Corak Teologi Akademisi Muslim Berlatar Belakang Pendidikan Barat
Arlina *
Abstrak
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan corak teologi akademisi Muslim IAIN Sumatera Utara yang berlatar belakang pendidikan Barat tentang peran akal dalam memperoleh pengetahuan dan memandang ikhtiar manusia. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai metode fenomenologis. Hasilnya menunjukkan : (1) Corak teologi akademisi muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat ditinjau dari peran akal dalam memperoleh pengetahuan mencakup: (a) keterbatasan akal, (b) keniscayaan kewajiban mengetahui Tuhan, (c) universalitas kebaikan dan keburukan, dan (d) doktrinal pelaksanaan baik dan buruk, (2) Corak teologi Muslim yang berlatar belakang pendidikan barat ditinjau dari peran ikhtiar manusia adalah Tuhan menciptakan manusia dengan suatu kemampuan. Yang dengan kemampuan tersebut manusia dapat melakukan suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh atau dapat melakukan perbuatan untuk menghindari kemudaratan.
Kata kunci: corak teologi, peran akal memperoleh pengetahuan, peran ikhtiar manusia
A.Pendahuluan
Teologi merupakan keyakinan
seseorang yang berkenaan dengan hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan dengan alam sekitarnya. Kenyakinan seseorang merupakan hasil interprestasinya terhadap ajaran yang dinyakininya. Interprestasi terhadap ajaran tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: faktor budaya, agama, keluarga, minat, cita-cita dan lain sebagainya termasuk latar belakang pendidikan.
Latar belakang pendidikan
kelihatannya berpengaruh terhadap
pemikirannya tentang teologi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fenomena yang ada dalam masyarakat. Nuansa pemikiran para akademisi muslim yang berlatar pendidikan barat sering memiliki pemikiran yang kontroversial di dalam mengemukakan pendapat dan pandangan-pandangannya tentang hal yang berkaitan dengan keteologian. Akibatnya, masyarakat memberi respon negatif sampai-sampai menggolongkan orang yang menyatakan pendapat tersebut keluar dari ajaran Islam.
Tentu saja fenomena ini menjadi
permasalahan besar bagi dunia Islam dan harus memerlukan pemecahan.
Banyak faktor yang menyebabkan masalah di atas terjadi antara lain terdapat corak pemikiran teologi berbeda di antara
para cendekiawan Muslim maupun
akademisi Muslim sehingga terjadi perbedaan dalam menginterprestasi ajaran teologi Islam yang berakibat pada sikap dan tingkah laku bermasyarakat dan bernegara. Salah satu pemikiran teologi yang berbeda dapat dibuktikan dari pikiran-pikiran para akademisi muslim seperti Nurcholis Madjid yang menyatakan bahwa semua agama sama baik yang samawi seperti Islam, Yahudi dan Kristen maupun yang tidak seperti Hindu, Budha dan sebagainya sehingga semua pemeluk agama di luar Islam termasuk Ahlul Kitab.1 Dengan pendapatnya itu, Nurcholish menganggap sah-sah saja seorang muslim boleh mengawini Ahli Kitab yang dimaksudkannya di atas.
Perbedaan lain yang muncul di antara para akademisi muslim khususnya tentang teologi adalah berkenaan dengan perbuatan
manusia. Ada sebagian manusia
beranggapan bahwa manusia penentu dari semua aktivitas ummat manusia, Tuhan telah memberikan qudrat-Nya melalui hukum alam. Sementara yang lain ada beranggapan bahwa, semua aktivitas dan kreatifitas ummat manusia telah ditentukan Allah s.w.t. Akibatnya, orang yang
berkenyakinan dengan pemahaman yang pertama mengutamakan bahwa dengan usaha yang besar manusia mampu merubah dunia, negara atau bangsa menjadi maju. Sebaliknya paham kedua berakibat pada keterbatasan pengembangan usaha untuk menjadikan dunia, negara dan bangsa untuk maju.
Karena perbedaan pandangan teologi dapat mengakibatkan permasalahan yang besar bagi dunia Islam, maka perlulah dilakukan suatu penelitian tentang corak teologi khususnya teologi akademisi yang berlatar belakang pendidikan Barat.
B.Berbagai Pandangan tentang Corak Teologi
Corak adalah warna, rupa, gambaran dan sebagainya pada cita, kain dan sebagainya keadaan yang sebenarnya.2 Berdasarkan definisi ini dapat dipahami bahwa corak merupakan perbedaan antara satu benda dengan benda lainnya. Dalam kaitannya dengan teologi, corak berarti keberagaman pemikiran teologi yang dimiliki oleh para ulama kalam.
