• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John &"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. BIG FIVE PERSONALITY 1. Definisi Big Five Personality

Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John & Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun, jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).

Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih. Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).

Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan

(2)

memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999).

Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005).

Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut:

1. Neuroticism (N) 2. Extraversion (E)

3. Openness to New Experience (O) 4. Agreeableness (A)

(3)

Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi OCEAN (Pervin, 2005).

Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1. yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial (Pervin, 2005).

Tabel 1.

Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah Karakteristik dengan skor

tinggi

Sifat Karakteristik dengan skor

rendah Kuatir, cemas, emosional,

merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.

Neuroticism (N)

Mengukur penyesuaian Vs ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi

kecendrungan individu akan

distress psikologi, ide-ide

yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon

coping yang tidak sesuai.

Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

Mudah bergaul, aktif,

talkative, person-oriented,

optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat.

Extraversion (E)

Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, level aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas kesenangan.

Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task

–oriented, pemalu,

pendiam.

Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif,

original, imajinatif, tidak

Openness (O)

Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai

Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu

(4)

mengetahui sesuatu yang tidak familiar.

seni, kurang analitis. Berhati lembut, baik, suka

menolong, dapat dipercaya, mudah

memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang.

Agreeableness (A)

Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap

permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.

Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.

Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun.

Conscientiousness (C)

Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecendrungan untuk menjadi malas dan lemah.

Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang.

Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:

1. Extraversion terdiri dari:

1. Gregariousness (suka berkumpul). 2. Activity level (level aktivitas). 3. Assertiveness (asertif).

4. Excitement Seeking (mencari kesenangan). 5. Positive Emotions (emosi yang positif). 6. Warmth (kehangatan).

2. Agreeableness terdiri dari:

1. Straightforwardness (berterusterang). 2. Trust (kepercayaan).

3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain). 4. Modesty (rendah hati).

(5)

5. Tendermindedness (berhati lembut). 6. Compliance (kerelaan).

3. Conscientiousness terdiri dari: 1. Self-discipline (disiplin). 2. Dutifulness (patuh). 3. Competence (kompetensi). 4. Order (teratur).

5. Deliberation (pertimbangan).

6. Achievement striving (pencapaian prestasi).

4. Neuroticism terdiri dari: 1. Anxiety (kecemasan).

2. Self-consciousness (kesadaran diri). 3. Depression (depresi).

4. Vulnerability (mudah tersinggung). 5. Impulsiveness (menuruti kata hati). 6. Angry hostility (amarah).

5. Openness to new experience terdiri dari: 1. Fantasy (khayalan).

2. Aesthetics (keindahan). 3. Feelings (perasaan). 4. Ideas (ide).

(6)

5. Actions (tindakan). 6. Values (nilai-nilai).

B. COPING STRESS 1. Definisi Coping Stress

Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.

Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan, mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan. Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.

Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

(7)

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur, dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau emosional.

2. Faktor-Faktor Coping Stress

Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa dilakukan orang dalam menghadapi situasi yang stressfull dan mengelompokkannya dalam berbagai kategori (dalam Sarafino, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan) jenis faktor, yaitu:

(8)

1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil tindakan yang memiliki resiko tinggi.

2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi positif dari suatu masalah yang dihadapi.

3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar tetap tenang.

4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang dianggap penting.

5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan bertekad untuk menyelesaikannya.

6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.

7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan perencanaan untuk menyelesaikannya.

8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al (1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful problem-solving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan diperoleh dari penggunaan confrontive coping dan distancing.

(9)

Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil (dalam Smet, 1994).

Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control, escape-avoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.

3. Fungsi Coping Stress

Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2 (dua) fungsi coping stress, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah

(10)

satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri.

b. Problem-focused coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.

Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan problem-focused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan emotion-focused coping.

Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang lebih sering menggunakan emotion-focused coping. Dalam penelitian Billings &

(11)

Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:

a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan, ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi stres.

