commit to user
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PENGUKURAN SUDUT
DALAM PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN NYAMPLUNG GAMPING SLEMAN
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
Skripsi
Oleh:
SIDIQ PRAMONO X7108748
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PENGUKURAN SUDUT
DALAM PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN NYAMPLUNG GAMPING SLEMAN
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
Oleh:
SIDIQ PRAMONO X7108748
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program S1 PGSD
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
iiiii
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Pemahaman Pengukuran Sudut dalam Pelajaran Matematika Siswa Kelas IV SDN Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran 2010/2011”.
Oleh:
Nama : Sidiq Pramono
Nim : X7108748
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, Januari 2011
Pembimbing I Pembimbing II
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Pemahaman Pengukuran Sudut dalam Pelajaran Matematika Siswa Kelas IV SDN Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran 2010/2011”.
Nama : Sidiq Pramono NIM : X7108748
Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs.Kartono, M. Pd ...
Sekretaris : Drs. Hasan Mahfud, M. Pd ... Anggota I : Siti Istiyati, M. Pd ...
Anggota II : Siti Wahyuningsih, M Pd ...
Disahkan oleh,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Dekan,
commit to user
ii vABSTRAK
Sidiq Pramono, PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PENGUKURAN SUDUT DALAM PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS IV SDN NYAMPLUNG KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN TAHUN PELAJARAN 2010/2011. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011.
Tujuan penelitian ini adalah: Meningkatkan pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika melalui model pembelajaran kontekstual pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Nyamplung Tahun Pelajaran 2010/2011;
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan bentuk pendekatannya adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Model penelitian ini menggambarkan serangkaian langkah yang membentuk siklus. Setiap langkah tersebut terdiri dari empat tahapan, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Nyamplung, Gamping Sleman. Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV sebanyak 12 orang siswa yaitu 4 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi: observasi, wawancara, tes hasil belajar dan perekaman. Validitas data dalam penelitian ini menggunkan dua trianggulasi yaitu trianggulasi data dan trianggulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.
commit to user
vi ABSTRACTS
Sidiq Pramono, THE IMPLEMENTATION OF CONTEXSTUAL TEACHING AND LEARNING MODEL TO IMPROVE THE COMPREHENSION OF ANGLE MEASUREMENT IN MATHEMATIC LESSON FOR 4TH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL NYAMPLUNG GAMPING SLEMAN SCHOOL YEARS 2010/2011. Skripsi, Surakarta: Education Faculty. Sebelas Maret University of Surakarta, January 2011
The purpose of this research are: To increase student comprehension of angle measurement in Mathematic lesson in 4th grade of Elementary School Nyamplung Gamping Sleman School Years 2010/2011 through Contextual Teaching and Learning Model;
The kind of the research is action research and the approach which is used in the research is descriptive qualitative. This mode describes the steps in forming the cycle. Every step has four phases: planning, action, observation, and reflection. The subject in this research are 12 students, they are 4 girls and 8 boys in 4th grade of Elementary School Nyamplung Gamping Sleman School Years 2010/2011. The technique which are use in collecting the data cover: observation, conversation, achievement test, and data record. The technique of analyzing data which is used is the verification analyzing which consist of three steps: reduction data, presentation data, and conclusion data.
commit to user
iivii MOTTO
Andai kesusahan adalah hujan dan kesenangan adalah matahari, maka kita butuh keduanya untuk melihat pelangi,
Sebelum jauh-jauh memperbaiki diri,
sebelum jauh-jauh mencari solusi buat segala permasalahan yang kita hadapi,
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Ibunda (Sutini) dan Ayahanda (Warsono) atas doa kasih sayangnya
2. Kakak (Mas Ikhsanudin) atas dorongan dan motivasinya.
commit to user
iiix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT, karena atas
berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Pemahaman Pengukuran Sudut dalam Pelajaran Matematika Siswa Kelas IV SDN Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran 2010/2011”.
Penulisan ini disusun dalam rangka guna memperoleh gelar Sarjana pada
Program Studi PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan maupun kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. R. Indianto, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui dan mengesahkan judul skripsi yang telah diajukan.
3. Drs. Kartono, M. Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. 4. Drs. Hasan Mahfud, M. Pd, selaku Sekretaris Program Studi PGSD Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
commit to user
x
6. Bapak/Ibu guru berserta staf SD Negeri Nyamplung, Gamping, Sleman, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman se-almamater yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan semangat pada penulis dan atas kerja samanya. 8. Semua pihak yang telah ikut membantu dan mendukung dalam penyelesaian
skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri khususnya serta pembaca pada umumnya
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Januari 2011
commit to user
iixi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN ABSTRAK ... v
HALAMAN ABSTRACT ... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI ... 6
A. Tinjauan Pustaka ... 6
1. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual... 6
a. Pengertian Pembelajaran ... 6
b. Pengertian Model Pembelajaran ... 7
commit to user
xii
d. Komponen Model Pembelajaran Kontekstual ... 11
e. Tujuan Pembelajaran Kontekstual ... 12
f. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kontekstual ... 13
c. Langkah- langkah Pembelajaran Kontekstual ... 14
2. Peningkatan Pemahaman Pengukuran Sudut Dalam Pembelajaran Matematika ... 17
a. Pengertian Pemahaman ... 17
b. Pengertian Pengukuran ... 19
c. Pengertian Sudut ... 20
d. Pembelajaran Pengukuran Sudut ... 22
e. Pengertian Matematika ... 23
f. Langkah- langkah Pembelajaran Matematika ... 24
g. Ruang Lingkup Matematika SD ... 25
B. Penelitian yang Relevan ... 27
C. Kerangka Berpikir ... 28
D. Hipotesis Tindakan ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A. Setting Penelitian ... 30
1. Tempat Penelitian ... 30
2. Waktu Penelitian ... 30
B. Subjek Penelitian ... 30
C. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 31
1. Bentuk Penelitian ... 31
2. Strategi Penelitian ... 31
D. Sumber Data ... 31
E. Teknik Pengumpulan Data ... 32
F. Validitas Data ... 33
G. Teknik Analisis Data ... 33
H. Indikator Kerja ... 34
commit to user
iixiii
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 39
A. Deskripsi Data Penelitian ... 39
1. Deskripsi Kondisi Awal ... 41
B. Deskripsi Data Tindakan ... 43
1. Tindakan Siklus I ... 43
2. Tindakan Siklus II ... 51
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 60