Teologi adalah ilmu yang membahas soal ke Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.3 Persoalan ke Tuhanan antara lain mencakup dengan keesaan Allah s.w.t., kewahyuan, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, dan sifat-sifat Tuhan Iman dan Kufur.
Di samping persoalan keTuhanan, teologi juga membahas tentang kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Kewajiban-kewajiban tersebut mencakup
mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui eksistensi Tuhan (wujub ma’rifat Allah dan wujub ma’rifat wujud Allah), mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengerjakan perbuatan baik, kewajiban menjauhi perbuatan jahat.4
Pemahaman terhadap teologi oleh manusia tentang keTuhanan dan kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan memiliki perbedaan dan variasi dalam melihat
persoalan yang berkenaan dengan akal dan wahyu, fungsi akal, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia dan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, konsep iman dan kufur, pelaku dosa besar.
Perbedaan pemahaman dan
interprestasi tentang keteologian tersebut menimbulkan berbagai corak aliran teologi tradisional, modern dan masa kini. Yang termasuk teologi tradisional antara lain Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Yang termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah, dan Asy’ari dan al-Maturidi, sedangkan aliran teologi modern Abduh, Ahmad Khan, dan Iqbal. Adapun aliran masa kini Ismail Faruqi, Hasan Hanafi, dan Harun Nasution.5
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
corak teologi adalah keberagaman
pemikiran yang dianut oleh para ulama kalam tentang tauhid, khalifah, pelaku dosa besar, konsep iman dan kufur, keadilan Tuhan, janji dan ancaman, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, termasuk peran akal dalam memperoleh pengetahuan dan peran ikhtiar manusia.
Berkenaan dengan peran akal dalam
memperoleh pengetahuan, Harun
menjelaskan bahwa peran akal dalam
memperoleh pengetahuan mencakup
mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.6 Jadi ada empat persoalan yang di kaji berkenaan dengan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Artinya yang mana di antara ke empat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal, dan yang mana melalui wahyu.
Untuk menjawab empat persoalan di atas ada beberapa pendapat antara lain: pendapat kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, al-ghazali, al-Maturidi, dan Muhammad Abduh. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu mengetahui Tuhan,
kewajiban terhadap Tuhan dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal.7 Hal ini diperkuat oleh tokoh aliran Mu’tazilah seperti yang dinyatakan oleh Abu al-Huzail al- Allaf, mengetahui Tuhan bagi muallaf dengan akal adalah wajib. Demikian juga akal mampu mengetahui perbuatan baik dan
buruk, maka wajib mendahulukan
perbuatan baik seperti, berlaku jujur dan adil, dan wajib menjauhkan perbuatan yang buruk seperti, dusta dan zalim.8 Demikian juga menurut an-Nazzam pada pokok pikiran yang kedua belas, yaitu wajib mengetahui Tuhan dengan akal, sebelum
turunnya wahyu, dan kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal.9 Meskipun akal dapat mengetahui, namun pengetahuan tidak sempurna. Akal tidak dapat mengetahui rincian-rinciannya secara lengkap, dalam hal ini wahyu dibutuhkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Wahyu juga berfungsi untuk menguatkan capaian-capaian akal tentang pengetahuan. Dalam konteks ini tentu wahyu juga berfungsi memberi informasi, misalnya memberkan penjelasan tentang pemberian hukuman dan upaya yang akan diterima manusia dari kelalaian dalam mengerjakan kewajiban dan mempersingkat proses mengetahui Tuhan.10
Aliran Asy’ari menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Mereka berprinsip bahwa segala kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.11 Dalam buku Harun juga dijelaskan bahwa kaum
Asy’ariyah berpendapat akal tidak begitu besar daya kekuatannya. Akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan, soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, baik
dan buruk, dan kewajiban berbuat baik dan kawajiban menjauhi perbuatan jahat, tiga hal itu tidak dapat diketahui akal.12
