• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR ABDULAH SOFYAUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR ABDULAH SOFYAUN"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR

ABDULAH SOFYAUN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Abdulah Sofyaun C44080091

(3)

ABSTRAK

ABDULAH SOFYAUN, C44080091. Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN dan DARMAWAN.

Kebijakan perikanan berdasarkan doktrin milik bersama telah menyebabkan konflik antara masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga kearifan lokal perlu dikembangkan untuk mencegah konflik yang terjadi. Bentuk kearifan lokal bagi masyarakat Maluku dikenal dengan istilah sasi. Sasi merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal.

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway. Menganalisis sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan di Desa Keffing dan Desa Kway.

Menganalisis penguatan kelembagaan sasi dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di era otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode triangulasi dengan jenis penelitian studi kasus. Metode pengambilan sampel yang digunakan yaitu metode purposive sampling dan snowball sampling.

Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif, analisis komparatif, analisis SWOT dan analisis QSPM. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejarah sasi di Desa Keffing dan Desa Kway telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen bersama para nenek moyang mereka untuk menjaga sumberdaya alam dan lingkungan dimana mereka tinggal. Komitmen tersebut berdasarkan pemikiran bahwa kehidupan nenek moyang sangat bergantung pada sumberdaya alam di sekitar mereka, sehingga perlu mengatur agar tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway berasal dari pengelompokan masyarakat berdasarkan faam atau marga dan pengelompokan masyarakat soa. Penguatan terhadap kelembagaan sasi di Desa Keffing dilakukan dengan cara melakukan diskusi antara kewang dengan masyarakat. Sedangkan untuk Desa Kway penguatan dilakukan melalui diskusi dengan masyarakat dan melakukan doa bersama sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka

Kata kunci: penguatan kelembagaan, pengelolaan perikanan, sasi, sistem kelembagaan

(4)

ABSTRACT

ABDULAH SOFYAUN, C44080091. Institutional Analysis of Sasi in Capture Fisheries Management in East Seram District. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and DARMAWAN.

Fisheries policy based doctrine on common property has led conflict between societies in the utilization of marine resources, thus local wisdom need to be developed to prevent conflicts. One of local wisdom of Maluku is known as sasi.

Sasi was a form of resources management based on local society. This research aims to present the history of sasi management in East Seram District, especially Keffing and Kway village. Analyze the institutional system of sasi in the fisheries management in Keffing and Kway village. Analyze the strengthening institutional system of sasi in order to create a sustainable fishery management in the era of regional autonomy. Method used in this research was by using triangulation method with study case research type. Sampling method used was purposive sampling and snowball sampling method. Data analysis that used was qualitative analysis, comparative analysis, SWOT analysis, and QSPM analysis. Result showed that the history of sasi in Keffing and Kway village was existed since ancient time, as a mutual commitment of the ancestors to preserve the environment and natural resources where they lived. This commitment was based on the thought of how the ancestors was very dependant to the natural resources around them, thus a regulation was needed to prevent conflict in the utilization.

Institutional system of sasi in Keffing and Kway village was originated from the society grouping based on faam or clan and society grouping based soa. The strengthening of sasi institutional in Keffing village was done by doing discussion between kewang and the society. While for the Kway Village, the strengthening was done by doing discussion with the society and doin prayer together to honor their ancestors.

Keywords: institution strengthening, fisheries management, sasi, institutional system

(5)

© Hak Cipta IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

(6)

ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR

ABDULAH SOFYAUN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(7)

Judul Skripsi : Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur

Nama : Abdulah Sofyaun

NIM : C44080091

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Akhmad Solihin, S.Pi, MH Dr. Ir. Darmawan, MAMA NIP. 19790403 200701 1 001 NIP.19630306 198903 1 007

Diketahui

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.

NIP. 19621223 198703 1 001

Tanggal ujian: 09 November 2012 Tanggal lulus:

(8)

PRAKATA

Skripsi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Kecamatan Seram Timur pada bulan Februari 2012 ini adalah Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1) Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Dr. Ir Darmawan, MAMA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan untuk kelancaran penulisan skripsi ini;

2) Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur yang telah memberikan kepercayakan kepada penulis untuk melanjutkan studi melalui program Beasiswa Utusan Daerah (BUD) di Institut Pertanian Bogor. Kepala Adat Desa Keffing dan Desa Kway yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam proses pengambilan data;

3) Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. atas kesediaanya sebagai penguji dan Prof.