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 62
A. Simpulan ... 62
B. Implikasi ... 62
C. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Indikator Keberhasilan Tindakan Penelitian untuk Aspek
Kualitas Proses ... 34
Tabel 2 Indikator Keberhasilan Tindakan Penelitian untuk Aspek Pemahaman Konsep ... 35
Tabel 3 Data Frekuensi Awal Sebelum Tindakan ... 41
Tabel 4 Hasil Tes Awal ... 42
Tabel 5 Data Nilai Pada Siklus I... 48
Tabel 6 Data Frekuensi Nilai Pada Sklus I ... 49
Tabel 7 Hasil Tes Siklus I ... 50
Tabel 8 Data Nilai Pada Siklus II ... 56
Tabel 9 Data Frekuensi Nilai Siklus II ... 57
Tabel 10 Hasil Tes Pertemuan Siklus II ... 58
commit to user
iixv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Berpikir ... 29
Gambar 2 Prosedur Penelitian Tindakan Kelas... 36
Gambar 3 Grafik Nilai Awal Siswa Sebelum Tindakan ... 42
Gambar 4 Grafik Nilai Siswa Siklus I ... 50
Gambar 5 Grafik Perbandingan Prosentase Siswa Belajar Tuntas Awal dengan Siklus I ... 51
Gambar 6 Grafik Nilai Siswa Siklus II ... 58
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Silabus Matematika Kelas IV SD ... 67
Lampiran 2 Soal Pretes ... 68
Lampiran 3 Rekapitulasi Nilai Siswa Sebelum Tindakan ... 70
Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I ... 71
Lampiran 5 Soal Evaluasi Siklus I ... 87
Lampiran 6 Kunci Jawaban dan Kriteria Penilaian Soal Evaluasi Siklus I ... 90
Lampiran 7 Rekapitulasi Nilai Siklus I ... 91
Lampiran 8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ... 92
Lampiran 9 Soal Evaluasi Siklus II ... 108
Lampiran 10 Kunci Jawaban dan Kriteria Penilaian Soal Evaluasi Siklus II ... 110
Lampiran 11 Rekapitulasi Nilai Siklus II ... 111
Lampiran 12 Lembar Observasi Aktifitas Siswa Siklus I ... 112
Lampiran 13 Lembar Observasi Aktifitas Siswa Siklus II ... 114
Lampiran 14 Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus I ... 116
Lampiran 15 Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus II ... 118
Lampiran 16 Dokumentasi ... 120
Lampiran 17 Bukti Fisik Evaluasi Siswa ... 127
Lampiran 18 Surat Keterangan dari SD N Nyamplung ... 151
commit to user
ϭ
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan sekarang ini. Standarisasi dan profesionalisme pendidikan yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Dalam implementasi
kurikulum di sekolah, guru dituntut untuk senantiasa belajar dan mendapatkan informasi baru tentang pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan pada umumnya (Mulyasa, 2009: 13).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (NSP) terdapat standar kompetensi lulusan yaitu digunakan sebagai penilaian penentuan kelulusan peserta didik, yang meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran, serta mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah satu mata pelajaran yang sering membebani
siswa dalam menentukan kelulusan adalah Matematika.
Matematika adalah salah satu pelajaran yang membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Matematika menjadi penting karena semua ilmu membutuhkan Matematika di dalamnya. Pada kenyataannya, jika diperhatikan hasil belajar Matematika pada umumnya masih tergolong rendah. Hal ini
disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi pembelajaran Matematika. Banyak mitos-mitos yang berkembang pada lingkungan sekolah tentang Matematika, hal ini akan memberikan andil besar dalam membuat sebagian siswa merasa alergi bahkan tidak menyukai Matematika. Akibatnya, mayoritas siswa
kita akan mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga malas untuk mempelajari Matematika. Menurut Ade Chandra Prayogi, S.Pd (http://www.friendster.com/adechandraprayogi. 02/02/2010) Ada lima mitos
commit to user
Ϯ
sedikit orang atau siswa dengan IQ minimal tertentu yang mampu memahaminya. (2) Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Padahal, Matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. (3) Matematika selalu
berhubungan dengan kecepatan menghitung. Memang, berhitung adalah bagian tak terpisahkan dari Matematika, terutama pada tingkat SD. Tetapi, kemampuan menghitung secara cepat bukanlah hal terpenting dalam Matematika. Yang terpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami Matematika sehingga
pemahaman meningkat. (4) Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita. Mitos ini jelas-jelas salah kaprah, sebab fakta menunjukkan bahwa Matematika sangat realistis. Dalam arti, Matematika merupakan bentuk analogi dari realita sehari-hari. (5) Matematika adalah ilmu
yang membosankan, kaku, dan tidak rekreatif. Anggapan ini jelas keliru. Meski jawaban (solusi) Matematika terasa eksak lantaran solusinya tunggal, tidak berarti Matematika kaku dan membosankan. Maka menjadi tugas guru untuk menghilangkan atau meluruskan mitos sesat yang ada pada siswa tersebut agar
matematika tidak menjadi pelajaran yang menakutkan lagi bagi mereka. Berbagai cara dan upaya perlu dilakukan agar siswa tidak malas dalam mempelajari matematika. Dengan begitu diharapkan pendidikan di Indonesia akan semakin maju.
Pendidikan di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain.
Tantangan bagi pendidikan pada saat ini adalah bagaimana menemukan dan menciptakan metode pendidikan dan mengkondisikan lingkungan yang tepat bagi kebutuhan individu-individu yang unik. Lemahnya tingkat berfikir siswa menjadi sebuah tantangan besar bagi para pendidik. Oleh karena itu guru dituntut harus
mampu merancang dan melaksanakan proses pembelajar dengan tepat agar siswa memperoleh pengetahuan secara utuh sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.
Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya,
ϯ
untuk menangkap isi dari pelajaran Matematika. Pembelajaran yang baik adalah suatu pemahaman bukan menghafal.
Berdasarkan hasil observasi dan kajian dokumen pre tes tentang pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika siswa kelas IV belum
seperti yang diharapkan. Kenyataan menunjukkan masih rendahnya tingkat penguasaan terhadap materi Matematika yang ada. Dari 12 siswa yang ada di kelas IV hanya ada 3 siswa yang memenuhi KKM (70). Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: kurangnya perhatian siswa dalam pembelajaran,
kesiapan fasilitas pembelajaran, strategi serta model pembelajaran yang digunakan oleh guru kelas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman siswa rendah dapat didentifikasikan antara lain sebagai berikut: Model pembelajaran yang digunakan guru kurang menarik, matematika dianggap pelajaran yang sulit
dan membosankan, pembelajaran yang berlangsung kurang melibatkan siswa atau guru lebih aktif dari pada siswa, guru tidak mempersiapkan alat peraga yang mendukung untuk menjelaskan materi pengukuran sudut, media yang digunakan guru kurang bervariatif, dan pembelajaran tidak dikaitkan dengan situasi alami
siswa. Semua permasalahan yang dialami siswa kelas IV SD N Nyamplung tersebut akhirnya menjadi seperti benang kusut yang sulit diuraikan. Dibutuhkan sistem pembelajaran yang benar-benar bisa mengakumulasi semua permasalahan itu dan sekaligus menemukan solusi yang menyeluruh dan mengakar pada permasalahan yang ada.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pemahaman dalam pelajaran Matematika, maka proses pembelajaran harus menggunakan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak. Pada dasarnya, siswa lebih tertarik untuk belajar hal-hal konkrit dan harus mengalami untuk memahami.
