BAB II
LANDASAN TEORI
A. Work Family Conflict
1. Definisi Work Family Conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work family conflict sebagai
sebuah bentuk dari conflict antar peran dimana tekanan dari peran dalam
pekerjaan dan keluarga saling bertentangan yaitu menjalankan peran dalam
pekerjaan menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga,
begitu juga sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit
karena menjalankan peran dalam pekerjaan. Jam kerja yang panjang dan beban
kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work family
conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja
mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003; Greenhaus & Beutell, 1985).
Frone, Russell dan Cooper (1992) mendefinisikan work family conflict
sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana disatu sisi pekerja
harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan
keluarga secara utuh, sehingga sulit untuk membedakan antara pekerjaan
menggangu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan
mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan
Sebaliknya, keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan
perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga
mengganggu pekerjaan. Work family conflict ini terjadi ketika kehidupan keluarga
seseorang bertentangan dengan tanggung jawabnya ditempat kerja, seperti masuk
kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga
tuntunan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu
dan pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan dengan karirnya. Sependapat
dengan Frone, Greenhaus dan Parasuraman (1992) mengemukaan bahwa work
family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara
permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang berasal dari
pekerjaannya.
Maka dari beberapa paparan diatas dapat disimpulkan bahwa work family
conflict adalah konflik yang terjadi pada seseorang saat menjalankan dua
tutuntutan peran secara bersamaan, yaitu peran dalam bekerja dan peran dalam
keluarga, sehingga dapat memunculkan perilaku yang tidak diharapkan.
2. Dimensi Work Family Conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi
work family conflict, yaitu:
1. Time-Based Conflict
Mengacu pada kesulitan dalam pembagian waktu, energi dan
kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Time based
peran menyebabkan tuntutan dari peran lain tidak mungkin terpenuhi
(secara fisik) dan (2) individu sangat menikmati satu peran dibanding
peran yang lain (secara mental). Waktu yang dihabiskan untuk
melaksanakan satu peran akan menyisakan sedikit waktu untuk
menjalankan peran yang lain.
2. Strain Based Conflict
Mengacu pada ketegangan atau keadaan emosional (misalnya
kelelahan, kecemasan, depresi, mudah marah) yang dihasilkan oleh
satu peran menyulitkan pemenuhan tuntutan peran yang lain atau
menghambat performansi peran lain tersebut.
3. Behavior Based Conflict
Mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai
dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat
perilaku individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah
menyebabkan individu sulit menukar antara peran yang satu dengan
yang lain.
3. Aspek-aspek Work Family Conflict
Work family conflict (WFC) terdiri dari dua aspek yaitu WIF (work
interfering with family) dan FIW (family interfering with work) (Frone 2003;
Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari WIF lebih dikarenakan akibat
tuntutan waktu yang terlalu berlebihan atau time-based conflict dalam satu hal
(contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain
atau strain-based conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang
ke rumah dengan suasana hati yang buruk (bad mood) setelah bekerja. Sementara
FIW lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau
bagian (pekerjaan atau keluarga) behavior-based conflict (Frone, 2003).
WIF dan FIW dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan
harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan organisasi (misalnya
dukungan sosial). Greenhaus dan Beutell (1985) work family conflict yang terjadi
akan menimbulkan konsekuensi yang negatif antara peran pekerja dalam
pekerjaan dengan keluarga. Contohnya, konflik antara pekejaan dengan keluarga
dapat meningkatkan tingkat absensi, meningkatkan turnover, menurunkan
performance, dan menurunkan kesehatan individu tersebut baik secara psikologis
maupun kesehatan fisik. Sementara menurut Moore (2005) seorang pekerja yang
menunjukkan komitmen organisasi yang tinggi maka pekerja tersebut
menunjukkan produktivitas yang tinggi, tingkat turnover yang rendah, absen yang
rendah, serta tingkat keterlambatan yang rendah.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict
Bellavia & Frone (2005) menguraikan beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya dalam konflik peran ganda (work family conflict), antara
lain:
1. Dalam Diri Individu (General Intra Individual Predictors)
Ciri-ciri demografis (jenis kelamin, status keluarga, usia anak terkecil)
dapat menjadi faktor resiko, kepribadian (seperti negative affectivity,
2. Peran Keluarga (Family Role Predictors)
Pembagian waktu untuk pekerjaan di keluarga (pengasuhan dan tugas
rumah tangga), stresor dari keluarga (dikritik, terbebani oleh anggota
keluarga, konflik peran dalam keluarga, ambiguitas peran dalam
keluarga).
