PENGARUH DISTRIBUTIVE JUSTICE, PROCEDURAL
JUSTICE DAN INTERACTIONAL JUSTICE
PERUSAHAAN GOJEK TERHADAP WORK
ENGAGEMENT PENGEMUDI GORIDE DI KOTA
BOGOR
LAPORAN TUGAS AKHIR
Oleh:
Kamila Fakhra Fahima
103116060
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PERTAMINA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir
: Pengaruh
Distributive Justice
,
Procedural
Justice
dan
Interactional Justice
Perusahaan
GoJek Terhadap
Work Engagement
Pengemudi GoRide Di Kota Bogor
Nama Mahasiswa
: Kamila Fakhra Fahima
Nomor Induk Mahasiswa
: 103116060
Program Studi
: Manajemen
Fakultas
: Ekonomi dan Bisnis
Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 9 Januari 2020
Jakarta, 12 Februari 2020
MENGESAHKAN,
Pembimbing
Rezqi Ananda Basid, MBA.
NIP.116080
MENGETAHUI,
Ketua Program Studi
Arif Murti Rozamuri,Ph.D.
NIP.11612
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul “Pengaruh Distributive
Justice, Procedural Justice dan Interactional Justice Perusahaan GoJek
Terhadap Work Engagement Pengemudi GoRide Di Kota Bogor” ini adalah
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang
ditulis oleh orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah
dituliskan secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya
bersediamenerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (
non-exclusive
royaltyfree right
) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak
bebas royalti noneksklusif ini, Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkatan data (
database)
, merawat,
dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Jakarta, 12 Februari 2020
Yang membuat pernyataan,
Universitas Pertamina - i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali pengaruh
distributive justice
,
procedural justice
dan
interactional justice
terhadap
work engagement
. Populasi
penelitian ini adalah pengemudi GoRide di Kota Bogor. Hipotesis dalam penelitian
ini adalah (1)
distributive justice
perusahaan GoJek berpengaruh terhadap
work
engagement
pengemudi GoRide di Kota Bogor, (2)
procedural justice
perusahaan
GoJek berpengaruh terhadap
work engagement
pengemudi GoRide di Kota Bogor,
dan (3)
interactional justice
perusahaan GoJek berpengaruh pada
work engagement
GoRide di Kota Bogor. Prosedur pengambilan sampel yang dilakukan adalah
menggunakan
purposive sampling
yaitu pengemudi GoRide yang berkerja di Kota
Bogor, merupakan pengemudi aktif, dan pengemudi yang
full time
menjadi
pengemudi GoRide. Responden dalam penelitian ini berjumlah 400 orang
pengemudi. Namun, hanya 381 jumlah data responden yang dapat diolah. Intrumen
yang digunaka pada penelitian ini merupakn instrument
Utrecht Work engagement
Scale
(UWES) untuk menilai
work engagement
dan
Organizational Justice
Quisionaire
(OJQ) untuk menilai
Distributive justice
,
procedural justice
dan
interactional justice
. Hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95 persen
menunjukan bahwa terdapat pengaruh positif dari d
istributive justice
pada
work
engagement
(Sig=0,000), tidak terdapat pengaruh positif dari
procedural justice
pada
work engagement
(Sig=0,472), dan terdapat pengaruh positif dari
interactional justice
pada
work engagement
(Sig=0,002).
Kata Kunci:
Distributive justice
,
Procedural justice
,
Interactional justice
,
Work
engagement
ABSTRACT
The objective of this study is to eximine the influence of distributive justice,
procedural justice and interactional justice on work engagement. The research
population was GoRide drivers in Bogor City. The hypothesis in this study are (1)
distributive justice has positive influence to work engagement of GoRide drivers in
Bogor City, (2) procedural justice has positive influence to work engagement of
GoRide drivers in Bogor City, and (3) interactional justice has positive influence
to work engagement of GoRide drivers in Bogor City. The sampling procedure used
is purposive sampling method and samples are taken from GoRide driver who work
at Bogor City, driver who work full time as a GoRide driver, and driver who actively
still work as a Goride driver. The respondent quantitiy in this research are 400.
However, there are only 381 respondents data can be used in this research.
Instruments used in this research are Utrecht Work Engagement Scale (UWES) for
assess work engagement and Organizational Justice Quisionaire (OJQ) to assess
distributive justice
,
procedural justice and interactional justice. The result of this
study shows with 95 percents level of confidents that distributive justice has
positive influence on work engagement (Sig=0,000), procedural justice does not
have positive influence on work engagement (Sig=0,472), and interactional justice
has positive influence on work engagement (Sig=0,002).
Keywords: Distributive Justice
,
Procedural Justice
,
Interactional Justice
,
Work
Engagement
Universitas Pertamina - v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena atas rahmat dan hidayahnya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan serta bantuan maupun bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salahsatu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ekonomi Universitas Pertamina Jurusan Manajemen. Bantuan, dorongan dan bimbingan dari pengajar, rekan-rekan dan pihak lainnya, sangat membantu penulis dalam menyusun skripsi ini dengan harapan dapat mencapai hasil sebaik mungkin. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1.
Bapak Rezqi Ananda Basid, selaku Dosen Pembimbing serta Dosen Wali yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan bimbingan dalam mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.2.
Bapak dan Ibu Dosen program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis.3.
Bapak Muhammad Fadli Hanafi, selaku Dosen program studi Manajemen yang memberikanbantuan dan arahan dalam metodologi penelitian skripsi ini.
4.
Seluruh keluarga tercinta, Ayah Aji Hermawan, Ibu Teti Haryati, Kakek, Nenek, serta seluruh keluarga yang senantiasa membantu dan mencurahkan doanya.5.
Adik-adikku Akmal dan Fachrel atas keceriaan dan kebahagiaan yang telah diberikan keada penulis.6.
Teman-teman permainan, Citra, Asty, Lysha, Seto, Tomo, Phona dan Bariq atas pertemanan, hiburan dan dorongan yang diberikan kepada penulis.7.
Astrid Thibaud atas dorongan emosional, hiburan dan motivasi yang diberikan kepada penulis.8.
Alya Risma dan Iqra Nurhuda yang senantiasa menemani dan memberikan semangat kepada penulis.9.
Seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.Terimakasih saya ucapkan untuk seluruh pihak yang telah membantu. Saya harap penelitian ini bermanfaat.
Bogor, 18 Desember 2019 Kamila Fakhra Fahima
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... vi BAB I PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 6 1.3 Manfaat Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Work Engagement ... 7 2.2 Distributive Justice ... 10 2.3 Procedural Justice ... 11 2.4 Interactional Justice ... 13 2.5 Pengembangan Hipotesis ... 15 2.6 Kerangka Berfikir ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 19
3.1 Definisi Operasional ... 19
3.2 Unit Analisis, Populasi dan Sampel ... 20
3.3 Desain Penelitian ... 21
3.4 Variabel Penelitian ... 22
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 22
3.6 Skala Penelitian ... 22
3.7 Metode Analisis Data ... 23
BAB IV METODE PENELITIAN ... 26
4.1 Pelaksanaan Penelitia ... 26
4.2 Deskripsi Penelitian ... 26
4.3 Analisis Data ... 31
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1 Kesimpulan ... 40
5.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 42
Universitas Pertamina - v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Operasional Variabel Penelitian ... 20
Tabel 4.1 Jumlah Kuisioner ... 26
Tabel 4.2 Karakteristik Responden ... 26
Tabel 4.3 Karakteristik Jawaban ... 28
Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas ... 32
Tabel 4.5 Hasil Uji Reabilitas ... 33
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas ... 33
Tabel 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 34
Tabel 4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 34
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jumlah Pengguna ‘
Ride hailing
’ Di Indonesia Dalam Jiwa... 1
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Penelitian... 18
Gambar 4.1 Grafik Scatter Plot ... 35
Universitas Pertamina - 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Moda transportasi telah menjadi suatu hal yang dibutuhkan bagi sekelompok masyarakat. Semakin banyak kegiatan dan aktivitas masyarakat maka faktor untuk berpindah dari suatu titik ke titik lain semakin besar. Hal tersebut menjadi peluang bagi pemangku-pemangku usaha swasta maupun pemerintah untuk menciptakan transportasi yang cepat dan terjangkau untuk masyarakat. Adanya penyediaan transportasi umum seperti kereta api, bis, dan kapal laut merupakan usaha pemerintah dalam menciptakan moda transportasi masyarakat. Sementara pada perusahaan swasta, hadirnya moda transportasi baru seperti transportasi online. Transportasi online ini sudah melekat menjadi bagian keseharian masyarakat. Jumlah pengguna transportasi online mencapai 21,7 juta orang dan akan meningkat 75 persen di tahun 2023 menjadi 37,9 juta orang (Statista, 2019). Meningkatnya pengguna transportasi online menjadi peluang kerja bagi pengemudi atau driver untuk bergabung pada perusahaan tersebut. Semakin besar pengguna yang menggunakan layanan transportasi online maka semakin banyak jumlah pengemudi atau driver layanan tersebut. Di tahun 2016, terdapat 204,800 pengemudi transportasi online dan 200,000 diantaranya di dominasi oleh pengemudi Gojek (Tirto, 2016). Dalam waktu kurang lebih tiga tahun, pengemudi Gojek meningkat derastis yaitu menjadi lebih dari 2 juta pengemudi (Gojek tech, 2019).