Pembelajaran yang di kaitkan dengan keadaan nyata di sekitar akan lebih bermakna daripada sekedar penyampaian teori. Maka dari sekian banyak model pembelajaran inovatif, peneliti memilih untuk menggunakan model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual adalah pendekatan yang
commit to user
ϰ
pemahaman pengukuran sudut, guru dapat mengkaitkan dengan situasi nyata siswa, dan salah satu alternatifnya adalah menggunakan benda nyata yang sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari sebagai media untuk menjelaskan pengukuran sudut pada kelas IV. Karena permasalah yang diteliti terlalu luas,
maka peneliti membatasi masalah penelitian ini sebagai berikut: Materi Matematika yang diteliti yaitu pengukuran sudut pada siswa kelas IV, model pembelajaran inovatif yang digunakan adalah model pembelajaran kontekstual, target penelitiannya adalah pemahaman pengukuran sudut pada siswa kelas IV
SDN Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Pemahaman Pengukuran Sudut dalam Pelajaran
Matematika Siswa Kelas IV SDN Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran 2010/2011”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika di kelas IV Sekolah Dasar Negeri Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun
Pelajaran 2010/2011 ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dicapai dalam
penelitian ini adalah:
Meningkatkan pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika melalui model pembelajaran kontekstual pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun Pelajaran
ϱ
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
1) Memberikan masukan dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran Matematika khususnya pengukuran sudut.
2) Memberikan sumbangan dalam khasanah keilmuan. Peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di SDN Nyamplung pada khususnya.
3) Mengembangkan kreativitas guru dalam penggunaan model pembelajaran
kontekstual͘ 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak berikut:
a. Bagi siswa
1) Tumbuhnya motivasi siswa dalam proses pembelajaran Matematika. 2) Meningkatnya pemahaman tentang materi yang dipelajari dalam
Matematika.
3) Meningkatnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. b. Bagi guru
1) Meningkatnya pengetahuan guru tentang model pembelajaran inovatif yang bisa diterapkan untuk meningkatkan proses pembelajaran.
2) Meningkatnya kemampuan dalam mengatasi kesulitan dalam pembelajaran khususnya materi pengukuran sudut pada mata pelajaran Matematika dengan model pembelajaran kontekstual..
c. Bagi Sekolah
commit to user
ϲ
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar, belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 2).
Pembelajaran merupakan suatu proses belajar. Belajar memiliki banyak
definisi. Pembelajaran menurut M.G. Dwijiastuti, Usada, dan Sri Anitah, 2005: 6 adalah membelajarkan siswa menggunakan azas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa.
Slameto (2003: 2) memberikan pengertian belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Mulyono Abdurrahman ( 2003: 28 )
mendefinisikan belajar sebagai suatu proses seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang biasa disebut dengan hasil belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Nabisi Lapono. Dkk ( 2008: 44) mengartikan proses pembelajaran yang mendidik adalah proses pembelajaran
yang dilaksanakan untuk membantu peserta didik berkembang secara utuh baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi afektif dan psikomotorik.
Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, Elaine B. Johnson (2007: 18) memilih dua definisi berikut ini:
ϳ
“ A relatively permanent change in response potentiality which occurs as a result of rainforced practice and a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribableto the process of growth”
Dari dua definisi ini dapat didefinisikan ada tiga prinsip yang layak
diperhatikan. Pertama belajar menghasilkan perubahan tingkah laku anak didik yang relatif permanen; kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan kodrati untuk tumbuh dan berkembang tanpa henti; dan yang ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal. Sedangkan Oemar Hamalik ( 2008: 27 )
belajar merupakan suatu proses, sutu kegiatan dan bukan hasil atau tujuan, belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari itu yaitu memahami.
Pengalaman yang diperoleh berkat interaksi antara individu dengan lingkungan merupakan belajar dengan jalan mengalami. Dalam Oemar Hamalik
(2008: 29) William Burton menyatakan bahwa:
“Experiencing means living through actual situations and recting vigorously to various aspects of those situations for purposes apparent to the leaner. Experiencing includes whatever one does or undergoes which results in changed behavior, in changed value, meanings, attitudes, or skill.”
Yang artinya pengalaman berarti kehidupan dalam situasi nyata yang secara sungguh-sungguh meliputi beberapa aspek dimana dalam situasi tersebut tujuannya untuk mendapatkan pembelajaran yang nyata. Pengalaman termasuk mengandung apa saja yang dijalani untuk menghasilkan perubahan tingkah laku,
nilai, pengertian, sikap atau kemampuan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan sutu proses belajar individu untuk merubah tingkah laku kearah yang lebih baik dan perubahan itu relatif menetap.
b. Pengertian Model Pembelajaran
Model yakni cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan informasi dari guru, dimana informasi tersebut dibutuhkan untuk mencapai kompetensi pengajaran (Dwijiastuti, dkk, 2005: 5).
commit to user
ϴ
didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain menurut Joyce di dalam (Trianto, 2007: 5).
Arends dalam (Trianto, 2007: 5-6), menyatakan “The term teaching model refers to a particular appoarch to instruction that includes its goals, syntax,
environment, and management system.” Istilah model pengajaran mengarah pada
suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada
strategi, metode, atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah:
(1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya;
(2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai);
(3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan
(4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Kardi dan Nur, di dalam Trianto, 2007: 6)
Dalam kehidupan sehari-hari, kata model digunakan dalam beberapa
konteks. Dalam lingkup pendidikan istilah model telah lama digunakan. Model mengajar merupakan patokan bagi guru untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar. Model pembelajaran adalah suatu pola instruksional yang memberikan proses sepesifikasi dan penciptaan situasi lingkungan tertentu yang
mengakibatkan para siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan khusus pada tingkah laku mereka (Dwijiastuti, dkk, 2005:24).
c. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual
Pengertian Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex). Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
ϵ
yang berhubungan dengan konteks (contex)” (Depdiknas, 2001: 591). Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman konsep siswa dalam menyerap
sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa yang mereka pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang berasumsi sebagai berikut:
Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka (siswa) memiliki yaitu ingatan, pengalaman, dan balikan (respon), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan
untuk menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut ( Gafur, 2003: 1 ). Penemuan makna adalah ciri utama dari Model pembelajaran kontekstual. Di dalam kamus “makna” diartikan sebagai arti dari sesuatu atau maksud ( Elaine B. Johnson, 2007: 35 ). Ketika diminta untuk mempelajari sesuatu yang tidak
bermakna, para siswa biasanya bertanya, “Mengapa kami harus mempelajari ini?”. Karena otak terus-menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang bermakna, proses mengajar harus melibatkan para siswa dalam pencarian makna. Model pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan menghubungkan
muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
Shawn & Anna (2003) Contextual Teaching and Learning (CTL) is e new instructional approach rapidly being adopted, particularly science teacher, accros the nation. It is a conception of teaching and learning in which teachers relate subject matter to real world situations. It motivates students to apply what they learn to their lives as a family members, citizen, and workers and engage in the hard work that learning requires. ( http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ 02/02/2010).
