• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN SENI RUPA BARU DAN DESAIN GRAFIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GERAKAN SENI RUPA BARU DAN DESAIN GRAFIS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN 1980-an

Inamul Haqqi Hasan

PENDAHULUAN

Hari ini, istilah Desain Komunikasi Visual (DKV) telah dikenal luas oleh

masyarakat, sebagian masih mengenalnya dengan sebutan Desain Grafis dan

pelakunya adalah desainer grafis. Jurusan DKV di institut seni atau institut

kesenian menjadi salah satu jurusan favorit, hingga sebagian membuka kelas

non-reguler untuk menampung pendaftar yang tidak diterima di kelas non-reguler. Selain

itu juga dibuka Program Studi DKV di perguruan tinggi umum seperti UNS

(Surakarta), UM (Malang), Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara,

Universitas Paramadina, dan lain-lain.

Popularitas tersebut disebabkan oleh adanya anggapan bahwa bekerja di

bidang DKV cukup prospektif. Anggapan bahwa desainer grafis adalah tukang

reklame yang membuat spanduk atau baliho telah tergantikan dengan imaji sosok

desainer logo bertarif miliaran rupiah atau animator yang meniti karir sampai

Hollywood. Anggapan yang masuk akal karena memang didasari cerita nyata dari

beberapa nama, walaupun itu hanya segelintir saja.

Terjadinya kenaikan popularitas dan perubahan anggapan masayarakat di

atas menunjukkan DKV memiliki perjalanan sejarah yang menarik untuk dikaji.

Pengkajian sejarah DKV selain sebagai penggalian informasi juga diperlukan

untuk mempertanyakan apakah DKV hari ini telah berkembang secara

komprehensif jika dibandingkan beberapa dekade yang lalu? Ataukah hanya aspek

(2)

Nama DKV adalah pengganti dari nama Desain Grafis, atau Seni Reklame

di ASRI Yogyakarta. Pergantian tersebut didasari atas tuntutan perluasan bidang

garap dari Desain Grafis dengan semakin berkembangnya media. Desain Grafis

sendiri, sesuai dengan namanya, erat kaitannya dengan kegiatan cetak-mencetak.

Sehingga jika kita ingin merunut sejarahnya dapat dimulai dari didatangkannya

mesin cetak pertama di Indonesia pada tahun 1659 oleh pemerintah Kolonial.

Namun, agar dapat menyajikan data secara detail, makalah ini hanya akan

mengambil potongan waktu tahun 1980-an.

DESEMBER HITAM DAN GERAKAN SENI RUPA BARU

Depolitisasi seni yang dijalankan pemerintah Orde Baru, sebagai upaya

melanggengkan kekuasaan tentu saja, mengakibatkan sanggar-sanggar seni rupa

yang berada di bawah naungan partai politik kian meredup. Pun demikian dengan

sanggar di bawah naungan institusi agama. Sementara itu,

sanggar-sanggar yang masih bertahan justru kental dengan senioritas atau, meminjam

istilah Harsono, cantrikisme. Demikian pula di dalam institusi pendidikan seni

yang masih sarat dengan pola patron klien dan tidak memberikan kebebasan

dalam bereksperimen.1

Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian dari para pelukis muda yang

menolak cantrikisme memilih jalan individual. Sementara sebagian lainnya

bergabung dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Salah satu kelompokyang

lahir adalah Kelompok Lima Pelukis Muda Yogyakarta (KLPMY) yang

beranggotakan Siti Adiyati, Nanik Mirna, Bonyong Munni Ardhi, Hardi, dan F.X.

Harsono. Setelah terbentuk pada tahun 1972, KLPMY mengadakan pameran

pertamanya di Solo, kemudian di Lembaga Indonesia Amerika di Surabaya, dan

akhirnya pada tahun 1974 di Balai Budaya Jakarta diikuti oleh Bonyong, Nanik,

dan Harsono. Berkat pameran tersebut, di tahun yang sama KLPMY mulai dikenal

1

(3)

dan mendapat undangan untuk mengikuti Pameran Besar Seni Lukis Indonesia

(yang kelak menjadi Jakarta Biennale) di Taman Ismail Marzuki.2

Perselisihan dengan pelukis senior muncul karena karya-karya para pelukis

muda yang dipamerkan tidak lagi mengikuti cara dan teknik melukis dari para

guru dan senior mereka. Penciptaan seni menolak lirisisme, kedalaman

(deepness), ketunggalan, dan penciptaan yang dilakukan oleh tangan seniman.