3. Peran Pekerjaan (Work Role Predictors)
Pembagian waktu, terkena stressor kerja (tuntutan pekerjaan atau
overload, konflik peran kerja, ambiguitas peran kerja), job
characteristic (kerjasama, rasa aman dalam kerja), dukungan sosial
dari atasan dan rekan, karakteristik tempat kerja. Beban kerja yang
terlalu banyak akan membuat karyawan harus kerja lembur, atau
banyaknya tanggung jawab tugas keluar kota bersama rekan kerja
yang diberikan atasan membuat karyawan akan menghabiskan lebih
banyak waktunya untuk pekerjaan dan berada di perjalanan.
Dengan job characteristic yang dimiliki karyawan, maka akan
mempengaruhi keadaan psikologis bagi karyawan, karyawan akan merasakan
keberartian mengenai aspek pekerjaan yang dihadapinya, kemudian karyawan
tersebut akan merasa bertanggung jawab terhadap hasil dari suatu pekerjaan yang
dikerjakan, dan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh untuk
menghadapi pekerjaannya, serta peningkatan mutu karyawan dan yang
kinerja yang berkualitas tinggi, kepuasan karyawan, serta rendahnya absensi dan
rotasi karyawan.
B. Job Characteristic
1. Definisi Job Characteristic
Job characteristic merupakan aspek internal dari suatu pekerjaan yang
mengacu pada isi dan kondisi dari pekerjaan (Hackman & Oldham, 1980). Job
characteristic sebagai bentuk prediksi individu mengenai kondisi tugas yang
sesuai dengan pekerjaan mereka, kondisi tugas ini meliputi skill variety, task
identity, task significance, autonomy dan feedback (Hackman & Oldham, 1976).
Menurut As’ad (1992) job characteristic merupakan salah satu faktor yang
menentukan kesesuaian seseorang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu, dan
memungkinkan seseorang untuk lebih berhasil dalam bidang yang ditekuninya
karena karyawan tersebut akan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
pekerjaannya, memiliki minat yang besar terhadap pekerjaan dan semakin
berorientasi di bidang pekerjaannya.
Menurut Robbins (2003) job characteristic merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Job characteristic menentukan
kesesuaian orang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu dan memungkinkan
seseorang untuk lebih berhasil dalam bidang yang di tekuninya. Dengan
pemahaman terhadap job characteristic di harapkan karyawan tersebut akan
semakin berorientasi di bidang pekerjaannya. Karyawan akan menekuni pekerjaan
peroleh hasil yang memuaskan. Jika seorang karyawan memiliki karakteristik
yang sesuai dengan pekerjaannya maka kinerjanya akan meningkat.
Dari definisi yang diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
job characteristic adalah suatu kondisi pekerjaan yang dapat menentukan
kesesuaian seseorang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu yang terdiri dari
variasi keterampilan yang dibutuhkan, prosedur dan kejelasan tugas, tingkat
kepentingan, kewenangan dan tanggung jawab serta umpan balik dari tugas yang
dilaksanakan.
