• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Karakteristik Protein Allergen Belalang Sawah (Oxya chinensis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Karakteristik Protein Allergen Belalang Sawah (Oxya chinensis)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Karakteristik Protein

Alergen Belalang Sawah

(Oxya chinensis)

Effect of Processing on Characteristic of Protein Allergen of Grasshopper

(Oxya chinensis)

Hendra Wijaya

a

, Sri Yadial Chalid

b

, Annisa Thaharah

b

, Adityo Fajar Nugroho

a

aBalai Besar Industri Agro (BBIA), Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122

bUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Cempaka Putih Ciputat Tangerang Selatan 15412

faizawijaya@gmail.com

Riwayat Naskah:

Diterima 12, 2018 Direvisi 02, 2019 Disetujui 03, 2019

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh proses pengolahan belalang terhadap karakteristik protein alergen belalang. Proses pengolahan belalang yang dilakukan adalah penggorengan, perebusan dan perendangan. Karakterisasi protein alergen dilakukan dengan metode Bradford, elektroforesis, dan immunoblotting. Hasil penelitian menunjukkan jenis belalang yang digunakan adalah Oxya chinensis. Hasil analisis proksimat belalang mentah, rebus, goreng dan rendang adalah kadar air berkisar antara 7,62 - 71,46%, kadar abu 0,78 - 4,97%, kadar protein 17,00 - 23,18%, kadar lemak 6,02 -55,44% dan kadar karbohidrat 0,66 - 20,50%. Konsentrasi protein ekstrak belalang mentah, rebus, goreng dan rendang masing-masing adalah 7222,25; 893,97; 703,43 dan 1123,08 mg/L. Profil protein pada ekstrak belalang dengan beberapa proses pengolahan adalah antara

5 – 250 kDa dengan jumlah pita protein antara 8 - 22 buah. Bobot molekul protein belalang mentah yang berikatan dengan IgE spesifik responden adalah 70 kDa, belalang rebus adalah 66; 86; 150 dan >250 kDa, belalang goreng adalah 150 dan >250 kDa dan belalang rendang adalah 24; 150 dan >250 kDa. Berat molekul protein tidak mempengaruhi tingkat alergenitas melainkan dipengaruhi struktur protein. Pengaruh tersebut dapat diketahui dari banyaknya berat molekul protein yang berikatan dengan IgE spesifik. Pengolahan dengan cara digoreng, direndang dan direbus berpengaruh terhadap profil protein alergen belalang.

Kata kunci: Alergen, belalang, cara pengolahan, elektroforesis, immunoblotting

ABSTRACT: This research aims to study the effect of grasshopper processing on the characteristics of grasshopper allergen proteins. The grasshopper processing included frying, boiling, and rendang. The allergen proteins were characterized by using Bradford, electrophoresis, and immunoblotting. The results showed the type of grasshopper used was Oxya chinensis. The results of the proximate analysis of raw grasshoppers, boiled, fried, and rendang revealed that the water content ranged from 7.62 -71.46, the ash content ranged from 0.78 - 4.97%, the protein content ranged from 17.00 - 23.18%, the fat content ranged from 6.02 - 55.44% and the carbohydrate content ranged from 0.66 - 20.50%. The concentration of extract protein of raw grasshoppers, boiled, fried, and rendang were 7222.25; 893.97; 703.43 and 1123.08 mg/L. The protein profiles of grasshoppers exctract with some processing ranged from 5 – 250 kDa with protein bands ranged 8 – 22. The weight of protein molecules of raw grasshoppers that could binding with specific IgE was 70 kDa, the boiled grasshoppers was 66; 86; 150 and >250 kDa, the fried grasshoppers was 150 and >250 kDa, rendang grasshoppers was 24; 150 and >250 kDa. The processing by means of boiling, frying, and rendang had an effect on the profile of grasshopper allergen proteins.

(2)

1. Pendahuluan

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan oleh sistem imun dari dalam tubuh manusia yang merupakan respon terhadap substansi asing yang berasal dari luar tubuh yang biasa disebut dengan antigen atau alergen dimana pada saat-saat tertentu bisa menimbulkan kematian (Boye, 2010, Munasir, 2010 & Pawankar, 2011). Menurut Surbakti (2016), hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dikenal sebelumnya. Alergi dapat disebabkan oleh alergen yang terdapat dalam bahan pangan. Alergi pangan adalah reaksi imunologis yang dihasilkan dari konsumsi, inhalasi atau kontak atopi dari makanan dimana makanan atau komponen makanan bertindak sebagai antigen atau hapten yang menstimulasi produksi antibodi dan berinteraksi dengan sistem imun menghasilkan reaksi alergi (Yulianto, 2009, Blackwell, 2012 & Boye, 2012).

Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian alergi terus meningkat tajam baik di dalam negeri maupun luar negeri. World Allergy Organization (WAO) menyebutkan 22% penduduk dunia menderita alergi dan kondisi ini seperti fenomena gunung es sehingga jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya (Yue, 2018 & Candra, 2011). Menurut data, benua Asia menjadi wilayah dengan penderita alergi pangan terbanyak dibandingkan dengan benua lainnya (Elucidare, 2011). Reaksi alergi dapat melepaskan histamin yang bisa menimbulkan gejala klinis ringan hingga berat. Gejala ringan diantaranya urtikaria, pembengkakan dan gatal di kulit. Gejala berat diantaranya urtikaria, angioedema, muntah, nyeri perut, diare hingga anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian (Li, Xie, & Zhou, 2017 & Heryati, 2009).

Menurut data dari Food and Drugs Administration (FDA, 2004), terdapat 8 (delapan) sumber alergen dari bahan pangan. Sumber alergen utama adalah protein yang terdapat dalam kacang tanah, kacang polong, susu sapi, ikan, kerang, telur, kedelai dan gandum (Gupta, 2013 & Wulansary, 2015). Menurut Soleha (2012), alergen di alam dapat berupa serbuk sari, debu, tungau, spora jamur, obat, racun serangga dan bahan makanan. Protein yang terdapat pada serangga juga dapat disebut sebagai protein alergen. Salah satu media yang dapat ditempati oleh serangga adalah partikel debu. Alergi debu dikarenakan adanya binatang tungau yaitu sejenis serangga yang ada di dalam debu. Tungau merupakan salah satu sumber protein alergen. Hal ini membuktikkan bahwa serangga yang terdapat di alam sekitar merupakan sumber protein alergen.

