• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Kanker Serviks Di Instalasi Rawat Inap Rsup H. Adam Malik Kota Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Kanker Serviks Di Instalasi Rawat Inap Rsup H. Adam Malik Kota Medan Chapter III V"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni penelitian dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat gambaran atau deskripsi suatu keadaan secara objektif metode penelitian deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor beresiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dimana peneliti akan mengkaji informasi dan mengumpulkan data yang telah ada sebelumnya lalu data tersebut ditelaah (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2.1 Waktu

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016-September 2016. 3.2.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

(2)

3.3.2 Sampel

Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

a. Rekam medis pasien yang diagnosis utama kanker serviks baik tanpa komplikasi ataupun dengan komplikasi penyakit lainnya.

b. Rekam medis pasien kanker serviks rawat inap di ruang obgyn RSUP H. Adam Malik Kota Medan periode Juni 2016-September 2016.

c. Pasien kanker serviks yang mendapatkan obat kanker. d. Pasien kanker yang tidak mendapatkan obat kanker. Kriteria eksklusi adalah:

a. Data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca. b. Data pasien yang disertai penyakit kanker lainnya.

c. Data pasien yang pulang atas permintaan sendiri.

3.4 Rancangan Penelitian

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari data rekam medis dan status pasien penyakit kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016 menjadi beberapa kelompok.

Adapun data rekam medis yang dikelompokan dalam penelitian ini adalah: a. Mengelompokkan data rekam medis berdasarkan inklusi.

(3)

3. 5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif, data kuantitatif diuraikan dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan data kualitatif diuraikan dalam bentuk uraian.

3.6Diagram Alur Penelitian

Adapun gambaran pelaksanaan penelitian adalah seperti Gambar 3.1:

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

3.7 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Rekam Medis

Memilih data rekam medis berdasarkan

kriteria inklusi

Identifikasi DRPs

Analisis DRPs, Meliputi: a. Obat tanpa indikasi b. Perlu tambahan obat c. Obat tidak efektif d. Dosis terlalu rendah e. Dosis terlalu tinggi

f. Adverse drug reactions

Analisis Data

(4)

a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Menghubungi Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c. Mengumpulkan data berupa rekam medis dan status yang tersedia di RSUP H. Adam Malik Medan.

d. Menganalisis data dan informasi yang sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.

3.8 Definisi Operasional Penelitian

Data yang digunakan adalah rekam medis pasien kanker serviks rawat inap di ruang obgyn RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu obat-obat yang tercatat dalam rekam medis pasien, serta menggunakan variabel terikat yaitu: obat tanpa indikasi, obat tidak tepat, perlu tambahan obat, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, dan adverse drug reactions. Penelitian ini dilakukan hanya menggunakan 6 kategori DRPs, karena dalam penelitian ini diidentifikasi rekam medis pada pasien rawat inap sehingga kepatuhan pasien tidak diidentifikasi.

Adapun penjelasan kategori DRPs yang digunakan yaitu:

a. DRPs adalah beberapa peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien berkaitan dengan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome

(5)

b. Obat tanpa indikasi adalah pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang sesuai pada saat itu.

c. Perlu tambahan obat adalah pasien memiliki kondisi medis yang membutuhkan terapi tetapi tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.

d. Obat tidak efektif adalah pasien mendapatkan terapi yang bukan merupakan drugs of choice.

e. Dosis terlalu rendah adalah pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut terlalu rendah untuk menghasilkan terapi yang diinginkan.

f. Dosis terlalu tinggi adalah pasien mempunyai medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut terlalu tinggi sehingga dapat meningkatkan resiko reaksi obat merugikan.

(6)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Demografi Pasien Kanker Serviks

Berdasarkan rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016 diperoleh seluruh data pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik sebanyak 62 pasien. Rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 35 orang (56,45%).

4.2 Demografi Pasien Kanker Serviks

4.2.1 Demografi Pasien Kanker Serviks Berdasarkan Usia

Menurut Depkes RI (2009), pengelompokan pasien dilakukan dengan membagi pasien menjadi lima kelompok usia yaitu 26-35 tahun, 36-45 tahun, 46-55 tahun, 56-65 dan > 60 tahun. Pengelompokan pasien bertujuan untuk mengetahui prevalensi pasien kanker serviks periode Juni 2016-September 2016. Berdasarkan rekam medis pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-Agustus 2016 diperoleh gambaran umum usia pasien kanker serviks seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Demografi Pasien Kanker Serviks Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Pasien (n=35) %

26 – 35 4 11,43

36 – 45 10 28,57

46 – 55 14 40

56 – 65 5 14,29

>

65 2

5,71

(7)

dengan kelompok usia usia 36-45 tahun sebanyak 10 pasien (28,57%). Kemudian kelompok usia 56-65 tahun sebanyak 5 pasien (14,29%), pada kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 4 pasien (11,43%) dan terakhir pada kelompok usia > 65 terapat 4 pasien (11,43%).

