• Tidak ada hasil yang ditemukan

RKPD 2018 - BAB 2 Evaluasi Kinerja Tahun Lalu PART 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RKPD 2018 - BAB 2 Evaluasi Kinerja Tahun Lalu PART 1"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

29

BAB II

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN

RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN

KINERJA PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN

Proses evaluasi hasil pelaksanaan RKPD tahun lalu yang dilakukan oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakatya merupakan proses penilaian kebijakan perencanaan

yang telah disusun dan yang telah dilaksanakan pada tahun 2016 hingga tahun berjalan.

Proses tersebut sangat strategis dalam pencapaian tujuan pembangunan Provinsi DKI

Jakarta. Oleh karenanya, evaluasi hasil pelaksanaan RKPD tahun lalu harus dilakukan

secara sistematis, profesional dan terstruktur agar hasil evaluasi ini benar-benar

akuntabel dan berkualitas.

Pada BAB ini akan disajikan hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan

serta pencapaian Indikator Kinerja Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 dan tahun berjalan

sebagai acuan pencapaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.

(2)

30

terlebih dahulu akan disajikan data dan penjelasan mengenai gambaran umum kondisi

Provinsi DKI Jakarta.

2.1 Gambaran Umum Kondisi Daerah

2.1.1 Sejarah Kota Jakarta

Sejarah Kota Jakarta bermula dari sejarah berdirinya kerajaan yang terletak di

daerah Jawa Barat dekat Kota Bogor sekarang, bernama Pajajaran yang diperintah oleh

Sri Baduga Maharaja. Sisi utara Kerajaan Papajaran berbatasan dengan Muara Kali

Ciliwung yang menjadi letak sebuah bandar bernama Sunda Kelapa yang berfungsi

sebagai kota perdagangan. Sebagian besar perdagangan di semenanjung Malaka pada

masa itu dikuasai oleh bangsa Portugis, yang selalu berusaha mengembangkan

kegiatannya di Asia Tenggara.

Pada awal abad 16, Falatehan yang kemudian lebih dikenal dengan nama

Fatahillah, segera menunjuk pembantunya untuk memerintah kota dan mengganti nama

Bandar Sunda Kelapa dengan Fathan Mubina atau Jayakarta, yang berarti

“Kemenangan Akhir”. Pada tanggal 22 Juni 1527 dinyatakan sebagai tanggal

dikuasainya oleh Falatehan yang pada akhirnya Jayakarta disingkat menjadi “Jakarta“.

Gambar 2.1 Jayakarta 1527

Sumber: Museum Penerangan TMII

(3)

31

Setelah singgah ke Banten pada tahun 1596, Belanda datang ke Jayakarta sekitar

akhir abad ke-16 saat Jayakarta dipimpin oleh Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1916,

Jan Pieterszoon Coen memimpin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

menduduki Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Selanjutnya, Belanda

mengembangkan Batavia menjadi kota yang besar dan penting. Belanda

mengembangkan kanal-kanal dalam kota seperti kota-kota besar lainnya di Belanda.

Pada tanggal 1 April 1905 Stad Batavia berubah dan berkembang menjadi

Gemeente Batavia dan diberikan kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri

sebagai bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Gemeente Batavia merupakan

Pemerintah Daerah yang pertama kali dibentuk di Hindia Belanda. Luas wilayah

Gemeente Batavia kurang lebih 125 km², tidak termasuk pulau-pulau di Teluk Jakarta

(Kepulauan Seribu).

Gambar 2.2 Tijgersgracht Batavia

Sumber: Wikipedia

Gambar 2.4 Batavia 1897

Sumber: Wikipedia

Gambar 2.3 Kanal Batavia 1667

(4)

32

Pada tahun 1908 wilayah Afdeling Batavia dibagi menjadi 2 Distrik, yakni Distrik

Batavia dan Weltevreden yang dibagi lagi menjadi 6 sub Distrik (Onderdistrik). Distrik

Batavia terdiri dari sub Distrik Mangga Besar, Penjaringan dan Tanjung Priuk sedangkan

Distrik Weltevreden terdiri dari sub Distrik Gambir, Senen, dan Tanah Abang.

Pada tanggal 5 Maret 1942 Kota Batavia jatuh ke tangan bala tentara Jepang dan

pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada

Jepang. Pemerintah Jepang menerbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1942

tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa Pulau Jawa

dibagi menjadi satuan-satuan daerah yang disebut Pemerintahan Keresidenan (Syuu).

Keresidenan (Syuu) dibagi lagi menjadi beberapa Kabupaten (Ken) dan Kota (Shi).

Pada masa pendudukan Jepang, Jakarta adalah satu-satunya pemerintahan kota

khusus (Tokubetsu Shi) di Indonesia. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25

Tahun 1950 setelah kemerdekaan, kedudukan kota Djakarta ditetapkan sebagai daerah

Swatantra yang disebut “Kotapradja Djakarta Raya” dengan Walikotanya adalah

Soewiryo (1945-1951), Syamsuridjal (1951-1953), dan Soediro (1953-1960).

Kota Djakarta ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I dengan Kepala Daerah yang

berpangkat Gubernur pada tanggal 15 Januari 1960. Pada periode Gubernur Soemarno

(1960-1964) terbit UU Nomor 2 Tahun 1961 tentang pembentukan “Pemerintahan

Daerah Chusus Ibukota Djakarta Raya”. Sejak itu disebut Pemerintah DCI Djakarta

Raya. Pada periode Gubernur Henk Ngantung (1964-1966) terbit UU Nomor 10 Tahun

1964 tentang Djakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia dengan nama “Djakarta”.

Sejak itu Pemerintah DCI Djakarta Raya berubah menjadi Pemerintah DCI Djakarta.

Pemerintah DCI Djakarta berubah menjadi Pemerintah Daerah DKI Djakarta pada

periode Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Adapun gubernur selanjutnya berturut-turut

yaitu Tjokropranolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987) dan Wiyogo Atmodarminto

(1987-1992).

Pada periode Gubernur Wiyogo Atmodarminto terbit UU Nomor 11 Tahun 1990

tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia

Jakarta. Sejak itu sebutan Pemerintah Daerah DKI Jakarta berubah menjadi Pemerintah

(5)

33

Pada periode Gubernur Sutiyoso (1997-2007) terbit Undang-Undang Nomor 34

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik

Indonesia Jakarta. Sejak itu sebutan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berubah menjadi

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada akhir masa jabatan Gubernur Sutiyoso terbit

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebutan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak berubah.

2.1.2 Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta

Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

bahwa Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada

tingkat provinsi. Dengan Otonomi Provinsi DKI Jakarta yang diletakkan pada tingkat

provinsi maka Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus mengikuti

dan menuruti asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan

kekhususan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tersebut juga

disebutkan bahwa Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung

jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan

perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.

Sebagai konsekuensi kedua peran di atas, maka dalam hal perencanaan

pembangunan juga mempunyai metode pendekatan tersendiri dan berbeda dengan

provinsi lainnya. Dalam hal ini proses ini dimulai dari tingkat Rukun Warga sampai tingkat

provinsi dan diatur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Kota dan

Kabupaten hanya bersifat kota administrasi. Kemudian DPRD hanya ada pada tingkat

provinsi, tidak ada pada tingkat Kota dan Kabupaten Administrasi.

Selain sebagai ibukota negara kesatuan republik Indonesia, Jakarta mempunyai

peran yang penting dan multifungsi. Secara ekonomi Jakarta merupakan kota yang

(6)

34

produk demostik bruto nasional. Selain itu, Jakarta juga merupakan pusat kegiatan

keuangan di tingkat nasional. Jakarta juga merupakan pusat kegiatan pemerintahan

sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga

internasional. Dengan demikian maka Jakarta akan sangat penting bagi Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan untuk

aspek luar negeri.

Sebagai kota internasional tempat komunikasi antar berbagai suku bangsa, maka

penting bagi Jakarta dalam melakukan dialog budaya. Jadi secara umum budaya

Jakarta dapat dikatakan sebagai pusat akulturasi antara budaya asing dan budaya

domestik. Fungsi lainnya adalah bahwa Provinsi DKI Jakarta juga sebagai daerah

otonom. Fungsi ini mendorong Pemerintahan provinsi DKI Jakarta harus mempunyai

pemerintahan yang solid, kompeten, berwibawa, tanggap, bersih dan profesional.

Sehingga masyarakat dapat terlayani dengan baik dan puas.

