• Tidak ada hasil yang ditemukan

Padanan Makna Budaya dalam Karya Sastra : Kajian Kasus Terjemahan Novel Anilam Farm dalam Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Padanan Makna Budaya dalam Karya Sastra : Kajian Kasus Terjemahan Novel Anilam Farm dalam Bahasa Indonesia"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Berikut ini dipaparkan kajian pustaka yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka ini mencakup padanan makna budaya, aspek budaya dan kategorinya dalam penerjemahan, penerjemahan sebagai proses dan produk, tipe penerjemahan, strategi penerjemahan, padanan dan tipologi padanan dalam penerjemahan, pergeseran dalam penerjemahan, aspek semantik dalam penerjemahan, aspek sintaksis dalam penerjemahan, penelitian yang relevan, dan kerangka konseptual penelitian.

2.1 Padanan Makna Budaya

Padanan makna budaya dapat dimaknai sebagai pengalihan makna dari satu bahasa dan budaya sumber ke dalam bahasa dan budaya target. Konsepsi pemadanan makna sebagai pengalihan makna merujuk pada mengekpresikan kembali makna berkonteks budaya yang terdapat dalam teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa target (Yadnya, 2004). Secara morfologis kata “pengalihan” berasal dari kata “alih” yang berarti „pindah, ganti, tukar, ubah‟ yang mendapatkan proses morfologis penambahan prefix “peN- dan sufiks “-an”. Secara leksikal kata “pengalihan” berarti adanya proses pemindahan, penggantian, penukaran, dan

pengubahan (KBBI, 2008:40).

(2)

bereaksi dalam pola kebudayaannya masing-masing. Nida (1964:147-149) berpendapat bahwa penerima pesan hanya dapat bereaksi terhadap pesan yang disampaikan kepadanya dalam bahasanya sendiri dan dapat mengekspresikan tanggapannya dalam konteks budaya di lingkungan mereka hidup.

Nida lebih lanjut menggambarkan fenomena pengalihan makna berkonteks budaya di atas dengan suatu formula persamaan dalam penerjemahan sebagai berikut:

: : : R : M C

Dalam formula di atas lambang R singkatan Receptor (penerima) dan M singkatan Message (pesan). Lingkaran dan segi tiga berlambang C merepresentasikan

keseluruhan konteks budaya tempat terjadinya komunikasi yang membungkus M dan R. Formula persamaan di atas menunjukkan bahwa R yang berada dalam budaya bulat harus dapat dalam latar budayanya sendiri menjawab M yang diberikan dalam bahasanya sendiri sebagaimana halnya pula dengan R yang berada dalam budaya segi tiga memberikan tanggapan dalam konteks budayanya sendiri terhadap M yang dikomunikasikan kepadanya dalam bahasanya sendiri. Dengan demikian penerjemahan bukanlah sebatas menempatkan bangun lingkaran ke dalam bangun segi tiga atau sebaliknya, tetapi juga menyusun kembali (restructuring).

Dalam proses penyusunan kembali bangun budaya secara kebahasaan dibutuhkan penggantian sebagai akibat dari kenyataan bahwa penerjemahan (Inggris-Indonesia atau sebaliknya) melibatkan dua bahasa yang tidak serumpun dan bertipologi berbeda. Produk pengalihan makna muncul ke permukaan berupa

(3)

penggantian satusandi atau kode dengan sandi atau kode yang lain (transcoding) sistem bahasa sumber ke dalam bahasa target,

Perbedaan sistem linguistik sebagai cerminan bahasa yang bersifat arbitrer dan sui generis mengakibatkan pengalihan muncul sebagai pemadanan yang dalam pencarian padanan tersebut dibutuhkan pengubahan yang sampai pada batas-batas tertentu bersifat wajib sehingga terjadi pergeseran bentuk dan makna. Pergeseran bentuk dan makna yang bersifat wajib ini memberikan kesan bahwa terjemahan adalah penyimpangan. Purwo (1995) menggambarkannya dengan contoh: Napasnya berbau jengkol. Frasa berbau jengkol diterjemahkan menjadi „garlic

smell‟. Menurut kamus dwi bahasa Indonesia-Inggris atau sebaliknya dimanapun tidak ditemukan bahwa kata jengkol berarti „garlic‟ atau sebaliknya kata „garlic‟ berarti „jengkol‟. Dari sudut ini mungkin dapat dikatakan menyimpang, tetapi

bagaimana kalau kata jengkol diterjemahkan dengan akurat sebagai frasa “a kind of bean” atau dengan kata dalam bahasa Latin atau bahasa ilmiahnya phithecolobium. Sudah pasti makna berbau jengkol yang berati „bau sekali‟ tidak tersampaikan atau sepadan dengan menggunakan bahasa Latin itu. Gejala ini menunjukkan bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tidak mudah disepadankan secara lintas sistem, tetapi kemungkinannya adalah menyepadankan pola konsepsi kedua sistem dimaksud.

(4)

bersifat konsisten dan benar dalam idiologi kepercayaanya. Oleh karena itu bagaimanapun tingkat perbedaan antara dua bahasa, pastilah ada sejumlah persamaan antara idiologi kepercayaan masing-masing penutur tentang dunia yang dapat digunakannya sebagai dasar penerapan penerjemahan (Foley, 1997:172).

Penerjemahan tidak hanya sebatas masalah mencari kata lain yang memilki makna yang mirip, tetapi menurut Thriveni (2002) cara yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu dalam bahasa lain.

Dengan demikian, makna pemadanan makna berkonteks budaya dapat digambarkan dalam figura 2.1 berikut:

BS (Inggris) BT1 (Indonesia) BT2 (Batak) Thank you Terima kasih Mauliate

You‟re welcome Kembali/sama-sama Mauliate Figura 2.1 Padanan Salam (Inggris, Indonesia dan Batak)

Ketiga bahasa (Inggris, Indonesia, dan Batak) menggunakan bentuk gramatikal dan pilihan leksikal yang berbeda untuk menunjukkan makna yang sama. Contoh di atas menunjukkan bahwa baik dalam budaya bahasa sumber maupun budaya bahasa target sama-sama memilki konsep ungkapan terima kasih dan jawaban terhadap ungkapan terima kasih itu.

(5)

2.2 Aspek Budaya dan Kategorinya dalam Penerjemahan

Dalam KBBI (2008:214) kata „budaya‟ diartikan sebagai 1) pikiran; akal

budi, 2) adat istiadat, 3) sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju), 4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Newmark (1988:94) memberikan definisi budaya sebagai: “... as the way of life and its manisfestations that are peculiar to a community that uses a particular

language as its means of expression” (budaya adalah cara hidup masyarakat dan

manifestasinya yang asing bagi satu masyarakat tertentu yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat untuk berekspresi). Tischler (1996:70) mendefinisikan budaya sebagai : “All that human beings learn or do, to use, to produce, to know,

and to believe as they grow to maturity and live out their lives in the social groups

to which they belong” (apa saja yang dipelajari atau dilakukan, digunakan, dihasilkan, diketahui, dan diyakini oleh manusia dalam kehidupan mereka bermasyarakat adalah budaya). Persell (1987:85) mendefinisikan budaya sebagai: “... all the socially learned behaviours, beliefs, feelings, and values the members of

a group or society experience. It includes customs and language. It affects how

(6)

unsur kebudayaan yang sama yang disebutnya sebagai unsur-unsur kebudayaan universal. Dengan demikian unsur-unsur yang bersifat universal ada dan bisa didapat di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Sementara Liliweri (2001: 2017) menyatakan bahwa jika terdapat perbedaan, perbedaan itu mengemuka dalam sikap dan prilaku verbal dan non-verbal, misalnya dalam ungkapan bahasa, wujud adat istiadat serta seni budaya.

(7)

is steeped in the context of culture; and no culture can exist which does not have at

its centre, the structure of natural language”. Ahli lainnya, James (2002) dan Basnett (1980) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan kematian salah satunya ditentukan oleh yang lainnya dengan mengatakan bahwa bahasa adalah “the heart within the body of

culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling tergantung satu sama lainya. Sementara itu Vermeer dalam Venuti (2000:222) mengatakan bahwa langauge is part of a culture (bahasa adalah bagian dari budaya).

