• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Chinese Values Pada Mahasiswa Etnis Tionghoa Yang Berada Pada Tahap Late Adolescence di Fakultas Psikologi Universitas "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Chinese Values Pada Mahasiswa Etnis Tionghoa Yang Berada Pada Tahap Late Adolescence di Fakultas Psikologi Universitas "X" Kota Bandung."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Chinese Values pada mahasiswa etnis Tionghoa Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung. Konsep Chinese Values dikembangkan oleh Michael Harris Bond (1987). Values tersebut bersifat universal, tetapi di dalamnya terkandung juga nilai-nilai tertentu yang unik karena memiliki unsur Confucian (Hofstede, 1991).

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan Chinese Value Survey yang dikembangkan oleh Bond (1987). Chinese Value Survey mengandung 40 values yang dirancang untuk digunakan terhadap orang-orang yang tinggal di daerah yang memiliki nilai-nilai kehidupan budaya Timur. Responden mengisi Chinese Value Survey yang menggunakan skala Likert. Responden dalam penelitian ini adalah 109 mahasiswa Fakultas Psikologi dari Universitas “X” di kota Bandung; seluruh responden berasal dari etnis Tionghoa. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah disproportionate stratified sampling. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dengan menggunakan skor mean dari setiap value dan juga dengan menggunakan factor analysis.

Setelah dilakukan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa Chinese Values yang dianggap penting oleh mahasiswa-mahasiswi etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas “X” dapat dikelompokkan menjadi 11 factor component yang saling berkaitan, kecuali value menata hubungan berdasarkan status dari yang tinggi hingga yang rendah dan memberikan perlakuan yang berbeda bagi orang yang berbeda posisinya yang tidak terkait dengan values manapun. Dari 40 Chinese Values, sebagian besar values masih dihayati sebagai values yang penting, namun terdapat dua values yang sudah tidak lagi dihayati sebagai values yang penting. Faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan penghayatan Chinese Values adalah jenis kelamin, agama (yang dianut oleh responden maupun oleh orangtua responden), frekuensi responden menjalankan tradisi Tionghoa, strategi akulturasi (yang digunakan oleh responden maupun orangtua responden), latar belakang pendidikan orangtua, etnis teman akrab dan juga etnis tetangga responden.

Peneliti mengajukan saran untuk melakukan penelitian terhadap kelompok sampel etnis Tionghoa yang lebih beragam. Hal ini ditujukan agar hasil penelitian yang ada dapat diintegrasikan sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih representatif mengenai Psikologi Tionghoa, khususnya dalam penghayatan Chinese Values. Selain itu, akan lebih baik jika diadakan penelitian kualitatif mengenai penghayatan Chinese Values pada etnis Tionghoa di Indonesia pada beberapa generasi. Selain itu, peneliti juga memberikan masukan kepada mahasiswa-mahasiswi etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas “X”, agar lebih menghayati Chinese Values yang mereka miliki, agar mereka dapat melakukan adjustment (penyesuaian diri) terhadap lingkungannya dengan lebih baik tanpa melupakan identitasnya sebagai etnis Tionghoa.

(2)

ABSTRACT

This study investigates Chinese Values held by Chinese-Indonesian College Student at the Faculty of Psychology, “X” University, Bandung. The concept of Chinese Values was developed by Michael Harris Bond (1987). Those values are universal, but they also include certain values that are uniquely Confucian (Hofstede, 1991).

This is a quantitative research using Chinese Value Survey developed by Bond (1987). Chinese Value Survey has 40 values and designed to be used with people living in areas where Eastern values are eminent. The Chinese Value Survey, constructed with Likert Scale, are filled by respondents. The respondents in this study are 109 college students from the Faculty of Psychology, “X” University, Bandung; all respondents are Chinese-Indonesian. The sampling method used in this study is disproportionate stratified sampling. Data analysis is conducted using descriptive statistics using the mean score and also using factor analysis.

Chinese Values that were considered as important by the college students of the Faculty of Psychology, “X” University can be grouped into 11 factor component that are related to each other, except the value repayment of both the good and the evil that another person has caused you. From 40 Chinese Values, most values are still considered as important, although there are two values that were considered as not important. Factors that are related to Chinese Values are gender, religion (both by the respondents and their parents), the frequency of which they conduct traditional Chinese ritual, acculturation strategy (both used by respondents and their parents), their parents academic background, the ethnic of their best friends, and the ethnic of their neighbor.

The findings of this study implied that there is a need to conduct a on a more diverse group of Chinese-Indonesian. The findings from those research can be integrated to give a more representative understanding about Chinese-Indonesian Psychology, especially in Chinese Values. Furthermore, it would be better if a qualitative study is conducted to receive an understanding about Chinese Values on several generations. Also, findings from this research can be used by Chinese-Indonesian college students on the Faculty of Psychology, “X” University to realize more of their values, so that they can easily adjust themselves to their surroundings without forgetting their identity as a Chinese-Indonesian.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN i

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vii

DAFTAR DIAGRAM xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 12

1.3 Maksud dan vujuan Penelitian 13

1.4 Kegunaan Penelitian 13

1.5 Kerangka Pikir 14

1.6 Asumsi 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Value 28

2.1.1 Definisi 28

2.1.2 Jumlah Dari Values 34

(4)

2.1.3 Terminal Values dan Instrumental Values 35

2.1.4 Fungsi Value dan Value Systems 37

2.1.5 Values dan Konsep-Konsep Lain 40

2.1.6 Anteseden dan Konsekuensi Value 43

2.1.7 Chinese Values 44

2.2. Cultural Transmission 46

2.2.1 Definisi 46

2.2.2 Proses Cultural Transmission 46

2.2.3 Acculturation 48

2.2.4 Akulturasi Kelompok dan Individual 48

2.2.5 Strategi Akulturasi 50

2.2.6 Enkulturasi dan Sosialisasi 53

2.3. Masyarakat Etnis vionghoa di Indonesia 54

2.3.1 vionghoa votok dan Peranakan 54

2.3.2 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Belanda 56 2.3.3 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Penjajahan Jepang 57 2.3.4 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Orde Lama 57 2.3.5 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Orde Baru 58 2.3.6 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Pemerintahan

Bacharuddin Jusuf Habibie 59

2.3.7 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Pemerintahan

Abdurrahman Wahid 60

(5)

2.3.8 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Pemerintahan

Megawati Soekarnoputri 60

2.3.9 Sejarah Etnis vionghoa Pada Masa Pemerintahan

Susilo Bambang Yudhoyono 60

2.4. Culture 61

2.4.1 Definisi 61

2.4.2 Upacara-upacara Adat vradisi Etnis vionghoa 63 2.4.3 Ajaran-ajaran Masyarakat Etnis vionghoa 65

2.4.3.1 Confucianisme 65

2.4.3.2 vaoisme 66

2.4.3.3 Buddhisme 67

2.5. Adolescence 67

2.5.1 Definisi dan Karakteristik Adolescence 67

2.5.2 Identity Pada Adolescence 68

2.5.3 Perkembangan Fisik Pada Adolescence 70

2.5.4 Perkembangan Kognitif Pada Adolescence 70 2.5.5 Perkembangan Sosioemosional Pada Adolescence 71

2.5.6 Values Pada Adolescence 71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian 73

3.2. Bagan Rancangan Penelitian 73

(6)

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 74

3.3.1. Variabel Penelitian 74

3.3.2. Definisi Konseptual dan Operasional 74

3.4. Alat Ukur 77

3.4.1. Kuesioner Chinese Values 77

3.4.2. Prosedur Pengisian dan Cara Penilaian 77

3.4.3. Data Pribadi dan Data Penunjang 77

3.4.3.1. Data Pribadi 77

3.4.3.2. Data Penunjang 78

3.4.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 78

3.5. Populasi dan veknik Penarikan Sampel 79

3.5.1. Populasi Sasaran 79

3.5.2. Karakteristik Populasi 79

3.5.3. veknik Penarikan Sampel 80

3.6. veknik Analisis Data 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Responden 84