Sumber: Website Stata (2019) Relasi kerja pengemudi transportasi online dengan perusahaan transportasi online menjadikan pengemudi memiliki status sebagai pekerja independen. Pekerja independen merupakan definisi alternatif untuk mendefnisikan pekerja yang memiliki sebagian kriteria yang dimiliki pekerja dan kontraktor independen (Harris dan Krueger, 2015). Pekerja independen memiliki beberapa aspek kebebasan yang dimiliki kontraktor independen dan memiliki beberapa aspek batasan yang dimiliki pekerja biasa (Harris dan Krueger, 2015). Pekerja independen beroperasi dalam hubungan tringuler yang terdiri dari pekerja independen, konsumen dan pihak penghubung. Pekerja independen menawarkan jasa kepada konsumen melalui bantuan dari pihak penghubung. Pihak penghubung berperan menciptakan suatu bentuk saluran komunikasi yang biasanya berbentuk aplikasi digital. Aspek-aspek batasan yang dimiliki pengemudi transportasi
Gambar 1. 1
online terletak pada bagaimana perusahaan memberi aturan dan sistem rating kerja kepada pengemudi (Hall dan Krueger, 2015). Namun, pengemudi juga memiliki kebebasan dalam menjalankan jam operasional dan bermodal usaha. Peran pekerja independen bagi perusahaan menggambarkan kualitas perusahaan transportasi itu sendiri. Oleh sebab itu, pegemudi transportasi online dimasukan dalam kategori pekerja independen (Hall dan Krueger, 2015).
Pekerja independen menjadi seringkali digunakan pada perusahaan yang sedang bersaing untuk keunggulan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki kualitas yang unggul terdiri dari pekerja yang engage atau terikatsecara fisik, kognitif dan emosional (Kahn, 1990). Hal tersebut dikarenakan pekerja yang engaged mampu menghasilkan kinerja yang produktif, menguntungkan, aman, sehat, memiliki turnover dan absentiesm yang rendah serta memiliki kemauan kuat untuk memberikan upaya maksimal dalam melakukan pekerjaannya (Gallup, et al., 2001; Wagner, et al., 2006; shuck, et al., 2010; Baker, et al., 2011). Berbeda dengan perusahaan atau organisasi tradisional, organisasi modern memiliki kebutuhan untuk menciptakan pekerja dengan engagement yang tinggi (Ultrich, 1997). Organisasi modern sudah tidak memfokuskan diri hanya pada prinsip ekonomi, namun kini pada sumber daya manusianya (Ultrich, 1997). Upaya tersebut lebih fokus dalam menghasilkan output kerja yang besar dengan input pekerja yang kecil, sehingga perusahaan harus menciptakan engagement yangtidak hanya berasal dari tubuh atau fisik namun dari jiwa dan pikiran (Ultrich, 1997).
Terdapat beberapa penelitian tetang kesehatan mental pekerja yang memiliki pandangan berbeda tentang teori engagement, salah satunya seperti teori employee engagement oleh Saks (2006) dan work engagement oleh Schaufeli, et al. (2002). Kedua penelitian seringkali digunakan untuk meneliti engagement. Employee engagement mengacu pada hubungan pekerja dengan organisasinya, sedangkan work engagement mengacu pada hubungan pekerja dengan pekerjaannya (Shaufeli dan Bakker, 2010). Diantara kedua teori engagement, work engagement merupakan teori yang dianggap lebih spesifik untuk membahas engagement seorang pekerja (Murnianita, 2012).
Work engagement merupakan keadaan yang dipenuhi pikiran positif terhadap pemenuhan kerja yang ditandai dengan semangat (vigor), dedikasi (dedication) dan penghayatan (absorption) (Schaufeli, et al., 2002). Work engagement juga merupakan keadaan kognitif-afektif yang dapat terus menetap, berlanjut dan berkembang (Schaufeli, et al., 2002). Pekerja engage memiliki sifat energik serta antusias dalam mengerahkan energi untuk menyelesaikan pekerjaan, memiliki kemauan untuk terlibat secara intens pada pekerjaan dan mampu fokus pada pekerjaannya (Bakker dan Leither, 2010). Work engagement memiliki tiga elemen yang terdiri dari vigor, dedication dan absorbtion. Vigor digambarkan dari tingginya derajat tingkat resiliensi dan energi, kemauan mengerahkan upaya, tidak mudah kelelahan serta presisten ketika menghadapi hambatan saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2004). Dedication merupakan rasa ketertarikan yang sangat kuat dalam menjalankan pekerjaan serta merasakan antusiasme, inspirasi, bangga, tertantang dan penting (Schaufeli dan Bakker, 2004). Absorption merupakan tingkat konsentrasi dan senang dalam bekerja, dimana pekerja merasa waktu berjalan dengan cepat jika mereka bekerja, tidak bisa melepaskan diri dari pekerjaan dan melupakan hal-hal yang lain saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Pentingnya peningkatan work engagement pekerja mendorong adanya penelitian lebih lanjut untuk mengupas lebih dalam faktor-faktor yang menjadi pengaruh work engagement. Salah satu faktor yang memiliki pengaruh kepada work engagement adalah organizational
Universitas Pertamina - 3 justice. Organizational justice terbukti berpengaruh positif terhadap work engagement (Özer, et al., 2017; Inoue, et al., 2010; Strom, et al., 2013). Organizational justice merupakan pandangan individu terhadap sebuah keadilan dalam sebuah organisasi (Greenberg, 1986). Organizational justice terdiri dari satu dimensi yang mengukur presepsi distributive dan dua dimensi yang mengukur presepsi dari procedural (Niehoff dan Moorman, 1993). Oleh sebab itu, dalam penilaiannya secara keseluruhan organizational justice memiliki tiga dimensi yang terdiri dari distributive justice, formal procedures atau procedural justice dan interactional justice. Distributive justice merupakan pandangan pekerja terhadap keadilan yang digambarkan pada hal-hal yang diterima oleh karyawan atas hal-hal yang diberikan oleh perusahaan (Niehoff dan Moorman, 1993). Procedural justice merupakan pandangan karyawan terhadap keadilan yang digambarka pada prosedur yang digunakan perusahaan untuk mengambil suatu keputusan (Niehoff dan Moorman, 1993).Interactional justice merupakan pandangan karyawan terhadap kualitas interpersonal atasan dan bawahan yang diterima oleh pekerja (Niehoff dan Moorman, 1993).