Dr. Ir Mulyono S. Baskoro M.Sc sebagai Komisi Pendidikan Departemen PSP atas sarannya terhadap skripsi ini;

4) Kedua orang tua (Jabar Sofyaun dan Salawatia Kocal) serta keluarga, dan yang telah memberikan motivasi, semangat dan doa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

5) Teman-teman PSP 45, dan dan teman-teman Kos ABIMANYU (Abang Jhusmy, Sidik, Alan dan Anca) yang membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini; dan

6) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, November 2012

Abdulah Sofyaun

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tum, Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur pada tanggal 23 Mei 1988 dari Bapak Djabar Sofyaun dan Ibu Salawatia Kocal. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Seram Timur pada tahun 2007. Pada Tahun yang sama penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan program sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Komisariat Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2009.

Pada tahun 2012 penulis aktif di Organisasi Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) Bogor.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur” dibawah bimbingan Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Dr. Ir Darmawan, MAMA untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kelembagaan ... 7

2.1.1 Ciri-ciri Kelembagaan ... 8

2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat ... 10

2.2 Hukum adat ... 11

2.3 Sasi ... 14

2.3.1 Definisi sasi ... 14

2.3.2 Sejarah sasi ... 15

2.3.3 Peranan sasi ... 17

2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap ... 17

2.4.1 Definisi Perikanan Tangkap ... 17

2.4.2 Pengelolaan Perikanan ... 18

1) Pengelolaan sentralistis ... 19

2) Pengelolaan berbasis masyarakat ... 19

3) Ko-manajemen ... 20

2.5 Dasar Hukum ... 23

2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ... 23

2.5.2 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil ... 23

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.2 Metode Penelitian ... 25

3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 26

(11)

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.5 Analisis Data ... 27

3.5.1 Analisis kualitatif ... 27

3.5.2 Analisis kelembagaan... 27

3.5.3 Analisis SWOT ... 28

3.5.4 Analisis matriks perencanaan strategi kualitatif ... 32

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 34

4.2 Kependudukan... 37

4.3 Keadaan Umum Perikanan Tangkap ... 37

4.3.1 Perkembangan produksi dan nilai produksi ... 37

4.3.2 Perkembangan alat penangkapan ikan ... 38

4.3.3 Perkembangan armada penangkapan ikan ... 38

4.3.4 Perkembangan rumah tangga perikanan ... 38

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sistem Kelembagaan Sasi ... 39

5.1.1 Sasi Desa Keffing ... 42

1) Batas pengelolaan wilayah ... 46

2) Sistem aturan ... 46

3) Sistem sanksi ... 49

4) Legalitas ... 50

5) Otoritas sasi ... 51

5.1.2 Sasi Desa Kway ... 51

1) Batas pengelolaan wilayah ... 54

2) Sistem aturan ... 55

3) Sistem sanksi ... 57

4) Legalitas ... 58

5) Otoritas sasi ... 59

5.2 Penguatan Kelembagaan Sasi ... 60

5.2.1 Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kelembagaan sasi ... 61

1) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam kelembagaan sasi di Desa Keffing ... 61

2) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam kelembagaan sasi di Desa Kway ... 66

5.2.2 Matriks IFES dan EFES ... 71

5.2.3 Matriks perencanaan strategi kualitatif ... 80

(12)

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 92

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Faktor internal dan eksternal ... 29

2 Faktor strategi internal ... 30

3 Faktor strategi eksternal ... 31

4 Tabel SWOT ... 32

5 Faktor penunjang produksi perikanan ... 37

6 Produksi perikanan berdasarkan wilayah perairan ………... 37

7 Sistem kekerabatan masyarakat Desa Keffing dan Desa Kway berdasarkan faam/marga dan persekutuan teritorial geneologis (soa) ... 39

8 Fungsi dan tanggungjawab steakholder pada sistem pemerintahan adat di Desa Keffing dan Desa Kway ... 41

9 Sanksi dan denda kelembagaan sasi di Desa Keffing ... 49

10 Sanksi dan denda kelembagaan sasi di Desa Kway ... 57

11 Perbandingan sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway ... 60

12 Matriks internal factor evaluation di Desa Keffing ... 71

13 Matriks eksternal factor evaluation di Desa Keffing ... 72

14 Matriks SWOT kelembagaan sasi di Desa Keffing ... 74

15 Matriks internal factor evaluation di Desa Kway ... 76

16 Matriks eksternal factor evaluation di Desa Kway ... 77

17 Matriks SWOT kelembagaan sasi di Desa Kway ... 78

18 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Keffing ... 80

19 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Kway ... 83

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat ... 13

2 Latar belakang kearifan lokal ... ... 16

3 Peta lokasi penelitian ... 25

4 Diagram analisis SWOT ... 28

5 Pulau Geser, Kecamatan Seram Timur ... 34

6 Desa Keffing, Kecamatan Seram Timur ... 35

7 Desa Kway, Kecamatan Seram Timur ... 36

8 Aliran Komunikasi dalam kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway ... 40

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Produksi perikanan berdasarkan jenis ikan ... 93