4.2. Hasil Penelitian 87

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian 98

(7)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan 115

5.2. Saran 117

DAFTAR PUSTAKA 119

DAFTAR RUJUKAN 121

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR DIAGRAM

Skema 1.1. Kerangka Pikir 26

Skema 2.1. Cultural Transmission 46

Skema 3.1. Prosedur Penelitian 73

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden Tabel 4.2 Angkatan Responden Tabel 4.3 Agama Responden Tabel 4.4 Kota Asal Responden

Tabel 4.5 Kemampuan Responden Menggunakan Bahasa Mandarin Tabel 4.6 Nama Mandarin

Tabel 4.7 Rata-rata (Mean) dan Standar Deviasi Chinese Values

Tabel 4.8 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 1

Tabel 4.9 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 2

Tabel 4.10 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 3

Tabel 4.11 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 4

Tabel 4.12 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 5

Tabel 4.13 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 6

Tabel 4.14 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 7

(10)

Tabel 4.15 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 8

Tabel 4.16 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 9

Tabel 4.17 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 10

Tabel 4.18 Hasil exploratory factor analysis Chinese Values Survey (CVS) Factor Component 11

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur Chinese Values Survey Lampiran 2 Data Pribadi

Lampiran 3 Data Penunjang

Lampiran 4 Output Frekuensi Data Utama (CVS) Lampiran 5 Output Frekuensi Data Pribadi Lampiran 6 Output Frekuensi Data Penunjang

Lampiran 7 vabulasi Silang Chinese Values dengan Jenis Kelamin Lampiran 8 vabulasi Silang Chinese Values dengan Usia

Lampiran 9 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Lampiran 10 vabulasi Silang Chinese Values dengan Semester Lampiran 11 vabulasi Silang Chinese Values dengan Kota Asal Lampiran 12 vabulasi Silang Chinese Values dengan Nama Mandarin

Lampiran 13 vabulasi Silang Chinese Values dengan Kemampuan Berbahasa Mandarin

Lampiran 14 vabulasi Silang Chinese Values dengan Etnis veman Akrab Lampiran 15 vabulasi Silang Chinese Values dengan Etnis vetangga Lampiran 16 vabulasi Silang Chinese Values dengan Budaya Orangtua

Lampiran 17 vabulasi Silang Chinese Values dengan Frekuensi Menjalankan vradisi

Lampiran 18 vabulasi Silang Chinese Values dengan Budaya dalam Pergaulan

(12)

Lampiran 19 vabulasi Silang Chinese Values dengan Hubungan Agama dengan vradisi

Lampiran 20 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pergaulan Sebaya dan Nilai-nilai

Lampiran 21 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pergaulan Oblique dan Nilai-nilai

Lampiran 22 vabulasi Silang Chinese Values dengan Status Ekonomi dan Sosial Lampiran 23 vabulasi Silang Chinese Values dengan Keinginan pergi ke RRC Lampiran 24 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Ayah

Lampiran 25 vabulasi Silang Chinese Values dengan Generasi Ayah Lampiran 26 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pekerjaan Ayah

Lampiran 27 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pendidikan verakhir Ayah Lampiran 28 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pendidikan Dasar Ayah Lampiran 29 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Ibu

Lampiran 30 vabulasi Silang Chinese Values dengan Generasi Ibu Lampiran 31 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pekerjaan Ibu

Lampiran 32 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pendidikan verakhir Ibu Lampiran 33 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pendidikan Dasar Ibu Lampiran 34 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Sepupu

Lampiran 35 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Kakak/Adik Ayah Lampiran 36 vabulasi Silang Chinese Values dengan Agama Kakak/Adik Ibu Lampiran 37 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pekerjaan Sepupu

(13)

Lampiran 38 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pekerjaan Kakak/Adik Orangtua

Lampiran 39 vabulasi Silang Chinese Values dengan Kemampuan Sepupu Menggunakan Bahasa Mandarin

Lampiran 40 vabulasi Silang Chinese Values dengan Kemampuan Kakak/Adik Orangtua Menggunakan Bahasa Mandarin

Lampiran 41 vabulasi Silang Chinese Values dengan Penjalanan vradisi Orangtua

Lampiran 42 vabulasi Silang Chinese Values dengan Penjalanan vradisi Sepupu Lampiran 43 vabulasi Silang Chinese Values dengan Penjalanan vradisi Kakak/

Adik Orangtua

Lampiran 44 vabulasi Silang Chinese Values dengan Pergaulan Orangtua Lampiran 45 Hasil perhitungan scree plot

Lampiran 46 Hasil Exploratory Factor Analysis Chinese Values pada Mahasiswa Etnis vionghoa Fakultas Psikologi Universitas “X”

(14)

BABBI PENDAHULUAN

1.1. LatarBBelakangBMasalah

Indonesia adalah negara besar yang memiliki berbagai macam etnis sebagai warga negaranya. Dari beragam etnis yang menempati negara Indonesia, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia cukup besar, bahkan sebelum negara Republik Indonesia dideklarasikan.

Peran etnis Tionghoa di negara Indonesia dapat terlihat dalam berbagai bidang, misalnya bidang agama, kebudayaan, ekonomi, dan politik. Dalam bidang agama, terdapat Laksamana Cheng Ho (Zhèng Hé), salah satu tokoh muslim Tionghoa yang mengembangkan komunitas Tionghoa yang memeluk agama Islam di daerah Malaka. Beberapa tokoh Muslim lain dari kelompok Wali Sanga adalah keturunan etnis Tionghoa, misalnya Sunan Ampel (Bong Swi Ho), Sunan Bonang (Bong Ang), dan Sunan Kalijaga (Gan Si Cang). Almarhum Mantan Presiden Republik Indonesia yang juga merupakan Kyai NU dan pendiri PKB, Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa dalam dirinya juga terdapat darah etnis Tionghoa, begitu pula dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang nenek moyangnya telah berakulturasi dengan pendatang dari negeri Tiongkok (Wibowo & Lan, 2010).

Dalam bidang kebudayaan, etnis Tionghoa telah memperkaya keberagaman budaya yang dimiliki oleh negara Indonesia dengan kebudayaannya

1

(15)

2

yang unik. Beberapa ahli kebudayaan juga mengatakan bahwa etnis Tionghoa memberikan banyak pengaruh terhadap beberapa kebudayaan lokal di Indonesia. Meskipun kebudayaan etnis Tionghoa sempat dilarang untuk diekspresikan secara bebas oleh pemerintahan Orde Baru, dalam pemerintahan pasca-reformasi saat ini mulai kembali bermunculan banyak buku yang membahas tentang kebudayaan etnis Tionghoa, mulai dari kisah-kisah sastra klasik seperti Shuǐhǔ Zhuàn (Batas Air, yang pernah diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer) dan Sānguó Yǎnyì (Kisah Tiga Negara, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama), hingga sastra kontemporer karya penulis Remy Sylado, yang telah menulis buku Oktober 1740, Siau Ling, Ca-Bau-Kan, dan Sam Po Kong – Perjalanan Pertama. Makin

lama juga semakin banyak buku-buku yang membahas tentang cara hidup etnis Tionghoa, kebudayaan khas etnis Tionghoa, hingga Fēng Shuǐ (Setiadi, dalam Wibowo & Lan, 2010).

Dalam bidang ekonomi dan politik, etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat besar di negara Indonesia. Sebelum pemerintahan kolonial Belanda datang ke Indonesia, para pedagang dari negeri Tiongkok banyak singgah di Indonesia sehingga turut membantu pertumbuhan ekonomi kerajaan yang terdapat di Indonesia. Pada pemerintahan Orde Lama, Presiden Sukarno memiliki menteri yang berasal dari etnis Tionghoa, yaitu Tan Kim Liong (Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan) dan Oei Tjoe Tat (Menteri Negara). Pemerintahan Presiden Megawati juga memiliki menteri yang berasal dari etnis Tionghoa, yaitu Kwik Kian Gie yang pernah menjabat sebagai Menko Ekonomi dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas. Pada

(16)

3

pemerintahan SBY juga terdapat menteri yang berasal dari etnis Tionghoa, yaitu Mari Elka Pangestu yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Kurnia, 2008).