GoJek merupakan perusahaan teknologi berbasis aplikasi yang menawarkan berbagai layanan online seperti transportasi dan logistik, makan dan belanja, pembayaran, serta kebutuhan harian lainnya. GoJek juga merupakan aplikasi transportasi online yang memiliki pengguna dan pengemudi paling banyak di Indonesia (Thomas, 2019). GoJek telah berkontribusi kurang lebih sebesar 45 triliun pada ekonomi di Indonesia (Walandouw, et al., 2019). Pada tahun 2019, Gojek sudah memasuki kategori sebagai aplikasi super atau super app karena mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan menawarkan 20 layanan kepada konsumen-nya (Sofuroh, 2019). Layanan-layanan tersebut antara lain adalah GoRide, GoCar, GoSend, GoBox, GoFood, GoFood Festival, GoMed, GoMart, GoPay, GoBills, GoPoints, PayLater, GoPulsa, GoMassage, GoClean, GoAuto, GoGlam, GoLaundry, GoDaily, dan GoFix (Gojek, 2019).
Dari 20 layanan yang ditawarkan oleh GoJek, hanya dua layanan yang melibatkan interaksi mitra pengemudi dan konsumen selama menjalankan layanannya, yaitu GoCar dan GoRide. GoCar dan GoRide merupakan layanan transportasi GoJek yang disediakan oleh Mitra Go-Jek untuk memberikan pelayanan jemput antar pengguna aplikasi ke lokasi yang telah ditentukan (GoJek, 2019). Hal yang menjadi pembeda adalah jenis transportasi yang digunakan, GoCar menawarkan layanan transportasi roda empat, sedangkan GoRide menawarkan layanan transportasi roda dua. Diantara keduanya, GoRide merupakan layanan yang paling banyak digunakan konsumen, yaitu sebesar 85.80% (Wisana , et al., 2018). Sampai saat ini, GoJek sudah menerima lebih dari jutaan pesanan transportasi perhari (Gojek, 2019). Sebagai layanan dengan angka pengguna terbanyak, Interaksi pengemudi dan konsumen GoRide menjadi salah satu hal yang penting untuk menjadi fokus GoJek. Interaksi pengemudi dan konsumen yang positif dapat diukur dari work engagement pengemudi GoRide itu sendiri.
Interaksi pengemudi dengan konsumen merupakan salahsatu aspek kerja yang dapat menggambarkan work engagement. Semakin baik interaksi pengemudi tersebut pengemudi dinilai lebih engage. Work engagement pengemudi yang tinggi dapat mempengaruhi penilaian konsumen. Kebutuhan work engagement yang tinggi biasanya di tuntut oleh pekerjaan pekerjaan yang melibatkan kualitas pelayanan seperti profesi guru, perawat dan entrepreneur (Smulders, 2006). Pengemudi GoRide merupakan pekerjaan yang juga melibatkan kualitas pelayanan sebagai salah satu modalnya. Dibuktikan dengan sistem rating yang diterima pengemudi dari hasil bagaimana pengemudi tersebut melayani konsumen dari segi kenyamanan, keamanan,
keramahaan dan lainnya. Pekerja dengan penilaian konsumen yang baik tentunya memenuhi elemen-elemen work engagement seperti vigor, dedication dan absorption.
Keinginan untuk mengerahkan energi yang tinggi, ketahanan mental dalam melakukan pekerjaan, keinginan untuk berupaya serta presisten dalam menghadapi hambatan dalam bekerja merupakan sikap aspek vigor. Pada penerapannya, pengemudi GoJek yang memiliki vigor tergambar pada besarnya energi yang dikerahkan dalam upaya mengantarkan konsumen ke tempat tujuan dilihat dari banyaknya jam perhari dihabiskan untuk mencari dan menyelesaikan pesanan dan banyaknya pesanan yang didapatkan pada satu hari. Aspek jarak, waktu dan hambatan yang dihadapi pengemudi GoRide juga menjadi penentu vigor yang dirasakan oleh pengemudi. Semakin jauh tujuan konsumen dan semakin lama waktu yang dikeluarkan oleh pengemudi, semakin besar pula energi yang dikeluarkan. Sedangkan keterlibatan diri yang kuat terhadap pekerjaan dan memiliki rasa antusias, memiliki, insiprasi, kebanggaan dan tantangan merupakan sifat individu yang memiliki aspek dedication (Bakker dan Leither, 2010). Pada penerapannya, pengemudi yang memiliki aspek dedication tercerminkan pada pelayanan ramah serta upaya memberikan rasa aman dan nyaman kepada yang mereka berikan kepada penumpang. Konsentrasi penuh dan keasyikan dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga waktu terasa berlalu dengan cepat merupakan sifat dari absorption (Bakker dan Laiter, 2010). Pada penerapannya, pengemudi GoRide yang memiliki absorption memiliki perhatian penuh pada keadaan jalan, menavigasi jalur yang paling efektif serta mampu menikmati proses menunggu pesanan hingga mengantarkan penumpang sampai dengan tujuan.
Hal tersebut menggambarkan bagaimana work engagement pengemudi yang tinggi dapat mempengaruhi penilaian konsumen. Work engagement pekerja akan berpengaruh langsung secara signifikan terhadap kinerjanya (Jankingthong dan Rurkkhum, 2012; Astuti, et al., 2016). Pekerja yang engaged memiliki kinerja yang lebih baik (Rich, et al., 2010; Halbesleben, 2010). Pekerja yang engaged mampu memberikan kualitas layanan yang unggul kepada konsumen, mereka juga melakukan sedikit kesalahan, terhindari dari kecelakaan kerja, inovatif dan memiliki kinerja yang dinilai lebih baik dibandingkan pekerja yang kurang engaged (Schaufeli, 2012). Tidak hanya itu, level engagement berhubungan dengan kinerja unit bisnis (Harter, et al., 2002). Kinerja unit bisnis tersebut terdiri dari kepuasan dan loyalitas pelanggan, profit, produktifitas, turnover, dan keamanan (Harter, et al., 2002). Sehingga pekerja yang engaged dapat menawarkan competitive advantage pada perusahaan (Harter, et al., 2002). Dengan kata lain, semakin tinggi ketertarikan kerja pengemudi GoRide maka pengemudi akan semakin unggul kinerjanya karena pengemudi mampu mengelarkan perasaan positif dalam melakukan pekerjaan, sehingga konsumen akan menilai mereka lebih baik dan penilaian yang baik berdampak pada performa kinerja yang baik. Jika pengemudi memiliki kinerja yang tinggi maka akan mempengaruhi kualitas perusahaan GoJek serta meminimalisir angka kecelakaan lalu lintas yang disebabkan kelalaian pengemudi.
Work engagement yang tinggi dipengaruhi oleh keadilan-keadilan yang diberikan oleh organisasi kepada pekerjanya (Özer, et al., 2017; Inoue, et al., 2010; Strom, et al., 2013). Namun, Berbagai macam kasus yang menjadi gejala ketidakadilan perusahaan Gojek diduga dirasa tidak adil oleh pengemudi GoRide. Di antaranya unjuk rasa untuk memberhentikan perekrutan pengemudi Gojek, memperbaki sistem operasi aplikasi perihal suspense dan pemutusan kemitraan agar lebih transpara, adil dan objektif, meninjau ulang perjanjian kemitraan yang
Universitas Pertamina - 5 setara antara aplikator dengan pengemudi, meningkatkan keamanan akun pengemudi dan pelanggan agar dapat memberantas pesanan fiktif dan pembajakan akun pengemudi dan melakukan pembaharuan dan perombakan manajemen perusahaan untuk memulus permainan oknum-oknum manajemen yang nakal (Alfons, 2019). Ada pula unjuk rasa dalam bentuk mogok kerja atau off bid untuk menolak pemberlakuan skema insentif dan tarif baru yang dirasa tidak adil oleh pengemudi Gojek (Afriyadi, 2019). Berbagai kasus unjuk rasa tersebut menandakan bahwa terjadi ketidakadilan pada pengalokasian suatu imbalan, prosedur atau proses pengambilan keputusan dan interaksi dengan pihak perusahaan.