2 Jumlah rumah tangga perikanan... 93

3 Jumlah armada penangkapan ikan ... 94

4 Jumlah alat penangkapan ikan ... 95

5 Nilai produksi perikanan per Kecamatan ... 96

(16)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang intinya mengatur tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah di wilayah laut yakni 12 mil untuk daerah provinsi dan 4 mil kabupaten/kota, serta mengakui keberadaan nilai- nilai lokal yang terdapat diberbagai pelosok daerah pesisir. Meskipun otonomi daerah menimbulkan kontroversi dikalangan para ahli lingkungan, termasuk kekhawatiran terjadinya kerusakan di lingkungan kelautan dan perikanan, namun kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) dapat diwujudkan dalam nuansa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Keyakinan tersebut dilandasi oleh adanya kearifan lokal yang mengatur tentang pengelolaan perikanan di wilayah pesisir. Menurut Solihin (2002) pemberlakuan aturan lokal dalam pengelolaan perikanan dapat meminimalkan berbagai konflik yang sebelumnya kerap terjadi. Pertama, hilangnya konflik internal antara masyarakat nelayan lokal yang disebabkan oleh pelanggaran zona tangkapan. Kedua, berkurangnya konflik antara nelayan lokal dan luar yang menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak seperti potasium sianida, dinamit dan bahan beracun lainnya.

Secara historis aturan adat (pranata sosial) ini tersebar luas di beberapa wilayah pesisir Indonesia, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (Panglima Laot), Lampung (Rumpon), Bali dan Lombok (Awig-awig), Maluku (Sasi), dan beberapa di kawasan Indonesia Timur, seperti Sulawesi dan Papua dinamakan Hak Ulayat Laut (HUL). Latar belakang berdirinya hukum adat dilandasi oleh dua faktor antara lain; pertama, adanya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri (Sarasehan Masyarakat

(17)

Adat Nusantara 1999). Pemahaman tentang masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk melihat peran serta masyarakat dalam penerapan aturan hukum adat, serta mengetahui apakah peraturan yang dibuat oleh hukum adat dapat diterima seluruh masyarakat atau hanya sekelompok orang yang mengatasnamakan seluruh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.

Keterlibatan masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan hukum adat agar tetap eksis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, keberadaan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan bagi hukum adat untuk menerapkan peraturan serta sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar.

Kedua, adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional. Perubahan paradigma pembangunan nasional melalui kebijakan pengelolaan perikanan berbasis otonomi daerah memberikan ruang bagi hukum adat untuk mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18 Undang- undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pengusahaan perairan pesisir atau PWP3 dapat diberikan kepada; (a) orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau (c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Selain itu, perhatian terhadap hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sistem pengelolaan perikanan di perairan umum dan kajian pola interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders) di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap komunitas rumah tangga perikanan sudah saatnya menjadi perhatian. Kemudian tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan bisa dikembangkan dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum (Suhana 2008).

Dasar pemikiran masyarakat tentang hukum adat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya yaitu demografi penduduk. Hal tersebut dilihat dari kondisi masyarakat yang mendiami sutau wilayah, dimana pada awalnya

(18)

masyarakat menyebar secara homogen namun seiring dengan perkembangan zaman kondisi masyarakat menjadi heterogen. Perubahan pola hidup masyarakat dari homogen menjadi heterogen akan mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang berlaku sejak nenek moyang di zaman dahulu. Hal tersebut terjadi akibat pengaruh budaya dari masyarakat luar yang mendiami wilayah tersebut menyebabkan pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal perlahan-lahan menjadi berkurang. Hal mendasar yang perlu dipahami dalam hukum adat yaitu apakah nenek moyang pada zaman dahulu membentuk hukum adat berdasarkan pemikiran tentang konservasi atau hanya untuk optimasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungan sekitar mengakibatkan kajian hak ulayat laut hanya dikaitkan dengan permasalahan di seputar aspek ekologi. Padahal praktek hak ulayat laut berkaitan juga dengan proses dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi. Sehingga untuk memahami konsep hak ulayat laut secara utuh dengan masalah yang begitu kompleks harus dikaji secara menyeluruh (Wahyono et al 2000).

Untuk mengatasi kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka penguatan lembaga adat/kearifan lokal di Indonesia harus menjadi perhatian utama dalam membuat rancangan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Hadirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem pemerintahan sentralistis menjadi desentralisasi, sehingga membuka peluang untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dengan cara merevitalisasi kearifan lokal yang ada.