Pada masa awal masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia, terdapat dua pembagian kelompok komunitas. Kelompok pertama disebut sebagai Singkeh / Totok (dari bahasa Jawa yang berarti “murni”), dan kelompok kedua disebut

sebagai Peranakan (akar katanya adalah anak). Istilah Totok diberikan kepada etnis Tionghoa yang dilahirkan di luar Indonesia, merupakan imigran dari luar, dan hanya sedikit melakukan akulturasi dengan Indonesia, sedangkan Peranakan adalah istilah yang diberikan kepada local-born (yang dilahirkan di Indonesia) dan melakukan akulturasi dengan Indonesia. Namun, pergeseran waktu dan kebijakan politis telah membuat batas antara Totok dan Peranakan menjadi semakin kabur.

Karena alasan politis, sensus penduduk di Indonesia sebelumnya tidak mengikutsertakan identitas etnis seseorang. Hal ini dilakukan agar setiap etnis yang ada di Indonesia tidak saling membandingkan jumlah mereka. Pada sensus yang dilakukan tahun 2000, identitas etnis dicantumkan dalam pencatatan penduduk. Namun, karena jarak waktu yang masih berdekatan dengan tragedi Mei 1998, banyak warga negara etnis Tionghoa yang berada di luar negeri atau menyembunyikan identitas etnisnya. (Mely G. Tan, 2008)

Skinner (1963), dikutip oleh Mely G. Tan (2008), memperkirakan bahwa populasi etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1960-an adalah sekitar 2,3-2,6 juta orang (sekitar 2,4-2,6% dari populasi keseluruhan). Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian lain memperkirakan bahwa jumlah warga negara etnis

(17)

4

Tionghoa di Indonesia pada tahun 2003 adalah sekitar 3,6 juta jiwa (Suryadinata, 2003).

Ong Hok Ham, seorang sejarawan Indonesia keturunan Tionghoa, mengatakan bahwa sebenarnya orang Tionghoa dan pribumi Indonesia sudah terasimilasi dengan baik sebelum munculnya pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat sejak abad ke-19. Tetapi kemudian kebijakan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan hukum Belanda telah dengan sengaja menciptakan perbedaan antara kedua komunitas tersebut. (Ong Hok Ham, 2005)

. Sebagai etnis yang mewarisi budaya dari negeri Tiongkok, salah satu budaya tertua di dunia, budaya etnis Tionghoa didasari oleh values (nilai-nilai) yang disebut juga sebagai Chinese Values. Pada saat para imigran Tionghoa datang ke Indonesia dari negeri Tiongkok, mereka turut membawa Chinese Values dalam diri mereka, dan mewariskannya kepada keturunan mereka.

Chinese Values memiliki keunikan tersendiri dibandingkan values yang

lain, karena salah satu dimensi Chinese Values berasal dari Confucian Ethos yang merupakan nilai fundamental dalam masyarakat Tiongkok. Beberapa contoh Chinese Values tersebut adalah menghormati tradisi, tidak kompetitif, menjaga

keperawanan, menjaga martabat/menimbulkan kesan baik. (Bond, dalam Matthews, 2000)

Pada masa pemerintahan Orde Lama, terdapat dua Peraturan Pemerintah yang diberlakukan terhadap etnis Tionghoa yang sangat jelas memberikan dampak pada politik ekonomi Indonesia. Salah satu Peraturan Pemerintah tersebut adalah Sistem Benteng (diperkenalkan pada permulaan 1950-an) yang melarang

(18)

5

orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan bisnis impor dan ekspor. Hal ini menimbulkan kebijakan sistem ekonomi Ali-Baba, yang mewajibkan pedagang etnis Tionghoa (“Baba”) bekerjasama dengan orang-orang lokal (“Ali”) dalam suatu perusahaan, agar dapat bersama-sama memajukan ekonomi nasional. Peraturan Pemerintah yang kedua adalah PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan. Penerapan Peraturan Pemerintah ini menyebabkan terjadinya kerusuhan rasial dan membuat orang-orang Tionghoa dari pedalaman negeri ini melakukan eksodus besar-besaran ke negeri Tiongkok serta membuat kondisi

ekonomi Indonesia semakin kacau. Pada saat itu, penghayatan value 爱国 (àiguó

— cinta pada tanah air) yang dimiliki oleh etnis Tionghoa lebih diarahkan kepada negeri Tiongkok dan bukan negara Indonesia.

Pada tahun 1966, Jenderal Soeharto menjadi penguasa baru Indonesia dan terciptalah pemerintahan Orde Baru di negeri ini selama 32 tahun. Politik Orde Baru terhadap etnis Tionghoa mengandung dua dimensi, yaitu budaya dan ekonomi. Dalam bidang budaya, ia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi dan media Tionghoa. Dalam bidang ekonomi, penguasa baru ini memberikan keleluasaan yang besar kepada etnis Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis. Meskipun di bidang ekonomi etnis Tionghoa dapat menikmati kebebasan, di bidang politik mereka didiskriminasikan. Akibat

(19)

6

yang tidak direncanakan dari politik ini ialah meningkatnya kekuatan ekonomi etnis Tionghoa. Pada saat yang sama secara politik mereka menjadi sangat rentan terhadap serangan, keamanan mereka berada di tangan penguasa pribumi (Suryadinata, 2008). Kebijakan politik yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru memberikan pengaruh terhadap penghayatan values yang dimiliki oleh etnis

Tionghoa, misalnya dalam value 学 识 (xuéshí — memperoleh tingkat

pendidikan), 适 应 环 境 (shìyìng huánjìng — menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan situasi), dan 财富 (cáifù — memiliki kekayaan).

Pada dasarnya, pemerintahan Orde Baru banyak mengekang dan menekan etnis Tionghoa dalam mengekspresikan kebudayaannya. Padahal, dalam acara “Pameran Warisan Budaya Tionghoa Peranakan” yang dilakukan oleh Komunitas Lintas Budaya, Siswono Yudo Husono, seorang pemerhati masalah kebudayaan, mengatakan bahwa kebudayaan Tionghoa yang datang ke Indonesia telah memperkaya kebudayaan nasional Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya kebudayaan Tionghoa tetap dijaga kelestariannya (Kompas, 2009).

Mely G. Tan, sosiolog yang ahli dalam sinologi, membenarkan pendapat bahwa etnis Tionghoa di mana pun mereka berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati negeri leluhur. Tak diragukan lagi, Tiongkok adalah sebuah bangsa dengan kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun-temurun oleh rakyatnya selama berabad-abad

(20)

7

(http://id.inti.or.id). Hal tersebut merupakan gambaran dari value 保守 (bǎoshǒu

— menjaga teguh budaya tradisional etnis Tionghoa) dan 孝 (xiàoberbakti

kepada orangtua / leluhur) yang dimiliki oleh etnis Tionghoa.

Setelah terjadinya kerusuhan Mei 1998, Presiden Soeharto turun dari jabatannya dan digantikan oleh Presiden Habibie. Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang mencabut penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi. Dalam pemerintahannya yang singkat, Presiden Abdurrahman Wahid

mengeluarkan Keppres No. 6/2000 yang isinya merupakan pencabutan Inpres No.14/1967 mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sejak berlakunya Keppres tersebut, etnis keturunan Tionghoa di Indonesia dapat merayakan adat istiadatnya secara terbuka. Keputusan itu telah memulihkan hak asasi orang Tionghoa Indonesia untuk menjalankan tradisi, adat istiadat, dan budayanya. Pada tahun 2003, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek kemudian dinyatakan sebagai hari libur nasional. Kebijakan-kebijakan politik tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap penghayatan value yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia, terutama value yang

berkaitan dengan kebudayaan, seperti value 礼仪 (lǐyí — melakukan ritual), 尊敬

复统 (zūnjìng fùtǒng — menghormati tradisi etnis Tionghoa), dan 文化优越感

(wénhuà yōuyuè gǎn — merasa bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul).

Pada tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden. Sekarang, etnis Tionghoa juga dianggap sebagai bagian dari bangsa

(21)

8

Indonesia asli, karena disahkannya Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada tanggal 1 Agustus 2006. Dalam pasal tersebut dicantumkan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli dan

orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga

negara.” (http://www.indonesia.go.id). Pengakuan dari negara yang sifatnya

resmi tersebut dapat memberikan perubahan dalam penghayatan value 爱 国

(àiguó — cinta pada tanah air) yang dimiliki oleh warga etnis Tionghoa di Indonesia.