Dengan dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Provinsi DKI Jakarta

sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat pemerintahan,

dan sebagai daerah otonom. Dengan fungsi tersebut ini maka Jakarta mempunyai

karakteristik permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda dengan provinsi lain.

Provinsi DKI Jakarta selalu berhadapan dengan masalah urbanisasi, keamanan,

transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan khusus, dan masalah sosial

kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui

berbagai instrumen.

Namun demikian, dalam pengelolaan wilayahnya, Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Undang-Undang tersebut mendasari

pembentukan Perangkat Daerah yang akan berperan penting dalam menyelesaikan

(7)

35

2.1.3 Aspek Geografi dan Demografi

Provinsi DKI Jakarta dalam lingkup kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) memiliki peran strategis, yaitu sebagai Ibukota NKRI. Sebagai ibukota

NKRI berimplikasi bahwa Jakarta mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda dengan

provinsi lain. Hal ini menngakibatkan bahwa tantangan dan permasalahan yang dimiliki

lebih kompleks dibandingkan daerah lain.

Dalam rangka menjawab tantangan dan permasalahan yang ada, perlu

memperhatikan kondisi dan potensi eksisting yang ada termasuk posisi geografis. Hal

ini dimaksudkan agar upaya pembangunan yang dilakukan dapat berdaya guna, berhasil

guna, serasi, selaras, seimbang sehingga keberlanjutannya dan kelestarian lingkungan

terjaga dengan baik.

2.1.4 Karakteristik Lokasi dan Wilayah

2.1.4.1 Luas dan Batas Wilayah Administrasi

Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007

tentang Penataan, Penetapan Batas dan Luas Wilayah Kelurahan di Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta, secara geografis luas wilayah DKI Jakarta adalah 7.639,83 km²,

dengan luas daratan 662,33 km² termasuk 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu,

dan luas lautan 6.977,5 km². Secara rinci, batas administrasi Provinsi DKI Jakarta dapat

(8)
(9)

37

Batas sebelah utara Jakarta terbentang pantai sepanjang 35 km yang menjadi

tempat bermuaranya 13 sungai, 2 kanal, dan 2 flood way. Sebagian besar karakteristik

wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di bawah permukaan air laut pasang. Kondisi

tersebut mengakibatkan sebagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta rawan genangan, baik

karena curah hujan yang tinggi maupun karena semakin tingginya air laut pasang (rob).

Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di atas bahwa batas wilayah sebelah barat

Provinsi DKI Jakarta adalah Provinsi Banten, serta di sebelah selatan dan timur

berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat.

Dalam hal administrasi pemerintahan, Provinsi DKI Jakarta dibagi menjadi 5 (lima)

Kota Administrasi dan 1 (satu) Kabupaten Administrasi. Hal tersebut dimaksudkan guna

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar lebih efektif dan efisien. Wilayah

kecamatan terbagi menjadi 44 Kecamatan, dan Kelurahan menjadi 267 Kelurahan,

dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 2.1

Pembagian Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016

No. Kota/ Kabupaten Administrasi

Luas Area (km2)*

Jumlah

Kecamatan* Kelurahan* RW** RT**

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Jakarta Pusat 48,13 8 44 390 4.577

2. Jakarta Utara 146,66 6 31 448 5.181

3. Jakarta Barat 129,54 8 56 584 6.467 4. Jakarta Selatan 141,27 10 65 576 6.081

5. Jakarta Timur 188,03 10 65 705 7.904

6. Kepulauan Seribu 8,70 2 6 25 127

Jumlah 662,33 44 267 2.728 30.337

*) Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007 **) Sumber : Biro Tata Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta 2016

Wilayah Provinsi DKI Jakarta terluas adalah Kota Administrasi Jakarta Timur,

yaitu 28,39 persen dari luas Provinsi DKI Jakarta, sedangkan wilayah terkecil adalah

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 1,31 persen, sebagaimana

(10)

38

Gambar 2.6 Komposisi Pembagian Wilayah Kota dan Kabupaten Administrasi

Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007

2.1.4.2 Letak dan Kondisi Geografis

Secara astronomis Provinsi DKI Jakarta terletak antara 6°12′ Lintang Selatan dan 106°48′ Bujur Timur. Dilihat dari posisi geostrategis, Provinsi DKI Jakarta terletak di sisi utara bagian barat Pulau Jawa, dengan bagian utara berbatasan langsung dengan Laut

Jawa, sedangkan sisi timur dan selatan Provinsi DKI Jakarta berbatasan dengan wilayah

administrasi Provinsi Jawa Barat, serta sisi barat berbatasan dengan wilayah Provinsi

Banten.

Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia sehingga tidak

memiliki kawasan pedalaman maupun kawasan terpencil. Sebagian wilayah Provinsi

DKI Jakarta merupakan kawasan pesisir, dengan luas wilayah pesisir sekitar 155 km

yang membentang dari timur ke barat sepanjang kurang lebih 35 km, dan menjorok ke

darat sekitar 4-10 km. Selain memiliki daerah pesisir, DKI Jakarta juga memiliki 110

pulau yang tersebar pada 2 (dua) Kecamatan di wilayah Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu. Pulau-pulau di wilayah tersebut memiliki luas beragam, sebanyak 30

persen memiliki luas lebih dari 10 Ha, sebanyak 25 persen memiliki luas antara 5 - 10 Jakarta Pusat

7,27%

Jakarta Barat

19,56 %

Jakarta Timur

28,39%

Jakarta Utara

22,14%

(11)

39

Ha, dan sisanya sebanyak 45 persen berukuran kurang dari 5 Ha. Pulau-pulau tersebut

memanjang dari utara ke selatan dengan ciri-ciri berpasir putih dan bergosong karang,

serta beriklim tropis panas dengan kelembaban berkisar antara 75 - 99 persen. Dari 110

pulau yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu, hanya 11 pulau yang berpenghuni,

yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang Besar, Pulau Pari, Pulau Payung Besar, Pulau

Tidung Besar, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua,

Pulau Harapan, dan Pulau Sebira.

2.1.4.3 Topografi

Topografi Provinsi DKI Jakarta dianalisis dari aspek ketinggian lahan dan

kemiringan lahan. Provinsi DKI Jakarta terletak pada dataran rendah dengan ketinggian

rata-rata kurang lebih 7 meter di atas permukaan laut (Jakarta Dalam Angka BPS 2016).

Sedangkan, sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang

permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Hal tersebut

mengakibatkan kemiringan lahan sebagaimana digambarkan pada Gambar berikut.

Gambar 2.7 Peta Kemiringan Lereng Daerah Jabodetabek

(12)

40

Dapat dilihat bahwa sekitar 0-3 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta yaitu memiliki

kecenderungan datar, sementara daerah hulu dimana sungai-sungai yang bermuara di

Provinsi DKI Jakarta memiliki ketinggian yang cukup tinggi yaitu sekitar 8-15 persen di

wilayah Bogor dan Cibinong, sedangkan daerah Ciawi-Puncak memiliki ketinggian lebih

dari 15 persen.

Fenomena banjir yang terjadi di Jakarta tidak lepas dari kemiringan lerengnya,

lokasi kota Jakarta sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 di atas, masih tergolong

dalam tingkat kemiringan lereng 0-3 persen. Kemiringan lereng pada kota Tangerang

dan Bekasi memiliki karakteristik yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa

sebagian besar kawasan Jabodetabek berada pada kemiringan lereng relatif landai.

Dengan kondisi kemiringan lahan yang demikian, ditambah dengan 17 sungai

yang mengalir di wilayah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan kecenderungan semakin

rentannya wilayah Jakarta untuk tergenang air dan banjir pada musim hujan. Terlebih

jika memperhatikan tingginya tingkat perkembangan wilayah di sekitar Jakarta,

menyebabkan semakin rendahnya resapan air kedalam tanah dan menyebabkan run off

air semakin tinggi, yang pada gilirannya akan memperbesar ancaman banjir di wilayah

Provinsi DKI Jakarta.

2.1.4.4 Geologi

Secara geologis, seluruh daerah di Jakarta terlihat bahwa strukturnya terdiri dari

endapan Pleistocene yang terdapat ± 50 meter di bawah permukaan tanah. Di sisi utara,

permukaan keras baru terdapat pada kedalaman 10 - 25 meter, semakin ke selatan

permukaan keras semakin dangkal pada kedalaman 8 - 15 meter, pada sebagian

wilayah, lapisan permukaan tanah yang keras terdapat pada kedalaman 40 meter.

