PENERIMA UPAH (PBPU)
DI KABUPATEN LEBAK
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh :
AHMAD HUNAEPI
NIM. 6661081075
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
“Jangan pernah menyerah, jadikanlah setiap
kegagalan sebagai proses perbaikan diri”
Skripsi ini kupersembahkan teruntuk Kedua orang tuaku tercinta
Dan kakak-kakakku yang telah membantu secara materil dan moril.
Ahmad Hunaepi. NIM. 081075. 2015. Skripsi. Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah di Kabupaten Lebak, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I Dr. Dirlanudin, M.Si., Pembimbing II Gandung Ismanto, S.Sos., MM.
Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri atau pekerja diluar hubungan kerja yang iuran kepesertaannya ditanggung sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Tingkat Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Lebak. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Populasi penelitian adalah Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah atau Peserta Mandiri di Kabupaten Lebak. Perhitungan sampel menggunakan rumus “Slovin”. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner yang didasarkan pada indikator keberhasilan implementasi kebijakan menurut teori George Edward III. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan Acidental sampling. Teknik analisa data menggunakan uji hipotesis t-test satu sampel. Hasil penelitian menunjukan Tingkat Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi Kategori Pekerja Bukan penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Lebak masih rendah atau belum optimal. Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh thitung lebih kecil dari pada
ttabel (-3,34<1,645) dan didukung oleh hasil yang dicapai sebesar 58,17% dari
angka minimal yang dihipotesiskan sebesar 60 %. Oleh karena itu, untuk memperbaiki Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional bagi Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah di Kabupaten Lebak, BPJS Kesehatan dan Faskes harus meningkatkan sosialisasi, menambah lokasi tempat pendaftaraan Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, juga perbaikan terhadap mekanisme pendaftaran Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Ahmad Hunaepi. NIM. 081075. 2015. Thesis. Membership Implementation of the National Health Insurance Scheme (JKN) for Category Workers Not Receiver Wages in Lebak, the State Administration of Science Program, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sultan Agung Tirtayasa. Supervisor I Dr. Dirlanudin, M.Si.,. Supervisor II Gandung Ismanto, S. Sos., MM.
Participant Category Not Receiver Wage Workers (PBPU) is any person who works or undertaking at own risk or workers outside working relationship borne membership dues. On its implementation turns out there are still many obstacles in running JKN Membership Program for Worker Category Not Receiver Wages (PBPU) in Lebak. The aim of this study is to investigate and analyze the level of implementation of the National Health Insurance Program Participation (JKN) For Category Workers Not Receiver Wages (PBPU) in Lebak. The method used is quantitative descriptive. Participants The study population is the National Health Insurance Recipients Not Wage Workers category or Participant Independent in Lebak. The calculation of the sample using the formula "Slovin". The instrument in this research is a questionnaire based on the indicators of successful implementation policy according to the theory of George Edward III. The sampling technique in this study by using Acidental sampling. Data analysis technique using hypothesis testing one sample t-test. The results showed Membership Level Implementation of the National Health Insurance Scheme (JKN) for Category Not receiver Wage Workers (PBPU) in Lebak is still lower or less successful. Based on the calculation results obtained t is smaller than the ttabel (-3.34 <1.645) and supported by the results achieved by 58.17% of the hypothetical figure of 60%. Therefore, to improve the implementation of the National Health Insurance Program Membership for Category Not Receiver Wage Workers in Lebak, BPJS Health and Faskes (Hospitals, health centers, clinics and physician Individual) should improve socialization, add the location of the place of registration of the National Health Insurance Program Membership , as well as improvements to the registration mechanism of the National Health Insurance Scheme.
i
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah. Puji syukur yang tak terhingga saya panjatkan kepada
Allah SWT karena atas cinta-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak
lupa juga shalawat dan salam semoga terlimpah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga beserta sahabatnya.
Hasil penelitian yang selanjutnya dinamakan skripsi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan Judul
“Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional bagi Pekerja
Bukan Penerima Upah di Kabupaten Lebak”.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada pihak yang telah
memberikan pengajaran, bantuan, serta dorongan dalam upaya menyelesaikan
skripsi ini. Penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa;
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ii
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
5. Bapak Gandung Ismanto, S.Sos., MM., selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; dan sekaligus
Pembimbing II Skripsi peneliti, terimakasih tak terhingga atas nasihat dan
motivasinya kepada peneliti;
6. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa;
7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa;
8. Drs. Atto’ullah, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan serta bimbingan selama proses perkuliahan;
9. Bapak Dr. Dirlanudin, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I Skripsi. Terima
kasih atas bimbingan, arahan dan motivasi yang telah diberikan selama proses
penyusunan skripsi, semoga menjadi modal awal menuju kesuksesan;
10.Ibu Riny Handayani, S.Si., M.Si., selaku penguji sidang seminar proposal
skripsi. Saya ucapakan terimakasih atas saran dan koreksinya.
11.Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas
iii
Kabupaten Lebak beserta staf yang telah membantu. Terima kasih atas
kesediaannya membantu dan memberikan data dan informasi dalam proses
penyusunan laporan penelitian skripsi ini;
13.Bapak H. Khaerudin, selaku Kepala Puskesmas Mandala. Saya ucapkan
terima kasih atas keterbukaan informasi dan bantuannya;
14.Bapak Budi Kuswandi, S.H., Selaku Kasubag Humas RSUD Dr. Adjidarmo.
Terima kasih atas kesediannya dalam memberikan informasi;
15.Untuk kedua orang tuaku, yang selalu memberikan do’a penuh ikhlas dan
selalu bersabar demi kebahagiaan anaknya, sesuatu yang tak mungkin pernah
terbalas olehku. I love you;
16.Keluarga khususnya Kakak ku yang selalu memberikan dorongan baik secara
materil maupun moril;
17.Teman-teman seperjuangan kelas A angkatan 2008 Reguler, terimakasih atas
motivasinya yang begitu besar; dan
18.Untuk semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam membantu
peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan penelitian skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tak luput dari kesalahan.
iv
proposal penelitian skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Serang, Mei 2015
Peneliti
v
Hal
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
ABSTRACT
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR DIAGRAM ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …...
1.2 Identifikasi Masalah ...
1.3 Batasan Masalah ...
1.4 Rumusan Masalah ... i
v
ix
x
xii
xiv
1
17
18
vi
BAB II DESKRIPSI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori ...