Setiap lingkungan dan situasi budaya yang berbeda akan memiliki perbedaan dalam menyatakan rentang usia masa remaja. Namun, secara umum, masa remaja dimulai kira-kira pada usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Perkembangan biologis, kognitif, dan sosioemosional pada tahap remaja biasanya berkisar antara perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak, dan kemandirian. Menurut John W. Santrock, tahap perkembangan late adolescence (remaja akhir) biasanya terjadi pada bagian akhir dari dekade kedua kehidupan seseorang. Pada tahap ini, eksplorasi identitas akan lebih sering diungkapkan dibandingkan dengan tahap early adolescence (remaja awal), yang biasanya dialami seseorang pada saat bersekolah di SMP atau SMA. Individu pada tahap perkembangan adolescence memiliki seperangkat values dalam diri mereka yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku mereka. Values adalah beliefs dan attitudes mengenai bagaimana hal-hal seharusnya

terjadi. (Santrock, 2007)

(22)

9

Fakultas Psikologi Universitas “X”, yang didirikan pada tahun 1965, adalah jurusan program studi yang memiliki mahasiswa yang sesuai dengan kriteria penelitian ini, yaitu mahasiswa etnis Tionghoa yang berusia 18 hingga 22 tahun. Fakultas Psikologi Universitas “X” juga menerima mahasiswa dari berbagai golongan dan memiliki dosen pengajar yang terdiri dari beragam suku, sehingga mahasiswa etnis Tionghoa akan mengalami banyak kontak dengan berbagai budaya yang berlainan. Hal ini dapat mempengaruhi Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa, karena kontak dengan budaya luar akan mengakibatkan terjadinya akulturasi.

Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Maret tahun 2010 terhadap 15 orang mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung, diperoleh hasil 80% responden (12 orang) merasa lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Tionghoa dibandingkan sebagai orang Indonesia. Selain itu, 13,33% responden lainnya (2 orang) mengatakan bahwa mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Indonesia dan 6,67% responden (1 orang) menjawab bahwa dirinya adalah “orang Tionghoa yang sedang tinggal di Indonesia”. Dalam survei ini, 60% responden (9 orang)

beragama Kristen, 20% responden (3 orang) beragama Katolik, 13,33% responden (2 orang) beragama Buddha, dan 6,67% responden (1 orang) adalah agnostik.

Dari seluruh responden, hanya 33,3% responden (5 orang) yang mengetahui nama Mandarin yang diberikan oleh orangtua mereka, dan hanya 13,33% responden (2 orang) yang masih tahu cara menulis nama mereka dalam bahasa Mandarin. Meskipun demikian, 80% responden (12 orang) masih

(23)

10

mengetahui marga mereka, sedangkan 20% responden sisanya (3 orang) bahkan tidak mengetahui nama marga mereka sama sekali.

Sebanyak 40% responden (6 orang) mengatakan bahwa mereka pernah mengikuti les bahasa Mandarin, baik di tempat kursus bahasa maupun les privat. Lama para responden mengikuti les mandarin tersebut berkisar antara ½ tahun hingga 3 tahun, namun hanya 6,67% responden (1 orang) yang merasa mampu menggunakan bahasa Mandarin, padahal 93% responden (14 orang) berpendapat bahwa penguasaan bahasa Mandarin saat ini adalah suatu hal yang penting.

Dalam hal menjalankan tradisi Tionghoa, 26,66% responden (4 orang) mengatakan bahwa mereka lebih sering melakukan upacara adat Tionghoa daripada upacara agama Kristen, sedangkan sisanya (11 orang) lebih sering melakukan upacara agamanya sendiri (Kristen/Katolik) daripada melakukan upacara adat Tionghoa. Meskipun demikian, 73,33% responden (11 orang) mengatakan bahwa mereka masih melakukan tradisi Tionghoa di keluarganya. Terdapat 13,33% responden (2 orang) yang mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak melakukan tradisi Tionghoa di keluarganya, dan 13,33% sisanya (2 orang) menjawab ragu-ragu karena mereka masih merayakan Imlek meskipun sudah tidak melakukan tradisi keluarga yang lainnya. Hal ini menggambarkan

bahwa value lǐyí (礼仪 — melakukan upacara adat, upacara keagamaan, dan ritual sosial) masih dianggap penting oleh para responden, meskipun derajat prioritasnya berlainan.

Dalam hal sikap terhadap tradisi Tionghoa, 80% responden (12 orang) mengatakan bahwa menjalankan tradisi Tionghoa masih penting untuk dilakukan,

(24)

11

sedangkan 20% responden (3 orang) mengatakan bahwa menjalankan tradisi Tionghoa sudah tidak penting lagi untuk dilakukan. Salah satu responden mengatakan bahwa menurut pendapatnya, tradisi Tionghoa sudah tidak penting lagi untuk dilakukan karena dia memeluk agama Kristen Protestan. Hal ini berarti

bahwa masih banyak responden yang menganggap value Zūnjìng Fùtǒng (尊敬复

统 — menghormati tradisi etnis pribadi) sebagai value yang penting, meskipun

ada yang berpendapat sebaliknya.

Ketika ditanyakan mengenai contoh nilai-nilai bangsa Tionghoa yang diajarkan oleh orangtua kepada responden, 46,66% responden (7 orang) mengatakan tidak tahu atau tidak ada, 20% responden (3 orang) memberikan contoh yang sesuai dengan Chinese Values (misalnya memanggil saudara yang lebih tua dengan sebutan yang benar, sesuai dengan posisinya dalam keluarga besar), dan 33% responden (5 orang) malah memberikan contoh yang berkaitan

dengan feng shui (風水) atau tabu yang biasa diajarkan oleh etnis Tionghoa.

Dari penjabaran data survei di atas, dapat dilihat bahwa Chinese Values yang dimiliki oleh 15 mahasiswa etnis Tionghoa tersebut tidak lagi menjadi prioritas yang penting bagi mereka. Terdapat responden yang sudah jarang melakukan tradisi adat Tionghoa dan lebih sering melakukan upacara agamanya sendiri, bahkan ada yang sudah tidak melakukan tradisi Tionghoa sama sekali. Selain itu, hampir seluruh responden tidak mampu menggunakan bahasa Mandarin dalam berkomunikasi, meskipun sebagian besar masih menganggap penguasaan bahasa Mandarin merupakan hal yang penting.

(25)

12

Nama, bahasa, tradisi, dan nilai-nilai merupakan bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis. Alfonso Indra Wijaya, pemilik sekolah Everyday Mandarin di Jakarta, mengatakan bahwa generasi muda etnis Tionghoa

saat ini kurang memiliki minat terhadap budayanya sendiri (Kompas, 2009). Hal

ini menggambarkan bahwa value 文 化 优 越 感 (wénhuà yōuyuè gǎn — merasa

bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul) sudah tidak lagi dihayati sebagai value yang penting oleh generasi muda etnis Tionghoa di Indonesia. Kurangnya jumlah generasi muda yang memiliki minat terhadap kesenian dan budaya Tionghoa memunculkan ketakutan akan terputusnya tongkat estafet budaya tersebut. Padahal, jika kebudayaan Tionghoa terus dilestarikan oleh generasi mudanya, maka budaya Tionghoa dapat kembali mewarnai khasanah budaya bangsa yang sangat beragam (Kompas, 2009).

