• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai.

Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif evaluatif.

Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%.

(2)

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs). The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or literatures.

This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in 2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively evaluative.

There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%.

(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Andrea Nita Karisa

NIM : 118114034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Andrea Nita Karisa

NIM : 118114034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi yang diajukan oleh:

Andrea Nita Karisa

NIM: 118114034

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama

(Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt.)

(6)

Pengesahan Skripsi Berjudul

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Oleh:

Andrea Nita Karisa NIM: 118114034

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Pada tanggal: 01 April 2015

Mengetahui,

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Aris Widayati, M.Si, Apt, Ph.D

Panitia Penguji Skripsi Tandatangan

1. Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt. ...

2. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK. ...

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh

kepercayaan, kamu akan menerimanya” Matius 21 : 22

“Believe in yourself and all that you are. Know that there is something inside you that is greater than any obstacles”

Christian D. Larson

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing setiap langkahku dengan kasih-Nya yang sungguh mulia dan besar

Papa dan mamaku tersayang yang selalu mendampingi dan menyayangiku sepenuh hati

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013”, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana

layaknya karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini,

maka saya bersedia menanggung segala sanksi peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Yogyakarta, 20 Februari 2015

Penulis

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Andrea Nita Karisa

Nomor Mahasiswa : 118114034

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk

media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara

terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada

saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 20 Februari 2015

Yang menyatakan,

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan semangat, motivasi, dorongan, kritik dan saran sampai

terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan berkat-Nya sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Dr. Samuel Zacharias selaku direktur utama RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara yang telah memberikan ijin untuk melakukan

penelitian di RS. Emanuel tersebut.

3. Bapak Herry dan rekan-rekan di Instalasi Rekam Medis RS. Emanuel yang

telah banyak membantu proses pengambilan data.

4. Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo S.Farm., M.Si., Apt. selaku Dosen

Pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan bimbingan, motivasi,

kritik dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam proses

penyusunan skripsi ini.

5. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan

bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc., Apt selaku dosen penguji atas

masukkan, kritik dan saran, serta bimbingan yang telah diberikan kepada

penulis.

7. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran dan

(11)

8. Dr. Tiur selaku salah satu dokter anak di RS. Emanuel yang telah membantu

penulis dengan memberikan saran dan pengarahan dalam proses penyusunan

skripsi ini.

9. Papa dan mamaku tersayang yang selalu ada untuk memberikan dukungan,

doa, motivasi dan kesabaran serta pengertian dan bantuan finansial kepada

penulis selama proses penyusunan skripsi.

10. Kedua kakakku tersayang Nico dan Ellen yang selalu memberikan dukungan

dan semangat untuk penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman baikku yang terkasih Brigita Yulise, Vina Alvionita Soesilo,

Merlinda Guntoro, Angeline Syahputri, dan Maria Desita Putri, terima kasih

untuk segala bantuan, semangat dan tawa yang kalian berikan selama proses

penyusunan skripsi ini.

12. Teman-teman angkatan 2011, terkhusus teman-teman kelas FKK-A atas

hari-hari yang menyenangkan selama kuliah.

13. My beloved pets Geisha, Inka, dan Gero yang selalu menjadi mood booster

bagi penulis di rumah Banjarnegara.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini dapat

menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan, terutama

demi kemajuan pengetahuan dibidang Farmasi.

Yogyakarta, 20 Februari 2015

(12)

INTISARI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai.

Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif evaluatif.

Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%.

(13)

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs). The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or literatures.

This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in 2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively evaluative.

There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%.

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi

PRAKATA... vii

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan Masalah... 3

2. Manfaat Penelitian... 4

3. Keaslian Penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian... 6

1. Tujuan Umum... 6

2. Tujuan Khusus... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Demam Tifoid... 7

B. Antibiotika... 16

C. Drug Related Problems (DRPs)... 17

D. Keterangan Empiris... 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 21

(15)

B. Variabel dan Definisi Operasional... 21

C. Subjek Penelitian... 23

D. Bahan Penelitian... 24

E. Lokasi Penelitian... 24

F. Tata Cara Penelitian... 25

G. Keterbatasan Penelitian... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

A. Karakteristik Pasien... 30

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia... 30

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin... 32

B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika... 33

1. Antibiotika... 34

a. Jenis dan Golongan Antibiotika... 34

b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika... 36

c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika... 38

d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika... 40

2. Obat Saluran Pencernaan... 42

3. Obat Suplemen dan Nutrisi... 42

4. Obat yang Mempengaruhi Darah... 42

5. Obat Analgetik dan Antipiretik... 43

6. Obat Antiradang (Antiinflamasi)... 43

7. Obat Saluran Pernafasan... 44

8. Infus... 44

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... 45

1. Terapi Tanpa Indikasi... 46

2. Dosis Terlalu Rendah... 47

3. Dosis Terlalu Tinggi... 49

D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 51

(16)