Sebagian besar penderita kanker serviks adalah wanita berusia 40 tahun keatas. Sangat jarang ditemukan wanita berusia dibawah 35 tahun yang mengidap kanker seviks. Hal ini dikarenakan virus HPV perlu waktu antara 10-20 tahun untuk bertransformasi menjadi kanker serviks. Selain itu, semakin tua usia seseorang semakin rendah daya tahan tubuhnya (Savitri, 2015).

4.2.2 Demografi Pasien Berdasarkan Usia Pertama Kali Berhubungan Seksual

Salah satu faktor penyebab kanker serviks adalah usia pertama kali berhubungan seksual. Pengelompokan pasien dilakukan dengan membagi kelompok usia menjadi dua yaitu usia < 20 dan ≥ 20. Wanita yang melakukan aktivitas seksual sebelum usia 20 tahun memiliki resiko tinggi terkena kanker serviks, karena sebelum usia 20 tahun organ reproduksi wanita belum memiliki tingkat kematangan yang sesuai. Usia yang paling optimal untuk reproduksi wanita adalah usia 20-35 tahun (Savitri, 2015).

Tabel 4.2 Demografi Pasien Berdasarkan Usia Pertama Kali Berhubungan

Seksual No. Kelompok Usia Jumlah Pasien (n=35) %

1 < 20 19 54,29

2 ≥ 20 16 45,71

(8)

yakni pada rentang usia 20-30 tahun. Hasil penelitian Dewanti (2010) yang dilakukan di RS. Dharmais Yogyakarta juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu pasien kanker serviks dengan usia menikah < 20 tahun memiliki persentase sebesar 60% dan pasien yang menikah ≥ 20 tahun sebesar 40%.

4.2.3 Demografi Pasien Berdasarkan Stadium Kanker Serviks

Menurut Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), klasifikasi stadium kanker serviks terdiri atas stadium 0, I, IA, IA1, IA2, IB, IB1, IB2, II, IIA,

IIA1, IIA2, IIB, III, IIA, IIIB, IVA, IVB. Klasifikasi stadium kanker serviks

berdasarkan pemeriksaan fisik, histopatologi, kolposkopi, biopsi dan surver metastasis (Kemenkes, 2015).

Gambar 4.1 Diagram Demografi Stadium Pasien Kanker Serviks

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah pasien stadium IIIB menempati urutan pertama yaitu sebanyak 13 pasien (37,14%). Pasien dengan stadium IIB sebanyak 12 pasien (34,29%). Pasien dengan stadium IIA dan IB2

(9)

stadium IB sebanyak 2 pasien (5,71%) dan terakhir pasien dengan stadium IIA1

dan IIA2

Persentase terbesar pasien kanker serviks adalah pasien dengan stadium IIIB hal ini menandakan bahwa masih kurangnya kesadaran penderita kanker serviks untuk segera memeriksakan gejala-gejala klinis kanker serviks yang telah muncul. Stadium kanker serviks yang lebih rendah akan mempunyai prognosis yang lebih baik. Umumnya angka survival rate pasien kanker serviks adalah 5 tahun untuk stadium 0 dan I adalah 93%, stadium IA 80%, stadium IIA 63%, stadium IIB 58%, stadium IIIA 35%, stadium IIIB 32%, stadium IVA 16% dan terakhir stadium IVB 15% (Kemenkes, 2015).

masing-masing sebanyak 1 pasien (2,86%).

