• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara adalah salah satu proses demokrasi dimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara adalah salah satu proses demokrasi dimana"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara adalah salah satu proses demokrasi dimana masyarakat Sumatera Utara dapat memilih langsung gubernur dan wakil gubernurnya untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Pasca runtuhnya Orde Baru, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, melainkan dipilih langsung oleh masyarakat penduduk daerah tersebut. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pemilihan Kepala Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih.

Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau organisasi non-pemerintahan swasta.1 Sedangkan otonomi daerah merupakan bagian sistem politik

1

(2)

yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreativitasnya.2

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pemilihan kepala daerah untuk tingkat gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara secara langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Pada saat itu pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat Sumatera Utara. Selanjutnya pada tanggal 7 Maret 2013 yang lalu masyarakat Sumatera Utara kembali memilih gubernur dan wakil gubernurnya secara langsung untuk kedua kalinya. Berikut adalah daftar nama pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara beserta partai pendukungnya yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Sumatera Utara :

Tabel 1.1

Daftar Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Serta Partai Politik yang Mendukung

No.

Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Partai Pendukung

1

H. Gus Irawan, SE. Ak, MM dan Ir. H. Soekirman

Partai Amanat Nasional, Partai Barisan Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Buruh, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Karya Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kedaulatan, Partai Kesatuan

2

(3)

Demokrasi, Partai Matahari Bangsa, Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan, Partai Pelopor, Partai Pemuda Indonesia, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Bintang Reformasi

2

Drs. Effendi M. S. Simbolon dan Drs. Djumiran Abdi

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Damai Sejahtera

3

Drs. H. Chairuman Harahap, SH, MM dan H. Fadly Nurzal, S.Ag

Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Republik Nusantara

4

Drs. H. Amri Tambunan dan

Dr. Rustam Effendy Nainggolan, MM Partai Demokrat

5

H. Gatot Pujo Nugroho, ST dan Ir. H. Tengku Erry Nuradi

Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Partai Patriot, Partai Persatuan Nasional Sumber: http://kpud-sumutprov.go.id

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara 2013 hanya diselenggarakan sebanyak satu putaran, karena berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 30 % (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih dengan keputusan KPU Provinsi. Maka KPU Provinsi Sumatera Utara menetapkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih adalah nomor urut

(4)

5, H. Gatot Pujo Nugroho, ST dan Ir. H. Tengku Erry Nuradi, dengan hasil perolehan suara sah 1.604.337 persentase 33.00 %.

Tabel 1.2

Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara

Tahun 2013

Sumber: http://kpud-sumutprov.go.id

Hasil persentase pemilihan kepala daerah yang demikian ini sedikit banyak tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkembang di masyarakat, mulai dari kondisi politik dan ekonomi nasional sampai kepada kondisi sosial budaya pada masyarakat setempat. Hal ini akan membentuk perilaku politik masyarakat.

No Nama Pasangan Calon

Hasil Perolehan Suara Sah

Persentase (%)

1 H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM - Ir. H. Soekirman 1.027.433 21.13

2 Drs. Effendi MS Simbolon - Drs. H. Jumiran Abdi 1.183.187 24.34

3 Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH - H. Fadly Nurzal, S.Ag 452.096 9.30

4 Drs. Haji Amri Tambunan - Dr. R.E. Nainggolan, MM 594.414 12.23

5 H. Gatot Pujo Nugroho, ST - Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si 1.604.337 33.00

(5)

Perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti ialah3 keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y.

Perilaku pemilih dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, dimana faktor internal antara lain status sosial yang terdiri dari pendidikan, penghasilan, pekerjaan masyarakat tersebut. Selain itu faktor internal itu juga seperti hubungan keluarga yang terdiri dari kedaerahan atau lokalitas, historis, agama dan suku (etnis) dari masyarakat yang bersangkutan. Pada sisi yang lain faktor eksternal antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas yang terdiri dari media kampanye yang digunakan saat sosialisasi, partai politik pendukung calon, dan sebagainya.

Sudijono Sastroatmodjo (1995) mengatakan bahwa kelompok etnis mempunyai peran besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dengan adanya rasa kesukuan atau kedaerahan sehingga dapat mempengaruhi dukungan atau loyalitas seseorang terhadap partai politik atau individu tertentu yang ikut didalam pemilihan umum. Etnis juga dapat mempengaruhi loyalitas terhadap partai tertentu. Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan apabila kita mengabaikan faktor etnis maka dapat menimbulkan kesalahan dalam memahami perpolitikan di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung keterkaitan dengan aspek- aspek lain yang diantaranya ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama.