2.1.1 Deskripsi Kebijakan Publik ...
2.1.2 Konsep Implementasi Kebijakan ...
2.1.3 Model Implementasi Pendekatan Top Down ...
2.1.4 Model Implementasi Pendekatan Bottom Up...
2.1.5 Konsep Asuransi Sosial ...
2.1.6 Asuransi Sosial Menurut UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS ...
2.1.7 Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ...
2.1.8 Prosedur Pendaftaraan Kepesertaan Program JKN ...
2.1.9 Manfaat Program JKN ...
2.2 Penelitian Terdahulu ...
2.3 Kerangka Berpikir ...
2.4 Hipotesis Penelitian ... 20
20
24
27
38
39
45
51
57
61
63
65
vii
3.2.1 Jenis Dan Sumber Data ...
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ...
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian ...
3.4 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ...
3.4.1 Uji Validitas ...
3.4.2 Uji Reliabilitas ...
3.4.3 Uji t-Test ...
3.5 Lokasi Dan Waktu Penelitian ...
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.2 Deskripsi Wilayah Kabupaten Lebak ...
4.1.1 Deskripsi Wilayah Kabupaten Lebak ...
4.1.2 Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Kategori
Pekerja Bukan Penerima Upah Di Kabupaten Lebak ...
4.1.3 Prosedur Pendaftaran Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah ...
4.2 Pengujian Persyaratan Statistik ...
4.2.1 Uji Validitas Instrumen ...
4.2.2 Uji Reliabilitas Instrumen ...
4.3 Deskripsi Data ... 76
77
78
81
83
84
85
85
87
87
90
92
94
94
96
viii
4.3.1.3 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...
4.3.1.4 Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ...
4.3.1.5 Responden Berdasarkan Status Kelas Perawatan ...
4.3.1.6 Responden Berdasarkan Pendapatan Perbulan ...
4.3.2 Analisis Data ...
4.3.2.1 Komunikasi ...
4.3.2.2 Sumber Daya ...
4.3.2.3 Disposisi ...
4.3.2.4 Struktur Birokrasi ...
4.4 Pengujian Hipotesis ...
4.1 Interpretasi Hasil Penelitian ...
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...
5.2 Saran ... 102
103
104
106
107
109
118
129
134
141
145
160
163
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
Hal
Gambar 2.1 Tahapan Kebijakan Publik ... 22
Gambar 2.2 Model Dalam Mengimplementasikan Kebijakan Publik ... 25
Gambar 2.3 Model Pendekatan Direct and Indirect on Implementation (George Edward III) ... 30
Gambar 2.4 Alur Pendaftaraan Peserta Mandiri Program JKN ... 60
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir ... 68
Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Lebak ... 88
Gambar 4.2 Alur Pendaftaraan Peserta Mandiri Program JKN ... 93
x
Hal
Tabel 1.1 Besaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasional
Bukan Penerima Bantuan Iuran PBI ... 4
Tabel 1.2 Data Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional Wilayah Kerja BPJS Kesehatan Kantor Cabang Serang Juni 2014 ... 6
Tabel 1.3 Data Kepesertaan Program JKN di Kabupaten Lebak September 2014 ... 7
Tabel 1.4 Jumalah Penduduk Bekerja Berdasarkan Sektor usaha Di Kabupaten Lebak Tahun 2012-2013 ... 8 Tabel 2.1 Perbedaan Asuransi Sosial Kengan Asuransi Komersial ... 52
Tabel 2.2 Kriteria Kepesertaan Program JKN ... 56
Tabel 3.1 Skoring Tiap Indikator Menurut Likert ... 74
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 75
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 86
Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di Kabupaten Lebak Tahun 2014 ... 89
Tabel 4.2 Jumlah Peserta Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah Berdasarkan Status Kelas Perawatan di Kabupaten Lebak September 2014 ... 91
xi Tabel 4.7 Nilai Skor Rata-Rata dan
xii
Hal
Diagram 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 100
Diagram 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia ... 101
Diagram 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 102
Diagram 4.4 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 104
Diagram 4.5 Identitas Responden Berdasarkan Status Kelas Perawatan ... 105
Diagram 4.6 Identitas Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 106
Diagram 4.7 Sub Indikator Transmisi (Penyaluran Komunikasi) ... 110
Diagram 4.8 Sub Indikator Kejelasan ... 112
Diagram 4.9 Sub Indikator Konsistensi ... 116
Diagram 4.10 Sub Indikator Staf ... 118
Diagram 4.11 Sub Indikator Informasi ... 121
Diagram 4.12 Sub Indikator Wewenang ... 124
Diagram 4.13 Sub Indikator Fasilitas ... 127
Diagram 4.14 Sub Indikator Pengangkatan Birokrat ... 130
Diagram 4.15 Sub Indikator Insentif ... 132
Diagram 4.16 Sub Indikator Standart Operating Prosedur (SOPs) ... 135
Diagram 4.17 Sub Indikator Fragmentasi (Penyebaran Tanggung Jawab Kegiatan) ... 137
xiii
xiv Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Tabel Identitas Responden
Lampiran 3 Tabel Induk Hasil Kesioner (202 Responden)
Lampiran 4 Uji Validitas
Lampiran 5 Uji Realibilitas
Lampiran 6 Nilai-Nilai Product Moment
Lampiran 7 Daftar Nilai Kritis Pearson Product Moment
Lampiran 8 Nilai Kritis Distribusi t
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian Kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan Kabupaten Lebak
Lampiran 10 Surat Balasan Ijin Penelitian dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan Kabupaten Lebak
Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian Kepada RSUD Dr. Adjidarmo
Kabupaten Lebak
Lampiran 12 Surat Ijin Penelitian Kepada Puskesmas Mandala Kecamatan
Cibadak Kabupaten Lebak
Lampiran 13 Catatan Bimbingan Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila terutama sila ke-5 mengakui hak asasi warga atas jaminan sosial dan kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1), (2), (3), dan pasal 34 ayat (1), (2), (3). dan diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU No. 36 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Selain itu, Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tertuang dalam TAP Nomor X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Untuk menjalankan amanah konstitusi terebut pemerintah berupaya membuat sebuah kebijakan mengenai sistem jaminan sosial secara menyeluruh. Maka dari itu dibentuklah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Terbentuknya UU SJSN merupakan jalan menuju perbaikan atas perlindungan negara terhadap warganya. Tidak peduli mereka kaya atau miskin, pekerja sektor formal maupun sektor informal/wiraswasta, karena jaminan sosial tersebut meliputi
Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua,
Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian.