Hal ini dikarenakan terbukanya pintu partisipasi masyarakat dalam menyusun suatu rancangan kebijakan hingga pengawasan pelaksanaan (Solihin 2004).

Upaya mengatur akses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Seram Timur diatur berdasarkan kesepakatan masyarakat adat secara bersama. Akses memanen atau mengambil hasil perikanan laut diatur dan disepakati bersama oleh masyarakat mengandung unsur–unsur larangan mengambil hasil perikanan laut pada jangka waktu tertentu. Maksud pengaturan tersebut adalah agar pemanenan

(19)

hasil perikanan laut dilakukan pada waktu yang tepat. Bentuk aturan ini bagi masyarakat Maluku dikenal dengan istilah adat sasi (Wattimena dan Papilaya 2005). Menurut Novaczek dan Harkes (1998), daerah laut yang diatur oleh sasi memiliki kondisi ekologi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah laut yang tidak di-sasi (seperti kondisi terumbu karang yang rusak). Oleh sebab itu, keberadaan kearifan lokal diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

1.2 Rumusan masalah

Kebijakan perikanan di Seram Timur didasarkan pada doktrin milik bersama seperti tidak adanya batasan siapa, kapan, dimana dan bagaimana kegiatan penangkapan ikan yang seharusnya dilakukan telah menyebabkan wilayah perairan di Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur menjadi ajang bagi pihak tertentu untuk berloma-lomba memanfaatkan sumberdaya perikanan tanpa adanya batasan sehingga dapat mengancam keberlangsungan ekologi sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Seram Timur.

Kurangnya fungsi kontrol Pemerintah Seram Timur terhadap wilayah pesisir, dimanfaatkan oleh nelayan luar untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan sehingga menimbulkan konflik antara nelayan lokal dan nelayan luar. Konflik tersebut terjadi akibat perebutan zona tangkapan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan Pemerintah Daerah Seram BagianTimur dalam pembagian zona tangkapan baik untuk wilayah adat, nelayan lokal sehingga adanya kecemburuan sosial antara nelayan lokal dan nelayan luar yang berhujung pada konflik. Konflik di wilayah pesisir terjadi akibat posisi nelayan lokal sangat lemah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena hanya menggunakan alat tangkap tradisional. Sedangkan nelayan luar dilengkapi dengan peralatan penangkapan ikan yang lebih moderen dibandingkan masyarakat lokal.

Akibat dari ketidakjelasan tersebut, pengelolaan perikanan tangkap di Kecamatan Seram Timur dinilai gagal memberikan sanksi hukum kepada nelayan luar (asing) yang telah melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari sumberdaya itu sendiri. Selain itu gagal dalam memberikan perlindungan hukum khususnya kepada para nelayan lokal di daerah pesisir maupun bagi sumberdaya perikanan

(20)

itu sendiri. Sehingga sistem penguatan terhadap lembaga adat sangat penting untuk dilakukan dengan harapan dapat memberikan perlindungan terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Seram Timur. Penguatan perlu dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengendepankan aspek berkelanjutan dari sumberdaya tersebut. Untuk dapat melakukan penguatan tersebut, maka perlu diketahui bagaimana sistem pengelolaan sasi yang ada. Oleh sebab itu penelitian dengan satuan kasus ”Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur” diharapkan dapat menjadi solusi bagi masyarakat pesisir Seram Timur untuk mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional dengan pengetahuan lokal yang dimiliki tanpa campur tangan pihak luar.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1) Bagaimana sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway;

2) Bagaimana sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur;

dan

3) Bagaimana sistem penguatan terhadap lembaga adat sasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Identifikasi dan deskripsi sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway;

2) Menganalisis sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan di Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway; dan

3) Merumuskan strategi penguatan kelembagaan sasi dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di era otonomi daerah.

(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan informasi tentang sejarah pengelolaan sasi, sistem pengelolaan sasi dan sistem penguatan kelembagaan sasi dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Seram Timur; dan

2) Masukan bagi pihak terkait mengenai pentingnya kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta upaya membangun peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di daerah pesisir.

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelembagaan

Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama dan tren sosial) yang memfasilitasi kordinasi dan hubungan antar individu maupun kelompok (Kherallah dan Kirsten 2001). Kelembagaan merupakan aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

Kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985), mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. North (1990), mengartikan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor ekonomi, sosial dan politik. Menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.

Menurut Schmid dan Pakpahan (1989), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisihkan hak -hak mereka. Kelembagaan berhubungan dengan hak – hak orang lain, hak – hak istimewah yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan.

Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus

(23)

kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktifitasnya.

