kolom rekomendasi video, di beranda Youtube, di kolom trending, di channel subscriptions, dan dalam notifikasi yang muncul. Adapun Geyser (2021, para. 24) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi algoritma video, antara lain:

1. Jenis konten yang sering ditonton (dan jenis yang jarang ditonton).

2. Berapa banyak waktu yang dihabiskan orang untuk menonton satu jenis video.

3. Seberapa cepat popularitas video meningkat.

4. Seberapa sering akun tersebut mengunggah video baru.

5. Berapa banyak waktu yang dihabiskan orang di platform setelah menonton video tersebut.

6. Berapa banyak interaksi penonton (likes, dislikes, comment, atau share).

7. Umpan balik negatif.

(13)

22 Pengetahuan dan pemahaman tentang algoritma ini idealnya dapat mempermudah pengguna untuk mendorong views dari konten yang diunggah. Adapun, media digital juga dapat memanfaatkan hal ini dalam upaya membentuk personalisasi berita yang berfokus pada media mereka masing-masing.

2.2.3 Sistem Personalisasi dalam Berita

Menurut Thurman dan Schifferes (2012, p. 776), sistem personalisasi berita didefinisikan sebagai bentuk interaktivitas pengguna dan sistem menggunakan sekumpulan fitur teknologi untuk menyesuaikan konten, menyimpan, dan mengatur komunikasi. Hal tersebut dijalankan dengan menggunakan data preferensi pengguna atau individu yang terdaftar secara eksplisit atau ditentukan secara implisit (dalam Bodo, 2019, p. 1055).

Dengan teknologi ini, media dapat menciptakan atau menggunakan sistem yang menguntungkan bagi pelaksanaan media, baik dari sisi pemilihan isu hingga menjalankan bisnis media.

Sebelum munculnya teknologi personalisasi Youtube, media masih berupaya menciptakan sistem ini di web mereka masing- masing. Menurut Bodo (2019, p. 1055) layanan berita yang dipersonalisasi mulai mendapatkan daya tarik di awal tahun 2000- an. Karena belum menggunakan teknologi yang lebih canggih, layanan berita pribadi generasi pertama meminta pengguna untuk

(14)

23 secara eksplisit mengungkapkan preferensi terkait konsumsi berita mereka. Sistem tersebut kemudian berkembang menjadi personalisasi berita generasi kedua, dimana menggabungkan personalisasi secara implisit. Pendekatan ini membangun profil digital dari sinyal tidak langsung pengguna, seperti klik, informasi pengguna pihak ketiga atau riwayat transaksi, kemudian teknologi algoritma menggunakan saran tersebut untuk memberi rekomendasi yang dipersonalisasi (Bodo, 2019, p. 1055).

Sistem personalisasi implisit tersebut pertama kali dibuat oleh bagian komersial, seperti Google, Yahoo, Youtube, Amazon, dan platform lain. Alhasil, layanan personalisasi secara algoritma dapat memuaskan para konsumen di sektor ini. Kesuksesannya juga membuat penerapan sistem ini di aplikasi personalisasi dalam media berita semakin dipertanyakan. Pertanyaan serius tentang apa serta bagaimana mulai muncul terhadap personalisasi yang terjadi di ruang redaksi.

Turow (2005) dan Zamith (2018) menekankan bagaimana redaksi berita harusnya mempertemukan permintaan pembaca dengan misi jurnalistik editor dan penilaian editorial (dalam Bodo, 2019, p. 1055). Bodo, dkk. (2019, p. 219) juga berpendapat bahwa nilai personalisasi berita bergantung pada ruang berita yang dibagikan, serta jenis berita yang beragam dan mendalam. Sistem personalisasi berita menimbulkan pertanyaan mengenai konsep

(15)

24 kerja, baik pertimbangan alat hingga keputusan editorial. Menurut Pasquale (2015), algoritma dari sistem personalisasi, baik yang dibuat media atau yang digunakan platform Youtube, merupakan kotak hitam teknologi yang hanya dapat dipahami oleh pakar teknis (dalam Arthurs, 2018, p. 8).