Sedangkan struktur di sisi selatan terdiri atas lapisan alluvial.

Pada dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10

Kilometer. Di bawah terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada

(13)

41

Gambar 2.8 Peta Geologi Teknik Kawasan Jabodetabekpunjur

Sumber : Master Plan dan Kajian Akademis Persampahan Provinsi DKI Jakarta 2012-2032

Secara umum, karakteristik keteknikan tanah dan batuan Provinsi DKI Jakarta

menunjukan bahwa terdapat 4 karakteristik utama, yaitu:

a. Pasir lempungan dan lempung pasiran, merupakan endapan aluvial sungai dan

pantai berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lanau lempungan, lanau

pasiran dan lempung pasiran. Semakin kearah utara mendekati pantai di permukaan

berupa lanau pasiran dengan sisipan lempung organik dan pecahan cangkang

kerang, tebal endapan antara perselang-seling lapisannya bekisar antara 3-12

meter, namun ketebalan secara keseluruhan endapan tersebut diperkirankan

mencapai 300 meter. Lanau lempungan tersebar secara dominan di permukaan,

abu-abu kehitaman sampai abu-abu kecoklatan, setempat mengandung material

organik, lunak-teguh, plastisitas sedang-tinggi. Lanau pasiran, kuning keabuan,

teguh, plastisitas sedang-tinggi. Lempung pasiran, abu-abu kecokolatan, tegus,

(14)

42

Pada beberapa tempat nilai penetormeter saku (qu) untuk lanau lempungan antara

lanau pasiran antara 2-3 kg/cm2 dan lempung pasiran antara 1,5-3 kg/cm2, tebal

lapisan (data sondir dan bor tangan) lanau lempungan antara 1,5-5 m, lanau pasiran

antara 0,5-3 meter dan lempung pasiran antara 1-4 m dan kisaran nilai tekanan

konus lanau lempungan antara 2-20 kg/m2, lanau pasiran antara 15-25 kg/m2 dan

lempung pasiran antara 10-40 kg/m2.

b. Satuan Pasir Lempungan, merupakan endapan pematang pantai berangsur-angsur

dari atas kebawah terdiri dari perselang-selangan lanau pasiran dan pasir

lempungan. Tebal endapan antara 4,5-13 meter. Di permukaan didominasi oleh pasir

lempungan, dengan warna coklat muda dan mudah terurai. Pasir berbutir

halus-sedang, mengandung lempung, setempat kerikilan dan pecahan cangkang kerang.

Lanau pasiran berwarna kelabu kecoklatan, lunak, plasitisitas sedang.

Di beberapa tempat nilai penetrometer saku (qu) untuk pasir lempungan antara

0,75-2 kg/cm2 dan lanau pasiran antara 1,5-3 kg/cm2, tebal lapisan (data sondir dan bor

tangan) pasir lempungan antara 3-10 m dan lanau pasiran antara 1,5-3 meter dan

kisaran nilai tekanan konus pasir lempungan antara 10-25 kg/m2 dan lanau pasiran

antara 2-10 kg/m2.

c. Satuan Lempung Pasiran dan Pasir Lempungan, merupakan endapan limpah banjir

sungai. Satuan tersebut tersusun beselang-selang antara lempung pasrian dan pasir

lempungan. Lempung pasiran umumnya berwarna abu-abu kecoklatan, coklat,

dengan plasitisitas sedang, konsistensi lunak-teguh. Pasir lempungan berwarna

abu-abu, angka lepas, berukuran pasir halus-kasar, merupakan endapan alur sungai

dengan ketebalan 1,5-17 meter.

d. Lempung Lanauan dan Lanau Pasiran, merupakan endapan kipas aluvial vulkanik

(tanah tufa dan konglomerat), berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari

lempung lanauan dan lanau pasiran dengan tebal palisan antara 3-13,5 meter.

Lempung lanauan tersebar secara dominan di permukaan, coklat kemerahan hingga

coklat kehitaman, lunak-teguh, plasitisitas tinggi. Lanau pasiran, merah-kecoklatan,

teguh, plasitisitas sedang-tinggi. Di beberapa tempat nilai penetrometer saku untuk

lempung antara 0,8-2,85 kg/cm2 dan lanau lempungan antara 2,3-3,15 kg/cm2, tebal

lapisan (data sondir dan bor tangan) lempung antara 1,5-6 m dan lanau lempungan

(15)

43

lanau lempungan antara 18-75 kg/m2. Tufa dan konglomerat melapuk menengah –

tinggi, putih kecoklatan, berbutir pasir halus-kasar, agak padu dan rapuh.

Gambar 2.9 Potongan Melintang Selatan – Utara

Sumber : Master Plan dan Kajian Akademis Persampahan Provinsi DKI Jakarta 2012-2032

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan endapan

vulkanik quarter yang terdiri dari 3 (tiga) formasi yaitu: Formasi Citalang, Formasi

Kaliwangu, dan Formasi Parigi. Formasi Citalang memiliki kedalaman hingga kira-kira

80 meter. Formasi Citalang didominasi oleh batu pasir pada bagian bawahnya dengan

bagian atasnya merupakan batu lempung, sedangkan di beberapa tempat terdapat

breksi/konglomerat terutama pada bagian Blok M dan Dukuh Atas. Formasi Kaliwangu

didominasi oleh batu lempung diselingi oleh batu pasir yang memiliki kedalaman sangat

bervariasi, dengan kedalaman bagian utaranya lebih dari 300 meter dan di sekitar

Babakan, formasi Parigi mendesak keatas hingga kedalaman 80 meter. Dengan kondisi

(16)

44

2.1.4.5 Hidrologi

Potensi air bawah tanah di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar terletak dalam

cekungan air bawah tanah yang tidak mengenal batas administrasi pemerintahan dan

bersifat lintas Kabupaten/Kota yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi, yang secara

teknis diatur dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 716

K/40/MEM/2003 tentang Batas Horisontal Cekungan Air Tanah Di Pulau Jawa dan Pulau

Madura, berikut Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Menurut

keputusan tersebut, Provinsi DKI Jakarta berada pada Cekungan Air Tanah (CAT)

Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta yang merupakan cekungan air tanah lintas

Provinsi, yang berada di antara Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Jawa

Barat dengan luas sekitar 1.439 km2. Sebarannya mencakup sebagian Kota Tangerang

dan sebagian Kabupaten Tangerang, seluruh wilayah DKI Jakarta, sebagian Kabupaten

Bogor dan sebagian Kabupaten Bekasi.

Litologi akuifer utama dari cekungan air tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI

Jakarta merupakan: endapan sungai pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah; endapan kipas

gunung api; pasir, kerikil, dan kerakal; endapan pematang pantai; pasir halus-kasar

mengandung cangkang moluska; tuf Banten; tuf, tuf batu apung; dan batu pasir tufan.

Jumlah air tanah bebas 803 juta m3/tahun, sedangkan jumlah air tanah tertekan 40 juta

m3/tahun.

Sistem akufiernya bersifat multi layers yang dibentuk oleh endapan kuarter

dengan ketebalan mencapai 250 meter. Ketebalan akuifer tunggal antara 1 – 5 meter,

terutama berupa lanau sampai pasir halus. Kelulusan horizontal antara 0,1 – 40

meter/hari, sementara kelulusan vertikalnya berdasarkan hasil simulasi aliran air tanah

CAT Jakarta sekitar 250 m2/hari air tanah pada endapan kuarter mengalir pada system

akuifer ruang antar bulir. Di daerah pantai umumnya didominasi oelh air tanah

panyau/asin yang berada di atas air tanah tawar kecuali di daerah yang disusun oleh

endapan sungai lama dan pematang pantai. Akuifer produktif umumnya dijumpai sekitar

kedalaman 40 mbmt dan mencapai kedalaman maksimum 150 mbmt.