al-Ghazali berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban
bagi manusia, kewajiban-kewajiban
ditentukan oleh wahyu. Oleh sebab itu, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik serta menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.13
Dalam hal peran akal, al-Maturidi bertentangan dengan Asy’ariyah tetapi
sepaham dengan Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban manusia, berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui baik dan buruk. Harun menjelaskan bahwa yang tidak dapat diketahui akal hanya kewajiban manusia berbuat baik serta kewajiban manusia menjauhi perbuatan jahat.14 Menurut Abduh, pancaindra atau akal sanggup memberikan ciri-ciri perbedaan tentang yang baik dan yang buruk.15 Rozak menyimpulkan bahwa pandangan Muhammad Abduh tentang kemampuan akal dapat mengetahui hal-hal berikut :(1). Tuhan dan sifat-sifat-Nya, (2). Keberadaan hidup di akhirat, (3). Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya tergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat, (4). Kewajiban manusia mengenal Tuhan, (5). Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagian di akhirat
dan (6). Hukum-hukum mengenai
kewajiban itu. 16
Dari penjelasan di atas dapat digambarkan corak teologi yang ada sebagai berikut :
Dimensi Unsur Mu’tazilah Maturidiyah Samarkand Maturidiya Bukhara Asy’ariyah Abduh Akal MT KMT + + + + + - + - + +
MBB/J KMBB /J + + + - + - - - + + Perbuatan Manusia IKHTI AR + + + + + Keterangan : MT : Mengetahui Tuhan
KMT : Kewajiban Mengetahui Tuhan MBB/J : Mengetahui Baik Buruk/Jahat KMBB/J : Kewajiban Mengetahui Baik dan Buruk/Jahat
+ : Akal mampu mengetahui _ : Akal tidak mampu mengetahui + : Manusia mempunyai kemampuan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran akal dalam memperoleh ilmu pegetahuan mencakup empat hal penting
yakni (1) kemampuan akal untuk
mengetahui Tuhan, (2) kewajiban
mengetahui Tuhan, (3) mengetahui baik dan buruk/jahat, dan (4) kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk/jahat.
Ikhtiar dapat diartikan sebagai keinginan bekerja menurut kemauan sendiri.17 Keinginan untuk bekerja dipengaruhi sejauh mana seseorang memahami ayat-ayat Al-qur’an. Berdasarkan pemahaman ayat-ayat tersebut ada tiga pendapat tentang peran ikhtiar dalam kehidupan yang pada akhirnya pendapat ini menimbul tiga corak teologi. Pendapat yang pertama mengatakan sesungguhnya hamba menciptakan segala perbuatannya yang ikhtitiariyah dengan kudratnya sendiri, berdasarkan kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, manusia ini mengerjakan sesuatu menurut pilihan hatinya (mukhtar). Jika ia mau, ia kerjakan dan jika tidak maka ia tinggalkan. Dengan demikian, iradat dan kodrat Allah tidak campur dalam perbuatan manusia.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa segala perbuatan hanya terjadi dengan kudrat dan iradat Allah. Manusia tidak mempunyai kudrat dan iradat.
Manusia hanya merupakan wadah bagi apa yang Allah kehendaki.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa manusia itu mempunyai iradat dan kudrat
yang Allah ciptakan dan dibangsakan kepada kudrat dan iradat itu segala perbuatan hamba walaupun kudrat dan iradatnya tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Telah berlaku sunnatullah menciptakan perbuatan manusia berbaringan dengan adanya kudrat dan iradat manusia itu. Berbarengan yang disebutkan ini dinamakan usaha.
Ikhtiar juga dapat diartikan sebagai suatu pelaksanaan kekuasaan sesuai dengan pengetahuan dan kemauan.18 Manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari dipengaruhi oleh seberapa besar pengetahuan yang
dimiliki tentang perbuatan yang
dilakukannya tersebut. Di samping itu, manusia juga memiliki kebebasan dan keinginan untuk berbuat.
Berkenaan dengan ikhtiar, Ibn Taimiyah memiliki pandangan tentang keterpaksaan dan ikhtiyar manusia yaitu: Allah pencipta segala sesuatu, hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya; Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.19
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan peran ikhtiar manusia dalam kehidupan adalah perbuatan manusia dapat berasal dari diri sendiri, dari kodrat dan iradah Allah sebagai penentu, dan gabungan dari keduanya.