2.1.1 Ciri – Ciri Kelembagaan

Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga kompenon utama yaitu; (1) hak – hak kepemilikan (property rights) berupa hak atas benda, materi maupun non materi;

(2) batas yurisdiksi (jurisdictional boundary); dan (3) aturan representasi ( rules of representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989). Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur – unsur kelembagaan.

Hak – hak kepemilikan (property rights) mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi dari hal tersebut adalah; (i) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (ii) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (owner ship) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan melakukan hak – haknya atas asset (Barzel dalam Basuni 2003).

Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua – duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi di pengaruhi oleh empat faktor antara lain:

1) Perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan;

2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa;

(24)

3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan

4) Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output di tingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah di bandingkan dengan alternatif

batas yurisdiksi lainnya.

Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan yaitu; (i) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan; dan (ii) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya.

Menurut Gillin dan Gilin (1954) dalam Sugianto (2002), ciri-ciri umum suatu lembaga sosial yaitu:

1) Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib dan lain-lain;

2) Lembaga sosial merupakan suatu pola- pola pemikiran dan perikelakuan yang terwujud melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya;

3) Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umunya lama dan melalui proses yang panjang;

4) Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan;

5) Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; dan

6) Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang menggambarakan fungsi dan tujuan.

Secara empiris lembaga sosial (local) yang berkembang di masyarakat dapat bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum

(25)

untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruhi oleh pihak luar. Ciri-ciri lembaga yang bersifat informal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar (Sugianto 2002).

2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat,bahwa tugas lembaga adat yaitu:

1) Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;

2) Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembagunan dan pembinaan masyarakat; dan

3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997, Pasal 6 angka 1 tentang hak dan wewenang lembaga adat yaitu:

1) Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat;

2) Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik; dan

3) Menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(26)

2.2 Hukum Adat

Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke-abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhanan.

Wignjodipoero (1967) mengutip pengertian tentang hukum adat dari beberapa pakar hukum, yaitu:

1) Prof. Dr. Supomo, SH: Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum;

2) Dr. Sukanto: Hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sangksi, dan mempunyai akibat hukum;

3) Mr. J.H.P. Bellefroid: Hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hukum;

4) Mr. B. Terhaar Bzn: Hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).

Hukum adat memiliki dua unsur yaitu; (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan

(27)

adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitates). Wignjodipoero (1967), menjelaskan bahwa didalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:

1) Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum) merupakan bagian yang terbesar;

2) Hukum yang tertulis (jus scriptum) hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan;

3) Uraian dalam hukum secara tertulis lazimnya uraian ini adalah suatu hasil penelitian yang dibukukan.

Menurut Depatemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengartikan hak ulayat sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupan yang timbul dari kehidupan secara lahiriah dan batiniah, terun-temurun, serta tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak ulayat laut (HUL) mempunyai variabel-variabel pokok dalam kajiannya, yaitu (Wahyono et al 2000):

1) Wilayah

Pengaturan di wilayah laut tidak terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga ekslusivitas wilayah, sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi dan batasan-batasan yang bersifat temporal;

2) Unit sosial pemilik hak (right holding unit)

Unit pemegang hak (right holding unit) beragam mulai dari sifatnya yang individual, kelompok, kekerabatan, komunitas desa hingga negara; dan

3) Legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement)

Dasar hukum mengenai berlakunya hak ulayat laut berupa aturan tertulis dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat (tidak menurut hukum formal), seperti sistem kepercayaan.

Sementara sebagai aturan lokal, hak ulayat laut dalam bahasa inggris yaitu see tenure merupakan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.perangkat aturan hak

(28)

6 main types exist:

Secular leader Religious leader Right holder Community elders Elected committec Hilred administrators

S e c u l a r

l e a d e r R e l i g i o u s

l e a d e r R i g h t

h o l d e r C

ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan sesuai dengan sumberdaya yang ada diwilayah laut (Wahyono et al 2000). Dengan demikian, hak ulayat laut tidak hanya bermakna “hak bersama”, melainkan semua esensi pada “otonomi” dan “kedaulatan” dari persekutuan (politik) hidup yang bersangkutan atas suatu teritorial (wilayah) tertentu (Fauzi 2000). Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), dapat dilihat pada (Gambar 1) berikut:

Gambar 1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat

Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), yaitu:

1) Otoritas atau kepemimpinan (authority or leadership); sistem manajemen sumberdaya alam berbasis masyarakat telah ada sebelumnya, memiliki fungsi kontrol dan kewenangan secara tradisional yang bervariasi sesuai dengan organisasi sosial;

Main kinds:

Primary (or birthright) Secondary

Exclusion Sharing Tranfer and loan

Nested (right within rights)

Main kinds are those to define:

Sea territory of community Eligibility of entrants Inter-community access Use behavior

4 main kinds:

