BAB II
TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut istilah bahasa
Indonesia adalah “perkawinan”. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh
hidup seluruh manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan merupakan
masalah yang actual untuk dibicarakan di alam maupun di luar peraturan.
Berkenaan dengan perkawinan yang akan timbul hubungan antara suami isteri dan
kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hokum antara
orangtua dengan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memeliki harta
kekayaan, dan menimbulkan hubungan hokum dengan antar mereka dengan harta
kekayaan tersebut.12
Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan atau
perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh
kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keuarga
sakinah.13
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya, salah
satunya dalam aspek agama. Maka hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap
agama satu sama lain ada perbedaan. Secara sah di Indonesia hukum perkawinan
di atur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Lembaran Negara RI Tahun 1974. Adapun
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawianan Indonesia (Bandung, Mandar Maju, 2007) hal. 1
13
penjelasan atas undang-undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang di dalam bagian penjelasan umum
diuraikan beberapa masalah mendasar.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 1
menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.14
1. Aspek formil (hokum)
Di
dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sabagai negara yang berdasarkan
Pancasila, dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinanbukan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dengan
agama/kerohanian, sehinngga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur bathin juga mempunyai peranan penting.
Dari pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam perkawinan memiliki
dua aspek, yaitu :
Hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir bathin”, artinya bahwa
perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan lahir secara tampak, juga
mempunyai ikatan bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan
dan ikatan bathin ini merupakan inti dari perkawinan itu.15
Ikatan lahir bathin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup
dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja, tetapi harus kedua-duanya.
Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya
suatu hubungan hokum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama,
14
Undang-undang No 1 Tahun 1974: pasal 1
15
sebagai suami isteri, dengan kaa lain dapat disebut “hubungan formil”.16
Hubungan formil itu nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi
orang lain atau masyarakat.17
Sebalikanya suatu ikatan lahir bathin adalah merupakan hubungan yang
tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tapi ikatan
itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.
Hal ini seyogyanya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam
tarap permulaan untuk mengadakan perkawinan, ikatan bathin diawali oleh
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Selanjutnya dalam
hidup bersama itu, tercermin dari adanya kerukunan. Seterusnya ikatan bathin
akan merupakan inti ikatan lahir. Terjadinya ikatan lahir dan ikatan bathin,
merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan
kekal.18
2. Aspek Sosial Keagamaan
Dengan disebutkannya membentuk keluarga dan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur bathin berperan
penting.19
Penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa Negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mepunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian.20
16
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976) hal. 14
17
Ibid., hal. 15
18
Ibid., hal. 16
19
Titik Triwulan Tutik., Op.Cit., hal. 104
20
Sudarsono, Op.Cit., hal. 9
Dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki unsur-unsur,
yaitu :
1)Adanya seorang pria dan wanita;
2)Ikatan lahir bathin;
3)Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal.
4)Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21
Dalam undang-undang ini dinyatakan, prinsip-prinsip atau asas-asas
mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dalam
undang-undang ini juga diatur tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal juga bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.22
Dengan dikeluarkannya Undnag-Undang Perkawinan, keanekaragaman
hokum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai
golongan warga Negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah daerah
dapat diakhiri. Namun demikian, ketentuan hokum perkawinan sebelumnya,
ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh
Undang-Undang Perkawinan ini, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang.23
2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
21
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hal. 40
22
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (jakarta:2005) hal.6
23
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Agama Islam sendiri merupakan agama Samawi (wahyu) yang
bersumber kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunah Rasul (Hadis). Oleh karena itu,
untuk dapat memahami pengertian hukum Islam, perlu dipahami apa-apa yang
dikatakan hukum di dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa dijadikan
langit dan bumibeserta isinya, bukan dengan sia-sia, tetapi dengan ada
peraturan-peraturan (hukum) tertentu.24
Menurut al-Qur’an, hukum itu ada dalam masyarakat manusia dan juga
hukum itu ada diluar masyarakat manusia. Untuk yang terakhir itu lebih dikenal
dengan sebutan “hukum alam” (natural law) atau dikenal juga dengan sebutan
“sunnatullah”, sedang untuk yang pertama tetap digunakan sebutan “hukum”,
yang dalam kepustakaan hukum Islam dibedakan menjadi syahri’ah dan fikih;
namun dalam praktik kadang-kadang umat Islam menggabungkan kedua istilah
tersebut (syahri’ah dan fikih) kedalam satu pengertian “hukum Islam.”25
a. Lapangan hukum ibadah, yakni ketentuan hukum Islam yang mengatur
tata cara manusia behubungan dengan Allah (Vertikal), seperti
melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dalam mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan
menunaikan ibadah Haji.
Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa hukum Islam baik dalam
pengertian syahri’ah maupun dalam pengertian fikih dibagi dalam dua kelompok,
yaitu:
24
Qs. 6:96, 13:2, 15:19, 36:38, 39:21, 44:38, 75:36-39.
25
b. Lapangan hukum Muamalah, yakni ketentuan hukum manusia lain
(Horizontal), baik secara individu maupun secara kelompok, dalam
mewujudkan kepentingan-kepentingan sosial.
c. Ketentuan-ketentuan muamalah ini terbatas pada pokok-pokoknya saja.26
Hukum perkawinan dalam kepustakaan hukum Islam, disebut fikih
Munakahat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum fikih yang mengatur soal nikah,
talak, rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedang perkataan perkawinan
sendiri menurut hukum fikih, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua
arti, yaitu (1) arti menurut bahasa adalah “berkumpul” atau “bersetubuh” (wata’),
dan (2) arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian(suci) dengan lafal
tertentu anatara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama
sebagai suami istri.27
Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim
(Ta’rif ini disampaikan oleh H.Sulaiman Rasyid di dalam bukunya yang berjudul
Figh : 348). Apabila ditinjau secara perinci fiil; pernikahan atau perkawinan
adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang
menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual
dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebijakan dan saling
menyantuni; keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.28
26
Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), hal. 96
27
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1988), hal.104
28
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2, yang dimaksud dengan perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon ghliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
3. Syarat-syarat Sah Perkawinan
Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu
perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-Undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan
pembatalan atau dapat dibatalkan.
Perkawinan dianggap sah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, jika diselenggarakan :
1. Menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
2. Secara tertib menurut hukum Syari’ah (bagi yang beragama islam), dan 3. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai
pencatatan nikah.
Pasal 2 ayat (2) juga harus dibacakan senafas dan tidak boleh difragmentaris
dengan ayat (1) nya, walaupun ayat (2) tidak membicarakan sahnya perkawinan
tetapi juga memiliki fungsi yang menguatkan secara administrasif. Memang suatu
perkawinan dikatakan sah bukan ditentukan oleh aspek administratifnyamelainkan
ditentukan oleh factor substansifnya dalam ayat (1) yaitu agama dan
kepercayaannya. Jadi, ada pembedaan namun tidak bisa dipisahkan. Perkawinan
dalam pasal 2 Undang-Undang Perkawinan memiliki aspek perdata dan aspek
administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substansi dan aspek
pendaftaran membicarakan funsi administratif. Fungsi yang terakhir adalah untuk
kejelasan dan kepastian hokum tentang adanya bukti perkawinan yang sudah
dilakukanoleh suami isteri bagi masyarakat dan Negara.29
1. Syarat materiil
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, meliputi syarat-syarat materil maupun formil, yaitu:
Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat
yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan
dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang
ditentukan oleh undang-undang.30
Syarat-syarat materiil, diatur dalam Pasal 6 s/d 11 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil
yang absolut/mutlak dan syarat materiil yang relatif/nisbi.31
a) Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus
di indahkan untuk perkawinan pada umumnya.32
1) Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun (
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dalam hal
penyimpangan dari batas umur tersebut dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan.
Syarat materiil absolut ini
meliputi:
2) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan
antarakedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1) .
29
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 11
30
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110
31
Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata (Malang, UMM Press, 2008)
32
3) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang
tua (Pasal 6 ayat 2).
Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat
(2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, makan diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Jika ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, orang tua yang masih
hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya dan walinya, atau
salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang yang seharusnya memberikan ijin sebagaimana
dimaksud di atas.
Menurut Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan
tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan ijin tersebut berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.33
b) Syarat materil yang relatif/nisbi, merupakan syarat yang melarang
33
perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu:
1) Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan
perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau
pun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antarsaudara, antar seorang dengan orang tuadan antara
seorangdengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
e. Berhubugan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemanakan danisteri dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari Seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
2) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan
diijinkan untuk poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan
syarat-syarat ditentukan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
c. Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Larangan kawin seperti Pasal 10 tersebut sama dengan larangan kawin
yangditentukan dalam Pasal 33 KUHPerdata ayat (2) yangmenentukan bahwa
perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama, adalah
terlarang.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat
membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mngakibatkan
putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan
dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang
kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
d. Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum
habis jangka tunggu (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).34
2. Syarat formil
Syarat formil atau syarat lahir (eksternal) adalah syarat yang
berhubungandengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum
prosesperkawinan. Syarat formil ini meliputi:
a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai
baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya
34
10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4
PP Nomor 9 Tahun 1975).
b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada
tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud
pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang
yang mempunyai pertalian dengan calon suami/isteri itu atau pihak-pihak
lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang
perkawinan itu kalau ada ketentuan undang-undang yang melanggar.
Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah pegawai pencatat meneliti
syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon
mempelai. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari
ke 10 setelah di umumkan (Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus
memenuhi persyratan perkawinan yang diatur dan ditentukan dalam hokum
agamanya atau kepercayaannya masing-masing, termasuk ketentuan dalam
perundnag-undangan lain yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaan
tersebut. Perkawinan tersebut juga harus dicatatkan menurut perundang-undangan
yang berlaku.35
35
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Sinar Grafika, 1996) hal. 60
Untuk orang Tionghoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang
beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari kantor
catatan sipil setempat sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan
Disamping ketentuan-ketentuan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan sabagaimana disebut di muka, undang-undang perkawinan
menetukan syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi,
dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur
paksaan.
2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari
kedua orangtuanya. Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan
diatas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orangtua pihak perempuan maupun lelaki.
Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin.
Ketentuan ini menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 tahun ke
atas tidak memerlukan izin dari orangtuanya.
3. Jika salah satu dari kedua orangtua sudah meninggal dunia atau tidak
mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang
mampu mnyatakan kehendaknya.
4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dari garis keturunan lurus keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal terdapat perbedaan peendapat diantara mereka atau jika seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang
disebutkan diatas.
6. Hal-hal yang disebutkan dimuka angka 1-5, berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya tidak menentukan lain.36
Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama
calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh
setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika
perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Islam, kemudian dilakukan lagi
menurut hukum kristen dan/atau Hukum Hindu/Budha, maka perkawinan itu
menjadi tidak sah, demikian sebaliknya.37
1. Calon suami
Dalam agama Islam, perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan
rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus, merupakan bagian dari segala
hal yang terdapat dalam perkawinan wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi,
perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi Hukum Islam (pasal 14)
rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu adanya :
2. Calon istri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan kabul
36
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (jakarta:karya gemilang,2011) hal.13
37
Syarat sah pernikahan apabila memenuhi hukum rukun-rukun nikah, jika
dalam rukun nikah harus ada wali, orang yang menjadi wali harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Al-Quran, Hadis, dan undang-undang
yang berlaku. Orang yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan
ialah menurut susunan di bawah ini:
1. Ayah;
2. Kakek (bapak dari bapak mempelai wanita)
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya;
4. Saudara laki-laki yang sebapak dengannya;
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya;
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya;
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak);
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya;
9. Hakim.
Mengenai wali hakim, Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin mengahadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sabgai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama Wali dan saksi
bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak
kecuali saksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut :
3)Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi;
5) Berakal;
6) Merdeka;
7) Laki-laki;
8) Adil;
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh
karena itu, tidak kecuali saksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat
berikut :
1. Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau
saksi;
2. Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun;
3. Berakal;
4. Merdeka;
5. Laki-laki;
6. Adil;38
Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa saksi nikah
merupakan rukun nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi. Mengenai syarat-syarat saksi nikah diatur dalam Pasal 25 Kompilasi
Hukum Islam yangberbunyi :
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.”
1. Akibat Hukum Perkawinan
Adanya suatu perkawinan akan menimbulkan berbagai masalah, ada tiga
masalah yang penting yaitu :
38
a. Masalah Suami – Istri
Pokok masalah setelah setelah terjadinya suatu perkawinan adalah
hubungan antara suami dengan istri, terutama yang menyangkut soal hak dan
kewajiban. Maka undang-undang Perkawinan mengatue hal tersebut dalam pasal
30 sampai dengan 34 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Antara suami
dan istri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.39
Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan istri
diberikan perbedaan. Suami dibebani kewajiban untuk melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan suatu
kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang
diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat. Dalam pembinaan
rumah tangga itu, diperlukan saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir-bathin. Suatu rumah tangga yang dibina haruslah
mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang untuk itu haruslah ditentukan
secara bersama.
Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum. Suami
san istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Umpanya seorang
istri dapat saja mengadakan perjanjian jual beli dan lain-lain, perbuatan hukum
sendiri tanpa memerlukan bantuan atau pendampingan dari suaminya. Bahkan
diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan
apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.
39
kemapuannya. Dengan tegas disebutkan bahwa suami adalah “kepala keluarga”
sedangkan isteri adalah “ibu rumah tangga”. Isteri sebagai ibu rumah tangga
tentulah harus mengatur urusan rumah tangga itu dengan sebaik-baiknya.
b. Masalah Orang Tua dan Anak
Dalam hal perkawinan melahirkan anak, maka kedudukan anak serta
bagaimana hubungan antara orangtua dengan anaknya itu menjadi persoalan.
