• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Vegetasi Dan Keanekaragaman Ikan Di Perairan Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Vegetasi Dan Keanekaragaman Ikan Di Perairan Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni mencakup 21% dari luas total dunia. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas (Kusmana, 1993).

Ekosistem hutan mangrove sering disebut juga dengan hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah yang memiliki kadar garam atau salinitas antara 0,5 ‰ dan 30 ‰. Nama lainnya adalah ekosistem pasang surut (tidal forest) karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Indriyanto, 2006).

Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue, dan bahasa Inggris yaitu grove.

(2)

lainnya yang tumbuh yang berasosiasi dengannya. Selain itu, kata mangrove adalah berasal dari bahasa Melayu-kuno, yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia, dan sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan untuk kawasan Maluku. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai macam istilah yang digunakan untuk memberikan sebutan pada hutan mangrove, antara lain adalah coastal woodland, mangal dan tidal forest (Pramudji, 2001).

Sebagian masyarakat pesisir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya telah mengintervensi ekosistem mangrove, melalui alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, permukiman, industri, dan penebangan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal tersebut disebabkan letak ekosistem mangrove yang merupakan daerah peralihan antara laut dengan daratan, sehingga sering mengalami gangguan untuk kepentingan manusia, dan akibatnya kawasan mangrove mengalami kerusakan dan penyempitan lahan, dan penurunan keaneka-ragamannya. Pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya secara nyata mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove (Alik dkk, 2012).

Pemanfaatan secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestarian dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove yang selanjutnya berdampak besar, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya (Kordi, 2012).

(3)

Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem mangrove untuk mempertahankan fungsi ekologis suatu kawasan, maka perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan fungsi ekologis penting mangrove sebagai pengendali kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Terkait dengan upaya tersebut, upaya mengatasi laju kerusakan lingkungan pesisir, berupa abrasi dan intrusi air laut dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu aspek keseimbangan yang harus dicapai dan dipertahankan keberlanjutannya (Prasetyo dkk, 2014).

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusukan Mangrove (2004) menjelaskan bahwa status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan mangrove, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian, dimana salah satu upaya pengendalian untuk melindungi mangrove dari kerusakan adalah dengan mengetahui adanya tingkat kerusakan berdasarkan kriteria baku kerusakannya. Kriteria baku kerusakan mangrove untuk menentukan status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Sangat baik (sangat padat) dengan penutupan ≥ 75% dan kerapatan ≥ 1.500 pohon/ha;

2. Rusak ringan (baik) dengan penutupan antara ≥ 50% - <75% dan kerapatan ≥1.000 pohon/ha - <1.500 pohon/ha;

3. Rusak berat (jarang) dengan penutupan < 50% dan kerapatan < 1.000

(4)

Manfaat dan Peran Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan ekologi sangat penting). Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tanin kulit kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat dan bahan pewarna. Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, memijah dan membesarkan anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan fauna lain, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas budaya (Dyah dkk, 2011).

Sudah lebih dari seabad hutan mangrove diketahui member manfaat pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan pembuat obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi. Fungsi lain adalah sebagai penghasil bahan organic yang merupakan pakan makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut . Juga habitat berbagai satwa terbang, seperti burung-burung air (Zaitunah, 2002).

Hutan mangrove merupakan bagian dari ekosistem produktif yang

(5)

dimulai dari mangrove itu sendiri. Pertumbuhan mangrove esensial dalam

menjaga keseimbangan hidup akan semua organisme yang bergantung terhadap

mangrove. Serasah yang telah layu membusuk dan akar menyediakan karbon dan

nutrisi yang diperlukan oleh organisme lain di ekosistem (Lovelock, 1993).

Jenis - Jenis Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem yang sangat unik karena habitatnya yang khas sehingga tidak banyak jenis tumbuhan yang mampu hidup dalam kondisi tersebut. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah

Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops

sp, dan Excoecaria sp (Bengen, 2000).

Menurut Saefurahman (2008), salah satu zonasi hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Zonasi Mangrove (Sumber: Bengen, 2004)

a. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia

(6)

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya.

Keanekaragaman Ikan pada Ekosistem Mangrove

Menurut Buwono (2015), kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu :

a. Fauna yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.

b. Fauna yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.

Ekosistem mangrove berperan penting dalam kelangsungan proses ekologis dan hidrologis, sehingga keanekaragaman biota laut di wilayah pesisir tergantung pada kondisi ekosistem mangrove yang merupakan sistem penyangga bagi kehidupan biota tersebut. Oleh karena itu, peran ekosistem mangrove dalam menunjang struktur komunitas ikan yang memanfaatkan keberadaan ekosistem sebagai tempat pembiakan, pembesaran dan mencari makan perlu untuk dipelajari (Pribadi dkk., 2013).

(7)

diantara vegetasi mangrove, sehingga dapat menghindar dengan cepat apabila dalam keadaan terancam (Wahyudewantoro dan Haryono, 2011).

Spesies ikan yang dominan di perairan dataran lumpur merupakan spesies estuarin, yaitu Ikan Manyung (Osteogeneiosus militaris), Ikan Keting (Arius caelatus), Ikan Sembilang (Plotosuscanius), Ikan Belanak (Liza argentez), Ikan Gulameh (Pennahia argentata), Ikan Tiga Waja (Protonibea diacanthus), Ikan Teri (Stolephorus macroleptus), dan Ikan Cucut (Hemiscyllium indicum). Selain berbagai jenis ikan di perairan mangrove, di dasar mangrove juga terdapat Ikan Belodok Mudskippers yang mampu hidup di luar air dalam waktu relatif lama.

Periopthalmus vulgaris sering berlama-lama jauh dari air. Boleopthalmus boddaerti, Periopthalmus chrysospilos, Periophthalmodon schlosseri, dan

Scartelaos viridis dapat ditemukan di bawah tanaman bakau (Chong dkk., 1990). Menurut Rejeki dkk., (2013), Mugilidae merupakan famili ikan yang paling sering dijumpai dan berhasil tertangkap oleh jaring. Hal ini dimungkinkan oleh karakteristik pergerakan ikan Mugilidae yang sering menggerombol dan berada di permukaan sampai kolom air. Mugilidae termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai kemampuan adaptasi cukup baik. Sehingga ikan ini dapat ditemukan hampir di semua perairan, terutama di daerah estuari dan laut di daerah tropis dan subtropis.

(8)

Perbedaan jumlah, komposisi spesies dan famili pada setiap stasiun kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi vegetasi mangrove yang terdapat di setiap stasiun. Hasil identifikasi dan analisa menunjukkan bahwa terdapat pola dimana semakin meningkat intensitas gangguan yang terdapat pada kawasan mangrove, maka semakin rendah jumlah spesies ikan yang dimiliki oleh kawasan tersebut (Indriani dkk., 2008).

Laevastu dan Hayes (1987) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi metabolisme dan berpengaruh terhadap perbedaan distribusi regional ikan dimana setiap individu memiliki kesukaan hidup yang berbeda. Secara lingkungan kepastian faktor - faktor lingkungan belum diketahui secara pasti namun kondisi mangrove yang mempunyai vegetasi yang lebih tua dan tutupan kanopi, kandungan organik dan ketebalan lumpur yang lebih tinggi diduga lebih disukai sebagai tempat untuk hidup.

Parameter Lingkungan DO (Dissolved Oxygen)

Kadar oksigen yang rendah mampu diatasi oleh ekosistem mangrove karena ekosistem mangrove memiliki mekanisme internal yang akan mengatasi timbulnya reaksi anoksi di dalam perairan. Sistem perakaran yan besar dan mencuat dari perairan digunakan untuk menangkap oksigen dari udara oleh mangrove, sementara hasil fotosintesis tumbuhan air yang tidak terlalu besar kandungannya dapat digunakan oleh biota perairan lainnya (Dyah dkk., 2011).

(9)

dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan (Odum, 1983).

pH (Derajat Keasaman)

pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengaan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 - 8,5. Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1998).

Menurut Cheng, et al. (2003), kisaran pH yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan ataupun udang adalah antara 7 – 8,5. Kadar ion hydrogen (pH) perairan berubungan dengan susunan spesies dari komunitas dan proses-proses hidupnya dan faktor pembatas bagi kehidupan biota air. Perairan dengan nilai 6,5 – 7,5 keadaan perairannya sangat produktif.

Salinitas

(10)

Menurut Eriza (2010), menyatakan bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.

Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5o

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18 – 20

C. Tinggi rendahnya suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca dan tidak adanya naungan (tutupan) oleh tumbuhan (Wantasen, 2013).

o

C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excoecaria dan Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26 – 28o C. Sedangkan

(11)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 – Januari Tahun 2017 di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Tahap persiapan data meliputi pengumpulan data primer dan data sekunder/data pendukung penelitian, selanjutnya dilakukan survey lapangan dilokasi penelitian (Gambar 3). Identifikasi dan analisis sampel mangrove dan sampel ikan dilakukan di Laboratorium Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah parang, tali rafia, Global Positioning System

(12)

Indonesia (Noor dkk., 2006), buku Freshwater Fishes of Western Indonesia and

Sulawesi (Kottelat dkk., 1993), pH meter, pipet tetes dan tool box.

Bahan yang digunakan adalah daun mangrove sebagai sampel, biota (ikan), kantong plastik, akuades, alkohol 70%, tissue, karet gelang dan kertas label.

Deskripsi Area

Penelitian dilakukan di Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada lokasi ini terdapat ekosistem mangrove dan hutan mangrove ini berada dekat dan berbatasan dengan pemukiman warga dan laut. Warga memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan juga dimanfaatkan sebagai kegiatan perikanan. Adapun penetapan lokasi penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Sampling yaitu teknik yang digunakan apabila sampel yang akan diambil memiliki pertimbangan tertentu. Peneliti menggunakan metode ini berdasarkan pertimbangan terhadap adanya aktivitas masyarakat.

Stasiun I

(13)

Gambar 4. Lokasi Stasiun I

Stasiun II

Pada stasiun ini terjadi pemanfaatan mangrove dan merupakan daerah nelayan meletakkan bubu untuk kegiatan perikanan. Stasiun ini berada pada letak geografis 03°56'23,55" LU sampai 03°56'47,5" LU dan 098°33'58,7" BT sampai 098°34'12,3" BT. Dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Stasiun II

Stasiun III

(14)

geografis 03°56'51,05" LU sampai 03°56'19,21" LU dan 098°34’16,27" BT sampai 098°33’56,27" BT. Gambar lokasi dapat dilihat pada Gambar 6.

.

Gambar 6. Lokasi Stasiun III

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah berupa Kerapatan, Frekuensi, Dominansi mangrove, Keanekaraganam, Jenis biota (ikan) pada mangrove, dan Parameter fisika dan kimia perairan. Pengumpulan data dilakukan secara in situ dan pengamatan laboratorium.

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah hasil transek (pengamatan langsung dilapangan) berupa Kerapatan, Frekuensi, Dominansi mangrove, Keanekaragaman, Jenis biota (ikan) pada mangrove, dan Pengukuran parameter fisika kimia perairan. Pengumpulan data dilakukan secara in situ dan pengamatan laboratorium.

(15)

dengan menentukan 3 titik stasiun pengamatan berdasarkan ada tidaknya aktivitas masyarakat dan pada masing - masing stasiun ditentukan transek/plot. Penentuan titik koordinat stasiun dilakukan dengan menggunakan alat GPS.

Data pelengkap pada penelitian ini berupa dokumentasi foto yang digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya, studi pustaka merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data-data sekunder, berupa data kawasan mangrove, lokasi penelitian, luas wilayah dan data-data lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Data diperoleh dari Balai atau instansi terkait yang memberikan bantuan data untuk melengkapi hasil penelitian ini.

Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi Mangrove

Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan transek garis (line transect). Identifikasi jenis mangrove dapat langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di Laboratorium dengan mengacu pada buku identifikasi Noor, dkk (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak – petak contoh dengan tingkat tegakan menurut Kusmana (1997) dapat dilihat pada Gambar 3.

1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak contoh 10 x 10 meter.

2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.

(16)

100 m

Arah Rintis Ana

Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove (10m x 10m), Anakan (5m x 5m), dan semai (2m x 2m).

Biota (Ikan) Pada Mangrove

Sampel biota (jenis ikan) pada perairan kawasan mangrove diperoleh dan diamati bersadarkan setiap stasiun selama 8 minggu dengan interval 2 minggu. Sampel ikan diambil dengan menggunakan jaring (Fixed Gill Net) yang ditancapkan dengan pancang pada setiap stasiun yang pengoperasiannya disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jaring ini memiliki mesh size 1 inchi, dengan panjang 50 meter, diletakkan ketika perairan pasang pada pagi hari dan akan dilepas ketika perairan pasang kembali pada sore harinya. Pengidentifikasian jenis biota (ikan) yang diperoleh pada perairan mangrove di identifikasi dengan buku Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Kottelat dkk., 1993), lalu membandingkan perbedaan antara setiap stasiun, lalu diletakkan dalam bentuk tabel jenis-jenis biota (ikan) apa saja yang ditemukan pada setiap stasiun yang terdapat pada perairan kawasan mangrove.

Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter dilakukan pada setiap stasiun. Parameter fisika kimia perairan diukur di setiap stasiun pada saat pasang. Pengambilan sampel

(17)

kondisi pasang dilakukan pada rentang waktu pukul 09.00 - 11.00 WIB. Pengambilan sampel dilakukan satu kali di setiap stasiun pengamatan. Beberapa parameter fisika kimia perairan yang diukur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Parameter Satuan Alat / Metode Lokasi

Fisika :

Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove

Hasil pengukuran data vegetasi mangrove di Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara yang telah diperoleh kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis sebagai berikut: Kerapatan

Kerapatan Jenis :

K =

ind

A

Keterangan :

K : Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha A : Luas Areal Contoh

Kepadatan Relatif :

Kr = K suatu spesies

(18)

Frekuensi

Frekuensi suatu jenis menunujukan penyebaran suatu jenis pada suatu area. Frekuensi spesies dapat dihitung dengan rumus (Odum, 1993):

Frekuensi :

F =∑ sub petak ditemukan spesies

∑seluruh sub petak contoh

Frekuensi Relatif :

Fr = F suatu spesies

F total seluruh spesies � 100 %

DR = D suatu spesies

D total seluruh spesies � 100 %

Indeks Nilai Penting (INP)

(19)

INP = Kerapatan Relatif (%) + Frekuensi Relatif (%) + Dominansi Relatif (%) Keterangan :

INP : Indeks Nilai Penting

Analisis Keanekaragaman Ikan

Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner

H′=− �[�ni

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon - Wienner

Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies I dan N : total jumlah spesies

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon Wiener dalam Bengen (2000), yaitu:

H’ = < 1 : Keanekaragaman tergolong rendah H’ = 1-3 : Keanekaragaman tergolong sedang H’ = > 3 : Keanekaragaman tergolong tinggi

Indeks Keseragaman (E) H’ : Indeks Keanekaragaman S : Jumlah Spesies

(20)

0,4 ≤ E ≤0,6 : Keseragaman spesies sedang E < 0,4 : Keseragaman spesies rendah

Indeks Dominansi (C)

Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan penguasaan atau dominansi jenis tertentu di suatu lokasi. Dalam penelitian ini menggunakan rumus Simpson (1949) dalam Odum (1993) :

�= � ��

C : Indeks dominansi

Ni : Jumlah individu jenis ke-i N : Jumlah total individu

Kriteria indeks dominansi ialah sebagai berikut: 0 < C ≤ 0,5 : Tidak ada jenis yang mendominasi 0,5 < C ≤ 1 : Terdapat jenis yang mendominasi

Indeks Similaritas (IS)

Indeks Similaritas (IS) dihitung dengan rumus Similaritas Sorensen (Barbour et al, 1987) berikut :

IS = C

A + B−C × 100 %

Keterangan :

(21)

Kriteria Indeks Similaritas Sorensen IS < 0,25 : Sangat rendah IS > 0,25 – 0,50 : Rendah IS . 0,50 – 0,75 : Tinggi IS > 0,75 : Sangat tinggi

Indeks Kesamaan Bray-Curtis

Untuk mengetahui tingkat pengelompokkan berdasarkan kesamaan spesies ikan digunakan Indeks Kesamaan Bray-Curtis (Krebs, 1989), dengan rumus :

�= ∑ [Xij−Xik] n

i−1

∑ni1(Xij + Xik)

Keterangan :

B : Pengukuran Ketidaksamaan Bray-Curtis

Xij, Xik : No. Individu dalam spesies I dalam tiap sampel I, J : Baris dalam kolom ke- 1,2,3…..x

Gambar

Gambar 1. Zonasi Mangrove (Sumber: Bengen, 2004)
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 4. Lokasi Stasiun I
Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove (10m x 10m), Anakan (5m x    5m), dan semai (2m x 2m)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basan I, Kabupaten Minahasa Tenggara.. and

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber informasi mengenai kondisi vegetasi mangrove, keanekaragaman jenis ikan serta kondisi perairan di kawasan mangrove Desa Lubuk

Bagaimana struktur komunitas kepiting bakau dan kondisi lingkungan yang terdapat di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkart Sumatera Utara.

Kepiting bakau merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan. mangrove dan memiliki daerah penyebaran

Kualitas Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Ekosistem Mangrove Teluk Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan

Pengambilan Sampel Daun dan Pengidentifikasian Jenis Mangrove Pengamatan Jumlah

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkatdan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Analisis

relatif yang didapatkan di lokasi penelitian jika dihubungkan dengan kriteria baku mutu tingkat kerusakan ekosistem mangrove berdasarkan keputusan menteri tahun