Fishman (1985) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa adalah realisasi dari prilaku manusia. Umpamanya, upacara ritual, doa, cerita, nyayian adalah tindak tutur. Siapa saja yang ingin melibatkan diri dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa masyarakat yang melakukan tindak tutur karena dengan itu barulah dia dapat berpartisipai dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berpikir dan mengatur pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu terefleksi dalam butir leksikal. Sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.

(8)

yang dilakukan oleh manusia, yakni prilaku budaya (cultural behaviour), apa yang diketahuinya, yakni pengetahuan budaya (cultural knowledge), dan benda-benda budaya (cultural artifacts) yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya (Nurkamto, 2001:209). Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat mendapatkan kendala kebahasaan, tetapi juga budaya. Penerjemahan tidak hanya usaha untuk mencari padanan makna aspek linguistik; kata, frasa, klausa, dan kalimat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target, tetapi juga usaha untuk mencari padanan budaya yang meliputi kata, frasa, klausa, dan kalimat bahasa sumber ke dalam bahasa target dan menemukan cara yang sesuai untuk menyatakan sesuatu dalam bahasa yang lain.

Konsepsi yang melibatkan aspek pemahaman lintas budaya - di samping kompetensi bilingual - dalam penerjemahan didasarkan pada pemikiran bahwa setiap penerjemahan melibatkan dua bahasa dan dua budaya sekaligus (Toury 2000). Semakin besar perbedan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam kedua aspek dimaksud, semakin tinggi pula tingkat kesulitan pemadanan makna atau pesan di antara kedua bahasa itu.

Kebenaran pemikiran ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa dan budaya merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan. Ketika seseorang berkomunikasi melalui bahasa (lisan dan tulisan), pasti, disadari atau tidak, disadarinya, dia melibatkan budayanya yang mencakup nilai-nilai, keahlian, pengetahuan, norma- norma, sikap, motif, bahasa, maupun benda-benda material yang dimilikinya sebagai individu maupun anggota masyarakat.

(9)

penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalah penulis, penerima adalah pembaca yang dituju. Penerjemah sebagai agen penengah (mediating agent) yang bertugas mengalihkan pesan atau amanat dari teks sumber ke teks sasaran. Penerjemahan tidak hanya sebatas mengalihkan pesan dari teks sumber ke teks sasaran atau mencari padanan dari satu bahasa dan budaya, tetapi juga melibatkan pemindahan pikiran dari satu bahasa dan budaya ke dalam ungkapan yang sepadan dalam satu bahasa dan budaya lainnya.

Dengan demikian, penerjemahan melibatkan proses menyandikan (encoding), menguraikan sandi (decoding), dan menyandikan ulang (recoding) aspek-aspek budaya (Karamanian, 2007). Ketiga proses ini oleh Larson (1984:3) dikemas dalam tiga tahapan, yakni (1) meneliti aspek-aspek linguistik yang mencakup unsur kata, struktur tata bahasa, konteks komunikasi, konteks budaya dari bahasa (teks) sumber, (2) menganalisis aspek-aspek dan konteks dimaksud untuk mendapatkan padanan makna yang terkandung dalam bahasa sumber, (3) menuliskan kembali (merestrukturkan) makna yang dimaksud dengan kata-kata, struktur tata bahasa yang sepadan dengan konteks komunikasi dan budaya bahasa sasaran.

(10)

Berbeda dengan pandangan linguistik kontemporer yang memandang bahasa sebagai media komunikasi yang menyatu dengan budaya. Brown (1987:203) mengatakan bahwa sebuah bahasa adalah bagian dari sebuah budaya dan sebuah budaya adalah bagian dari sebuah bahasa; keduanya terjalin sedemikian erat sehingga jika dipisahkan, bahasa maupun budaya tersebut akan kehilangan makna.

Gambaran tentang aspek budaya dalam penerjemahan di atas menunjukan bahwa pemahaman lintas budaya tidak terpisahkan dari kegiatan penerjemahan. Selama melakukan aktivitasnya, penerjemah tidak hanya berhadapan dengan berbagai perbedaan yang berhubungan dengan aspek linguistik, yang mencakupi morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik, tetapi juga berbagai perbedaan budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dengan kata lain, bahwa dalam penerjemahan pemahaman lintasbudaya dan penguasaan (kompetensi) kedua bahasa yang digunakan sama-sama berperan dalam setiap proses penerjemahan. Ketidaktahuan dan atau ketimpangan pengetahuan dari salah satu dari faktor-faktor di atas akan menghasilkan terjemahan yang tidak atau kurang berkualitas.

Menyadari bagaimana pentingnya pemahaman lintas budaya dalam penerjemahan, para ahli kajian terjemahan berusaha untuk meneliti perbedaan-perbedaan budaya dalam berbagai bahasa. Berkaitan dengan perbedaan-perbedaan budaya dalam berbagai bahasa ini, Newmark (1988:95-102) mengungkapkan konsep „cultural words‟. Konsep ini mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks semua

(11)

Kebudayaan Sosial yang unsur-unsurnya terdiri atas pekerjaan dan liburan; (4) Organisasi, Adat Istiadat, Aktivitas, Konsep-Konsep Kepercayaan yang unsur-unsurnya terdiri atas sistem pemerintahan, politik, nilai-nilai artistik, acara-acara keagamaan; (5) Kebiasaan dan Bahasa Tubuh yang unsur-unsurnya meliputi gerak-gerik tubuh dan kebiasaan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep dan kategori yang dikemukakan oleh Newmark karena unsur-unsur yang dikemukakannya bersifat universal.

2.3 Penerjemahan Sebagai Proses dan Produk

Suatu terjemahan dihasilkan karena ada orang yang membutuhkannya atau penerjemah sendiri yang mau melakukannya tanpa ada orang yang memintanya Jika kita melihat atau membaca suatu terjemahan, maka sebagai pembaca terjemahan itu kita melihat atau membaca “hasil” yang disajikan oleh seorang penerjemah. Dengan kata lain, kita membaca “produk” atau hasil kerja dari

penerjemah. Sebagai pembaca kita tidak mengetahui tentang berbagai masalah yang dihadapi penerjemah dan tidak mengetahui proses penerjemahan yang dilakukannya. Kita hanya melihat dan membaca hasil praktik seorang penerjemah, bukan praktik penerjemahan itu sendiri.

Penerjemahan melibatkan dua bahasa yang berbeda dan pada hakekatnya secara linguistik menurut Catford (1965: 20 -21) merupakan “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another

language (TL)” ( penggantian bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks

(12)

Penerjemah

means of which a source language text is transposed into a target language text.”

(hasil dari kegiatan memproses sebuah teks dengan cara mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa target). Sementara menurut Newmark (1988:5) adalah “rendering the meaning of a text into another language in the way that the

author intended the text” (menyampaikan makna suatu teks ke dalam bahasa lain

sesuai dengan yang dimakudkan oleh pengarang).

Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagai proses komunikasi, penerjemahan melibatkan pengirim, penerima, pesan atau informasi, dan penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalah penulis, penerima adalah pembaca yang dituju. Penerjemah sebagai agen penengah (mediating agent) yang bertugas menyampaikan atau mengalihkan amanat dari teks sumber ke teks target.

Hoed (1992:81) menggambarkan proses penerjemahan secara skematis sebagai suatu proses satu arah yang tujuannya agar informasi yang terkandung dalam suatu bahasa sumber (dalam skema disingkat dengan BS) dapat disampaikan ke dalam bahasa lain/bahasa target (dalam skema disingkat BT). Hoed menggambarkannya seperti:

Model 1: Proses Penerjemahan

Model yang digambarkan dalam skema di atas berfokus pada status penerjemah dalam proses menerjemahkan. Penerjemahan digambarkan sebagai

Dunia BS Dunia BT

P1/BS P2/B

S

(13)

berada dalam satu lingkungan masyarakat dan kebudayaan tertulis (bukan hanya bahasa) maka penerjemahan merupakan proses pengalihan informasi dari dunia BS ke dunia BT. Dalam hal ini penerjemah berada dalam satu lintas budaya dan dituntut mampu beralih dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.