Pembagian system akuifer di CAT Jakarta yang hingga saat ini digunakan adalah

(17)

45

o Sistem akufier tidak tertekan yang berada pada kedalaman 0-40 mbmt, disebut sebagai kelompok akuifer I

o Sistem akuifer tertekan atas yang berada pada kedalaman 40-140 mbmt, disebut sebagai kelompok akuifer II

o Sistem akuifer tertekan bawah yang berada pada kedalaman 140 – 250 mbmt, disebut sebagai kelompok akuifer III

Pembagian akuifer di CAT Jakarta tersebut didasarkan atas dijumpainya lempung

berfaies laut yang memisahkan sistem akuifer yang satu dengan lainnya. Mengatasi

sistem akuifer di daerah pemantauan adalah endapan tersier yang bersifat relatif sangat

kedap air.Berdasarkan letaknya, Kota Jakarta termasuk kota delta (delta city) yaitu kota

yang berada pada muara sungai yang umumnya berada di bawah permukaan laut, dan

cukup rentan terhadap perubahan iklim. Meskipun demikian, keberadaan sungai dan

laut menyebabkan sebuah delta city memiliki keunggulan strategis, terutama dalam hal

transportasi perairan. Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup

rentan terhadap perubahan iklim. Panjang dan luas dari masing-masing sungai/kanal

menurut peruntukannya adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Panjang dan Luas Sungai/Kanal di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 No. Sungai/Kanal Panjang (m) Luas (m2) Peruntukan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Ciliwung 21.660 515.600 Usaha Perkotaan

2. Krukut 18.370 206.340 Air Baku Air Minum

3. Mookervart 8.000 215.000 Air Baku Air Minum

4. Kali Angke 4.350 175.375 Usaha Perkotaan

5. Kali Pesanggarahan 11.400 142.500 Perikanan

6. Kali Grogol 21.600 367.325 Perikanan

7. Kali Cideng 12.700 291.000 Usaha Perkotaan

8. Kalibaru Timur 12.600 75.600 Usaha Perkotaan

9. Cipinang 9.060 72.480 Usaha Perkotaan

10. Sunter 21.290 540.900 Usaha Perkotaan

11. Cakung 26.605 476.175 Usaha Perkotaan

12. Buaran 8.800 154.000 Usaha Perkotaan

13. Kalibaru Barat 14.250 106.875 Air Baku Air Minum

14. Cengkareng Drain 2.950 147.500 Usaha Perkotaan

(18)

46

No. Sungai/Kanal Panjang (m) Luas (m2) Peruntukan

(1) (2) (3) (4) (5)

16. Ancol 3.650 155.700 Usaha Perkotaan

17. Banjir Kanal Barat 14.250 855.000 Perikanan

Sumber: Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

2.1.4.6 Klimatologi

Dalam hal musim, wilayah Indonesia pada umumnya dikenal dua musim yaitu

musim kemarau dan musim hujan. Untuk wilayah Jakarta yang termasuk dalam wilayah

iklim tropis memiliki karakteristik musim penghujan rata-rata pada bulan Oktober hingga

Maret dan musim kemarau pada bulan April hingga September. Untuk Jakarta puncak

musim penghujan terjadi pada bulan November hingga Januari dengan curah hujan

tertinggi pada bulan Januari dan hari hujan tertinggi selama 26 hari terjadi pada bulan

Januari, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Curah Hujan dan Banyaknya Hari Hujan Menurut Bulan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2015

No. Bulan

2013 2014 2015

Curah Hujan (mm2)

Banyaknya HariHujan

Curah Hujan (mm2)

Banyaknya Hari Hujan

Curah Hujan (mm2)

Banyaknya Hari Hujan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Januari 621,9 23 1.075 26 412 23

2. Februari 146,6 20 689 22 639 20

3. Maret 184,4 16 174 20 221 19

4. April 204,3 18 168 16 111 17

5. Mei 101,0 12 47 10 79 6

6. Juni 256,7 19 174 12 48 5

7. Juli 256,7 19 214 16 1 1

8. Agustus 61,4 8 39 4 12 4

9. September 49,5 5 0 1 5 1

10. Oktober 110,1 9 52 4 6 1

11. November 196,6 14 65 11 103 11

12. Desember 338,9 23 211 15 194 16

Sumber: Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Dengan posisi yang spesifik, cuaca di kawasan Jakarta dipengaruhi oleh angin

laut dan darat yang bertiup secara bergantian antara siang dan malam. Dalam hal

(19)

47

sedangkan tertinggi pada bulan September. Perbedaan suhu antara musim hujan dan

musim kemarau relatif kecil. Kondisi ini dapat dipahami karena perubahan suhu udara

di kawasan Jakarta seperti wilayah lainnya di Indonesia tidak dipengaruhi oleh musim,

melainkan oleh perbedaan ketinggian wilayah. Suhu udara harian rata-rata pada daerah

pantai di wilayah Utara Jakarta umumnya relatif tidak berubah, baik pada siang maupun

malam hari. Secara rinci data suhu udara Provinsi DKI Jakarta tahun 2013-2015 dapat

dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.4 Suhu Udara Jakarta Menurut Bulan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2015

No. Bulan

2013 2014 2015

Suhu Udara (°C) Suhu Udara (°C) Suhu Udara (°C)

Max Min Rata-

rata Max Min

Rata-

rata Max Min

Rata- rata (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1. Januari 32,6 22,6 26,9 33,0 23,0 26,6 33,55 22,98 28,26 2. Februari 34,0 22,8 27,9 32,8 22,8 26,6 32,88 22,65 27,76 3. Maret 35,2 24,0 28,8 34,4 23,9 28,0 34,05 23,55 28,80 4. April 34,6 24,0 28,7 35,2 23,2 28,8 34,33 24,03 29,18 5. Mei 35,0 23,4 28,7 35,2 25,0 29,3 34,20 23,63 29,91 6. Juni 33,5 23,0 27,3 34,4 24,2 28,6 34,88 23,45 29,16 7. Juli 33,5 23,0 27,3 34,2 23,4 28,0 34,55 23,48 29,01 8. Agustus 35,0 22,4 28,6 34,6 24,0 28,7 34,40 22,40 28,40 9. September 35,4 24,2 29,0 37,0 24,0 29,2 34,98 23,75 29,36 10. Oktober 35,8 22,4 29,4 36,8 25,0 29,8 36,00 24,43 30,21 11. November 35,0 23,4 28,5 36,0 23,8 29,4 35,15 24,08 29,61 12. Desember 35,0 23,0 27,7 34,8 24,1 28,1 34,48 23,10 28,79

Sumber : Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

2.1.4.7 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan terbagi menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung.

Kawasan budidaya terdiri dari kawasan peruntukan hutan produksi, pertanian,

pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, pendidikan tinggi, pesisir dan

pulau-pulau kecil, serta kawasan militer dan kepolisian.

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan fisik wilayah DKI Jakarta

ditandai oleh semakin luasnya lahan terbangun. Perkembangan lahan terbangun

berlangsung dengan pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya.

Kecenderungan tersebut mengindikasikan bahwasanya ketersediaan lahan menjadi

permasalahan yang penting bagi pembangunan Provinsi DKI Jakarta. Pembangunan

(20)

48

oleh pembangunan gedung perkantoran, sarana ekonomi dan sosial serta infrastruktur

kota lainnya. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya

pembangunan dan perekonomian Jakarta. Gambaran penggunaan lahan di DKI Jakarta

dapat dilihat pada gambar berikut.

Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar, yaitu 48,41 persen

dari luas daratan utama DKI Jakarta. Sedangkan luasan untuk peruntukan bangunan

(21)

49

G

am

ba

r

2.

1

0

P

e

ta P

eng

gunaan Lahan d

i P

rov

insi

D

K

I Jakar

ta

S

um

ber

: R

T

R

W

P

rov

ins

i D

K

I J

ak

ar

ta

203

(22)

50

2.1.5 Potensi Pengembangan Wilayah

Jakarta merupakan wilayah yang sangat strategis baik dalam lingkup nasional,

regional, maupun internasional. Oleh karena itulah, dalam pengembangan wilayah

memperhatikan lingkungan strategis sekitarnya. Dalam pengembangan wilayah,

rencana struktur ruang DKI Jakarta merupakan perwujudan dan penjabaran dari struktur

ruang kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur.

Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan struktur ruang telah

memperhatikan berbagai aspek lingkungan strategis yang diduga akan mempengaruhi

perkembangan kota Jakarta secara keseluruhan. Rencana struktur ruang yang

dikembangkan di DKI Jakarta meliputi empat struktur ruang, yaitu sistem pusat kegiatan,

sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air, dan sistem dan jaringan utilitas perkotaan.

Sistem pusat kegiatan terdiri dari sistem pusat kegiatan primer dan sekunder.