4.3 Kejadian DRPs

Drug Related Problems adalah beberapa peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien berkaitan dengan terapi obat yang dapat berpengaruh terhadap pencapaian terapi yang diinginkan. DRPs dibagi menjadi tujuh kategori yaitu obat tanpa indikasi, perlu tambahan obat, obat tidak efektif, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, adverse drug reaction dan kepatuhan pasien (Cipolle, et al., 2004)

(10)

Gambar 4.2 Diagram Kejadian DRPs

Adapun angka kejadian DRPs adalah adverse drug reaction sebanyak 24 kasus (34,29%), perlu tambahan obat sebanyak 19 kasus (27,147%), obat tidak efektif sebanyak 16 kasus (22,86%), dosis terlalu tinggi sebanyak 4 kasus (5,71%), dan obat tanpa indikasi sebanyak 7 kasus (10,14%). Kejadian DRPs tertinggi terdapat pada kategori adverse drug reaction. Hasil analisis DRPs dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 4.3 Kategori DRPs

No Kategori DRPs Jumlah

4.4.1 Obat Tanpa Indikasi

Obat tanpa indikasi medis adalah pasien tidak memiliki indikasi klinis pada saat itu untuk mendapat terapi yang diberikan. Obat tanpa indikasi biasanya

(11)

disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan, banyak produk obat yang digunakan untuk kondisi tertentu yang hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih tepat diobati tanpa terapi obat, dan terapi obat yang digunakan untuk mencegah adverse drug reaction yang berhubungan dengan terapi lainnya (Cipolle, et al., 2004).

Tabel 4.4 Analisis DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi

No Penyebab Obat Jumlah

Kasus % 1 Pasien dapat pengobatan yang tidak

tepat untuk indikasi pada saat itu

Antibiotika 3 4,28

2 Pasien mendapat banyak produk obat yang digunakan untuk kondisi tertentu yang hanya memerlukan terapi obat tunggal

(12)

resiko lain yang dapat berpengaruh terhadap resiko terjadinya morbiditas pasca operasi (Komite Farmasi dan Terapi RSUP H. Adam Malik, 2014).

Berdasarkan Tabel 4.4 terdapat 3 kasus (4,28%) pasien yang mendapatkan terapi pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi saat itu. Pasien diberikan antibiotika sejak awal dirawat sedangkan hasil laboratorium pasien menunjukkan nilai sel darah putih yang normal dan pasien tidak dijadwalkan untuk operasi sehingga tidak ada indikasi untuk pemberian antibiotika profilaksis. Penggunaan antibiotika yang seharusnya tidak digunakan dapat meningkatkan resiko resistensi antibiotika. Resistensi antibiotika merupakan konsekuensi dari penggunaan antibiotika yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri, bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO, 2016).

Hasil menelitian menunjukkan terdapat 1 pasien (1,43%) mendapat obat penghilang rasa sakit yang berlebih. Menurut WHO Pain Ladder (2009), penatalaksaan nyeri sedang diberikan kombinasi penggunaan NSAID hanya digunakan dua kombinasi NSAID. Sedangkan untuk nyeri berat diberikan terapi opioid kuat seperti morfin dengan pemberian dosis titrasi.

4.4.2 Perlu Tambahan Obat

(13)

Tabel 4.5 Tabel Analisis DRPsKategori Perlu Tambahan Obat

Penyebab Kondisi Pasien Jumlah (%) Pasien dengan kondisi medis

membutuhkan terapi obat

Albumin rendah 6 8,57 Sel darah putih tinggi 5 7,14

Anemia 4 5,71

Diabetes Mellitus tipe 2 3 4,28

Hipokalemia 1 1,42

Berdasarkan Tabel 4.5 ditemukan 6 pasien (8,57%) menunjukkan nilai albumin yang dibawah normal, kondisi ini perlu dipertimbangkan untuk pemberian terapi albumin, apabila penurunan albumin disebabkan oleh penggunaan obat sebaiknya hentikan penggunaan obat atau digantikan dengan terapi obat lain. Albumin didalam tubuh berfungsi sebagai pembawa obat-obatan termasuk obat kanker. Apabila kadar albumin pasien menurun, kadar obat dalam darah tidak memberikan efek farmakologis yang maksimal. Pasien dengan kadar albumin dibawah normal sebaiknya diberikan terapi untuk meningkatkan albumin baik secara nonfarmakologis dan secara farmakologis. Terapi nonfarmakologis yang dapat meningkatkan kadar albumin adalah dengan mengkonsumsi putih telur sedangkan untuk terapi farmakologis diberikan terapi penggantian albumin (Dinkes Pakpak Bharat, 2016).

(14)

perdarahan. Oleh karena itu sebagian besar pasien kanker serviks menerima antibiotik baik untuk teerapi empiris maupun profilaksis (Reksodiputro, 2006).