Dari kesepuluh orang calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara ada 3 orang calon yang berlatar belakang etnis Jawa, selebihnya adalah etnis Batak (5 orang), dan Melayu (2 orang). Hal ini sejalan dengan populasi suku bangsa penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 12,9 juta jiwa

3

(6)

pada tahun 20104 yaitu, Batak (41,95%), Jawa (32,62%), Melayu (4,92%). Dari data diatas terlihat bahwa etnis Jawa menempati peringkat kedua dibawah etnis Batak baik dari sisi jumlah populasi maupun dari latar belakang etnis calon gubernur dan wakil gubernur. Tentunya pengaruh budaya Jawa pada pemilih, baik yang langsung terlibat dalam melaksanakan pilgubsu tersebut maupun yang tidak langsung akan menjadi signifikan.

Sementara itu, Desa Muliorejo merupakan salah satu desa/kelurahan yang berada di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Secara geografis luas wilayahnya 1205 ha, dengan jumlah penduduk kurang lebih 35.285 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Muliorejo merupakan etnis Jawa (35%), selebihnya etnis Batak (25%), Melayu (6%), Aceh (5%), Nias (5%), Minang (3%) dan lain-lain.

Di Desa Muliorejo, pasangan nomor urut 2, Efendi Simbolon-Jumiran Abdi menang tipis dengan perolehan suara sebesar 29,7%. Hanya berselisih 0,1 % dari pasangan nomor urut 5, Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (29,6%).

Tabel 1.3

Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2013 di Desa Muliorejo

No Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jumlah Jumlah %

1 H. Gus Irawan Pasaribu. SE. Ak..MM dan Ir. H. Soekirman 2.315 22

2 Drs. Effendi MS Simbolon dan Drs. H. Jumiran Abdi 3.128 29,7

3 Dr. H. Chairuman Harahap. SH. MH dan H. Fadly Nurzal. S.Ag 406 3,8

4 Drs. H. Amri Tambunan dan Dr. R.E. Nainggolan. MM 1.542 14,6

4

(7)

5 H. Gatot Pujo Nugroho. ST dan Ir. H. Tengku Erry Nuradi. M.Si 3.115 29,6

Sumber: Panitia Pemungutan Suara Desa Muliorejo

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mencari tahu faktor yang paling mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam memberikan suaranya dan selanjutnya tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Perilaku Pemilih Dalam Pilgubsu 2013 (Studi Kasus: Etnis Jawa di Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang).”

I. 2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan dilakukan, yaitu: Faktor apakah yang paling mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam memberikan suaranya kepada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgubsu 2013 ?

I. 3. Pembatasan Masalah

Agar penelitan terfokus terhadap permasalahannya, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalahnya. Adapun masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini ialah:

1. Objek penelitian ialah pemilih dengan latar belakang etnis Jawa di Desa Muliorejo yang namanya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)

2. Penelitian hanya dilakukan kepada pemilih etnis Jawa yang memberikan suaranya pada Pilgubsu 2013.

(8)

3. Masalah yang diteliti ialah perilaku pemilih masyarakat etnis Jawa dalam Pilgubsu 2013.

I. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pemilih etnis Jawa dalam memberikan suaranya kepada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgubsu 2013.

I. 5. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi studi khususnya mengenai perilaku pemilih dan bagi perkembangan ilmu politik secara umum.

2. Bagi institusi, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku pemilih.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi referensi dalam memberikan pilihan pada Pilgubsu maupun pemilukada daerah lainnya.

I. 6. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan bagian yang paling penting di dalam penelitian, karena pada bagian ini seorang peneliti mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Kerangka teori juga digunakan sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan diteliti. Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan

(9)

preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.5

I. 6.1. Perilaku Politik

Menurut Ramlan Surbakti, perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi- fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi- fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.6

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti yang luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu yang memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.7

Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada tersebut. Perilaku politik dapat dibagi dua, yaitu:8

1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah. 2. Perilaku politik warga negara biasa (individu maupun kelompok).