Alotnya rancangan kebijakan peraturan pendukung pelaksanaan SJSN
oleh DPR RI membuat Pemerintah Pusat baru bisa mengesahkan Setelah 7
(tujuh) tahun berselang. Salahsatunya pada tahun 2011 dengan membentuk
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Merupakan Badan Hukum yang ditugaskan untuk
menyelenggaarakan Program Jaminan Sosial. Khusus untuk Program Jaminan
Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang sudah
dimulai sejak 1 Januari 2014. Dengan dilaksanakannya Program JKN oleh
BPJS Kesehatan diharapkan masyarakat nantinya mendapatkan pemenuhan
atas hak-hak dasar kesehatan.
JKN adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang
yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah
(Kemenkes, 2013). Jaminan kesehatan ini mengacu pada mekanisme asuransi
sosial kesehatan. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran
yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada
peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota
Asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan sebagai
berikut; Pertama, memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi
terjangkau; Kedua, asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali
biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu
memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter”
atau terserah “rumah sakit”. Ketiga; asuransi kesehatan sosial menjamin
sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan). Keempat; asuransi kesehatan sosial memiliki portabilitas,
sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk
melindungi seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/JKN bersifat
wajib (Kemenkes, 2013).
Dalam Perpres No. 111/2013, Kepesertaan dalam Program Jaminan
Kesehatan Nasional di bagi menjadi 2 (dua) yaitu Peserta Penerima Bantuan
Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Peserta PBI
adalah orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. Kategori
peserta PBI ini iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Sedangkan, Peserta
Bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu. Peserta Bukan PBI terdiri atas Pekerja Penerima Upah (PPU);
Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU); dan Bukan Pekerja (BP).
Adapun untuk pembayaran preminya yaitu Peserta PPU iurannya
dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja; Peserta PBPU iurannya
dibayarkan oleh peserta yang bersangkutan; dan Peserta Bukan Pekerja
Pekerja yaitu penerima pensiunan pemerintah iurannya dibayarkan
pemerintah dan penerima pensiun, sedangkan veteran dan perintis
kemerdekaan dibayarkan oleh pemerintah. Dalam Program JKN, Kepesertaan
Program JKN dilaksanakan secara bertahap yaitu dimulai 1 Januari 2014,
sampai paling lambat 1 Januari 2019 agar seluruh penduduk Indonesia
terdaftar dalam asuransi Jaminan Kesehatan Nasional. Lebih jelasnya aturan
iuran Program JKN Bukan PBI termasuk PBPU bisa dilihat dalam tabel 1.1
berikut ini:
Tabel 1.1
Besaran Iuran Program Jaminan Kesehatan Nasional
Bukan Penerima Bantuan 1uran (PBI)
Sasaran Peserta Bukan PBI
Pekerja Penerima Upah (PPU) Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Bukan Pekerja (BP) PNS/TNI/Polri/ PejabatNegara/ Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pegawai
Swasta MandiriPekerja Pemerintah Pensiunan Pensiunan Swasta
Veteran/ Perintis Kemerdekaan
Prosentase
Upah 5% 4,5% Nominal Nilai 5% Nominal Nilai 5% dari 45% gaji pokok
Kontribusi
3% Pemerintah Pemberi 4%
Kerja Rp.25.500,- Rp.42.500,- Rp.59.500,-
3%
Pemerintah Rp.25.500,- Rp.42.500,- Rp.59.500,-
5% dari 45% gaji pokok 2% Pekerja Pekerja 0,5% Penerima 2%
Pensiun
Keterangan Gaji Pokok dan Tunjangan
Keluarga Gaji Pokok dan Tunjangan Tetap Kelas 3 Kelas 2 Kelas 1 Gaji Pokok dan Tunjangan Keluarga Kelas 3 Kelas 2
Dalam Perpres No.12/2013, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)
adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Peserta
JKN PBPU merupakan pekerja diluar hubungan kerja atau pekerja mandiri
(Perpres No. 111/2013 pasal 4 ayat 3a). Contoh Pekerja Bukan Penerima
Upah kebanyakan ada pada pekerja sektor informal seperti petani, nelayan,
pembantu, pedagang, supir, tukang ojek, dan semacamnya. Juga pekerja
profesional seperti dokter praktek, pengacara, seniman, konsultan dan
semacamnya. Pada intinya PBPU adalah pekerjaan yang yang tidak berkaitan
dengan formalitas hubungan kerja. Atau pekerja yang upahnya tidak
tetap/menentu. Atau pekerja yang mendapatkan gaji tapi tidak ada formlitas
kontrak kerja. Setiap Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) wajib
mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya secara sendiri-sendiri atau
berkelompok sebagai peserta jaminan kesehatan pada BPJS Kesehatan
dengan membayar iuran (Perpres No. 111/2013 pasal 11 ayat 3). Aturan iuran
pada peserta PBPU dapat memilih dengan pilihan pada kelas I (Satu), II
(Dua), dan III (Tiga). Dengan pembayaran premi kelas I sebesar
Rp.59.500/bulan, kelas II Rp.42.500 dan kelas III Rp.25.500. Dan Bank yang
ditunjuk untuk pembayaran premi antara lain BRI, Mandiri dan BNI.