Mereka menolak proses penciptaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai estetis yang

menempatkan seniman sebagai individu yang otonom karena orisinalitas,

ketunggalan dan keunikan dari jiwa seniman yang terpancar tidak lagi dianggap

sebagai suatu yang penting.3

Karya-karya eksperimentasi para pelukis muda akhirnya mendapat kritik

dari dewan juri. Dalam pernyataannya, dewan juri menyebut:

Usaha bermain-main dengan apa yang asal “baru” dan “aneh” saja, dapatlah dianggap sebagai usaha coba-coba, cari-cari, atau sekedar iseng, atau bukti langkanya ide dan kreativita.4

Perselisihan semakin tajam ketika dewan juri Pameran Besar Seni Lukis

Indonesia menentukan karya-karya A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam,

dan Abas Alibasyah sebagai karya terbaik. Para pelukis muda mengajukan protes

karena menurut mereka karya-karya terpilih itu seragam, yaitu dekoratif dan lebih

mengabdi pada kepentingan"konsumtif.” Apalagi muncul pendapat bahwa yang

dibutuhkan adalah karya-karya yang Indonesiawi sehingga karya-karya yang

sifatnya eksperimental ditolak.5

Dari sana, para pelukis muda meluncurkan pernyataan sikap yang disebut

dengan “Pernyataan Desember Hitam 1974” pada tanggal 31 Desember 1974

yang berbunyi:

Mengingat bahwa sejak beberapa tahun yang lampau, kegiatan-kegiatan seni budaya dilaksanakan tanpa strategi budaya yang jelas maka kami menarik kesimpulan bahwa pada pengusaha-pengusaha seni-budaya sedikitpun tidak tampak wawasan terhadap

Agus Dermawan T. Tanpa tahun. Yang Sempat Saya Catat, Sebelum dan Sesudah Pagelaran

Seni Rupa Baru 1977. http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/17/380/yang_sempat_

(4)

masalah-masalah paling azasi dari kebudayaan kita. Ini pertanda bahwa sejak beberapa waktu suatu erosi spiritual sedang menghancurkan perkembangan seni-budaya.

Karena ini maka kami merasa perlu untuk pada bulan desember 1974 yang hitam ini menyatakan pendirian kami tentang gejala yang tampak pada wujud seni-lukis Indonesia masa kini.

1. Bahwa kepancaragaman seni-lukis Indonesia merupakaan kenyataan yang tidak dapat dimungkiri, akan tetapi kepancaragaman ini tidak dengan sendirinya menunjukkan perkembangan yang baik.

2. Bahwa untuk perkembangan yang menjamin kelangsungan kebudayaan kita para pelukis terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilai-nilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi.

3. Bahwa kreativitas adalah kodrat pelukis, yang menempuh berbagai cara untuk mencapai perspektiv-perspektiv baru bagi seni-lukis Indonesia.

4. Bahwa dengan demikian maka identitas seni-lukis Indonesia dengan sendirinya jelas eksistensinya.

5. Bahwa yang menghambat perkembangan seni-lukis Indonesia selama ini adalah konsep-konsep usang, yang masih dianut oleh establishment, pengusaha-pengusaha seni budaya dan seniman-seniman yang sudah mapan. Demi keselamatan seni lukis kita, maka kini sudah saatnya kita memberi kehormatan pada establishment tersebut, yaitu kehormatan purnawirawan budaya.6

Pernyataan di atas tidak hanya ditandatangani oleh para pelukis muda dari

STSRI ASRI Yogyakarta, tetapi juga dari ITB dan LPKJ (sekarang IKJ). Mereka

adalah: Muryotohartoyo, Juzwar, F.X. Harsono, Bonyong Munni Ardhi, M.

Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Adiyati, D.A. Peransi, Baharuddin Marasutan,

Ikranegara, Adri Darmadji, Hardi, dan Abdul Hadi WM.7

Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan “Desember Hitam” itu

belum selesai. Di STSRI ASRI Yogyakarta, mahasiswa-mahasiswa yang ikut

menandatangani pernyataan Desember Hitam seperti Harsono, Bonyong Munni

Ardhi, Ris Purwana, dan Hardi dipecat, dicabut hak-haknya sebagai mahasiswa,

dilarang melakukan kegiatan apa pun (di kampus), dan dikeluarkan dari susunan

panitia Dies Natalis. Sementara itu, mahasiswa LPKJ yang ikut menandatangani

pernyataan tersebut tidak mendapat sanksi apapun. Di ITB, pernyataan “Desember

Hitam” justru mendapat perlakuan simpatik dan lembar pernyatannya dipajang di

papan pengumuman.8

(5)

Peristiwa di atas nyatanya tidak menghentikan aksi “pemberontakan”

Harsono dan kawan-kawan. Selanjutnya, mereka (kelompok dari STSRI ASRI

Yogyakarta) bertemu dengan kelompok dari ITB dan membentuk suatu gerakan

yang disebut dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Pameran pertama GSRB

(“Pameran Seni Rupa Baru 75”) diadakan di Taman Ismail Marzuki pada Agustus

1975. Pameran tersebut diikuti sebelas perupa, yaitu Siti Adiyati, Nanik Mirna,

Pandu Sudewo, Muryoto Hartoyo, F.X. Harsono, Jim Supangkat, Anyool

Soebroto, Bonyong Munni Ardhi, Bachtiar Zainoel, Hardi, dan Ris Purwono.9 Sanento Yuliman, seorang pengajar di ITB yang turut mendukung GSRB,

dalam pengantar katalog pameran itu menegaskan:

Ada lagi hal lain yang umum terdapat pada seniman-seniman ini, yang sangat penting untuk suatu generasi. Mereka merasa berbeda dari seniman-seniman angkatan sebelumnya. Tersirat dalam perasaan ini, kalau saya tidak keliru menafsirkan: pendirian, bahwa tiap generasi dapat menemukan dan menegakkan asas-asas seni mereka sendiri, berhak mendefinisikan kembali seni.10

Sebagai bentuk pernyataan sikapnya, GSRB merumuskan lima poin yang

disebut dengan “Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”.

Pernyataan tersebut dimuat dalam buku berjudul Gerakan Seni Rupa Baru

Indonesia yang dieditori oleh Jim Supangkat dan terbit tahun 1979. Isinya sebagai

berikut:

1. Dalam berkarya, membuang sejauh mungkin imaji "seni rupa" yang diakui hingga kini, (gerakan menganggapnya sebagai "seni rupa lama") yaitu seni rupa yang dibatasi hanya di sekitar: seni lukis, seni patung dan seni gambar (seni grafis). Dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, penetrasi di antara bentuk-bentuk seni rupa di atas, yang bisa melahirkan karya-karya seni rupa yang tak dapat dikategorikan pada bentuk-bentuk di atas, dianggap "sah" ("Seni Rupa Baru"). Dalam berkarya, membuang sejauh mungkin imaji adanya elemen khusus dalam seni rupa, seperti elemen-elemen lukisan, elemen-elemen-elemen-elemen gambar dan sebagainya. Keseluruhannya berada dalam satu kategori, elemen-elemen rupa yang bisa berkaitan dengan elemen-elemen ruang, gerak, waktu dan sebagainya. Dengan begitu, semua kegiatan yang dapat dikategorikan ke dalam seni rupa di Indonesia, kendati didasari "estetika" yang berbeda, umpamanya yang berasal dari kesenian tradisional, secara masuk akal dianggap sah sebagai seni rupa yang hidup.

2. Membuang sejauh mungkin sikap "spesialis" dalam seni rupa yang cenderung membangun "bahasa elitis" yang didasari sikap "avand-gardisme" yang dibangun oleh

9

F.X. Harsono. 2013. Op.Cit.