5 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. LP3ES. 1998. Hal 37 6 Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167

7

Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 1- 3 8

(10)

Pihak pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan, dan menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang dilakukan warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut partisipasi politik.

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik:

1. Aktor politik (meliputi aktor politik, aktivitas politik, dan individu warga negara biasa). 2. Agregasi politik (yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti partai politik, birokrasi,

lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa).

3. Tipologi kepribadian politik (yaitu kepribadian pemimpin seperti Otoriter, Machiavelist dan Demokrat).

Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi perilaku politik aktor politik (pemimpin, aktivis, dan warga biasa), yaitu:9

1. Lingkungan sosial politik tak langsung

Seperti sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa. 2. Lingkungan sosial politik langsung

Membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok bergaul. Dari lingkungan ini, seorang aktor politik mengalami proses sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat dan norma kehidupan bernegara.

3. Struktur kepribadian

Hal ini tercermin dalam sikap individu (yang berbasis pada kepentingan, penyesuaian diri dan eksternalisasi.

9

(11)

4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi

Keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya.

I. 6.2 Perilaku Pemilih

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan.10 Mereka yang dinyatakan sebagai pemilih dalam pilkada adalah mereka yang terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendaftar peserta pemilih.

Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka „menunggu‟ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.11

Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam pilkada secara langsung. Pemberian suara atau voting secara umum dapat diartikan sebagai: “sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsensus diantara anggota

10 Firmanzah. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007. Hal 102

11

(12)

kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil.12 Pemberian suara dalam pilkada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup “suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan”.13

Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah: “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum (pilkada secara langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.14

Jack C Plano mendefinisikan perilaku pemilih sebagai “suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu”.15

Pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan. Begitu juga sebaliknya, keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin pilihannya.

Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan- pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab “Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab

12 Gosnel F Horald. Ensyclopedia of The Social Science. New York. Mc Grew Hill Book Company. 1934. Hal 32

13

Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990. Hal 16

14 Ramlan Surbakti. Partai, Pemilih dan Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1997. Hal 170 15

Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V. Rajawali Press. 1985. Hal 280

(13)

Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis”.16

“Selain itu terdapat juga pendekatan pilihan rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut”.17

I. 6.2.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat hirarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok orang yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mahzab ini percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya, maka memahami karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku politik individu.

Secara singkat, aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di kotak pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dengan kata lain latar belakang seseorang atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, pekerjaan, idiologi bahkan daerah asal menjadi variabel yang mempengaruhi terhadap keputusannya untuk memberikan suara pada saat pemilihan.

I. 6.2.2 Pendekatan Psikologis

Munculnya pendekatan psikologis merupakan reaksi atas ketidakpuasan ilmuan politik terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut

16 Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9

17

(14)

pendekatan psikologis, pada pemilih (di Amerika Serikat) menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologi yang berkembang dalam dirinya sebagai produk sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.

Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau teman dan orientasi kandidat. Indentifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut. Menurut Philip Converse dalam Affan Gaffar, “identifikasi partai diartikan sebagai keyakinan yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama masa dewasa”.18

Kemudian, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu- isu apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud dengan orientasi kandidat adalah siapa saja yang mewakili parpol tersebut.

Greenstein menyatakan dalam menjelaskan perilaku (dalam kaitannya dengan pendekatan psikologis) seseorang terdapat dua konsep khusus yaitu, “konsep sikap dan sosialisasi”. Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih, karena menurut Greenstein ada tiga fungsi sikap yakni:19 Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama dan tidak sama

18Ibid. Hal 10 19

Muhamad Asfar. Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih. Jurnal Ilmu Politik Edisi No. 16. Jakarta. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Hal 52

(15)

dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan ekternaliasasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan.

Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan inilah yang menentukan seseorang memilih atau tidak. “Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan”.20

I. 6.2.3 Pendekatan Rasional

Intisari pendekatan pilihan rasional adalah tindakan apa yang dilakukan seseorang yang diyakininya berkemungkinan dapat memberikan hasil terbaik bagi dirinya. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan perilaku dalam ilmu politik pada tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan menggunakan metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu politik, setidaknya di Amerika Serikat. “Namun pilihan rasional bersumber dari metodologi ilmu ekonomi, kebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari sosiologi dan psikologi”.21

Kemudian, seiring perkembangannya, muncul pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. “Kegiatan memilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi”.22

Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan- pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

20Ibid

21 David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media. 2002. Hal 76- 77

22

(16)

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu: Orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan- persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu- isu yang ditawarkan oleh partai atau pun kandidat bersifat situasional.23

Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar- benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan ataupun kebiasaan dan tidak semata- mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan logis.24

I. 6.3 Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan konfigurasi pemilih atau tipe- tipe pemilih:25

I. 6.3.1 Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter), di mana pemilih memiliki orientasi tinggi pada „policy-problemsolving‟ dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya.