Keadilan yang diberikan pihak perusahaan merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan antara perusahaan dan pekerja. Keadilan yang dirasa penting serta peluang pasar yang baik menyebabkan hadirnya kompetitor-kompetitor baru yang menawarkan keadilan kepada pengemudinya seperti Bonceng, Anterin, BitCar, dan Maxim. Perusahaan Bonceng salah satunya, Bonceng merupakan sebuah perusahaan aplikasi berbasis transportasi yang mengutamakan kesejahteraan pengemudi, agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada penumpang (Bonceng, 2019). Nilai utama yang diterapkan merupakan keseimbangan, karena dipercaya bahwa keseimbangan merupakan kunci dari sistem yang adil (Bonceng, 2019). Keadilan yang dimaksud tergambarkan pada keikutsertaan pengemudi perusahaan serta pemerintah daerah dalam mengambil suatu keputusan seperti penentuan harga setiap daerah serta tidak adanya penetapan pembagian presentase bagi hasil (Bonceng, 2019). Adapun kompetitor lain yaitu Anterin, perusahaan ini Anterin juga tidak memiliki persentase bagi hasil dan membebaskan pengemudi dan pengguna bersama-sama menentukan harga layanan serta memiliki sistem berlangganan sehingga pengemudi dan penumpang lebih percaya satu dengan yang lain (Anterin, 2017). Serta kompetitor lainnya yang menawarkan keadilan bagi pengemudinya seperti perusahaan BitCar dengan menawarkan presentase bagi hasil 15 persen dan perusahaan Maxim yang menawarkan pengemudi untuk memilih pengguna yang dilayani berdasarkan rute dan tarif yang ditawarkan (Setyowati, 2019).
Dari uraian di atas terlihat bahwa work engagement merupakan hal penting untuk dimiliki oleh pengemudi GoRide, akan tetapi adanya kasus-kasus yang menjadi gejala adanya ketidakadilan organisasi serta banyaknya kompetitor yang hadir di pasar transportasi online diduga dapat mempengaruhi engagement dari pengemudi GoRide. Tidak hanya itu, status kerja pengemudi sebagai pekerja independen memiliki perbedaan dengan pekerja biasanya, perbedaan tersebut terletak pada hubungan mereka dengan pihak berwenang dalam pemberian keadilan organisasinya penentuan insentif, pengambilan keputusan dan interaksi kepada perusahaan. Oleh sebab itu, Penelitian ini diangkat karena adanya masalah-masalah yang harus di antisipasi (anticipated problem) perihal keadilan organisasi yang diduga akan berdampak pada engagement dari pengemudi. Penelitian ini juga diangkat karena pekerja independen sebagai kategori pekerja pengemudi GoRide merupakan subjek penelitan yang menarik untuk meneliti work engagement. Hal tersebut disebabkan oleh masuknya kategori pekerja independen GoRide sebagai pekerja yang menggunakan pelayanan sebagai salah satu modal utamanya dalam menjalankan pekerjaan. Penelitian ini menjadi penting karena tidak hanya mengembangkan penelitian work engagement dengan meneliti bentuk subjek yang baru namun juga dapat mengantisipasi masalah yang dihadapi perusahaan mengenai engagement pengemudinya. Oleh sebab itu, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian untuk membuktikan adanya pengaruh keadilan organisasi pada work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarka uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah masalah sebagai berikut,
1. Apakah distributive justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor?
2. Apakah procedural justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor?
3. Apakah interactional justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bukti empiris atas ha-hal sebagai berikut,
1. Menguji kembali pengaruh positif distributive justice terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor.
2. Menguji kembali pengaruh positif procedural justice terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor.
3. Menguji kembali pengaruh positif interactional justice terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam segi teoritis dan praktis. Berikut adalah manfaat-manfaat dari penelitian ini,
1.4.1
Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mengkaji serta memperkaya teori dalam bidang penelitian distributive justice, procedural justice, interactional justice dan working engagement untuk penelitian selanjutnya. Memberikan informasi kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti mengenai work engagement dan pengaruh organizational justice dalam variabel work engagement pada pekerja independen untuk mendorong dikembangkannya penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan topik tersebut.
1.4.2
Manfaat Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai masukan untuk pengambilan keputusan perusahaan dalam melakukan upaya meningkatkan work engagement pada pengemudi GoRide. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan bagi perusahaan ride hailing lainnya perihal pentingnya work engagement untuk meningkatkan kualitas kinerja kerja pengemudi atau mitra mereka. Jika hipotesis penelitian terbukti, perusahaan dapat berupaya untuk meningkatkan work engagement pengemudi dengan cara meningkatkan distributive justice, procedural justice dan interactional justice.
Universitas Pertamina - 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Work engagement
2.1.1
Pengertian work engagement
Berbagai definisi engagement telah berkembang dari perspektif akademis dan praktis. Engagement telah didefinisikan dalam banyak cara yang berbeda-beda dalam literatur akademik. Penggunaan istilah engagement yang dikemukakan dengan beragam seperrti istilah employee engagement oleh Saks (2006) dan istilah work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker (2002). Employee engagement mengacu pada hubungan pekerja dengan organisasinya, sedangkan work engagement mengacu pada hubungan pekerja dengan pekerjaannya (Shaufeli dan Bakker, 2010). Diantara kedua teori engagement, work engagement merupakan teori yang dianggap lebih spesifik untuk membahas engagement seorang pekerja (Murnianita, 2012).
Istilah work engagement pertama kali digunakan oleh Kahn (1990). Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai bentuk dari komitmen pekerja pada peran mereka di dalam organisasi. Pekerja yang engage merupakan pekerja yang mampu menunjukan diri mereka secara fisik, kognitif dan emosional pada kinerjanya (Kahn, 1990). Namun, pekerja yang tidak engage di definisikan sebagai pemisahan diri dari pekerjaan serta pekerja tidak mampu menunjukan diri mereka secara fisik, kognitif dan emosional pada kinerjanya (Kahn, 1990). Dengan demikian, menurut Kahn (1990) engagement berarti seseorang hadir secara psikologis ketika melakukan perannya dalam suatu pekerjaan. Dalam penelitian Saks (2006) mendefinisikan work engagement sebagai konstruksi unik yang terdiri dari kompnen kogitif, emosional dan perilaku yang terkait dengan peran kinerja individu.
Peneliti job burnout (Maslach et al., 2001) dan peneliti hubungan job burnout dan engagement (González-romá, et al., 2006) juga memiliki definisi empirikal tersendiri. Maslach et al. (2001) mendefinisikan engagement sebagai energi, keterlibatan dan efisien yang merupakan kebalikan dari dimensi burnout yaitu kelelahan, sinisme dan ketidakefisienan. Dimensi inti burnout (kelelahan dan sinisme) dan engagement (semangat dan dedikasi) saling bertentangan satu sama lain (González-romá, et al., 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa engagement merupakan kebalikan atau antithesis positif dari burnout (Maslach, et al., 2001). Work engagement merupakan kondisi positif, kesejahteraan yang terkait dengan pekerjaan atau pemenuhan ditandai dengan tingginya tingkat energi dan identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang (Bakker dan Leither, 2010).
Tidak seperti pekerja burnout yang memiliki karaterstik sebagai pekerja yang stres dan melihat pekerjaan mereka sebagai beban, pekerja yang meimiki work engagement memiliki energi yang tinggi dan hubungan yang baik pada pekeraan mereka. Individu yang engaged adalah individu yang energik, mereka akan lebih menginvestasikan banyak energi dalam menjalankan peran di pekerjaan sebagaimana hal tersebut menjadi bagian penting dari identitas diri mereka (Bakker, 2009). Sebaliknya, individu yang tidak engage hanya hadir secara fisik dalam pekerjaan namun tidak menunjukkan adanya pengerahan emosi, energi, dan gairah dalam menjalankan tugas (Bakker, 2009).