Larson (1984:4) menggambarkan proses penerjemahan yang lebih berfokus pada makna, yakni sebagai rentetan kegiatan dari memahami makna teks yang diterjemahkan sampai pengungkapan kembali makna dalam teks terjemahan. Larson menggambarkannya sebagai berikut:

BAHASA SUMBER BAHASA TARGET

Memahami makna Mengungkapkan kembali makna

Model 2: Proses Penerjemahan Berdasarkan Makna

Model proses penerjemahan di atas menggambarkan bahwa penerjemahan mencakup kegiatan mengkaji dan mencari padanan seakurat mungkin leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya teks bahasa sumber, menganalisisnya untuk menentukan maknanya dan membangun kembali makna

Teks yang

diterjemahkan terjemahan

(14)

yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa target dan konteks budayanya.

Sementara Tou (1989:131) memberikan interpretasi proses terjemahan model Larson di atas seperti gambar berikut ini:

Model 3: Interpretasi Proses Penerjemahan

Nida (1974:33) menggambarkan proses penerjemahan dengan melalui tiga tahapan: (1) analisis, yakni tahapan pemahaman teks sumber melalui kajian linguistik dan makna, pemahaman bahan dan materi yang diterjemahkan dan masalah kebudayan, (2) pengalihan isi, makna atau pesan yang terkandung dalam

(15)

teks sumber, dan (3) rekonstruksi, yakni menyusun kalimat-kalimat terjemahan dengan berulang-ulang sampai memperoleh hasil akhir dalam bahasa target.

Nida (1974:33) mengambarkan proses penerjemahan dimaksud seperti:

A (Sumber) B (Sasaran)

Analisis Merestruktur

X Pengalihan Y Model 4: Proses Penerjemahan

Bell (1991:21) memberikan gambaran proses penerjemahan sebagai berikut:

Memori

Model 5: Penerjemahan Sebagai Proses

Model yang dikemukan oleh Bell di atas menunjukkan transformasi suatu teks bahasa sumber melalui proses yang berlangsung dalam lingkup memori penerjemah, yakini (1) proses analisis terhadap suatu teks bahasa tertentu (one language –specific text) sebagai bahasa sumber ke dalam representasi semantik

Teks Bahasa Sumber

Analisis

Reperesentasi Semantik

(16)

universal (non-language specific), dan (2) sintesis dari representasi semantik tersebut ke dalam teks bahasa lain (second-language specific text) yakni bahasa target.

Walaupun secara teoretis tahapan penerjemahan dalam proses penerjemahan dapat digambarkan secara skematis namun dalam praktiknya penerjemah tidak luput dari masalah. Hatim dan Mason (1990:21-22) mengidentifkasi tiga masalah yang dihadapi oleh penerjemah yaitu; (1) memahami teks sumber yang terdiri atas (a) mengurai teks (tatabahasa dan lexis), (b) akses terhadap pengetahuan tertentu atau spesifik, dan (c) akses terhadap makna yang dimaksudkan (intended meaning), (2) pengalihan makna yang menyangkut penyampaian makna leksikal, gramatial, retorikal, termasuk makna yang tersirat yang dapat diduga kepada pembaca potensial; (3) memperkirakan teks target dengan mempertimbangkan: (a) keterbacaan teks, (b) kesesuaian dengan konvensi bahasa target dan (c) menilai kesesuaian terjemahan bagi tujuan-tujuan tertentu atau spesifik

2.4 Tipe Penerjemahan

(17)

intralingual menyangkut proses menginterperetasikan tanda-tanda verbal dengan

tanda-tanda lain dalam bahasa yang sama. Terjemahan interlingual tidak sebatas menyangkut menyocokkan atau membandingkan simbol-simbol, tetapi juga padanan kedua simbol dan tata aturan atau dengan kata lain mengetahui makna keseluruhan ujaran. Sementara terjemahan intersemiotik atau transmutation berkaitan dengan pengalihan pesan dari suatu jenis sistem simbol ke dalam sistem simbol yang lain

Dalam hal kajian penerjemahan tipe (2) yang dikemukakan oleh Jakobson di atas menjadi fokus dalam kajian penerjemahan karena melibatkan tanda-tanda verbal dengan menggunakan atau melibatkan bahasa-bahasa lain. Larson (1984:15-17) menggolongkan penerjemahan ke dalam dua jenis yakni penerjemahan berdasarkan bentuk (form-based translation) dan penerjemahan berdasarkan makna (meaning-based translation). Lebih lanjut Larson mengatakan bahwa penerjemahan adalah satu kontinum dari penerjemahan yang sangat harfiah (very literal) ke harfiah (literal), harfiah yang dimodifikasi (modified literal), percampuran yang tidak konsisten (inconsisitent mixture), mendekati idomatis (near idiomatic), idiomatis (idiomatic) , dan terjemahan bebas sebebasnya (unduly free). Menurut Larson yang menjadi tujuan akhir dalam penerjemahan adalah

(18)

2.5 Strategi Penerjemahan

(19)

penerjemahan menjadi tidak dapat luput dari campur tangan penerjemah yang mempunyai dinamika.

Dalam proses penerjemahan, penerjemah sebagai „mediating agent‟ yang

menjembatani kesenjangan alur informasi dari penulis ke pembaca seharusnya mampu melepaskan dirinya dari ikut campur tangan atau subjektivitas. Dengan demikian setiap penerjemah menurut Machali (2009:104) perlu memiki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan. Newmark (1988:4) mengungkapkan bahwa sebuah teks yang akan diterjemahkan dipengaruhi oleh atau ditarik ke sepuluh arah dalam penganalisisannya sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan ini digambarkannya seperti berikut :

9. The truth (the facts of the matter)

1. SL writer 5. TL readership

2. SL norm 6. TL norms

3. SL culture 7. TL culture

4. SL setting and tradition 8. TL setting and tradition 10. Translator

Model 6: Dinamika Penerjemahan

Gambar di atas menunjukkan bahwa penerjemahan menurut Newmark 1988) bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan ditentukan oleh cara pandang atau pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai porosnya. Teks sumber yang akan diterjemahkan ditentukan oleh sepuluh faktor, yakni (1) penulis teks sumber

(20)

yang memilki gaya penulisannya sendiri atau idiolek bahasa sumber sehingga harus ditentukan kapan harus dipertahankan atau dinormalisasi dalam penerjemahnnya; (2) norma-norma yang berlaku dalm bahasa sumber yang berkaitan dengan pengunaan leksikal dan gramatikal secara konvensional terhadap teks yang akan diterjemahkan yang bergantung pada topik dan situasi; (3) kebudayaan yang melatari bahasa sumber; (4) latar ruang dan waktu serta tardisi penulisan dan penerbitan; (5) pembaca teks target (misalnya harapan pembaca sesuai dengan tingkat pemahamnnya mengenai topik dan gaya bahasa yang mereka gunakan; (6) norma-norma yang dimilki oleh bahasa target seperti halnya yang dimilki oleh bahasa sumber; (7) kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa target; (8) latar ruang dan waktu serta tradisi penulisan dan penerbitan yang berkenaan dengan teks target; (9) kebenaran (truth) atau substansi yang dibicarakan (berupa kebenran referensial, yakni apa yang dideskripsikan atau dilaporkan yang diyakini kebenarannya); dan (10) penerjemah termasuk pandangan dan prasangka yang mungkin bersifat pribadi dan subjektif atau juga bersifat sosial dan kultural yang menyangkut „faktor loyalitas kelompok‟ dari

penerjemah yang mungkin menggambarkan asumsi penerjemah yang bersifat nasional, politis, keagamaan, kesukuan (etnik), kelas sosial, seks dll.

(21)

pesan kepada pembaca, maka menurut Zaky (2001) makna referensial dari kata atau ungkapan menjadi sangat penting sedangkan pengaruh dari gaya kurang penting. Tetapi sebaliknya, jika berkaitan dengan teks sumber yang ditujukan tidak saja untuk menyampaikan pesan, tetapi juga membangkitkan dampak tertentu kepada pembaca melalui penggunaan gaya tertentu, pemadanan dari pengaruh stilistik seperti itu merupakan bagian yang penting dari kegiatan penerjemahan.

Hal lain yang perlu dilakukan penerjemah sebelum menerjemahkan adalah menentukan pembaca ideal. Walaupun pembaca tersebut memiliki tingkat akademik, professional dan intelektual yang sama dengannya, tetapi kemungkinan pula pembaca tersebut juga memiliki perbedaan harapan tekstual dan budaya yang signifikan (Coulhard, 1992:12 dalam James, 2002). Dengan demikian sebagai proses, pemadanan tidak hanya berarti pengalihan pesan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain tetapi juga memperhatikan sudut pandang pengguna terjemahan di samping memahami secara utuh pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa sumber.