23 Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi dan Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39

24 Ibid 25

(17)

Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti “faham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan”. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.

I. 6.3.2 Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah „rational vote‟ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.

Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideologi dengan „platform‟ partai: (1) memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan

(18)

(3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama. Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung menyuarakannya melalui mekanisme eksternal partai, umpamanya melalui media massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi merupakan posisi yang sulit bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter mereka, tapi di sisi lain mereka merasakan adanya ketidaksesuaian dengan kebijakan yang akan dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu (wait and see) sebelum munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru. Pembuatan partai biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas kebijakan suatu partai. Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa, ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai tandingan dengan nilai ideologi yang biasanya tidak berbeda jauh dengan partai sebelumnya.

I. 6.3.3 Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asalusul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut.

(19)

I. 6.3.4 Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan „platform‟ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

I. 6.4 Pemilihan Umum Kepala Daerah

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Kemudian menurut Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu 22 tahun 2007 berubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah atau disebut Pemilukada, yang selanjutnya terbit undang-undang baru, UU No 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu tidak lagi disebut dengan pemilu kepala daerah tetapi disebut dengan pemilihan gubernur, pemilihan bupati, atau pemilihan walikota.26

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 joPasal 119 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada secara langsung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan :

26

(20)

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan wakil- wakilnya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, juga merupakan sarana ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Demokrasi Indonesia mengalami perubahan signifikan pasca runtuhnya orde baru. Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan bebas menyalurkan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sangat dibatasi pada orde baru.

Pemilihan kepala daerah langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya. Kelahiran pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak- hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki.

Proses pemilihan kepala daerah di laksanakan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan dan pelantikan. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peranan yang sangat penting dibidang penyelenggaraan pemerintahan, pengembangan dan pelayanan masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah.27

I. 6.5 Etnis

Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi. Umumnya kelompok etnis dikenal sebagai suatu populasi (1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. (2) Mempunyai nilai- nilai budaya sama dan sadar

27

Deddy Supriady Bratakusuma dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2002. Hal 61

(21)

akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. (3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.28

Definisi yang ideal memang tidak berbeda jauh dengan yang umum kita kenal, yaitu bahwa “suku bangsa = budaya = bahasa; sedangkan masyarakat = suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain”.29

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Koentjaranigrat,

Setiap kelompok memiliki batasan- batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu jenis kelompok etnis dengan etnis lainnya. Konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.30

Sedangkan menurut Payung Bangun suku bangsa yang sering disebut etnik/ etnis atau golongan etnis, mempunyai tanda- tanda atau ciri karakteristik: (1) Memiliki wilayah sendiri. (2) Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada. (3) Ada bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. (4) Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat- alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri). (5) Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. (6) Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan sikap dan tindakan. (7) Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.31

I. 6.5.1 Etnis Jawa

Etnis Jawa merupakan etnis dengan populasi terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Bahasa dan budayanya sudah menyebar ke pelosok-pelosok nusantara hingga dunia, dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari

28

Frederik Bart, dkk. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta. UI Press. 1988. Hal 11 29Ibid

30 Koenjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. 1982. Hal 58

31

(22)

masyarakat Indonesia. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti:32 suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, suku Tengger, dan lain-lain.

Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok; kaum santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan.