Belalang memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai produk makanan dengan berbagai

pengolahan (Falahudin et al, 2015). Belalang juga merupakan salah satu makanan alternatif yang dapat dikonsumsi karena ketersediaannya yang banyak dan sebagian besar belalang dapat dikonsumsi. Terdapat delapan puluh jenis belalang dapat dikonsumsi secara aman (Astami, 2016 & Kuntadi, 2018). Belalang sawah (Oxya chinensis) adalah serangga yang berwarna hijau, memiliki ciri ukuran bentuk tubuh sedang sampai besar ada yang bersayap dan ada yang tidak bersayap (Pratiwi, 2017). Belalang dapat ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain di Gunung kidul, Yogyakarta dan Sawahlunto, Sumatera Barat. Belalang yang dikonsumsi masyarakat diolah dalam berbagai bentuk seperti, goreng, rendang, nugget, kerupuk, dan sosis. Pengolahan belalang ini membuktikan bahwa belalang merupakan makanan yang umum di kalangan masyarakat. Banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi belalang menjadi ketertarikan utama untuk dilakukan penelitian tentang protein alergen pada belalang.

Penelitian ini dilakukan karena adanya dugaan bahwa serangga dengan jenis belalang sawah memiliki jenis protein alergen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil protein alergen pada belalang sawah dan pengaruh pengolahannya terhadap alerginisitas. Pada penelitian ini dilakukan beberapa perbedaan pengolahan pada sampel, yaitu belalang mentah, goreng, rebus, dan rendang. Hal ini dilakukan karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan dapat mempengaruhi alergenisitas pangan. Palupi et al. (2015) menyimpulkan bahwa proses pengolahan bahan pangan mempengaruhi bobot molekul dan sifat alergenisitas. Jenis pangan yang digunakan untuk penelitian adalah kacang kedelai dan kacang Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2018) menyatakan bahwa proses roasted kacang tanah lebih berpengaruh terhadap alergenisitas dibandingkan proses perebusan. Angelis et al, (2018) mempelajari pengaruh otoklaf terhadap sifat alergenisitas kacang almond dan menyatakan otoklaf tidak berpengaruh terhadap daya cerna alergen. Menurut Verhoeckx et al. (2015), proses

pengolahan panas dan nonpanas dapat

mempengaruhi sifat alergenisitas protein alergen. Proses fermentasi dan hidrolisis berpotensi mengurangi sifat alergenisitas produk. Reaksi Mailard juga berpengaruh terhadap alergenisitas (Toda et al., 2019). Proses microwave dapat mengurangi alergenisitas pada pengolahan susu (El et al., 2018). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang protein alergen yang terkandung pada belalang dan bagi penderita alergi dapat mendapatkan informasi tentang proses pengolahan bahan pangan yang memiliki efek yang kecil terhadap timbulnya reaksi alergi.

(3)

2. Bahan dan Metode

2.1. Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah belalang sawah yang diperoleh dari Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Serum darah manusia diperoleh dari 15 subyek penderita alergi serangga. Bahan kimia yang digunakan antara lain, PBS (phosphate buffer saline) pH 7.5, buffer tris pH 8,8 dan pH 6,8, NaOH, HCl, Na3PO4, (NH4)2S2O8, CH3OH,

K2SO4, C2H5OH 95%, H3PO4, CH3COOH, akuades,

tween-20, TEMED (N,N,N',N'-tetramethyl-ethane-1,2-diamine), tris base, SDS (sodium dodecyl sulphate), BSA (bovine serum albumin), C3H5NO

(akrilamida), C2H5NO2 (glisin), TBS (tris bufer saline),

akuabides, Coomasie Brilliant Blue G-250, antibodi anti IgE manusia berlabel enzim HRP (horseradish peroksidase), substrat DAB (3,3-Diaminobenzidine), substrat TMB (3,3′,5,5′Tetramethylbenzidine), N,N-metilen-bisakrilamid dan marker protein Precision Plus Protein™ Dual Color Standards.

2.2. Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, sentrifuse, alat - alat pengolahan, SDS-PAGE Bio-Rad Mini-Protean II, immunoblotting Mini Trans-Blot® Electrophoretic Transfer, spektrofotometer UV-VIS, water bath, freeze dryer, inkubator, evaporator, nitrocellulose membranes for blotting pore size 0.45 μm, size 15 cm x 15 cm (Sigma N8267), timbangan analitik, pH meter, vortex, stirrer, termometer, labu takar, gelas ukur, gelas piala, tabung Eppendorf, mikropipet 5 μL hingga 1000 μL, kertas saring Whatman No.1 dan kertas saring biasa.

2.3. Metode

2.3.1. Karakterisasi bahan baku

Karakterisasi belalang sawah meliputi identifikasi jenis spesies dan analisis proksimat. Identifikasi jenis spesies dilakukan dengan cara membandingkan specimen yang telah teridentifikasi di Laboratorium Entomologi LIPI Cibinong, Bogor

dengan menggunakan beberapa literatur

diantaranya ordo Odonata, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, Lepidoptera, Ngengat dan Orthoptera. Selain itu juga dilakukan pembuatan kunci identifikasi yang terdiri dari analisa karakter morfologi, pembuatan matriks dan pemilahan dalam kelompok besar dan kecil. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat yang terkandung di dalam bahan baku.

2.3.2. Preparasi bahan baku

Sebanyak 200 gram bahan baku belalang sawah (Oxya chinensis) segar di dapatkan di daerah Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Sebelum diekstraksi, sampel belalang sawah diolah dengan beberapa proses yang berbeda, yaitu goreng, rebus dan rendang.

2.3.3. Ekstraksi protein (Hashimoto, Watabe, Kono, & Shiro, 1979)

Sampel belalang sawah mentah, rebus, goreng, dan rendang masing–masing ditimbang sebanyak 20 gram lalu dimasukkan ke dalam blender kemudian ditambahkan 200 mL buffer posfat pH 7,5 dan dihomogenkan selama 1 menit dengan kecepatan 1900 rpm sebanyak 3 kali pengulangan. Campuran yang terbentuk disentrifugasi dengan kecepatan 4200 rpm selama 25 menit pada suhu alat 4 0C. Hasil

sentrifugasi terdiri dari lapisan atas berupa supernatan dan lapisan bawah berupa residu endapan. Supernatan yang merupakan ekstrak protein diambil dan dimasukkan dalam tabung sentrifus 50 ml, lau disimpan pada suhu -20 0C

.