10

Sanento Yuliman. 1975. “Perspektif Baru,” pengantar pada Katalog Pameran Seni Rupa Baru

(6)

imaji: seniman seharusnya menyuruk ke dalam mencari hal-hal subtil (agar tidak dimengerti masyarakat, karena seniman adalah bagian dari misteri hidup?). Sebagai gantinya, percaya pada segi "kesamaan" yang ada pada manusia dikarenakan lingkungan kehidupan yang sama. Percaya pada masalah-masalah sosial yang aktual sebagai masalah yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen pribadi. Dalam hal ini, kekayaan ide atau gagasan lebih utama daripada ketrampilan "master" dalam menggarap elemen-elemen bentuk.

3. Mendambakan "kemungkinan berkarya", dalam arti mengharapkan keragaman gaya dalam seni rupa Indonesia. Menghujani seni rupa Indonesia dengan kemungkinan-kemungkinan baru, mengakui semua kemungkinan-kemungkinan tanpa batasan, sebagai pencerminan sikap "mencari". Dari sini, menentang semua penyusutan kemungkinan, antara lain sikap pengajaran "cantrikisme" di mana gaya seorang guru diikuti murid-muridnya, yang sebenarnya dapat berbuat lain, memperkaya kemungkinan "gaya" seni rupa Indonesia.

4. Mencita-citakan perkembangan seni rupa yang "Indonesia" dengan jalan mengutamakan pengetahuan tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru yang berawal dari Raden Saleh. Mempelajari periodisasinya, melihat dengan kritis dan tajam caranya berkembang, menimbang dan menumpukkan perkembangan selanjutnya ke situ. Percaya bahwa dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru ini terdapat masalah-masalah yang sejajar bahkan tidak dimiliki buku-buku impor, dan mampu mengisi seni rupa Indonesia dengan masalah yang bisa menghasilkan perkembangan yang bermutu. Mencita-citakan perkembangan seni rupa yang didasari tulisan-tulisan dan teori-teori orang-orang Indonesia, baik kritikus, sejarawan ataupun pemikir. Menentang habis-habisan pendapat yang mengatakan perkembangan seni rupa Indonesia adalah bagian dari sejarah seni rupa Dunia, yang mengatakan seni adalah universal, yang menggantungkan masalah seni rupa Indonesia pada masalah seni rupa di Mancanegara.

5. Mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti tidak diragukan kehadirannya, wajar, berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat.11

Selanjutnya, kelompok GSRB menyelenggarakan Pameran Seni Rupa

Baru yang kedua pada Februari-Maret 1977. Pameran tersebut seolah menjawab

tuduhan dari para perupa senior tentang krisis moral dan estetis. Kelompok GSRB

menampilkan karya-karya positif, menarik, bermutu, dan meyakinkan. Selain

diikuti oleh mereka yang sebelumnya ikut di pameran pertama, pameran ini juga

diikuti peserta baru, yaitu: S. Prinka, Ronald Manulang, Satyagraha, Nyoman

Nuarta, Wagiono, Dede Eri Supriya.12

Bulan September pada tahun yang sama, 1977, di Yogyakarta kelompok

“Seni Kepribadian Apa” (PIPA) menyelenggarakan pameran berjudul Pergelaran

11

Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. http://dgi-indonesia.com/lima-jurus-gebrakan-gerakan-seni-rupa-baru-indonesia/

12

(7)