Sistem dan jaringan trasnportasi terdiri dari sistem dan jaringan transportasi darat,

transportasi laut dan transportasi udara. Selanjutnya sistem prasarana sumber daya air

terdiri dari sistem konservasi sumber daya air, sistem pendayagunaan sumber daya air,

dan sistem pengendalian daya rusak air.

Sedangkan sistem dan jaringan utilitas perkotaan terdiri atas sistem dan jaringan

air bersih, sistem prasarana dan sarana pengelolaan air limbah, sistem prasarana dan

sarana pengelolaan sampah, sistem dan jaringan energi, serta sistem dan jaringan

(23)

51

G

a

m

b

ar

2.

11

P

et

a

R

encana S

tr

uk

tur

R

uang D

ar

at

an P

rovi

ns

i D

K

I Ja

kar

ta

S

um

ber

: R

T

R

W

P

rov

ins

i D

K

I J

ak

ar

ta

203

(24)

52

2.1.6 Wilayah Rawan Bencana

Bencana yang berpotensi melanda wilayah Jakarta adalah banjir dan genangan

air, kebakaran serta gempa bumi. Bencana yang menjadi perhatian khusus bagi Jakarta

adalah banjir. Banjir dan genangan air di Jakarta utamanya disebabkan oleh curah hujan

lokal yang tinggi, curah hujan yang tinggi di daerah hulu yang berpotensi menjadi banjir

kiriman, dan Rob atau air laut pasang yang tinggi di daerah pantai utara. Selain itu,

terjadinya banjir dan genangan air di Jakarta juga disebabkan oleh sistem drainase yang

tidak berfungsi dengan optimal, tersumbatnya sungai dan saluran air oleh sampah dan

berkurangnya wilayah-wilayah resapan air akibat dibangunnya hunian pada lahan basah

atau daerah resapan air serta semakin padatnya pembangunan fisik. Hal lainnya adalah

prasarana dan sarana pengendalian banjir yang belum berfungsi maksimal.

Wilayah terdampak banjir di DKI Jakarta pada tahun 2016 sebagaimana dapat

dilihat pada gambar di bawah ini, di mana terjadi pergeseran wilayah terdampak ke

wilayah selatan Jakarta.

Gambar 2.12 Peta Banjir Tahun 2016

(25)

53

Hal lain yang dapat memperparah dampak banjir dan genangan adalah

penurunan permukaan tanah (land subsidence). Secara umum laju penurunan tanah

yang terdeteksi adalah sekitar 1-15 cm per tahun, bervariasi secara spasial maupun

temporal. Beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu pengambilan air

tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan (settlement), penurunan

karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan­lapisan tanah, serta penurunan karena gaya­gaya tektonik.

Beberapa daerah yang mengalami subsidence cukup besar yaitu Cengkareng

Barat, Pantai Indah Kapuk, sampai dengan Dadap. Nilai subsidence paling besar

terdapat di daerah Muara Baru. Sementara untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan

nilai subsidence relatif kecil. Peta penurunan tanah DKI Jakarta dari tahun ke tahun

(26)

54

G

a

m

b

ar

2.

1

3

P

e

ta P

enu

runan

M

uka

Tanah

d

i P

rovi

nsi

D

K

I

Jakar

ta

S

um

ber

:

R

T

R

W

P

rov

ins

i D

K

I J

ak

ar

ta

203

(27)

55

Bencana lain yang sering terjadi di Jakarta adalah kebakaran. Bencana ini

umumnya terjadi di lokasi permukiman padat penduduk dan lingkungan pasar yang pada

umumnya disebabkan oleh arus pendek listrik. Bahaya kebakaran diperkirakan akan

terus menjadi ancaman apabila tidak tumbuh kesadaran masyarakat untuk hidup

dengan budaya perkotaan. Di wilayah DKI Jakarta terdapat 53 Kelurahan rawan

bencana kebakaran. Pada bulan November 2016, terdapat 56 kejadian bencana

kebakaran di Jakarta dengan sebaran sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 2.14 Peta Lokasi Kebakaran Bulan November Tahun 2016

Sumber : BPBD Provinsi DKI Jakarta

Terkait dengan potensi gempa bumi, di sekitar Jakarta diperkirakan terdapat 10

sumber gempa dengan potensi terbesar di sekitar Selat Sunda, yang selama ini aktif dan

berpotensi menimbulkan risiko bencana. Berdasarkan data seismik kegempaan seluruh

Indonesia, di selatan Jawa bagian barat terdapat seismic gap (daerah jalur gempa

dengan kejadian gempa yang sedikit dalam jangka waktu lama) yang juga menyimpan

potensi gempa yang tinggi terhadap Jakarta. Kondisi Jakarta Bagian Utara yang

(28)

56

dibandingkan wilayah Jakarta bagian selatan. Kawasan rawan bencana di Provinsi DKI

Jakarta dapat dilihat pada Gambar berikut.

Berdasarkan peta kawasan rawan bencana gempa bumi Jawa bagian barat,

potensi gempa bumi di wilayah DKI Jakarta termasuk kategori tingkat menengah sampai

rendah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri telah menyusun peta zonasi gempa

Level I – Level II, yaitu sampai dengan peta kondisi kerentanan batuan/tanah dan respon

(29)

57

G

a

m

b

ar

2.

15

P

et

a

K

a

w

asan

R

aw

an

B

encana A

lam

d

i P

rovi

ns

i D

K

I J

akar

ta

S

um

ber

: R

T

R

W

P

rov

ins

i D

K

I J

ak

ar

ta

203

(30)

58

2.1.7 Demografi

Pertumbuhan penduduk dapat dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, dan migrasi.

Pada tahun 2015 jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta mencapai 10.177.924 jiwa.

Dilihat dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki

Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sebanyak 5.115.357 jiwa atau 50,25 persen dari jumlah

keseluruhan penduduk, lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan yaitu

sebanyak 5.062.567 jiwa atau 49,74 persen. Oleh karenanya, Provinsi DKI Jakarta pada

tahun 2015 memiliki sex ratio sebesar 101,04 penduduk laki-laki per 100 penduduk

perempuan. Rincian perkembangan komposisi penduduk dari tahun 2012 sampai

dengan tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Tabel 2. 5 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2015

No. Uraian Satuan SP2000 2012 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1. Laki-laki Jiwa 4.223.125 4.976.100 5.023.400 5.069.900 5.115.357

2. Perempuan Jiwa 4.123.958 4.886.000 4.946.500 5.005.400 5.062.567

3. Jumlah Jiwa 8.347.083 9.862.100 9.969.900 10.075.300 10.177.924

4. Pertumbuhan % 0,78 1,13 1,09 1,06 1,09

5. Densitas Ribu jiwa/ Km2

12,60 14,89 15,05 15,23 15,37

6. Sex Ratio % 102,00 101,80 101,60 101,70 101,04

Sumber: Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta cenderung terus meningkat dari tahun ke

tahun, dengan laju pertumbuhan pada tahun 2012 sebesar 1,13 persen, tahun 2013

sebesar 1,09 persen, tahun 2014 sebesar 1,06 persen, dan tahun 2015 sebesar 1,09

persen. Dengan kepadatan penduduk 15,37 ribu jiwa/Km2, Provinsi DKI Jakarta

merupakan Provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan

Provinsi lainnya di Indonesia.