Di Provinsi Banten sebagian besar pengelolaan Kepesertaan Program
JKN dilakukan oleh BPJS Kesehatan Kantor Cabang Serang dengan cakupan
wilayah yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang,
Kota Serang, dan Kota Cilegon. Data Kepesertaan BPJS Kantor Cabang
Tabel 1.2
Data Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional
Wilayah Kerja BPJS Kantor Cabang Serang Juni 2014
No Kabupaten/Kota
Jenis
Kepesertaan Jumlah Kapitasi (Rupiah) PBI Non PBI
1 Kabupaten Lebak 680.101 79.081 759.182 4.555.092.000 2 Kabupaten Pandeglang 772.300 63.584 835.884 5.015.304.000 3 Kabupaten Serang 436.889 115.034 551.923 3.311.538.000 4 Kota Cilegon 90.868 85.392 176.260 1.057.560.000 5 Kota Serang 121.221 84.409 205.630 1.233.780.000 Jumlah 2.101.379 427.500 2.528.879 15.173.274.000 Sumber : BPJS Kesehatan Kantor Cabang Serang
Berdasarkan tabel 1.2 diatas jumlah peserta Program JKN pada akhir
Juni di Wilayah Kerja BPJS Kantor Cabang Serang sebanyak 2.528.879
orang. Dimana Kabupaten Pandeglang berada pada urutan teratas jumlah
Peserta JKN sebanyak 835.884 orang sedangkan Kota Cilegon berada pada
urutan terendah Peserta JKN sebanyak 176.260 orang. Sedangkan untuk
Bukan Penerima Bantuan Iuran, Kabupaten Serang berada pada urutan teratas
sebanyak 115.034 orang sedangkan urutan terendah ada di Kabupaten
Pandeglang sebanyak 63.584 orang. Dan jika angka jumlah peserta Bukan
Penerima Bantuan Iuran dibandingkan dengan angka jumlah penduduk hasil
Sensus 2010 maka hasilnya ditiap Kabupaten/Kota adalah Kabupaten
Pandeglang (5,6%), Kabupaten Lebak (6,8%), Kabupaten Serang (8,3%),
Kabupaten Lebak pada data terakhir bulan September, masyarakat
yang terdaftar dalam kepesertaan Program JKN kategori PBPU di BPJS
Kesehatan Kabupaten Lebak mencapai 17.045 jiwa (1,3% ) dari total jumlah
penduduk sebesar 1.247.906 jiwa (Sumber : BPJS Kesehatan Kabupaten
Lebak, 2014). Rincian data Peserta Program JKN di Kabupaten Lebak dapat
dilihat pada tabel 1.3 sebagai berikut:
Tabel 1.3
Data Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
di Kabupaten Lebak September 2014
JENIS KEPESERTAAN JKN PESERTA PBI PBI Nasional 675.221
PBI Daerah 9.086
BUKAN PBI PPU 66.956
PBPU 17.045
Jumlah 768.668
Sumber: BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak 2014
Dari tabel 1.3 diatas, kepesertaan Program JKN di Kabupaten Lebak
sudah mencapai 61,5% dari total jumlah penduduk Kabupaten Lebak. Mayoritas kepesertaan JKN diisi oleh peserta PBI sebesar 54,8%; Peserta
PPU sebesar 5,3%; dan Peserta PBPU sebesar 1,3% dari total jumlah
penduduk Kabupaten Lebak. Data kepesertaan ini menunjukan bahwa
kepesertaan Program JKN di Kabupaten Lebak sudah mencapai setengah dari
jumlah total jumlah penduduk. Meskipun persentase jumlah peserta JKN
didominasi oleh kategori PBI, namun kategori PBPU pun harus menjadi
mendaftar secara mandiri. Pada data tabel 1.3 diatas, jumlah kategori PBPU
masih terbilang kecil (1,3%), oleh karena itu perlu peran aktif pemerintah
untuk mendorong minat dan kesadaran akan pentingnya jadi peserta JKN.
Kategori PBPU merupakan kelompok yang sangat riskan jika pemerintah
tidak mendorong mereka untuk mendaftarkan dirinya.
Keberhasilan partisipasi peserta program JKN kategori PBPU akan
berkaitan pula dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dimana
tingkat pendapatan akan mempengaruhi peran aktif masyarakat untuk
mendaftarkan dirinya sebagai peserta JKN. Berikut ini peneliti paparkan
sektor usaha dan jumlah masyarakat Kabupaten Lebak yang bekerja di
beberapa sektor tersebut. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel 1.3
berikut:
Tabel 1.4
Jumlah Penduduk Bekerja Berdasarkan Kelompok Sektor Usaha di
Kabupaten Lebak Tahun 2012-2013
No Tahun
Pencaharian / Sektor Usaha
Petani Buruh Tani perikanan Nelayan/ Nelayan Buruh Perdagangan Lain- Nya Jumlah 1 2012 186.634 101.379 6.695 1.236 1.086 78.002 375.032 2 2013 180.031 120.413 11.374 9.306 34.265 33.401 388.790 (Sumber: Renstra Disnakersos Kabupaten Lebak 2014-2019)
Dari tabel 1.4 di atas menunjukan bahwa pekerja sektor informal di
Kabupaten Lebak pada tahun 2013 mencapai 388.790 jiwa. Jumlah
awal bagi peneliti untuk mendeskripsikan jumlah peserta JKN dengan
kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Pekerja Bukan Penerima
Upah dalam Program JKN merupakan pekerja diluar hubungan kerja/sektor
informal yang dianggap oleh pemerintah sebagai orang mampu/bukan fakir
miskin. Peserta PBPU merupakan Peserta Program JKN yang secara mandiri
harus mendaftarkan kepesertaannya ke BPJS Kesehatan. Golongan ini
merupakan kategori peserta yang begitu riskan untuk tidak terjamin
kesehatannya. Karena kategori ini harus pro aktif untuk mendaftarkan dirinya
sebagai peserta Program JKN apabila mereka peduli terhadap kesehatannya.
Berbeda dengan kategori PBI, mereka kepesertaannya bersifat pasif artinya
didaftarkan oleh pemerintah atau oleh perusahaaan di tempat peserta bekerja.
Kabupaten Lebak dalam menjalankan Program JKN yang
diselenggarakan BPJS Kesehatan masih terkendala dalam melayani pendataan
kepesertaan. Kendala ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah peserta baru
yang mencapai 150-200 orang per hari yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Polri, TNI, Purnawirawan, Jamkesmas, Jamkesda dan Mandiri.
Namun peningkatan jumlah peserta JKN ini tidak diimbangi dengan jumlah
aparatur dan kondisi sarana prasarana yang mencukupi di BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak
(http://www.ciputranews.com/kesra/minat-warga-lebak-masuk-bpjs-cukup-tinggi : diakses 22 Nov 2014). Saat ini BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak dalam melayani kepesertaan di Kantor Layanan
Operasional Kabupaten Lebak masih menempati kantor dengan keadaan sewa
orang Kepala BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak. Sedangankan 3 (Tiga)
orang verificator di tempatkan di BPJS Center RSUD Dr. Adjidarmo dan 1
(Satu) orang verificator di RSUD Malingping. Keterbatasan sumber daya
manusia di BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak ini berdampak kepada
pelaksanaan pelayanan kepesertaan Program JKN menjadi kurang optimal
termasuk bagi kategori PBPU. Saat ini Kantor Layanan Opersional BPJS
Kesehatan Kabupaten Lebak sudah mengajukan untuk penambahan pegawai
tapi sampai saat ini belum terealisasi oleh BPJS Kesehatan Divisi Regional
XIII. Adapun untuk jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Fasilitas
Penunjang Kesehatan di Kabupaten Lebak yang yang sudah bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak sebanyak 42 Puskesmas, 71
Puskesmas Pembantu (Pustu), 14 Klinik Swasta, 2 Klinik TNI dan 1 Klinik
Polri, 3 Apotik dan 2 Optik. Sementara untuk rujukan (FKRTL), yaitu RSUD
Malingping dan RSUD Dr. Adjidarmo (Sumber : hasil wawancara dengan
Kepala BPJSK Kabupaten Lebak 2014).