Seni Kepribadian Apa di Gedung Senisono Art Gallery. Senada dengan GSRB,

kelompok ini juga melakukan kritik pada kemandegan seni rupa. Ronald

Manulang, juru bicara kelompok PIPA menyatakan “telah terlalu lama kesenian

kita berbasa-basi dengan konsep loakan yang tak pernah mengenal kesegaran, tak

mengenal lingkungan, tak mengenal dinamika sosial …”13

Pagelaran yang mirip happening art itu juga diikuti oleh pemusik Sapto

dan Jack Body. Sedangkan para perupa yang terlibat adalah Dede Eri Supriya,

Gendut Riyanto, Wienardi, Tulus Warsito, Budi Sulistyo, Bonyong Munni Ardhi,

Haris Purnama, Slamet Ryadi, Redha Sorana, dan Ronald Manulang. Pameran ini

ditutup polisi pada hari kedua dengan sebab yang kurang jelas.14

Tahun 1979, GSRB mengadakan pameran ketiga sekaligus menjadi

pameran terakhirnya. GSRB bubar pada tahun 1979 karena, menurut Harsono, ada

upaya mendiskreditkan karya-karya seniman yang lebih muda, upaya menjadikan

dirinya sebagai pusat gerakan, yang mana itu telah menyimpang dari komitmen

awal GSRB bahwa kebebasan individu dalam mencipta adalah mutlak.15

PAMERAN DESAIN GRAFIS PERTAMA

Ada dua poin penting dari fenomena GSRB di atas yang terkait dengan

perkembangan seni/grafis di Indonesia. Pertama, GSRB menyuarakan

penghentian pandangan dikotomis antara seni rupa murni (fine arts) dengan seni

rupa terapan (applied arts). Hal itu dapat ditangkap dari Lima Jurus Gebrakan

GSRB yang menyatakan bahwa sikap “spesialis” dan “bahasa elitis” harus

dibuang jauh. Kedua, sebagian dari seniman yang tergabung dalam GSRB

maupun PIPA adalah para perancang grafis. Mereka adalah: Syahrinur Prinka,

Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto, Harris Purnama, Oentarto,

dan, salah satu motornya: F.X. Harsono.

13

Hendro Wiyanto. 2004. “Perginya “Pipa Penghubung”” dalam harian Kompas edisi 4 Januari 2004.

14

Agus Dermawan T. Op.Cit.

15

(8)

Dengan kesetaraan antara seni rupa terapan dan seni rupa murni, maka

kegiatan pameran bukan lagi hanya dominasi seniman lukis, patung, atau instalasi,

akan tetapi desainer grafis pun layak untuk berpameran.

Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis

Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia:

Gauri Nasution, Didit Chris Purnomo, dan Hanny Kardinata. Mengambil judul

“Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit.” Menurut salah satu

peserta, Hanny, pameran ini membawa misi utama memperkenalkan profesi

desainer grafis ke masyarakat luas serta memamerkan kekuatan desain grafis

modern dalam dunia perwajahan kita.16 Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis

Indonesia. Setahun sebelumnya di Bandung telah diadakan pameran desain grafis

tetapi oleh desainer-desainer dari Belanda.17

Menurut Agus Dermawan, pameran itu merupakan respon dari perwajahan

grafis di Indonesia yang masih lemah. Kelemahan itu, menurutnya, bukan karena

para desainer grafis sendiri tetapi oleh mekanisme produksi yang belum banyak

melibatkan mereka. Banyak iklan dan sampul buku atau kaset yang membuat

orang tidak memberikan perhatian khusus karena wajah grafisnya yang tidak

mempunyai kekuatan apa-apa. Maka, Agus Dermawan menyebut pameran ini

“mau merubah dunia” dengan maksud mengubah dunia perwajahan yang kurang

terperhatikan.18

Beberapa karya yang dipamerkan antara lain:

16

Hanny Kardinata. 2007. Sejarah IPGI: Upaya Menumbuhkan Apresiasi. http://dgi-indonesia.com/sejarah-ipgi-upaya-menumbuhkan-apresiasi/

17

Agus Dermawan T. 1980. “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau Merubah Dunia” dalam harian Kompas edisi 25 Juni 1980.

18

(9)

Hanny Kardinata. 1979. Ilustrasi “Guruh Soekarnoputra.”

(10)

Gauri Nasution. 1978. Sampul Album Musik Keenan Nasution “Di Batas Angan-angan.”

LAHIRNYA IKATAN PERANCANG GRAFIS INDONESIA

Pada saat yang hampir bersamaan dengan persiapan pameran di atas,

diadakan juga pertemuan-pertemuan intensif di antara para desainer grafis (saat

itu masih terbatas pada mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta atau Bandung)

untuk mempersiapkan didirikannya sebuah wadah/organisasi bagi para desainer

grafis Indonesia.

Organisasi tersebut akhirnya disepakati bernama Ikatan Perancang Grafis

Indonesia (IPGI). Supaya efisien, maka pada saat memasuki perumusan AD/ART,

kode etik, program kerja, kepengurusan, dsb, dibentuk Badan Pendiri yang terdiri

dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, SJH Damais, Bambang

Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J. Leonardo N. Mereka

lalu merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara untuk

melaksanakannya. Pengurus sementara terbentuk pada tanggal 25 April 1980

(11)

Ketua : Wagiono

Wakil Ketua : Karnadi (alm.)