(22)

berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaedah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika di atas) tidak membuat bergesernya kebenaran sehingga masih dapat berterima.

Dinamika di atas menciptakan peluang terjadinya campur tangan. Campur tangan penerjemah dalam proses menerjemahkan menurut Machali (2009:140) disebabkan oleh (1) merupakan terjemahan manusia (human translation) bukan terjemahan mesin (machine translation); (2) bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya atau penerjemah untuk hanya memilih satu

bentuk tertentu; dan (3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan, dll.) yang ikut mempengaruhinya dalam proses penerjemahan.

(23)

2.6 Padanan dan Tipologi Padanan dalam Penerjemahan

Penerjemahan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh penerjemah untuk mengalihkan pesan dari bahasa sumber dengan cara menemukan padanan berupa suatu bentuk dalam bahasa sasaran. Padanan (equivalence) dalam Venuti (2000:5) dipahami dengan beberapa istilah, seperti keakuratan (accuracy), kecukupan (adequacy), kebenaran (correctness), kesesuaian (correspondence), ketepatan (fidelity), dan kesamaan (identity). Padanan adalah suatu bentuk dalam bahasa sasaran ditinjau dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Kesepadanan mungkin terjadi karena keuniversalan bahasa dan budaya. Namun demikian kesepadanan tidaklah sama dengan kesamaan. Machali (2009:140) mengatakan perdebatan kedua konsep tersebut lebih banyak terkait dengan penerjemahan karya sastra, khususnya puisi yang memandang kesepadanan sebagai tuntutan untuk menghasilkan “kesamaan”.

Masalah padanan adalah inti dari setiap penerjemahan. Artinya, setiap kegiatan penerjemahan yang dilakukan penerjemah bertujuan untuk mencari tipologi padanan yang sama dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Tipologi adalah karakteristik satu bahasa dengan bahasa lainnya. Dalam hal ini adalah antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

(24)

yang dirujuk sebuah kata terikat dengan budaya, dalam banyak kasus makna suatu kata hanya dapat dipahami melalui konteksnya.

Karena teks target tidak akan pernah sepadan dengan teks bahasa sumber pada setiap tataran, maka para ahli mengusulkan beragam tipologi padanan. Nida dan Taber (1964) mengusulkan padanan formal dan dinamis atau fungsional. Padanan formal berfokus pada pesan, baik dalam hal bentuk dan isinya. Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan diarahkan untuk mengungkap sejauh mungkin bentuk dan isi dari pesan sumber. Oleh karena itu dalam proses penerjemahan segala usaha diarahkan untuk menghasilkan unsur formal yang mencakupi (1) unit tata bahasa atau gramatikal dan (2) makna yang sesuai dengan konteks teks sumber. Nida dan Taber (1964:159) mengatakan bahwa padanan formal mensyaratkan bahwa pesan dalam bahasa target harus sedekat mungkin sepadan dengan unsur-unsur yang berbeda dalam bahasa sumber (the message in the target language should match as closely as possible the different elements in the source language). Kesepadanan dinamis berfokus pada kesepadanan efek

(25)

receptor and message should be substantially the same as that which existed

between the original receptor and the message).

Catford (1965:27) mengusulkan dua jenis padanan, yakni (1) padanan tekstual (textual equivalence), dan (2) padanan formal (formal equivalence) yang kemudian diubah menjadi korespondensi formal (formal correspondence). Padanan tekstual didefinisikan Catford (1965:27) sebagai teks atau bagian teks bahasa target apa saja yang diobservasi pada peristiwa tertentu harus sepadan dengan teks atau bagian teks bahasa sumbernya (any TL text or portion of text which observed on a particular occasion to be the equivalence of a given SL text or portion of text). Korespondensi formal didefinisikan Catford (1965:27) sebagai

kategori bahasa target apa saja (unit, kelas, struktur, unsur struktur, dll.) yang mungkin dikatakan menduduki tempat dalam ekonomi bahasa target sedekat mungkin „sama‟ dengan kategorinya dalam bahasa sumber (any TL category (unit,

class, structure, element of structure, etc.) which may be said to occupy, as nearly

as possible, the „same‟ place in the economy of the TL, as the given SL category

occupies in the SL). House (1977) mengusulkan kesepadanan semantik dan

(26)

mengungkapkan dunia secara berbeda. Menurutnya kesepadanan dapat terjadi pada tingkat (1) kata dan di atas kata seperti kolokasi, idiom, dan ungkapan, (2) gramatikal, (3) tekstual, dan (4) pragmatik. Newmark (1981) mengusulkan penerjemahan komunikatif dan semantik. Sama dengan padanan dinamis, penerjemahan komunikatif berusaha menciptakan efek bagi pembaca teks bahasa target yang sama dengan efek yang diterima oleh pembaca teks bahasa sumber. Koller (1977) mengusulkan padanan denotatif, konotatif, pragmatik, tekstual, formal, dan aestetik. Padanan denotatif berhubungan dengan padanan muatan ekstralinguistik sebuah teks. Padanan konotatif berhubungan dengan pilihan-pilihan leksikal, khususnya antara mendekati yang bersinonim. Padanan tekstual berhubungan dengan tipe-tipe teks dengan teks yang berprilaku berbeda. Padanan pragmatik atau komunikatif berorientasi pada penerima teks atau pesan. Padanan formal berhubungan dengan bentuk dan aestetik teks yang mencakup permainan kata dan ciri stilistika indivdual dari teks sumber.

(27)

BS (Indonesia) BT (Inggris)

Jarang Lebih sering Bisa juga terjadi Diagram 2.1 Diagram Kesepadanan Kata dan Istilah Indonesia dan Inggris

(28)

2.7 Pergeseran dalam Penerjemahan

Pergeseran (shift) dalam penerjemahan adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari oleh penerjemah ketika melakukan kegiatan menerjemahkan. Pergeseran ini terjadi karena kaedah kebahasaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran tidak sama, sehingga untuk mencapai kesepadanan dalam bahasa sasaran penerjemah harus membuat penyesuaian. Konsep pergeseran dalam terjemahan dapat ditinjau dari dua perspektif yang berbeda, yakni (1) terjemahan sebagai produk, dan (2) terjemahan sebagai proses. Sebagai produk konsep pergeseran mirip dengan konsep „shift” yang diberikan oleh Catford. Catford (1965:73)

mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai keberangkatan korespondensi formal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target (departure from formal correspondence in the process of going from the SL to the TL). Konsep ini mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan terjemahan yang dipilih dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menggambarkan kesejajaran bentuk terhadap bentuk teks yang berupa unit, struktur, ataupun kelas dalam bahasa sumber. Konsep ini adalah kebalikan atau penyimpangan dari konsep korespondensi formal yang oleh Catford (1965:32) didefinisikan sebagai kategori apa saja dalam bahasa target yang dapat dianggap menempati suatu tempat yang sejauh mungkin “sama” dalam ekonomi dari bahasa target dengan

kategori bahasa sumber yang dimaksud (any TL category which may be said to

occupy, as nearly as possible, the “same” place in the economy of the TL as the

(29)

Newmark (1988) yakni suatu prosedur atau cara penerjemahan melalui pengubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Catford (1965:73) menggolongkan pergeseran ke dalam dua jenis: (1) pergeseran tingkat (level shift,) dan (2) pergesran kategori (category shift). Catford mendefinisikan level shift sebagai butir bahasa sumber pada tataran linguistik tertentu memiliki butir padanan dalam tataran yang berbeda dalam bahasa target (a SL item at one linguistic level has a TL translation equivalent at a different level). Catford mendefinisikan category shifts sebagai keberangkatan dari

korespodensi formal dalam terjemahan (departures from formal correspondence in translation). Catford membagi level shift ke dalam empat kategori, yakni (1) pergeseran struktur (structural shift) yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur teks sumber dengan teks sasaran, (2) pergeseran kelas (class shift) bila butir bahasa sumber dipadankan dengan butir bahasa sasaran yang memilki kelas gramatikal yang berbeda, (3) pergeseran unit (unit shift) yang menyangkut dengan perubahan tingkat/pangkat (rank) dan (4) pergeseran intra system yang terjadi jika secara formal bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki kondisi yang kelihatannya sejajar, tetapi secara konstituen memiliki perbedaan.