2. Dimensi Job Characteristic
Menurut Hackman dan Oldham (1980), job characteristic memiliki lima
dimensi, yaitu :
a. Skill Variety
Dideskripsikan sebagai suatu tingkatan dimana pekerjaan menuntut
karyawan untuk melakukan suatu kegiatan yang menantang
keterampilan dan kemampuan mereka. Hal ini meliputi penggunaan
sejumlah keterampilan dan kemampuan yang berbeda. Beberapa studi
menyatakan bahwa skill variety adalah salah satu prediktor terbaik
dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi lebih besar terhadap
orang-orang yang memiliki berbagai keterampilan kerja.
b. Task Identity
Suatu tingkatan dimana karyawan mengenal dan dapat menyelesaikan
tugasnya secara menyeluruh dari awal sampai akhir dengan hasil yang
identifikasikan. Hal ini akan lebih berarti bagi karyawan karena
mereka menganggap bahwa pekerjaan tersebut penting dan merasa
bangga akan hasil yang didapatkannya.
c. Task Significance
Suatu tingkat dimana pekerjaan tersebut memiliki pengaruh yang
penting pada kehidupan atau pekerjaan orang lain, baik di dalam
organisasi ataupun lingkungan luar. Studi empiris menyebutkan
bahwa task significance berhubungan positif dengan kepuasan kerja
dan komitmen terhadap organisasi.
d. Autonomy
Kebebasan untuk mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya
berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan
kepadanya, dengan indikator kebebasan dalam merencanakan
pekerjaan dan kebebasan dalam melaksanakan tugas.
e. Feedback
Informasi atau tanggapan mengenai hasil pelaksanaan kerja
karyawan, dengan indikator penerima informasi tentang keberhasilan
yang telah dicapai dan penerimaan informasi tentang kesesuaian
pelaksanaankerja dengan keinginan atasan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan masing-masing dimensi, maka
munculnya Job characteristic pada karyawan karena hasil dari suatu pekerjaan
yang dirancang dengan menggabungkan lima dimensi pekerjaan pokok, yaitu skill
karyawan yang memiliki job characteristic akan mempengaruhi terpenuhinya
kebutuhan psikologis karyawan, kemudian akan mempengaruhi motivasi
karyawan dalam bekerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan
kinerja karyawa (Hackman & Oldham, 1975). Dengan demikian semakin besar
kadar kelima dimensi karakteristik suatu tugas, maka akan semakin besar pula
komitmen karyawan dalam bekerja yang selanjutnya akan mempengaruhi
komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Ivancevich, Mara dan Michael (2001), yang menyatakan bahawa job
characteristic berkembang sebagai upaya untuk mengukur persepsi karyawan
terhadap isi pekerjaan (job content), yang mengidentifikasi lima dimensi inti
pekerjaan yaitu skill variety, task identity, task significance, autonomy serta
feedback.
C. Hubungan Job Characteristic Dengan Work Family Conflict Pada
Karyawan Perbankan
Dunia pebankan merupakan lembaga keuangan dengan tugas memberikan
jasa keuangan melalui penitipan uang (simpanan), peminjaman uang (kredit),
serta jasa-jasa keuangan lainnya. Oleh karena itu, bank harus dapat menjaga
kepercayaan dari nasabah. Faktor utama yang berperan terhadap kemajuan
perusahaan adalah sumber daya manusianya (karyawan) yang dimiliki
perusahaan. Penampilan dalam bekerja adalah salah satu faktor penting dalam
Maka untuk itu setiap bank memerlukan karyawan yang memiliki
keterampilan dan kemampuan dalam dunia perbankan agar dapat melayani setiap
produk perbankan yang ditawarkan secara cepat, tepat, dan memuaskan.
Karyawan juga dituntut untuk menyeimbangkan waktu, tenaga dan pikiran antara
keluarga dan pekerjaan. Kesulitan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan
keluarga yang sering kali bertentangan dapat menyebabkan terjadinya work family
conflict (Bedeian, Burke, & Moffett, 1988).
Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban
kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan
terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan
waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan menjaga
anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi
keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan dengan
anggota yang lain (Yang, Chen, & Zou, 2000).
Wayne, Musisca dan Fleeson, (2004) menemukan bahwa ternyata konflik
antarperan disebabkan oleh dua bentuk tuntutan peran yang saling bertentangan
yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) sebelumnya, yaitu : waktu
(time) dan ketegangan (strain). Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan
memiliki lebih banyak energi, mengalami lebih sedikit stress, atau lebih mampu
menghadapi berbagai tekanan sehingga akan memiliki konflik peran yang lebih
sedikit ketika orang tersebut memiliki karakteristik tertentu yang
memungkinkannya untuk bekerja dengan memanfaatkan waktu secara lebih
Beberapa job characteristic seperti jam kerja yang panjang dan beban
kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work family
conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja
mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003; Greenhaus & Beutell, 1985).