Struktur penduduk Provinsi DKI Jakarta menunjukkan dominasi penduduk usia

produktif (15-64) sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah. Pada tahun 2015,

penduduk usia produktif tercatat sebanyak 7.278.316 jiwa atau sebesar 71,51 persen

dari total penduduk, penduduk yang belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 2.523.715

jiwa atau 24,80 persen, dan penduduk yang tidak produktif lagi atau melewati masa

(31)

59

angka ketergantungan (dependency ratio) DKI Jakarta pada tahun 2015 sebesar 28,49

persen yang berarti dari 100 penduduk usia produktif DKI Jakarta akan menanggung

secara ekonomi sebesar 28,49 penduduk usia tidak produktif. Struktur penduduk

Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 dapat dilihat melalui piramida penduduk pada gambar

berikut:

Gambar 2.16 Piramida Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Secara umum, komposisi penduduk menurut jenis kelamin memiliki tren yang

hampir sama antar wilayah Kota/Kabupaten Administrasi, yaitu penduduk laki-laki

cenderung berjumlah lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan, hanya Kota

Administrasi Jakarta Pusat dan Kota Administrasi Jakarta Utara yang memiliki penduduk

perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah

penduduk tertinggi adalah Kota Administrasi Jakarta Timur yaitu sebanyak 2.843.816

jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah terdapat pada Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu yaitu sebanyak 23.340 jiwa. Rincian jumlah penduduk menurut

(32)

60

Tabel 2.7 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin di Kota/Kabupaten Provinsi DKI Jakarta Tahun 201

5

No Kota/Kab. Administrasi

Jumlah Penduduk Rasio

Jenis Kelamin

L P Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Jakarta Pusat 457.025 457.157 914.182 99,97

2 Jakarta Utara 867.727 879.588 1.747.315 98.65

3 Jakarta Barat 1.246.288 1.217.272 2.463.560 102,38

4 Jakarta Selatan 1.096.469 1.089.242 2.185.711 100,66

5 Jakarta Timur 1.436.128 1.407.688 2.843.816 102,02

6 Kep. Seribu 11.720 11.620 23.340 100,86

Jumlah 5.115.357 5.062.567 10.177.924 101,04

Sumber: Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Kelahiran dan Kematian Penduduk

Faktor utama yang dapat mempengaruhi jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta

yaitu jumlah kelahiran dan kematian. Secara keseluruhan, dari data registrasi kelahiran

kematian perkawinan perceraian dan pengesahan/pengakuan anak BPS Provinsi DKI

Jakarta, jumlah kelahiran dan kematian di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 tercatat

sebanyak 146.284 kelahiran dan 49.710 kematian. Jumlah kelahiran tertinggi pada

tahun 2015 terdapat pada Kota Administrasi Jakarta Timur sebanyak 42.586 kelahiran,

sednagkan jumlah terendah terdapat pada Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

sebanyak 1366 kelahiran. Selanjutnya jumlah kematian terbanyak di Kota Administrasi

Jakarta Timur sebanyak 14.885 kematian. Detil jumlah registrasi kelahiran dan kematian

(33)

61

Tabel 2.8

Registrasi Kelahiran dan Kematian

Menurut Kota/Kabupaten Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

No Kota/Kabupaten Administrasi

Kelahiran

Kematian Umum

(1) (2) (3) (6)

1 Jakarta Pusat 13.869 6.284

2 Jakarta Utara 26.339 8.186

3 Jakarta Barat 33.134 9.785

4 Jakarta Selatan 29.990 10.476

5 Jakarta Timur 42.586 14.885

6 Kep. Seribu 366 84

Jumlah 146.284 49.710

Sumber: Jakarta Dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

2.2. Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pada bagian ini dijabarkan indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan

daerah Provinsi DKI Jakarta sesuai amanat Permendagri No.54 Tahun 2010 dan format

urusan sesuai amanat Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

2.2.1. Aspek Kesejahteraan Masyarakat

Indikator kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu aspek yang sangat

penting dalam melihat kemajuan suatu wilayah.

2.2.1.1. Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggi merupakan tujuan yang ingin

dicapai oleh setiap daerah. Namun manfaat tersebut harus juga dirasakan oleh seluruh

lapisan masyarakat. Dengan kata lain, aspek pemerataan juga menjadi pertimbangan

penting dalam keberhasilan pembangunan. Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa

indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan dan pemerataan ekonomi

(34)

62

2.2.1.1.1. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi perekonomian secara makro

adalah data produk domestik regional bruto (PDRB). Terdapat 2 (dua) jenis penilaian

PDRB yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Selain menjadi

bahan dalam penyusunan perencanaan, angka PDRB juga bermanfaat untuk bahan

evaluasi hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan

Tabel 2.9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta

Tahun

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010

(juta Rupiah)

PDRB

Atas Dasar Harga Berlaku (juta Rupiah)

(1) (2) (3)

2010 1.075.183.481 1.075.183.481

2011 1.147.558.226 1.224.218.485

2012 1.222.527.925 1.369.432.639 2013 1.296.694.573 1.546.876.491

2014 1.373.389.129 1.762.316.399 2015 1.454.345.823 1.989.329.537

2016 1.539.376.654 2.177.119.884

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta dalam Statitik Ekonomi Keuangan Daerah Bank Indonesia 2017

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa PDRB Provinsi DKI Jakarta mengalami

kenaikan yaitu yang semula Rp 1.075 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 2.177 trilun

pada tahun 2016 (ADHB). Sedangkan berdasarkan ADHK tahun 2000 PDRB Provinsi

DKI Jakarta juga mengalami kenaikan yaitu menjadi Rp 1.539 triliun pada tahun 2016.

Apabila dilihat dari laju pertumbuhan PDRB, walaupun terus mengalami peningkatan

secara nominal laju pertumbuhan PDRB Provinsi DKI Jakarta atas dasar harga konstan

(35)

63

Gambar 2.17 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi DKI Jakarta

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017

Apabila dilihat dari kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, terlihat bahwa sektor

pedagang besar dan eceran merupakan kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi

DKI Jakarta dengan nilai kontribusi di atas 16% selama periode 2012-2016 diikuti oleh

sektor konstruksi dan industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi

Provinsi DKI Jakarta pada saat ini terletak pada ketiga sektor tersebut. Dengan

demikian, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dapat

diarahkan untuk menunjang kegiatan perekonomian ketiga sektor tersebut. Untuk dapat

melihat lebih lanjut perkembangan PDRB Provinsi DKI Jakarta, berikut disajikan

gambaran nilai PDRB sektoral berdasarkan harga berlaku:

Tabel 2.10 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2016 (Juta Rupiah)

No Sektor 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

1.488.288 1.628.412 1.718.556 1.867.250 1.985.307

2 Pertambangan

& Penggalian 4.011.417 4.287.998 4.540.965 5.043.042 5.181.434

3 Industri

Pengolahan 188.822.070 209.498.625 239.229.099 274.522.770 295.043.440

4

Pengadaan Listrik dan Gas

5.150.905 5.078.079 5.687.253 6.198.598 6.330.691

6,53

6,07

5,91 5,89

5,85

5,4 5,6 5,8 6 6,2 6,4 6,6

2012 2013 2014 2015 2016

(36)

64

No Sektor 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

5 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang

611.522 653.061 702.526 757.206 798.273

6 Konstruksi 188.935.057 210.869.986 235.090.027 261.158.155 280.432.268

7 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

224.375.960 261.040.403 304.598.489 330.319.573 358.898.312

8

Transportasi dan

Pergudangan

37.475.327 44.137.977 54.864.148 66.004.497 76.403.054

9

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

69.531.496 79.798.169 91.226.283 101.818.426 109.181.699

10 Informasi dan

Komunikasi 102.750.295 115.909.491 128.657.246 141.791.242 157.158.004

11 Jasa

Keuangan dan Asuransi

143.347.880 162.990.944 177.838.935 205.724.283 227.482.716

12 Real Estate 90.061.955 98.684.130 111.671.973 125.053.413 134.358.236

13 Jasa

Perusahaan 93.199.640 105.903.828 122.924.324 141.772.604 159.379.958

14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

83.862.784 89.312.049 101.058.724 114.109.574 123.168.685

15 Jasa

Pendidikan 69.871.172 79.619.389 92.766.399 109.807.940 124.725.628

16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

21.759.582 25.065.342 28.737.539 32.675.670 36.721.228

17 Jasa Lainnya 44.177.288 52.398.608 61.003.912 70.705.293 79.870.951

PDRB 1.369.432.639 1.546.876.491 1.762.316.399 1.989.329.537 2.177.119.884

(37)

65

Dari nilai PDRB sektoral berdasarkan harga berlaku sebagaimana ditunjukkan pada

tabel diatas, perkembangan kontribusi PDRB menurut sektor dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 2.11 Kontribusi Sektor dalam PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2016

No. Sektor 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Pertanian, Kehutanan, dan

Perikanan 0.11 0.11 0.10 0.09 0.09

2 Pertambangan & Penggalian 0.29 0.28 0.26 0.25 0.24

3 Industri Pengolahan 13.79 13.54 13.57 13.80 13.55

4 Pengadaan Listrik dan Gas 0.38 0.33 0.32 0.31 0.29

5 Pengadaan Air, Pengelolaan

Sampah, Limbah dan Daur Ulang 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04

6 Konstruksi 13.80 13.63 13.34 13.13 12.88

7

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

16.38 16.88 17.28 16.60 16.49

8 Transportasi dan Pergudangan 2.74 2.85 3.11 3.32 3.51

9 Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum 5.08 5.16 5.18 5.12 5.01