Proses pembelajaran harus memungkinkan para siswa memahami arti
commit to user
ϭϬ
kontekstual mengajak para siswa membuat hubungan-hubungan yang mengungkapkan makna, maka kontekstual memiliki potensi untuk membuat para siswa berminat belajar. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Contextual Teaching and Learning oleh ATEEEC (dalam
http://www.ateec.org/learning/instructor/contectual.htm) disebutkan bahwa
:’’Students learn best-and retain what they have learned-whwn(1)they are interested in the subject matter and (2)concepts are applied to the contex of the
students’ own lives.’’(ATEEC Fellows 2000)
ATTEC became formally involved in Contextual Teaching and Learning
(CTL) methodos in 1999 as one of the regional cluster teams in a University of
Wisconsin-Madison research project (‘’TeachNET’’) funded by the U.S.
Departement of Education. By June 2001, ATEEC’s growing experience in CTL’s
problem-based learning approach was infused into the Fellows Institute.
Principles and practices of contextual learning continue to be incorporated in the
Fellows Institute curricular projects.
Dapat diartikan bahwa siswa belajar dengan baik dan mengingat apa yang mereka pelajari ketika (1) Mereka tertarik dengan bahan ajar atau subjek yang dipelajari dan (2) Konsep yang dipelajari pada kontek kehidupan siswa. ATEEC
menjadi bahan resmi termasuk metode CTL di tahun 1999. salah satu dari kelompok daerah di Universitas Wiconsin, Madison melakukan penelitian tentang ‘’teachNet’’ yang dibiayai oleh Departemen Pendidikan Amerika. Bulan Juni 2001, ATEEC mengembangkan penelitian pada masalah CTL yaitu dasar
ϭϭ
dari pembelajaran kontekstual adalah penggabungan secara berkelanjutan dalam kurikulum institut.
Menurut kerangka berpikir atau asumsi di atas model pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran
(pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dari pemahaman konsep akan lebih bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya. Berdasarkan uraian di atas,
pembelajaran kontekstual pada prinsipnya sebuah pembelajaran yang berorientasi pada penekanan makna pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang nyata.
d. Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran berbasis kontekstual menurut Sanjaya (Sugiyanto, 2009: 17) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yakni kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya.
Model pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen yaitu:
1) Kontruktivisme, yaitu pengetahuan siswa dibangun oleh dirinya sendiri atas dasar pengalaman, pemahaman konsep, persepsi dan perasaan siswa, bukan dibangun atau diberikan oleh orang lain. Jadi, guru hanya berperan dalam menyediakan kondisi atau memberikan suatu permasalahan.
2) Inquiry (menemukan), dalam hal ini sangat diharapkan bahwa apa yang dimiliki siswa baik pengetahuan dan ketrampilan diperoleh dari hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat dari apa yang disampaikan guru. Inkuiri diperoleh melalui tahap observasi (mengamati), bertanya (menemukan
dan merumuskan masalah), mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisa dan membuat kesimpulan.
3) Bertanya, dalam pembelajaran kontekstual, bertanya dapat digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan siswa.
commit to user
ϭϮ
4) Masyarakat Belajar, hal ini mengisyaratkan bahwa belajar itu dapat diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Masyarakat belajar ini dapat kita latih dengan kerja kelompok, diskusi kelompok, dan belajar bersama.
5) Pemodelan, agar dalam menerima sesuatu siswa tidak merasa samar atau
kabur dan bingung maka perlu adanya model atau contoh yang bisa ditiru. Model tak hanya berupa benda tapi bisa berupa cara, metode kerja atau hal lain yang bisa ditiru oleh siswa.
6) Refleksi yaitu cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari sebelumnya, atau
apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu dijadikan acuan berpikir. Refleksi ini akan berguna agar pengetahuan bisa terpatri dibenak siswa dan bisa menemukan langkah-langkah selanjutnya.
7) Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessement ) yaitu penilaian yang
sebenarnya terhadap pemahaman konsep siswa. Penilaian yang sebenarnya tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, sehingga dalam penilaian sebenarnya tidak bisa dilakukan hanya dengan satu cara tetapi menggunakan berbagai ragam cara penilaian.
e. Tujuan Pembelajaran Kontekstual
Model Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui peningkatan pemahaman konsep makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga,
anggota masyarakat dan anggota bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya diperlukan guru-guru yang berwawasan kontekstual, materi pembelajaran yang bermakna bagi siswa, strategi, metode dan teknik belajar mengajar yang mampu mengaktifkan semangat belajar siswa, alat peraga pendidikan yang bernuansa
kontekstual, suasana dan iklim sekolah yang juga bernuansa kontekstual sehingga situasi kehidupan sekolah dapat seperti kehidupan nyata di lingkungan siswa.
Model pembelajaran kontekstual diharapkan terjadi pembelajaran yang menyenangkan, tidak membosankan, siswa bisa kerja sama, belajar secara aktif,
ϭϯ
dengan baik oleh para pendidik, tentunya sedikit banyak akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Semoga dengan model pembelajaran kontekstual standar kompetensi yang harus dimiliki oleh pesarta didik dapat dicapai.
f. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual
Adapun kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kontekstual yang dikutip dari (http://www.anisah89.blogspot.com , 21/05/2010) adalah:
1) Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi materi itu akan
berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana
seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
2) Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual
Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam model pembelajaran
kontekstual. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
mengajak siswa agar menyadari dan dengan sadar dapat menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam dalam hal ini, tingkat kemampuan siswa yang berbeda-beda akan menyebabkan hasil pembelajaran dan tujuan pembelajaran sulit tercapai sacara merata.
commit to user
ϭϰ
anak usia sekolah dasar, karena dengan diterapakan model pembelajaran kontekstual tersebut maka anak akan selalu berpikir kritis untuk menemukan dan mengkontruksi pengetahuan yang diperolehnya.
g. Langkah- langkah pembelajaran kontekstual
Urutan kegiatan pembelajaran kontekstual menurut Gafur (2003, 6-7) diunduh dalam (http://www.sekolahku.info.com.13/02/2010 ) adalah sebagai berikut:
1) Pembelajaran Pendahuluan (Pre-instructional Activities) Pada umumnya kegiatan pembelajaran pendahuluan atau kegiatan awal dilaksanakan dengan kegiatan apersepsi atau prates. Dalam pembelajaran kontekstual, selain melaksanakan kegiatan tersebut kegiatan pembelajaran
pendahuluan dikembangkan dengan kegiatan lain yang merupakan penjabaran dari prinsip “keterkaitan” (relating). Kegiatan ini meliputi: pemberian tujuan, ruang lingkup materi (akan lebih baik dilengkapi peta konsep yang menggambarkan struktur atau jalinan antara materi), manfaat
atau kegunaan suatu topik baik untuk keperluan sekarang maupun belajar yang akan datang, manfaat atau relefansinya untuk bekerja dikemudian hari, dll. Dari pembelajaran pendahuluan yang melibatkan kegiatan prates, dapat diketahui kesiapan siswa untuk menerima materi pembelajaran. Siswa yang sudah menguasai pembelajaran diperbolehkan mempelajari topik berikutnya
sedangkan siswa yang belum menguasai topik pelajaran diberi pembekalan atau matrikulasi. Setelah itu, mereka diperbolehkan mempelajari topik berikutnya.