Sumber daya manusia, sarana dan prasarana di BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak yang tersedia, merupakan hal yang sangat penting dalam
menunjang implementasi kepesertaan Program JKN di Kabupaten Lebak.
BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak sebagai penyelenggara kepesertaan
dituntut untuk memperbaiki pelayanan kepesertaan di Kabupaten Lebak. Baik
dari sisi pendataan kepesertaan maupun pengelolaan dana kepesertaan agar
masyarakat mudah untuk berpartisipasi terhadap Program JKN. Untuk
antara BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak. Khususnya koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
Lebak dan Fasilitas pelayanan kesehatan FKTP (Puskesmas, Klinik) dan
FKTL (Rumah Sakit) di wilayah Kabupaten Lebak agar bisa meningkatkan
jumlah kepesertaan. Selain itu BPJS Kesehatan harus bisa menawarkan
kepada masyarakat mengenai pentingnya manfaat keikutsertaan dalam
asuransi kesehatan. Disamping itu diimbangi dengan perbaikan pelayanan
pada sistem pendaftaraan kepesertaan. Dan pada ujungnya seluruh
masyarakat di Kabupaten Lebak terlindungi dalam sistem asuransi kesehatan
dalam Program JKN.
Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara pendahuluan yang
dilakukan. Peneliti masih menemukan beberapa masalah mengenai
Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi
Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Lebak.
Sehingga hal ini banyak dikeluhkan oleh calon peserta maupun peserta
program JKN Bagi Kategori PBPU.
Pertama, kurangnya sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional
bagi kategori PBPU oleh Pihak BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak di
Wilayah Kabupaten Lebak. Sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak selama ini hanya melalui media cetak (Radar Banten),
baliho, spanduk dan penyuluhan peningkatan pelayanan kepada FKTP
(Puskesmas, Klinik) dan FKTL (Rumah Sakit). Dan di bantu oleh BPJS
Kegiatan sosialisasi seperti ini masih belum optimal dan tidak mampu
menjangkau masyarakat secara menyeluruh khususnya di Kabupaten Lebak.
Pada dasarnya sosialisasi yang yang dilakukan BPJS Kesehatan Kabupaten
Lebak masih intensif di tataran elite pemerintahan daerah Kabupaten Lebak
(Sumber : hasil wawancara dengan Kepala BPJSK Kabupaten Lebak 2014).
Kedua, kurangnya sikap pro aktif Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Puskesmas, Rumah Sakit) di wilayah Kabupaten Lebak dalam memberikan
informasi mengenai kepesertaan Program JKN kepada kategori PBPU.
Kurangnya sikap pro aktif ini dikarenakan tidak adanya kejelasan aturan
mengenai kewajiban Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk membantu
sosialisasi kepesertaan Program JKN. Kewajiban Fasilitas Pelayanan
Kesehatan hanya sebatas pada pemberian pelayanan kesehatan peserta JKN.
Dalam hal ini Fasilitas Pelayanan Kesehatan kurang mempedulikan
pemberian informasi yang lengkap untuk meningkatkan jumlah kepesertaan
diwilayahnya. Ini diakibatkan karena keterbatasan dalam segi kewenangan
maupun sumber daya manusia, sarana prasarana serta segi keuangan dalam
menjalankan Program JKN. Seharusnya Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagai pemberi pelayanan pertama kepada masyarakat bertanggungjawab
terhadap kondisi kesehatan masyarakatnya. Salah satunya dengan berperan
aktif dalam mensosialisasikan kepesertaan Program JKN agar masyarakat
tertarik dan berpartisipasi aktif untuk mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan
Kesehatan Kabupaten Lebak. Dan pada akhirnya mempermudah memperoleh
masyarakat khususnya di Kabupaten Lebak (Sumber : hasil wawancara
dengan Humas RSUD Dr. Adjidarmo serta Kepala Puskesmas Mandala
2014).
Ketiga, terbatasnya lokasi pendaftaraan kepesertaan Program JKN di
Kabupaten Lebak. Saat ini pelayanan pendaftaran kepesertaan program JKN
untuk seluruh wilayah Kabupaten Lebak hanya bisa dilayani di Kantor
Layanan Operasional BPJS Kabupaten Lebak. Yaitu berlokasi di Jln. Patih
Derus No.14 Rangkasbitung Kabupaten Lebak. Satu-satunya lokasi
pendaftaraan tersebut memberatkan bagi masyarakat yang bertempat tinggal
jauh (pelosok) dari lokasi pendaftaraan. Selain itu, satu-satunya lokasi
pendaftaraan mengakibatkan antrian yang cukup panjang dan memakan
waktu yang cukup lama dikarenakan calon peserta diseluruh wilayah
Kabupaten Lebak terkumpul disatu lokasi pendaftaran (Sumber : observasi
lapangan 2014).
Keempat, rumitnya tata cara pendaftaran manual kategori Pekerja
Bukan Penerima Upah (PBPU) di Kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak.
Bagi pekerja sektor informal ini, dalam mengikuti kepesertaan program JKN
harus mendaftarkan sendiri ke Kantor Layanan Operasional BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak. Ada 3 (tiga) proses tahapan dalam pendaftaraan peserta
kategori PBPU pengisian formulir di kantor BPJS Kesehatan, Pembayaran
premi di Bank yang ditunjuk BPJS Kesehatan dan Pengambilan Kartu
Anggota di BPJS Kesehatan (Sumber : wawancara dengan staf BPJSK
kesulitan dengan cara pengisian formulir pendaftaraaan dikantor BPJS
Kesehatan. Dikarenakan kurangnya petugas yang membantu ketika calon
peserta kebingungan dalam pengisian formulir. Kemudian mengenai cara
pembayaran iuran/premi, calon peserta dipusingkan dengan bagaimana cara
pembayaran di Bank yang ditunjuk BPJS Kesehatan. Belum cukup sampai
disitu peserta wajib kembali lagi ke kantor BPJS Kesehatan untuk
pengambilan kartu anggota peserta. Di tambah lagi dengan proses antri yang
cukup panjang membuat calon peserta merasa lelah dengan tahap-tahap
proses pendaftaraan secara manual ( Sumber : wawancara dengan Peserta
Mandiri JKN di Kabupaten Lebak 2014).