DAFTAR PUSTAKA... 56

LAMPIRAN... 59

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Terapi yang Direkomendasikan WHO untuk Demam

Tifoid... 15

Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013... 33

Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi... 36

Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal... 36

Tabel V. Durasi Pemakaian Antibiotika... 40

Tabel VI. Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.Emanuel Purwareja Klampok Pada Tahun 2013... 46

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Pur-

-wareja Klampok Banjarnegara Periode 2013... 24

Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik

Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara tahun 2013... 31

Gambar 3. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik

Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara tahun 2013... 32

Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai

Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pedia-

-trik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara

pada Tahun 2013... 34

Gambar 5. Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal

dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelom-

-pok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar-

-negara tahun 2013... 35

Gambar 6. Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam

Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien

Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Pur-

-wareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013... 60

Lampiran 2. Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid

Kelompok Pediatrik………. 61

Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit

Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai

Standar Pengobatan Pasien Demam Tifoid Kelompok

Pediatrik... 62

Lampiran 4. Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pasien Demam

Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klam-

-pok Banjarnegara Pada Tahun 2013... 64

Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran

pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai

secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah

tropis dan subtropis (Widodo, 2010).

Berdasarkan data WHO di tahun 2003, diperkirakan terdapat sekitar 17

juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus

kematian tiap tahun. Di Indonesia sendiri ditemukan 900.000 kasus demam tifoid

dengan lebih dari 20.000 kasus yang meninggal tiap tahunnya (WHO, 2003).

Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang

seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang anak-anak. Prevalensi demam

tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

sebesar 1,6% dewasa dan sebesar 4,3% terjadi pada anak-anak. Data survey

mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada

tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka kematian bayi yang

diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan (1,2%) sedangkan

angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid berdasarkan data

terakhir pada tahun 2002 – 2003 yaitu 46/1000 kelahiran hidup (Herawati, 2009).

Penularan penyakit ini adalah melalui saluran cerna dengan tertelannya

bakteri Salmonella thypi. Setelah itu, apabila respon imunitas usus (imunoglobulin

(21)

menembus sel-sel epitel, serta menginfeksi folikel limfoid di usus halus

(Chen, 2008).

Pilihan terapi pada sebagian besar kasus demam tifoid adalah

menggunakan antibiotika. Namun penggunaan antibiotika secara tidak tepat atau

tidak rasional dapat menyebabkan terjadinya Drug Related Problems (DRPs)

yang mana menurut Cipolle (2004) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan

karena dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien.

Hasil penelitian Rufaldi (2011) di Yogyakarta menunjukkan bahwa

terdapat ketidakrasionalan dalam penatalaksanaan terapi antibiotika terhadap

pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu sebesar 16,13% penggunaan

antibiotika dikategorikan rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis,

48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian,

25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak

rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif.

Ketepatan pemilihan obat, khususnya antibiotika bagi pasien kelompok

pediatrik sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena pada pasien pediatrik organ

– organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan

ginjal) belum sempurna perkembangannya, sehingga, apabila pemberian

antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan

menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana

berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).

Rumah Sakit Emanuel adalah salah satu rumah sakit swasta tipe C dengan

(22)

Purwareja Klampok, kabupaten Banjarnegara yang merupakan bagian dari

wilayah karisidenan Banyumas, dengan mayoritas penduduknya adalah

masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Sebagian besar

wilayah Banjarnegara merupakan perkampungan penduduk dengan kondisi

sanitasi lingkungan yang buruk (Wihartoyo, 2012). Sebagai contoh masih terdapat

banyak sampah di sungai yang digunakan untuk mencuci pakaian dan alat-alat

rumah tangga, serta tempat bermain dan berenang anak-anak di kampung

setempat. Kondisi sanitasi yang buruk ini merupakan salah satu faktor utama

penyebaran bakteri Salmonella thypi penyebab penyakit demam tifoid yang cukup

luas di daerah Banjarnegara.

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi DRPs terkait penggunaan

antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. DRPs dibagi menjadi 7

kategori menurut Cipolle (2004), yaitu terapi tanpa indikasi, perlu terapi

tambahan, pemilihan obat tidak tepat, dosis terlalu rendah, efek samping obat,

dosis terlalu tinggi, dan ketidakpatuhan pasien.

1. Rumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah

Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013?

b. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok

pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada

(23)

c. Seperti apa DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid

kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara pada tahun 2013?