2) Penyampaian Materi Pembelajaran (Presenting Instructional Materials).
Hal yang sangat penting untuk diperkatikan oleh guru penyampaian materi pembelajaran dalam pembelajaran kontekstual hendaknya jangan terlalu banyak penyajian yang bersifat “ekspositori (ceramah, dikte), dan deduktif”. Namun sebaliknya gunakanlah sebanyak mungkin metode penyajian atau
ϭϱ
senantiasa menantang siswa untuk dapat memperoleh “pengalaman langsung, menemukan, menyimpulkan, serta menyusun sendiri konsep yang dipelajari”. Sejalan dengan konsep di atas, penyampaian materi pelajaran lebih mengarah pada prinsip pengalaman langsung, penerapan, dan
kerjasama. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah alat peraga dan alat bantu sebagai alat pemusatan perhatian seperti “paduan warna, gambar, ilustrasi, penegas visual”. Kaitannya dengan masalah ini guru dapat memilih dan mengembangkan sendiri alat peraga maupun alat
bantu pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
3) Pemancingan Penampilan siswa (Eliciting Performance) Siswa merupakan subjek pembelajaran, bukan objek pembelajaran. Oleh sebab itu, siswalah yang lebih banyak berperan aktif dalam pembelajaran
dari pada guru. Dalam hal ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu menyiapkan fasilitas dan kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif belajar. Untuk dapat mengaktifkan siswa dalam belajar, guru harus mampu memancing penampilan siswa (eliciting performance).
Hal ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam menguasai materi atau mencapai tujuan pembelajaran melalui kegiatan latihan (exercise) dan praktikum. Berdasarkan konsep di atas, prinsip pembelajaran kontekstual yang di gunakan dalam kegiatan ini adalah penerapan dan alih pengetahuan. Dengan demikian orientasi kegiatan siswa pada kegiatan pelatihan dan
penerapan konsep dan prinsip yang dipelajari dalam konteks dan situasi yang berbeda, bukan sekedar kegiatan menghafal.
4) Pemberian Umpan Balik (Providing Feedback)
Pada umumnya pemberian umpan balik (providing feedback) dilakukan
melalui kegiatan pascates. Hasilnya kemudian diinformasikan kepada siswa sebagai bahan umpan balik. Umpan balik itu sendiri diartikan yaitu” informasi yang diberikan kepada siswa mengenai kemajuan belajarnya”. Dalam prinsip pembelajaran kontekstual tidak dinyatakan secara eksplisit
commit to user
ϭϲ
selama pembelajaran berlangsung baik dalam bentuk penilaian prates, penilaian proses, maupun pascates. Bahan umpan balik dapat diambil dari hasil penilaian melalui kegiatan pengamatan guru terhadap siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip belajar kontekstual. Aspek-aspek yang dinilai
antara lain keaktifan siswa, penarikan simpulan, dan penerapan konsep. Selain itu umpan balik dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: Siswa diberi tugas mengerjakan soal-soal latihan, lalu diberi kunci jawaban. Dengan mengetahui kunci jawaban, mereka akan mengetahui apakah
jawabannya benar atau salah. Umpan balik yang baik adalah umpan balik yang lengkap. Jika salah, siswa diberitahukan kesalahannya, mengapa salah, kemudian dibetulkan. Jika jawaban siswa benar, mereka diberi konfirmasi agar mereka mantap bahwa jawabannya benar. Agar siswa dapat
menemukan sendiri jawaban yang benar, ada baiknya umpan balik diberikan tidak secara langsung (delay feedback) misalnya “jawaban yang benar anda baca lagi pada halaman 34”. Berdasarkan uraian di atas, pemberian umpan balik dapat melalui informasi hasil penilaian proses dan hasil pekerjaan
siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan, tugas-tugas, baik individu maupun kelompok, serta informasi dari hasil penilaian lainnya.
5) Kegiatan Tindak Lanjut (Follow Up Activities).
Kegiatan tindak lanjut dalam pembelajaran kontekstual, merupakan pembelajaran tingkat tinggi. Hal ini dikarenakan bentuk kegiatan tindak
lanjut berupa “mentransfer pengetahuan (transfering) dan pemberian pengayaan (enrichment)”. Sebagaimana prinsip belajar trasfering dalam pembelajaran kontekstual, siswa akan belajar pada tataran yang lebih tinggi yakni belajar untuk dapat menemukan dan mencapai strategi kognitif.
Kegiatan tindak lanjut berikutnya yakni “pengayaan yang diberikan kepada siswa yang telah mencapai prestasi sama atau melebihi dari yang ditargetkan, dan alat peraga diberikan kepada siswa yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam mencapai target pembelajaran yang
ϭϳ
dilaksanakan dengan cara menemukan prinsip pembelajaran alih pengetahuan (transfering).
Sedangkan menurut Halil (dalam http:halil4. wordpress.com/ 2009/ 12/ 26/ pendekatan_ctl_contextual_teaching and_learning) mengemukakan
langkah-langkah pembelajaran CTL sebagai berikut :
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3) kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya 4) Ciptakan masyarakat belajar
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran 6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip model pembelajaran kontekstual dapat diintegrasikan kedalam kegiatan pembelajaran yang biasa dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan sistem model pembelajaran kontekstual ini, guru dapat dengan
segera melakukan perubahan dan pengembangan sistem pembelajaran yang dapat memberikan peluang lebih banyak terhadap keberhasilan belajar siswa.
2. Peningkatan Pemahaman Pengukuran Sudut Dalam Pelajaran Matematika
a. Pengertian Pemahaman
Pemahaman merupakan terjemahan dari comprehension. Purwadinata dalam ( Emiliani, 2000:7) menyatakan bahwa paham artinya "mengerti benar", sehingga pemahaman konsep artinya mengerti benar tentang konsep.
commit to user
ϭϴ
mengerti benar (akan): tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me-i menjadi memahami, berarti: (1) mengerti benar (akan): mengetahuai benar; (2) memaklumi. Dan bila mendapat imbuhan pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses; (2) pembuatan; (3) cara memahami atau
memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (Depdikbud,1994:74). Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu proses, cara memahami atau cara mempelajari baik-baik supaya paham dan mengetahui banyak.