Definisi seseorang sebagai etnis Jawa, selain karena faktor keturunan, juga karena pribadi, bahasa dan etikanya. Pribadi orang Jawa memang unik, umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Manifestasi dari kepribadian tertutup ini, tempo dulu selalu memakai pakaian yang rapat. Yakni, putri menggunakan nyamping (kain) dan kebayak, sedangkan laki-laki menggunakan surjan dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi ciri bahwa orang Jawa berkepribadian tertutup. Sikap ini tak berarti bahwa orang Jawa tak mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka hanya pada waktu-waktu dan tempat tertentu.33

Segala hal selalu disampaikan dengan tertutup, halus dan bermakna. Perilaku bahasa cukup lemah lembut, apalagi di Jawa mengenal ragam krama alus dan ngoko (kasar). Dalam keperluan tertentu jelas menggunakan ragam halus. Kehalusan rasa Jawa juga tampak pada aktivitas publik. Mereka selalu rendah diri dalam hal bergaul dengan sesama. Pada waktu bertamu, jika kebetulan disodori hidangan, orang Jawa amat hati-hati dan tidak segera menyantap. Tamu masih menunggu tuan rumah menawarkan hidangan. Penawaran hidangan pun menggunakan gaya tertentu yang halus. Orang Jawa juga akan mengatakan “ sampun-sampun, mboten sah repot-repot”, sudah-sudah baru saja makan dan minum di rumah, tak

usah repot-repot menyediakan hidangan. Begitulah pribadi yang halus, meskipun sebenarnya lapar, tak akan bergegas makan. Pribadi semacam ini memang ada yang menyebut basa-basi

32 Badan Pusat Statistik tahun 2010 yang diperoleh melalui

http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html 33

(23)

Jawa. Yang jelas, orang Jawa memang lihai bermain watak dan pandai bersandiwara. Tujuan main watak adalah untuk membahagiakan pihak lain.34

I. 7. Definisi Konsep

Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda.35 Dalam kaitannya dengan judul yang diangkat yaitu perilaku pemilih masyarakat etnis Karo pada pemilukada Karo 2010, maka yang menjadi konsep penelitian ialah:

1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih ialah keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y serta alasannya memilih partai atau kandidat yang akan dipilih.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pemilih

1. Pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis dalam menganalisis perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di kotak pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya.

2. Pendekatan psikologis, pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri terutama terhadap pengalaman- pengalaman yang berlangsung sejak

34Ibid. Hal 167-168 35

Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Konsep dan Metode Analisa Politik. Jakarta. Bina Aksara. 1986. Hal 243

(24)

lama, misalnya kedekatan pemilih dengan salah seorang kandidat yang berlangsung sejak mereka berada dibangku sekolah maupun ditempat kerja, teman sepermainan dan lain sebagainya.

3. Pendekatan pilihan rasional, pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan- pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan- pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

I. 8. Definisi Oprasional

Definisi oprasional adalah penjelasan bagaimana variabel- variabel akan diukur secara empiris.36 Adapun yang menjadi definisi oprasional pada penelitian ini ialah:

1. Perilaku Pemilih (Variabel Y)

Perilaku pemilih dapat dilihat dengan pasangan calon yang dipilih oleh responden pada Pilgub Sumatera Utara 2013. Apakah memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang berlatar belakang etnis Jawa atau bukan Jawa:

a. Gus Irawan Pasaribu – Soekirman (Etnis Batak dan Etnis Jawa) b. Effendy Simbolon – Jumiran Abdi (Etnis Batak dan Etnis Jawa) c. Chairuman Harahap – Fadly Nurzal (Etnis Batak dan Etnis Melayu) d. Amri Tambunan – RE Nainggolan (Etnis Batak dan Etnis Batak)

e. Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Etnis Jawa dan Etnis Melayu)

Selain dengan melihat pilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilgub Sumatera Utara 2013 perilaku pemilih Etnis Jawa pada penelitian ini dengan alasan memilih pasangan calon pada Pilgub Sumatera Utara 2013:

36

(25)

a. Latar belakang Agama pasangan calon. b. Latar belakang Etnis pasangan calon.

c. Adanya hubungan kekerabatan dalam sistem sosial masyarakat Jawa.

d. Partai yang mencalonkan pasangan calon (kader, simpatisan, anggota partai).

e. Ideologi Partai yang mencalonkan pasangan calon maupun Ideologi pasangan calon secara khusus.

f. Kedekatan emosional dengan pasangan calon (mengenal dekat sosok pasangan calon). g. Visi- Misi yang diusung oleh pasangan calon.

h. Adanya imbalan materi maupun iming- iming jabatan jika pasangan calon terpilih nantinya. i. Rekam- jejak pasangan calon.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih (Variabel X)

a. Pendekatan sosiologis dengan indikator; kesamaan agama responden dengan pasangan calon, kesamaan etnis responden dengan pasangan calon dan hubungan primordial yang ada antara responden dan pasangan calon.

b. Pendekatan psikologis dengan indikator; kedekatan emosional dengan pasangan calon, keterlibatan dengan partai pendukung pasangan calon, idiologi pasangan calon

c. Pendekatan pilihan rasional dengan indikator; kepercayaan terhadap visi dan misi yang ditawarkan pasangan calon, adanya unsur materi/ jabatan yang diperoleh jika memilih pasangan calon, rekam jejak dari pasangan calon.