Terdapat 4 pasien (5,71%) dengan hasil laboraturium menunjukkan nilai hemoglobin dan sel darah merah pasien dibawah normal yang menunjukka n pasien mengalami anemia, sebaiknya pasien diberikan terapi antianemia untuk meningkatkan kondisi umum pasien. Anemia pada pasien kanker merupakan anemia sekunder atau anemia yang disebabkan oleh karena penyakit kronis. Selain hasil laboraturium, gejala klinis anemia dapat berupa pucat, lemah, dan keluhan anemia lainnya, gejala lain sesuai penyakit pasien. Terapi anemia sekunder disesuaikan dengan penyakit utama pasien, apabila sangat diperlukan pasien diberikan transfusi darah. Sebaiknya pasien dirawat sampai kondisi umum pasien meningkat (Komite Medik RSUP H. Adam Malik, 2011).

Berdasarkan Tabel 4.5 ditemukan 3 pasien (4,28%) dengan diabetes mellitus tapi tidak mendapatkan terapi untuk menurunkan kadar gula darah pasien. Sebaiknya pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 diberikan obat penurun glukosa darah oral seperti golongan sulfonilurea, biguanid, dan acarbose, apabila kadar gula darah pasien tidak dapat dikontrol dengan diet dan latihan jasmani. Kadar gula darah yang normal dapat meningkatkan kondisi umum pasien (Komite Medik RSUP H. Adam Malik, 2011).

(15)

laboraturium menunjukkan serum kalium dalam rentang normal (Komite Medik RSUP H. Adam Malik, 2011).

Hasil penelitian menunjukan tingginya angka kejadian DRPs kategori perlu tambahan obat menandakan bahwa pasien tidak mendapatkan pengobatan supportif terkait kondisi umum pasien. Pengobatan supportif yang diberikan kepada pasien kanker dapat menunjang pengobatan kanker. Pengobatan supportif tidak jarang lebih penting dari pengobatan kanker itu sendiri, karena pengobatan supportif ini justru dapat mengatasi masalah-masalah yang dapat menyebabkan kematian pasien. Masalah-masalah tersebut seperti anemia dan neutropenia pada pasien menyebabkan kemoterapi atau radiasi harus ditunda apabila kemoterapi atau radiasi tetap dilakukan dan nilai leukosit dan Hb belum berhasil dinaikkan maka dapat berakibat fatal untuk pada pasien (Reksodiputro, 2006).

4.4.3 Obat Tidak Efektif

Obat tidak efektif adalah produk obat yang digunakan tidak efektif untuk menimbulkan respon yang diinginkan. Beberapa hal yang sering menyebabkan obat tidak efektif terdiri atas obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif untuk kondisi masalah medis yang dialami, kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan produk obat, bentuk sediaan obat tidak tepat, dan produk obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami (Cipolle, et al., 2004).

(16)

resiko resistensi antibiotika. Resistensi antibiotika merupakan konsekuensi dari penggunaan antibiotika yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri, bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO, 2016).

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan. Salah satu contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunan antibiotika. Angka kematian akibat Resistensi Antimikroba sampai tahun 2014 sebesar 700.000 per tahun. Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada tahun 2050, kematian akibat AMR lebih besar dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa. Masalah resistensi antimikroba adalah masalah yang kompleks karena bersifat multi dimensi dan multifaktor serta banyak stakeholders (Kemenkes, 2016). 4.4.4 Dosis Terlalu Rendah

(17)

Berdasarkan dari hasil penelitian, tidak ditemukan dosis terlalu rendah pada pasien kanker serviks di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-Agustus 2016.

4.4.5 Dosis Terlalu Tinggi

Dosis terlalu tinggi adalah dosis yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi sehingga menimbulkan respon yang tidak diinginkan. Beberapa hal yang sering menyebabkan kejadian DRPs kategori dosis terlalu tinggi adalah dosis yang diberikan terlalu tinggi, frekuensi obat yang terlalu singkat, durasi obat terlalu lama, interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik obat dan dosis obat yang diberikan terlalu cepat (Cipolle, et al., 2004).