Pemahaman merupakan tingkatan kedua dari tujuan ranah kognitif berupa
kemampuan memahami atau mengerti tentang isi pembelajaran yang dipelajari tanpa perlu menghubungkannya dengan isi pelajaran lainnya menurut Davis (Dimyati & Mudjiono, 2006: 203). Sedangkan menurut Arikunto di dalam buku belajar dan pembelajaran (Dimyati & Mudjiono, 2006: 203) mengatakan bahwa
dalam pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana diantara fakta-fakta atau konsep. Sedangkan dalam Elaine B. Johnson (2007: 185) untuk mencapai suatu pemahaman maka kita harus berpikir kritis. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang
mengarahkan hidup kita setiap hari.
Berkenaan dengan proses pemahaman, di dalam Suwarto dan St. Y. Slamet (2007: 136), Nunan menyatakan bahwa inti pemahaman tercakup dalam satu inti yang sederhana, pemahaman adalah upaya membangun jembatan antara pengetahuan yang baru dengan yang sudah diketahui.
Ada beberapa ahli yang mempelajari ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara hierarkis. Diantara ahli yang mempelajari ranah-ranah kejiwaan tersebut adalah Bloom, Krathwohl, dan Simpson. Hasil penelitian mereka dikenal dengan taksonomi instruksional Bloom dan kawan-kawan. Salah satu jenis
perilaku adalah perilaku pemahaman, yaitu yang mencakup menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27).
Pemahaman konsep merupakan tipe belajar yang lebih tinggi dibandingkan tipe belajar pengetahuan. Nana Sudjana dalam buku strategi belajar
ϭϵ
terjemahan, yaitu kesanggupan memahami makna yang terkandung di dalamnya; (2) tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yaitu memahami grafik, menghubungkan dua konsep yang berbeda, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok; dan (3) tingkat ketiga adalah pemahaman ekstrapolasi, yakni
kemampuan memahami dibalik yang tertulis, tersurat dan tersirat, meramalkan sesuatu atau memperluas wawasan.
Suatu pendapat implikasi yang kaya dan yang rumit tentang proses pemahaman meliputi (1) Pemahaman adalah aktif bukan pasif; (2) Pemahaman
merupakan sejumlah besar pengambilan keputusan; (3) Pemahaman adalah merupakan dialog antara penulis dan pembaca (Suwarto dan St. Y. Slamet, 2007: 137).
Menurut Machener dalam Sumarmo ( 1987: 24), untuk memahami suatu
objek secara mendalam, seseorang harus mengetahui: (1) Objek itu sendiri; (2) Relasinya dengan objek lain yang sejenis; (3) Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; (4) Relasi dual dengan objek lain yang sejenis; (5) Relasi dengan objek dalam teori lainnya. Menurut Sumarmo (1987: 24) ada 3 macam
pemahaman, yaitu: (1) Pengubahan (translation); (2) Pemberian arti (interpretation); (3) Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah proses mengetahui inti atau ide pokok dari suatu keadaan, masalah atau sesuatu hal yang kita pelajari. Pemahaman yang baik harus disertai pengertian
terhadap ekspresi yang dihadapi. Memahami berarti mengerti benar tentang sesuatu yang dipelajari. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat kesalahan yang sedikit atau siswa dapat mengerjakan semua tugas-tugas.
b. Pengertian Pengukuran
Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Unsur pokok dalam kegiatan pengukuran ini, antara lain adalah : tujuan pengukuran, ada objek ukur, alat ukur, proses pengukuran, hasil pengukuran
commit to user
ϮϬ
Pengertian pengukuran menurut para ahli (http://bangfajars.wordpress.com
02/09/2010): Menurut Budi Hatoro pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen
untuk melakukan penilaian. Menurut Akmad Sudrajat pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu. Sedangkan menurut Lien pengukuran adalah sejumlah data
yang dikumpul dengan menggunakan alat ukur yang objektif untuk keperluan analisis dan interpretasi.
Suharsimi Arikunto mengemukakan pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Sedangkan menurut Pflanzagl’s pengukuran adalah
proses menyebutkan dengan pasti angka-angka tertentu untuk mendiskripsikan suatu untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih tribut empiri dari suatu produk atau kejadian dengan ketentuan tertentu.
Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengukuran adalah proses pemberian angka atau diskripsi numerik pada sesuatu dengan cara membandingkan dengan suatu ukuran tertentu.
c. Pengertian Sudut
Sudut adalah suatu besaran yang dibangun oleh dua buah sinar garis yang memiliki titik pangkal yang sama ( berhimpit ) Purwoto (2002: 3). Sedangkan
menurut Burhan Mustaqim (20008:69 ) sudut adalah daerah yang dibatasi oleh dua sinar atau garis lurus. Kedua sinar dinamakan kaki sudut dan pusat perputaran atau titik pertemuan kedua sinar dinamakan titik sudut. Daerah bidang yang dibatasi oleh kaki-kaki sudut dinamakan daerah sudut.
1) Jenis-jenis Sudut a) Sudut 0 derajat
Sudut 0 derajat, jika kaki-kakinya berimpit dengan jarak putar 0 derajat. b) Sudut lancip
Ϯϭ
besar sudut lancip berkisar 0 derajat dan 90 derajat c) Sudut siku
Sudut siku-siku adalah suatu sudut yang dibangun oleh perputaran sebesar seperempat lingkaran, sehingga besar sudut siku-siku adalah 90
derajat. d) Sudut lurus
Sudut lurus adalah suatu sudut yang dibangun oleh perputaran sebesar setengah lingkaran, sehingga sudut lurus besarnya 180 derajat.
e) Sudut tumpul
Sudut tumpul adalah suatu sudut yang dibangun oleh perputaran diantara seperempat lingkaran dan setengah lingkaran, sehingga sudut tumpul besarnya berkisar antara 90 derajat dan 180 derajat
f)Sudut refleks
Sudut refleks adalah suatu sudut yang dibangun oleh perputaran di antara setengah lingkaran dan satu lingkaran, sehingga sudut refleks besarnya berkisar antara 180 derajat dan 360 derajat.
g) Sudut 360 derajat
Sudut 360 derajat, jika kaki-kakinya kembali berimpit setelah jarak putarnya satu putaran penuh.
2) Hubungan antara sudut dan garis
Sudut-sudut terjadi jika dua garis sejajar dipotong oleh garis lain.
Dua garis yang sejajar mempunyai jarak yang tetap walaupun kedua garis tersebut diperpanjang.
a) Sudut-sudut sehadap
Sudut yang menghadap kearah yang sama, yaitu arah kanan atas. Sudut
itu disebut sudut sehadap. b) Sudut-sudut berseberangan
(1) Sudut-sudut dalam berseberangan
Sudut yang berada diantara (di dalam) dua garis sejajar dan
commit to user
ϮϮ
(2) Sudut-sudut luar berseberangan
Sudut yang berada di luar dua garis sejajar dan berseberangan terhadap garis transversal. Sudut itu disebut sudut luar berseberangan.
c) sudut-sudut sepihak
(1) Sudut-sudut dalam sepihak
Sudut yang berada di dalam dua garis sejajar dan keduanya terletak di sebelah kiri garis transversal. Sudut-sudut itu di sebut sudut
dalam sepihak.