Sekretaris 1 : Didit Chris Purnomo

Sekretaris 2 : J Leonardo N

Bendahara : Hanny Kardinata

Dibantu beberapa koordinator bidang:

Pameran : FX Harsono, S Prinka (alm.)

Publikasi dan Buletin : Tjahjono Abdi (alm.)

Hubungan Masyarakat : Agus Dermawan T

Dokumentasi dan Perpustakaan : Helmi Sophiaan (alm.)

Pendidikan dan Ceramah : Hanny Kardinata19

Dalam dokumen Tata Laku IPGI, disebutkan bahwa perancang grafis

adalah “seorang ahli yang memiliki beberapa titik pengembangan berdasarkan

keahliannya dalam menyusun rancangan grafis.” Lebih lanjut disebutkan terdapat

sepuluh bidang gerak perancangan grafis, yaitu:

1. Typography, termasuk typefaces;

2. Lettering dan Calligraphy;

3. Publicity material;

4. Grafis film, televisi dan presentasi audio-visual, terutama untuk sarana

pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan;

5. Packaging design (rancangan kemasan);

6. Ilustrasi umum;

7. Ilustrasi teknik;

8. Animasi dan kartun;

9. Graphic photography; serta

10. Architectural dan environmental graphics.20

19

Hanny Kardinata. 2007. Op.Cit.

20

J. Leonardo N. 1980. “IPGI – Lahirnya Sebuah Horison Baru yang Cerah” dalam Brosur

(12)

Pada bagian selanjutnya disebutkan ada delapan lokasi bidang

perancangan grafis, yaitu:

1. Penerbit;

2. Percetakan;

3. Perusahaan kemasan;

4. Studio grafis;

5. Studio film;

6. Studio televisi;

7. Perusahaan periklanan; dan

8. Bekerja bebas (freelance).21

Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 September 1980, IPGI secara

resmi memproklamasikan kelahirannya dalam sebuah pameran perdana bertajuk

“Grafis’80.” Nantinya, pada tahun 1994 IPGI berganti nama menjadi Asosiasi

Desainer Grafis Indonesia (ADGI) yang masih bertahan hingga sekarang.

PAMERAN “GRAFIS ’80” DAN BERKEMBANGNYA PERUSAHAAN

DESAIN GRAFIS

Pameran “Grafis ‘80” berlangsung tanggal 24-30 September 1980 di

Wisma Seni Mitra Budaya, Jakarta. Pameran ini sekaligus menjadi ajang temu

desainer grafis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa nama yang

ikut menampilkan karyanya adalah: Achmad Rumyar, Achmad Sadimin,

Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit

Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, G.M. Sudarta,

Hanny Kardinata, Indarsjah, Karnadi Mardio, J. Leonardo N., Markoes

Djajadiningrat, Pramono, Priyanto S., Sadjiroen, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak

Raden’, Suyono Palal, S. Prinka, Teddy Sam Natasasmita, T. Sutanto, Tjahjono

Abdi, Wagiono, Wendy Bari, dan Yusuf Razak.22

21

Ibid.

22

(13)

Leonardo menyebut pameran ini “sebuah pameran yang unik.”

Benda-benda yang dipamerkan di sana adalah Benda-benda-Benda-benda yang sangat dekat dengan

kehidupan kita. Padahal selama ini benda yang dianggap sebagai seni adalah yang

berjarak dengan kehidupan sehari-hari. Leonardo juga mencatat bahwa menurut

Harsono pameran Grafis ’80 mempunyai dua misi. Pertama, memperkenalkan

IPGI sebagai sebuah wadah orgarnisasi para perancang grafis di Indonesia yang

baru saja diresmikan. Kedua, memperkenalkan bidang perancangan grafis secara

luas, baik karya konsumtif komersial seperti iklan, maupun karya non-komersial

seperti uang kertas, perangko, sampul buku, majalah, atau kaset, sampai pada

poster instansi pemerintah maupun swasta dan usahawan.23

Desain Poster Pameran “Grafis ’80.”