2. Manfaat Penelitian Manfaat praktis

a. Sumber informasi bagi farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam pengambilan

keputusan mengenai penatalaksanaan penggunaan antibiotika pada pasien

demam tifoid kelompok pediatrik sehingga dapat mencegah terjadinya DRPs.

b. Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan

dalam melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat

golongan antibiotika, dalam rangka mencegah terjadinya DRPs.

Manfaat teoritis

a. Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai evaluasi

Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien penderita

demam tifoid kelompok pediatrik ataupun pasien dengan penyakit lain.

3. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi Drug Related Problems

(DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid yang pernah dilakukan

sebelumnya, yaitu:

1. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang

(24)

2. 2008. Hasilnya adalah dari 137 kasus terapi hanya 11 terapi yang masuk

konsep rasional, 126 lainnya dikategorikan tidak rasional (Santoso, 2009).

3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pengobatan Kasus Demam

Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman

Yogyakarta Periode Juli 2007 – Juni 2008. Hasilnya yaitu terapi antibiotika

yang paling banyak digunakan adalah Tiamfenikol dengan DTPs 10 kasus

dosis terlalu rendah, 28 kasus interaksi obat (Sari, 2009).

4. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid

di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni 2008 –

Juni 2009. Hasil: Antibiotika kloramfenikol terbanyak digunakan (65,2%)

dengan DRPs yang diperoleh 4 kasus dosis terlalu rendah, 2 kasus dosis terlalu

tinggi dan 2 kasus efek samping obat (Pratiwi, 2010).

5. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Ypgyakarta Periode Januari –

Desember 2010. Hasil: 16,13% penggunaan antibiotika yang rasional, 70,98%

tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan

dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi

pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya

antibiotika lain yang lebih efektif (Rufaldi, 2011).

6. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000 – Desember

2001. Hasil yang diperoleh yaitu jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda

(25)

7. demam tifoid daripada anak yang berumur < 1 – 5 tahun, jenis antibiotika yang

terbanyak digunakan adalah kotrimoxazole (44,32%). Ditemukan 4 kasus efek

samping obat dan 9 kasus interaksi obat (Triana, 2003).

Perbedaan penelitian ini dengan yang telah disebutkan diatas adalah

terletak pada subjek yang diteliti, tempat penelitian, serta waktu pelaksanaannya.

Sedangkan beberapa persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang

telah disebutkan diatas adalah terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs

pada pasien di rumah sakit, serta penyakit yang diteliti, yakni demam tifoid.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika

pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

1. Memberi gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di

RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

2. Memberi gambaran profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid

kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara pada tahun 2013.

3. Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika

pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emannuel Purwareja

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid 1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran

pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai

secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah

tropis dan subtropis (Widodo, 2010).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang

disebabkan bakteri Salmonella thypi dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini

termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan

masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara

berkembang (Musnelina, 2004).

2. Epidemiologi

Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara

berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia,

Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania. Diantara beberapa

wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi di negara-negara

berkembang ataupun negara-negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi

kurang lebih 2,1 juta orang (angka kejadian 3,6/1000 populasi) dan diperkirakan

(27)

3. Patofisiologi

Salmonella thypii masuk melalui makanan dan minuman yang tercemar.

Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke

usus halus. Apabila respon immunitas (Imunoglobulin A) usus kurang baik maka

bakteri akan menembus sel-sel epitel, selanjutnya ke lamina propria. Di lamina

propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama

makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag,

kemudian dibawa ke jaringan limfoid Plaques peyeri di illeum terminalis. Melalui

duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam

sirkulasi darah. Selanjutnya menyebar ke organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kandung empedu,

berkembang biak dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu,

sebagian bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi menembus usus

(Brusch, 2010).

4. Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Keluhan dan

gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan

sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ

(Brusch, 2010).

Secara klinis gambaran klinis demam tifoid berupa demam

berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas atau

demam lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi sehingga pada

(28)

malam hari. Gejala gangguan gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,

muntah dan kembung (Brusch, 2010).

Pada minggu pertama, terdapat keluhan dan gejala serupa dengan penyakit

infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam, nyeri kepala, pusing,

nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung, perasaan tidak

nyaman diperut, serta diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu

pertama, diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan

meningkat. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,

denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung

merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, dan gangguan psikis)

(Ali, 2006).

Pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan bahkan

normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau

berhasil diobati. Meskipun demikian, justru pada saat ini komplikasi perdarahan

dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika

denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal maupun umum, maka hal

ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus, sedangkan keringat dingin,

gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi

gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian pada penderita demam tifoid pada minggu ketiga

(Ali, 2006).

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan, meskipun pada awal

(29)

femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga

hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari

serangan primer, tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi

primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati dapat

mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010).