Liem Thian Joe, penulis buku Riwayat Semarang (2004), mengatakan bahwa perayaan Cap Go Meh di Betawi dulunya merupakan arena mencari jodoh di antara orang muda. Namun, hal semacam itu sudah tidak lagi ada pada pertengahan abad ke-20. Kini, awal abad ke-21, gaya perayaan Imlek juga menjadi lain, lebih terasa sepi, seakan kehilangan ruhnya. Pasar Semawis di Semarang yang sudah digelar beberapa kali, mengambil ide dari pasar malam Semarang tempo dulu. Panitia berusaha mati-matian menghidupkan kembali suasana Imlek. Tapi, usaha itu tetap saja belum mampu memulihkan ritual Imlek yang terasa lebih kuat mempengaruhi jiwa sebagaimana terjadi sekitar lima dekade lewat (Suara Merdeka, 2007). Suasana Imlek yang sekarang dirasakan lebih sepi ini mungkin menggambarkan adanya suatu perubahan pandangan

(26)

13

mengenai perayaan tradisional etnis Tionghoa pada generasi muda, sehingga mungkin memberikan pengaruh terhadap penghayatan value yang dimiliki oleh

generasi muda etnis Tionghoa, misalnya value 礼仪 (lǐyí — melakukan ritual) dan

尊敬复统 (zūnjìng fùtǒng — menghormati tradisi etnis Tionghoa).

Mahasiswa etnis Tionghoa yang berada pada tahap late adolescence sempat merasakan kebijakan politik pemerintahan Orde Baru pada masa kanak-kanaknya dan menekan pengekspresian Chinese Values, namun kebijakan politik pemerintah saat ini memberikan kesempatan bagi etnis Tionghoa untuk berekspresi secara terbuka. Hal tersebut dapat mempengaruhi derajat prioritas Chinese Values yang mereka miliki. Selain Chinese Values, mahasiswa juga

memiliki values yang lain di dalam dirinya karena mereka sudah melakukan kontak budaya dengan kebudayaan lain.

Penelitian tentang Chinese Values pernah dilakukan sebelumnya oleh Shelvy (2005), Ardi Agung Widjaja (2006), Feiliana (2006), dan Linda (2007) untuk dijadikan sebagai Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Dari hasil penelitian yang mereka lakukan, diperoleh saran untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel yang homogen agar dapat memperoleh gambaran Chinese Values yang lebih spesifik dalam suatu kelompok. Berdasarkan dari pemaparan mengenai riwayat etnis Tionghoa di Indonesia, kondisi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia, permasalahan yang timbul pada mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas ”X”, dan saran dari para peneliti sebelumnya, maka peneliti memutuskan untuk melakukan

(27)

14

penelitian mengenai gambaran Chinese Values pada mahasiswa Etnis Tionghoa berusia 18-22 tahun di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung.

1.2. IdentifikasiBMasalah

Masalah spesifik yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah gambaran Chinese Values pada mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence (18-22 tahun) di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung.

1.3. MaksudBdanBTujuanBPenelitian 1.3.1. MaksudBPenelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada

tahap Late Adolescence (18-22 tahun) di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung.

1.3.2. TujuanBPenelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan penjabaran yang lebih rinci mengenai Chinese Values bagi mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence (18-22 tahun) di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung, yaitu dengan cara melihat keterkaitan antara data utama (Chinese Values) dengan data penunjang dan melakukan exploratory factor analysis untuk

mengetahui hal yang melatarbelakangi Chinese Values tersebut.

(28)

15

1.4. KegunaanBPenelitian

1.4.1. KegunaanBTeoretis

• Memberikan informasi kepada peneliti lain yang juga memiliki keinginan

untuk meneliti Chinese Values terhadap kelompok populasi yang berbeda maupun serupa, sehingga memungkinkan bagi peneliti lain untuk mengembangkan Indigenous Psychology bagi etnis Tionghoa di Indonesia. • Memberikan sumbangan terhadap bidang ilmu Psikologi (khususnya

bidang Psikologi Lintas Budaya) mengenai gambaran Chinese Values pada mahasiswa etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence. 1.4.2. KegunaanBPraktis

• Memberikan informasi kepada warga negara etnis Tionghoa di Bandung

mengenai Chinese Values yang dimiliki oleh generasi muda, sehingga dapat menyadari pergeseran nilai yang disebabkan oleh akulturasi dan dapat melestarikan kebudayaan Tionghoa sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia.

• Memberikan informasi kepada generasi muda etnis Tionghoa di Fakultas

Psikologi Universitas “X” mengenai gambaran Chinese Values yang mereka miliki, agar mereka dapat melakukan adjustment (penyesuaian diri) terhadap lingkungannya dengan lebih baik.

• Memberikan informasi kepada dosen wali mahasiswa Fakultas Psikologi

Universitas “X” mengenai gambaran Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa, sehingga dapat memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai values yang dimiliki mahasiswa etnis Tionghoa

(29)

16

dan dapat melakukan bimbingan atau konseling dengan mahasiswa tersebut dengan lebih baik.

1.5. KerangkaBPikir

Value didefinisikan sebagai suatu belief mengenai tujuan yang diinginkan

yang mengarahkan perilaku spesifik (Schwartz & Bilsky, 1990; Schwartz, 1992), sehingga dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap proses kognitif seseorang (Schwartz, 1992). Secara spesifik, Schwartz dan Bilsky menemukan lima ciri khas value yang biasa ditemukan dalam penelitian. Value merupakan (1) konsep atau belief; (2) merupakan suatu kondisi akhir yang diinginkan (desireable end state); (3) value mengarahkan situasi spesifik dan (4) memandu

evaluasi terhadap orang-orang, perilaku, dan kejadian, serta (5) value tersusun dalam derajat kepentingan yang berbeda-beda (relatif). (Schwartz & Bilsky, 1990, dalam Berry, 1997)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bond dan sekelompok peneliti yang dikenal secara kolektif sebagai Chinese Culture Connection, ditemukan hasil bahwa persepsi value yang dimiliki oleh orang-orang dari etnis Tionghoa sangatlah berbeda dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan terhadap etnis lain. Ternyata, etnis Tionghoa memiliki suatu pemahaman values yang berbeda. Meskipun kebanyakan values yang dianut oleh etnis Tionghoa bersifat universal, tetapi terdapat juga values unik yang bernuansa Confucian (Hofstede, 1991).

Chinese Values, yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, terdiri dari 40 values,

yaitu sebagai berikut (dalam bahasa Indonesia): berbakti kepada orangtua (patuh

(30)

17

pada orangtua, menghormati orangtua, menghormati dan menghargai leluhur

yang telah meninggal, menafkahi dan menghidupi orangtua); rajin bekerja

(bekerja keras); bertoleransi terhadap orang lain; hidup harmonis, dapat

menyesuaikan diri dengan orang lain; rendah hati, tidak sombong; setia kepada

atasan; melakukan upacara adat, upacara keagamaan, dan ritual sosial;

melakukan timbal balik dan membalas budi jika mendapatkan

pertolongan/hadiah dari orang lain; kebaikan hati, memaafkan orang lain,

mengasihi orang lain; pengetahuan, memperoleh tingkat pendidikan yang tinggi;

solider dengan orang lain, kompak; mengambil jalan tengah, tidak berlebihan;

memiliki pemikiran sendiri dan mengembangkan pemikiran tersebut; menata

hubungan berdasarkan status dari yang tinggi hingga yang rendah dan

memberikan perlakuan yang berbeda bagi orang yang berbeda posisinya;

memiliki rasa kebenaran; kebaikan hati yang tetap dibarengi dengan ketegasan,

otoritas, dan wibawa; tidak mementingkan kompetisi/persaingan dengan orang

lain; stabilitas dalam hidup dan memiliki ketenangan dalam bersikap dan

berperilaku; jujur, tidak korupsi; cinta pada tanah air; ketulusan; menjaga diri

agar tetap murni dan luhur; hemat; kegigihan (keuletan); kesabaran; membalas

budi jika mendapat kebaikan dan membalas dendam jika mendapat kejahatan;

merasa bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul; menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan situasi; kehati-hatian; dapat dipercaya oleh orang lain; tahu

malu; memiliki sopan santun/tata krama; puas dengan keadaan dan posisi yang

dimiliki sekarang; konservatif, menjaga teguh budaya tradisional etnis pribadi;

menimbulkan kesan baik, menjaga muka, jaga image / gengsi; memiliki sahabat

(31)

18

yang dekat dan akrab; menjaga keperawanan dan kesucian (pada wanita); tidak

memiliki banyak keinginan, nafsu, dan kehendak; menghormati tradisi etnis

pribadi; dan memiliki kekayaan. (Bond, 1987).

Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa berasal dari

transmisi budaya yang dilakukan melalui orangtua (vertical transmission), orang dewasa lain (oblique transmission), dan juga teman sebaya (horizontal transmission). Transmisi tersebut dapat berasal dari budaya sendiri (enkulturasi)

dan juga berasal dari budaya lain (akulturasi).

Enkulturasi dikatakan sebagai suatu enfolding terhadap individu oleh budaya mereka sendiri yang mendorong mereka untuk memiliki perilaku yang sesuai dengan kebiasaan kelompok budaya. Lewat proses belajar, individu memperoleh hal-hal yang dianggap penting oleh budaya setempat. Dalam proses ini, tidak selalu terjadi pemaksaan atau pengajaran; biasanya terjadi proses pembelajaran tanpa pengajaran yang spesifik. Proses enkulturasi melibatkan orangtua, orang dewasa lain, dan teman sebaya dalam suatu jaringan pengaruh (vertical, oblique, atau horizontal) yang dapat membatasi, membentuk, dan mengarahkan individu yang sedang berkembang. Jika enkulturasi berhasil, maka hasil akhirnya adalah individu yang kompeten dalam budaya tersebut, termasuk dalam bahasanya, ritualnya, values-nya (nilai-nilai), dan seterusnya. Jadi, jika mahasiswa etnis Tionghoa mengalami enkulturasi yang baik dari budayanya sendiri, baik dari orangtuanya maupun dari orang lain yang berasal dari etnis yang sama, maka Chinese Values dari orang-orang tersebut akan ditransmisikan dan diinternalisasikan oleh mahasiswa tersebut.

(32)

19

Sosialisasi dilakukan melalui instruksi dan pelatihan yang lebih spesifik, sehingga pada akhirnya juga akan menimbulkan perilaku yang sesuai dengan budaya setempat. Konsep sosialisasi merujuk pada proses pembentukan individu yang disengaja dan pembentukan ini dilakukan melalui proses pengajaran. Ketika transmisi budaya melibatkan pengajaran dari dalam kelompok, maka yang sedang terjadi adalah proses sosialisasi.

Hasil akhir dari enkulturasi dan sosialisasi adalah perkembangan perilaku yang serupa dalam budaya tersebut dan perbedaan perilaku dengan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, enkulturasi dan sosialisasi merupakan mekanisme budaya yang krusial karena dapat menghasilkan distribusi perbedaan dan kesamaan perilaku. (Berry, 2002)

Akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika sekelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda mengalami kontak langsung secara terus-menerus, yang menghasilkan perubahan dalam pola budaya asli pada salah satu atau kedua kelompok (Herskovits, 1938). Resosialisasi terjadi ketika proses perubahan perilaku individu melalui proses pengajaran datang dari luar budaya individu itu sendiri. Mahasiswa etnis Tionghoa mengalami akulturasi melalui interaksinya dengan orang-orang yang berasal dari budaya lain selain budaya etnis Tionghoa, sehingga dapat mempengaruhi struktur value system dan derajat kepentingan Chinese Values yang dimilikinya.

Dalam vertical transmission (transmisi vertikal), orangtua mentransmisikan nilai budaya, kemampuan, belief, dan motif kepada keturunan mereka. Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa Fakultas

(33)

20

Psikologi Universitas “X” dipengaruhi oleh hal-hal yang diajarkan oleh orangtua mereka sejak dari lahir hingga tahap usia late adolescence. Mahasiswa etnis Tionghoa belajar untuk menginternalisasi nilai tertentu melalui interaksinya dengan orangtuanya. Contohnya, orangtua mahasiswa etnis Tionghoa yang mengajarkan pada anaknya bahwa menjalankan tradisi tradisional adalah hal yang penting akan membuat mahasiswa etnis Tionghoa tersebut menginternalisasikan pentingnya value menjalankan, menghargai, dan mempertahankan tradisi tradisional etnis Tionghoa dan akan memiliki derajat kepentingan yang tinggi untuk values tersebut.

Dalam horizontal transmission (transmisi horizontal), individu belajar dari interaksi sehari-hari yang dilakukannya dengan teman sebaya dalam masa perkembangannya dari lahir hingga dewasa. Mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas “X” mengalami horizontal transmission lewat interaksi sehari-harinya dengan sesama mahasiswa lain, baik yang berasal dari etnis Tionghoa maupun dari etnis lainnya. Teman sebaya dari mahasiswa etnis Tionghoa, baik dari etnis yang sama maupun berbeda, memiliki values dalam diri mereka yang ditransmisikan dari orangtua mereka masing-masing. Mahasiswa etnis Tionghoa yang lebih banyak berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa yang memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang tinggi akan mengalami transmisi budaya sehingga mahasiswa tersebut juga akan ikut memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang tinggi. Sebaliknya, jika mahasiswa etnis Tionghoa banyak berinteraksi dengan mahasiswa etnis Tionghoa atau etnis lain yang memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang rendah, maka mahasiswa

(34)

21

tersebut akan mengalami transmisi budaya sehingga mahasiswa itu ikut memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang rendah.

Dalam oblique transmission (transmisi diagonal), terjadi proses belajar oleh individu dari orang dewasa lain dan institusi, baik yang berasal dari budaya sendiri maupun dari budaya lain. Pada mahasiswa etnis Tionghoa Fakultas Psikologi Universitas “X”, transmisi diagonal dalam bentuk enkulturasi dapat terjadi lewat interaksinya dengan figur dewasa lain seperti guru, dosen, pegawai universitas, tetangga, kerabat dan keluarga seperti kakek, nenek, paman, bibi, atau orang dewasa lainnya yang merupakan etnis Tionghoa. Transmisi diagonal dalam bentuk akulturasi pada mahasiswa etnis Tionghoa Fakultas Psikologi Universitas “X” dapat terjadi lewat interaksinya dengan figur dewasa lain seperti guru, dosen, pegawai universitas, tetangga dan orang dewasa lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengan budaya etnis Tionghoa. Jika mahasiswa etnis Tionghoa banyak berinteraksi dengan orang dewasa lain yang memiliki derajat kepentingan Chinese Value yang tinggi, maka melalui proses transmisi budaya akan terbentuk

derajat kepentingan Chinese Value yang tinggi pada diri mahasiswa tersebut. Sebaliknya, jika mahasiswa etnis Tionghoa lebih banyak berinteraksi dengan orang dewasa lain yang memiliki derajat kepentingan Chinese Value yang rendah, maka melalui proses transmisi budaya akan terbentuk derajat kepentingan Chinese Value yang rendah.

Pada masa late adolescence, yaitu sekitar usia 18 hingga 22 tahun, mahasiswa etnis Tionghoa telah memiliki seperangkat values yang berada dalam dirinya yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan mereka

(35)

22

(Santrock, 2007). Karena mahasiswa etnis Tionghoa mengalami enkulturasi dari budaya Tionghoa, mereka akan memiliki Chinese Values dalam diri mereka. Di saat yang bersamaan, mahasiswa etnis Tionghoa juga mengalami akulturasi karena telah melakukan kontak dengan kebudayaan lain yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan mereka.

Etnis Tionghoa adalah salah satu dari banyak etnis yang ada di negara Indonesia. Pada awalnya, terdapat dua pembagian jenis masyarakat etnis Tionghoa, yaitu Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan. Istilah Tionghoa Totok diberikan kepada etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia, namun kurang

memiliki orientasi ke Indonesia, lebih berorientasi ke negara Tiongkok, dan tidak melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Istilah Tionghoa Peranakan diberikan kepada etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia, memiliki orientasi ke negara Indonesia dan melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Namun, politik asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru telah membuat batas antara Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan menjadi kabur, terutama pada generasi baru. (Suryadinata, 2008)

Ketika etnis Tionghoa memutuskan untuk menetap di negara Indonesia, mereka mengalami kontak dengan budaya setempat dan harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut. Ketika suatu budaya bertemu dengan budaya lain, maka akan terjadi akulturasi. Setiap orang memiliki strategi akulturasi yang berbeda; tidak setiap orang dengan sengaja melakukan kontak dengan budaya lain, dan di antara orang-orang yang melakukan kontak budaya, tidak semuanya mau untuk mengubah budaya dan perilaku mereka untuk menjadi

(36)

23

serupa dengan kelompok lain (yang biasanya lebih dominan). Hal ini dapat menjadi faktor internal yang berpengaruh terhadap derajat kepentingan Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa.

Mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung mengalami akulturasi karena mengalami kontak budaya dengan berbagai budaya saat menjalani kuliah di Fakultas Psikologi Universitas “X” yang memiliki mahasiswa dan pengajar dari berbagai etnis dan budaya. Berry (1970), membedakan jenis strategi akulturasi yang dapat digunakan oleh individu atau kelompok menjadi empat macam, yaitu: (1) asimilasi, (2) integrasi, (3) separasi, dan (4) marginalisasi. Asimilasi terjadi ketika individu atau kelompok tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan identitas budaya mereka dan melakukan interaksi sehari-hari dengan budaya lain. Sebaliknya, separasi terjadi ketika individu atau kelompok memiliki nilai untuk bertahan pada budaya asli mereka, dan di saat yang bersamaan ingin menghindari interaksi dengan budaya lain. Integrasi terjadi ketika ada ketertarikan dalam diri individu atau kelompok untuk mempertahankan budaya asli mereka, sembari melakukan interaksi sehari-hari dengan kelompok lain. Pada strategi ini, derajat integritas budaya tetap dipertahankan, sementara anggota kelompok etnokultural berusaha untuk ikut tergabung dalam kelompok masyarakat yang lebih besar. Marginalisasi terjadi ketika hanya ada sedikit kemungkinan atau ketertarikan dalam diri individu atau kelompok untuk mempertahankan budaya (seringkali disebabkan karena adanya pemaksaan pengikisan budaya) dan rendahnya ketertarikan individu atau

(37)

24

kelompok untuk menjalin relasi dengan kelompok budaya lain (biasanya karena pengucilan atau diskriminasi). (Berry, 2002)

Strategi akulturasi yang digunakan oleh individu atau kelompok tertentu akan mempengaruhi values yang dimiliki oleh dirinya, sebab individu atau kelompok tersebut perlu juga menyesuaikan diri dengan cara mengadaptasi values yang dimiliki oleh budaya setempat. Mahasiswa etnis Tionghoa yang menggunakan strategi akulturasi asimilasi dan marginalisasi akan memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang lebih rendah, karena mahasiswa tersebut tidak berusaha untuk mempertahankan Chinese Values dan menerima pengaruh dari budaya setempat. Mahasiswa etnis Tionghoa yang melakukan strategi akulturasi separasi dan integrasi akan memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang lebih tinggi karena mereka berusaha untuk mempertahankan Chinese Values. Mahasiswa etnis Tionghoa yang melakukan strategi akulturasi separasi akan memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang lebih tinggi karena mereka tidak memiliki kesediaan untuk menerima pengaruh dari budaya setempat.

Faktor internal lain yang dapat mempengaruhi Chinese Values yang dimiliki oleh mahasiswa etnis Tionghoa adalah agama yang dianutnya. Ajaran agama dapat mempengaruhi belief yang dimiliki oleh seseorang, sehingga apabila ajaran agama yang dianut oleh mahasiswa etnis Tionghoa memiliki perbedaan atau bahkan pertentangan dengan Chinese Values, maka hal ini akan membuat Chinese Values dalam diri mahasiswa etnis Tionghoa memiliki derajat

kepentingan yang lebih rendah. Sebaliknya, jika ajaran agama yang dianut oleh mahasiswa etnis Tionghoa memiliki values yang sejalan dengan Chinese Values,

(38)

25

maka derajat kepentingan Chinese Values dalam diri mahasiswa etnis Tionghoa akan lebih tinggi. Mahasiswa etnis Tionghoa yang menganut agama yang memiliki banyak keselarasan dengan Chinese Values seperti agama Kong Hu Cu dan Buddha akan memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang lebih tinggi. Mahasiswa etnis Tionghoa yang menganut agama lainnya seperti agama Kristen dan Katolik memiliki beberapa nilai dan ajaran agama yang selaras maupun yang berbeda dengan Chinese Values, sehingga mereka akan memiliki derajat kepentingan Chinese Values yang tinggi pada values tertentu yang sesuai dengan ajaran agamanya dan rendah pada values tertentu yang tidak sejalan dengan ajaran agamanya.

Jenis kelamin adalah faktor internal lain yang mempengaruhi values yang dianut oleh seseorang. Laki-laki dan perempuan memiliki persepsi yang berbeda dalam menentukan nilai apa yang penting bagi dirinya, misalnya dalam nilai-nilai mengenai kekuasaan, tradisi, universalisme, dan prestasi (Lyons, 2005). Mahasiswa dan mahasiswi etnis Tionghoa dapat memiliki penilaian yang berbeda terhadap Chinese Values tertentu, contohnya dalam value mengenai pentingnya menjaga keperawanan dan kesucian pada wanita, memaafkan dan mengasihi orang lain, serta mengambil jalan tengah.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk kerangka sebagai berikut (bentuk kerangka pikir ini adalah hasil modifikasi dari bagan transmisi budaya Berry & Cavalli-Sforza, 1986):

(39)

26

Skema 1.1. Kerangka Pikir

Universitas Kristen Maranatha Mahasiswa etnis Tionghoa

yang berada pada tahap Late Adolescence (18-22 Tahun) di Fakultas Psikologi Universitas

“X” Kota Bandung

Chinese

Values Oblique

Transmission

Enkulturasi umum dari

orang dewasa lain

Sosialisasi spesifik dari

orang dewasa lain

Vertical

Transmission

Enkulturasi umum dari orangtua

Sosialisasi spesifik dari orangtua

(pengasuhan anak)

Oblique

Transmission

Akulturasi umum dari

orang dewasa lain

Resosialisasi spesifik dari

orang dewasa lain

Horizontal

Transmission

Akulturasi umum dari

teman sebaya

Resosialisasi spesifik dari

teman sebaya Horizontal

Transmission

- Enkulturasi umum dari teman sebaya - Sosialisasi spesifik

dari teman sebaya

BudayaBSetempat (Contact Culture) Akulturasi BudayaBsendiri (Tionghoa) Enkulturasi FaktorBInternal

- Strategi Akulturasi - Usia

- Agama

(40)

27

1.6. Asumsi

Dari uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa:

• Mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence

(18-22 tahun) di Fakultas Psikologi Universitas “X” kota Bandung memiliki Chinese Values yang sudah terinternalisasi dalam dirinya.

Chinese Values pada mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada tahap

Late Adolescence (18-22 tahun) di Fakultas Psikologi Universitas “X”

kota Bandung dipengaruhi oleh proses cultural transmission (transmisi budaya).

• Proses cultural transmission (transmisi budaya) yang dialami oleh

mahasiswa Etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence (18-22 tahun) terjadi melalui horizontal transmission, vertical transmission, dan oblique transmission.