Tahun 1980 juga mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis

yang cukup signifikan di Jakarta. Perusahaan-perusahaan tersebut umumnya

digerakkan oleh para desainer grafis, antara lain: Gugus Grafis (F.X. Harsono,

Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), dan Adwitya

Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali). Sementara di Bandung juga lahir

23

(14)

beberapa nama seperti: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD

Grafik (Markoes Djajadiningrat), dan Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja

dkk).24

Ilustrasi menggunakan teknik air brush dengan gaya hyperrealism dan Pop

Art menjadi trend waktu itu. Majalah Tempo dan Zaman adalah dua penerbitan

yang mengakomodasi teknik tersebut untuk sampulnya. Salah satu desainer yang

mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik air brush adalah Tony Tantra. Tony

Tantra menggunakan media kaos yang ia jual di Kuta Bali pada akhir 80-an

dengan label “Tony Illustration”.25

PAMERAN “GRAFIS ’83”

Meskipun terjadi perkembangan sebagaimana dipaparkan di atas, situasi

dianggap belum beranjak jauh dari tahun 1980, ketika IPGI mencanangkan

pameran pertamanya. Apresiasi terhadap profesi ini dirasa masih minim sehingga

mendesak para pengurus IPGI untuk merencanakan sebuah pameran besar untuk

kedua kalinya. Bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pameran

kedua pun digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta

dengan tajuk “Grafis ‘83”.26

Selain karya sejenis dengan yang ditampilkan pada “Grafis’80”, pameran

“Grafis’83” juga menampilkan karya-karya logo, perangko, uang, sampul kaset,

buku, kartu undangan, serta berbagai kemasan mulai dari botol obat sampai

bungkus permen. Pameran ini melibatkan peserta dua kali lipat dari pameran

sebelumnya yaitu 90 desainer grafis Indonesia. Nama-nama baru yang turut serta

seperti: Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang Trenggono, Budi Mandiro,

Chairin Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen

Saptohadi, Gendut Riyanto, Harianto I.R., Lesin, Mulyadi W., Piet Hari Santosa,

24

Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659-1999. http://dgi.or.id/in-depth/history/garis-waktu-desain-grafis-indonesia.html

25

Ibid.

26

(15)

Sita Subijakto, Tarmizi Firdaus, T. Ramadhan Bouqie, dan lain-lain. Sedangkan

karya yang dipamerkan berjumlah lebih dari 300 karya.27

Ilustrasi Karya Tjahjono Abdi yang Menjadi Ikon Pameran “Grafis ‘83”

Meskipun dalam hal penyelenggaraan festival atau pameran desain grafis

Indonesia tertinggal dari negara-negara lain, Agus Dermawan menganggap bahwa

dalam hal kreativitas para desainer grafis Indonesia memiliki prospek yang bagus.

Ia mencontohkan karya-karya desain undangan:

Sebagai amsal bisa disimak belasan rancangan kartu undangan yang ditempel di panil-panil pameran itu. Kecerdikan kemasan, keindahan wujud, kelembutan dan keharmonisan warna-warnanya sangat menarik perhatian. Rancangan-rancangan yang tersajikan sungguh bisa memancing cita estetik perancang kartu yang selama ini bercokol di perusahaan-perusahaan kartu konvensional.28

Selanjutnya, IPGI terus menyelenggarakan beberapa pameran, bahkan

bekerja sama dengan Japan Graphic Designers Association (JAGDA). Pameran

Grafis Jepang-Indonesia yang pertama diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni

Ancol, Jakarta pada tanggal 9-15 Februari 1988. Sedangkan Pameran Grafis

Jepang-Indonesia yang kedua (tahun 1989), juga dikenal dengan “Grafis ’89,”

diselenggarakan berurutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung Pameran

Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) Jakarta; tanggal 12-20 April di

27

Ibid.

28

(16)

Yayasan Pusat Kebudayaan, Bandung; dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus ISI

Yogyakarta di jalan Gampingan.29

PENUTUP

Paparan di atas menyajikan sebuah potongan sejarah yang, walaupun tidak

sampai satu dekade, menunjukkan bahwa dunia desain grafis penuh dengan

dinamika. Walaupun masih ada peristiwa-peristiwa lain pada periode tersebut

yang tidak dimasukkan seperti pergantian nama menjadi Desain Komunikasi

Visual (DKV) atau kegiatan Lomba Poster dan Stiker UP3DN yang menyedot

banyak kontestan itu.