Kelima, sulitnya pendaftaraan melalui sistem online di Website BPJS
Kesehatan. Kendala pendaftaran kepesertaan online yang sering terjadi yaitu
kegagalan server. Seperti Notifikasi gagal dikirim ke alamat email pada saat
pertama kali pendaftaran. Data sudah berhasil tersimpan akan tetapi notifikasi
email tidak terkirim. Padahal dalam notifikasi tersebut ada nomor virtual
account yang harus dibayar. Kemudian sudah bayar virtual account tapi tidak
bisa aktivasi e-ID. e-ID berfungsi sebagai pengganti kartu BPJS Kesehatan,
sehingga harus dicetak. Sedangkan untuk bisa dicetak e-ID harus lewat
notifikasi alamat email. Belum lagi adanya perintah untuk mengisi nomor
rekening pada pendaftaran BPJS Kesehatan secara online. Sebab tidak semua
orang mempunyai rekening di Bank. Selain sulitnya pendaftaran secara
online, diperparah lagi dengan banyaknya calon peserta yang tidak
Sumber : wawancara dengan Peserta Mandiri JKN di Kabupaten Lebak
2014).
Keenam, kurang terjangkaunya aturan besaran nominal premi yang
harus dibayar bagi Peserta kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di
Kabupaten Lebak. Beberapa pilihan tipe kelas perawatan iuran untuk Peserta
PBPU yaitu kelas I (Satu) Rp. 59.500,-, II (Dua) Rp. 42.500,-, dan III (Tiga)
Rp. 25.500,-,. Dalam pelaksananya, peserta kategori PBPU di Kabupaten
Lebak merasa keberatan dengan besaran premi yang wajib dibayar per orang
setiap bulan. Jika besaran premi tersebut dihitung per orang, maka peserta
yang sudah berkeluarga akan semakin terbebani dengan jumlah besaran
premi. Mengingat kategori peserta PBPU adalah pekerja sektor informal yang
tidak mempunyai penghasilan tetap setiap bulannya ( Sumber : wawancara
dengan Peserta Mandiri JKN di Kabupaten Lebak 2014).
Ketujuh, lamanya aturan aktifasi kartu JKN bagi pendaftar pertama
kepesertaan PBPU di Kabupaten Lebak. Bagi peserta yang baru mendaftarkan
diri di BPJS Kesehatan tidak langsung serta merta bisa mendapatkan manfaat
jaminan kesehatan. Karena kartu JKN hanya bisa digunakan setelah 7 (tujuh)
hari sejak pembayaran premi pertama. Lamanya waktu berlaku kartu JKN,
membuat peserta baru merasa dirugikan karena merasa sudah melakukan
pembayaran tapi belum bisa dijamin kesehatannya. Mereka merasa datangnya
sakit tidak bisa diprediksi. Bagaimana jika sebelum kartu aktif sudah terkena
penyakit dan butuh perawatan di Rumah Sakit. Resikonya Peserta harus
pemberian pelayanan kesehatan sebelum kartu tersebut dinyatakan berlaku.
Yaitu dengan menunggu waktu selama 7 (tujuh) hari sejak pembayaran iuran
pertama ( Sumber : wawancara dengan Peserta Mandiri JKN di Kabupaten
Lebak 2014).
Kedelapan, banyaknya peserta kategori PBPU di Kabupaten Lebak
yang menunggak pembayaran premi. Dalam aturan program JKN untuk
pembayaran premi diwajibkan paling lambat tanggal 10 (Sepuluh) setiap
bulannya. Jika terlambat akan dikenakan sanksi administratif sebesar 2% dari
total premi. Dan apabila secara berturut-turut 3 (tiga) bulan tidak melakukan
pemabayaran premi, kepesertaan akan dikeluarkan dari Program JKN.
Terjadinya tunggakan ini dikarenakan tidak adanya mental gotong royong
dalam hal iuran. Ini dikarenakan kebanyakan peserta yang mendaftarkan diri
di BPJS kesehatan adalah peserta dengan resiko sakit didepan mata. Seperti
peserta yang butuh segera pengobatan kesehatan (riwayat penyakit) dengan
biaya mahal. Atau ibu-ibu hamil yang akan segera melahirkan. Peserta seperti
ini antusias dalam mendaftarkan kepesertaan program JKN tetapi setelah
proses pengobatan kesehatan dilalui, peserta pun acuh terhadap kewajiban
pembayaran premi. Saat ini di Kabupaten Lebak, kepesertaan PBPU bulan
September sebanyak 17.045 peserta dan lebih setengahnya yang menunggak
sebanyak 8.625 peserta ( Sumber : wawancara dengan Kepala BPJS
Kesehatan Kabupaten Lebak 2014).
Melangkah dari beberapa permasalahan tersebut di atas, peneliti
Kesehatan Nasional (JKN) Pada Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah
(PBPU). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti dan mengeksplorasi
masalah tersebut dengan judul: “Implementasi Kepesertaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Kategori Pekerja Bukan
Penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Lebak”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti kemudian
melakukan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya sosialisasi Program JKN oleh BPJS Kesehatan Kabupaten
Lebak kepada kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di
Kabupaten Lebak;
2. Kurangnya sikap pro aktif Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas,
Klinik, Rumah Sakit) dalam membantu memberikan informasi Program
JKN kepada kategori PBPU di wilayah Kabupaten Lebak;
3. Masih rumitnya penerapan sistem pendaftaraan kepesertaan bagi Kategori
PBPU Program JKN di BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak;
4. Masih kurangnya jumlah SDM, dan sarana prasarana di BPJS Kesehatan
Kabupaten Lebak dalam memberikan pelayanan pendaftaraan kepesertaan
1.3 Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian diperlukan untuk lebih
memfokuskan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti
membatasi penelitian pada fokus utama masalah, yaitu pada Implementasi
Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Kategori
Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan Lokasi di Wilayah Kabupaten
Lebak.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut :
“Bagaimana Tingkat Implementasi Kepesertaan Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah
(PBPU) di Kabupaten Lebak?”