(12)

C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL 1. Pengertian dan Fungsi Reserse Kriminal

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terdiri dari beberapa bagian atau yang disebut direktorat, antara lain adalah direktorat reserse kriminal (Dit. Reskrim). Dit Reskrim adalah unsur pelaksana utama Polda yang berada dibawah Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum , koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Website POLRI DIY, 2008).

Dalam menyelenggarakan tugas yang dimaksud, Dit. Reskrim menyelenggarakan fungsi sbb :

1. Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas Dit Reskrim dalam lingkungan Polda.

2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

3. Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan maupun pelayan umum.

4. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidak PPNS.

(13)

5. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi Reskrim.

Dit. Reskrim dipimpin oleh Direktur Reskrim , disingkat Dir. Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wakapolda. Dir Reskrim dibantu oleh Wakil Direktur Reskrim , disingkat Wadir Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim.

2. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal Dit. Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) bagian, yaitu: 1. Sub bagian perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin)

Subbagrenmin adalah unsur pelaksana dan pelayanan staf pada Dit. Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Subbagrenmin bertugas merumuskan / menyiapkan rencana / program kerja & anggaran termasuk rencana dan administrasi operasional & pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan urusan administrasi personel & logistik urusan ketatausahaan & urusan dalam dan pelayan keuangan Dit. Reskrim.

Subbagrenmin dipimpin oleh Kepala Subbagrenmin disingkat Kasubbagrenmin yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim. Untuk menjamin dinamika dan keterpaduan operasional dalam pelaksanaan tugas semua satuan operasional , Kasubbagrenmin membantu Dir. Reskrim mengatur pelaksanaan

(14)

piket siaga yang juga berperan dalam pelayanan penerimaan dan penanganan pertama laporan/pengaduan warga masyarakat yang membutuhkan.

2. Bagian Analisis Direktorat Reserse dan Kriminal

Bag Analisis adalah unsur pembantu pimpinan dan staf pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Bag. Analisis bertugas melakukan analisa dan gelar perkara setiap kasus dan isu-isu yang berkaitan dgn rangkaian kasus-kasus menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas penyelidikan / penyidikan tindak pidana oleh satuan-satuan fungsi Reskrim dalam lingkungan Polda , termasuk penghimpunan dan pemeliharaan berkas perkara yang telah selesai diproses dan bahan literatur yang terkait

Bag Analisis dipimpin oleh Kepala Bagian Analisis , disingkat Kabag Analisis yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim.

Kabag Analisis dalam melaksanakan tugas keawajibannya dibantu oleh : a. Kepala Sub Bagian Produksi disingkat Kasubbag Produk

b. Kepala Sub Bagian Dokumentasi & Literatur disingkat Kasubbag Doklit

3. Siskorwas PPNS Direktorat Reserse dan Kriminal

Sikorwas PPNS adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Sikorwas bertugas melaksanakan koordinasi dan pengawasan operasional termasuk pembinaan / bimbingan teknis penyidikan dan administrasi penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil pada tingkat Polda.

(15)

Sikorwas PPNS dipimpin oleh Kepala Sikorwas PPNS , disingkat Kasi Korwas PPNS yang bertabggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

4. Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal

Si Ident adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Si Ident bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi Identifikasi yang meliputi kegiatan Daktiloskopi kriminal, Daktiloskopi umum dan fotografi Kepolisian.

Si Ident dipimpin oleh Kepala Bid / Si Ident , disingkat Si Ident yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

5. Satuan Operasional Direktorat Reserse Kriminal

Sat Opsnal adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Sat Opsnal bertugas melakukan penyedikan dan penyidikan tindak pidana yang terjadi di wilayah Polda.

Sat Opsnal dipimpin oleh Kepala Sat Opsnal , disingkat Kasat Opsnal, yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

Sat Opsnal terdiri dari sejumlah unit yang masing-masing dipimpin oleh kepala Unit disingkat Kanit. Jumlah Sat Opsnal pada Dit Reskrim dalam jumlah unit pada masing-masing Sat Opsnal disesuaikan dengan tipe dari masing-masing

(16)

Polda dan pembagian tugasnya diatur lebih lanjut oleh Dir Reskrim sesuai arahan Kapolda.