C.Corak Teologi Akademisi
Corak teologi akademisi yang berlatar belakang pendidikan Barat berkenaan dengan peran akal dalam memperoleh
pengetahuan dapat diperoleh beberapa kesimpulan proposisi antara lain: (1) Keterbatasan akal, (2) Keniscayaan
kewajiban mengetahui Tuhan, (3)
Universalitas kebaikan dan keburukan, (4) Doktrinal pelaksanaan baik dan buruk. Sedangkan corak teologi akademisi yang berlatar belakang pendidikan Barat berkenaan dengan peran ikhtiar manusia ditemukan proposisi bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan suatu
kemampuan. Yang dengan kemampuan tersebut manusia dapat melakukan suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh atau
dapat melakukan perbuatan untuk
menghindari kemudaratan. 1. Keterbatasan Akal
Proposisi tentang keterbatasan akal
menunjukkan bahwa akal mampu
mengetahui Tuhan namun akal tetap memiliki keterbatasan. Kemampuan akal mengetahui Tuhan memiliki kemungkinan
untuk memahaminya karena Tuhan
memberi akal kepada manusia yang salah satu tujuannya agar manusia dapat memikirkan kebesaran Tuhan sekaligus
kemampuan akal tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan diri sendiri dan manusia lain bahkan untuk kepentingan seluruh alam semesta. Temuan penelitian ini sejalan dengan ayat Allah dalam Alqur’an surah Al-An’aam ayat 97 yang artinya :
”Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang yang mengetahui.”20
Berdasarkan ayat di atas dapatlah dipahami bahwa akal mampu mencerna ciptaan Allah yang ada di bumi, di laut maupun di udara. Melalui akalnya manusia mampu melihat, mengaplikasi, menganalisa, mensintesa, dan mengevaluasi maupun meneliti secara mendalam, sistimatis dan
rasional untuk kepentingan dan
kesejahteraan ummat manusia. Ini berarti Allah memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menggunakan akalnya
semaksimal mungkin dan menjamin
manusia yang menggunakan akalnya dengan benar dan tidak menyimpang atau melanggar aturan Allah maka Allah akan memasukkannya ke surga.
Selain itu, ayat tersebut juga menjelaskan bahwa Allah memberi peluang kepada manusia untuk memahami tanda-tanda kebesaranNya melalui akal yang diberikan-Nya kepada manusia. Bila pemahaman tersebut dilakukan secara benar maka Allah akan memuliakannya, bila tidak Allah akan mengelompokkannya kepada orang yang ingkar. Dengan memahami kebesaran-kebesaran Allah,
maka akal manusia akan mampu
mengetahui Tuhan.
Sejalan dengan ayat Allah di atas Al-Ghazali memperjelas tentang kemampuan akal manusia dalam mengetahui Tuhan sebagaimana yang dinyatakan oleh Harun sebagai berikut:
Dalam hal mengetahui Tuhan, al-Ghazali mengatakan bahwa wujud Tuhan itu dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan. Disamping itu pula al Ghazali selanjutnya mengatakan bahwa objek pengetahuan terbagi 3 : yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu.21
Menurut al Ghazali, akal mampu mengetahui Tuhan sekalipun tanpa wahyu.
Dalam masalah kewajiban-kewajiban
menurut menurutnya akal tidak mampu mengetahuinya, oleh sebab itu manusia perlu kepada wahyu.
Berdasarkan uraian yang
dikemukakan oleh Harun di atas jelaslah bahwa akal manusia mampu mengetahui Tuhan melalui pemikirannya tentang alam yang diciptakan Allah. Dengan akal pula,
manusia sanggup mengetahui Tuhan
melalui pemahamannya terhadap fenomena alam. Misalnya dalam melihat peristiwa yang ada di bumi seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, petir dan lain-lain, akal manusia mampu mengenal Tuhan.
Peristiwa alam itu tentu tidak dapat terjadi bila tidak ada kekuatan lain yang lebih berkuasa, itulah yang disebut dengan Tuhan.
Dalam hal kemampuan akal melihat fenomena alam yang membuat manusia sadar bahwa ada yang menciptakan, menggerakkan di luar dirinya. Hal ini sejalan dengan ayat Al-Quran surah al-Mu’minuun ayat 80 yang artinya: ”... dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”22 Namun di sisi lain, akal memiliki keterbatasan dalam mengetahui Tuhan maupun mengetahui ciptaan-Nya. Manusia di satu sisi diberi kelebihan dari pada makhluk lain yang diciptakan Tuhan di muka bumi. Kelebihan itu ada pada kepemilikan akal. Akan tetapi, kelebihan manusia yang diberikan oleh Tuhan tidak tiada batas. Tuhan membatasi secara tegas dalam hal tertentu seperti membicarakan tentang ruh. Hal tersebut dinyatakan Tuhan dalam surah Al-Israa’ ayat 85 berikut: ”Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.23
Berkenaan dengan keterbatasan akal, Allah menjelaskan pada surah Al-an’am ayat 2 yang berbunyi:
”Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematian) dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisinya (yang dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu)”.24
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua fenomena kehidupan dapat dicerna oleh akal. Paling tidak ada tiga fenomena yang digambarkan ayat tersebut, yakni penciptaan manusia dari tanah, ajal atau kematian dan hari berbangkit. Penciptaan manusia dikatakan sesuatu yang misteri dan sulit diterima akal karena proses penciptaan itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tanah yang merupakan benda mati menjadi benda hidup tidaklah mampu
dijangkau oleh akal. Hanya Allah saja yang mengetahuinya. Hanya Dialah yang dapat menghidupkan dan mematikan semua makluk yang ada di muka bumi atau di tempat lain di jagat raya ini. Betapa hebatnyapun otak manusia tidak akan mampu menjangkau kerja Allah yang maha dahsyat itu.