Tabel 4.6 Tabel Analisis DRPsKategori Dosis Terlalu Tinggi

No Penyebab Obat Jumlah (%)

1. Durasi terapi terlalu lama Injeksi Ketorolac 2 2,86

Antibiotika 2 2,86

Berdasarkan Tabel 4.6 terdapat 2 pasien (2,86%) mendapatkan terapi antibiotika dengan durasi pemberian melebihi durasi maksimal. Penggunaan terapi antibiotika sebagai terapi empiris sebaiknya diberikan selama 5 hari lalu dilakukan uji kultur pada pasien tersebut dan penggunaan antibiotika sebagai profilaksis diberikan selama 3 hari atau sesuai dengan prosedur yang akan dilakukan. Pemberian antibiotika terlalu lama menyebabkan dapat resistensi pada pasien (Komite Farmasi dan Terapi RSUP H. Adam Malik, 2014).

(18)

lama sedangkan dosis harian injeksi ketorolac masih dalam dosis sesuai. Pemakaian ketorolac seharusnya digunakan tidak lebih dari 5 hari, karena pemakaian lebih dari 5 hari dikhawatirkan terjadi efek samping pada gastrointestinal (Mitra et al., 2012).

4.4.6 Adverse Drug Reaction

Adverse drug reaction terjadi adalah kejadian DRPs terkait dengan produk obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan dan tidak berhubungan dengan dosis, ada produk obat yang lebih aman terkait dengan faktor resiko, interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan, pengaturan dosis yang diberikan atau diganti dengan sangat cepat, produk obat yang menyebabkan reaksi alergi, dan produk obat yang dikontraindikasi terhadap faktor resiko (Cipolle, et al., 2004).

Tabel 4.7 Analisis DRPs Kategori Adverse Drug Reaction

Obat Jenis Interaksi Tingkat Keparahan

Jumlah Kasus

(%) Injeksi furosemid – injeksi

ketorolac Farmakodinamika Sedang 2 2,85

Injeksi albuterol – injeksi

furosemid Farmakodinamika Sedang 1 1,42

Injeksi ranitidin – injeksi

ketorolac Farmakokinetika Ringan 8 11,43

Tablet sulfas ferosus – tablet

siprofloksasin Farmakokinetika Sedang 7 10 Tablet asam mefenamat –

tablet siprofloksasin Farmakodinamika Sedang 4 5,71 Tablet morfin – tablet

amitriptilin Farmakodinamika Sedang 1 1,42 Tablet siprofloksasin –

(19)

paling sering terjadi adalah interaksi obat antara injeksi ranitidin-injeksi ketorolac, namun interaksi ini bersifat ringan sehingga tidak mempengaruhi secara signifikan terapi obat tersebut dan waktu pemberian diberikan tidak dalam waktu yang bersamaan. Kejadian interaksi obat yang paling sering terjadi kedua dan dapat mengganggu terapi adalah interaksi antara tablet sulfas ferosus dan tablet ciprofloxacin dengan tingkat keparahan interaksi bersifat sedang. Sebaiknya pemberian kombinasi ini diberikan rentang waktu agar dapat menghindari kejadian interaksi obat. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat dengan jenis interaksi farmakokinetika. Interaksi farmakinetika adalah interaksi yang terjadi bila satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme atau eksresi obat lain (Tatro, 2009).

(20)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dari 35 pasien terdapat 26 pasien (74,29%) yang mengalami DRPs di ruang rawat inap obgyn RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016. Jenis DRPs yang paling banyak terjadi adalah adverse drug reaction (52,17%), perlu tambahan obat sebanyak (34,78%), obat tanpa indikasi sebanyak (8,89%), dan dosis terlalu tinggi (4,35%).

5.2Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan:

a. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar meneliti kejadian DRPs kategori kepatuhan pasien.

Gambar

Gambar 3.1:
Tabel 4.1 Demografi Pasien Kanker Serviks Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Demografi Pasien Berdasarkan Usia Pertama Kali Berhubungan Seksual
Gambar 4.1 Diagram Demografi Stadium Pasien Kanker Serviks
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis penelitian ini adalah terjadi DRPs kategori indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian DRPs kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan interaksi obat pada pasien

Drug Related Problem (DRP) merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat sehingga berpotensi untuk mengganggu

Beberapa hal yang sering menyebabkan obat tidak efektif terdiri atas obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif untuk kondisi masalah medis yang dialami, kondisi medis

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN KANKER SERVIKS DI INSTALASI RAWAT INAP..

Evaluasi Drug Therapy Problems Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Kanker Serviks yang Menjalani Kemoterapi Di RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2006-2008.. Skripsi Fakultas

kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan ( disability )

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat salah, dosis obat kurang, dosis obat lebih, reaksi