Work Family Conflict dapat mengakibatkan stress dan ketidakpuasan, yang
kemudian berpengaruh pada keputusan ketidakhadiran karyawan dan dalam waktu
tertentu dapat meningkatkan turnover karyawan atau yang melatar belakangi
keputuasan berhenti bekerja bagi karyawan (Triaryati, 2002).
Konflik peran dan tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan faktor
terjadinya stress di tempat kerja (Nouri & Parker, 1996). Strees kerja terjadi
karena adanya karakteristik intrinsik dalam pekerjaan. Karakteristik tersebut
antara lain berupa, tuntutan kerja (task demans) seperti disain kerja, autonomy,
task identity, tingkat otomisasi (Sheridan & Radmacher, 1992), heterogenitas
personalia, saling ketergantungan dalam pelaksanaan tugas dan spesialisasi
(Schultz & Schultz, 1982). Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang
melebihi batas kemampuannya, seperti lembur, akan memunculkan kelelahan,
ketegangan dan emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan
waktunya sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk
memenuhi tuntutan keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini
yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga
conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz &
Garrosa, 2008).
Studi yang dilakukan oleh Apperson, Schimdt, Moore, dan Grunber (2002)
menemukan bahwa job characteristic yang lebih formal dan manajerial, seperti
jam kerja yang relatif panjang dan banyaknya beban pekerjaan yang harus
dikerjakan lebih cenderung memunculkan work-family conflict pada pekerja.
Job characteristic berupa pendekatan terhadap pengayaan pekerjan (job
enrichment). Program pengayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha merancang
pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan
mereka akan pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas
yang dikerjakan. Dengan pemerkayaan pekerjaan dapat menambahkan sumber
kepuasan kepada pekerjaan (Simamora, 2004). Namun kepuasan pekerjaan yang
di dapat terhambat ketika seseorang pekerja mengalami work family conflict
dimana pekerja berusaha memenuhi tuntutan dari pekerjaan dan keluarga dan
kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga (Simon, Kummerling &
Hasselhorn, 2004).
Menurut Hackman dan Oldham (1975) job characteristic mempengaruhi
tingkat motivasi, kinerja karyawan, kepuasan kerja, tingkat absensi, dan tingkat
perputaran kerja. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa faktor-faktor dalam
pekerjaan yang dapat memunculkan pengalaman akan arti penting dari pekerjaan
adalah adanya variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (Task identity),
characteristic, bila dihubungkan dengan keadaan psikologis akan dapat
memberikan hasil antara lain, motivasi kerja intern yang tinggi, kepuasan kerja
yang tinggi dan tingkat kemangkiran serta pertukaran kerja yang rendah (Schuller,
1997).
Berdasarkan lima dimensi di atas atau yang disebut ciri-ciri intrinsik
pekerjaan, Hackman dan Oldham (1980) (Luthans, 2008) mengembangkan model
job characteristic dari motivasi kerja. Keduanya mengasumsikan bahwa ciri-ciri
pekerjaan di atas menimbulkan tiga critical psychological states, yaitu:
experienced meaningfulness of the work (skill variety, task identity dan task
significant), mengacu pada sejauh mana karyawan mengalami pekerjaan sebagai
salah satu yang umumnya bermakna, berharga dan berguna. Namun, ketika
seorang karyawan dihadapkan pada strain-based conflict maka hal yang akan
terjadi tekanan dari salah satu peran akan mempengaruhi kinerja peran lainnya.
Dimana gejala tekanan, seperti: Ketegangan kecemasan, depresi dan mudah marah
(Greenhaus dan Beutell, 1985).