Maka undang-undang Perkawinan mengaturnya dalam pasal 42 sampai dengan
49. Sebelum sampai pada persoalan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak,
masalah sahnya anak mendapat perhatian khusus, sebagaimana disebutkan dalam
pasal pasal 42, 43, dan 44, yang terpenting adalah pernyataan bahwa yang
dianggap anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.40
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;
Tentang hak dan kewaajibanan antara orangtua dan anak diatur dalam pasal
45 sampai dengan pasal 49. Ditentukan bahwa orangtua dan mendidik anak
mereka sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan
terus walaupun perkawinan antara orangtuanya putus. Disamping kewajiban itu,
orangtua mengusai pula anaknya sampai anak berumur 18 tahun atau belum
pernah kawin.
Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang kewajiban orang
tua terhadap anaknya berbunyi :
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin tau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
40
Anak harus tunduk dan patuh kepada orang tuanya dan anak-anak harus
berdisiplin. Jiak kelakuan anak-anak tidak baik, maka orang tuanya berhak
memberikan hukuman atau memberikan koreksi. Hukuman dapat berupa
hukuman fisik misalnya dengan memukul asal bukan bersikap penyaniayaan.
Orang tua berhak membatasi kebebasan si anak, mereka dapat menentukan kapan
si anak dapat ke luar rumah dan kapan ia harus kembali ke rumah. Orang tua juga
berhak untuk memerintahkan si anak untuk waktu tertentu tidak boleh ke luar
rumah.41
a. Anak itu dewasa;
Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenaisegala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Tapi, kekuasaan tersubt dapat
dicabut atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
keatasdan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan alasan kalau orangtua tersebut sangat melalaikan kewajibannya atau
berkelakuan buruk sekali.
Pembatasan lain terhadap kekuasaan orangtua adalah larangan terhadap
orangtua untuk memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki. Kewajiban
anak terhadap orangtua pertama sekali adalah untuk menghormati dan mentaati
kehendak orangtua yang baik. Dan apabila anak telah dewasa maka berdasarkan
kemampuannya, anak tersebut wajib memelihara orangtuanya.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari
pengesahannya. Kekuasaan orang tua terakhir apabila :
41
b. Anak itu kawin;
c. Kekuasaaan orangtua dicabut karena ia melalaikan kewajiban
terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali.42
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Pasal 49
ayat (2) Undang-undang Perkawinan)
c. Masalah Harta Benda
Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan pokok
pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam
hidup perkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup
rumah tangga. Berhubung oleh karena itu, undang-undang perkawinan
memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35
sampai dengan 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1774 tentang Perkawinan.
Menurut Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan
harta kekayaan dalam perkawinan adalah :
“Harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”
Ditentukan bahwa tentang harta-benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Kalau suami istri masing-masing membawa harta kedalam
perkawinan atau dalam perkwinannya itu masing-masing memperoleh harta
karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap masing-masing
menguasainya, kecuali kalau ditentukan untuk dijadikan harta bersama. Tentang
harta bersama, baik suami atau istri dapat mempergunakannya dengan persetujuan
42
salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri mempunyai
hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.43
Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami dan isteri itu terpisah,
jadi masing-masing mempunyai hak untuk membelanjakan atau menggunakan
hartanya sepenuhnya tanpa boleh diganggu oleh pihak lain. Harta kekayaan yang
menjadi hak sepenuhnya masing pihak adalah harta bawaan
masing-masing atas usahanya sendiri, termasuk juga harta yang diterima oleh suami isteri
karena hibah, warisan, atau hadiah setelah mereka menikah.44
Jadi jika terjadi perceraian, maka mengenai harta bersama, diselesaikan
menurut Hukum Islam bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam dan
KUHPerdata bagi yang tidak beragama Islam.45
B. PEMBATALAN PERKAWINAN
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena
terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti
nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard sedang ; absolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan. Istilah dapat
dibatalakan dalam undang-undang ini, berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti suatu perkawianan sudah terjadi dapat
43
Ibid, Hal.35.
44
Neng Djubaidah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta, Hecca Publishing, 2005) hal. 61
45
dibatalakan para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.46
Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah,
akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut
Soedaryo Soimin “pembatalan perkawinan adalah tinakan putusan pengadilan
yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah
bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak pernah ada”.47
Dari pengertian pembatalan perkawinan itu dapat ditarik kesimpulan, yaitu
bahwa perkawinan dianggap tidak sah (no legal force), dan dengan sendirinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal. Karena itu pihak
laki-laki dan pihak perempuan yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah
kawin. Dengan demikian maka mereka tidak pernah berkedudukan suami-isteri.