6. Detasemen 88 Anti Teror (Den 88 AT)

Adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Kapolda. Bertugas menyelenggarakan penyelidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang tindak pidana terorisme. Den 88 AT dipimpin oleh Kepala Den 88 AT, disingkat Kaden 88 AT yang sehari-hari bertanggung jawab kepada Kapolda.

Den 88 AT terdiri dari:

1). Urusan Administrasi dan Tata Usaha disingkat Urmintu 2). Unit Intelejen, disingkat Unitintel

3). Unit Penindak, disingkat Unittindak 4). Unit Investigasi, disingkat Unitinvest 5). Unit Bantuan, disingkat Unitban

Pembentukan Den 88 AT yang berkedudukan langsung dibawah Kapolda dan atau berkedudukan langsung dibawah Dir. Reskrim, diatur dengan keputusan sendiri.

D. KAITAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE PERSONALITY DAN COPING STRESS PADA POLISI RESERSE KRIMINAL POLTABES MEDAN

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang bertugas untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban umum di Indonesia (Syafrika & Suyasa, 2004). Ira Glasser (dalam Amaranto dkk, 2003) menyatakan:bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak

(17)

aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Kepolisian Negara Republik Indonesia dibagi menjadi 9 (sembilan) direktorat, salah satunya adalah Direktorat Reserse Kriminal.

Menurut Sullivan (1977), polisi kriminal adalah ”urat nadi” kepolisian. Meliala (2001) berpendapat bahwa polisi kriminal mengalami stres tersendiri, dimana mereka sering berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Khusus untuk polisi kriminal yang bertugas di kota besar seperti Medan, stres yang dialami lebih besar karena tingkat kriminal yang lebih tinggi juga (Nuzulia, 2005).

Stres memiliki dampak positif dan negatif. Untuk mengatasi dampak negatif ini, individu perlu melakukan coping. Lazarus dan Folkman (1986) membagi coping stress menjadi dua bagian, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping.

Smet (1994) beranggapan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress. Salah satu taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum saat ini adalah Big Five Personality (John & Srivastava, 1999). Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe kepribadian tersebut adalah neuroticism, extraversion, openness to new experience, agreeableness, dan conscientiousness.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan untuk menguji hipotesa. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

(18)

a. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. b. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

2. Ho (Hipotesa Nihil) : p > 0,05, artinya:

a. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. b. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

(19)

Gambar 2. Paradigma Penelitian Five Factor Model

McRae & Costa: - Neuroticism - Extraversion - Openness - Agreeableness - Conscientiousness

Coping

Stress

Direktorat Reserse Kriminal Poltabes Medan POLRI Polisi : lembaga keamanan dan

ketertiban umum Stressfull job

Emotion- Focused Problem- Focused

Stress

Kepribadian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Minat Menjadi Guru Ekonomi dapat timbul karena adanya pengetahuan dan informasi mengenai profesi

Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa pada dasarnya persepsi merupakan suatu pengamatan individu atau proses pemberian makna sebagai

Dapat disimpulkan bahwa locus of control merupakan pengendalian pribadi atas kendali individu – individu dalam suatu peristiwa yang dapat menentukan nasib atau kejadian

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam mengenali emosi yang

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sosial dalam karya sastra merupakan usaha yang dilakukan untuk memberikan penilaian baik buruknya suatu

Dari semua pendapat para ahli diatas disimpulkan bahwa, pelanggan adalah individu yang melakukan pembelian kebutuhan yang bisa membuat puas dengan membandingkan beberapa aspel

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri (self-esteem) merupakan penilaian individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, baik dari pengalaman

Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh supervisor untuk membantu guru dan