2.3.4. Analisis kadar protein (Bradford, 1976) Sebanyak 100 µL ekstrak protein dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi gelap, kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford. Larutan diinkubasi selama 5 menit kemudian dihomogenkan dengan menggunakan Vortex dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang λ = 595 nm. Larutan standar dan sampel diukur secara bersamaan. 2.3.5. Analisis profil protein dengan metode

elektroforesis (Laemmli, 2011)

Sebanyak 40 μL ekstrak protein masing-masing bahan baku ditambah 40 μL sampel buffer yang mengandung Sodium Dodecyl Sulphate, basa tris pH 6,8 dan β-merkaptoetanol, kemudian dipanaskan pada air mendidih selama 5 menit untuk mendenaturasi protein. Sebanyak 15-35 μL sampel diinjeksikan ke dalam sumur gel akrilamida yang terdiri atas stacking gel 5% dan separating gel 12%. Sedangkan protein marker protein Precision Plus Protein™ Dual Color Standards diinjeksikan sebanyak 5 μL. Peralatan SDS-PAGE dijalankan pada arus listrik 90 V selama 120 menit. Gel diangkat dan diwarnai dengan pewarna Coomasie Brilliant Blue G-250 kemudian dibilas dengan akuades. Setelah itu, ditambahkan destaining solution sampai muncul pita berwarna biru pada gel.

(4)

2.3.6. Preparasi serum penderita alergi (Zakaria, A, Ispurwanto, & Rahman, 1998)

Serum darah diambil dari 15 responden penderita alergi serangga dan 1 responden normal atau tidak alergi yang diketahui melalui kuisioner dan persetujuan masing-masing responden. Pengambilan serum darah dilakukan di tiga tempat yaitu di Kab. Sijunjung, kota Jember dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tangerang yang dilakukan oleh dokter dan analis kesehatan. Kualifikasi responden yang dipilih adalah yang mempunyai riwayat alergi serangga dan bahan pangan lainnya. Setiap responden diambil darahnya sebanyak 10 mL. Darah ditempatkan dalam tabung vacutainer tanpa mengandung EDTA. Darah penderita alergi dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan serumnya dengan cara sentrifugasi. Darah yang diperoleh didiamkan selama 1 jam, lalu disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 2500 rpm. Supernatan sebanyak ± 5 mL merupakan serum yang mengandung IgE dan disimpan pada suhu -20 °C.

2.3.7. Analisis profil protein allergen dengan metode immunoblotting (Bollag & Edelstein, 1991) Gel hasil elektroforesis yang tidak diwarnai ditransfer ke membran nitroselulosa (0.45 μm). Gel dan membran nitroselulosa disusun dalam alat transblotting, lalu diisi dengan bufer transfer. Blotting ini dilakukan pada 90 V selama 90 menit. Setelah selesai blotting, membran dilepas dari rangkaian alat dan direndam atau difiksasi dengan metanol 50% selama 2 menit, lalu diblok dengan susu skim 5% dalam PBST selama 1 jam pada suhu kamar. Membran dicuci dengan PBST 3 kali, masing-masing selama 5 menit. Setelah dicuci, membran ditambah serum penderita alergi serangga dengan pengenceran 1:10 dalam PBST, dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar. Pencucian dilakukan lagi dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit, lalu diberi antibodi HRP conjugated monoclonal mouse anti-human IgE (pengenceran 1:3000 dalam PBST) dan diinkubasi selama 1 jam sambil digoyang. Setelah itu, membran dicuci kembali dengan PBST sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit, dan ditambah substrat DAB (3,3-Diaminobenzidine). Hasil deteksi positif kompleks protein alergen dengan serum ditandai dengan terbentuknya pita berwarna coklat pada membran nitroselulosa.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakterisasi bahan baku

Identifikasi belalang dilakukan untuk mengetahui jenis spesies belalang yang digunakan. Identifikasi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong dan diperoleh data bahwa spesies belalang sawah yang digunakan merupakan Oxya chinensis. Gambar 1 menunjukkan belalang sawah yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini. Belalang sawah yang digunakan memiliki tubuh berwarna hijau dan terdapat corak hitam pada bagian punggung atas tubuhnya. Tubuh belalang terdiri dari 3 bagian utama, yaitu kepala, dada (thorax) dan perut (abdomen). Berdasarkan hasil identifikasi spesies di Laboratorium Entomologi LIPI Cibinong, belalang memiliki 6 (enam) kaki

bersendi, 2 pasang sayap, dan 2 antena. Kaki belakang yang panjang digunakan untuk melompat sedangkan kaki depan yang pendek digunakan untuk berjalan. Belalang tidak memiliki telinga, tetapi dapat mendengar. Belalang memiliki 2 mata dan 2 sayap. Jumlah kaki yang ada pada belalang adalah 3 pasang.

Gambar 1. Belalang sawah (Oxya chinensis)

Tabel 1.

Hasil analisis proksimat belalang sawah (Oxya chinensis)

Bahan Baku

Komponen (%)

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Belalang mentah 67,70 1,46 23,18 6,02 1,64 Belalang rebus 71,46 0,78 19,80 7,30 0,66 Belalang goreng 19,50 1,69 17,00 41,31 20,50 Belalang rendang 7,62 4,97 17,40 55,44 14,57

Hasil analisis proksimat belalang sawah ditampilkan pada Tabel 1. Penelitian Kim et al., (2017) menyatakan bahwa spesies Oxya chinensis sinuosa mengandung kadar protein 74,2%; lemak 3,03%; abu 4,4%; dan karbohidrat 18,2%. Hasil proksimat belalang mentah memiliki nilai kadar

(5)

lemak dan abu masing-masing 6,02% dan 1,46% (Kim, Weaver, & Choi, 2017). Perbedaan ditemukan pada kadar protein dan karbohidrat. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya jenis belalang yang tidak spesifik sama dan lingkungan hidup yang dialami oleh belalang.

Kadar air belalang mentah dapat dilihat pada Tabel 1 yaitu senilai 67,70%. Belalang mentah memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa belalang tanpa melalui proses pengolahan memiliki kandungan air yang tinggi. Kadar air tertinggi terdapat pada sampel belalang rebus. Hal ini diduga karena perlakuan perebusan sampel belalang menyerap air lebih banyak selama pengolahan dilakukan. Kadar air pada sampel belalang goreng dan rendang mengalami penurunan yang sangat signifikan. Penurunan kadar air terjadi akibat adanya proses pemanasan pada saat pengolahan sampel. Belalang dipanaskan pada waktu yang cukup lama dan suhu panas yang stabil. Hal ini diduga dapat mengakibatkan menguapnya kadar air yang terkandung di dalam belalang tersebut. Kadar lemak pada belalang goreng dan

belalang rendang mengalami kenaikan

dibandingkan dengan belalang mentah dan rebus. Proses penggorengan merupakan pengolahan pangan menggunakan suhu tinggi yang dapat menurunkan kandungan lemak dan merusak vitamin dan mineral (Winarno, 1980). Lemak yang terikat pada belalang dapat rusak pada suhu tinggi dan mengalami penurunan tetapi, tingginya kadar lemak pada belalang goreng dan belalang rendang disebabkan oleh kontribusi minyak dan bumbu yang menempel pada saat proses penggorengan dan perendangan.

Kadar abu pada belalang rebus mengalami penurunan, hal diduga karena mineral-mineral yang terkandung dalam belalang ikut terbawa atau terlarut dalam air pada perebusan. Kadar abu pada belalang goreng mengalami peningkatan, hal ini diduga karena mineral yang berasal dari minyak pada saat penggorengan terserap ke dalam belalang. Kadar abu tertinggi dihasilkan dari belalang rendang, hal ini diperkirakan karena masih banyak mineral-mineral yang terserap dari bumbu rendang pada belalang. Proses pengolahan rendang melibatkan proses pengolahan pengeringan. Proses pengeringan mengakibatkan terjadinya penguraian komponen ikatan molekul air (H2O) dan juga

memberikan peningkatan terhadap kandungan gula, lemak, mineral sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar abu (Hadipernata, Rachmat, & Widaningrum, 2006).

Belalang mentah memiliki kadar protein paling tinggi yaitu 23,18%. Adanya penurunan kadar protein pada belalang rebus diperkirakan karena adanya pemanasan pada suhu 98-100 C yang dapat

merusak komposisi protein yang terkandung di dalam belalang.

Kadar protein pada belalang rebus mengalami penurunan dibandingkan belalang mentah. Hal ini diduga karena penggunaan suhu tinggi pada saat proses pengolahan dapat merusak kandungan gizi pada bahan pangan. Perebusan dapat menurunkan kadar protein karena pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya (Sundari, Almasyhuri, & Lamid, 2015).

Kadar protein yang terdapat pada belalang goreng diketahui menunjukkan hasil yang paling rendah. Dari beberapa sumber penelitian (Sundari et al., 2015; Sagiran, 2007 dan Palupi et al., 2007) menunjukkan bahwa proses menggoreng pada suhu 120 C (pan friying) dapat menurunkan kadar protein yang diakibatkan oleh terjadinya denaturasi protein. Proses pemanasan menyebabkan protein yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif akan berikatan dengan komponen lain seperti gula pereduksi yang menyebabkan reaksi Mailard. Reaksi Mailard sering terjadi selama pemanasan. Reaksi Mailard dapat merusak lisin dan sistein, menurunkan ketersediaan semua asam-asam amino termasuk isoleusin yang paling stabil. Hal tersebut menyebabkan tidak terdeteksinya protein yang dilakukan dengan metode Kjeldahl.

Kadar lemak belalang sawah meningkat jauh setelah pengolahan kecuali pada belalang rebus. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar lemak pada belalang rendang dan goreng relatif lebih tinggi. Hal ini diduga oleh adanya minyak yang terserap oleh belalang sawah tersebut yang mengakibatkan kadar lemak pada belalang sawah menjadi bertambah. Pada belalang rendang, diduga lemak yang berasal dari santan kelapa juga menjadi faktor tingginya nilai kadar lemaknya.

Adanya proses pengolahan pada bahan pangan akan menyebabkan terjadinya kerusakan lemak. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung pada suhu yang digunakan dan lamanya waktu proses pengolahan. Salah satu penyebab kerusakan akibat proses pemanasan adalah terjadinya denaturasi (Irawati, 2015 & Girsang, 2018). Makin tinggi suhu yang digunakan, maka semakin intens kerusakan lemak (Sundari et al., 2015).

3.2. Ekstrak Protein

Ekstrak protein yang telah diperoleh kemudian dihitung kadar proteinnya dengan

menggunakan metode Bradford. Hasil

perhitungan kadar protein pada belalang sawah dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar protein yang

(6)

dihasilkan sesuai dengan hasil analisis proksimat yang telah dilakukan.

Tabel 2.

Kadar protein ekstrak belalang sawah

Bahan baku Konsentrasi akhir (mg/L)

Belalang mentah 7222,25

Belalang rebus 893,97

Belalang goreng 703,43

Belalang rendang 1123,08

Kadar protein pada belalang mentah

menunjukkan nilai tertinggi dengan angka 7222,25 mg/L, sedangkan belalang goreng memiliki kadar protein terendah yaitu 703,43 mg/L. Kadar protein pada belalang rendang mengalami perbedaan, dimana pada analisis proksimat kadar protein belalang rendang lebih kecil daripada belalang rebus. Kadar protein belalang rendang yang dihasilkan lebih tinggi daripada belalang rebus. Hal ini diduga bahwa adanya faktor pengaruh protein yang dihasilkan dari bumbu rendang.

3.3. Profil protein dengan metode elektroforesis Hasil profil protein estrak protein belalang ditampilkan pada Gambar 2. Masing-masing sampel diinjeksikan dalam dua konsentrasi yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil pemisahan yang terbaik dengan menghasilkan pita-pita yang lebih terlihat jelas. Hasil profil protein belalang mentah ditampilkan pada Gambar 2. Konsentrasi ekstrak protein belalang mentah, rebus, goreng dan rendang dapat dilihat pada Tabel 3.

Variasi konsentrasi inject sampel yang berbeda tersebut bertujuan untuk menghasilkan pemisahan pita yang jelas. Pada masing – masing bahan baku belalang, pita yang jelas terbentuk terdapat pada well kedua. Dari hasil pemisahan dengan menggunakan SDS-PAGE, pita yang terbentuk pada sampel belalang mentah menunjukkan hasil terbanyak dibandingkan sampel yang lainnya belalang rebus, goreng dan rendang. Pita yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4. SDS-PAGE

merupakan teknik yang digunakan untuk

memisahkan rantai polipeptida pada protein berdasarkan berat molekul yang bermuatan di bawah pengaruh medan listrik (Rachmania et al., 2017).

Beberapa bobot molekul yang dihasilkan pada sampel belalang mentah menunjukkan nilai yang berdekatan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pita-pita yang berdekatan dan menumpuk yang dihasilkan pada gel elektroforesis. Sampel belalang

mentah memiliki banyak profil protein

dibandingkan sampel yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil analisis kadar protein sampel belalang

mentah menunjukkan nilai yang paling tinggi. Pemisahan profil protein pada gel terdeteksi sebanyak 30 pita.

M A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2

Gambar 2. Hasil SDS-PAGE Ekstrak Protein: (A1 & A2)

belalang mentah, (B1 & B2) belalang rebus, (C1 & C2) belalang goreng, (D1 & D2) belalang rendang dan M adalah protein marker

Tabel 3.

Konsentrasi ekstrak protein

Bahan baku Kode Konsentrasi (µg/sumur)

Belalang mentah A1 15 A2 25 Belalang rebus B1 15 B2 30 Belalang goreng C1 15 C2 35 Belalang rendang D1 15 D2 30

Hasil profil protein belalang rebus mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pita yang terbentuk pada gel. Pemisahan profil protein pada gel terdeteksi sebanyak 14 pita.

Setengah bagian dari pita profil protein pada belalang mentah tidak terdeteksi pada belalang rebus. Hasil elektroforesis ini sejalan dengan hasil analisa kadar protein proksimat pada belalang rebus, dimana nilai kadar protein belalang rebus mengalami penurunan dibandingkan belalang mentah. Hal ini menunjukkan bahwa memang adanya protein yang hilang pada saat sampel telah dilakukan pengolahan dalam hal ini yaitu perebusan. Proses perebusan dapat merusak protein yang terkandung dalam belalang. Menurut Sundari et al., (2015), perebusan dapat menurunkan kadar protein dalam bahan pangan, hal ini karena pengolahan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya banyak reaksi. Reaksi tersebut

(7)

diantaranya: denaturasi, hidrasi, perubahan warna dan derivatisasi residu asam amino.

Tabel 4.

Profil protein belalang

Marker Mentah Rebus Belalang Goreng Rendang Jarak Rf BM(KDa) BM(KDa) BM(KDa) BM(KDa) BM(KDa) 0,6 0,097 250 >250 >250 >250 >250 0,9 0,145 150 116 150 150 150 1,3 0,210 100 111 86 81 77 1,75 0,282 75 105 66 77 42 2,35 0,379 50 100 63 73 36 3 0,484 37 95 39 42 26 4 0,645 25 90 38 25 25 4,5 0,726 20 86 25 9 24 5,6 0,903 15 70 24 24 6,2 1,000 10 60 14 21 54 11 17 51 11 14 42 9 13 38 11 36 11 34 9 32 31 29 28 26 25 24 16 16 15 14 11 9

Berdasarkan hasil SDS-PAGE belalang goreng pada Gambar 2 (C1 dan C2), variasi inject sampel yang berbeda menghasilkan pemisahan pita yang kurang jelas. Volume inject sampel pada sampel belalang goreng merupakan volume yang paling tinggi. Hal ini diduga karena ekstrak protein yang dihasilkan konsentrasinya tidak terlalu tinggi sehingga pemisahan yang dihasilkan pada gel elektroforesis tidak begitu jelas. Pita profil protein pada sumur kedua (C2) terlihat lebih jelas dibandingkan sumur pertama (C1). Pita yang terbentuk pada gel terdeteksi sebanyak 8 pita.

Profil protein yang dihasilkan pada sampel belalang goreng adalah sampel yang menghasilkan pita paling sedikit. Hal ini sesuai dengan hasil analisis proksimat, dimana protein pada sampel belalang goreng menghasilkan nilai yang paling kecil diantara yang lainnya. Protein yang terkandung dalam belalang akan mengalami kerusakan yang cukup banyak apabila dilakukan proses pengolahan penggorengan.

Kerusakan protein yang terjadi pada pengolahan penggorengan dua kali lipat dibandingankan perebusan. Proses penggorengan bahan pangan menurunkan kadar protein lebih tinggi dibanding perebusan, karena suhu yang digunakan sangat tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang sangat tinggi. Pada proses penggorengan sebagian minyak goreng akan menempati rongga–rongga bahan pangan menggantikan posisi air yang menguap sehingga konsentrasi protein persatuan

berat bahan menjadi lebih kecil (Sundari et al., 2015).

Pada sampel belalang rendang pemisahan profil protein pada gel terdeteksi sebanyak 16 pita. Pita profil protein yang dihasilkan pada sampel belalang rendang lebih banyak dibandingkan belalang goreng. Hal ini diduga dikarenakan adanya campuran protein yang dihasilkan dari bumbu rendang yang dapat meningkatan nilai protein dari belalang rendang.

3.4. Profil protein alergen dengan metode immunoblotting

Untuk menganalisis alergenisitas, maka ekstrak protein belalang sawah harus dianalisis kemampuannya berikatan dengan IgE spesifik yang terkandung dalam serum darah responden. Darah responden yang menyatakan memiliki alergi terhadap serangga kemudian diambil. Darah responden yang diambil kemudian dipisahkan dan diambil serum darahnya yaitu plasma darah yang berwarna putih. Serum darah tersebut disimpan pada suhu -20 0C. Immunobloting adalah pengikatan

IgE serum dengan protein alergen secara spesifik pada kertas membrane (Chalid et al., 2015). Munculnya banyak band protein pada hasil western blot dapat disebabkan karena beberapa faktor. Jika yang muncul adalah protein dengan berat molekul yang lebih tinggi penyebabnya kemungkinannya adalah proses glikosilasi dan multimer formation, sedangkan jika yang muncul adalah protein dengan berat molekul yang lebih rendah kemungkinan yang terjadi adalah degradasi protein, proses cleavage, atau karena protein tersebut memiliki epitope yang sama (Moore, 2009; Mahmood, 2012 & Agustina, 2017).

Belalang mentah

Hasil ekstrak protein belalang mentah kemudian dilakukan proses blotting terhadap 15 serum darah responden alergi serangga. Hasil immunoblotting menunjukkan bahwa sampel belalang mentah memiliki jenis protein alergen paling sedikit dan berikatan dengan IgE spesifik responden paling sedikit dibandingkan dengan sampel lain.

(8)

M 1

Gambar 3. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi

protein belalang mentah

Hasil immunoblotting serum darah positif alergi protein belalang mentah dapat dilihat pada Gambar 3. Serum darah yang dianalisis sebanyak 15 orang. Responden yang terdeteksi positif alergi protein belalang mentah hanya satu orang. Pita yang muncul memiliki bobot molekul 70 KDa.

Lopata et al., (2005) menyatakan bahwa penelitian dengan menggunakan jenis serangga Locusta migratoria didapatkan profil protein alergen pada bobot molekul 30, 35, 55, dan 70 KDa. Hasil ini sama dengan yang diperoleh oleh Chen et al., (2012) yang mendeteksi adanya profil protein allergen pada berat molekul 70 KDa dengan jenis serangga Locusta migratoria.

Berdasarkan hasil analisis, dari 10 serum darah responden yang menyatakan alergi terhadap serangga, hanya satu orang yang memberikan hasil positif terhadap alergi belalang. Hal ini diduga bahwa protein yang murni dari dari belalang sawah

tanpa adanya proses pengolahan lebih

menghasilkan sedikit jenis protein alergen. Kandungan protein yang terdapat pada belalang mentah belum mengalami kerusakan struktur protein yang mungkin dapat menjadi penyebab potensi suatu protein menjadi protein alergen. Belalang rebus

Hasil ekstrak protein belalang rebus kemudian dilakukan proses blotting terhadap 15 serum darah responden alergi serangga. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi protein belalang rebus dapat dilihat pada Gambar 4. Serum darah yang dianalisis sebanyak 15 orang. Responden yang terdeteksi positif alergi protein belalang rebus yaitu 9 orang.

M 1 2 3 7 11 12 13 14 15

Gambar 4. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi

protein belalang rebus

Profil protein alergen yang diperoleh ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6.

Profil protein alergen pada belalang rebus

Kode Subjek Ke-1 Berat Molekul Pita Protein Alergen (KDa) Ke-2 Ke-3 Ke-4

1 >250 150 86 66 2 150 3 150 7 >250 11 >250 12 150 13 150 14 150 15 >250

Pita yang muncul pada sampel ini adalah yang memiliki bobot molekul diatas 100 KDa. Penelitan (Chen et al., 2012), pada serangga jenis Locusta migratoria juga menghasilkan protein alergen yang berada diatas 70 Kda, yaitu 130 KDa. Hal ini disebakan karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi sehingga munculnya alergen pada bobot molekul yang tinggi.

Bobot molekul yang dihasilkan dari protein belalang rebus dapat dilihat pada Tabel 8. Protein alergen yang dihasilkan memiliki nilai bobot molekul yang besar. Protein alergen pada bobot molekul 150 KDa dapat mengikat IgE spesifik pada 5 orang penderita alergi dan protein alergen >250 KDa dapat mengikat IgE spesifik dari 4 orang responden. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kedua protein alergen tersebut merupakan alergen mayor. Alergen mayor adalah suatu alergen yang mampu bereaksi dengan 50% IgE serum individu penderita alergi (Chapman, 2014)

Belalang goreng

Ekstrak protein belalang goreng dilakukan

blotting dengan 15 serum darah responden

(9)

M 2 11 12 13 14 15

Gambar 5. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi

protein belalang goreng

Gambar 5 menunjukkan hasil blotting dari sampel belalang goreng. Dari 15 serum darah responden yang dianalisis diperoleh hasil 6 orang yang positif alergi. Protein alergen pada ekstrak protein belalang goreng ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7.

Profil protein alergen pada belalang goreng

Kode Subjek Berat Molekul Pita Protein Alergen (KDa) Ke-1 2 150 11 150 12 150 13 150 14 150 15 >250

Sama halnya seperti belalang rebus, protein alergen yang muncul pada sampel belalang goreng diduga merupakan alergen mayor. Karena alergen di rentang bobot molekul tersebut dapat berikatan dengan beberapa IgE spesifik.

Belalang rendang

Ekstrak protein belalang rendang dilakukan blotting dengan 15 serum darah responden alergi serangga.

M 2 3 11 12 13 14 15

Gambar 6. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi

protein belalang rending

Hasil immunoblotting serum darah positif alergi protein belalang rebus dapat dilihat pada Gambar 6.

Serum darah yang dianalisis sebanyak 15 orang. Responden yang terdeteksi positif alergi protein belalang rebus yaitu 9 orang. Profil protein alergen yang didapatkan ditampilkan pada Tabel 10.

Tabel 8.

Profil protein alergen pada belalang rendang

Kode Subjek Berat Molekul Pita Protein Alergen (KDa) Ke-1 2 >250 3 24 11 150 12 150 13 150 14 150 15 >250

Analisis alergenisitas yang diperoleh menunjukkan bahwa protein yang terdapat pada belalang sawah merupakan salah satu sumber dari alergen. Protein alergen yang dihasilkan pada bahan baku belalang sawah (Oxya chinensis) terdapat pada beberapa bobot molekul. Belalang sawah dapat disimpulkan mempunyai potensi sebagai penyebab alergi. Belum ada laporan penelitian lainnya yang berkaitan dengan alergenisitas belalang sawah. Data alergen belalang sawah belum terdapat di dalam database Allergome, sehingga belum dapat diketahui karakter dan nama alergen belalang sawah.

Protein belalang sawah dapat diklasifikasikan sebagai salah satu sumber protein alergen. Pada setiap proses pengolahannya pun terdapat bobot molekul yang berbeda-beda sebagai protein alergen. Serum darah yang digunakan untuk menganalisis alergi terdapat antibody IgE spesifik di dalamnya, yang mana bagian paratopnya akan berikatan dengan bagian epitope pada antigen. Antigen adalah bagian dari protein hasil isolasi. Epitop merupakan tindakan imunologis antibodi yang tergantung pada pengikatan eksplisit pada situs yang berbeda pada antigen target (Bhasarat, 2016).

Protein alergen pada belalang yang mengalami proses pengolahan terlihat lebih banyak berikatan dengan IgE spesifik responden. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya denaturasi protein pada saat proses pengolahan. Denaturasi protein yang memiliki epitope dapat merubah konformasinya sehingga dapat menghilangkan sifat antigeniknya atau justru membentuk epitope baru. Dalam penelitian ini, denaturasi protein menyebabkan protein pada belalang sawah menjadi semakin antigenik. Epitope yang berbentuk linear tidak dapat dirusak oleh denaturasi, akan tetapi denaturasi membuat struktur sekunder suatu protein keluar sehingga antigeniknya semakin bertambah.

(10)

4. Kesimpulan

Jenis belalang yang digunakan dalam penelitian adalah Oxya chinensis. Pengolahan belalang dengan cara direbus, digoreng dan direndang dapat mempengaruhi karakteristik mutu produk untuk parameter kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat. Nilai gizi belalang dilihat dari kadar protein hasil analisis proksimat pada masing-masing cara pengolahan. Semakin tinggi kadar protein niali gizi semakin baik. Proses pengolahan dengan cara digoreng, direndang dan rebus berpengaruh terhadap profil protein dan bobot molekul protein. Bobot molekul protein alergen yang teridentifikasi pada belalang mentah adalah 70 kDa, pada belalang rebus adalah 66 kDa, 86 kDa, 150 kDa, dan >250, pada belalang goreng adalah 150 kDa dan >250 kDa, dan pada belalang rendang adalah 24 kDa, 150 kDa dan >250 kDa. Berat molekul protein tidak mempengaruhi tingkat alergenitas. Pengaruh tersebut dapat diketahui dari banyaknya berat molekul protein yang berikatan dengan IgE spesifik.

Daftar Pustaka

Agustina, D,.(2017). Deteksi Imunoglobulin G dengan Immunoblotting Pasca Imunisasi Subkutan Protein Hemaglutinin Pili Klebsiella pneumoniae12,8 kDa pada Mencit BALB/C. Journal of Agromedicine and Medical Sciences

Vol. 3 No. 2 (2017)

Astami, N, Estiasih, T, & Maligan, J,M,. (2016). Mie Instan Belalang Kayu (Melanoplus cinereus): Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1 p.238-244

Bollag, D., & Edelstein, S. (1991). Protein Method. New York: Willey-Liss.

Boye, J.I., & Godeferoy, S.B. (2010). Allergen Management in the Food Industry. San Fransisco: Health.

Boye, J.I. Danquah, A,O., Thang, C.L., & Zhao, X. (2012). Food Allergen. Food Biochemistry and Food Processing, Edition: Second edition, Chapter: 42. Food allergens, Publisher: Wiley publishing, pp.798-819

Bradford, M. M. (1976). A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation Microgram Quantities of Protein Utilizing the Principle of Protein-Dye Binding, 254, 248–254.

Candra, Y., Setiarini, A., & Rengganis, I. (2011). Gambaran Sensitivitas Terhadap Alergen Makanan. Makara Kesehatan. 15(1). 44-50.

Chalid, S,Y., Syah, D., Giriwono, P, E., & Zakaria, F, R. (2015). Pengembangan Ekstrak Protein Udang Jerbung (Panaeus merquiensis) Lokal Indonesia sebagai Reagent Uji Alergidengan Metode Skin Prick Test (SPT). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. Vol.13 No.2. hlm 205-214.

Chapman, M, D,.(2014). Allergen Nomenclature. Indoor Biotechnologies, Inc., Charlottesville, Virginia, U.S.A

Chen, Y. K., Wu, Y. L., & Liu, Z. G. (2012). Purification and Identification of Allergens in Locusta Migratoria manilensis.

Chinese Journal of Applied Entomology, 49, 244–247. Elucidare. (2011). Food Allergies Worldwide A Population

Review. Retrieved November 3, 2018, from http://www.elucidare.co.uk/assignments/Project_Allergy/Gl obal%20food%20allergies%20statistics.pdf.

Girsang. E., Edison, Karnila, R,. (2018). Analisis Kandungan Kimia Ikan Tembukul (Periophthalmodon schlosseri) Pada Suhu Pengukusan Berbeda. Jurnal. Universitas Riau.

Gupta, R., Ashley, A., Namrita, J., & Matthew, J. (2013). Childhood food allergies: current diagnosis, treatment, and management

strategies. Mayo Clin Proc, 88(5), 512–526.

Hadipernata, M., Rachmat, R., & Widaningrum. (2006). Pengaruh Suhu Pengeringan Pada Teknologi Far Infrared Terhadap mutu jamur Merang Kering (Volvariella volvaceae). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 2.

Hashimoto, K., Watabe, S., Kono, M., & Shiro, K. (1979). Muscle Protein Composition of Sardine and Mackerel. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries, 45(11), 1435–1441. Heryati, E. (2009). Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat.

Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Irawati, Andi. (2015). Pengaruh Lama Pemasakan Ikan Bandeng (Chanos Chanos Forsk.) Duri Lunak Goreng Terhadap Kandungan Lisin Dan Protein Terlarut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. J. Peng. & Biotek. Hasil Pi. Vol. 5 No. 1 Th. 2016

Kim, S., Weaver, C. M., & Choi, M. (2017). Proximate Composition and Mineral Content of Five Edible Insects Consumed in Korea. CyTA - Journal of Food, 15(1), 143–146. 2

Kuntadi, Adalina, Y., Maharani, K,E,. (2018). Nutritional Compositions Of Six Edible Insects In Java. Indonesian Journal of Forestry Research Vol. 5, No. 1, April 2018, 57-68

Laemmli. (2011). Laemmli SDS PAGE Fanglian He Carnegie Institution at Stanford, 1, 3–6.

Li, X., Xie, Y., & Zhou, J. (2017). Food allergy management and nutrition strategies. In Advances in Health and Disease. Volume 1 (pp. 137–172).