(30)

mengatakan bahwa hakekat pergeseran adalah berlapis-lapis. Dalam proses penerjemahan selalu terjadi secara bersamaan pergeseran dari satu sistem linguistik ke dalam sistem linguistik yang lain, dari sistem sosio-budaya ke dalam sistem sosio-budaya yang lain, dan dari satu sistem sastra atau puitik ke dalam sistem sastra dan puitik yang lain. Hatim (2001) dan Holmes (1972/1994) mengatakan bahwa sistem sosio-budaya ini terdiri dari objek, simbol, dan konsep-konsep yang abstrak yang tidak lepas dari perbedaan antara satu masyarakat dan budaya dengan masyarakat dan budaya yang lainnya sehingga pilihan dalam penerjemahan harus dilakukan dalam bingkai sistem-sistem tersebut tidak secara terpisah tetapi secara padu dan bersamaan.

(31)

atas atau ke bawah dan pergeseran horizontal. Pergeseran vertikal yang mengarah ke atas terjadi jika bahasa sumber digantikan dengan unit yang lebih tinggi peringkatnya (rank) dalam bahasa target. Sementara sebaliknya, pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber digantikan dengan unit yang lebih rendah peringkatnya dalam bahasa target. Pengertian horizontal mirip dengan konsep intra system shift dari Catford (1974:80) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target pada peringkat yang sama. Pergeseran makro bergerak dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variable tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis (misalnya komponen semantik). 2.8 Aspek Semantik dalam Penerjemahan

(32)

2.8.1 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan antara satu kata dengan kata lainnya, atau satu satuan dengan satuan lainnya. Berikut dipaparkan relasi atau hubungan makna kata atau satuan.

Sinonimi didefinisikan oleh Verhaar (1978) sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Contohnya, kata meninggal dan mati, buruk dan jelek adalah bersinonim. Hubungan makna antara dua kata atau lebih yang bersinonim bersifat satu arah. Jadi, jika kata meningggal bersinonim dengan mati, maka kata mati bersinonim dengan kata meninggal. Dengan demikian, kata buruk bersinonim dengan kata jelek.

Pada definisi di atas disebutkan “maknanya kurang lebih sama”. Dengan

(33)

sama/identikal dalam semua dimensi makna baik deskriptif maupun nondeskriptif (i.e. their meaning or meaning are identical on all dimensions of meaning, descriptive and non-descriptive)

Kesinoniman mutlak atau simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya pun jarang ada. Pada satu tempat kata mati mungkin dapat dipertukarkan dengan kata meninggal dan kata bunga dengan kata kembang, tetapi pada tempat lain tidak dapat. Ketidakmungkinan untuk saling mempertukarkan kata dengan kata lainnya disebabkan oleh beberapa hal, yakni (1) faktor waktu, (2) faktor tempat atau daerah, (3) faktor sosial, (4) faktor bidang kegiatan, dan (5) faktor nuansa makna.

Antonimi didefinisikan oleh Verhaar (1978) sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan atau berlawanan dari makna ungkapan lain. Umpamanya, kata besar berantonim dengan kata kecil, kata menjual dengan membeli, dan kata menarik dengan mendorong.

Hubungan makna antara dua kata buah kata yang berantonim atau beroposisi bersifat dua arah. Jadi, jika kata besar berantonim dengan kata kecil, maka kata menjual berantonim dengan kata membeli, dan kata menarik berantonim dengan mendorong.

(34)

berlawanan (oposisi) dapat dicontohkan dengan kata hidup dan mati, sementara kata hitam dan putih merupakan contoh makna yang berkontras.

Berdasarkan sifatnya, antonimi (oposisi) dapat dibedakan menjadi: (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Dengan oposisi mutlak berarti tedapat pertentangan makna secara mutlak. Misalnya, antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak atau belum mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Sama halnya dengan kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tidak dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak.. Oposisi kutub berarti pertentangan makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi.

Dengan gradasi berarti terdapat tingakatan-tingkatan makna dalam kata-kata yang berantoinim itu. Contoh untuk kata-kata yang beroposisi kutub ini adalah antara kata kaya dan miskin. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu kaya. Kata-kata yang beroposisi kutub ini bersifat realtif

(35)

Chaer (1997:91) menggambarkan oposisi kutub sebagai berikut: kutub A

kaya

batas

miskin kutub B

Figura 2.3 Oposisi Kutub

Makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun batas kaya-miskin itu sendiri dapat bergeser ke atas dan ke bawah

Dengan oposisi hubungan berarti kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu dikarenakan ada kata lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya, maka oposisi ini tidak ada. Misalnya, kata menjual dan beroposisi hubungan dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli sekalipun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya serempak. Artinya, proses menjual dan membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga dikatakan tidak aka ada proses menjual jika tidak ada proses membeli.

(36)

dari satu. Contohnya, kata berdiri dapat beroposisi dengan kata duduk, berbaring, dan jongkok.

duduk berbaring berdiri x tiarap

berjongkok FIgura 2.4 Oposisi Hierarkial

Polisemi adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indoneisia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti tedapat pada hewan dan manusia: (2) bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala kodi, kepala susu, kepala meja; (3) bagian dari sesuatau yang berbentuk bulat seperti kepala paku, kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam setiap kepala mendapatkan bantuan tunai; dan (6) akal budi seperti „Badannya besar tetapi kepalanya kosong‟.

Homonimi didifinisikan oleh Verhaar (1978) sebagai kata yang bentuknya sama tetapi maknanya tidak sama. Misalnya, kata bisa yang dapat berarti sanggup‟, dan kata bisa yang berarti „racun ular‟. Contoh lain, kata baku yang berarti yang berarti „standar‟, dan kata baku yang berarti „saling‟ Hubungan antara

(37)

Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi. Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi ini berasal dari bahasa atau dialek yang berbeda. Kata bisa yang berarti „racun ular‟ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti „sanggup‟ berasal dari bahasa Jawa. Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim ini terjadi karena hasil proses morfologis. Misalnya, kata “mengukur”

dalam kalimat Kakak mengukur kelapa berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria mengukur luas lahan. Kata mengukur pada yang pertama adalah hasil proses morfologis prefix meN- pada kata kukur, sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses morfologis meN- pada kata ukur.

Hiponimi didifinisikan oleh Verhaar (1978) sebagai kata yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu kata yang lain. Misalnya, anggrek adalah hiponim dari terhadap kata bunga. Anggrek memang bunga tetapi bunga bukan hanya anggrek melainkan juga termasuk mawar, melati, tulip, flamboyan, dan lain-lainnya. Hiponimi bunga dapat diilustrasikan dengan:

bunga

mawar melati tulip flamboyan anggrek Figura 2.5 Hiponimi Bunga

(38)

bunga tidak berhiponim terhadap kata anggrek, sebab makna bunga meliputi seluruh jenis bunga. Dalam hal ini relasi antara bunga dengan anggrek (atau jenis bunga lainnya) disebut hipernimi. Jadi, kalau kata anggrek berhiponim terhadap bunga, maka bunga berhipernim terhadap anggrek.

Homofoni sebenarnya sama dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata bisa yang berarti „racun ular‟ dan kata bisa yang berarti „sanggup‟ selain merupakan bentuk yang homonimi adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Namun ada kata yang homofon tetapi ditulis dengan graf yang berbeda untuk memperjelas perbedaan maknanya. Misalnya, kata bank dan bang, kata sanksi dan sangsi. Bank adalah institusi keuangan yang mengurusi masalah keuangan, dan

bang yang berarti „abang‟. Kata sanksi yang berarti „akibat‟, dan sangsi yang berarti „ragu‟.

2.8.2 Jenis Makna

(39)

1. Conceptual meaning or sense Logical, cognitive, or denotative

What is communicated through association with another sense of the same expression

6. Collocative meaning

What is communicated through association with words which tend to occur in the environment of another words

7. Thematic meaning

What is communicated by the way in which the message is organized interms of order and emphasis Figura 2.6 Jenis Makna

Makna konseptual adalah makna yang bersifat logis, kognitif atau denotatif yakni makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (apa adanya). Makna konseptual tidak hanya terbatas pada kata-kata yang merujuk pada benda-benda nyata, tetapi juga pada makna yang konseptualnya khusus, seperti deitik (ini, itu), numerelia (satu, dua), dan partikel yang mengandung makna relasional (dan, tetapi)

(40)

mengandung makna suka bersolek, egoistis, dan lainnya yang bersifat negatif. Makna stilistika adalah makna berkaitan dengan situasi sosial pengguna bahasa yang menimbulkan variasi dialek berdasarkan lokasi geografis atau regional, tingkat sosial, dan kurun waktu (temporal). Makna stilistika tidak hanya terdapat dalam kajian linguistik, tetapi juga dalam sastra yang dikenal dengan majas (figures of speech). Majas diklasifikasikan dalam figura berikut:

Majas

Perbandingan : Pertentangan : Pertautan : - perumpamaan - hiperbola - metonimia - kiasan - litotes - sinekdoke - personafikasi - ironi - kiasan(allusion) - eufemisme

Figura 2.7 Majas

Perempamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berbeda dan dengan sengaja dianggap sama. Perbandingan ini secara ekplisit dijelaskan dengan kata seperti, sebagai, umpama, ibarat, lakasana, bak. Kiasan atau metafora adalah perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda, tetapi tidak menggunakan kata-kata seperti pada perumpamaan. Personafikasi adalah majas yang menggabungkan sifat-sifat manusia yang bernyawa (animasi) ke dalam benda yang tidak bernyawa (nonanimasi) dan gagasan yang abstrak.

(41)

positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang berlawanan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernytaan yang sebenarnya. Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang berlawanan dengan tujuan berolok-olok. Maksud itu dapat tercapai dengan mengemukakan (1) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (2) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan, dan (3) ketaksesuaian antara suasana yang dikemukakan dan kenyataan yang mendasarinya.

Metonimia adalah pemakaian nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya, atau kita menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya. Sinekdoke adalah majas yang menyebut nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya. Kiasan (alusi) adalah majas yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama (shared knowledge) yang dimilki oleh pengarang dan pembaca, pembicara dengan lawan bicara dan adanya kemampuan pembaca dan lawan bicara untuk mengrti pengacuan itu. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, tidak sopan, atau tabu yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.

(42)

dengan makna afektif adalah makna konotatif bersifat negatif sementara makna afektif bersifat positif. Contohnya, kata bunga dalam (1) Kakak memetik bunga di taman, (2) Kakak bunga di kampus, dan (3) Bunga bank naik. Pada (1) kata bunga adalah makna denotatif, sementara pada (2) kata bunga adalah makna afektif, dan pada (3) kata bunga mungkin dapat bersifat positif dan negative bergantung siapa yang mengatakan apakah seoarng kreditor atau debitor.

Makna reflektif adalah makna yang otomatis muncul karena adanya hubungan lain atau adanya refksi makna lain terhadap kata yang digunakan oleh pengguna bahasa. Misalnya, kata tabu dan seks. Jika kata tabu digunakan, maka secara otomatis terefleksi makna larangan, dan jika kata seks digunakan, maka secara otomatis terefleksi kata ejakulasi.

Makna kolokatif adalah makna yang muncul disebabkan kata dimaksud muncul berpasangan melekat dengan kata lainnya. Misalnya, kata cantik berkolokasi dengan perempuan menjadi perempuan cantik. Tidak pernah dikatakan perempuan ganteng karena kata ganteng berkolokasi dengan laki-laki-tidak pernah dengan perempuan.

Makna tematik adalah yang muncul dikarenakan urutan dan penekanannya dalam kalimat. Urutan kata dalam kalimat memberikan penekanan makna. Misalnya, kalimat (1) Pamanku datang besok dengan kalimat (2) Besok pamanku datang. Pada (1) penekanannya pada kata pamanku sebagai temanya, sementara pada (2) penekannnya pada kata besok sebagai temanya.

2.9 Aspek Sintaksis dalam Penerjemahan

(43)

Sintaksis sebagai bagian dari tataran linguistik, yakni mikro-linguistik mempelajari tentang pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan satuan lain yang lebih besar (KBBI, 2008-1315). Istilah sintaksis identik dengan tata bahasa (grammar). Baker (1992:83) menggolongkan grammar ke dalam dua bidang kajian, yakni morfologi dan sintaksis. Morfologi menurut Baker (1992:83) mengkaji tentang struktur kata, bagaimana perubahan bentuk kata menunjukkan kontras tertentu dalam sistem gramatikal bahasa tertentu (Morphology covers the structure of words, the way in which the form of a word changes to indicate

specific contrast in the grammatical system). Sintaksis menurut Baker (1992:83) mengkaji tentang struktur gramatikal kelompok, klausa, dan kalimat: urutan kelas kata yang berkaitan seperti nomina, verba, adverbia, dan adjektiva, dan unsur fungsionalnya seperti objek, predikator, dan objek dalam bahasa tertentu (Syntax covers the grammatical structure of groups, clauses, and sentences: the linear sequences of classes of words such as noun, verb, adverb, and adjective, and

funtional elements such as subjects, predicator, and object which are allowed in a given language). Istilah kelompok identik dengan frasa. Richard dkk. (1993:161)

mendefinisikan tata bahasa (grammar) sebagai satu deskripsi tentang struktur atau tata bahasa satu bahasa dan bagaimana satuan-satuan linguistiknya seperti kata dan frasa dapat digabungkan sehingga menghasilkan kalimat dalam bahasa dimaksud (a description of the structure of a language and the way in which linguistic units such as words and phrases are combined to produce sentences in

(44)

study of how words combine to form sentences and the rules that govern the

formation of sentences). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat dirangkum bahwa sintaksis (syntaxis/syntax/grammar) adalah salah satu cabang dari linguistik yang mempelajari tentang frasa, klausa dan kalimat dalam satu bahasa tertentu. Berikut dipaparkan tentang sintaksis yang mencakup frasa, klausa dan kalimat.

2.9.1 Aspek Frasa

Richard dkk. (1993:53) mendefinisikan frasa sebagai sekelompok kata yang membentuk satu unit gramatikal (A phrase is a group of words which form a grammatical unit). Sebuah frasa tidak mengandung verba terikat (finite verb) dan tidak memiliki struktur subjek - predikat (A phrase does not contain a finite verb and does not have a sugject-predicate structure). Richard dkk. (1993:139) mengatakan verba terikat (finite verb) dimaknai sebagai sebentuk verba yang penggunannya ditandai dengan penyesuaian hubungan antara sebuah subjek berupa ORANG dan atau JUMLAH dan yang berhubungan dengan WAKTU (a form of a verb which is marked to show that it is related to a subject in PERSON

(45)

melebihi batas fungsi adalah bahwa frasa selalu terdapat dalam satu fungsi tertentu, seperti dalam S, P, O, PEL, atau K.

Ditinjau dari segi persamaan distribusi dengan golongan atau kategori kata yang menjadi kata utama atau inti (head), frasa terdiri atas: frasa nomina, frasa pronomina, frasa verba, frasa ajektiva, dan frasa numeralia.

1. Frasa nomina (noun phrase) adalah frasa yang intinya adalah nomina atau benda yang tidak membentuk klausa atau memiliki struktur Subjek (S) dan Predikat (P).

Contoh:

 Nindya memakai baju baru.

 Pak Mono guru yang bijaksana.

Frasa baju baru dan guru yang bijaksana dalam teks di atas mempunyai inti yang berupa nomina, yaitu baju dan guru. Pembentukan frasa nomina dalam bahasa Indonesia nomina mendahului pemodikasi. Dalam bahasa Inggris terjadi sebaliknya, yakni pemodifikasi mendahului inti yang berupa nomina, sehingga baju baru menjadi a new dress, dan guru yang bijaksana menjadi a wise teacher.

2. Frasa Pronomina (pronoun phrase) adalah frasa yang intinya adalah pronomina atau kata ganti diri yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P.

Contoh:

Saya sendiri tinggal di rumah.

(46)

Frasa saya sendiri dan kami semua dalam teks di atas mempunyai inti yang berupa pronomina yaitu saya dan kami. Kata sendiridan semua dalam teks di atas adalah unsur tambahan sebagai pemodifikasi atau atribut pembentuk frasa pronomina. Kata sendiri dan semua dalam pembentukan frasa pronomina dalam bahasa Indonesia posisinya mengikuti inti; sama dengan bahasa Inggris yang posisinya juga mendahului inti, sehingga Saya sendiri menjadi I myself dan Kami semua menjadi We all.

3. Frasa verba (verb phrase) adalah frasa yang intinya adalah verba atau kata kerja yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P.

