• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sosialisasi dan Kekerasan Simbolik “Anak Itik” (Studi Kasus di Desa Bogak Kabupaten Batubara)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUA PUSTAKA

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat

Sosialisasi adalah proses penanaman nilai pada individu dari masyarakat

secara simultan dengan tujuan agar individu tesebut siap untuk mnejadi bagian

dari struktur sosial. Sosialisasi dibutuhkan manusia sebagai proses untuk

mempelajari peran dan statusnya di masyarakat.

Socialization is the process of learning the roles, statuses, and values necessary for participation in social institutions. Socialization is a lifelong process. It begins with learning the norms and roles of our family and our subculture and making these part of our self-concept. As we grow older and join new groups and assume new roles, we learn new norms and redefine our self-consept (Brinkerhoff, dkk: 1995).”

Artinya sosialisasi adalah proses pembelajaran tentang peran, status, dan

nilai-nilai penting untuk dapat berpartisipasi dalam institusi sosial. Sosialisasi

merupakan proses yang memakan waktu seumur hidup. Hal ini dimulai dengan

mempelajari norma-norma dan peran-peran di keluarga dan masyarakat,

kemudian menjadikannya sebagai bagian dari konsep diri. Semakin kita tumbuh

dewasa dan masuk kedalam kelompok yang baru dan memperoleh peran baru, kita

mempelajari norma-norma baru dan mendefenisikannya kembali menjadi bagian

dari konsep diri kita.

(2)

Pertama, Primary Socialization (sosialisasi primer): sosialisasi pada anak usia dini merupakan sosialisasi primer. Masa ini meruapan tahapan yang paling

penting dalam proses sosialisasi. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan

kepribadian dan konsep dirinya, berkembangnya kemampuan berhasan serta

mereka dihadapkan kepada dunia sosial yang penuh dengan peran, nilai-nilai, dan

norma. Pada tahapan ini, Mead (dalam Ritzer, 2010) membagi tahapan sosialisasi

primer menjadi 2 tahapan, yaitu:

1. Tahap bermain (play stage). Dalam tahap ini anak-anak akan

mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.

2. Tahap Permainan (game stage). Pada tahap play stage, anak mengambil

peran orang lain yang berlainan, sedangkan dalam tahap ini anak harus

mengambil peran orang lain mana pun yang terlibat dalam permainan.

Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan

nyata satu sama lain.

3. Generelize other (orang lain yang digeneralisir). Generelize other merupakan sikap seluruh komunitas. Kemampuan untuk mengambil

peran umum orang lain adalah penting bagi diri: “sepanjang dia

mengambil sikap kelompok sosial terorganisasi di mana ia berada,

melakukan aktivitas sosial kooperatif atau aktivitas yang dilakukan

kelompok, maka barulah dia bisa mengembangkan diri secara penuh.

(3)

yang akan diperolehnya di masa yang akan datang. Semakin bertambahnya usia,

individu akan mengganti perannya yang lama dengan yang baru. Dikarenakan

sosialisasi ini, kebanyakan orang akan mempersiapkan diri untuk

bertanggungjawab atas apa yang akan mereka hadapi nantinya, baik itu sebagai

orang tua, pekerja, atau dokter.

Ketiga, Resocialization (resosialisasi). Tipe ini diperoleh ketika individu meninggalkan konsep diri dan cara hidupnya untuk secara radikal memperoleh

yang baru. perubahan “social behavior”, nilai-nilai, dan konsep diri yang

diperoleh dari pengalaman seumur hidup merupakan hal yang sulit, dan hanya

sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.

Agen sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi.

Setiap tahapannya memiliki agen-agen tersendiri yang sangat berperan penting

dalam proses sosialisasi. Brinkerhoff, dkk (1995) membagi agen sosialisasi

menjadi 6, yaitu; keluarga, sekolah, teman sebaya, media massa, agama, dan

tempat bekerja.

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu

Kekerasan simbolis merupakan suatu perlakuan dominasi kultural dan

sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan

masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadal kelompok/ ras/ suku/

(4)

adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap

kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu

yang sah.

Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi

kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima

sebagai sesuatu yang sah, maka kebudayaan memperkuat kekerasan simbolis

tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah

mengerti (misunderstanding), yaitu suatu proses yang relasi kekuasaan tidak

dipersepsikan secara objektif tetapi tetap saja menjadikan kekuasaan tersebut

absah bagi pemeluknya.

Menurut Jerkins (2004) Inti penggunaan kekerasan simbolis adalah

„tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya

terdapat tiga mode, yaitu:

1. Pendidikan yang tersebar luas (diffuse education), yang terjadi dalam

interaksi dengan anggota bangunan sosial (satu contoh mungkin adalah

kelompok umur informal).

2. Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri.

3. Pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi, di satu sisi atau

sekolah, di sisi yang lain.)