Dari banyak teori work engagement, teori yang sering kali digunakan adalah teori work engagement oleh Schaufeli, et al. (2002). Teori ini juga merupakan teori yang melibatkan ketiga aspek dari karyawan seperti emosi, kognitif dan tingkah laku serta memiliki alat ukur yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Menurut Schaufeli et al. (2002) work engagement atau work engagement juga merupakan kondisi pikiran yang positif dan memuaskan yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya vigor, dedication dan absorbtion (Schaufeli dan Bakker, 2004; Schaufeli, et al., 2002). Work engagement merupakan kontra dari burnout (Schaufeli, et al., 2002).
2.1.2
Dimensi work engagement
Work engagement merupakan kondisi pikiran yang positif dan memuaskan yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya vigor, dedication dan absorbtion (Schaufeli dan Bakker, 2004; Schaufeli, et al., 2002). Terdapat tiga elemen dari work engagement antara lain vigor, dedication dan absorbtion merupakan tiga indikator dari work engagement yang dijabarkan sebagai berikut,
1. Vigor (Semangat)
Vigor atau semangat merupakan derajat tingkat resiliensi dan energi yang tinggi, kemauan mengerahkan upaya, tidak mudah kelelahan dan presisten ketika menghadapi hambatan saat bekerja seorang pekerja (Schaufeli, et al., 2004). Vigor juga ditandai dengan tingkat energi dan ketahanan mental tinggi ketika bekerja (Bakker dan Leither, 2010). Menurut Saks (2006), dimensi vigor dari teori work engagement ini melibatkan aspek perilaku dari teori employee engagement.
2. Dedication (Pengabdian)
Dedication atau pengabdian merupakan rasa ketertarikan yang sangat kuat dalam menjalankan pekerjaan serta merasakan antusiasme, inspirasi, bangga, tertantang dan penting (Schaufeli, et al., 2004). Dedication juga mengacu pada keterlibatan yang kuat dan antusiasme yang tinggi dalam melakukan pekerjaan (Bakker dan Leither, 2010). Menurut Saks (2006), dimensi dedication dari teori work engagement ini melibatkan aspek emosi dari teori employee engagement.
3. Absorption (Penghayatan)
Absorption atau penghayatanmerupakan tingkat konsentrasi dan senang dalam bekerja, dimana pekerja merasa waktu berjalan dengan cepat jika mereka bekerja, tidak bias melepaskan diri dari pekerjaan dan melupakan hal-hal yang lain saat bekerja (Schaufeli, et al., 2004). Absorption juga ditandai dengan konsentrasi penuh dan secara senang menikmati pekerjaan (Bakker dan Leither, 2010). Menurut Saks (2006), dimensi absorption dari teori work engagement ini melibatkan aspek kognitif dari teori employee engagement.
2.1.3
Faktor-faktor yang mendorong work engagement
Terdapat faktor-faktor yang beragam yang telah ditelititi oleh peneliti-peneliti terdahulu. Faktor-faktor yang mendorong work engagement dilatar belakangi oleh beberapa
Universitas Pertamina - 9 penelitian seperti Bakker (2007), Kahn (1990), Maslach et al (2001), Saks (2006) dan Schaufeli et al (2002)
1. Job Demand-Resource (JD-R)
Job Demands-Resources (JD-R) merupakan konsep yang digunakan pada burnout dan work engagement (Schaufeli, 2006). Job demand merupakan jumlah kerja dan jangka waktu kerja pada suatu pekerjaan. Job demand juga merupakan sumber dari burnout (Moodley, 2010). Sedangkan job resource merupakan komponen subjektif yang terdiri dari aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasional dari suatu pekerjaan. Job resource merupakan sumber dari keterlibatan kerja. Job resource dan personal resorce secara positif mempengaruhi work engagement (Halbesleben, 2010).
2. Task Characteristic
Task Characterisic merupakan konsep mengenai katakteristik tugas yang dikerjakan oleh pekerja. Karakteristik tugas yang menantang, beragam, menuntut keterampilan, memiliki kebebasan mengambil keputusan sendiri serta memiliki kesempatan untuk berkontribusi akan memenuhi engagement pekerja melalui psychological meaningfullness (Kahn, 1990). Sehingga jika pekerja memiliki aspek-aspek yang meningkatkan pysicological wellbeing dapat disimpulkan kalau seorang pekerja engage (Kahn, 1990).
3. Reward dan recognition
Dalam penelitian Kahn (1990), pekerja memiliki engagement yang beragam tergantung pada presepsi mereka terhadap manfaat yang mereka terima. Pekerja akan menjadi engage ketika mereka merasakan keuntungan yang didapat lebih besar. Hal tersebut terjadi karena mereka berpresepsi bahwa hasil kerja yang mereka lakukan dihargai dan berhak diberikan timbal balik.
4. Perceive Organizational Support (POS)
Dalam penelitian Saks (2006), Perceive Organizational Support (POS) merupakan keyakinan pekerja akan bagaimana organisasi menghargai kerja mereka dan kesejahteraan mereka. Perceive Organizational Support berpengaruh terhadap engagement. Artinya pekerja yang memiliki Perceive Organizational Support yang tinggi memiliki engagement yang lebih terhadap pekerjaan serta organisasi mereka. Hal tersebut terjadi karena ada keyakinan timbal balik yang tercipta antara kedua pihak (Saks, 2006).
5. Distributive justice dan procedural justice
Distributive justice merupakan merupakan presepsi karyawan mengenai keseimbangan antara seluruh hal yang diterima karyawan (output) dari perusahaan atau organisasi yang dibandingkan dengan seluruh usaha yang diberikan (input) oleh karyawan untuk perusahaan (Colquitt, 2001). Procedural justice merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan atau tidaknya prosedur dan peraturan yang digunakan oleh suatu perusahaan atau organisasi dalam pengambilan suatu kebijakan atau kepurusan (Niehoff dan Moorman, 1993). Menurut penelitian Saks (2006), ketika pekerja
merasakan bahwa keadilan organisasi pada perusahaan tinggi maka pekerja akan lebih engage (Saks, 2006).
2.2
Distributive justice
2.2.1
Definisi distributive justice
Distributive justice merupakan komponen keadilan yang pertamakali digunakan oleh para peneliti karena keadilan tersebut membahas alokasi-alokasi atau hasil-hasil (outcomes) yang sebagian pekerja dapatkan namun sebagian tidak (Cropanzano,
et al
., 2007). Distributive justice didasari oleh kenyataan bahwa tidak semua pekerja diperlakukan dengan sama pada segi alokasi dari hasil-hasil kerja (outcomes) (Cropanzano,et al
., 2007). Hal tersebut yang melandasi banyaknya peneliti yang meneliti distributive justice.Berbagai definisi distributive justice telah berkembang dari perspektif akademis dan praktis. Distributive justice telah didefinisikan dalam banyak cara yang berbeda-beda dalam literatur akademik. Seperti penelitian Moorman (1991) yang menyatakan bahwa distributive justice merupakan keadilan yang berkaitan dengan pemberian hasil-hasil (outcome) yang diterima oleh pekerja (Moorman, 1991). Distributive justice juga merupakan presepsi karyawan mengenai keseimbangan antara seluruh hal yang diterima karyawan (output) dari perusahaan atau organisasi yang dibandingkan dengan seluruh usaha yang diberikan (input) oleh karyawan untuk perusahaan (Colquitt, 2001). Pekerja yang diperlakukan adil sering kali menghasilkan sikap positif pada kerja, kinerja, dan supervisor mereka.
2.2.2
Dimensi distributive justice
Distributive justice diukur menggunakan lima item untuk menilai keadilan di hasil kerja yang berbeda yang terdiri dari, pay level, work schedule, work load, dan job responsibilities (Niehoff dan Moorman, 1993).