Jadi berdasarkan pengertian tersebut diatas, istilah batalnya perkawinan oleh para
sarjana hukum dianggap tidak tepat kalau dipergunakan istilah perkawinan dapat
dibatalkan. Hal ini atas dasar pemikiran bahwa apabila perkawinan itu tidak
memenuhi syarat, barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan di muka
pengadilan. Jadi istilah bukan batal atau nietig akan tetapi dibatalkan atau
vernietigbaar.48
46
Matiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., Hal. 23.
47
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupratono, Hukum Islam II, (Surakarata, Buana Cipta, 1986) Hal. 2
48
Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada pasal 2249
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.
sampai dengan pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38.
Batalnya suatu perkawinan adalah setelah adanya putusan pengadilan yang
inkracht dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap :
2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama jika pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu;
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam nomor 1 dan 2
sepanjang mereka meperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan inkracht.50
Jadi tegasnya pengadilan dalam memutuskan permohonan pembatalan
perkawinan ini harus selalu memperhatikan ketentuan agamanya dari mereka yang
perkawinannya dimintakan pembatalannya. Adapun pengadilan yang berkuasa
untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan yang daerah kekuasaannya
meliputi tempat belangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami
isteri, suami atau isteri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di
pengadilan Agama sedang bagi yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri.
49
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 menyatakan: “perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
50
2. Prosedur Pembatalan Perkawinan
a. Alasan pembatalan perkawinan
Terdapat beberapa alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan
perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang dimuat dalam pasal
26 dan 27 adalah:
a) Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatatan
perkawinan yang tidak berwenang;
b) Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
c) Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;
d) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
e) Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri;
b. Pihak pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan
Para pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam
pasal 23 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang terdiri dari:
a) Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri;
b) Suami atau isteri;
c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pembatalan perkawinan dapat pula diajukan oleh wali nikah sesuai dengan
ketentuan pasal 26 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dengan beberapa
1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang
ridak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan
suami atau isteri.
2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat
(1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami atau
isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui suapaya sah.51
Prosedur atau tata cara yang harus dilakukan untuk mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:
a. Pengajuan gugatan
Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama yang meliputi:
1) Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan52
2) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal kedua suami isteri; ;
3) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal kediaman suami;
4) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.
Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa
datang sendiri atau diwakilikan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai
51
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarata, PT Asdi Mahasatya, 2005) Hal. 106.
52
kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran
yang terdiri dari :
a) Fotocopy tanda penduduk.
b) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon benar
penduduk setempat.
c) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan
perkawinan dengan pihak pemohon.
d) Kutipan akta nikah.
b. Penerimaan perkara
Surat permohonan harus didaftarkan terlebih dahulu oleh panitera, SKUM
(Surat Kuasa Untuk Membayar) yang didalamnya telah ditentukan berapa jumlah
uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara
setelah itu pemohon menerima kwitansi asli. Surat permohonan yang telah
dilampiri kwitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut
diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal
menunggu panggilan sidang.
c. Pemanggilan
Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan melalui
Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya sudah
diterimaoleh pemohon 3(tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan
tenggang waktu antara pemanggil dan diterimannya panggilan tersebut perlu
diperhatikan. Pemanggialn tersebut harus dilampiri salinan surat permohonan.
Hakim harus sudah memeriksa permohonann pembatalan perkawinan
selambat-lambatnya 30(tiga puluh) hari setelah diterimnanya berkas/surat
permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutusakn untuk mengadakan
sidang jika terdapat alasan-alasan seperti yang tercantum dalam ketentuang
Undang-undang Nomor 1974 tentang Perkawinan Bab IV Pasal 22 sampai dengan
pasal 27.
e. Putusan
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera
berkewajiban untuk :
1) Mengirimkan satu salinan putusan pengadilan kepada Pegawai
Pencatat di tempat pembatalan perkawinan terjadi dan pegawai
Pencatat mendaftarkan putusan pembatalan perkawinan dalam sebuah
daftar yang dipergunakan untuk itu.
2) Memberikan putusan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Agama
sebagai surat bukti telah terjadipembatalan perkawinan kepada para
pihak.
3) Mengirimkan satu salinan putusan pengadilan kepada Pegawai
Pencatat tempat perkawinan dialngsungkan kemudian dicatat pada
bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan.
c. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan
diatur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Pasal 28 ayat
a) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b) Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bilamana pembatalan perkawinan
didasarkan atas perkawinan yang lain yang terdahulu;
c) Orang ketiga lainnya tidak termasuk sub a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembataln, mempunyai hukum tetap.53
53