10 Informasi dan Komunikasi 7.50 7.49 7.30 7.13 7.22

11 Jasa Keuangan dan Asuransi 10.47 10.54 10.09 10.34 10.45

12 Real Estat 6.58 6.38 6.34 6.29 6.17

13 Jasa Perusahaan 6.81 6.85 6.98 7.13 7.32

14

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

6.12 5.77 5.73 5.74 5.66

15 Jasa Pendidikan 5.10 5.15 5.26 5.52 5.73

16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan

Sosial 1.59 1.62 1.63 1.64 1.69

17 Jasa Lainnya 3.23 3.39 3.46 3.55 3.67

PDRB 100,00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Untuk dapat melihat lebih lanjut perkembangan PDRB Provinsi DKI Jakarta,

(38)

66

Tabel 2.12

Nilai Sektor PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2016

No Sektor 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

1.319.310 1.353.560 1.359.955 1.375.424 1.387.526

2 Pertambangan &

Penggalian 3.009.260 3.002.787 2.976.969 2.956.158 2.911.787 3 Industri Pengolahan 160.011.696 168.558.608 177.774.890 186.808.688 193.610.260

4 Pengadaan Listrik

dan Gas 3.642.496 3.668.131 3.826.374 3.923.966 3.904.568

5

Pengadaan Air, Pengelolaan

Sampah, Limbah dan Daur Ulang

588.515 608.343 630.507 651.813 666.203

6 Konstruksi 168.958.210 179.383.475 188.294.710 195.804.652 198.486.331

7

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

206.961.971 217.980.309 228.775.732 234.872.712 245.826.853

8 Transportasi dan

Pergudangan 34.306.413 36.714.958 41.780.929 45.557.769 50.678.725

9

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

61.258.499 65.235.431 68.850.609 72.572.089 76.788.426

10 Informasi dan

Komunikasi 103.212.678 115.748.680 128.510.625 141.500.796 156.809.056

11 Jasa Keuangan dan

Asuransi 125.417.028 134.744.302 140.160.373 155.189.393 168.374.624 12 Real Estat 84.689.742 88.985.511 93.399.192 97.809.806 102.395.777 13 Jasa Perusahaan 83.916.951 90.835.653 98.965.444 106.646.598 115.619.804

14

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

62.651.012 60.859.266 61.594.054 62.319.343 64.388.948

15 Jasa Pendidikan 62.220.200 64.427.115 66.842.621 71.210.273 76.173.999

16 Jasa Kesehatan dan

Kegiatan Sosial 19.268.301 20.379.279 21.775.260 23.425.889 25.255.984 17 Jasa Lainnya 41.095.643 44.209.165 47.870.886 51.720.453 56.097.784

PDRB 1.222.527.925 1.296.694.573 1.373.389.129 1.454.345.823 1.539.376.654

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, dalam buku Statitik Ekonomi Keuangan Daerah Bank Indonesia 2017

Dari nilai PDRB sektoral berdasarkan harga konstan sebagaimana ditunjukkan pada

tabel 2.11 diatas, dapat dilihat perkembangan kontribusi PDRB menurut sektor pada

(39)

67

Tabel 2.13 Kontribusi Sektor PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2016

No. Sektor 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Pertanian, Kehutanan, dan

Perikanan 0.11 0.10 0.10 0.09 0.09

2 Pertambangan & Penggalian 0.25 0.23 0.22 0.20 0.19

3 Industri Pengolahan 13.09 13.00 12.94 12.84 12.58

4 Pengadaan Listrik dan Gas 0.30 0.28 0.28 0.27 0.25

5 Pengadaan Air, Pengelolaan

Sampah, Limbah dan Daur Ulang 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04

6 Konstruksi 13.82 13.83 13.71 13.46 12.89

7

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

16.93 16.81 16.66 16.15 15.97

8 Transportasi dan Pergudangan 2.81 2.83 3.04 3.13 3.29

9 Penyediaan Akomodasi dan

Makan Minum 5.01 5.03 5.01 4.99 4.99

10 Informasi dan Komunikasi 8.44 8.93 9.36 9.73 10.19

11 Jasa Keuangan dan Asuransi 10.26 10.39 10.21 10.67 10.94

12 Real Estat 6.93 6.86 6.80 6.73 6.65

13 Jasa Perusahaan 6.86 7.01 7.21 7.33 7.51

14

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

5.12 4.69 4.48 4.29 4.18

15 Jasa Pendidikan 5.09 4.97 4.87 4.90 4.95

16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan

Sosial 1.58 1.57 1.59 1.61 1.64

17 Jasa Lainnya 3.36 3.41 3.49 3.56 3.64

PDRB 100 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, dalam buku Statitik Ekonomi Keuangan Daerah Bank Indonesia 2017

Distribusi kegiatan ekonomi antarkota DKI Jakarta menunjukkan adanya

persebaran yang relatif merata, tetapi kesenjangan yang tinggi terjadi antara kota

dengan Kabupaten Kepulauan Seribu sebagaimana terlihat pada Tabel 2.13. Nilai PDRB

tertinggi tercatat di Jakarta Pusat kemudian diikuti oleh Jakarta Selatan dan Jakarta

(40)

68

Tabel 2.14

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kota/Kabupaten

Administrasi Provinsi DKI Jakarta Tahun 201

2

s.d. 201

5

(Juta Rupiah)

No. Kota/Kabupaten Administrasi 2012 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Jakarta Pusat 333.572.901 378.108.865 428.352.159 483.281.548

2. Jakarta Utara 257.287.531 289.837.979 333.921.789 379.227.915

3. Jakarta Barat 228.382.465 258.677.781 292.816.915 328.439.235

4. Jakarta Selatan 307.189.768 347.102.018 393.289.515 441.447.477

5. Jakarta Timur 237.081.963 267.275.771 305.773.100 345.644.016

6. Kepulauan Seribu 4.866.265 5.253.338 5.633.797 6.245.821

Sumber: Jakarta Dalam Angka 2016, Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

2.2.1.1.2. Laju Inflasi

Laju inflasi DKI Jakarta dari tahun ke tahun berfluktuasi nilainya, karena sangat

bergantung pada kondisi perekonomian baik nasional maupun global. Hal tersebut dapat

dilihat pada tabel 2.11, dimana inflasi DKI Jakarta mengikuti fluktuasi inflasi nasional,

dengan nilai yang hanya sedikit berbeda. Data terkini menunjukkan bahwa inflasi DKI

Jakarta tahun 2016 adalah sebesar 2,37 persen. Nilai tersebut merupakan capaian

terendah selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Rincian mengenai nilai inflasi DKI

Jakarta sebagaimana dapat dillihat pada tabel berikut:

Tabel 2.15 Laju Inflasi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2016 No.

Uraian 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata Inflasi

(1) (2) (4) (5) (6) (7) (8) (8)

1. Inflasi Nasional 4,3 8,38 8,36 3,35 3,02 5,48

2. Inflasi DKI Jakarta

4,52 8,00 8,95 3,30 2,37 5,43

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Laju inflasi Provinsi DKI Jakarta mengalami fluktuasi antara tahun 2012 hingga

2016 (Gambar 2.14). Inflasi terendah di Provinsi DKI Jakarta terjadi pada tahun 2016

yaitu sebesar 2,37% dan tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 8,95%.

Apabila dibandingkan dengan inflasi nasional, inflasi Provinsi DKI Jakarta memiliki

tren yang hampir sama. Hal tersebut menunjukkan tren kenaikan harga barang di

Provinsi DKI Jakarta cukup dapat menggambarkan kenaikan harga barang secara

(41)

69

dimana inflasi nasional memiliki tren menurun sementara Provinsi DKI Jakarta memiliki

tren inflasi yang meningkat.

2.2.1.1.3. PDRB Perkapita

Perkembangan nilai PDRB perkapita menunjukkan proporsi nilai tambah yang

dihasilkan dalam satu tahun dibagi jumlah penduduk. Data BPS menunjukkan bahwa

PDRB perkapita DKI Jakarta berdasarkan harga konstan tahun 2010 meningkat dari

Rp.136,31 Juta pada tahun 2014 menjadi Rp147,06 juta pada tahun 2016. Sedangkan

untuk PDRB perkapita DKI Jakarta berdasarkan harga berlaku dari Rp. 174,91 juta pada

tahun 2014 menjadu Rp.207,99 juta pada tahun 2016. PDRB per Kapita Provinsi DKI

Jakarta memiliki tren yang cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan adanya

peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi DKI Jakarta sebagaimana terlihat pada

Tabel 2.16.