Tindakan pedagogis, ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala

(5)

keberlangsungannya. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok

atau kelas dominan, yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural

secara tidak meratan antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang

sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.

Penanaman nilai yang bersifat dominan dari satu kelompok kepada

kelompok lain memerlukan tindakan pedagogis yang simultan. Tindakan

pedagogis tersebut memerlukan otoritas sebagai prasyarat keberhasilannya.

Menurut Jerkins (2004), otoritas ini adalah suatu kekuasaan yang berubah-ubah

untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu

yang legitimate. Adanya legitimasi ini memungkinkan suatu tindakan pedagogis

untuk beroperasi. Semua bentuk donimasi harus mendapakan pengakuan atau

diterima sebagai sebuah legitimitas (Wahyuni, 2008).

Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan

simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu. Hal itu merujuk pada kekerasan simbolik

yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar

menerima ideologi yang ditanamkannya dan “memaksakannya” agar menjadi

legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari

kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat

diamati pada fenomena pekerja anak di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab.

Batubara yang berisi perlakuan dominasi secara simbolis dari hubungan

(6)

2.3. Pekerja Anak-Anak

Hasil penelitian Endrawati (2011) pada pekerja anak di sektor informal di

Kota Kediri yang berjudul “Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya

Pencegahannya” menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab anak bekerja, yaitu:

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan landasan utama bagi pekerja anak. Dengan

asumsi awal bahwa penghasilan mereka dapat membantu perekonomian keluarga

dan dapat meringankan beban orang tua. Hasil penelitian Netty Endarwati pada

pekerja anak di sektor informal tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar dari

pekerja anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara

ekonomi.

2. Faktor orang tua

Selain ekonomi, faktor lainnya adalah orang tua atau keluarga. Hal

tersebut dikarenakan keluarga adalah komunitas pertama yang membentuk

karakter anak.Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat di mana anak dapat

memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai seorang anak dari kedua orang tua

mereka. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai tanggung jawab kepada

anaknya. Maka dalam hal ini, orang tua mempunyai andil dalam memberikan izin

kepada anak tentang apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut.

3. Faktor budaya (kebiasaan)

Masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku sebagai aturan dalam

(7)

masyarakat dengan membantu keluarga dan masyarakat sekitar. Semakin besar

kontribusi yang diberikan oleh anak tersebut, maka semakin tinggi statusnya di

mata keluarga dan juga di masyarakat.

4. Kemauan sendiri (kemandirian)

Kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan dapat

mengelola keuangan secara otonomi akan memberikan kepuasan tersendiri bagi

pekerja, terutama anak-anak. Anak-anak akan merasa sangat senang jika mereka

bisa membeli apa yang mereka inginkan dengan menggunakan uang hasil kerja

mereka. Maka kemandirian dalam hal finansial sejak usia dini merupakan

dorongan bagi anak-anak untuk masuk dalam dunia industri.

5. Faktor lingkungan

Tidak sedikit dari anak-anak yang bekerja disebabkan oleh pengaruh

lingkungan sosial di luar dari keluarga mereka seperti teman, tetangga, kerabat

dan saudara. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan pekerjaan yang

dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat tetapi

menghasilkan uang banyak, maka bagi anak-anak hal tersebut merupakan daya

tarik tersendiri untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan oleh teman-temannya

itu.

6. Faktor hubungan keluarga

Di samping beberapa faktor anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya

faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak

saudara. Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilatar belakangi oleh

(8)

keluarga. Hal semacam ini yang membuat kerabat atau keluarga dekat

menawarkan kepada anak mereka untuk ikut bekerja bersamanya dengan alasan

Referensi

Dokumen terkait

Kembali lagi, maka seyogyanya penanganan sebuah perkara pidana harus di lihat dalam perspektif yang luas dan tidak menggunakan kaca mata kuda, hanya terpusat pada kepentingan

Major obstacles for a better development can be identified in an all but market-conform agriculture, in the Schengen regime cutting Transcarpathia off especially from Slovakia

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Kemudian berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar perlakuan, diketahui bahwa hasil tangkapan rawai yang menggunakan umpan jangkrik berbeda nyata dengan ikan

Hal ini memperlihatkan bahwa CSR sebagai sebuah kebijakan manajemen akan selalu terkait dengan konsep etika dan moral dari manajemen perusahaan tersebut, dimana apabila etika

Jika alat ini digunakan untuk jasa pengeboran dengan kedalaman minimal 35 meter, maka biaya dalam 2 (dua) kali jasa pengeboran tersebut sudah dapat mengembalikan

Sedangkan pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perencanaan pariwisata terpadu (integrated touri.sm developntent), keterpaduan supply dan demand pariwisata,

Tujuan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang