GAMBARAN KONTROL SOSIAL KELUARGA, FAKTOR PENGUAT
DAN FAKTOR PREDISPOSISI DENGAN PERILAKU SEKSUAL
BERISIKO PADA REMAJA SMK M DI JAKARTA TAHUN 2013
Farah Octavia dan Tri Yunis Miko WahyonoABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kontrol sosial keluarga, faktor penguat dan faktor predisposisi dengan perilaku seksual berisiko pada remaja SMK M di Jakarta tahun 2013. Desain penelitian menggunakan pendekatan crossectional dan Rapid Assessment Procedures. Responden berjumlah 108 remaja dan 12 informan sebagai anggota FGD serta informan dua orangtua dan guru kesiswaan SMK M. Hasil studi ini menunjukan adanya hubungan jenis kelamin, sikap permisif terhadap perilaku seksual, dan pola komunikasi orangtua dengan perilaku seksual berisiko di SMK M. Penelitian ini merekomendasikan perlu adanya komunikasi yang terbuka dan adanya tata aturan keluarga yang jelas dalam pencegahan perilaku seksual berisiko pada remaja.
Kata Kunci:
Pola komunikasi orangtua, kekuatan keluarga, perilaku seksual berisiko ABSTRACT
This study aims to get a picture of family social control, reinforcing factors and predisposing factors with sexual risk behavior in adolescents SMK M in Jakarta in 2013. Research design using crosssectional approach and Rapid Assessment Procedures. Respondents totaled 108 teens and 12 focus group members and informants as informants two parents and teachers of SMK student M. Results of this study showed an association of sex, permissive attitudes toward sexual behavior, and patterns of parental communication with risky sexual behavior in SMK M. The study recommends the need for open communication and a clear family rules and regulations in the prevention of risky sexual behaviors in adolescents.
Keywords:
Patterns of parental communication, family strength and risky sexual behavior
Pendahuluan
Kelompok remaja merupakan kelompok penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun (Depkes,2009). Kelompok remaja di Indonesia memiliki proporsi
kurang lebih seperlima dari seluruh jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia yaitu jumlah remaja diperkirakan 1,2 milyar atau sekitar seperlima dari jumlah penduduk
dunia WHO (2003; dalam Depkes 2009). Masa transisi merupakan faktor risiko utama timbulnya masalah kesehatan pada usia remaja. Masa transisi pada remaja meliputi transisi emosional, transisi sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas. Remaja pada umumnya akan mengalami perubahan-perubahan dalam hal biologis dan psikologis yang sangat pesat. Perubahan-perubahan yang terjadi memberikan dorongan yang kuat terhadap perilaku dan kehidupan remaja yang sifatnya sangat beragam (Clemen-Stone, McGuire dan Eigsti, 2002). Kehidupan remaja yang sangat beragam di masyarakat akan menimbulkan masalah-masalah pada masa remaja (Hurlock, 1998).
Faktor penyebab lain dari perilaku seksual berisiko remaja adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan, sikap dan perilaku remaja terhadap kesehatan, kurang kepedulian orangtua dan masyarakat terhadap kesehatan dan kesejahteraan remaja serta belum optimalnya pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan remaja (Depkes, 2005). Hasil studi penelitian lain dengan metode
crosssectional dengan sampel 107
siswa SMP X, 28% memiliki risiko terhadap masalah reproduksi. Proporsi remaja yang tidak pernah pernah berkomunikasi dengan orangtua (33,8%) memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan proporsi remaja yang berkomunikasi dengan orangtua (Indarsita, 2002).
Kekuatan keluarga merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses pembuatan keputusan sehingga anggota keluarga melaksanakan serangkaian tindakan yang telah di tetapkan dalam rangka mencapai tujuan (Friedman, Bowen dan Jones, 2003). Keluarga yang tidak sehat secara psikologis sering kali dalam kendali orang tua yang berorientasi kekuasaan, dan orangtua lebih cenderung menggunakan otoriter dalam hubungan dengan remaja.
Permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia diakibatkan belum optimalnya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja pada tatanan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Norma adat
dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih menjadi kendala dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan reproduksi berbasis keluarga terutama sekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam mengidentifikasi bagaimana gambaran kontrol sosial keluarga, faktor penguat dan faktor predisposisi dengan perilaku seksual berisiko pada remaja SMK M di Jakarta.
Tinjauan Teoritis
Definisi remaja sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu 1) secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia antara 11-12 tahun sampai 20-21 tahun; 2) secara fisik, remaja ditandai oleh ciri perubahan pada penampilan fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual; 3) secara psikologis, remaja merupakan masa di mana individu mengalami perubahan-perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan moral di antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggungjawab atas munculnya dorongan seks (Santrock, 2010).
Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orangtua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orangtua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak orangtua dan remaja.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan siri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya (Kurniadi, 2001: 271). Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan sengan terbuka setiap hal dalam keluarga, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan. Kekuatan keluarga
merupakan kemampuan potensial atau actual dari anggota keluarga untuk mempengaruhi dan memaksakan pandangannya terhadap anggota keluarga lainnya. Kekuatan keluarga mempunyai pengaruh dan sebagai tekanan formal dan non formal dalam pembuatan keputusan anggota keluarga (Friedman, Bowden & Jones, 2003). Kekuatan keluarga penting dalam membuat keputusan keluarga menghadapi dan mengatasi masalah perilaku remaja. Kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi remaja dalam mengambil suatu keputusan dibutuhkan suatu power keluarga, sehingga akan didapatkan solusi terhadap suatu masalah dan mampu membatasi aktivitas remaja yang tidak diinginkan berdasarkan aturan dalam keluarga dan masyarakat.
Perilaku seksual ialah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri
(Simkins 1984; dalam Sarwono, 2010). Penyebab perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal (merupakan faktor yang berasal dari dalam individu yang berupa bekerjanya hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual yang menuntut untuk segera tersalurkan) dan faktor eksternal (merupakan faktor yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Menurut Sarwono (2010) perilaku seksual remaja yang berisiko antara lain bersentuhan, berciuman, bercumbu, masturbasi dan berhubungan kelamin. Akibat perilaku seksual berisiko yang dilakukan para remaja yakni penyakit akibat hubungan seksual, kehamilan remja, abortus, kawin muda, dan putus sekolah.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode kuantitatif dengan pendekatan crossectional dan metode kualitatif dengan menggunakan focus group discussion dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di SMK M di Jakarta dengan sampel sebanyak 108 siswa untuk responden kuesioner, 12 siswa sebagai informan focus group discussion serta 2 orangtua dan 1 guru
kesiswaan sebagai informan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan SPSS 17.0 dengan analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan chi-square.
Hasil Penelitian
A. Analisis Univariat 1. Karakteristik Responden
Distribusi Umur Remaja Kelas X SMK M Tahun 2013
Variabel Mean SD Min-Mak 95% CI
Umur 15,63 0,65 15-18 15,51-15,75
Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata usia responden adalah diantara 15,51 sampai dengan 15,75 tahun.
Distribusi responden kurang merata untuk masing-masing jenis kelamin. Paling banyak jumlah responden laki-laki yaitu 96 orang (89%), sedangkan untuk responden perempuan sebanyak 12 orang (11%).
Distribusi responden menurut usia pada saat mimpi basah pertama (usia pubertas) merata untuk masing-masing tingkatan umur. Paling banyak, responden yang mengalami mimpi basah pertama sebelum umur 14 tahun yaitu 57 orang (59,4%), sedangkan untuk responden yang mengalami mimpi basah pertama saat umur 14 tahun atau lebih sebanyak 39 orang (40,6%)
Distribusi responden menurut usia menstruasi pertama (usia pubertas) merata untuk masing-masing tingkatan umur. Paling banyak, responden yang mengalami menstruasi pada umur 12 tahun atau lebih yaitu 7 orang (58,3%), sedangkan untuk responden yang mengalami menstruasi pertama
sebelum 12 tahun sebanyak 5 orang (41,7%).
2. Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi
Paling banyak responden dengan tingkat pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 102 orang (94,4%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan yang rendah sebanyak 6 orang (5,6%). Hal ini sesuai dengan hasil diskusi bersama kedua kelompok FGD yang dimana kedua kelompok tersebut memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang tinggi.
3. Sikap Terhadap Perilaku Seksual
Paling banyak responden dengan sikap positif yaitu sebanyak 78 orang (72,2%), sedangkan responden dengan sikap
negatif sebanyak 30 orang (27,8%). Hasil diskusi dengan kelompok laki-laki menguatkan sikap positif terhadap perilaku seksual dengan mengatakan setuju untuk melakukan hubungan seksual mulai dari yang berisiko ringan hingga berisiko berat.
4. Pola Komunikasi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual
Paling banyak responden dengan pola komunikasi orangtua yang fungsional yaitu sebanyak 71 orang (65,7%), sedangkan responden dengan pola komunikasi orangtua yang disfungsional sebanyak 37 orang (34,3%). Berdasarkan hasil diskusi dengan kelompok siswa laki-laki dapat disimpulkan hampir seluruh atau empat dari enam informan memiliki pola komunikasi disfungsional dengan tidak berjalannya proses diskusi dalam keluarga.
5. Kekuatan Keluarga Terhadap Perilaku Seksual
Paling banyak responden dengan tingkat kekuatan keluarga yang baik yaitu 81 orang (75%), sedangkan responden dengan tingkat kekuatan keluarga yang kurang baik sebanyak 27 orang (25%). Kesimpulan dari hasil diskusi dengan kelompok siswa perempuan memperkuat hasil analisa distribusi responden dengan tingkat kekuatan keluarga yang baik.
6. Perilaku Seksual
Paling banyak responden dengan risiko perilaku seksual yang ringan yaitu 56 orang (51,9%), sedangkan responden dengan risiko berat sebanyak 52 orang (48,1%). Hasil diskusi dengan kelompok siswa laki-laki menguatkan hasil analisa distribusi responden dengan menunjukan terdapat tiga informan memiliki perilaku seksual berisiko berat dan tiga informan lainnya dengan perilaku seksual berisiko ringan.
B. Analisis Bivariat
1. Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Seksual
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Jenis Kelamin
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N % Laki-Laki 50 52,1 46 48 96 100 5,4 1,1 – 26,1 0,045 Perempuan 2 17 10 83 12 100 Total 52 48,1 60 51,9 108 100
Nilai Odds Rasio yaitu 5,4 artinya responden laki-laki mempunyai peluang 5 kali memiliki risiko
perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden perempuan.
2. Hubungan Umur dengan Perilaku Seksual
Distribusi Rata-Rata Umur Menurut Risiko Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Perilaku Seksual Mean SD SE P value N
Berisiko Berat 15,75 0,71 0,1
0,063 52
Berisiko Ringan 15,52 0,57 0,08 56
Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,063, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan
pada umur antara remaja dengan risiko perilaku seksual berat dan remaja dengan risiko perilaku ringan.
3. Hubungan Usia Pubertas (Laki-Laki) dengan Perilaku Seksual
Distribusi Responden Menurut Usia Pubertas (Laki-Laki) dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Usia
Pubertas (Laki-Laki)
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N %
14 Tahun atau Lebih 18 46,2 21 53,8 39 100 0,67
0,3 – 1,5 0,451
Sebelum 14 Tahun 32 56,1 25 43,9 57 100
Total 50 52,1 46 47,9 96 100
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,451 maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden yang
mengalami pubertas pada usia 14 tahun atau lebih dengan responden yang mengalami pubertas sebelum 14 tahun.
4. Hubungan Usia Pubertas (Perempuan) dengan Perilaku Seksual
Distribusi Responden Menurut Usia Pubertas (Perempuan) dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Usia Pubertas (Perempuan)
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI)
P value
Berat Ringan
N % N % N %
12 Tahun atau Lebih 1 14,3 6 85,7 7 100 0,7
0,03 – 14,03 0,79
Sebelum 12 Tahun 1 20,0 4 80 5 100
Total 2 16,7 10 83,3 12 100
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,79 maka dapat disimpulkan pada alpha 5%
tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden yang
mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau lebih dengan responden yang
mengalami pubertas sebelum 12 tahun.
5. Hubungan Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013 Pengetahuan
tentang Kespro
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N % Rendah 5 83,3 1 85,7 6 100 5,9 0,6 – 51,9 0,18 Tinggi 47 46,1 55 80 102 100 Total 52 48,1 56 51,9 108 100
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,18 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan tingkat pengetahuan tinggi ataupun rendah. Berdasarkan hasil kesimpulan dari diskusi dengan kedua kelompok
FGD yang diambil menurut jawaban seluruh informan memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang tinggi namun tiga informan laki-laki diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat.
6. Hubungan Sikap terhadap Perilaku Seksual dengan Perilaku Seksual Distribusi Responden Menurut Sikap terhadap Perilaku Seksual dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013 Sikap
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N % Negatif 23 76,7 7 23,3 30 100 5,6 2,1 – 14,6 0,001 Positif 29 37,2 49 62,8 78 100 Total 52 48,1 56 51,9 108 100
Nilai Odds Rasio yaitu 5,6, artinya responden dengan sikap negatif mempunyai peluang 6 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden
dengan sikap positif. Hasil yang didapatkan dari kedua kelompok FGD menyatakan bahwa terdapat lima informan laki-laki yang bersikap permisif terhadap perilaku seksual berisiko berat
namun hanya tiga informan yang melakukan perilaku seksual berisiko berat dan seluruh informan perempuan
bersikap negatif terhadap perilaku seksual berisiko berat.
7. Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Seksual Distribusi Responden Menurut Pola Komunikasi Orang Tua
dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013 Pola
Komunikasi
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N % Disfungsional 32 86,5 6 13,5 37 100 16,3 5,6 – 47,8 0,0001 Fungsional 20 28,2 51 71,8 71 100 Total 52 48,1 56 51,9 108 100
Nilai Odds Rasio yaitu 16,3, artinya responden dengan pola komunikasi disfungsional mempunyai peluang 16 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden
dengan pola komunikasi
fungsional.Hasil yang dapat disimpulkan dari diskusi dengan kedua kelompok FGD mengenai pola komunikasi terhadap perilaku seksual berisiko
menyatakan bahwa seluruh informan laki-laki tidak pernah berdiskusi mengenai kesehatan reproduksi remaja dengan orangtua dan tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat. Sedangkan seluruh informan perempuan memiliki pola komunikasi fungsional dan tidak memiliki perilaku seksual berisiko berat.
8. Hubungan Kekuatan Keluarga dengan Perilaku Seksual
Distribusi Responden Menurut Kekuatan Keluarga dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Kekuatan Keluarga
Risiko Perilaku Seksual
Total OR (95% CI) P value Berat Ringan N % N % N % Kurang Baik 17 63 10 37 27 100 2,2 0,9 – 5,5 0,12 Baik 35 43,2 46 56,8 81 100 Total 52 48,1 56 51,9 108 100
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,12 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan kekuatan keluarga yang baik ataupun kurang baik. Berdasarkan hasil diskusi dengan kedua kelompok FGD, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat informan laki-laki dengan kekuatan keluarga yang baik namun tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat.
Diskusi
A. Variabel Dependen
Perilaku Seksual Berisiko Pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hasil analisis univariat menunjukan sebanyak 52 responden (48%) siswa dari 108 responden kelas X SMK M di Jakarta, berperilaku seksual berisiko berat dan sisanya sebanyak 56 responden (52%) berperilaku seksual berisiko ringan. Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa setengah dari jumlah responden kelas X tersebut berperilaku seksual berisiko berat. Sesuai dengan definisi operasional bahwa siswa yang termasuk dalam risiko berat yaitu siswa
yang telah melakukan cium bibir, lidah dan leher, meraba daerah erogen (sensitif) dan berhubungan seksual. Hasil analisis ini diperkuat dengan adanya kesimpulan dari kelompok diskusi yakni tiga informan laki-laki yang sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja salah satunya adalah faktor lingkungan, dalam hal ini terman sebaya (peer group). Pada masa remaja, kedekatan lebih banyak diberikan pada teman sebaya, karena ikatan teman sebaya dapat menggatikan ikatan keluarga, sehingga remaja akan mengikuti norma yang dianut oleh kelompoknya.
B. Variabel Independen
Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebanyak 50 orang (52,1%) responden laki-laki dengan risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara responden perempuan ada 2 orang (17%) yang berisiko berat. Berdasarkan nilai OR, laki-laki memiliki kecenderungan memiliki perilaku
seksual berisiko berat lima kali lebih besar dibandingkan perempuan dan ada hubungan seksual yang signifikan anatara jenis kelamin dan perilaku seksual remaja pada siswa kelas X SMK M. Hal ini sesuai dengan konsep yang kemukakan oleh Parson (1955, dalam Sprinthall dan Collins, 1995) dan Archer (1991, dalam Humphreys dan Campbell, 2004) bahwa anak laki-laki akan mengalami perilaku agresif dan dominan. Tnibodeu dan Patton (2007) menyatakan bahwa peningkatan hormon androgen remaja yang memasuki masa pubertas akan meningkatkan pertumbuhan seks sekunder, sehingga hal ini mengakibatkan anak yang mengalami masa pubertas mudah terangsang oleh perempuan (Astuti, 2007).
Hubungan Umur dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui rata-rata siswa yang memiliki perilaku berisiko berat berumur 15,75 dengan jumlah 52 siswa dan yang memiliki perilaku berisiko ringan berumur 15, 52 dengan jumlah 56 siswa. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p=0,063, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan pada umur antara remaja dengan risiko perilaku seksual berat dan remaja dengan risiko perilaku ringan. Hal ini dimungkinkan karena selisih umur yang tidak jauh berbeda pada responden satu dengan lainnya dan mereka tinggal dalam lingkungan yang sama. Hasil yang sama juga ditunjukan pada peneliti yang dilakukan oleh Hudayanti (2013) mengenai perilaku seksual remaja di Blitar. Dengan demikian, risiko perilaku seksual pranikah merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dalam masa remaja terjadi perkembangan seksualitas sehingga para remaja umumnya memiliki dorongan seksual yang besar dimana dapat berpotensi mendorong remaja tersebut melakukan hubungan seksual sebelum waktunya.
Hubungan Usia Pubertas dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Pada analisa bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara usia pubertas dengan perilaku seksual berisiko. Hal ini dapat dilihat dari responden laki-laki
yang mengalami pubertas pada usia 14 tahun atau lebih ada sebanyak 46% dengan perilaku seksual berisiko berat sedangkan pada responden laki-laki yang mengalami pubertas sebelum usia 14 tahun ada 56% yang berperilaku seksual berisiko berat dengan nilai p=0,451. Sedangkan untuk responden perempuan yang mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau lebih dengan perilaku seksual berisiko berat berjumlah 14% dan yang mengalami pubertas sebelum usia 12 tahun sebanyak 20% berperilaku seksual berisiko berat dengan nilai p=0,79. Maka dapat disimpulkan antara responden dengan usia pubertas dini dengan usia pubertas normal tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku. Hal ini berarti umur tidak mempengaruhi perilaku seksual, artinya semua remaja berisiko untuk melakukan perilaku seksual berisiko. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sukarni (2011) dan penelitian Ika Puspita Sari (2013). Tetapi penelitian yang dilakukan Nursal (2007) menunjukan ada hubungan antara usia pubertas dengan perilaku seksual berisiko. penelitian yang dilakukan Nursal sejalan dengan hasil analisa WHO (2004) bahwa
pubertas dini merupakan fakto risiko perilaku seksual.
Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hasil dari uji statistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku seksual berisiko. Data yang ada menunjukan bahwa ada sebanyak 5 orang (83,3%) responden dengan pengetahuan rendah memiliki risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara responden dengan tingkat pengetahuan tinggi ada 47 orang (46,1%) yang berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,18 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan tingkat pengetahuan tinggi ataupun rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukma (2012) yang memaparkan responden yang berpengetahuan baik sebesar 39,6% memiliki perilaku seksual berisiko sedangkan yang berpengetahuan rendah, sebesar 38,5% memiliki perilaku seksual berisiko.
Hubungan Sikap Terhadap Perilaku Seksual dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Berdasarkan hasil uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap permisif (negatif) terhadap jenis-jenis perilaku seksual dengan perilaku seksual berisiko di SMK M kelas X. Hasil uji tersebut memperlihatkan 76,% responden yang bersikap permisif, memiliki perilaku seksual yang berisiko, sedangkan responden yang tidak bersikap permisif (positif) ada sebesar 37,2% yang memiliki perilaku seksual berisiko. Berdasarkan nilai OR responden dengan sikap negatif mempunyai peluang 6 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden dengan sikap positif. Sikap permisif remaja SMK M terhadap jenis-jenis perilaku seksual dapat disebabkan karena kegiatan seksual merupakan suatu kebutuhan yang utama dalam hidup manusia, sesuai dengan teori kebutuhan yang diungkapkan oleh Maslow, dikutip dari Sukma (2012) membagi kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur dan seks
2. Kebutuhan akan rasa aman Dua kebutuhan diatas tersebut disebut kebutuhan primer.
3. Kebutuhan untuk dicintai dan mencintai
4. Kebutuhan untuk dihargai 5. Kebutuhan rasa puas
Sehingga dengan menyadari bahwa seks adalah termasuk kebutuhan utama yang tidak terelekan, maka mereka cenderung menerima keadaan lingkungan sekitar yang melakukan kegiatan seksual tersebut sekalipun merupakan tindakan yang berisiko.
Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Pada analisis bivariat terdapat hubungan yang bermakna antara pola komunikasi orangtua dengan perilaku seksual bersiko sebesar p=0,0001 dan nilai Odds Rasio yaitu 16,3, artinya responden dengan pola komunikasi disfungsional mempunyai peluang 16 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden dengan pola komunikasi fungsional. Hal
ini sejalan dengan penelitian Mu’tadin (2002) keengganan orang tua dalam keluarga untuk membicarakan masalah reproduksi menyebabkan remaja mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Remaja mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak adanya layanan dan informasi bagi remaja serta kurangnya komunikasi antara anak remaja dan orang tua dalam keluarga. Seluruh remaja laki-laki yang menjadi responden penelitian ini menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertanya mengenai kesehatan reproduksi dan bercerita mengenai masalah pribadi dikarenakan malu, takut dimarahi dan orangtua tidak mengerti topik pembicaraan sedangkan empat dari enam informan perempuan menyatakan bahwa mereka terkadang mendiskusikan masalah mengenai kesehatan reproduksi kepada ibu mereka. Sejalan dengan hasil diskusi dengan responden remaja, hasil yang sama menunjukan bahwa orangtua mengakui bahwa anak tidak pernah bertanya mengenai masalah kesehatan reproduksi dikarenakan orangtua masih
menganggap tabu hal tersebut dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi remaja. Komunikasi yang tepat dalam keluarga sangat penting untuk kehidupan remaja. Pola komunikasi yang baik adalah pola komunikasi yang terbuka karena akan terjalin komunikasi yang terbuka.
Hubungan Kekuatan Keluarga dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hasil analisis hubungan kekuatan keluarga dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 17 orang (63%) responden dengan kekuatan keluarga yang kurang baik memiliki risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara responden dengan kekuatan keluarga yang baik ada 35 orang (43,2%) yang berisiko berat. Dengan nilai p=0,12 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan kekuatan keluarga yang baik ataupun kurang baik. Berdasarkan hasil diskusi dengan enam informan siswa laki-laki, empat diantaranya mengatakan terkadang mematuhi peraturan yang ditetapkan
oleh orangtua dan dua informan lainnya selalu menyetujui peraturan orangtua namun tiga diantaranya melakukan perilaku seksual berisiko berat sedangkan hanya terdapat dua informan perempuan yang selalu menyetujui keputusan yang telah ditetapkan oleh orangtua namun seluruh informan perempuan tidak berisiko berat dalam berperilaku seksual. Hasil diskusi dengan informan remaja sejalan dengan wawancara orangtua yang menyatakan bahwa mereka mempunyai ketetapan bagi anak mereka yaitu penentuan batas jam keluar malam untuk menghindari anak dari pergaulan negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian Purbani (2001) dan Mulyadi (2009) bahwa harapan dan perasaan remaja saat memasuki masa pubertas menginginkan peran orangtua dalam mengontrol diri remaja dan memberikan dukungan selama masa transisi remaja sehingga dapat menghindari kehidupan berperilaku seksual berisiko.
Kesimpulan
1. Hampir separuh dari jumlah responden 48,1% (52 responden) termasuk dalam kategori remaja berperilaku seksual berisiko berat. Tiga
informan laki-laki memiliki perilaku seksual berisiko berat yakni sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah semenjak usia Sekolah Menengah Pertama dan seluruh informan perempuan berperilaku seksual berisiko ringan.
2. Berdasarkan jenis kelamin remaja kelas X SMK M, menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perilaku seksual berisiko remaja. Remaja laki-laki cenderung melakukan perilaku seksual berisiko lima kali lebih besar dibandingkan remaja perempuan.
3. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada umur remaja yang melakukan perilaku seksual berisiko berat dengan remaja berperilaku seksual berisiko ringan.
4. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada usia pubertas remaja laki-laki dan perempuan yang melakukan perilaku seksual berisiko berat dengan remaja berperilaku seksual berisiko ringan.
5. Hasil penelitian menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik dengan perilaku
seksual berisiko berat. Seluruh informan dari kedua kelompok FGD memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang tinggi namun tiga informan diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat termasuk untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
6. 76% remaja yang memiliki sikap permisif tinggi terhadap seksualitas mempunyai kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko berat enam kali lebih besar dibandingkan remaja yang memiliki sikap permisif rendah terhadap seksualitas remaja. Dari kedua kelompok FGD terdapat lima informan laki-laki yang bersikap permisif terhadap perilaku seksual dan tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat.
7. 86,5% responden dengan pola komunikasi disfungsional memiliki perilaku seksual berisiko berat dan memiliki peluang 16 kali lebih besar melakukan perilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja dengan pola komunikasi fungsional. Hasil FGD kedua kelompok yaitu seluruh informan laki-laki memiliki pola komunikasi disfungsional dan tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat.
8. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kekuatan keluarga dengan perilaku seksual berisiko berat pada remaja kelas X SMK M.
Saran
Khusus untuk orangtua diharapkan untuk mampu menjalin komunikasi dan hubungan yang baik serta meningkatkan kontrol sosial kepada anak remaja agar terhindar dari lingkungan yang buruk dan perilaku negatif, Mengetahui dampak dari perbuatan seksual pranikah seperti aborsi, penyakit menular seksual dan kehamilan tidak diinginkan, sehingga remaja sebisa mungkin dapat menghindari kontak fisik pada bagian tubuh erogen dan bagi peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan dan mengkaji lebih dalam mengenai pola komunikasi dan kekuatan keluarga dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual.
Kepustakaan
Adnani Hariza dan Widowati Citra. 2009. Motivasi Belajar dan Sumber-Sumber Informasi Tentang Kesehatan Reproduksi Dengan Perilaku Seksual Remaja
Di SMUN 2 Banguntapan
Medika Yogyakarta. --- diunduh pada tanggal 22 April 2013
Gunarsa. 2004. Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia
Hariyanto. 2009. Karakteristik Remaja. Belajarpsikologi.com --- diunduh pada tanggal 11Februari 2013 Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi
Perkembangan : Suatu
Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta :
Erlangga, hlm.207
Husna Hadianti, Nur. 2013.
Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Remaja di 3 SMAN Kabupaten Blitar Tahun 2012. Skripsi. Universitas
Indonesia.
Kusmiran Eny. 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita.
Jakarta: Salemba Medika. Lestari, Sukma. 2012. Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Warga Binaan Pemasyarakatan Wanita di Rumah Tahanan Klas IIA Jakarta Timur. Skripsi. Universitas Indonesia
Ningtias, Isusilawati. 2011. Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan
Pornografi dan Perilaku Seksual pada Siswa SMAN 1 Parigi Kabupaten Ciamis. Skripsi. Universitas Indonesia
Nurhayati. 2011. Hubungan Pola
Komunikasi dan Kekuatan
Keluarga Dengan Perilaku
Seksual Berisiko Pada Remaja di Desa Tridaya Sakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi. Tesis. Universitas Indonesia.
Puspita Sari, Ika. 2013. Hubungan Pola
Komunikasi Orangtua Dengan Perilaku Seksual Berisiko Pada Remaja Di SMA Tunas Harapan Jakarta Tahun 2013. Skripsi.
Universitas Indonesia
Rahmawati, Suci. 2008. Hubungan
Antara Keadaan Keluarga Dengan Perilaku Pengguna
Narkoba Pada Siswa/I Negeri 20 Jakarta Tahun 2008. Skripsi.
Universitas Indonesia. Santrock. 2003. Adolescence
Perkembangan Remaja.Jakarta:
Erlangga.
Sukarni.2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja di SMK Kesehatan Al-Ikhlas Kabupaten Bogor.