Tabel 2.16 Nilai PDRB Perkapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 s.d. 2016

No. Uraian Satuan 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PDB Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku

Juta Rupiah 174,91 195,46 207,99

2. PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010

Juta Rupiah 136,31 142,89 147,06

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2017

2.2.1.1.4. Indeks Gini

Indeks Gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk

mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh dalam suatu daerah.

Ukuran kesenjangan Indeks Gini berada pada besaran 0 (nol) dan 1 (satu). Berdasarkan

ukuran ini, Gini Ratio dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu rendah jika nilai Gini Ratio

dibawah 0,4; sedang jika angkanya berkisar 0,4 - 0,5, serta dikatakan tinggi jika nilainya

di atas 0,5. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin

tinggi. Gini Ratio DKI Jakarta pada September 2015 sebesar 0,421, menurun 0,024 poin

menjadi 0,397 pada September 2016. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan di

(42)

70

Gambar 2.18 Perkembangan Gini Ratio di DKI Jakarta

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017

Selain Gini Ratio ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah

persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang

dikenal dengan ukuran ketimpangan Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini tingkat

ketimpangan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi jika persentase

pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya di bawah 12 persen,

ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12-17 persen, serta ketimpangan

rendah jika angkanya berada di atas 17 persen. Pada September 2016, persentase

pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah di DKI Jakarta sebesar 16,49 persen

yang berarti berada pada kategori ketimpangan sedang. Persentase pengeluaran pada

kelompok 40 persen terbawah pada bulan September 2016 menurun 0.08 poin jika

dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 16,57 persen.

Salah satu upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempersempit

ketimpangan pendapatan antara yang kaya dan yang miskin, adalah dengan melakukan

berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan penduduk khususnya penduduk miskin

melalui berbagai program serta upaya mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin

(43)

71

2.3.1.1.5 Persentase Penduduk di Atas Garis Kemiskinan

Selain koefisien gini, indikator kesejahteraan ekonomi diukur dari jumlah

penduduk miskin. Secara makro, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat

dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan (GK), yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan minimal makanan dan non makanan, yang merupakan rata-rata

pengeluaran perbulan perkapita. Metode penghitungan penduduk miskin melalui metode

ini dilakukan dengan menghitung komponen Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan

Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Tabel 2.17 Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Susenas Maret 2015, September 2015 dan Maret 2016

2.2.1.2. Fokus Kesejahteraan Sosial

2.2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Pengukuran keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya ditandai

oleh tingginya pertumbuhan ekonomi, namun juga mencakup kualitas manusianya.

Oleh karena itu, konsep pengukuran keberhasilan pembangunan harus berorientasi

kepada manusia atau masyarakatnya, yaitu bagaimana pertumbuhan ekonomi mampu

dirasakan seluruh lapisan masyarakat dan meningkatkan kualitas masyarakat sebagai

manusia. Pembangunan manusia yang mencakup tiga dimensi pokok yaitu kesehatan

(44)

72

dapat dilihat dari perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di suatu

wilayah. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2012 s.d. 2015

dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.18

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2015

No. Uraian 2012 2013 2014 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. IPM Jakarta Pusat 78,44 78,81 79,03 79,69

2. IPM Jakarta Utara 76,89 77,16 77,29 78,30

3. IPM Jakarta Barat 78,05 78,79 79,38 79,72

4. IPM Jakarta Selatan 81,72 82,72 82,94 83,37

5. IPM Jakarta Timur 79,52 79,88 80,40 80,73

IPM DKI Jakarta 77,53 78,08 78,39 78,99

IPM Nasional 67,70 68,31 68,90 N/A

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2017

Berdasarkan data yang ada, Kota Administrasi Jakarta Selatan memiliki capaian IPM

tertinggi dibandingkan wilayah lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Capaian tersebut diikuti

oleh wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur. Selain itu, dari data tersebut dapat dilihat

juga bahwa IPM Provinsi DKI Jakarta selalu meningkat setiap tahunnya. Hal ini

menunjukkan peningkatan kualitas manusia yang ada di Jakarta, yang selanjutnya

menjadi barometer bagi kualitas pembangunan manusia di Indonesia.

2.2.1.2.2. Pendidikan

Aspek yang dilihat dari fokus kesejahteraan masyarakat untuk bidang pendidikan adalah

Angka Melek Huruf (AMH), Rata-Rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi Kasar (APK)

dan Angka Partisipasi Murni (APM).

Angka Melek Huruf

Angka Melek Huruf (AMH) adalah proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang

dapat membaca dan menulis dalam huruf latin atau lainnya. Perkembangan Angka

Melek Huruf Provinsi DKI Jakarta dan perkembangan Angka Melek Huruf Nasional dapat

(45)

73

Gambar 2.19 Perkembangan Angka Melek Huruf DKI Jakarta dan Nasional Tahun 2011-2015

Sumber : Statistik Nasional, BPS 2016

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa capaian Angka Melek Huruf Provinsi DKI

Jakarta tahun 2011 hingga 2015 telah melampaui capaian Nasional. Perkembangan

Angka Melek Huruf DKI Jakarta selama kurun waktu 2011-2015 selalu mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hampir sebagian

besar penduduk Provinsi DKI Jakarta mampu untuk membaca dan menulis serta

menyerap informasi dengan baik. Persentase angka melek huruf yang tinggi di Provinsi

DKI Jakarta ini juga mengindikasikan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang

cukup memadai. Meskipun demikian, capaian Angka Melek Huruf tersebut masih belum

mencapai target MDG’s, yakni 100% pada tahun 2015.

Rata-rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk

usia 15 tahun keatas dalam menjalani pendidikan formal. Perkembangan Rata-rata

Lama Sekolah di Provinsi DKI Jakarta dan Nasional dapat dilihat pada gambar di bawah

ini.

98,83% 99,07% 99,13% 99,54% 99,59%

92,80% 93,10%

93,90%

95,90%

95,20%

90,00% 92,00% 94,00% 96,00% 98,00% 100,00% 102,00%

2011 2012 2013 2014 2015

(46)

74

Gambar 2.20 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah DKI Jakarta dan Nasional Tahun 2012-2015

Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

Berdasarkan gambar di atas, angka Rata-Rata Lama Sekolah di DKI Jakarta

Tahun 2012-2015 telah melampaui capaian nasional. Pada tahun 2015 Rata-Rata Lama

Sekolah nasional mencapai 7,84 tahun, sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah di DKI

Jakarta mencapai 10,7 tahun.

Penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya memberikan stimulus baik di

tingkat pusat maupun daerah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam

pencapaian ini. Kebijakan tersebut diantaranya kebijakan pelaksanaan program wajib

belajar 12 tahun, pemberian Ba

Gambar

Tabel 2. 5 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2015
Gambar 2.16 Piramida Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016
Tabel 2.7 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin di Kota/Kabupaten Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Tabel 2.8 Registrasi Kelahiran dan Kematian Menurut Kota/Kabupaten Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Arah Kebijakan Pembangunan Provinsi DKI Jakara Tahun 2018 417 BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH .... Penelaahan Hasil Rekomendasi Reses DPRD Provinsi DKI Jakarta

Gambar 5.4 Prioritas dan Arah Kebijakan Spasial pada Pola Ruang (Kawasan Lindung dan Budidaya) Jawa. Timur Tahun

LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2015 II-3 Tujuan pembangunan sesuai masing-masing misi dapat dijabarkan sebagai..

DAFTAR PELAYANAN INFORMASI KPU PROVINSI DKI JAKARTA. PADA

Jika dibandingkan dengan capaian angka putus sekolah jenjang SMA/MA/SMK tahun 2014 di Provinsi Kalimantan Utara yang sebesar 27.59%, angka putus sekolah di

Berikut terlampir penjabaran tugas dan fungsi pada tingkat Kecamatan sesuai dengan Pasal 45 s.d Pasal 54 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 286 tahun 2016

Berdasarkan data dari Badan Keluarga Berencana dan Perlindungan Ibu dan Anak, pada tahun 2015 terdapat 192 kelompok Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan

RKPD PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 kondisi geologi, selain kaya akan sumber daya alam wilayah selatan Jawa juga merupakan daerah dengan tingkat kerawanan yang