Fenomena kedua adalah ajal atau kematian. Ajal juga merupakan fenomena kehidupan yang misteri. Tak seorangpun mengetahui kapan dan di mana Tuhan memisahkan antara jasad dengan ruh. Mungkin saat kita di rumah dan bercerita dengan keluarga, saat kita bekerja, saat kita berjalan-jalan atau sedang dalam suatu majelis dan sebagainya. Dan ke mana pula ruh itu akan pergi serta kehidupan apa yang selanjutnya akan di alami manusia. Kitab sucilah yang akan menjelaskan kehidupan sesudah mati.
Fenomena ketiga adalah hari
berbangkit. Manusia dengan akalnya tidak mampu mengetahui kapan dan bagaimana serta apa yang terjadi pada hari berbangkit itu. Semua makluk Allah tidak mengetahui waktu hari berbangkit itu tetapi sebagai orang muslim kita wajib yakin bahwa hari berbangkit itu bakal terjadi. Keyakinan seperti ini hanya dapat diterima oleh hati tetapi tidak oleh akal.
Demikian juga halnya dengan
bagaimana keadaan hari berbangkit itu. Memang sebagian sudah digambarkan oleh Allah melalui kitab suci. Akan tetapi hal itu tidak akan bisa dibuktikan oleh manusia secara ilmiah. Hanya orang yang diberi petunjuklah yang dapat menerima hal itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proposisi tentang keterbatasan akal
mempertegas ayat-ayat Allah yang
dikemukakan di atas dan juga memperkuat beberapa teori yang dikemukan oleh para ahli.
2. Keniscayaan Kewajiban Mengetahui Tuhan
Kewajiban mengetahui Tuhan
menyatakan bahwa akal tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui wajibnya mengetahui Tuhan tanpa wahyu. Artinya, kewajiban mengetahui Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu Tuhan. Oleh karena itu, manusia dapat memahami kewajiban mengetahui Tuhan setelah wahyu sampai kepadanya. Melalui wahyu itulah dapat diperoleh informasi bahwa seseorang memiliki kewajiban mengetahui Tuhan. Karena kewajiban mengetahui Tuhan harus diperoleh melalui wahyu, maka sebelum wahyu sampai kepada manusia tentu manusia tidak akan mengetahui tentang kewajiban itu. Dengan demikian, sebelum wahyu itu sampai kepada manusia, Tuhan tidak akan memberi hukuman kepada manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surah Al-Israa’ ayat 15 yang artinya : ”... Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus rasul.”25
Di samping ayat di atas, pada surah lain Allah menekankan bahwa kewajiban tidak ada terhadap manusia sebelum diturunkannya kitab. Oleh karena itu,
manusia hanya dapat mengetahui
kewajibannya melalui wahyu yang
diturunkan. Bila wahyu memberi perintah atau larangan, maka manusia harus mengi kutinya. Hal ini tergambar dari surah Thaha ayat 134 yang artinya:
”Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-qur’an itu diturunkan, tentulah mereka berkata: Ya Tuhan Kami, mengapa tidak engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?.”26
Di samping itu, terdapat beberapa aliran yang memperkuat temuan penelitian di atas antara lain aliran al-Maturidi Bukhara dan al-Asy’ariyah. Aliran al-Maturidi Bukhara menyatakan bahwa akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban termasuk kewajiban mengetahui Tuhan,
sedangkan aliran Asy’ariyah juga
berpendapat bahwa kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi yang jahat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Dalam hal ini wahyulah menjelaskan kepada manusia apa yang baik dan buruk.27 Dalam hal kemampuan akal mengatahui kewajiban al-Ghazali berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Oleh sebab itu, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik serta menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.28
Bertolak dari uraian di atas dapatlah dinyatakan bahwa ayat-ayat Allah dan
pendapat ahli menegaskan temuan
penelitian ini tentang keniscayaan kewajiban mengetahui Tuhan.