(2) Sudut-sudut luar sepihak
Sudut yang berada diluar dua garis sejajar dan keduanya terletak di sebelah kiri garis transversal. Sudut-sudut ini disebut sudut luar
sepihak.
3) Hubungan sudut-sudut pada dua garis sejajar yang dipotong oleh garis lain Jika dua garis sejajar dipotong oleh garis lain, berlaku:
a) Sudut-sudut yang sehadap sama besar.
b) Sudut-sudut dalam berserangan sama besar. c) Sudut-sudut luar berseberangan sama besar. d) Sudut-sudut dalam sepihak berjumlah 180 derajat. e) Sudut-sudut luar sepihak berjumlah 180 derajat.
d. Pembelajaran Pengukuran Sudut
Konsep sudut merupakan salah satu konsep yang paling penting dalam geometri.
“The concepts of equality, sums, and differences of angles are important and used throughout geometry, but the subject of trigonometry is based on the measurement of angles.”
Konsep kesetaraan, jumlah, dan perbedaan dari sudut yang penting dan
Ϯϯ
didik di masa mendatang. Peserta didik diharapkan juga dapat menghubungkan antara pengukuran dengan lingkungan, seperti menggunakan penggaris, termometer, gelas ukur, skala, dan sebagainya. Pengukuran memberikan peserta didik aplikasi yang praktis untuk keterampilan berhitung yang telah
mereka pelajari. Pengukuran juga menyediakan suatu cara untuk menghubungkan antara konsep-konsep dasar geometri dengan konsep-konsep bilangan. Dengan kata lain, pengukuran akan sangat bermanfaat untuk mempelajari mata pelajaran lainnya, seperti: geografi, sains, seni, musik, dan
sebagainya. Menurut standar isi mata pelajaran matematika materi pengukuran terdiri dari 12 standar kompetensi (SK) dan 36 kompetensi dasar (KD), meliputi: pengukuran waktu, panjang, berat, sudut, dan kuantitas menghitung keliling, luas, dan volum, satuan ukuran dan hubungan antar satuan ukuran,
serta menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu, jarak, dan kecepatan. (http://www.slideshare.net/NASuprawoto/pemb-pengukuran-luas-bgn-datar-volum-bgn-ruang-di-sd).
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa pengukuran sudut merupakan
sebuah konsep dasar yang penting. Karena setiap kita belajar tentang geometri pasti kita temukan sudut didalamnya. Maka paham tentang pengukuran sudut adalah sesuatu yang urgen.
e. Pengertian Matematika
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang
berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri
utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga
kaitan antar konsep atau pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Menurut Kline di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) menyebutkan Matematika merupakan bahasa simbol dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.
commit to user
Ϯϰ
Matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2). Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam teori dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan Matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Johnson dan Rising (1978) menyatakan bahwa “ Mathematics is a creation of the human mind, concerned primarily with ideas, processes and reasoning.”
Yang berarti bahwa Matematika merupakan kreasi pikiran manusia yang pada intinya berkaitan dengan ide-ide, proses-proses, dan penalaran. ( Http://p4tkMatematika.org/sd/geometriRuang.pdf /01/05/2010 )
Johnson dan Myklebus di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan,
sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Demikian pula Leaner di dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa Matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan
ide mengenai elemen dan kuantitas.
Dari beberapa pendapat tentang Matematika yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Matematika adalah bahasa simbolis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan yang
memudahkan manusia berpikir dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
f. Langkah- langkah Pembelajaran Matematika
Ada beberapa pendekatan dalam pengajaran Matematika, masing-masing didasarkan atas teori belajar yang berbeda (Mulyono Abdurrahman, 2003: 255),
Ϯϱ
urutan belajar yang bersifat berkembang (development learning sequences), (2) belajar tuntas (matery learning), (3) strategi belajar (learning strategies), dan (4) pemecahan masalah (problem sloving).
Menurut Heruman (2007: 3) ada tiga langkah dalam pembelajaran
Matematika yaitu : (1) penanaman konsep dasar; (2) pemahaman Konsep; dan (3) pembinaan keterampilan. Penanaman konsep dasar adalah pembelajaran suatu konsep baru Matematika ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut.
Dari uraian diatas hakikat pembelajaran Matematika adalah suatu kegiatan
atau proses yang dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar Matematika di sekolah.
g. Ruang lingkup Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pelajaran Matematika modern lebih menekankan pada “mengapa” dan “bagaimana” Matematika, melalui penemuan dan eksplorasi (Mulyono Abdurrahman, 2003: 254). Matematika sekolah (School Mathematic) adalah unsur
atau bagian dari Matematika yang dipilih berdasarkan dan berorientasi pada kepentingan kependidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang dikemukakan oleh Soedjadi (2000: 37). Di sini Matematika sebagai bidang studi pendidikan yang diajarkan di sekolah dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Menengah (SMU/SMK).
Bahan kajian Matematika untuk Sekolah Dasar berbeda dengan di tingkat SLTP atau SMU/SMK. Sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa Sekolah Dasar yang berada pada tahap operasi konkret, maka cakupan materinya lebih sedikit dan bersifat dasar. Kemampuan mereka yang cenderung rendah
commit to user
Ϯϲ
Bidang studi Matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar mencakup tiga cabang yaitu aritmatika, aljabar dan geometri (Mulyono Abdurrahman, 2003: 253).
1) Aritmatika
Aritmatika adalah salah satu cabang Matematika selain aljabar dan geometri. Menurut Dali S. Naga yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (2003: 253) aritmatika atau berhitung adalah cabang Matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan pehitungan mereka terutama
menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. 2) Aljabar
Dalam perkembangan aritmatika selanjutnya, penggunaan bilangan sering diganti dengan abjad. Penggunaan abjad dalam aritmatika inilah yang
kemudian disebut aljabar. Aljabar ternyata tidak hanya menggunakan abjad sebagai lambang bilangan yang diketahui atau yang belum diketahui tetapi juga menggunakan lambang-lambang lain seperti titik (.), lebih besar (>), lebih kecil (<) dan sebagainya.
3) Geometri
Geometri adalah cabang Matematika yang berkenaan dengan titik dan garis, tetapi ada juga yang mengatakan geometri adalah studi tentang ruang dan berbagai bentuk dalam ruang.
Dalam penyampaian materi Matematika agar dapat mudah diterima dan
dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik Matematika sekolah. Menurut Soedjadi (2000: 13) Matematika memiliki karakteristik: (1) Memiliki obyek kajian abstrak; (2) Bertumpu pada kesepakatan; (3) Berpola pikir deduktif; 4) Memiliki symbol yang kosong dari arti; (5) Memperhatikan semesta
pembicaraan; dan (6) Konsisten dalam sistemnya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan pelajaran Matematika sudah diajarkan sejak Sekolah Dasar, hanya saja materi yang diajarkan masih sederhana. Dalam Matematika Sekolah Dasar guru dituntut untuk menanamkan konsep
Ϯϳ
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan yang dimaksud disini adalah tinjauan terhadap karya atau penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang diambil adalah penelitian yang memiliki keterkaitan topik dengan penelitian yang sedang
dilakukan.
Mohammad Effendi( http://tep.ac.id/berita-122-efektivitas-penerapan-model-pembelajaran-kontekstual-di-sekolah-dasar-2.html ) dalam penelitiannya yang berjudul “Eksperimen Kuasi Model Pembelajaran Kontekstual Bidang Studi
Bahasa Indonesia Kelas VI Sekolah Dasar” menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan kemampuan siswa mencapai rentangan 10 % – 27 %, serta tingkat efisiensi antara 0,06 % - 0,15 % per-menit. Penelitian Mohammad Effendi berkaitan dengan penelitian ini, kesamaan
penelitian ini adalah sama- sama menggunakan model pembelajaran kontekstual. Sedangkan perbedaan penelitian ini adalah Bidang Studi yang diteliti yaitu Bahasa Indonesia.
Eka Yunaningsih, (2010) dalam penelitiannya “Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Pengukuran Sudut Melalui Pendekatan Cooperattif Learning Tipe STAD Bagi Siswa Kelas V-B Di SDN Pakunden 2 Kecamatan Sukorejo Kota
Blitar” menyimpulkan bahwa pelaksanaan pendekatan Coopera-tive Learning Tipe STAD dalam pembelajaran matematika pengukuran sudut, mengalami peningkatan persentase ketuntasan belajar siswa pada setiap tindakan. Penelitian
Eka Yunaningsih berkaitan dengan penelitian ini. Kesamaan penelitian ini adalah sama- sama terfokus pada peningkatan hasil pembelajaran matematika pengukuran sudut. Sedangkan perbedaanya adalah penelitian ini menggunakan pendekatan Cooperatif Learning tipe STAD.
C. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, kondisi awal yang dihadapi pada SD Negeri Nyamplung adalah guru dalam melaksanakan pembelajaran Matematika, masih
commit to user
Ϯϴ
berceramah. Pembelajaran hanya berlangsung secara satu arah dan teacher center. Siswa kurang semangat dalam belajar dan pemahaman pengukuran sudut rendah.
Kemudian dilakukan penelitian tentang penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran matematika. Model pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran (pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Kelebihan model pembelajaran ini adalah menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. selain itu pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, observasi dan refleksi.
Ϯϵ
Dari uraian di atas dapat digambarkan melalui skema gambar. 1:
D. E.
F.
[image:45.612.135.537.144.494.2]G. H.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman pengukuran sudut
dalam pelajaran Matematika kelas IV SD Negeri Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.”
Kondisi Awal
Kondisi Akhir Tindakan
Guru menggunakan model pembelajaran konfensional
atau ceramah.
Pemahaman siswa tentang pengukuran
sudut rendah
Melalui model pembelajaran kontekstual pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika dapat
meningkat Siklus I Rencana Pelaksanaan Observasi Refleksi Dalam pembelajaran guru
commit to user
ϯϬ
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. Pemilihan tempat tersebut didasarkan pada pertimbangan: a. Pemahaman pengukuran sudut dalam pelajaran Matematika pada kelas IV
masih rendah.
b. Pada tahun sebelumnya dalam proses pembelajaran Matematika belum menggunakan model pembelajaran kontekstual.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester satu Tahun ajaran 2010/2011. Lebih tepatnya bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2010 atau selama 6 bulan. Untuk penelitian di SD N Nyamplung di laksanakan bulan November- Desember 2010 yang terdiri dari 2 Siklus, masing- masing siklus terdiri dari 4 kali
pertemuan. Adapun Rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Refleksi awal yang dilaksanakan pada awal bulan November b. Siklus I dilaksanakan pada tanggal 12-20 November 2010
c. Refleksi dilaksanakan pada tanggal 22 november 2010, karena hasil yang
diperoleh belum tuntas maka dilanjutkan ke siklus II
d. Siklus II dilaksanakan pada tanggal 26 November – 4 Desember 2010
e. Penyusunan hasil penelitian dan konsultasi skripsi akhir Desember 2010- Januari 2011
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV SD Negeri Nyamplung Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman dengan jumlah siswa
ϯϭ
C. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian
Karena data yang akan diperoleh atau dikumpulkan berupa data yang
langsung tercatat dari kegiatan di lapangan, maka bentuk pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif kualitatif dan jenis penelitiannya
adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
2. Strategi Penelitian
Pada strategi penelitian ini langkah-langkah yang diambil adalah strategi
tindakan kelas model siklus karena objek penelitian yang diteliti hanya satu
sekolah. Adapun rancangan penelitiannya sebagai berikut:
a. Perencanaan
Dalam tahapan perencanaan peneliti membuat rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), membuat soal-soal dan menyiapkan media
pembelajaran.
b. Tindakan
Dalam penelitian ini dilaksanakan penelitian mandiri, jadi guru kelas yang
bertugas untuk mengajar sesuai RPP yang dibuat menggunakan model
pembelajaran kontekstual dan dibantu oleh seorang guru sebagai observer.
c. Pengamatan
Peneliti melakukan observasi atau pengamatan selama proses pembelajaran
berlangsung. Hal-hal yang diamati antara lain keaktifan siswa, cara mengajar
guru dalam menerapkan model pembelajaran kontekstual, dan sejauh mana
model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan proses pembelajaran.
d. Refleksi
Peneliti melakukan refleksi terhadap hasil yang didapat dalam setiap siklus
commit to user
ϯϮ
D. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh ( Arikunta, 2007 : 107). Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian
ini, sebagian besar berupa data kualitatif. Data atau informasi tersebut meliputi: 1. Informan, yaitu guru, observer dan siswa kelas IV SD Negeri Nyamplung
Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. 2. Arsip dan Dokumen
a. Arsip : Kurikulum dan Silabus 2006 Mapel Matematika. b. Dokumen : Daftar nilai hasil tes dan dokumentasi selama proses
pembelajaran.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data di atas meliputi observasi, kajian dokumen, dan tes yang masing-masing diuraikan berikut ini: 1. Observasi
Observasi merupakan salah satu alat pengumpul data yang dilakukan dengan mengamati atau mencatat secara sistematis tentang semua gejala yang terjadi. Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrument ( Arikunta, 2007: 204). Observasi yang dilakukan untuk mendapatkan data
tentang kinerja guru dan peningkatan keaktifan siswa kelas IV SD N Nyamplung dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual. Kegiatan observasi ini dilakukan oleh guru lain (Bpk A Pranoto, Guru kelas V) yang bertindak sebagai observer. Kegiatan observasi ini
dilaksanakan sejak dimulai pembelajaran sampai dengan selesai. Masukan dari observer digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan tindakan yang akan dilaksanakan pada setiap siklus.
2. Tes
ϯϯ
dan pemberian tindakan. Tes yang diberikan kepada siswa kelas IV SD N Nyamplung, yakni tes objektif dan subjektif, siswa diberi lembar soal dan disuruh mengerjakan. Pada penelitian