1. Pay level
Pay level atau tingkat pembayaran merupakan seberapa besar pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja. Tingkat pembayaran yang baik merupakan tingkat pembayaran yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Perusahaan yang baik melakukan juga memiliki tingkat pembayaran yang adil, berstandar dan merata.
2. Work schedule
Work schedule atau jadwal kerja merupakan waktu kerja pekerja yang ditentukan oleh perusahaan. Work schedule juga harus tertulis secara tertulis di peraturan perusahaan dan tersampaikan kepada pekerja.
3. Work load
Work load atau beban kerja merupakan bobot dari pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja. Beban kerja yang baik merupkan beban kerja yang dapat menyesuaikan kemampuan pekerja.
Universitas Pertamina - 11 Job responsibility atau tanggung jawab merupakan bagaimana penentuan tugas oleh perusahaan. Tanggung jawab kerja yang baik merupakan tanggung jawab yang menesuaikan kemampuan pekerja dalam bekerja.
5. Reward
Indikator Reward atau penghargaan merupakan penyediaan penghargaan dari perusahaan kepada pekerja. Pada pemberian penghargaan harus terdapat timbal balik dari pekerja berupa prestasi kerja yang baik.
2.2.3
Faktor-faktor yang didorong distributive justice
1. PendidikanPendidikan merupakan proses belajar dimana orang mengembangkan kapasitas kognitifnya serta memperoleh pengetahuan dan informasi. Pekerja yang memiliki pendidikan tinggi seringkali ditempatkan pada pekerjaan manajerial atas begitupun sebaliknya. Pekerja dengan pendidikan memperhatikan keadilan secara genral, peraturan procedural, perlakuan hormat dan martabat. Oleh sebab itu, menurut penelitian pendidikan memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2. Organizational Tenure
Organizational tenure merupakan lama seorang bekerja dalam suatu organisasi. Pekerja yang bekerja lebih lama memiliki komitmet yang lebih tinggi. Ketika seorang pekerja memiliki komitmen yang tinggi, mereka memiliki ekspektasi kepada perushaan untuk memberikan mereka keadilan dan penghargaan yang adil atas dedikasi dan performa mereka. Sehingga pekerja biasanya memperhatikan kebijakan procedural, hormat dan pemberiab upah yang sesuai. Oleh sebab itu, menurut, lama bekerja memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2.3
Procedural justice
2.3.1
Definisi procedural justice
Procedural justice mengacu pada cara bagaimana hasil kerja dialokasikan, namun tidak spesifik pada hasil itu sendiri (Cropanzano, et al., 2007). Procedural justice juga menetapkan prinsip tertentu yang menetapkan dan mengatur peran pekerja dalam proses pengambilan keputusan (Cropanzano, et al., 2007). Procedural justice merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan atau tidaknya prosedur dan peraturan yang digunakan oleh suatu perusahaan atau organisasi dalam pengambilan suatu kebijakan atau kepurusan (Niehoff dan Moorman, 1993). Procedural justice merupakan keadilan yang berkaitan dengan prosedur dari pemberikan outcome pekerja (Folger dan Greenberg, 1985).
Menurut Cropanzano, et al. (2007), proses pengambilan keputusan yang adil menciptakan kepercayaan dan komitmen pada pekerja sehingga membangun kooperasi secara sukarela pada setiap eksekusi strategi. Proses procedural justice yang baik juga menunjukan pekerja denan loyalitas yang tinggi dan kemauan untuk berperilaku sesuai
dengan sikap yang organisasi tuntut. Pekerja-pekerja tesebut memiliki kemungkinan yang kecil untuk menghianati instritusi dan pemimpinnya.
2.3.2
Dimensi procedural justice
Procedural justice memiliki enam faktor yang mengukur sejauh mana keputusan kerja mencakup mekanisme yang mengasuransikan pengumpulan informasi yang akurat dan tidak bias, suara karyawan, dan proses (Niehoff dan Moorman, 1993). Keputusan kerja yang menjamin pengumpulan informasi yang akurat dan tidak memihak (job decision in the gathering of accurate and unbiased information), suara karyawan (employee voice) dan proses banding (appeals process),
1. Accurate and unbiased information
Accurate and unbiased information atau informasi akurat dan tidak bias merupakan upaya perusahaan memilih informasi informasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerja. Informasi yang akurat dan tidak bias digambarkan melalui pertimbangan yang diberikan perusahaan.
2. Employee voice
Employee voice atau suara pekerja merupakan upaya perushahaan mendengar segala sesuatu yang disampaikan pekerja terkait pengambilan keputusan pekerjaannya. Mendengar suara pekerja yang baik digambarkan dengan melaui pertimbangan kekhawatiran pengemudi.
3. Appeals process
Appeals process atau pengajuan banding merupakan upaya perusahaan untuk mempertimbangkan hasil sanksi pekerja untuk mereka tentang. Keadilan yang baik terjadi ketika perusahaan memperbolehkaEmployeen untuk menolak atau mengajukan naik banding terhadap keputusan yang dibuat oleh perusahaan.
2.3.3
Faktor-Faktor yang Mendorong Procedural justice
1. UsiaPada dasarnya, orang yang lebih tua dinilai lebih bijak dan berpengetahuan luas yang seharusnya diperlakukan dengan hormat. Umur berpengaruh positif pada perilaku organisasi karena usia mempengaruhi status social pekerja dan kebijakan procedural namun tidak dalam aspek pengupahan. Oleh sebab itu, usia memprediksi procedural justice dan interactional namun tidak pada distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2. Gender
Gender memiliki pengaruh pada perilaku oranisasi disuatu perusahaan melaui peran dan ekpektasi yang berbeda dari pria dan wanita. Tidak seperti pekerja pria, pekerja wanita jarang ditempati pada pekerjaan yang beresiko atau berbahaya, mereka seringkali ditempatkan pada peran pekerjaan yang tidak banyak melakukan kerja fisik. Dengan demikian, pekerja wanita memiliki tingkat kecelakaan yang lebih rendah dibandingkan pria. Pekerja wanita juga juga seringkali memprioritaskan kualitas
Universitas Pertamina - 13 hubungan social dan melihat engagement disekitarnya untuk menambah kualitas hidup mereka lebih dari pria. Pekerja wanita sangat memperhatikan keadilan yang dirasakan seperti perbedaan pembayaran, promosi, hubungan interpersonal dan kebijakan procedural. Oleh sebab itu, gender memprediksi interactional justice dan procedural justice, namun tidak pada distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar dimana orang mengembangkan kapasitas serta memperoleh pengetahuan dan informasi. Pekerja yang memiliki pendidikan tinggi seringkali ditempatkan pada pekerjaan manajerial atas begitupun sebaliknya. Pekerja dengan pendidikan memperhatikan keadilan secara genral, peraturan procedural, perlakuan hormat dan martabat. Oleh sebab itu, pendidikan memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
4. Organizational Tenure
Organizational tenure merupakan lama seorang bekerja dalam suatu organisasi. Pekerja yang bekerja lebih lama memiliki komitmet yang lebih tinggi. Ketika seorang pekerja memiliki komitmen yang tinggi, mereka memiliki ekspektasi kepada perushaan untuk memberikan mereka keadilan dan penghargaan yang adil atas dedikasi dan performa mereka. Sehingga pekerja biasanya memperhatikan kebijakan procedural, hormat dan pemberian upah yang sesuai. Oleh sebab itu, lama bekerja memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2.4
Interactional justice
2.4.1
Definisi Interactional justice
Interactional justice mengacu pada bagaimana pekerja memperlakukan satu sama lain. Pekerja yang interaktif tergambarkan dari bagaimana dia membagikan informasi dengan baik dan mampu menghindari komentar kasar atau kejam. Interactional justice biasanya ditekankan pada hubungan individu, biasanya terjadi pada pekerja dan supervisor. Interactional justice merupakan pesepsi karyawan mengenai kualitas interactional justice antara atasan dan seorang karyawan (Niehoff dan Moorman, 1993). Interactional justice mengacu pada keadilan yang dirasakan dari perlakuan interpersonal oleh pengelola prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil (Bies dan Moag, 1986).