Contoh:

 Adik sudah sampai.

 Ibu saya sedang memasak.

Frasa sudah sampai dan sedang memasak dalam teks di atas mempunyai inti yang berupa verba, yaitu sampai dan memasak. Kata sudah dan sedang dalam teks di atas adalah unsur tambahan (pemodifikasi) sebagai atribut pembentuk frasa verba yang posisinya dalam bahasa Indonesia dan Inggris mendahului intinya, sehingga sudah sampai menjadi has arrived, sedang memasak menjadi is cooking.

4. Frasa ajektiva (adjective phrase) adalah frasa yang intinya adalah ajektiva atau kata sifat yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P.

Contoh:

 Lukisan itu cantik sekali.

(47)

Frasa cantik sekali dan sangat gembira dalam teks di atas mempunyai inti yang berupa ajektiva yaitu cantik dan gembira. Kata sekali dalam teks di atas adalah unsur tambahan atau pemodifikasi sebagai atribut pembentuk frasa adjektiva. Kata sekali dalam pembentukan frasa ajektiva posisinya mengikuti inti. Dalam bahasa Inggris pemodifikas mendahului inti, sehingga cantik sekali menjadi very beautiful bukan

*beautiful very dan gembira sekali menjadi very happy bukan *happy very.

5. Frasa numeralia adalah frasa yang intinya adalah numeralia atau jumlah bilangan yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P.

Contoh:

 Kakek membuat dua (buah) meja.

 Kakak makan tiga (buah) mangga.

Frasa dua (buah) meja dan tiga (buah) mangga dalam teks di atas mempunyai inti yang berupa numeralia atau jumlah bilangan yaitu dua dan tiga. Kata meja dan mangga dalam teks di atas adalah unsur tambahan sebagai pemodifikasi atau atribut pembentuk frasa numeralia yang dalam bahasa Indonesia dan Inggris posisinya mengikuti inti, sehingga dua (buah) meja menjadi two tables dan tiga (buah) mangga menjadi three manggoes.

6. Frasa preposisi (prepositional phrase) adalah frasa yang intinya adalah preposisi yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P.

Contoh:

(48)

 Yanty menyambut tamunya dari Medan.

Frasa di dapur dan dari Medan dalam teks di atas terdiri atas preposisi di dan dari sebagai inti, diikuti nomina dapur dan Medan yang menandai hubungan makna keberadaan di dan dari suatu tempat. Sama halnya dengan bahasa Inggris, sehingga di dapur menjadi in the kitchen

dan dari Medan menjadi from Medan.

7. Frasa keterangan (adverb of time) adalah frasa yang intinya adalah kata keterangan waktu yang tidak membentuk klausa atau struktur S dan P. Contoh:

 Sidang dibuka kembali setelah makan siang.

 Ayah tiba kemarin malam.

Frasa setelah makan siang dalam teks di atas terdiri atas kata keterangan waktu setelah sebagai inti yang diikuti kata atau frasa keterangan makan siang yang menandai hubungan makna keterangan waktu. Sama halnya dengan frasa kemarin malam yang terdiri atas kata keterangan waktu kemarin sebagai inti yang diikuti kata keterangan malam yang menandai hubungan makna keterangan waktu.

2.9.2 Aspek Klausa

(49)

membentuk kalimat atau bagian kalimat dan berfungsi sebagai nomina, ajektiva, atau adverbia (A clause forms a sentence or part of a sentence and often functions as a noun, adjective, or adverb). Stern (2001:41) mendefinisikan klausa sebagai

satuan gramatikal lebih besar dari pada frasa, dan lebih kecil dari pada kalimat (a unit of gramar larger than a phrase and, often, smaller than a sentence). Lebih lanjut Stern (2001:103) menjelaskan klausa merupakan bagian utama (konstituen) dari kalimat (a clause is a major part (a „constituent‟) of a sentence). Klausa, utamanya, mengandung subjek dan predikat (Typically, it consists of a subject and a predicate). Stern (2001:145) mengatakan klausa a coherent string of words that does contain a finite verb (untaian kata yang berkoherensi yang mengandung verba

(50)

Menurut Ramlan (2000) ditinjau dari segi golongan atau kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi predikat, klausa terdiri atas: klausa nominal, klausa verba, klausa bilangan, dan klausa depan.

1. Klausa nominal adalah klausa yang predikatnya menduduki fungsi nomina atau frasa nomina yang muncul dalam kalimat dapat sebagai subjek atau objek.

Contoh:

Apa yang dia katakan benar.

 Saya mengerti apa yang kamu maksud.

Klausa apa yang dia katakan dan apa yang kamu maksud dalam teks di atas adalah frasa nomina yang berfungsi sebagai subjek dari predikat benar dan sebagai objek dari predikat mengerti.

2. Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa kategori verbal yang muncul dalam kalimat sebagai klausa verbal dengan predikat yang berupa ajektiva dan verba (transitif dan intransitif) yakni: a) Klausa verbal ajektif adalah klausa yang predikatnya dari kata atau

frasa jenis verbal yang termasuk kategori ajektiva sebagai intinya. Contoh:

 Tulisan tangannya sangat indah.

 Halaman rumahnya sangat luas.

(51)

b) Klausa verbal transitif adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa golongan verbal (kata kerja) transitif, yakni kata atau frasa sebagai unsur intinya yang diikuti oleh objek

Contoh:

 Kakakku sedang mencuci piring.

 Adikku sedang mengerjakan tugas rumahnya.

Klausa dalam teks di atas adalah frasa verbal yang predikatnya adalah verba transitif, yakni sedang mencuci yang diikuti oleh objek piring dan mengerjakan yang diikuti oleh objek tugas rumahnya.

c) Klausa verbal intransitif adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa golongan verbal (kata kerja) intransitif, yakni kata kerja (verba) sebagai unsur intinya yang tidak diikuti oleh objek.

Contoh:

 Bayi itu sedang menangis.

 Murid-murid sedang bermain di lapangan.

Klausa dalam teks di atas adalah frasa verbal yang predikatnya adalah verba intransitif, yakni sedang menangis dan sedang bermain.

(52)

Contoh:

 Masyarakat tolong menolong membuat jalan setapak itu.

 Beberapa politisi saling melempar kata-kata kasar.

Klausa dalam teks di atas adalah frasa verbal yang predikatnya adalah golongan verbal yang saling mengenai satu dengan yang lainnya (resiprokal), yakni tolong menolong dan saling melempar.

3. Klausa depan (preposisional) adalah klausa yang predikatnya diawali dengan kata atau frasa kata depan (preposisi).

Contoh:

 Mobil itu dari Jepang

 Seragam itu untuk penari latar.

 Kami ke Medan minggu depan.

 Ibu di kampung sakit keras.

Klausa dalam teks di atas adalah klausa depan (preposisional) yang predikatnya adalah golongan kata atau frasa depan (preposisi), yakni dari, untuk, ke, dan di.

4. Klausa bilangan adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa bilangan.

Contoh:

 Kaki kursi itu empat buah.

(53)

Klausa dalam teks di atas adalah klausa bilangan yang predikatnya adalah golongan bilangan, yakni empat buah, dan tiga rodanya.

2.10 Penelitian Terjemahan yang Relevan

Yadnya (2004) dalam disertasinya berjudul „Pemadanan Makna Berkonteks

Budaya: Sebuah Kajian Terjemahan Indonesia- Inggris‟ meneliti bagaimana cerita pendek yang berlatar belakang buadya Bali yang ditulis dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh tiga penerjemah yang berlatar belakang budaya Barat (Inggris). Cerita pendek “Mati Salah Pati” karya Gde

Aryantha Soethama dalam Lampor: Cerpen Pilihan KOMPAS 1994. Cerpen ini dimuat Harian Kompas 12 Desember 1993 dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen pertama kali oleh Harian Kompas, Jakarta, Juni 1994. Penerjemahan cerpen ini dilakukan oleh Vern Cork (1994) dengan judul “Death By Misfortune” yang diterbitkan dalam kumpulan fiksi mutakhir dari Bali berjudul Bali Behind the Seen: Recent Fiction from Bali. “Mati Salah Pati” juga diterjemahkan oleh Jennifer Lindsay dengan judul “The Wrong Kind of Death”. Cerita pendek “Luh Galuh”karya Putu Oka yang ditulis di Jakarta bulan Februari 1987 termuat dalam

(54)

puisi, foto dan esai oleh John H.Mc Gly (series editor) dan I Nyoman Darma Putra (guest editor) melalui The Lontar Foundation, Jakarta (2000).