Lopata, A. L., Fenemore, B., MF, J., Gade, G., & Potter, P. (2005). Occupational allergy in laboratory workers caused by the African migratory grasshopper Locusta migratoria. European Journal Of Allergy And Clinical Immunology, 60(2), 2005. El Mecherfi, K. E., Curet, S., Lupi, R., Larré, C., Rouaud, O., Choiset,

Y. & Haertlé, T. (2019). Combined microwave processing and enzymatic proteolysis of bovine whey proteins: the impact on bovine β-lactoglobulin allergenicity. Journal of Food Science

and Technology, 56(1), 177–186.

https://doi.org/10.1007/s13197-018-3471-9

Falahudin, I., Mareta, D, E., Rahayu, I, A,. (2015). Diversitas Serangga Ordo Orthoptera Pada Lahan Gambut Di Kecamatan Lalan Kabupaten Musi Banyuasin. Bioilmi Vol. 1 No. 1 Edisi Agustus 2015

Mahmood, T., and Ping-Chang, Y. (2012). Western Blot: Technique, Theory, and Trouble Shooting. N Am J Med Sci., 4(9):429–434

Moore C. (2009). Introduction to western blotting. www.abdserotec.com/westernblot. html. downloaded on Nov, 5, 2012.

Munasir, Z., & Dadi, S.E. (2010). Reaksi Hipersensitivitas. In Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak (3rd ed., pp 115-131). Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Palupi, N. S., Sitorus, S. R., & Kusnandar, F. (2015). Perubahan Alergenisitas Protein Kacang Kedelai dan Kacang Bogor Akibat Pengolahan dengan Panas. Teknologi Dan Industri Pangan, 26(2), 222–231.

Palupi, N. S., Zakaria, F. R., & Prangdimurti, E. (2007). Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul E-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB. Pawankar, R., Canonica, G. W., Holgate, S., & Lockey, R. (2011).

White Book on Allergy. World Allergy Organization.

Pratiwi, M, D,. (2017). Serangga Pengunjung Pada Tanaman Tin (Ficus carica L.). Simki-Techsain Vol. 01 No. 10 Tahun 2017 Rachmania, R.A., Wahyudi P., Wardani, A.M., & Insani D.R. (2017).

Profil Berat Molekul Enzim Protease Buah Nanas dan Pepaya Menggunakan Metode SDS-PAGE. Alchemy Jurnal Penelitian Kimia, 13(1), 52-65.

Sagiran, G. (2007). Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan. Lampung: Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Soleha, W. (2012). Identifikasi Protein Alergen Serbuk Sari Tanaman Akasia (Acacia auriculiformis dan Acacia mangium)

dan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Skripsi. Universitas Indonesia

Sundari, D., Almasyhuri, & Lamid, A. (2015). Pengaruh Proses Pemasakan Terhadap Protein, 235–242.

(11)

Surbakti, M, M, P,. (2016). Hipersensitivitas Akut Et Causa Sengatan Tawon. Laporan PBL. Universitas Udayana. Toda, M., Hellwig, M., Henle, T., & Vieths, S. (2019). Influence of

the Maillard Reaction on the Allergenicity of Food Proteins and the Development of Allergic Inflammation. Current Allergy and Asthma Reports, 19(1), 4. https://doi.org/10.1007/s11882-019-0834-x.

Verhoeckx, K. C. M., Vissers, Y. M., Baumert, J. L., Faludi, R., Feys, M., Flanagan, S. Kimber, I. (2015). Food processing and

allergenicity. Food and Chemical Toxicology, 80, 223–240.

https://doi.org/10.1016/j.fct.2015.03.005

Winarno, F. G. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.

Wulansary, Y, R. (2015). Alergi Pangan. Majalah Keamanan Pangan. Badan POM. Vol.28. Tahun XIV

Yue, D., Ciccolini, A., Avilla, E., & Waserman, S. (2018). Food allergy and anaphylaxis. Journal of Asthma and Allergy, 11, 111–120. https://doi.org/10.2147/JAA.S162456

Yulianto, E,C., & Pawarti, D,R. (2009). Peranan Alergi Makanan Pada Rinitis Alergi. Jurnal THT-KL.Vol.2,No.3, hlm 142 - 152. Zakaria, F., A, K., Ispurwanto, & Rahman. (1998). Telaah sifat

alergenisitas proteim udang putih (Penaeus merguensis) untuk produksi isolat alergen. Bulletin Teknologi Dan Industri Pangan, 2(IX), 54–59.

Zhang, T., Shi, Y., Zhao, Y., Wang, J., Wang, M., Niu, B., & Chen, Q. (2018). Different thermal processing effects on peanut allergenicity. Journal of the Science of Food and Agriculture. https://doi.org/10.1002/jsfa.9430

Gambar

Gambar 1. Belalang sawah (Oxya chinensis) Tabel 1.
Gambar 3. Hasil immunoblotting serum darah positif alergi  protein belalang mentah
Gambar  5  menunjukkan  hasil  blotting  dari  sampel  belalang  goreng.  Dari  15  serum  darah  responden  yang  dianalisis  diperoleh  hasil  6  orang  yang  positif  alergi

Referensi

Dokumen terkait

Tesis yang berjudul PENGARUH STRES KERJA, KOMITMEN ORGANISASIONAL, BUDAYA ORGANISASIONAL, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA PIMPINAN SEKOLAH (Studi Pada

• Peserta didik diberi kesempatan untuk mendiskusikan, mengumpulkan informasi, mempresentasikan ulang, dan saling bertukar informasi mengenai Bentuk akar

i banyak perusahaan9 perubahan dalam biaya atau aktor- i banyak perusahaan9 perubahan dalam biaya atau aktor- aktor lainnya diperkirakan akan mengarah

bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau

Strat rateg egi i WT WT ad adal alah ah ta takt ktik ik me memp mper erta tahan hanka kan n ko kond ndis isi i ya yang ng di dius usaha aha ka kan n de deng ngan an

Tingkat substitusi tepung kacang merah meningkatkan kadar abu, protein, lemak, karbohidrat, energi, serat (larut dan tak larut) dan kapasitas antioksidan beras analog sorgum

Reserve voltage within/outside limits Reserve frequency within/outside limits Output Status: Load on inverter Load on reserve Load on bypass Load disconnected Time on inverter Time

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini yang pertama adalah untuk mengetahui faktor yang dominan penyebab konflik yang terjadi pada saat pelaksanaan proyek