2.4.2
Dimensi Interactional justice
Keadilan tindakan memiliki Sembilan item yang berfungsi untuk mengukur sejauh mana kebutuhan pekerja mereka dipertimbangkan, dan penjelasan memadai dibuat keputusan pekerjaan (Niehoff dan Moorman, 1993).
1. Consideration of needs
Consideration of needs atau pertimbangan kebutuhan merupakan upaya perusahaan untuk melibatkan keperluan yang dibutuhkan pekerja ketika keputusan tentang pekerjaan dibuat. Perusahaan yang baik memiliki pekerja yang merasa kebutuhan mereka berperan dalam pertimbangan membuat keputusan. Perusahaan yang
baik juga menggambarkan pertimbangan kebutuhan dengan melibatkan kebutuhan pribadi, menunjukan kepedulian terhadap hak-hak pekerja serta memperlakukan pekerja dengan benar.
2. Adequate explanation
Adequate explanation atau penjelasan memadai dibuat untuk mengambil keputusan tentang pekerjaan. Perusahaan yang baik memperhatikan aspek informasional kepada pekerjanya seperti menjelaskan secara rinci setiap keputusan yang dibuat mengenai pekerjaan, memberikan penjelasan logis, membahas konsekuensi atau akibat dari keputusan, menawarka alasan yang memadai kepada pekerja.
2.4.3
Faktor-Faktor yang Mendorong Interactional justice
1. UsiaPada dasarnya, orang yang lebih tua dinilai lebih bijak dan berpengetahuan luas yang seharusnya diperlakukan dengan hormat. Umur berpengaruh positif pada perilaku organisasi karena usia mempengaruhi status social pekerja dan kebijakan procedural namun tidak dalam aspek pengupahan. Oleh sebab itu menurut penelitian, usia memprediksi procedural justice dan interactional namun tidak pada distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2. Gender
Gender memiliki pengaruh pada perilaku oranisasi disuatu perusahaan melaui peran dan ekpektasi yang berbeda dari pria dan wanita. Tidak seperti pekerja pria, pekerja wanita jarang ditempati pada pekerjaan yang beresiko atau berbahaya, mereka seringkali ditempatkan pada peran pekerjaan yang tidak banyak melakukan kerja fisik. Dengan demikian, pekerja wanita memiliki tingkat kecelakaan yang lebih rendah dibandingkan pria. Pekerja wanita juga juga seringkali memprioritaskan kualitas hubungan social dan melihat engagement disekitarnya untuk menambah kualitas hidup mereka lebih dari pria. Pekerja wanita sangat memperhatikan keadilan yang dirasakan seperti perbedaan pembayaran, promosi, hubungan interpersonal dan kebijakan procedural. Oleh sebab itu, menurut penelitian gender memprediksi interactional justice dan procedural justice, namun tidak pada distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar dimana orang mengembangkan kapasitas kognitifnya serta memperoleh pengetahuan dan informasi. Pekerja yang memiliki pendidikan tinggi seringkali ditempatkan pada pekerjaan manajerial atas begitupun sebaliknya. Pekerja dengan pendidikan memperhatikan keadilan secara genral, peraturan procedural, perlakuan hormat dan martabat. Oleh sebab itu, menurut penelitian pendidikan memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
Universitas Pertamina - 15
4. Organizational Tenure
Organizational tenure merupakan lama seorang bekerja dalam suatu organisasi. Pekerja yang bekerja lebih lama memiliki komitmen yang lebih tinggi. Ketika seorang pekerja memiliki komitmen yang tinggi, mereka memiliki ekspektasi kepada perushaan untuk memberikan mereka keadilan dan penghargaan yang adil atas dedikasi dan performa mereka. Sehingga pekerja biasanya memperhatikan kebijakan procedural, hormat dan pemberian upah yang sesuai. Oleh sebab itu, menurut, lama bekerja memprediksi procedural justice, interactional justice dan distributive justice (Gyekye dan Haybatollahi, 2015).
2.5
Pengembangan Hipotesis
2.5.1
Distributive justice dan work engagement
Distributive justice merupakan salah satu komponen keadilan organisasi. Distributive justice didefinisikan sebagai keadilan akan hasil-hasil kerja atas upaya kerja pekerja. Distributive justice diduga mempengaruhi work engagement. Pengaruh tersebut disebabkan oleh rasa apresiasi yang tinggi dalam bentuk hasil atas upaya kerja mendorong pekerja untuk semangat bekerja, mengabdi kepada perusahaan dan menghayati pekerjaanya. Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian Özer, et al. (2017), Septia dan Arwiyah (2018), Storm, et al. (2017) serta Pratiwi dan Syahrizal (2019). Seluruh penelitian tersebut memiliki hasil penelitian yang sama yaitu terdapat pengaruh distributive justice terhadap work engagement.
Distributive justice yang baik digambarkan pada adanya kesesuaian usaha perusahaan yang diberikan pengemudi dengan kompensasi, benefit dan keuntungan lainnya yang sehingga telah memenuhi harapan pengemudi GoRide. Distributive justice yang baik juga digambarkan dalam pemberian beban kerja yang sesuai dengan keuntungan yang diberikan perusahaan pada pengemudi GoRide. Oleh sebab itu adanya distributive justice yang tinggi diduga menciptakan hasil kerja pengemudi yang baik. Adanya tingkat keadilan pembayaran yang sesuai, jadwal kerja yang fleksibel, beban kerja dan tanggung jawab serta penghargaan yang baik dan sesuai, diduga dapat meningkatkan work engagement pengemudi sehingga pengemudi bersedia memberikan pelayanan yang sangat baik kepada konsumen. Pelayanan yang baik yang diberikan antara lain seperti berkendara dengan aman, melakukan navigasi jalan dengan baik dan bentuk kinerja baik lainnya sehingga dapat diandalkan oleh konsumen. Bentuk pengaruh lainnya adalah seperti antusias dalam melayani serta bangga akan pekerjaannya sebagai Pengemudi GoRide sehingga menciptakan citra perusahaan yang baik dimata konsumen. Namun Sebaliknya, distributive justice yang rendah digambarkan dari ketidak adanya kesesuaian usaha yang diberikan pengemudi dengan kompensasi, benefit dan keuntungan lainnya yang diberikan oleh perusahaan sehingga tidak memenuhi harapan pengemudi. Distributive justice yang rendah juga digambarkan dalam ketidak adaanya kesamaan rataan dalam pemberian kesempatan yang diberikan kepada pengemudi. Oleh sebab itu adanya distributive justice yang tinggi diduga menciptakan hasil kerja pengemudi yang baik. Distributive justice yang rendah diduga dapat menggambarkan rendahnya work engagement pengemudi sehingga pengemudi mengalami burnout dan tidak mampu melayanani dari segi kenyamanan, keamanan, keramahaan dan lainnya secara vigor, dedication dan absorption. Maka dari itu, penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh
dari distributive justice terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor. Berikut adalah hipotesis yang diambil,
H1: Distributive justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide Di Kota Bogor
2.5.2
Procedural justice dan work engagement
Procedural justice merupakan salah satu komponen dari keadilan organisasi, Procedural justice di definisikan sebagai keadilan akan proses perusahaan menentukan hasil yang akan diterima oleh pengemudi GoRide atas upaya kerja mereka. Procedural justice diduga mempengaruhi work engagement. Pengaruh tesebut disebabkan oleh rasa apresiasi dan hormat yang dirasakan pekerja atas keterlibatan mereka dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan hasil kerja mereka sehingga mendorong pekerja untuk semangat bekerja, mengabdi kepada perusahaan dan menghayati pekerjaanya. yang Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian Özer, et al. (2017), Septia dan Arwiyah (2018), Kim dan Park (2017), Inoue, et al. (2017), Storm, et al. (2017) serta Pratiwi dan Syahrizal (2019). Seluruh penelitian tersebut memiliki hasil penelitian yang sama yaitu terdapat pengaruh procedural justice terhadap work engagement.