• Mahasiswa etnis Tionghoa yang berada pada tahap Late Adolescence

(18-22 tahun) telah mengalami proses enkulturasi dan akulturasi

(41)

BABBV

SIMPULANBDANBSARAN

5.1.Simpulan

Sehubungan dengan hasil dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian

ini, dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1. Mahasiswa-mahasiswi etnis Tionghoa pada Fakultas Psikologi Universitas

“X” memiliki penghayatan terhadap 40 Chinese Values dengan derajat

kepentingan yang berbeda-beda. Values yang dihayati dengan derajat

kepentingan yang tinggi adalah menjaga keperawanan dan kesucian (pada

wanitau, memiliki sopan santun/tata krama, berbakti kepada orangtua (patuh

pada orangtua, menghormati orangtua, menghormati dan menghargai leluhur

yang telah meninggal, menafkahi dan menghidupi orangtuau, jujur, tidak

korupsi, dapat dipercaya oleh orang lain, ketulusan, rendah hati, tidak

sombong, memiliki sahabat yang dekat dan akrab, kebaikan hati, memaafkan

orang lain, mengasihi orang lain, hidup harmonis, dapat menyesuaikan diri

dengan orang lain, kesabaran, rajin bekerja (bekerja kerasu, kegigihan

(keuletanu, menjaga diri agar tetap murni dan luhur, tahu malu, kebaikan hati

yang tetap dibarengi dengan ketegasan, otoritas, dan wibawa, pengetahuan,

memperoleh tingkat pendidikan yang tinggi, menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan situasi, bertoleransi terhadap orang lain, stabilitas dalam

hidup dan memiliki ketenangan dalam bersikap dan berperilaku, melakukan

timbal balik dan membalas budi jika mendapatkan pertolongan/hadiah dari

115

(42)

orang lain, solider dengan orang lain, kompak, kehati-hatian, memiliki rasa

kebenaran, memiliki pemikiran sendiri dan mengembangkan pemikiran

tersebut, mengambil jalan tengah, tidak berlebihan, memiliki kekayaan,

hemat, menghormati tradisi etnis pribadi, cinta pada tanah air, dan setia

kepada atasan. Chinese values yang dihayati sebagai values yang memiliki

derajat kepentingan yang tergolong sedang adalah puas dengan keadaan dan

posisi yang dimiliki sekarang, menimbulkan kesan baik, menjaga muka, jaga

image / gengsi, tidak mementingkan kompetisi/persaingan dengan orang lain,

melakukan upacara adat, upacara keagamaan, dan ritual sosial, tidak

memiliki banyak keinginan, nafsu, dan kehendak, konservatif, menjaga teguh

budaya tradisional etnis pribadi, dan membalas budi jika mendapat kebaikan

dan membalas dendam jika mendapat kejahatan. Chinese values yang dihayati

sebagai values yang memiliki derajat kepentingan yang tergolong rendah

adalah merasa bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul, dan menata

hubungan berdasarkan status dari yang tinggi hingga yang rendah dan

memberikan perlakuan yang berbeda bagi orang yang berbeda posisinya.

2. Ke-40 Chinese Values yang dihayati oleh mahasiswa-mahasiswi Fakultas

Psikologi Universitas “X” dapat dikelompokkan dalam 11 factor component.

Setiap values yang tergabung dalam suatu kelompok factor component

memiliki hubungan korelasi satu sama lain. Value menata hubungan

berdasarkan status dari yang tinggi hingga yang rendah dan memberikan

perlakuan yang berbeda bagi orang yang berbeda posisinya tidak tergabung

ke dalam kelompok factor component mana pun.

(43)

3. Faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan penghayatan Chinese Values

adalah jenis kelamin, agama (yang dianut oleh responden maupun oleh

orangtua responden), frekuensi responden menjalankan tradisi Tionghoa,

strategi akulturasi (yang digunakan oleh responden maupun orangtua

responden), latar belakang pendidikan orangtua, etnis teman akrab dan juga

etnis tetangga responden.

5.2. Saran

Sehubungan dengan pengolahan data dan simpulan penelitian ini, maka

peneliti mengajukan beberapa saran yang dapat memberikan manfaat bagi pihak

yang membaca penelitian ini, yaitu:

1. Untuk peneliti lain, agar melakukan penelitian terhadap kelompok sampel

etnis Tionghoa yang lebih beragam. Hal ini ditujukan agar hasil penelitian

yang ada dapat diintegrasikan sehingga dapat memberikan gambaran yang

lebih representatif mengenai Psikologi Tionghoa, khususnya dalam

penghayatan Chinese Values. Selain itu, akan lebih baik jika diadakan

penelitian kualitatif mengenai penghayatan Chinese Values pada etnis

Tionghoa di Indonesia pada beberapa generasi.

2. Kepada mahasiswa-mahasiswi etnis Tionghoa di Fakultas Psikologi

Universitas “X”, agar lebih menghayati Chinese Values yang mereka miliki,

agar mereka dapat melakukan adjustment (penyesuaian diri) terhadap

lingkungannya dengan lebih baik tanpa melupakan identitasnya sebagai etnis

Tionghoa.

(44)

3. Kepada pihak Fakultas Psikologi Universitas “X”, khususnya kepada dosen

wali mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang memiliki murid wali

etnis Tionghoa, agar menggunakan pengetahuan dan pemahaman mengenai

penghayatan Chinese Values yang dimiliki oleh murid walinya sehingga dapat

memberikan bimbingan atau konseling terhadap mahasiswa tersebut dengan

lebih baik.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Audifax. 2008. Re-Search: Sebuah Pengantar untuk “Mencari-Ulang” Metode Penelitian dalam Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H. & Dasen, Pierre R. 1992. Cross-Cultural Psychology: Research and Applications. 1st :dition. New

York: Cambridge University Press.

---, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H. & Dasen, Pierre R. 2002. Cross-Cultural Psychology: Research and Applications. 2nd :dition. New

York: Cambridge University Press.

---, John W. et al. 1997. Handbook of Cross-Cultural Psychology. Volume 3. 3rd :dition. USA: Allyn & Bacon.

Bond, Michael H. 1993. The Psychology of Chinese People. Hongkong: Oxford University Press.

---, Michael H. 1996. The Handbook of Chinese Psychology. Hongkong: Oxford University Press.

---, Michael H. 1988. Finding Universal Dimensions of Individual Variation in Multicultural Studies of Values: The Rokeach and Chinese Value Surveys. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 55, 6, 1009-1015.

Brace, Nicola. 2003. SPSS For Psychologists: A Guide to Data Analysis Using SPSS For Windows. 2nd :d. Hampshire: Macmillan Publishers Ltd.

Chinese Culture Connection. 1987. Chinese Values and The Search For A Culture-free Dimension of Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, 18, 143-164.

Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hidajat. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Penerbit Tarsito.

Hok Ham, Ong. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Kerlinger, Fred N. & Howard B. Lee. 2000. Foundations of Behavioral Research. 4th :dition. Florida: Harcourt Inc.

(46)

120

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide For Beginners. London: SAG: Publications Ltd.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok. Yogyakarta: Jalasutra

Lyons, Sean. 2005. Are Gender Differences in Basic Human Values a Generational Phenomenon?. Sex Roles. Vol. 53, 9-10, 763-768.

Matthews, Barbara M. 2000. The Chinese Value Survey: An Interpretation of Value Scale and Consideration of Some Preliminary Results. International Education Journal Vol 1, No. 2, 117-126.

Santrock, John W. 2006. Life-Span Development. 10th :dition. New York:

McGraw-Hill.

---, John W. 2007. Adolescence. 11th :dition. New York: McGraw-Hill.

Schwartz, Shalom H. 1999. A Theory of Cultural Values and Some Implications for Work. Applied Psychology: An International Review, 48 (1), 23-47.

Suryadinata, Leo. 1986. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: PT. Grafiti Press.

---, Leo. 2004. Chinese Indonesians (State Policy, Monoculture and Multiculture). Singapore: :astern Universities Press.

---, Leo. 2008. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute o

Referensi

Dokumen terkait

5 Hasil Rata-Rata dan Standard Deviasi Nilai Kekasaran Permukaan Resin Komposit Nanofiller Setelah Penyikatan Pada Kelompok Kontrol, di Coating dengan Surface Coat dan

Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi pada Dinas Pekerjaan Umum Bidang Pengairan Kabupaten Lebong, Tahun Anggaran 20't2 untuk Pekerjaan Konstruksisebagai berikut:. Paket

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial pada keluaga pasien di RSU Hidayah Purwokerto. Faktor-faktor yang

Beberapa buku sumber sejarah kelas X seharusnya disediakan oleh pihak sekolah, tetapi buku yang tersedia di perpustakaan pun sudah tidak sesuai lagi dengan kurikulum

Semakin tinggi tekanan maka daya adiabatik yang diperlukan akanf.

tambahan yang digunakan adalah foaming agent yang mana dapat memperingan

8.1 Menyalin kosakata bahasa Inggris sangat sederhana secara tepat dan berterima dengan ejaan yang benar. Kosakata sangat sederhana terkait

model inkuiri dengan melakukan lima langkah/ sintaks utama yaitu ; 1).. Implementasi Model Pembelajaran Inkuiri yang dapat Meningkatkan Keterampilan Berpikir