Harapannya dengan mempelajari sejarah dari apa yang kini kita kenal

dengan DKV (atau Diskomvis) ini, kita dapat mengukur apakah kita terus

menjalankan keilmuan yang progresif atau justru mengalami kemandegan dan

hanya sibuk menyesuaikan diri dengan cepatnya perubahan teknologi. Kembali

lagi kita kutip satu kalimat dari Lima Jurus Gebrakan GSRB, “kekayaan ide atau

gagasan lebih utama daripada ketrampilan "master" dalam menggarap

elemen-elemen bentuk.”

DAFTAR PUSTAKA

“ASRI Yogyakarta Ricuh” dalam harian Kompas edisi 18 Januari 1975.

Agus Dermawan T. 1980. “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau

Merubah Dunia” dalam harian Kompas edisi 25 Juni 1980.

Agus Dermawan T. 1983. “Pameran Rancangan Grafis IPGI: Bikin Hidup

Berseri-seri” dalam harian Kompas edisi 26 Agustus 1983.

Agus Dermawan T. Tanpa tahun. Yang Sempat Saya Catat, Sebelum dan Sesudah

Pagelaran Seni Rupa Baru 1977. http://inspirasi.co/polemik_yang_

melegenda/post/17/380/yang_sempat_saya_catat_sebelum_dan_sesudah_p

agelaran_seni_rupa_baru_1977_-_agus_darmawan_t

29

(17)

F.X. Harsono. 2013. Desember Hitam, GRSB dan Kontemporer.

http://arslitera.net/desember-hitam-gsrb-dan-kontemporer/

Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659-1999. http://dgi.or.id/in-depth/

history/garis-waktu-desain-grafis-indonesia.html

Hanny Kardinata. 2007. Sejarah IPGI: Upaya Menumbuhkan Apresiasi.

http://dgi-indonesia.com/sejarah-ipgi-upaya-menumbuhkan-apresiasi/

Hendro Wiyanto. 2004. “Perginya “Pipa Penghubung”” dalam harian Kompas

edisi 4 Januari 2004.

J. Leonardo N. 1980. “IPGI – Lahirnya Sebuah Horison Baru yang Cerah” dalam

Brosur Pameran Grafis ‘80.

J. Leonardo N.. 1980. “Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai

Karung Semen” dalam majalah Gadis edisi 30 Oktober-9 November 1980.

Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia.

http://dgi-indonesia.com/lima-jurus-gebrakan-gerakan-seni-rupa-baru-indonesia/

Pernyataan Desember Hitam 1974. http://archive.ivaa-online.org/files/uploads/

texts/Pernyataan%20Desember%20Hitam% 201974.pdf

Sanento Yuliman. 1975. “Perspektif Baru,” pengantar pada Katalog Pameran Seni

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah: (1) cara mengoptimalisasi keterampilan menyimak berita meliputi (a) memberikan latihan setiap satu minggu dua kali dengan

Gambar Almari dan

Praktik Pengalaman lapangan (PPL) merupakan suatu kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan materi yang

The Students’ Difficulties i n Making Verbal Sentences in Simple Past Tense at The Eight Grades of Mts An-Nur Palangka Raya.. In this case, the researcher would like to present

Dalam hal kemampuan, praktikan sangat menyadari bahwa kemampuan diri praktikan masih belum maksimal, tetapi karena praktikan sudah berlatih untuk membuat rancangan program

The objective of the study is to measure the effectiveness of using direct method in teaching reading at the tenth grade students of SMA Muhammadiyah 1 Palangka Raya..

IMAJINATIF, MENGINSPIRASI dan BERPANDANGAN KEDEPAN: Dalam menetapkan tujuan serta visi-misi Indonesia menjadi negara maju seorang pemimpin itu harus imajinatif untuk

Semakin besar tekanan yang diterima fluida cair maka kecepatan alirnya akan semakin kecil sehingga debit yang dihasilkan akan semakin kecil juga, sesuai dengan persamaan