Procedural justice yang baik digambarkan pada prosedur dari proses pengambilan keputusan yang perusahaan Gojek yang adil pada pengemudi GoRide. Procedural justice yang baik juga akan menciptakan kepuasan dan pemenuhan harapan pada pengemudi GoRide. Oleh sebab itu adanya procedural justice yang tinggi diduga menciptakan hasil kerja pengemudi yang baik. Procedural justice yang tinggi diduga dapat meningkatkan work engagement pengemudi sehingga pengemudi memandang kesuksesan perusahaan Gojek sebagai kesuksesan pengemudi juga, merasa termotivasi serta berkomitmen kepada perusahaan dengan terus menjadi pengemudi dengan kinerja yang sangat baik. Sebaliknya, Procedural justice yang rendah digambarkan proses pengambilan keputusan yang perusahaan Gojek yang tidak adil pada pengemudinya. Procedural justice yang rendah juga akan menciptakan ketidakpuasan dan tidak terpenuhinya harapan pada pengemudi GoRide. Oleh sebab itu, adanya Procedural justice yang rendah diduga dapat menggambarkan rendahnya work engagement pengemudi sehingga pengemudi mengalami burnout dan tidak mampu melayanani dari segi kenyamanan, keamanan, keramahaan dan lainnya secara vigor, dedication dan absorption. Maka dari itu, penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh dari Procedural justice terhadap work engagement pengemudi GoRide Bogor. Berikut adalah hipotesis yang diambil,
H2: Procedural justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor
2.5.3
Interactional justice dan work engagement
Interactional justice merupakan salah satu komponen dari keadilan organisasi, interactional justice di definisikan sebagai keadilan akan perlakukan yang di terima oleh pekerja dari supervisor atau pihak pengelola prosedur yang memiliki wewenang. Interaksi perusahaan kepada pengemudi GoRide menentukan rasa interpersonal yang digunakan mencapai tujuan atau hasil kerja mereka. Interactional justice diduga mempengaruhi work engagement. Pengaruh tesebut disebabkan oleh rasa apresiasi dan hormat yang dirasakan
Universitas Pertamina - 17 pekerja atas keterlibatan kebutuhan mereka serta atas pemberian penjelasan memadai yang diterima oleh pekerja perihal pengambilan keputusan kerja mereka sehingga mendorong pekerja untuk semangat bekerja, mengabdi kepada perusahaan dan menghayati pekerjaanya. Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian Özer, et al. (2017), Septia dan Arwiyah (2018) serta penelitian Inoue, et al. (2017). Seluruh penelitian tersebut memiliki hasil penelitian yang sama yaitu terdapat pengaruh interactional justice terhadap work engagement.
Interactional justice yang baik menciptakan tingginya kualitas interaksi antara atasan yaitu perusahaan Gojek dengan bawahan yang merupakan pengemudi GoRide. Interactional justice yang baik digambarkan dari perilaku atau interaksi positif dari perusahaan sehingga memuncukan energi positif pada kalangan pengemudi. Oleh sebab itu, adanya interactional justice yang baik diduga menciptakan work engagement. Ketika perusahaan mempertimbangkan kebutuhan pekerja atas keputusan yang diambil dan menyampaikan penjelasan yang memadai, pekerja akan merasa lebih dihargai dan senang sehingga mereka semangat, menghayati kerja, mengabdi serta positif terhadap lingkungan pekerjaan maupun sesama pengemudi GoRide. Sebaliknya, Interactional justice yang rendah tergambarkan dari rendahnya kualitas interaksi antara perusahaan GoJek dengan pengemudi yang digambarkan dari perilaku atau interaksi positif dari perusahaan GoJek sehingga memuncukan energi positif pada kalangan pengemudi GoRide. Oleh sebab itu, adanya interactional justice yang rendah diduga dapat menggambarkan rendahnya work engagement pengemudi sehingga pengemudi merasa tidak dihargai dan menyebarkan aura negatif terhadap lingkungan pekerjaan maupun sesama pengemudi GoRide. Maka dari itu, penelitian ini berusaha untuk mengetahui pengaruh dari interactional justice terhadap work engagement pengemudi Goride di Kota Bogor. Berikut adalah hipotesis yang diambil, H3: Interactional justice berpengaruh positif terhadap work engagement pengemudi GoRide di Kota Bogor
2.6
Kerangka Berpikir
Interpersonal Justice (X
3)Consideration of needs Adequate explanation
Work engagement (Y)
Vigor Dedication Absorption
Sumber: Diolah oleh Peneliti (2019)
Distributive justice (X
1) Pay level Work schedule Work load Reward Job responsibilitiesProcedural justice (X
2)Accurate and unbiased information Employee voice Appeals process
Gambar 2. 1
Bagan Kerangka Berfikir Penelitian
(+)
(+) (+)
Universitas Pertamina - 19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Definisi Operasional
3.1.1
Work engagement
Work engagement atau work engagement merupakan kondisi pikiran yang positif dan memuaskan yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya vigor, dedication dan absorbtion (Schaufeli dan Bakker, 2004; Schaufeli, et al., 2002). Vigor atau semangat merupakan derajat tingkat resiliensi dan energi yang tinggi, kemauan mengerahkan upaya, tidak mudah kelelahan dan presisten ketika menghadapi hambatan saat bekerja seorang pekerja (Schaufeli, et al., 2004). Dedication merupakan rasa ketertarikan yang sangat kuat dalam menjalankan pekerjaan serta merasakan antusiasme, inspirasi, bangga, tertantang dan penting (Schaufeli, et al., 2004). Absorption merupakan tingkat konsentrasi dan senang dalam bekerja, dimana pekerja merasa waktu berjalan dengan cepat jika mereka bekerja, tidak bias melepaskan diri dari pekerjaan dan melupakan hal-hal yang lain saat bekerja (Schaufeli, et al., 2004). Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah berupa angket atau kuesioner. Penelitian ini menggunakan instrument Utrecht Work Engagement Scale (UWES) oleh Schaufeli and Bakker (2004) yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia oleh Kristiana dan Purwono (2019).
3.1.2
Distributive justice
Distributive justice juga merupakan keadilan dalam mengalokasikan suatu imbalan (Moorman, 1993). Distributive justice memiliki empat indikator penilaian yaitu pay level, work schedule, work load, dan job responsibilities (Niehoff dan Moorman, 1993). Distributive justice diukur menggunakan lima butir pernyataan. Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah berupa angket atau kuesioner. Indikator Distributive justice diukur menggunakan instrumen Organizational Justice Quisionaire (OJQ) oleh Niehoff dan Moorman (1993) yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia oleh Ilman (2017).
3.1.3
Procedural justice
Procedural justice merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan atau tidaknya prosedur dan perutaran yang digunakan oleh suatu perusahaan atau organisasi dalam pengambilan suatuu kebijakan atau kepurusan (Niehoff dan Moorman, 1993). Procedural justice memiliki tiga indikator penilaian yaitu accurate and unbiased information,employee voice, appeals process (Niehoff dan Moorman, 1993). Procedural justice memiliki enam butir pernyataan untuk mengukur sejauh mana keputusan kerja mencakup mekanisme yang mengasuransikan pengumpulan informasi yang akurat dan tidak bias, suara karyawan, dan proses banding (Niehoff dan Moorman, 1993). Procedural justice diukur menggunakan instrumen Organizational Justice Quisionaire (OJQ) oleh Niehoff dan Moorman (1993) yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia oleh Ilman (2017).