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis Tingkat Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) Bagi Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian yang berjudul
Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Bagi
Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) di Kabupaten Lebak adalah:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan dan pengetahuan karena akan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dalam dunia akademis khususnya Ilmu Administrasi Negara,
terutama yang berkaitan dengan implementasi kebijakan publik. Selain itu,
penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk pengembangan studi
implementasi kebijakan publik.
2. Secara Praktis
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat praktis bagi peneliti dari hasil penelitian ini adalah dapat
memperkaya pengetahuan yang luas mengenai masalah yang diteliti;
b. Sebagai bahan rekomendasi bagi pihak terkait, khusunya dalam
meningkatkan keberhasilan Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan
Bagi Pekerja Bukan Penerima Upah di Wilayah Kabupaten Lebak
Kabupaten Lebak pada masa mendatang;
c. Bahan referensi bagi mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi
Negara khususnya, dan pembaca pada umumnya dalam memahami
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
2.1Deskripsi Teori
Penggunaan teori sangat penting dalam suatu penelitian. Teori berfungsi untuk menjelaskan dan menjadi pedoman dalam penelitian. Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti telah menguraikan masalah-masalah yang diperoleh di lapangan yang berkaitan dengan penelitian. Pada bab ini, peneliti mengkaji beberapa teori yang relevan dengan permasalahan penelitian sehingga akan diperoleh konsep penelitian yang jelas.
Penelitian mengenai Implementasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Pada Kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan Lokus di Kabupaten Lebak akan dikaji dengan menggunakan beberapa teori dalam ruang lingkup ilmu administrasi negara, yaitu: Teori Kebijakan Publik, Teori Implementasi Kebijakan Publik, Konsep Asuransi Sosial, Konsep Jaminan Kesehatan Nasional.
2.1.1 Deskripsi Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Dye yang dikutip Subarsono (2005: 2) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak
dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika
pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Definisi kebijakan publik dari
Dye tersebut mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat
oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik
menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan
pemerintah. Dalam hal ini apakah pemerintah harus membuat program baru
atau tetap pada status quo. Masih dalam Subarsono (2005: 2) Anderson
mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh
badan-badan dan aparat pemerintah.
Definisi lain mengenai kebijakan publik pun ditawarkan oleh
Eyestone dan Friedrich dalam Agustino (2007: 166). Eyestone
mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan antara unit pemerintah
dengan lingkungannya. Sedangkan Friedrich mengatakan bahwa kebijakan
adalah “serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat
hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna
dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Agustino, 2007:
166).
Kartasasmita dalam Widodo mendefinisikan kebijakan publik adalah
“serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah (Widodo,
Sedangkan kebijakan publik menurut Rose dalam Agustino (2006: 7) adalah sebagai berikut:
“Kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian panjang dan banyak atau
sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsentrasi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan. Rose memberikan catatan yang berguna pada kita bahwa kebijakan publik merupakan bagian mozaik atau pola kegiatan dari bukan hanya satu
kegiatan dalam pola regulasi (Agustino, 2006: 7).”
Menurut Bridgman dan Davis dalam Suharto (2008: 3) kebijakan
publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “Whatever
government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apa saja
yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan)”.
Nugroho (2003: 7) memaparkan tentang siklus skematik kebijakan publik yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.1
Siklus Skematik Kebijakan Publik
Sumber: Nugroho, Rian D (2003:7)
Perumusan Kebijakan
Evaluasi Kebijakan Publik output
outcome
Implementasi Kebijakan
Publik Isu atau
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan dalam sekuensi sebagai
berikut:
1. Terdapat isu atau masalah publik disebut isu apabila masalah bersifat
strategis, yakin bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau
bahkan keselamatan bersama biasanya berjangka panjang tidak bisa
diselesaikan isu ini di angkat sebagai agenda politik untuk
diselesaikan.
2. Isu ini kemudian menggerakan pemerintah untuk merumuskan
kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut.
Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan
warganya termasuk pimpinan negara.
3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilakasanakan
baik oleh pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama
dengan masyarakat.
4. Namun dalam proses perumusan, pelakasanaan, dan pasca
pelaksanaan di perlukan tindakan evaluasi sebagai siklus baru
sebagai penilaian apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan
dengan bijak dan benar dan di implementasikan dengan baik dan
benar pula.
5. Implementasi kebijkan bermuara kepada output yang dapat berupa
kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan
6. Di dalam jangka panjang kebijkan tersebut menghasilkan outcome
dalam bentuk impac kebijakan yang diharapkan semakin
meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan
tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi kebijakan publik oleh para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan
yang diambil oleh pemerintah dari berbagai pilihan yang ada untuk dilakukan
atau tidak dilakukan untuk menangani berbagai masalah yang terdapat di
suatu negara yang mempunyai tujuan tertentu dengan menggunakan tiga
kegiatan pokok yaitu perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan
dengan tujuan menciptakan kesejahteraan bagi orang banyak. Untuk itu
kebijakan publik adalah keputusan yang diambil oleh Pemerintah mengenai
pedoman tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya pada perumusan kebijakan
Pada penelitian ini, pembahasan kebijakan publik akan mengarah pada
implementasi kebijakan yang akan dijadikan teori inti sebagai alat analisa
untuk mengukur kebijakan pemerintah yang menjadi objek penelitian.
2.1.2 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik merupakan suatu kajian mengenai
pelaksanaan dari suatu kebijakan pemerintah setelah sebuah kebijakan
dirumuskan dan disetujui, langkah berikutnya adalah bagaimana agar
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk programprogram atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Nugroho (2003: 159) secara umum dapat menggambarkan model implementasi sebagai berikut:
Gambar 2.2
Model Dalam Mengimplementasikan Kebijakan Publik
Menurut Eugene Bardach dalam Agustino (2006: 138) seorang ahli studi kebijakan menggambarkan tentang kerumitan dalam proses implementasi tersebut, yaitu :
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum
yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para
Sumber: Nugroho, Rian D (2003 : 159)
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas
Publik/Masyarakat/ Beneficiares Proyek Intervensi Program Intervensi
pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien”.
Dalam derajat lain Metter dan Horn dalam Wahab (2005: 65)
mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai
”Merumuskan proses implementasi ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.
Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino
(2006: 139) implementasi kebijakan adalah
”Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yamg ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.
Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan menyangkut ( minimal ) tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau
sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapain tujuan dan (3)
adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana
pelaksana kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis dimana pelaksana
kegiatan melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
Menurut Udoji dalam Widodo (2007: 191) dalam mendefinisikan
implementasi kebijakan, yaitu :
”Pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan.”
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Grindle,
yaitu ” Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya,
dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang
telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects
dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai” (Agustino, 2006:
154).
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli diatas
mengenai implementasi kebijakan, disimpulkan bahwa implementasi
merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana
kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
2.1.3 Model Implementasi Pendekatan Top Down
Dalam perkembangannya, studi implementasi kebijakan memiliki dua
pendekatan dalam memahaminya yaitu yang pertama pendekatan top down.
Menurut Agustino (2006: 140) Dalam pendekatan top down, implementasi
kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan mulai dari aktor tingkat pusat, dan
tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang
telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh
administrator-administrator atau birokratbirokrat pada level bawahnya. Jadi
inti pendekatan top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana
(administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah
digariskan oleh para pembuat kebijakan ditingkat pusat.
Berikut ini beberapa pendekatan top down implementasi kebijakan
menurut para ahli :
A.Implementasi kebijakan publik model Van Metter dan Van Horn
(1975) disebut juga dengan A model of the policy.
Model pendekatan ini menjelaskan bahwa proses implementasi
merupakan abstraki suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya
secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan
publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel.
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara
linier dari keputusan politik/kebijakan publik, implementor dan kinerja
kebijakan publik. Ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja
kebijakan publik tersebut, yaitu:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumberdaya
3. Karakteristik agen pelaksana
4. Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
B.Implementasi kebijakan publik model Mazmanian dan Sabatier
(1983) disebut juga dengan A Frame for policy implementation.
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi
kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan
variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan proses implementasi, variabel -variabel tersebut adalah:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:
kesukaran-kesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, presentase totalitas
penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran, serta tingkat dan
ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.
2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat,
meliputi: kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi
yang akan dicapai, kehandalan teori kausalitas yang diperlukan,
ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarki di dalam
lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi
pelaksana, aturanaturan pembuat keputusan dari badan-badan
pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub
dalam undang-undang, serta akses formal pihak-pihak luar.
Variabel-variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi,
meliputi: kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap
dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat serta
C.Implementasi kebijakan publik model Edward III disebut juga
dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. (Agustino,
2006:149)
Dalam pendekatan yang diteorikan oleh Edward III, terdapat
empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasikan suatu kebijakan, yaitu:
1. Komunikasi; 2. Sumberdaya; 3. Disposisi; dan 4. Struktur birokrasi.
Gambar 2.3
Model Pendekatan Direct and Indirect Impact on Implementation
(George Edward III)
1. Komunikasi
Variable pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut George C Edward III, adalah komunikasi.
Sumber: (Agustino, 2006 :150) KOMUNIKASI
STRUKTUR BIROKRASI
DISPOSISI SUMBER DAYA
Komunikasi, menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan pubik. Implementasi yang
efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang
akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang mereka kerjakan dapat
berjalan bila komunikasi berjaan dengan baik, sehingga setiap keputusan
kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau
dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat, akurat, dan
konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) di perlukan agar
para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten
dalam melakasanakan setiap kebijakan yang akan diterapakan dalam
masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan)
dalam mengukur keberhasilan variable komunikasi di atas yaitu :
a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilakan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam
penyaluran komunikasi adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal
tersebut disebabkan karena komuikasi telah melalui beberapa tingkatan
birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi ditengah jalan.
b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan
(street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak
ambigu dan mendua). Ketidasakjelasan pesan kebijakan tidak selalu
menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, pelaksana
tataran yang lain hal tersebut akan menyelewengkan tujuan yang
hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
c) Konsistensi; perintah yang diberkian dalam pelaksanaan suatu
komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau
dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah,
maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana dilapangan.
2. Sumber Daya
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan
hal penting lainnya, menurut George C. Edward III, dalam
mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri
dari beberapa elemen, yaitu :
a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah
satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi,
memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah
staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula
kecukupan staf dan keahlian dan kemampuan yang diperlukan pula
kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan
(kompeten dan kapabel) dalam menimplementasikan kebijakan atau
melaksanakan tugas yang diinginkanoleh kebiajakan itu sendiri.
b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang
harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan
tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para
pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang yang terlibat
di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam melasanankan kebijakan yang
telah ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka
kekuatan implementor di mata publik tidak terlegitimasi, sehingga
dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam
konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering
terjadi kesalahan dalam melihat efektifitas kewenangan. Di satu pihak,
efektifitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi
kebijakan; tetapi disisi lain, efektifitas akan menyurut manakala
wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentinngannya
sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. Pelimpahan dan
penempatan wewenang yang baik akan menghasilkan efektifitas
kewenangan.
d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang
wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa ada fasilitas
pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan
tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan public, bagi George C. Edward III, adalah
disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor
penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan
publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para
pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan
dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya,
sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu
dicermati pada variable disposisi, menurut George C. Edward III, adalah :
a) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh para pejabat-pejabat tinggi. Karena itu,
pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah
orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
b) Insentif; Edwardmenyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan
untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh
para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana
kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu
mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana
kebijakan melaksanankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau
organisasi.
4. Struktur Birokrasi
Variabel Keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur
birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan
tersedia, atau para pelaksana mengetahui apa yang seharusnya dilakukan,
dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan,
kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi
karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang
begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur
birokrasi tidak kondusifpada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah
kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara
politik dengan jalan melakukan koordinasi ya ng baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak
Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi.
SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau
pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau
standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan
fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan
atau aktifitas- aktifitas pegawai diantara bebrapa unit kerja.
D. Implementasi kebijakan publik model Grindle (1980).
Pendekatan ini dikenal dengan Implementation as a Political and
administrative Proses. Menurut Grindle, ada dua variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi
suatu kebijakan publik, dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir
(outcome) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai dengan
melihat pada proses serta pencapaian tujuan kebijakan yaitu pada dampak
atau efek pada masyarakat secara individu dan kelompok serta tingkat
perubahan yang terjadi dan pen