(26)

I. 9. Metodologi Penelitian I. 9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati. Penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang sedang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Nawawi mengungkapkan bahwa metode deskriptif dapat diartikan sebagai: “prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek/penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain)”. Adapun ciri-ciri pokok metode deskriptif adalah:

1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya.

Adapun bentuk dari metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey (survey studies) yaitu survey kemasyarakatan (community survey). Maksudnya, menurut Nawawi, untuk mengungkapkan aspek atau beberapa aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat. Melalui penelitian ini dikumpulkan data untuk mengambil kesimpulan tentang pendapat, keinginan, kebutuhan, kondisi dan lain-lain di dalam masyarakat mengenai aspek yang diselidiki.

I. 9.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah karena di Desa Muliorejo ini mayoritas penduduknya adalah etnis Jawa (35.44%). Selain itu juga lokasi penelitian adalah daerah tempat peneliti bertempat tinggal, sehingga akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data baik dari masyarakat maupun dari instansi terkait lainnya.

(27)

I. 9.3 Populasi dan Sampel

Populasi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu “population" yang berarti jumlah penduduk. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dsb, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian.37 Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Desa Muliorejo yang berlatar belakang Etnis Jawa yang menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub Sumatera Utara 2013.

Sementara sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, penulis menggunakan rumus slovin38 yaitu:

n= N

1+N.e²

keterangan : n = Ukuran Sampel N = Ukuran Populasi

e = Nilai kritis(batas ketelitian) yang diinginkan, yaitu sebesar 10% dengan tingkat kepercayaan 90% n = 12506 1 + 125,06 = 12506 126,06 = 99,20

37 Burhan Bungin. Metologi penelitian sosaial. Surabaya. Airlangga University Press. 2001. Hal 101

38

Consuelo, G. Selvilla. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta. UI Press. 1993. Hal 161

(28)

Dari hasil perhitungan di atas maka jumlah sampel yang diambil dibulatkan sebanyak 100 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik probability sampel, dimana setiap responden dari semua populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel.

I. 9.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, dipergunakan dua sumber pengumpulan data, yaitu: pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.

1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data primer dalam penelitian ini dapat berasal dari responden yang memberikan suara dalam Pilgub Sumatera Utara 2013. Responden akan diberikan kuesioner yang berisi sejumlah daftar pertanyaan berkaitan dengan masalah yang diteliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian pustaka (Library Research) dan pencatatan dokumen antara lain dengan mengumpulkan data dari buku-buku, literatur, jurnal, majalah, koran dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

I. 9.5 Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode penelitian, dalam menganalisis data, data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang diamati.

(29)

I. 10. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari pembahasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori yang merupakan landasan teoritis untuk meneliti masalah- masalah penelitian serta metode penelitian.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini akan diberikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian, baik dari segi geografi dan demografi.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Pada bab ini akan berisikan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan mengenai perilaku pemilih etnis Jawa di Desa Muliorejo, Sunggal, Deli Serdang pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Berangkat dari masalah yang ditemukan, penulis mengadakan penelitian dengan metode studi pustaka, observasi, perancangan, instalasi, uji coba serta implementasi untuk menemukan

Syahbandar juga bertugas menaksir barang dagangan yang dibawak menarik pajak, serta menentukan bentuk dan jumlah persembahan yang harus diserahkan kepada pejabat kerajaan dengan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemaparan cuaca ( weathering ) terhadap karakteristik komposit HDPE–sampah organik berupa kekuatan bending dan

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

, Peluang pembentukan awan yang berpotensi hujan sangat Signifikan disebabkan terdapatnya wilayah konvektif di sekitar Kalimantan bagian Timur, Sulawesi, Maluku dan

Fungsi speaker ini adalah mengubah gelombang listrik menjadi getaran suara.proses pengubahan gelombag listrik/electromagnet menjadi gelombang suara terjadi karna