Meski begitu, sistem personalisasi masih dapat dipahami masyarakat secara praktis. Penggunaan sistem personalisasi dapat terlihat dari konten yang dihasilkan sebuah platform. Sederhananya, ketika pembaca membuka Youtube dari dua gadget atau akun berbeda, maka tampilan isi konten dapat beragam. Meski sudah sering kita temukan di platform media sosial, sistem personalisasi Youtube yang digunakan media masih belum memiliki aturan yang jelas. Berbagai pandangan dan konseptual berbeda membuat peneliti ingin mencari tahu bagaimana interpretasi media digital ketika menggunakan sistem personalisasi tersebut.

Narasi.tv menjadi pilihan yang tepat karena basisnya yang serba digital. Melihat ciri khas homeless media dan pencapaiannya dalam memanfaatkan teknologi Youtube selama tiga tahun, peneliti ingin mengetahui bagaimana jurnalis Narasi.tv memahami dan memanfaatkan algoritma personalisasi Youtube serta efek sistem personalisasi platform tersebut dalam konteks produksi konten hingga pengembangan perusahaan media.

(16)

25 2.2.4 Social Construction of Technology (SCoT)

Konsep Social Construction of Technology (SCoT) telah menyumbang pemahaman bagaimana struktur sosial dapat berpengaruh terhadap perkembangan suatu teknologi. Konsep ini pertama kali muncul dari artikel Trevor Pinch and Wiebe Bijker’s (1987) yang berjudul “The Social Construction of Facts and Artifacts: Or How the Sociology of Science and the Sociology of Technology Might Benefit Each Other.” (dalam Klien dan Kleinman, 2002, p. 28). Konsep ini terus berkembang sejalan dengan berbagai penelitian yang dilakukan, salah satunya konsep SCoT dari tulisan Bijker (1995) dengan judul “Of Bicycle, Bakelites, and Bulbs” hingga berkembang pemanfaatannya dalam penelitian sekarang.

Konsep SCoT dari Pinch dan Bijker (1987) memiliki empat konseptual yang membangun pemahaman terhadap teknologi, yaitu interpretive flexibility (fleksibilitas interpretasi), relevant social group (kelompok sosial relevan), closure and stabilization (penutupan dan stabilisasi), dan wider context (dalam Klien dan Kleinman, 2002, p. 28-29). Komponen interpretive flexibility atau fleksibilitas interpretasi datang dari pemahaman relativisme dalam ilmu sosial. Desain teknologi dianggap sebagai proses terbuka yang

(17)

26 dapat menghasilkan hasil pembangunan yang berbeda tergantung pada keadaan sosial (Klien dan Kleinman, 2002, p. 29). Fleksibilitas interpretasi hadir untuk menunjukkan bagaimana teknologi merupakan produk dari negosiasi antarkelompok. Sebuah teknologi memungkinkan beberapa desain penggunaan yang berbeda, hingga dari proses tersebut dapat menghasilkan hal berbeda (Klien dan Kleinman, 2002, p. 29).

Komponen relevant social group atau kelompok sosial yang relevan merupakan komponen kedua dari konsep SCoT. Kelompok sosial yang relevan adalah orang-orang yang memiliki kepentingan yang mengarahkan banyak interpretasi menjadi sesuatu yang lebih spesifik (Mustika, 2018, p. 30). Menurut Bijker (1995), setiap grup mungkin memiliki definisi yang berbeda dari dari kerja teknologi, sehingga pengembangan terus berlanjut sampai semua kelompok sampai pada kesepakatan bahwa artefak umum mereka berfungsi (dalam Klien dan Kleinman, 2002). Perkembangan teknologi tidak berhenti hingga seluruh anggota dalam kelompok sosial relevan berhasil interpretasi dan menegosiasi desainnya.

Ketiga, komponen penting lainnya dalam kerangka SCoT adalah closure and stabilization atau penutupan dan stabilisasi.

Proses ini adalah kondisi dimana kelompok sosial sepakat pada desain yang dijalankan sudah dapat diterima tanpa terjadi modifikasi

(18)

27 desain tambahan dan artefak menjadi stabil dalam bentuk akhirnya (Klein dan Kleinman, 2002, p. 30).

Pinch dan Bijker (1987) melihat ini terjadi melalui mekanisme penutupan. Dalam kasus ini melalui dua tahapan, yaitu rhetorical closure dan closure by redefinition. Rhetorical closer berupa pernyataan dibuat bahwa tidak ada masalah lebih lanjut dan tidak ada desain tambahan diperlukan. Sedangkan closure by redefinition terjadi saat ada proses mendefinisikan ulang sehingga masalah sosial kelompok dapat terselesaikan (Klein dan Kleinman, 2002, p. 30).

Komponen keempat dalam konsep SCoT adalah wider context. Dalam tahapan ini, Klein dan Kleinman (2002) menekankan teknologi atau inovasi dipercaya dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya (dalam Mustika, 2018, p. 31). Begitu pula dalam konsep awal Pinch dan Bijker yang percaya bahwa pandangan sosial, politik, dan budaya yang dianut suatu kelompok sosial akan mempengaruhi pemaknaannya terhadap teknologi. Namun, dalam penelitian awal Pinch dan Bijker (1987), latar belakang interaksi kelompok, seperti hubungan di dalam kelompok, peraturan dalam interaksi, hingga perbedaan status, tidak digarisbawahi sehingga komponen konsep ini masih dapat dikembangkan.

(19)

28 Menurut Octavianto (2014), naskah SCoT pada tahun 1984 menitikberatkan pada komponen fleksibilitas interpretative serta penutup dan stabilisasi, tetapi kurang menjelaskan komponen konteks yang lebih luas (dalam Mustika, 2018, p. 32). Naskah Pinch dan Bijker tentang SCoT belum menjelaskan bagaimana aspek sosial, budaya, dan politik mempengaruhi proses fleksibilitas interpretasi dan proses stabilisasi (Octavianto, 2014, p. 55). Hal tersebut membuat penelitian menganggap konsep Social Construction of Technology masih dapat dikembangkan lagi.

(20)

29 Alur Penelitian

Untuk menjaga penelitian tetap berada pada jalur ilmiah dan focus mencari kesimpulan, peneliti merangkum bentuk alur untuk penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.1 Alur Penelitian

Pemanfaatan algoritma personalisasi Youtube dalam media Narasi.tv

Penelitian kualitatif deskriptif, dengan metode Studi kasus Stake (2005).

Paradigma Konstruktivisme:

Kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan bersifat relatif

Social Construction of Technology (SCoT): desain atau inovasi teknologi bergantung pada konstruksi dan kondisi sosial saat itu.

1. Fleksibilitas Interpretasi 2. Kelompok Sosial Relevan 3. Penutupan dan Stabilisasi

4. Wider Context

Gambar

Gambar 2.1 Alur Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan Redaksi Metro TV dalam Memproduksi Tayangan Breaking News (Studi Kasus Pemberitaan Covid-19), Rahma Amelia Wiharti, Universitas Multimedia Nusantara..

Kemudian, media Harian Waspada dari Sumatera Utara juga ikut mendirikan portal online yang disebut Waspada Online (www.waspada.co.id). Diikuti dengan kehadiran media

1. Transference, adalah di mana seorang selebriti atau brand ambassador mewakili suatu merek yang memiliki keterkaitan dengan profesi mereka. Attractiveness, adalah tampilan dari

Yaitu: Heuristik yang mencakup proses pengambilan dan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini; Kritik, yaitu proses pengolahan data- data

Penjelasan tersebut merupakan ciri dari foto cerita (Wijaya, 2021, p. Deskriptif, bentuk foto menampilkan hal menarik dari sudut pandang fotografer atau penulis. Ciri

bahwa manajemen adalah suatu proses khusus yang terdiri dari perencanaan,. pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang

Tujuan utama pembibitan adalah mempersiapkan bibit yang baik dan seragam, karena hal tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan penanaman dilapangan dan untuk

Penelitian terdahulu kedua berjudul “Praktik Jurnalisme Bencana di Instagram: Analisis Isi Pemberitaan Bencana pada Akun Instagram Media Berita @detikcom dan