Penelitian yang dilakukannya membahas: 1) bagaimana profil padanan makna-makna berkonteks budaya Bali yang tercermin dalam teks bahasa sumber (bahasa Indonesia) tergambar dalam bahasa Inggris serta sejauh mana tingkat kesepadanan yang dicapai dalam proses pemadanannya, 2) bagaimana tipologi padanan yang dihasilkan akibat adanya perbedaan penerjemah, kesenjangan linguistik dan budaya serta strategi pemadanan apa sajakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam menangani dan mencapai padanan berkonteks budaya, 3) sejauh mana terjadi pergeseran (shifts) dalam pengalihan ungkapan berkonteks budaya (Bali) pada teks sumber dalam proses terjemahanya ke dalam bahasa Inggris, serta faktor-faktor potensial apa sajakah yang menyebabkan pergeseran tersebut.

Dari penelitian yang dilakukannya ditemukan bahwa ketiga teks sumber mengandung cukup banyak representasi makna berkonteks budaya Bali. Representasi makna tersebut muncul dalam strukur luar sebagai kata, frasa, istilah dan ungkapan yang kental dengan muatan budaya Bali. Kata, frasa, istilah dan ungkapan budaya tersebut bervariasi dan muncul dalam ketiga kategori budaya universal yakni budaya artefak, sosial dan implisit dengan jumlah dan frekuensi yang berbeda pada masing-masing teks sumber sesuai dengan tema ceritanya.

(55)

kasus-kasus borrowing: (b) kesepadanan referensial atau denotatif yakni kesepadanan yang ditunjukkan oleh kesamaan acuan dunia nyata oleh kedua butir leksikal teks sumber dan teks target: (c) kesepadanan konotatif yang ditimbulkan dalam pikiran penutur bahasa sumber maupun bahasa target: (d) kesepadaan normatif teks yakni kesepadan yang ditunjukkan oleh penggunaan butir-butir leksikal yang memiliki konteks yang sama atau mirip dalam bahasa sumber dan bahasa target: dan (e) kesepadana pragmatik yang ditunjukkan oleh kesamaan efek atau dampak yang ditimbulkan oleh butir-butir leksikal pada pembaca masing-masing teks sumber maupun teks target.

Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa penerjemahan ketiga teks sumber tersebut lebih berorientasi pada makna sehingga prioritas ketersampaian dan ketepatan pesan dalam teks target menjadi prioritas utama. Hal ini terbukti oleh tingkat kesepadanan paling menonjol yang mampu dicapai adalah kesepadanan formal dan referensial. Kesepadanan makna berkonteks budaya yang dicapai dalam padanan ketiga teks sumber tersebut hanya menyentuh aspek bahasa dan tidak sepenuhya mampu mencapai kesepadanan secara penuh makna (budaya) yang dimaksudkan. Walaupun para penerjemah telah berusaha memberikan padanan sedekat mungkin dalam bahasa Inggris namun masih ada sejumlah padanan butir leksikal bahasa sumber yang menunjukkan bahwa penerjemah tidak paham betul dengan budaya bahasa sumber. Hal ini terbukti dari temuan yang menunjukkan ketidaktaatasan, kekurangyakinan, dan penyimpangan penerjemahan.

(56)

sepadan namun bentuknya tidak berkorespondensi, (3) terjemahan yang sepadan namun maknanya tidak berkorespondensi dikarenakan perbedaan cakupan makna, dan (4) padanan zero/nil. Walaupun demikian kecenderungan yang paling banyak terjadi adalah padanan yang tidak berkorespondensi formal. Padanan ideal atau mungkin padanan mutlak cenderung berpeluang terjadi pada tataran gramatikal yang lebih kecil khususnya kata serta pada kasus-kasus “borrowing” yang menembus batas kekerarabatan dan tipologi bahasa.

Berdasarkan data dari variasi padanan oleh penerjemah yang berbeda, tipologi padanan serta strategi pemadanan pola kecenderungan pemadanan makna berkonteks berbudaya ke dalam bahasa Inggris mengarah pada: (1) borrowing, (2) dekulturalisasi, dan (3) adaptasi atau substitusi kultural. Perpadana makna berkoteks budaya (Bali) ke dalam bahasa Ingris memiliki kontinum: (1) semakin abstrak wujud budaya dalam bahasa sumber dan semakin asing (unknown) konsep bahasa sumber bagi bahasa target maka perpadannya mengarah kepada borrowing dalam bahasa target, dan (2) semakin kongkret makna/konsep dalam bahasa sumber dan semakin diketahui (known/shared) makna/konsep dalam bahasa sumber oleh penutur bahasa target maka perpadannnya cenderung berupa adaptasi dan ekplikasi. Walaupun keputusan terhadap pemilihan padanan terletak pada masing-msing penerjemah namun dalam kasus penerjemahan ketiga cerita pendek tersebut terdapat suatu kecenderungan. Kecenderungan yang paling mencolok terlihat dalam pemadanan makna berkonteks budaya implisit yang lebih banyak bersifat abstrak, spesifik, dan kental dengan warna lokal, penerjemah malakukan

”borrowing” dengan tetap mempertahankan kata-kata, istilah atau ungkapan lokal

(57)

Pergeseran terjadi akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya antar bahasa sumber dan target. Dalam pemadanan ketiga teks sumber terjadi secara bersamaan penyesuaian berupa pergeseran dari suatu sistem linguistik dan sistem sosio-kultural (Indonesia) ke dalam sisitem lingustik dan sosio-kultural yang lain (Inggris). Fenomena penyesuaian tersebut berwujud: (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro shift) Pergeeeran mikro muncul sebagai

pergeseran vertikal yang mengarah ke atas di mana unit bahasa sumber disubstitusi dengan unit yang lebih tingi rank-nya dalam bahasa target dan sebaliknya pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber disubstitusi dengan unit yang lebih rendah rank-nya dalam bahasa target serta pergeseran horizontal atau pergeseran intrasisitem (intra system shift) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari satu unit bahasa sumber dalam bahasa target dalam rank yang sama. Pergeseran makro terjadi dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variabel tekstur, konteks (situasi dan sosio-budaya), dan gaya dan muncul di permukaan sebagai pergeseran semantik dan pragmatik. Pergeseran semantik yang muncul berupa perluasan, penyempitan dan penyimpangan makna leksikal serta modulasi berupa pergeseran sudut pandang atau perspektif. Pergeseran pragmatik yang terjadi pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi (hubunga kohesif intra kalimat atau hubungan lokal) dan koherensi (hubungan kohesif antar kalimat atau hubungan global) yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan (references), elipsis, kolokasi, substitusi, pengulangan (reiteration), informasi lama dan baru,pergeseran topik, fokus, modalitas, konteks dan kedefinitan.

Gambar

Gambar di atas menunjukkan bahwa penerjemahan menurut Newmark 1988)

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan sampel hidrologi dan plankton telah dilaksanakan da- lam bulan Mei 1964 pada dua garis di Laut Jawa masmg-masing dari depan Teluk Jakarta ke Tanjung Puting (Kalimantan)

Objek penyelidikan ilmu linguistik adalah aspek bahasa yang memuat fakta sosial masyarakat yang disebut Saussure sebagai langue (Kridalaksana dalam Saussure, 1988:

otePad merupakan program aplikasi pelengkap (Accessories) yang terdapat dalam sistem operasi Microsoft Windows XP dan berfungsi sbagai text yang dapat digunanakan

Hasjrat Abadi Perwakilan Tual, dapat diambil kesimpulan bahwa variabel dependen keputusan pembelian terbukti secara signifikan baik simultan maupun parsial dipengaruhi oleh

Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting dibanding dua corak hukum lainnya, hukum positif dan hukum adat, tapi

Jika semua telah dikey-in, klik menu Isian RAS untuk mengecek mata kuliah yang telah

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi khususnya komputer sebagai perangkat pengelola informasi, maka suatu sistem informasi yang berbasis komputer yang selalu

Institusi perlawanan yang digunakan oleh ulama Minangkabau untuk menentang kebijakan kolonial tentang ordonansi guru (1928) dan sekolah liar (1932) bukanlah dalam bentuk