Social Economic Physical Supernatural

Monitors Enforcers

DESIGN PRINCIPLES

Authority Leadership

Rights

Rules Monitoring

Accountability

& Enforcement Sanctions

(29)

2) Hak (rights); sistem manajemen pemanfaatan sumberdaya diatur berdasarkan hak milik atas pemanfaatan sumberda alam. Klaim terhadap sumberdaya dilindungi oleh praktek hukum adat. Hak-hak tersebut mendefinisihkan penggunaan yang sah dipandang secara eksklusif untuk menentukan siapa yang berhak atas wilayah dan sumberdaya tersebut;

3) Aturan (rules); menentukan bagaimana hak kepemilikan diatur dan tindakan yang diperlukan serta dilarang untuk memanfaatkan sumberdaya alam pada waktu tertentu;

4) Pemantauan (monitoring); pemantauan dilakukan untuk melihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang ditetapkan dan menjatuhkan sanksi pada pelanggar; dan

5) Sanksi (sanction); sanksi diberikan kepada yang melanggar atau mengabaikan aturan lokal yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam.

2.3 Sasi

2.3.1 Definisi sasi

Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Biley and Zerner 1992). Sedangkan menurut Kissya (1993) sasi adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.

Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun 2006).

Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat.

Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak

(30)

mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut; (a) penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama; (d) kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan (e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.

2.3.2 Sejarah sasi

Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala (sejak abad XVII) dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal dengan “ Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelony 2003).

Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana

(31)

pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarka dunia spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo 1988).

Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.

Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini di tentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).

Gambar 2 Latar Belakang Kearifan lokal (sasi)

Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa. Lembaga adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk-datuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.

Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi

Kepercayaan spiritual

Perilaku masyarakat

Pertambahan penduduk

Kehidupan masyarakat yang teratur dan menjaga ketersedian sumberdaya

(32)

dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi (Pattinama dan Pattipelony 2003).

2.3.3 Peranan sasi

Peranan sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, mendidik dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat termasuk upaya pemerataan dan pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu sasi mempunyai peran sebagai nilai budaya masyarakat, maka perlu menjaga kelestarian. Selain itu kelembagaan sasi juga memiliki peran untuk memberikan kesempatan kepada mahluk hidup (sumber daya alam) terntu untuk memperbaharui dirinya dan berkembang biak, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut Pattinama dan Patipelony 2003).

Batasan lain yang secara eksplisit yang memuat konsep pelestarian tentang keberadaan lembaga adat sasi adalah seperti yang dikemukakan oleh Kissya (1993) bahwa sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upayah kearah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat. Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada wilayah pesisir secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.

2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap 2.4.1 Definisi Perikanan Tangkap

Menurut Undang-undang No. 45 Tahun 2009 merupakan perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan mulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Menurut Monintja (1989) menjelaskan bahwa komponen utama perikanan tangkap adalah unit penangkapan ikan, terdiri dari: (1) perahu atau kapal; (2) alat

(33)

tangkap; dan (3) nelayan. Menurut Diniah (2008) mengemukakan bahwa perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya alam, khususnya penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan. Dalam pelaksanaan kegiatan di bidang penangkapan, dihadapkan pada karakteristik khusus yang tidak di miliki oleh sistem eksploitasi sumberdaya pertanian lainnya. Beberapa karakteristik khusus tersebut yaitu: (1) sumberdaya pada umumnya tidak terlihat (invisible); (2) merupakan milik bersama (common property); (3) eksploitasisumberdaya memiliki resiko yang sangat tinggi (high risk); dan (4) produk sangat mudah rusak ( higly perishable).

Karakteristik - karakteristik tersebut memyebabkan sulitnya pemanfaatan sumberdaya ikan dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Perangkat ilmu perikanan sangat dibutuhkan untuk memungkinkan pemanfaatan sumberya tersebut meliputi aspek-aspek biologi, teknologi sosial, dan ekonomi (Monintja 1989).

2.4.2 Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan berkaitan dengan tugas yang kompleks bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat di daerah dan negara yang diperoleh melaui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Praktek open acces yang selama ini berjalan, banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation dan konflik antar nelayan. Hal ini diakibatkan ketidakpastian pemilikan atas sumberdaya, serta tidak ada batasan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana kegiatan perikanan dilakukan (Satria 2001). Upaya untuk mengelola sumberdaya perikanan sangat penting untuk dilakukan dalam mengantisipasi terjadinya masalah-masalah, baik ekologi maupun sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut sangat penting untuk dilakukan.