Experienced responsibility for outcomes of the work (autonomy), mengacu
pada sejauh mana karyawan merasa dipertanggung jawabkan dan bertanggung
jawab untuk hasil pekerjaan yang dia lakukan. Namun tanggung jawab seorang
pekerja tidak hanya dalam pekerjaannya saja, dalam Time-Based Conflict
seseorang pekerja akan merasa kesulitan dalam pembagian waktu, energi dan
kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Bentuk konflik Ini secara
positif berkaitan dengan: Jumlah jam kerja, lembur, tingkat kehadiran,
Knowledge of the actual results of the work activities (feeedback),
mengacu pada sejauh mana karyawan mengetahui dan memahami secara terus
menerus, seberapa efektif ia dapat melakukan pekerjaan. Dalam behavior based
conflict, mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai
dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat perilaku
individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah menyebabkan individu sulit
menukar antara peran yang satu dengan yang lain (Greenhaus dan Beutell, 1985).
Kondisi psikologis pada pegawai akan menghasilkan motivasi kerja yang
tinggi, dimana motivasi ini lebih bersifat internal, kepuasaan kerja yang terus
tumbuh, tingginya efektifitas kerja (Hackman & Oldham, 2005) dan rendahnya
tingkat absensi serta berhenti kerjanya karyawan (Djastuti, 2011). Dari penjelasan
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa job characteristics dapat membuat
karyawan mengalami kondisi psikologis seperti meaningfulness, responsibility,
dan knowledge the results. Kondisi psikologis yang dialami karyawan akan
membuat motivasi kerja yang tinggi, puas dalam bekerja, tingginya efektifitas
kerja yang membuat rendahnya tingkat turnover dan resign dari pekerjaan dimana
hal-hal ini diindikasikan sebagai ciri-ciri dari karyawan yang terlibat dalam
pekerjaannya (Robbins, 2002).
Hackman dan Oldham (1980) menjelaskan bahwa karyawan yang berada
pada pekerjaan yang sesuai dengan tugas pekerjaan mereka akan bekerja lebih
keras karena motivasi internal yang dimiliki. Aldag, Barr dan Brief (1981) yang
membuktikan bahwa job characteristic berpengaruh terhadap motivasi kerja,
dan stres. Sedangkan Gibson (2006) menyatakan sikap terhadap job characteristic
secara positif dapat menumbuhkan semangat kerja dan untuk mencapai prestasi
kerja yang optimal.
Faktor lain yang turut mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, seperti
faktor skill variety individu, autonomy individu dalam mengerjakan tugas,
feedback yang didapatkan individu atas tugas yang diselesaikan, dan hal lain
menyangkut job characteristic itu sendiri (Hackman dan Oldham, 1976 dalam
Spector, 1996). Misalnya, seseorang yang memandang tugasnya sebagai tugas
yang penting, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja (Munandar, 2001).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika karyawan memiliki
kesesuai job characteristic yang positif dengan kehidupan pekerja, maka
karyawan tersebut akan merasa puas dengan pekerjaannya sehingga karyawan
akan lebih efektif dalam melakukan pekerjaan dan pada akhirnya karyawan akan
mengabaikan kepentingan keluarganya demi pekerjaan kemudian work family
conflict terjadi.
D. Hipotesis
1. Hipotesis Utama
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini
adalah terdapat hubungan positif antara job characteristic dengan work family
conflict pada karyawan perbankan. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi
skor job characteristic maka semakin tinggi pula skor work family conflict pada
2. Hipotesis Tambahan
Ada hubungan antara dimensi skill variety, task identidy, task significance,
dan feedback pada job characteristic dengan work family conflict.
a. Ada hubungan positif antara skill variety dengan work family conflict
pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor skill
variety semakin tinggi pula skor work family conflict.
b. Ada hubungan positif antra task identity dengan work family conflict
pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor task
identity semakin tinggi pula skor work family conflict.
c. Ada hubungan positif antara task significance dengan work family
conflict pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi
skor task significance semakin tinggi pula skor work family conflict.
d. Ada hubungan positif antara autonomy dengan work family conflict
pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor
autonomy semakin tinggi pula skor work family conflict.
e. Ada hubungan positif antara feedback dengan work family conflict
pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor