• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

. Skripsi ini membahas masalah tentang Hak Perempuan yang berfokus

pada Kerentanan Perempuan dalam Keluarga Masyarakat Batak Toba di pinggiran

Kota / Wilayah sub urban Kota Medan. Kerentanan perempuan untuk tidak

mendapatkan hak-haknya sangatlah besar, hal ini dikarenakan perempuan selalu

dianggap sebagai pihak yang lemah. Padahal, perempuan adalah sosok yang kuat

dengan tanggung jawab yang besar pada ranah domestik dan publik. Perempuan

sebagian besar berkutat dan bekerja pada ranah domestik. Ranah domestik yang

digeluti perempuan menurut sistem patriarki adalah tanggung jawab dalam

mengurusi rumah tangga. Akan tetapi, realitanya banyak perempuan yang bekerja

pada ranah publik dan bertanggung jawab dalam kehidupan keuangan keluarga.

Hal ini membuat perempuan sekaligus menjadi tulang punggung keluarga.

Namun walaupun telah menjadi pekerja keras yang berjuang untuk

keluarganya baik di dalam ranah domestik maupun publik, perempuan tersebut

seringkali tidak juga mendapatkan haknya. Hak perempuan tersebut diabaikan

oleh masyarakat dan hal tersebut menjadi beban bagi perempuan. Kerentanan

yang dimiliki oleh perempuan ini dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan

(2)

yang menjadi penyebab dari timbulnya kekerasan pada perempuan dalam rumah

tangga yang berhubungan dengan kerentanan tersebut yaitu1:

1. Sosial Budaya

Masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempertahankan budaya

timur dengan kuat, dimana mereka akan selalu enggan untuk terbuka dengan

segala sesuatu yang menurut mereka bersifat pribadi. Hal ini juga yang

mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga kurang dapat terselesaikan dengan

tuntas. Karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tindak kekerasan

dalam rumah tangga adalah sebuah wilayah pribadi yang tidak boleh dicampuri

oleh pihak lain. Bahkan ada beberapa daerah yang menganggap kekerasan dalam

rumah tangga dianggap lumrah dan wajar, yang kesemuanya dilatarbelakangi oleh

budaya bahwa suami berhak mengatur apa saja tentang istri dan anak-anaknya,

sehingga jika suami tidak puas dengan apa yang diinginkannya, maka tindakan

fisikpun dapat dilakukan.

2. Tingkat Pendidikan

Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami dalam rumah

tangga, selain dilatarbelakangi oleh “budaya” buruk seperti disebutkan

sebelumnya, disamping itu juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan kedua

pasangan suami istri tersebut. Sang suami selain karena sifat ego yang

dimilikinya, juga karena masih berpendapat bahwa kekerasan adalah cara terbaik

untuk membuat istri patuh. Hal ini tidak jarang disebabkan karena minimnya

pengetahuan dan pendidikan suami, hal ini biasanya terdapat pada warga

pedesaan. Namun demikian, tentu bukanlah jaminan bahwa suami yang status

1

(3)

pendidikannya lebih tinggi benar-benar memperlakukan istri secara baik, seperti

halnya kasus-kasus kekerasan yang terekspos diberbagai media. Lalu minimnya

pendidikan istri juga bisa menyebabkan terjadinya kekerasan tersebut. Si Istri

biasanya tidak berani mengucapkan kata “tidak“ kepada suaminya, termasuk

dalam hal ini pengetahuan akan norma hukum yang berlaku, yang mengatur

tentang hak dan kewajiban suami serta istri. Mereka seakan-akan patuh pada

budaya leluhur bahwa tugas seorang perempuan (istri) semata-mata mengurus

suami dan anak-anaknya.

3. Sosial Ekonomi

Adanya budaya dalam masyarakat kita bahwa istri bergantung sepenuhnya

kepada suami. Istri hanya bertugas untuk mengurus suami, anak-anak dan rumah.

Sedangkan mencari nafkah adalah tugas utama dari suami. Dengan adanya

ketergantungan semacam ini perlakuan kasar dianggap dan diyakini sebagai

sebuah hukuman yang harus diterima karena kesalahan atau karena tidak

menjalankan peran sebagai istri dengan maksimal dan ideal dari kacamata suami.

4. Strata Sosial

Perbedaan status sosial antara suami dan istri juga menjadi hal yang

mendasar dari timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Dimana apabila salah

satu pihak berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan memiliki ego yang

tinggi juga, yang biasanya akan terwujud dalam bentuk sikap meremehkan atau

memandang rendah pasangannya. Hal ini akan berakibat pada ketidakberdayaan

(4)

Faktor-faktor tersebutlah yang juga mencerminkan adanya ketidaksetaraan

antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya bisa menyebabkan kekerasan

yaitu contohnya perempuan yang rentan dikesampingkan hak-haknya.

Peneliti merasa penting dan tertarik untuk menulis tentang kerentanan

perempuan pada Masyarakat Batak Toba ini yang pertama karena banyaknya

cerita tentang perempuan Batak yang sering tidak dinafkahi oleh suami. Suami

malas untuk bekerja sehingga perempuan harus bekerja keras mencari nafkah di

luar rumah. Sementara pekerjaan didalam rumah (domestik) seluruhnya masih

tetap dikerjakan oleh perempuan. Perempuan nampak seperti tidak berdaya untuk

mengubah ketidakadilan tersebut.

Kedua, walaupun perempuan Batak tersebut telah bekerja keras, banting

tulang siang malam, masih saja perempuan mendapat perlakuan yang tidak baik

seperti misalnya dibentak, dimarahi, atau dihina. Bahkan ada juga perempuan

yang sampai disakiti secara fisik oleh suaminya. Beban berat yang harus dipikul

seorang perempuan tersebut tidak sebanding dengan award yang diterimanya.

Akan tetapi perempuan tetap bertahan dan tidak ingin berpisah/bercerai (sirang).

Ketiga, ada pula perempuan Batak yang tidak bisa memiliki anak

(keturunan) terancam akan dipulangkan kepada orangtuanya, ditinggalkan, atau

harus rela untuk diduakan. Ada juga yang memaksa perempuan untuk pergi

menjalani pengobatan sampai dibawa ke dukun. Padahal hal tersebut bukanlah

sepenuhnya salah perempuan karena laki-laki juga berperan besar dalam

menentukan perempuan untuk bisa memiliki anak atau tidak

Sementara sebagai seorang perempuan, mereka memiliki hak yang wajib

(5)

ada tekanan dari siapapun apalagi dari suaminya sendiri dan tidak merasa dirinya

direndahkan sebagai perempuan.

Perempuan Batak memang dikenal dari dulu merupakan perempuan yang

pekerja keras dan untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. tangguh. Peran

perempuan Batak Toba dalam hal ekonomi keluarga yaitu dimana perempuan

Batak Toba terjun ke dalam ruang publik untuk bekerja memenuhi kebutuhan

keluarganya. Mulai dari pekerjaan masyarakat kelas atas seperti dokter,

pengacara, dosen, dan sebagainya hingga pekerjaan masyarakat kelas bawah yaitu

pembantu rumah tangga, buruh pabrik, hingga pengasuh anak. Untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarga, perempuan batak toba banyak yang berperan ganda

dengan bekerja di ruang publik dan ruang domestik. Walaupun masyarakat Batak

Toba memiliki sistem Patrilineal yang menempatkan laki-laki sebagai pemeran

utama di dalam berbagai bidang kehidupan, perempuan Batak tidak menjadi

hanya banyak diam dirumah, namun mampu bekerja keras bahkan menjadi tulang

punggung keluarga. Sifat pekerja keras yang ada pada perempuan Batak Toba bisa

dilihat di Kisah Wanita Perkasa “Pelahap Angin Malam” yang bekerja di Pajak

Sambu di mana mereka berjuang memulai pekerjaannya dari pukul 24.00 WIB

melakukan transaksi pembelian dan penjualan sayuran untuk mencari nafkah,

menyekolahkan anak meskipun masih memikul beban mengurus rumah tangga.2

Namun dengan adanya sistem patrilineal ini juga ketidakadilan gender bisa

terjadi. Seperti dikemukakan oleh Baiduri dalam Paradoks Perempuan Batak

Toba yaitu Suatu Penafsiran Hermeunetik terhadap Karya Sastra Ende Siboru

yang menggambarkan bagaimana seseorang yang tidak mempunyai anak laki-laki

2

(6)

dianggap kurang terhormat dan tidak dihargai oleh saudara-saudaranya yang

berusaha merampas harta kekayaannya dari tangan putrinya sehingga

putri-putrinya terpaksa melarikan diri ke hutan. Anak laki-laki tersebut lebih tinggi

derajatnya karena anak laki-laki adalah penerus marga dan keturunan. Sehingga

keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki, warisannya jatuh ke tangan

paman, yaitu saudara laki-laki dari pihak ayah. Karya tersebut ditandai dengan

situasi bahwa secara kultural orang Batak Toba dengan sistem Patrilinealnya

menempatkan laki laki sebagai pemeran utama dalam berbagai bidang kehidupan

yang termasuk dalam hal nafkah juga seharusnya akan diperolehnya dari suami

yang akan menjamin kehidupannya.3

Kisah-kisah tersebut menggambarkan dalam realitasnya perempuan Batak

Toba selain dikenal dari dulu sampai sekarang berperan penting dalam kehidupan

masyarakatnya termasuk bekerja keras dalam menafkahi keluarga dan rumah

tangganya, perempuan Batak juga merupakan sosok yang kuat dimana posisi

mereka yang lebih rendah dari laki-laki menyebabkan banyak ketidakadilan

gender terjadi. Sehingga hak perempuan Batak itu sangat penting untuk

diperhatikan

Seperti juga yang dikatakan oleh (Irianto 2005:79). Kuatnya adat istiadat

Batak serta kepercayaan masyarakat Batak pada sistem patrilineal membuat

seakan-akan memang itulah kodrat seorang perempuan. Padahal gender dan

kodrat tidaklah sama dan tidak bisa untuk disama-samakan. Karena kodrat

menyangkut kondisi biologis, sedangkan gender bukan. Misalnya, seorang

perempuan seharusnya pintar masak karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu

3

(7)

tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal

masak-memasak. Kegiatan memasak iti sebenarnya dapat dilakukan oleh kedua sepasang

suami istri, dan mereka juga dapat saling bertukarperan. Makna kodrat yang

seharusnya mengacu kepada perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi

reproduksinya, diperluas menjadi peranan dan kedudukan di berbagai bidang

kehidupan. Tambahan lagi kondisi di atas didukung oleh penafsiran teks-teks

kitab suci yang bias laki. Pemaknaan terhadap hakikat perempuan dan

laki-laki menjadi berbeda.

Ketidakadilan gender dari sistem patrilineal tersebut juga akan cukup

merugikan dan menyulitkan perempuan apabila mulai mengandung bentuk

diskriminasi yang bertentangan dengan unsur kemanusiaan, juga apabila

menentang fakta-fakta sosial yang berujung kekerasan pada perempuan. Pada data

pengaduan Komnas Perempuan, sepanjang 2012, tercatat 8.315 kasus kekerasan

terhadap istri. Kekerasan bukan berarti hanya dalam bentuk fisik, namun juga

kekerasan dalam bentuk psikis, seksual maupun ekonomi.

Namun, ada juga perempuan yang tidak hanya tinggal diam. Perempuan

memiliki potensi dan dapat menuntut hak-haknya. Tidak hanya sebagai “milik”

laki- laki, tidak pula hanya mengikuti sistem yang berlaku. Tak sedikit perempuan

yang mengadakan perlawanan terhadap struktur patrilineal yang mencekik

kebebasan perempuan. Muncul kaum perempuan yang resisten yang kemudian

membuka suara-suara perempuan yang dianggap lemah. Gerakan-gerakan feminis

di Indonesia terbentuk untuk melawan sistem patriarkal tersebut. Gerakan

perempuan tersebut sebenarnya dilakukan untuk mengkritisi serta mensetarakan

(8)

Misalnya akses dalam harta warisan, saat ini telah banyak sorotan, dimana

anak perempuan sudah mulai menuntut haknya dalam harta warisan dari orang

tuanya. Tulisan Sulistyowati (2003: 200-210) menceritakan tentang perempuan

Batak Toba yang sudah mulai menuntut haknya dalam mendapatkan harta

warisan. Perempuan yang sudah janda sudah berhasil mendapatkan warisan dari

keluarga mereka walaupun dengan membutuhkan perjuangan yang sangat

panjang. Anak perempuan terutama perempuan yang sudah janda menciptakan

budaya hukum sendiri, serta tahap-tahap pilihan hukum, yaitu yang pertama yang

didasarkan pada ketentuan adat, jika tidak berhasil, sebagai pilihan kedua adalah

digugat ke Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi yang dikuatkan oleh

Mahkamah Agung sehingga akhirnya dimenangkan oleh perempuan.

Jadi, dengan adanya sistem patrilineal dalam keluarga Batak tersebut dan

sosok perempuan Batak yang pekerja keras dan kuat dalam posisinya sebagai

perempuan, penelitipun merasa penting dan tertarik untuk melakukan penelitian

“Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba”. Peneliti ingin melihat apakah terjadi

dan bagaimanakah Kerentanan akan hak-hak perempuan yang diabaikan tersebut

pada Keluarga Batak Toba.

1.2.

Tinjauan Pustaka

1.2.1. Patriarki

Kebudayaan Batak berakar pada sistem kekerabatan patrilineal dengan

prinsip Dalihan Na Tolu yaitu secara harfiah berarti “Tungku Nan Tiga.” Dengan

demikian dalam struktur sosial orang Batak Toba terdapat tiga unsur yang

(9)

adalah dongan tubu atau dongan sabutuha yaitu saudara semarga, hula-hula yaitu

sumber istri, dan anak boru yaitu penerima istri. Ketiga unsur ini saling terkait

dan membutuhkan. Ketiga unsur ini bersifat relatif dan dapat berubah-ubah

(Simanjuntak, 2001:121). Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada

saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada

saatnya menjadi boru.

Menurut Koentjaraningrat (1970: 106) orang Batak memperhitungkan

prinsip keturunan itu secara patrilineal. Masyarakat Batak Toba menganut sistem

kekerabatan menurut garis laki-laki dan dalam literatur Antropologi dikenal

sebagai masyarakat dengan sistem patrilineal yang terkuat di Indonesia. Pada

sistem kekerabatan patrilineal, bahwa kewajiban, wewenang dan kontrol atas

wanita dan anak-anak dalam masyarakat Batak Toba dipegang oleh seorang

laki-laki. Hal ini menimbulkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki

dengan perempuan, jadi selalu dilakukan berbagai usaha supaya ada anak laki-laki

yang dilahirkan dalam sebuah keluarga.

Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garisturunan

bapak.4 Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial dimana ayah

menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta

sumbersumberekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi

keluarga.Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai

bentukkepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya

disbanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap

sebagai harta milik laki-laki.

4

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cet. Balai Pustaka,

(10)

Pengertian patriarki secara harafiah adalah kekuasaan bapak

atau“patriarkh” (patriarch). Pada awalnya istilah ini dipakai untuk menyebut

suatujenis keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, yaitu rumah tangga besar

patriarchyang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan

pelayanrumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan atau “hukum

bapak”sebagai laki-laki atau penguasa itu.5

1.2.2. Perempuan dalam budaya Batak

Menurut Hutabarat (1999: 87) dalam Baiduri (2015: 53) posisi perempuan

dalam budaya Batak sebagaimana terwujud dalam sistem Dalihan Na Tolu

tergolong lemah dan tidak setara dengan laki-laki. Ada tiga julukan yang

menggambarkan posisi perempuan dalam kebudayaan Batak Toba.:

Pertama, perempuan disebut sebagai “boru ni rajanami” oleh suaminya

yang artinya “putri raja kami”. Kendati julukan ini terdengar terhormat, namun

dapat diartikan posisi perempuan ditentukan oleh ayahnya, ia adalah bagian dari

ayahnya.

Kedua, perempuan disebut sebagai “inang soripada” artinya “raja rumah

yang dimuliakan”, yang lebih menunjukkan peran domestik dari kaum

perempuan. Julukan ini sejajar dengan “portalaga” yang artinya “pelaksana

pekerjaan kerumahtanggaan dengan segala macam tetek bengeknya”, juga sejajar

dengan istilah “pardihula”, dia yang mempunyai kepentingan dalam kampung,

sedangkan julukan suami adalah “pardibalian” artinya yang memajukan urusan

keluarga di luar cakupan rumah tangga.

5

(11)

Ketiga, perempuan dianggap sebagai “pembuka hubungan baru”. Hanya

melalui perkawinan dan melahirkan anak laki-laki seorang perempuan memiliki

makna dan martabat kemanusiaannya dalam masyarakat Batak Toba. Perempuan

membuka hubungan kekerabatan baru melalui perkawinan. Tanpa perkawinan ia

tidak mempunyai status dan martabat apapun dalam masyarakat Batak Toba.

Begitu pula dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat

ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta

tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang

hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil

sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah

dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap

kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal

clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan

suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua

clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi

anggota penuh dari kedua clan tersebut” (Irianto, 2005: 9).

Dalam adat batak ada beberapa istilah yang cenderung menomorduakan

anak perempuan antara lain:

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk

mengisi rumah orang),

2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang

diperjualbelikan),

3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk

(12)

pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara

mengenai ikatan adat secara hukum (Vergouwen 1985 : 485)

Selain itu ada juga sebutan lainnya untuk istri dalam Bahasa Batak Toba

yang menunjukkan sangat pentingnya peran seorang perempuan yaitu:

1. Sirongkap ni Tondi = isteri, belahan jiwa/sukma, yang tercinta, yang sehati

sepikiran. Asal kata “rongkap”= jodoh, sehati, serasi dan “tondi”= daya

hidup, sukma, jiwa.

2. Tunggane Boru / Tungganenta = isteri, wanita/pasangan yang

sepadan/serasi. Asal kata “gana”=rupa, bentuk dan “boru” =wanita,

perempuan/anak perempuan

3. Paniaran = isteri, wanita yang melahirkan anak marga. Asal kata “siar”

yang artinya masuk, hinggap, sehingga paniaran = yang mengandung bibit

keturunan/anak.

4. Parsonduk/Parsonduk Bolon = isteri, ibu rumah tangga, nyonya rumah.

Asal kata “sonduk” = sendok dan “bolon” = besar.Parsonduk = yang

menyajikan/ menghidangkan makanan untuk keluarga.

5. Dongan Saripe = isteri, pendamping/pasangan hidup berkeluarga. Asal

kata “ripe”= keluarga, family. Dongan = teman,dan saripe = sekeluarga.

6. Ina Soripada = isteri, ibu yang mengasuh, menjaga dan mendidik

anak. Asal kata “ina”=ibu, induk, pengasuh, “sori”=nasib, untung,

takdir.

7. Pardijabu = isteri, yang menata/memelihara/mendiami rumah (ibu rumah

tangga). Asal kata “jabu”=rumah, “di jabu” = di rumah.

(13)

kata “bagas”=rumah yang didiami oleh keluarga inti.“

9. Pardihuta = isteri, yang tinggal dan bersosialisasi di lingkungan

kediaman. Asal kata “huta”=kampung, tempat tinggal/kediaman.

10.Tuan Boru = isteri, wanita yang dihormati/dituakan dalam keluarga

inti. Asal kata “tuan”=yang dihormati, dituakan.

11.Boru ni Raja/Boru ni Raja i = isteri, wanita terhormat. Asal kata "boru ni

Raja" = putri seorang Raja. Seorang isteri idealnya

mempunyaisifat dan perilaku yang santun, anggun serta senantiasa dapat

menjaga kehormatan keluarga dan orangtuanya

12.Siadopan, Ina Siadopan, Inang Siadopan = isteri,

wanita yang selalu dihadapi, yang selalu berhadap-hadapan. Asal kata

"adop" = berhadapan; inang/ina = ibu, ibu rumah tangga. Seorang isteri

adalah teman bertukar pikiran, tempat curahan hati dan kasih sayang,

wanita yang selalu diperhatikan, dan wanita yang selalu siap berbuat

terbaik kepada suami, bagai seorang ibu kepada anak.

1.2.3. Perempuan dalam Konsep Gender

Menurut Fakih (2008:8-9) konsep gender, merupakan suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial

maupun kultural. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender itu dikarenakan oleh

banyak hal di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi

secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara.

(14)

dan perempuan tersebut terjadi melalui proses yang sangat panjang dan melalui

proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan

Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga

perbedaan-perbedaan gender dapat dianggap dan dipahami sebagai kodrat

laki-laki dan kodrat perempuan. Demikian pula sebaliknya, sosialisasi, konstruksi

sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan

fisik dan biologis masing masing jenis kelamin. Seperti misalnya gender laki laki

harus kuat dan agresif, sehingga dengan konstruksi sosial semacam ini

menjadikan laki laki terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut, dan

akhirnya laki laki menjadi lebih kuat. Akan tetapi, dengan berpedoman bahwa

setiap sifat itu biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat itu

dapat dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan

sama sekali bukan kodrat (Fakih, 1997:10)

Graafland menuliskan (dalam Subadio dan Ihromi, 1994:44) pada

umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang wanita memiliki

tempat kedua dalam masyarakat. Namun demikian bukan tidaklah dapat

dipastikan bahwa dalam pergaulan masyarakat khususnya dalam keluarga, wanita

itu jauh lebih rendah kedudukannya dari pria. Walaupun harus diakui bahwa

dalam pergaulan umum wanita itu umumnya muncul di garis belakang, namun

pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata.

Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan wanita tersebut pun sangat erat dengan

masalah gender.

Permasalahan Gender tersebut juga dapat ditemukan di Kebudayaan Batak

(15)

Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada laki-laki saja dan bukan

perempuan. Sehingga dampak dari kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan

perempuan mencerminkan kedudukan yang berbeda dimana anak perempuan

tidak berhak dalam penerusan silsilah marga, dalam hak mendapat warisan,

dalam aktivitas adat serta dalam pendidikan.

Laki-laki sejak kecil sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki

pengetahuan mengenai kebudayaan Batak dan bertanggung jawab terhadap

kelangsungan penerusan clan ayahnya. Anak perempuan dalam hal ini,

dimasukkan ke dalam clan ayahnya. Namun apabila anak perempuan menikah ia

kemudian akan dimasukkan ke dalam clan suaminya. Dengan demikian dapat

dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau tidak

jelas. Meskipun berhubungan dengan kedua clan marga ayah dan suaminya tetapi

ia sebenarnya tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. “She

is situated between hula-hula and boru, she is associated with both, and an

absolute member of neither” (Simbolon dalam Irianto, 2005: 9).

Menurut Mansyur (dalam Listiani, 2002:47) permasalahan gender dan

kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga,

bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar

anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan

menggunakan asumsi bias gender. Oleh karena itu rumah tangga merupakan

tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender.

Menurut Fakih (2008: 13-17) ketidakadilan dan diskriminasi gender yang

dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah: (a) marginalisasi

(16)

negara yang keseluruhannya bersumber dari kebudayaan, keyakinan,

tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi pengetahuan

(teknologi), (b) subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah,

tidak mampu memimpin, cengeng, dan lain sebagainya mengakibatkan

perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki, (c) pandangan steriotipe atau

pelabelan/citra baku yang melekat pada peran, fungsi, dan tanggung jawab yang

membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, (d)

kekerasan (violence) yaitu serangan fisik, seksual dan psikis. Perempuan, pihak

paling rentan yang mengalami kekerasan, di mana hal itu terkait dengan

marginalisasi, subordinasi, maupun steriotipe dan (e) Beban ganda (double

burden) yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus,

baik di lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

1.2.4. Hak Perempuan

Secara etimologis hak berarti pasti, tetap atau kewenangan untuk

mendapatkan sesuatu. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki

pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang,

aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu,

derajat atau martabat. Sedangkan dalam Black's Law Dictionary berarti:

"Something that is due to a person by just claim, legal guarantee, or moral

principle. A legally enforceable claim that another will do or will not do a given

(17)

Adapun kewajiban berarti keharusan (sesuatu yang harus dilakukan). “A

legal or moral duty to do or not do something.” Pengertian tersebut tertera dalam

Black's Law Dictionary.

Definisi tentang hak dan kewajiban mengindikasikan terdapat dua bagian

yang berperan berlawanan, yaitu yang memberi dan yang menerima. Tetapi dalam

konteks hak asasi manusia, dimana hak perempuan termasuk didalamnya, hak

merupakan sesuatu yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang.6

Penjelasan di atas menunjukkan siapa yang mempunyai hak dan siapa

yang berkewajiban untuk melindunginya. Hal itu bukan hanya sekedar kata-kata

yang terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan, melainkan sesuatu

yang harus dijaga oleh semua warga negara. Dan apabila hal itu dilanggar selain

dia mendapat dosa, sebagai sanksi Tuhan, agama apapun di dunia ini tidak ada

yang mengajarkan untuk saling menyakiti, termasuk Islam. Selain itu dia juga

mendapat sanksi dari negara.

Pelanggaran yang sering terjadi, khususnya terhadap kaum perempuan,

adalah diskriminasi dalam segala hal, termasuk dalam rumah tangga. Munculnya

perlakuan diskriminatif terhadap perempuan bukan bersifat kodrati7, melainkan

karena adanya konstruksi sosial yang melatarbelakanginya. Sedangkan perubahan

sifat yang melekat terhadap suatu jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial

maupun kultural dikatakan bersifat gender, misalnya, bahwa perempuan itu

6

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1)

7

(18)

bersifat lemah lembut, emosional atau cantik. Sedangkan laki bersifat rasional,

kuat atau perkasa. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh

adanya konstruksi sosial atau kultural yang dibawa baik melalui ajaran keagamaan

maupun hukum negara. Sehingga melalui proses inilah kemudian gender dianggap

sebagai suatu sifat yang bersifat biologis dan menjadi ketentuan Tuhan.8

Disadari oleh masyarakat dunia bahwa Hak Asasi Manusia (HAM)

perempuan memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini didasarkan atas kenyataan

di seluruh dunia yang sampai kini juga masih berlanjut. Luhulima (2007: 42),

menyatakan hampir semua masyarakat di dunia masih ditandai dengan sikap yang

menganggap bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya dan nilainya

dibanding laki-laki. Sumbangan perempuan bagi kehidupan keluarga dan

masyarakat, maupun sumbangan di dunia kerja atau bagi pertumbuhan ekonomi

masih sangat kurang diakui dan dihargai. Hal ini menyebabkan bahwa perempuan

pada umumnya kurang atau sama sekali tidak berperan dalam proses pengambilan

keputusan dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Berikut adalah lima rangkuman Hak Konvensi mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani

pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB.

1. Hak dalam ketenagakerjaan

Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan

laki-laki. Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi, fasilitas

kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah yang setara.

8

(19)

Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar,

termasuk saat cuti melahirkan. Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak

pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan maupun status pernikahan.

2. Hak dalam bidang kesehatan

Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat

melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh negara.

Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan,

khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.

3. Hak yang sama dalam pendidikan

Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak untuk

mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga

universitas.

Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan

perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan

yang sama untuk mendapatkan beasiswa.

4. Hak dalam perkawinan dan keluarga

Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam

perkawinan.

Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada

perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan

dari kedua belah pihak.

Dalam keluarga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama,

baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri.

(20)

Dalam kehidupan publik dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan

dipilih.

Setelah berhasil terpilih lewat proses yang demokratis, perempuan juga harus

mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan

kebijakan pemerintah hingga implementasinya.

Sedangkan Hak dan kewajiban seorang istri menurut Konvensi CEDAW yaitu,

istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suami dalam rumah

tangga, baik dalam wilayah domestik maupun publik. Yaitu : Mengurus, meme

lihara dan mendidik anak. Hak untuk menentukan secara bebas jumlah dan

penjarakan anak-anak. Memilih nama keluarga, profesi dan jabatan. Mempunyai

hak yang sama berkaitan dengan pemilikan, perolehan, penikmatan dan

memindah-tangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan uang

pengganti, sedang yang termasuk kewajiban istri adalah : Mengurus, memelihara

dan mendidik anak. Mempunyai kewajiban yang sama dalam memenuhi

kebutuhan keluarga.

Namun, salah satu masalah pelanggaran hak asasi manusia yang sampai

saat ini masih dirasakan adalah perlakuan diskriminasi yang kerap kali dialami

oleh kaum perempuan. Berbagai bentuk perlakuan diskriminasi yang diterima

oleh kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pandangan

sebagian masyarakat kita yang masih berpandangan tradisional, yang menganggap

perempuan adalah “makhluk yang lemah”. Pandangan seperti ini yang didasarkan

atas sifat-sifat kodrati dan alami dari sosok perempuan, seringkali dijadikan

sebagai alasan untuk membenarkan adanya diskriminasi terhadap kaum

(21)

Hal senada dikemukakan oleh Bunch, (seorang aktivis) HAM perempuan,

sebagaimana dikemukakan oleh Savitri (2008:2) yang menyatakan bahwa

sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai cara.

Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki

mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik

selama ini didominasi oleh laki-laki, maka masalah perempuan sebagai korban

kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan keperempuannya menjadi

tidak kelihatan (invisible)

Selain itu, Hak Azasi perempuan sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia

telah mendapat pengakuan dan perlindungan yang telah berhasil diperjuangkan

dalam waktu yang panjang. Konprensi Wina Majelis Umun PBB telah

mengakomodasi Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan.

Hukum Internasional tentang Hak Azasi Manusia di Wina menghasilkan

kesepakatan bahwa Hak Azasi Perempuan adalah bagian integral dan universal

dari Hak Azasi Manusia. Hal tersebut menghasilkan perlindungan terhadap kasus

pelecehan seksual sosial, kekerasan dalam rumah tangga serta kasus pemerkosaan.

1.2.5. Perempuan Batak Toba dalam budaya Patriarki

Peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri

melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta

tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang

hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil

sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah

(22)

kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal

clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan

suaminya (bila sudah menikah).

Kendati demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut,

tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari

kedua clan tersebut. “She is situated between hula-hula and boru, she is

associated with both, and an absolute member of neither “ (Simbolon dalam

Irianto, 2005: 9). Posisi perempuan dalam kekerabatan Batak yang ambigu atau

tidak jelas ini dapat dikatakan dengan peristilahan (Turner (1977) dalam Baiduri

(2015)) sebagai situasi yang liminalitas. Dengan kata lain perempuan Batak yang

telah menikah dapat berada dalam situasi liminal karena dalam kenyataannya dia

sebenarnya tidak ditempatkan “di sini” (clan suami) dan “tidak di sana” (clan

ayah). Liminalitas diartikan (Turner (1977) dalam Baiduri (2015)) sebagai tahap

atau periode di mana subjek (ritual) mengalami keadaan yang ambigu yaitu “tidak

disana dan tidak disini”. Liminal dapat diartikan sebagai suatu periode peralihan

yang sifatnya transisi dari status dan kedudukan satu ke status kedudukan yang

yang lain.

Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Simbolon “By patriarchal

control they refer not just to individual husband and fathers controlling their

wives and daughters, but also male dominated institutions controling women as a

group. Patrilineal kinship is the core of what is meant by patriarchal control: the

idea that paternity is the central social relationship (Simbolon dalam Irianto,

2003, hal.81). Artinya bahwa pembatasan terhadap akses kontrol perempuan juga

(23)

perempuan tersebut juga dilakukan dalam institusi perkawinan dimana garis

keturunan menurut laki-laki (suami).

Sedemikian besarnya dominasi sistem patrilineal untuk mengatur

kehidupan masyarakat, bahkan hingga pada konsep perkawinan. Sifat masyarakat

yang masih sangat patriarkhal juga mendukung hubungan kekuasaan yang

timpang dan menyuburkan yang timpang antara laki-laki dan perempuan tersebut

(Irianto, 2003, hal.19).

Orang Batak mendidik anak perempuan mereka supaya menjadi istri-istri

yang pantas dengan tujuan untuk dapat menjalin hubungan kekerabatan di antara

orang-orang dengan pangkat tinggi (Irianto, 2005 : 95). Walaupun perempuan

Batak Toba memiliki pendidikan yang tinggi, mereka akan tetap pada konsep dan

nilai mengenai perempuan, yang terikat pada ruang domestik dan lingkungan adat.

Sekalipun perempuan batak toba menjalani posisi terhormat, mereka tidak akan

bisa melepaskan kewajibannya menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Selain itu perempuan batak toba juga berperan sebagai perempuan yang

menjadi penjaga dan penjamin terwujudnya nilai-nilai hamoraon, hagabeon, dan

hasangapon melalui cara apapun (Irianto, 2005:96). Dimana hamoraon merupakan

nilai untuk memiliki kekayaan, hagabeon merupakan nilai untuk diberkati karena

keturunan, serta hasangapon merupakan nilai untuk prestise ataupun penghargaan.

1.3.

Masalah Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, yang menjadi landasan dari

penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Berdasarkan

(24)

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba?

2. Bagaimanakah Resistensi yang dilakukan oleh Perempuan Batak yang

haknya terabaikan?

1.4.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Kenangan, Perumahan

Nasional Mandala, Kecamatan Deli Tua, Sumatera Utara. Alasan pemilihan lokasi

di Perumnas Mandala adalah karena penduduknya banyak yang merupakan Suku

Batak Toba termasuk perempuan Batak Toba baik yang tinggal sejak lahir di

Perumnas Mandala maupun yang melakukan urban dari luar perumnas Mandala /

Sumatera Utara.

Perempuan Batak Toba yang menjadi informan pada penilitian ini adalah

warga di Kelurahan Kenangan yang tinggal di lingkungan yang dimana

masyarakat sekitarnya banyak yang merupakan Suku Batak Toba. Bahasa yang

sering digunakan sehari-hari juga merupakan bahasa batak untuk beromunikasi

dengan anak atau tetangga mereka yang juga suku Batak Toba. Semua perempuan

Batak yang menjadi informan juga beragama Kristen seperti agama mayoritas

suku Batak Toba. Selain itu, semua informan juga adalah perempuan Batak Toba

yang merupakan tamatan SMA atau SMP.

1.5.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan Hak

(25)

dinomorduakan dalam budaya Batak Toba sehingga hak-haknya yang

dikesampingkan. Secara akademis bahwa hasil penelitian ini merupakan bahan

untuk skripsi guna memperoleh gelar sarjana program Antropologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara Medan.

Secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memperkaya

pengetahuan tentang hak perempuan dalam suatu budaya patriarkhi yang sudah

mengalami perubahan-perubahan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah

kepustakaan antropologi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan

bagi masyarakat yang mengalami masalah yang sama, dalam arti dapat dijadikan

sebagai pertimbangan masyarakat yang mempunyai nilai budaya yang selalu

mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan. Selain itu penelitian ini

juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala

penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagaireferensi.

Berdasarkan Rumusan Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini,

maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan menjelaskan bagaimana Hak Perempuan di Keluarga

Batak Toba

2. Mengetahui dan menjelaskan bagaimana resistensi Perempuan Batak

terhadap Hak Perempuan yang diabaikan tersebut.

1.6.

Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.

Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menghasilkan data – data etnogafis

(26)

etnografi yaitu mendekripsikan kebudayaan dengan cara mempelajari

masyarakatnya dan belajar dari masyarakatnya. Etnografi selalu menggunakan hal

yang dikatakan oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang

tersebut. Metode etnografi mendeskripsikan suatu kebudayaan yang implisit

maupun yang eksplisit, terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar

sederhana maupun dalam wawancara panjang.

Sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29)

penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk

menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya

hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain.

Jadi, penulis akan menjelaskan secara terperinci Hak Perempuan di

Keluarga Batak Toba di Kota Medan. Pada penelitian ini penulis akan turun ke

lapangan untuk melakukan penelitian secara etnografi. Metode Etnografi pada

Ilmu Antropologi akan membantu penulis mendeskripsikan segala fenomena yang

ada dilapangan.

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data penelitian yang dibutuhkan, peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Teknik Observasi

Observasi Partisisipasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi langsung dengan masalah yang diteliti.

(27)

sehari-hari orang atau situasi yang diamati sebagai sumber data. Menurut Burhan

Bungin ( 2008 : 115 ) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian

manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya.

Selain pancaindera lainnya seperti penciuman, mulut dan kulit, kerena itu observsi

adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil

kerja pancaindera. Di dalam ilmu Antropologi metode pengumpulan data dengan

teknik observasi partisipasi adalah paling efektif.

Observasi ataupun pengamatan dilakukan untuk melihat secara langsung

bagaimana kondisi lapangan yang diteliti. Wilayah Kota Medan sebagai tempat

tinggal Perempuan Batak akan menjadi lokasi penting dalam penelitian ini.

b. Teknik Wawancara

Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik

wawancara. Wawancara adalah suatu kegiatan dimana terjadi percakapan yang

telah tersruktur, dimana si pewawancara akan memberikan pertanyaan untuk

dijawab yang diwawancarai. Tujuan melakukan wawancara dalam penelitian ini

adalah untuk untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari informan kita yang

ingin kita ketahui. Melalui wawancara ini si penulis akan mendengarkan semua

apa yang diungkapkan informan. Wawancara dalam penelitian ini merupakan hal

yang sangat penting dalam memperoleh informasi yang diperlukan guna

kelengkapan data penelitian dan untuk memperoleh sebanyak mungkin data

tentang Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba.

Wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara mendalam (depth

interview) dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrumenwawancara,

(28)

recorder, buku tulis, dan alat tulis lainnya untuk mencatat hasil wawancara dalam

hal menghindari terjadinya kelupaan data yang diperoleh dalam menulis hasil

laporan.

Untuk melengkapi data yang diperoleh dilapangan, peneliti juga mencari

data dari studi kepustakaan yang diperoleh dari buku-buku, majalah, tulisan-

tulisan ilmiah yang berpengaruh dengan rumusan penelitian maupun website yang

berkaitan dengan penelitian ini.

1.7. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisa kembali secara kualitatif. Proses

analisis data pada penelitian ini dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang

diperoleh dari observasi dan wawancara serta studi kepustakaan. Lalu disusun

secara sistematis agar lebih mudah dipahami.

Penulisan laporan dilakukan sesuai data yang diperoleh sampai akhir

penelitian. Keseluruhan data yang diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan

kategori-kategori tertentu yaitu mengenai Hak Perempuan di Keluarga Batak

Toba.

Penulis juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi

informasi yang berkaitan dengan penelitian. Data-data kepustakaan berupa

sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, koran, majalah dan sumber-sumber

(29)

1.8. Pengalaman Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perumnas Mandala, Deli Tua, Sumatera Utara

tepatnya di Kelurahan Kenangan. Sebelum melakukan penelitian skripsi penulis

belum pernah mengunjungi atau mengetahui tempat tersebut. Sebelumnya penulis

akan melakukan penelitian di Kota Medan, namun setelah bertanya dengan

teman-teman penulis untuk mencari-cari dimana wilayah Medan yang banyak dihuni /

ditinggali oleh masyarakat Batak Toba, banyak teman-teman yang

merekomendasikan wilayah Perumnas Mandala karena terkenal dengan

banyaknya masyarakat bersuku bangsa Batak Toba disana. Namun setelah

melaksanakan penelitian, penulis baru mengetahui bahwa wilayah Kelurahan

Kenangan, Perumnas Mandala ini adalah wilayah dari Kecamatan Deli Tua dan

bukan merupakan wilayah Kota Medan lagi. Sehingga, penulis pun mengganti

wilayah penelitian.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mendapat bantuan dari teman

penulis, yaitu Ruth Oktodora Ginting karena Ruth bertempat tinggal di Perumnas

Mandala sehingga Ruth mengetahui informasi tentang lokasi-lokasi di Perumnas

Mandala dan bisa memberikan arahan tentang lokasi penelitian kepada penulis.

Setelah mendapat gambaran lokasi dari Ruth, penulis pun memilih Kelurahan

Kenangan sebagai lokasi penelitian karena wilayahnya yang cocok bagi penulis

untuk melakukan penelitian.

Di hari pertama penulis masih melihat-lihat lokasi penelitian dan memulai

untuk membangun rapor dengan beberapa informan yang dimulai dari informan

yang dikenal oleh Ruth, informan tersebut adalah orangtua/Ibu dari seorang tutor

(30)

menjadi informan saya dikarenakan beliau sibuk namun setelah saya menjelaskan

saya dari mana dan bercerita sedikit tentang skripsi saya, Ibu tersebut bersedia.

Jadi informan pertama saya adalah Ibu Basaria Sitorus yang berusia 55

tahun yang beralamat di Jalan Kiwi II no. 83, Kel. Kenangan, Perumnas Mandala.

Ibu Basaria Sitorus lahir di Pematang Siantar pada tanggal 22 April 1961 dan

bekerja sebagai pengusaha lampet.

Saya mewawancarai beliau ketika beliau sedang bekerja seperti biasa,

sehingga beliau seperti bercerita biasa saja tanpa seperti sedang diwawancarai. Ibu

Basaria mau menceritakan tentang dirinya dan keluarganya, dan hak-hak

perempuan menurut dirinya sendiri dengan baik. Kemudian setelah mendapat

informan pertama yaitu Ibu Basaria, beliau bertanya kemana penulis akan pergi

untuk melakukan wawancara lagi, penulis menjawab ke rumah Ibu jahit yaitu Ibu

kedua yang direkomendasikan oleh Ruth yaitu Ibu yang pernah menjahitkan baju

untuknya dan kemudian Ibu Basaria juga merekomendasikan Ibu-ibu yang

dikenalnya yang tinggal di sekitar Kelurahan Kenangan yang bisa penulis tanya

untuk menjadi informan. Penulis pun mengucapkan terima kasih atas ketersediaan

Ibu Basaria untuk menjadi informan bahkan mau untuk merekomendasikan

perempuan batak lainnya yang bagi penulis hal tersebut sangat membantu dalam

penelitian skripsi penulis.

Salah satu kendala bagi penulis pada penelitian skripsi ini adalah lokasi

penelitian yang agak jauh dari tempat tinggal penulis juga Ibu-ibu yang menjadi

informan penulis juga memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan

wawancara karena sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja

(31)

20.00-22.00 untuk wawancara sehingga penulis tidak mungkin untuk pulang ke

tempat tinggal penulis yang berada di daerah Padang Bulan karena sudah terlalu

larut malam. Namun untungnya penulis bisa menginap di tempat tinggal teman

penulis yaitu Ruth. Kendala lainnya adalah kadang informan akan membatalkan

wawancara karena informan ingin istirahat karena sudah sangat capek sehingga

tidak memungkinkan untuk wawancara dan kadang karena hambatan lain seperti

informan harus melakukan suatu pekerjaan tiba-tiba sehingga wawancara pun

harus dihentikan secara tiba-tiba pula.

Penulis melakukan wawancara setelah informan selesai melakukan

pekerjaannya atau ada pula saat informan sedang bekerja karena saat itulah

informan menginginkan wawancara dilakukan. Wawancara tersebut penulis

lakukan pada pukul 20.00 sampai 22.00. Penulis berperan seperti bukan orang

yang memiliki kepentingan dan membiarkan informan bercerita apa adanya

namun tetap mengikuti panduan wawancara yaitu pertanyaan pedoman yang telah

dibuat sebelumnya agar wawancara tidak lari dari topik. Untuk mendapat data dan

informasi dari informan, penulis menggunakan alat perekam yaitu handphone.

Salah satu kendala bagi penulis pada penelitian skripsi ini adalah lokasi

penelitian yang agak jauh dari tempat tinggal penulis juga Ibu-ibu yang menjadi

informan penulis juga memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan

wawancara karena sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja

dan sebagian besar hanya memiliki waktu malam setelah bekerja dari pukul

20.00-22.00 untuk wawancara sehingga penulis tidak mungkin untuk pulang ke

tempat tinggal penulis yang berada di daerah Padang Bulan karena sudah terlalu

(32)

penulis yaitu Ruth. Kendala lainnya adalah kadang informan akan membatalkan

wawancara karena informan ingin istirahat karena sudah sangat capek sehingga

tidak memungkinkan untuk wawancara dan kadang karena hambatan lain seperti

informan harus melakukan suatu pekerjaan tiba-tiba sehingga wawancara pun

harus dihentikan secara tiba-tiba pula.

Penulis melakukan wawancara setelah informan selesai melakukan

pekerjaannya atau ada pula saat informan sedang bekerja karena saat itulah

informan menginginkan wawancara dilakukan. Wawancara tersebut penulis

lakukan pada pukul 20.00 sampai 22.00. Penulis berperan seperti bukan orang

yang memiliki kepentingan dan membiarkan informan bercerita apa adanya

namun tetap mengikuti panduan wawancara yaitu pertanyaan pedoman yang telah

dibuat sebelumnya agar wawancara tidak lari dari topik. Untuk mendapat data dan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam suku Batak Toba,kemandirian perempuan untuk menjadi orang tua tunggal masih terhalang oleh budaya.Pengaruh budaya Batak yang menempatkan seorang perempuan di posisi

(4) Untuk mengetahui bagaimana peran perempuan Batak Toba sebagai rentenir dalam meningkatkan ekonomi keluarga di Kelurahan Parapat Kabupaten Simalungun.. Penelitian ini

Penelitian ini berjudul Subordinasi Perempuan dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus Terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat

Hal itu juga sangat bisa ia rasakan karena kehidupannya sekarang yang sudah sangat berubah dari sebelumnya ia hanya seorang Ibu Rumah Tangga yang merawat anak-anak dan

Ia senang mengurus anak-anak dan rumah tangganya dengan baik termasuk mencari nafkah, Ibu Priska Sirait juga tidak mau menceritakan ketidakadilan yang ia alami di

( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula,

Penulisan skripsi yang berjudul “ Ekspresi Peran Perempuan Pekerja Pengasuh Anak Di Dalam Masyarakat (Studi Pada Perempuan Batak Toba di Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan

Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pewarisan Anak Perempuan Dalam Adat Batak Toba di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Adat Batak Toba yang ada di Unit 3 Kecamatan Sungai