Berdasarkan Undang – undang No. 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang – undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang berintergrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementsi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang

(34)

perikanan yang dikelolah oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk kelangsungan produktivitas hayati dan tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk tiap masing-masing daerah berbeda, sehingga untuk membuat suatu kebijakan atau memilih model pengelolaaan sumberdaya perikanan harsu melihat kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat setempat. Artinya, setiap kebijakan yang akan ditetapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut tudak bias di generalisasi pada semua daerah. Hal ini dikarenakan heterogennya budaya masyarakat Indonesia, kondisi geografis dan karakteristik sumberdaya (Anggraini 2002).

1) Pengelolaan Sentralistis

Menurut Nikijuluw (2002), pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management) adalah rezim pengelolaan sumberdaya dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak ekslusif dan hak mengalihkan. Model pengelolaan sentralistis berlangsung sejak era orde lama hingga orde baru. Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat. Hal ini dikarenakan model ini bersifat top-down, sehingga menempatkan masyarakat nelayan sebagai objek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku sudah lama di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di beberapa daerah masyarakat pesisir (Dahuri 1999).

Selain itu Fathullah (2000), mengemukakan bahwa akibat dari sentralistik aturan hukum dan pemonopolian aparat penegak hukum adalah terciptanya krisis kepercayaan terhadap hukum formal oleh masyarakat. Hal ini di karenakan sikap pemerintah pusat yang melupakan nilai dan harga diri masyarakat adat atau daerah. Selain itu, pembangkangan terhadap hukum formal di sebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan mahalnya biaya pengawasan dalam pelaksanaan suatu aturan hukum serta terjadinya praktek-praktek kolusi antara oknum aparat dengan nelayan dalam melakukan praktek penangkapan ikan secara illegal.

(35)

2) Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2000). Dengan model ini, masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan karena masyarakat dilibatkan dalam pembuatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partispasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingan terhadap kelangsungan sumberdaya perianan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria 2002b).

Dengan demikian pengelolaan perikanan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria 2002a). Kelemahan dari model ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah diluar komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi tingginya biaya institusionalisasinya.

Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dapat dibentuk melalui (Nikijuluw 2002):

(1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selam ini;

(2) Pemerintah dan masyarakat kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola perikanan; dan

(3) Pemerintah memeberikan tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

3) Ko-Manajemen

Menurut Nikijuluw (2002), Ko-manajemen perikanan adalah rezim derivative yang dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat (PSPBM) dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau

(36)

pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan.

Ditegaskan pula oleh Carter (1996) bahwa sesungguhnya konsep pengelolaan sumberdaya alam yang berakar pada masyarakat (CBM) memiliki beberapa dimensi positif yaitu (1) mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya alam; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pomeroy and Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management akan berbeda- beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, maka Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan perikanan atau sumberdaya. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu.

Beberapa kunci kesuksesan dari model Co-Management menurut (Pomeroy and Williams 1994) adalah sebagai berikut:

(1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; Batas-batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini, peranan pemerintah daerah dalam menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting.

Batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem sehingga sumberdaya alam tersebut dapat lebih mudah untuk diamati dan dipahami;

(2) Kejelasan keanggotaan; Segenap pelaku atau rumahtangga masyarakat yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di sebuah kawasan dan berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan jelas. Jumlah rumahtangga tersebut tidak boleh terlalu banyak sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan menjadi lebih efektif;

(37)

(3) Keterikatan dalam kelompok; Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. Dalam konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal etnik, agama, persamaan alat penangkapan dan lain-lain;

(4) Manfaat harus lebih besar dari biaya; Setiap individu masyarakat di sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari partisipasi mereka dalam Co-Management akan lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan;

(5) Pengelolaan yang sederhana; Dalam model Co-Management, salah satu kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana dan tidak birokratis. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri;

(6) Legalisasi dari pengelolaan; Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari Pemerintah Daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi;

(7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; Kunci sukses yang lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses Co- Management ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak khususnya di dalam kalangan masyarakat lokal tersebut;

(8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang; Pemerintah Daerah sebagai bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model Co-Management ini perlu memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggung jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat; dan

(9) Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat; Sebuah lembaga koordinasi (badan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

(38)

berbasis pada masyarakat) yang berada di luar kelompok masyarakat yang terlibat dan beranggotakan wakil dari masyarakat lokal dan wakil pemerintah merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.

Tujuan utama Ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien, adil dan merata. Tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif.

2.5 Dasar Hukum

2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Aturan mengenai pengelolaan perikanan secara umum maupun pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal diatur dalam Bab IV, Pasal 6 ayat (1) Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat hasil yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan”. Dalam Pasal 6 ayat (2), ditambahkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaan perikanan”.

Kegiatan perikanan yang bertanggung jawab merupakan bentuk pengelolaan perikanan yang mengendepankan aspek lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam serta memberi ruang kepada hukum adat/kearifan lokal untuk mengelola sumberdaya alam secara tradisional sehingga dapat meminimalisir kerusakan sumberdaya perikanan dan ekologi di wilayah pesisir. Selain itu, membagun peran serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan serta perlindungan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir sesuai dengan amanat Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 2004.

(39)

2.5.2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Sedangkan dalam Pasal 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa HP-3 dapat diberikan kepada; (a) orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan berdasarkan hokum Indonesia; atau (c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan Pasal 21 angka 4 Undang-undang No 27 Tahun 2007 bahwa pemegang HP-3 mempunyai kewajiban untuk; (a) memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan; (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak adat/masyarakat lokal; (c) memperhatikan hak masyarakat untuk mendapat akses ke sempadan pantai dan muara sungai; dan (d) melakukan rehabilitasi terhadap sumberdaya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.

(40)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012. Tempat penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada dua tempat yaitu Desa Keffing dan Desa Kway, Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Lokasi penelitian dapat dilihat pada (gambar 3) berikut:

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Seram Timur

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode triangulasi dengan jenis penelitian studi kasus. Metode triangulasi adalah kombinasi tiga metode yaitu pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus 1998). Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga hasil yang diharapkan lebih valid. Sebagai satuan kasusnya adalah “Peran lembaga adat sasi dalam pengelolaan perikanan tangkap di

(41)

Kecamatan Seram timur, Kabupaten Seram Bagian Timur”. Tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat dan karakter dari suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan. Pada pendekatan ini, peneliti akan mengambarkan tentang sejarah sasi, sistem pengelolaan sasi dan sistem penguatan kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway

3.3 Metode Pengambilan Sampel

Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari berbagai elemen, yaitu tokoh adat dan masyarakat yang mampu berkomunikasi dengan baik serta dinas perikanan daerah setempat. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling dan snowball sampling. Metode purposive sampling yaitu metode pengambilan sampel yang belum diketahui jumlah responden, sehingga penentuan responden ditentukan secara subjektif oleh peneliti sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun dengan metode snowball sampling yaitu penentuan responden selanjutnya didapat dari hasil pemberitahuan responden yang telah diwawancara sebelumnya. Jumlah responden yang diambil di Desa Keffing terdiri dari 15 orang, lima orang berasal dari bagian kelembagaan sasi yaitu (kepala adat, soa Keffing dan soa Kasongat, kepala kewang dan marinyo) serta sepuluh orang lain dari masyarakat setempat.

Jumlah responden di Desa Kway yaitu 17 orang, tujuh orang berasal dari perwakilan kelembagaan sasi (kepal adat, soa Kway, soa Kellu, soa Kilbaroa dan soa Kilfura, Kepala kewang dan Marinyo) serta sepuluh orang lainnya berasal dari masyarakat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data utama dan data tambahan. Data utama terdiri dari data primer dan data sekunder, serta data tambahan berupa letak geografis lokasi penelitian, keadaan umum masyarakat dan kondisi perikanan di Kecamatan Seram Timur. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara responden yaitu tokoh adat, masyarakat nelayan melalui kuisioner yang telah disediakan.

Gambar

Gambar 1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat
Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Seram Timur
Gambar 4 Diagram Analisis SWOT (Rangkuti 2001).
Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS

(teks) yang sesuai dan memudahkan pembaca, Informasi produk yang lengkap dan jelas, Tersedia informasi mengenai perusahaan (Company Profile), Tersedia fasilitas search,

Batasan masalah dalam penelitian tugas akhir ini adalah (1) metode yang digunakan pada pengukuran tekanan darah dan denyut nadi ini adalah metode osilometri (2) sensor

Pada paparan radiasi ionisasi dengan dosis yang lebih besar, maka energi foton dari radiasi ionisasi (efek langsung) dan radikal bebas yang terbentuk (efek tidak langsung)

Berdasarkan hasil perhitungan n-gain menunjukkan bahwa ada peningkatan yang tinggi pada hasil belajar peserta didik pada ranah pengetahuannya setelah melaksanakan proses

Penggunaan gambar, warna dan teks merupakan hal yang sesuai dengan minat anak, anak lebih menyukai buku yang memuat gambar dan warna dibandingkan buku yang

- SIUJK Klasifikasi/Sub Klasifikasi : Sipil / Jasa Nasehat/Pra-Disain dan Disain Enjiniring Pekerjaan Teknik Sipil Transportasi atau Jasa Perencanaan Rekayasa (engineering) / Jasa

Sistem pengelolaan pengetahuan guru dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada di sekolah luar biasa tunarungu saat ini, dimana para guru nantinya