5. Diagnosis

Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan

terapi yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Penegakan diagnosis

demam tifoid ini masih kurang lengkap apabila belum ditunjang dengan hasil

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara konvensional dapat

dilakukan melalui identifikasi adanya antigen / antibodi sample (darah) dan

melalui kultur mikroorganisme. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan

meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik, imunoserologi, dan

mikrobiologi (Brusch, 2010).

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis

demam tifoid, antara lain:

a. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat menurun atau tetap normal apabila terjadi

pendarahan diusus atau perforasi. Jumlah leukosit sering rendah (leukopenia)

tetapi dapat juga normal atau tinggi, sedangkan jumlah trombosit sering

(30)

b. Urinalisis

Adanya protein didalam urin bervariasi dari negatif sampai positif (akibat

demam). Jumlah eritrosit dan leukosit normal, apabila terjadi peningkatan,

dimungkinkan akibat adanya pendarahan (Brusch, 2010).

c. Kimia Klinik

Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat sebagai gambaran adanya

komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut)

(Brusch, 2010).

d. Imunoserologi

Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella thypii / parathypii (reagen).

Uji ini merupakan tes kuno yang masih amat populer dan paling sering

digunakan terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di

Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil

positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi, karena itulah antibodi jenis ini

dikenal sebagai febrile agglutinin (Brusch, 2010).

Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum penderita penyakit

demam tifoid. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin

dalam serum penderita yang disangka menderita demam tifoid

(Jurwanto, 2009).

Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat

(31)

disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi

silang dengan spesies lain (Enterobacteriaciae sp.), reaksi amnestik (pernah

sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat

disebabkan oleh karena beberapa faktor, antara lain penderita sudah

mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1

minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit

imunologik lain (Sherwal et al, 2004).

Selain menggunakan Uji Widal, dapat dilakukan pula pemeriksaan anti

Salmonella typhi Imunoglobulin M (IgM) dengan reagen TubexRTF sebagai

solusi pemeriksaan yang cukup sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi

penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan anti

Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF ini dilakukan untuk

mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik

terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi

akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi

antibodi IgG dalam waktu beberapa menit (Judarwanto, 2012).

Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum

pasien dengan cara menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan

magnetik antigen-partikel. Tes ini juga spesifik untuk mendeteksi antigen

Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan dan memiliki

kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara

langsung dari koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex

(32)

teoritis penting untuk diagnosis serologis penyakit infeksi akut, karena antigen

yang diharapkan muncul pada infeksi pertama (Judarwanto, 2012).

e. Mikrobiologi

Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid.

Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila

hasilnya negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid, karena hasil negatif

palsu dapat terjadi dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah darah

sample yang terlalu sedikit, adanya kesalahan pada saat tahap preparasi, sudah

mendapat terapi antibiotika, atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid

sebelumnya (WHO, 2003).

6. Penatalaksanaan

Tata laksana pengobatan demam tifoid antara lain adalah dengan

penggunaan antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain adalah

kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga

seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006).

Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam pengobatan

demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada pasien,

namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan melalui

saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila pasien

sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai

ketersediaan biologik sebesar 80% pada pemberian intravena. Waktu paruh

plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir dan bila terjadi sirosis hepatik diperpanjang

(33)

mg/kgBB/hari, sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis

sebesar 50-100 mg/kgBB/hari. Bila diberikan secara intravena, kloramfenikol

dapat diberikan sebesar 50-80 mg/kgBB/hari pada anak berusia 7-12 tahun, dan

50-100 mg/kgBB/hari pada anak berusia 2-6 tahun (Lacy et al., 2006).

Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan menurunkan demam

lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai

ketersediaan biologik sebesar 60% dan waktu paruh plasma 1,5 jam (pada bayi

baru lahir: 3,5 jam). Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200

mg/kgBB/hari (Lacy et al., 2006).

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO,menyebutkan antibiotika lain yang

dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid selain kloramfenikol dan

amoksisilin adalah antibiotika golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi

ketiga. Antibiotika golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan dalam

pengobatan demam tifoid contohnya yaitu ofloxacin dan ciprofloxacin dengan

dosis dan frekuensi pemberian 15 mg/kgBB per 12 jam. Antibiotika golongan

fluorokuinolon diketahui memiliki kekuatan penetrasi dinding sel bakteri lebih

besar dibandingkan dengan antibiotika pendahulunya seperti kloramfenikol,

ampicillin dan amoxicillin. Namun pada prakteknya, penggunaan antibiotika

golongan kuinolon tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan

toksisitas pada tulang yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak

(Shah et al., 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Baker et al., (2009)

juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika golongan kuinolon pada anak

(34)

Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi

pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain cefixime, cefotaxime, dan

ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan demam

tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu paruh

eleminasi 3-4 jam, serta membutuhkan waktu sekitar 2-6 jam untuk mencapai

konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa digunakan pada anak-anak adalah 15-20

mg/kgBB/hari selama 10-14 hari (Lacy et al., 2006).

Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat

digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa

komplikasi penyakit penyerta lain. Cefotaxime dan ceftriaxone digunakan sebagai

pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri

terhadap antibiotika golongan kuinolon. Dosis Cefotaxime untuk anak berumur

lebih dari 12 tahun adalah 1-2 gram setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur

kurang dari 12 tahun dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 50-200

mg/kgBB/hari. Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kgBB/hari

dengan interval 1-2 kali perharinya dengan dosis maksimum perhari 4 gram (Lacy

et al., 2006). (WHO, 2003).

(35)

Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan pada

pengobatan demam tifoid, antara lain seperti pemberian oral atau intravena cairan

tubuh, pemberian antipiretik, serta asupan nutrisi yang cukup kedalam tubuh

(WHO, 2003).

B. Antibiotika 1. Definisi

Antibiotika adalah suatu zat senyawa obat alami maupun sintesis yang

digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan

berbagai mekanisme sehingga manusia terbebas dari infeksi bakteri

(Katzung, 2008).

Istilah “antibiotika” pada awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang

dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh

bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen

anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik

sintesis maupun semi-sintesis. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi

mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif

setinggi mungkin terhadap mikroorganisme (Katzung, 2008).

2. Penggolongan

a. Berdasarkan toksisitas selektif

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang bersifat

bakteriostatik dan bakterisidal. Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan

bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Contoh antibiotika yang

(36)

dll. Sedangkan contoh untuk antibiotika yang bersifat bakterisida yaitu penisilin,

sefalosporin, aminoglikosida, vankomisin, polimiksin, dll (Katzung, 2008).

b. Berdasarkan mekanisme kerja

Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotika

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri

2. Inhibitor sintesis protein bakteri

3. Menghambat sintesa folat

4. Mengubah permeabilitas membran sel

5. Mengganggu sintesis DNA

6. Mengganggu sintesa RNA (Katzung, 2008).

c. Berdasarkan aktivitas antibiotika

Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan menjadi

1. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum)

2. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) (Ganiswara, 1995).

C. Drug Related Problems (DRPs)

Drug related problems (DRPs) atau sering diistilahkan dengan drug

therapy problems (DTPs) adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan yang

dialami pasien dalam proses terapi dengan obat (Cipolle, 2004).

Drug related problem (DRPs) dibagi menjadi 4 kategori besar, yaitu:

1. Aspek indikasi yang terdiri dari perlu terapi tambahan dan pemberian obat

(37)

2. Aspek efektifitas yang terdiri dari salah pemberian obat dan dosis terlalu

rendah.

3. Aspek kemanan yang terdiri dari efek samping dan dosis terlalu tinggi.

4. Aspek kepatuhan (Cipolle, 2004).

Adapun penyebab untuk masing-masing kategori DRPs, antara lain:

a. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

Disebabkan oleh terapi yang diperoleh sudah tidak sesuai,

menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan

terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non

farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain,

dan penyalahgunaan obat.

b. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy)

Disebabkan oleh munculnya kondisi kronik yang membutuhkan

terapi, memerlukan terapi untuk mengurangi resiko munculnya

kondisi medis baru, memerlukan terapi kombinasi untuk memperoleh

efek obat kuat atau efek tambahan.

c. Pemilihan obat yang tidak tepat (wrong drug)

Dapat disebabkan oleh obat yang efektif tetapi harganya relatif mahal

atau bukan obat yang paling aman untuk digunakan, kombinasi obat

yang tidak tepat sehingga efek yang dihasilkan tidak maksimal.

d. Dosis terlalu rendah (dosage too low)

Umumnya disebabkan oleh penggunaan obat dengan dosis yang

(38)

(respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau

jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat

yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif,

durasi terapi pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan

efek terapi.

e. Efek obat yang merugikan (adverse drug reaction)

Dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak

diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis,

interaksi obat yang memunculkan efek atau reaksi yang tidak

diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis,

aturan dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang

dapat menimbulkan alergi, dan obat yang mempunyai kontraindikasi

dengan keadaan pasien.

f. Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Dapat disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi sehingga

memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat terlalu

pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu

panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan

atau dinaikkan dosisnya terlalu cepat.

g. Ketidakpatuhan pasien (noncompliance)

Dapat disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian,

pasien lebih memilih atau suka untuk tidak menggunakan obat-obatan,

(39)

bagi pasien, pasien tidak mampu menelan obat atau menggunakan

obat itu sendiri secara tepat. Karena itulah diperlukannya peran

seorang farmasis dalam mencegah terjadinya ketidakrasionalan

penggunaan obat oleh pasien (Cipolle, 2004).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi adanya Drug Related

Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid

kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan

antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 merupakan jenis penelitian non

eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan menggunakan data

retrospektif.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena karena

tidak adanya perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif

evaluatif karena tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran dan

evaluasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada

pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara pada tahun 2013.

Penelitian ini menggunakan data retrospektif karena data yang diambil

menggunakan penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu, yaitu berupa kartu

rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Profil karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit

Emanuel Klampok Banjarnegara yang meliputi usia, jenis kelamin, catatan

(41)

2. Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik

yang terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi

antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute

pemberian antibiotika.

3. Pasien adalah seseorang atau sekelompok anak (pediatrik) yang terbagi

menjadi 3 bagian berdasarkan usia menurut Izenberg (2000), meliputi

kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok

usia anak-anak (> 5 – 12 tahun), baik laki-laki maupun perempuan yang

didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di

Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

4. Subjek penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah semua pasien

pediatrik, baik pria maupun wanita yang didiagnosis positif menderita demam

tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

5. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi pada penelitian ini dibagi

menjadi 6 kelompok, yaitu butuh tambahan obat (need additional drug

therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), salah pemberian obat

(wrong drug), dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low),

efek samping obat (adverse drug reaction), dosis obat yang berlebih (dose too

high).

6. Wawancara dengan dokter anak (penulis resep) dalam penelitian dilakukan

setelah lembar data rekam medik pasien dianalisis. Hasil analisis tersebut

(42)

wawancara dengan dokter anak tersebut. Hasil wawancara digunakan untuk

melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis sekaligus menjadi salah satu

guideline atau acuan untuk evaluasi pengobatan pasien demam tifoid kelompok

pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik yang berumur 0-12

tahun, baik laki-laki maupun perempuan, yang positif terdiagnosa positif demam

tifoid (didukung dengan catatan rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium

yang lengkap dan dapat dikonfirmasi) dan mendapatkan terapi pengobatan

menggunakan antibiotika, serta menyelesaikan pengobatan di RS. Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara sampai dinyatakan sembuh (diizinkan pulang)

oleh dokter. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien pediatrik dengan

catatan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak bisa dikonfirmasi, pasien

pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan hasil pemeriksaan laboratorium

yang tidak lengkap atau tidak dapat dikonfirmasi sebagai penunjang utama

penegakan diagnosa dokter terhadap demam tifoid, pasien pediatrik yang tidak

mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta pasien pediatrik

yang terdiagnosa demam tifoid dengan beberapa penyakit penyerta.

Penelitian yang dilakukan juga melibatkan dokter anak RS Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara (penulis resep) sebagai subjek penelitian yang

dilakukan melalui wawancara. Wawancara tersebut dilakukan untuk melengkapi

(43)

acuan untuk evaluasi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di

Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

218 populasi demam 42 pasien dengan Tifoid penyakit penyerta

118 pasien pediatrik Eksklusi 86 36 pasien dengan demam tifoid pasien catatan RM dan hasil laboratorium tidak lengkap

Inklusi 32 pasien 8 pasien suspect (terduga) demam tifoid

Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Periode 2013

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam

medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang ada di RS. Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Rekam medik adalah riwayat

pengobatan dan perawatan pasien yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian

yaitu yang memuat data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, berat

badan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa masuk, terapi yang diberikan, catatan

keperawatan, dan hasil pemeriksaan laboratorium.

E. Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit

(44)

tepatnya di instalasi rekam medik Rumah Sakit Emannuel Purwareja Klampok

Banjarnegara.

F. Tata Cara Penelitian 1. Pengurusan Izin Penelitian

Penelitian diawali dengan mengurus izin penelitian yang diperoleh dari

Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sebagai lokasi untuk

pengambilan data.

2. Analisis Situasi

Analisis situasi dengan cara mencari data kartu rekam medik pasien

demam tifoid kelompok pediatrik pada tahun 2013 yang diperoleh melalui

komputer di Instalasi Rekam Medik RS. Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara.

3. Pengambilan data

Penulusuran data lembar rekam medik di Instalasi Rekam Medik

mengenai jumlah pasien kelompok pediatrik yang terdiagnosa positif menderita

demam tifoid, usia pasien, jenis kelamin pasien, berat badan pasien, data

laboratorium, jenis dan golongan antibiotik yang diberikan pada pasien, dosis dan

frekuensi pemberian antibiotik.

Pencarian pasien demam tifoid kelompok pediatrik dilakukan sesuai

dengan definisi operasional yang telah ditetapkan sebelumnya menggunakan

nomor rekam medik yang didapat. Pengumpulan data dari rekam medik tersebut

dilakukan dengan tanpa mengganggu aktivitas petugas kesehatan di rumah sakit

(45)

4. Pengolahan data dan analisis hasil

Data diolah secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik

pasien demam tifoid kelompok pediatrik sebagai subjek penelitian, profil

penggunaan obat pasien, serta profil penggunaan antiobiotika pasien. Pengolahan

data secara evaluatif dilakukan dengan mengevaluasi DRPs penggunaan

antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik.

Pengolahan data secara deskriptif dan evaluatif dijelaskan secara rinci

sebagai berikut:

a. Karakteristik pasien

Analisis deskriptif mengenai karakteristik pasien dilakukan dengan

mengelompokkan pasien demam tifoid kelompok pediatrik berdasarkan

distribusi umur dan jenis kelamin yang kemudian dinyatakan dalam

bentuk persentasi.

b. Profil penggunaan antibiotika pasien

Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok

pediatrik yang akan dianalisis terbagi menjadi jenis dan golongan

antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi

pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.

c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

a) Butuh tambahan obat (need additional drug therapy)

b) Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy)

c) Salah pemberian obat (wrong drug)

(46)

e) Efek samping obat (adverse drug reaction)

f) Dosis obat yang berlebih (dose too high)

Hasil evaluasi Drug Related Probelms (DRPs) kemudian akan dianalisis

dengan metode subjektif, objektif, assesment, dan plan (SOAP). Subjektif

meliputi umur, jenis kelamin, lama dirawat, diagnosa, keluhan, perjalanan

penyakit, dan status keluar pasien. Objektif yaitu meliputi hasil laboratorium,

tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, dan respiratori), kondisi kesadaran pasien,

dan penatalaksanaan obat yang diterima oleh pasien. Assesment merupakan

penilaian yang dilakukan terkait evaluasi penggunaan antibiotika. Sedangkan plan

atau rekomendasi merupakan saran yang diberikan untuk mengatasi DRPs yang

muncul dalam penggunaan antibiotika berdasarkan acuan yang ada. Acuan yang

digunakan untuk evaluasi yang terjadi dalam pengobatan pasien demam tifoid

kelompok pediatrik adalah Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara, Drug Information Handbook (Lacy et al.,

2006), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (Roespandi dan

Nurhamzah, 2007), dan Background Document: The Diagnosis, Treatment and

Prevention of Typhoid Fever (WHO, 2003).

5. Penyajian Hasil Analisis

Hasil atau data yang muncul akan disajikan dalam bentuk tabel dan

dilakukan pula analisis DRPs yang muncul berdasarkan acuan yang digunakan.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara evaluatif dengan cara

mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penggunaan antibiotika dan dibahas dalam

(47)

G. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dengan data retrospektif memiliki kelemahan bila dibandingkan

dengan data prospektif. Pada penelitian dengan data retrospektif tidak

memungkinkan mengamati lebih lanjut perkembangan kondisi pasien yang

sesungguhnya berkaitan dengan analisis DRPs. Sebagai contoh, kepatuhan pasien

terhadap regimen terapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya dapat

dilakukan menggunakan 6 aspek DRPs, sedangkan aspek ketidakpatuhan pasien

(noncompliance) tidak dapat dilakukan. Selain itu, kelemahan dari penggunaan

data retrospektif yang lainnya yaitu acuan yang digunakan untuk mengevaluasi

DRPs yang terjadi pada penelitian tidak dapat menggunakan acuan yang terbaru.

Keterbatasan lain yang terdapat pada penelitian ini adalah waktu. Pihak

Rumah Sakit Emanuel menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk melakukan

wawancara dokter anak sebagai penulis resep, dimana hal tersebut menyebabkan

hasil wawancara dengan dokter anak yang digunakan bersifat menyeluruh, tidak

dapat digunakan untuk mengevaluasi satu per satu kasus yang diperoleh, serta

penelitian ini hanya mengevaluasi mengenai penggunaan antibiotika tanpa melihat

dan mengevaluasi secara lengkap keseluruhan pengobatan lain yang diberikan

pada pasien sehingga DRPs terkait perlu terapi tambahan (need additional drug

therapy) tidak teridentifikasi pada penelitian ini. Selain itu, dari dua dokter anak

sebagai penulis resep di Rumah Sakit Emanuel, hanya satu dokter anak yang

bersedia dan dapat diwawancarai oleh penulis. Hal ini menyebabkan acuan

(48)

mengevaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pasien demam tifoid

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di

Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Tahun 2013” dilakukan

dengan menelusuri lembar data rekam medik pasien pediatrik yang positif

terdiagnosa demam tifoid. Berdasarkan data hasil penelusuran dari bagian

instalasi rekam medik RS Emanuel, diperoleh 32 kasus sebagai bahan penelitian

yang mempunyai data rekam medik lengkap, yaitu mencantumkan usia, jenis

kelamin, berat badan, diagnosa utama, lama perawatan, catatan keperawatan, data

pemeriksaan laboratorium, dan terapi yang diberikan.

A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan usia

Pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diteliti adalah pasien yang

berusia 0 – 12 tahun. Izenberg (2000) membagi kelompok pediatrik menjadi 3

bagian berdasarkan usia, yaitu kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (>

1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun). Dari hasil penelitian

didapatkan kasus demam tifoid di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara

pada tahun 2013 paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu pada

rentang > 5 – 12 tahun sebesar 59,4 % dan kelompok usia balita yaitu pada

(50)

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ochiai et al. (2008) mendapatkan

hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun memiliki risiko terserang demam

tifoid lebih besar, yaitu dari total kasus sebanyak 131 kasus demam tifoid pada

kelompok pediatrik sebesar 58 kasus (44,27%) terjadi pada rentang usia 6 – 12

tahun dan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Penelitian oleh

Rufaldi (2011) juga diperoleh hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun

paling banyak terserang demam tifoid, yaitu sebesar 42,9% dengan sisanya terjadi

pada kelompok balita dan neonatus. Hal ini disebabkan karena pada saat usia

tersebut (> 5 – 12 tahun) anak-anak sangat menyukai membeli makanan

sembarangan dilingkungan sekitar yang higienitasnya tidak dapat dijamin.

Lingkungan, dalam hal ini salah satu contohnya adalah faktor higienitas,

merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengurangi atau menambah luas

penyebaran demam tifoid (Musnelina et al., 2004).

Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara tahun 2013 59,4% 40,6%

Distribusi Pasien Berdasarkan Usia

> 5 - 12 tahun

(51)

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diperoleh sebagai

subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak 32 pasien. Dari

total pasien tersebut, 16 adalah pasien laki-laki dan 16 sisanya adalah pasien

perempuan. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Musnelina et al.

(2004) dan Rufaldi (2011) diperoleh hasil yang berbeda dimana jumlah pasien

demam tifoid kelompok pediatrik jenis kelamin laki-laki lebih banyak

dibandingkan perempuan. Menurut Musnelina et al. (2004), anak laki-laki lebih

banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan

dikarenakan karena anak laki-laki umumnya memiliki aktifitas diluar rumah yang

lebih banyak daripada anak perempuan. Hal ini memungkinkan anak laki-laki

untuk memiliki risiko lebih besar untuk terserang demam tifoid dibandingkan

anak perempuan.

Gambar 3. Persentas Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara tahun 2013

50% 50%

Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis

Kelamin

Laki-laki

(52)

B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid pada kelompok

pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara merupakan gambaran

pengobatan yang diberikan, meliputi kelas terapi obat dan golongan obat yang

akan disajikan dalam bentuk tabel disertai beberapa penjelasan singkat. Gambaran

secara umum distribusi penggunaan obat pada pasien demam tifoid kelompok

pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 menurut

kelas terapinya ditunjukkan pada tabel II.

Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara

tahun 2013

No Kelas Terapi Obat Golongan Obat Jumlah Kasus (n=207)

3 Suplemen dan Nutrisi Vitamin Nutrisi

Mempengaruhi Darah Antikoagulan 1 0,5

5 Analgetik dan

Antipiretik Non-Opioid 36 17,4

(53)

1. Antibiotika

Persentase penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok

pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 adalah

sebesar 17,4%. Evaluasi penggunaan antibiotika dibagi menjadi jenis dan

golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi

antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.

a. Jenis dan Golongan Antibiotika

Hasil penelitian berkaitan dengan jumlah serta persentasi jenis dan

golongan antibiotika dalam penatalaksanaan demam tifoid pada kelompok

pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara bertujuan untuk

mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter

kepada pasien demam tifoid kelompok pediatrik dirumah sakit tersebut.

Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013

Berdasarkan data dari rekam medik, antibiotika yang digunakan dari total

32 pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok 86,1%

11,1% 2,8% 0

Jenis Antibiotika yang Digunakan pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013

Gambar

Tabel I. Terapi yang Direkomendasikan WHO untuk Demam
Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Pur-
Tabel I. Terapi yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid
Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Purwareja  Klampok Banjarnegara Periode 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan untuk analisis pasien yang potensial mengalami terapi obat tidak perlu (penggunaan obat tanpa indikasi) dilihat dari standar acuan WHO kemudian dicocokan