3. Universalitas Kebaikan dan
Keburukan
Universalitas kebaikan dan keburukan
menyatakan bahwa akal memiliki
kemampuan untuk mengetahui baik dan buruk atau jahat tanpa wahyu. Manusia
diberi akal oleh Tuhan memiliki
kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ini dapat dibuktikan dari kemampuan yang dimiliki manusia
dalam memahami al-Qur’an sebagai
ciptaaan Allah dan sunnah rasul yang diturunkan kepada nabi dan disampaikan kepada seluruh ummat manusia (bukan saja untuk ummat Islam) yang berisi kebaikan dan keburukan dalam hidup. Artinya, setiap manusia di dunia ini melalui akalnya sanggup memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk karena kebaikan dan keburukan itu bersifat universal. Artinya, setiap manusia baik yang beragama Islam maupun yang bukan Islam bahkan orang atheis sekalipun dapat menerima bahwa kebaikan merupakan sesuatu yang baik dan keburukan merupakan sesuatu yang buruk. Temuan ini relevan dengan ayat Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 269 berikut ini:
”Allah menganugrahkan alhikmah
(kepahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan al-Sunnah) kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan barangsiapa yang
dianugrahi alhikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” 29
Ayat lain yang mempertegas temuan ini adalah sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam al-Qur’an surah Arra’d ayat 19 berikut:
”Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”.30
Firman Allah ini memberi gambaran bahwa orang yang berpikirlah yang mengakui apa yang diturunkan Allah melalui nabi Muhammad kepada umat manusia itu benar. Ini berarti setiap manusia
dapat menggunakan akalnya untuk
mengukur sesuatu itu baik atau buruk. Dengan demikian, muncul aliran-aliran yang mendukung ayat-ayat yang menegaskan temuan tentang keuniversalan ukuran baik dan buruk antara lain: aliran mu’tazilah, maturidiyah samarkand, dan maturidiyah bukhara dan Abduh.
Aliran mu’tazilah mengatakan bahwa mengetahui perbuatan baik dan buruk, akal
mampu mengetahuinya maka wajib
mendahulukan perbuatan baik seperti berlaku benar dan adil, serta wajib menjauhkan perbuatan buruk seperti dusta dan zalim.31
Menurut Abduh, pancaindra atau akal sanggup memberikan ciri-ciri perbedaan tentang baik dan yang buruk. Menurutnya, semua persolan yang berada dalam bidang kekuasaan akal khususnya dalam masalah baik dan buruk tidak ada menimbulkan perselisihan di kalangan pendukung-pendukung agama dan kalangan filosof.32
Di samping aliran Mu’tazilah, aliran Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara juga mengakui bahwa perbuatan baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Bazdawi dalam kitab Usul ad-Din sebagai berikut: akal mampu mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.33
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dinyatakan bahwa ayat Allah dan aliran-aliran yang dikemukakan para ahli tersebut menegaskan temuan penelitian tentang keuniversalan baik dan buruk ini.
4. Doktrinal Pelaksanaan Baik dan Buruk
Doktrinal pelaksanaan baik dan buruk ini menyatakan bahwa akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk secara pasti tanpa adanya wahyu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah al-Insan ayat 29 yang artinya:
”Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu perintah, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.”34
Ayat yang dinyatakan Allah ini menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah untuk diikuti oleh seluruh ummat manusia yang di dalamnya berisi perintah dan larangan dan doktrin kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan buruk. Bila manusia mengetahui kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan
buruk serta menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari maka Allah akan memberi balasan baik balasan di dunia ini ataupun di akhirat kelak.
Di samping ayat di atas, Allah menyatakan pada surah yang lain tentang kewajiban melaksanakan perbuatan yang baik dan buruk yakni yang tertera pada surah al-Kahfi ayat 29 berikut:
”Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir ....35
Ayat tersebut menggambarkan bahwa kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan buruk dapat diasosiakan dengan kebenaran yang datang dari Tuhan. Barang siapa yang
melaksanakan kebenaran yang
diinformasikan oleh ayat tersebut, maka ia mendapat petunjuk jalan yang lurus, dan barang siapa yang tidak mengikuti petunjuk itu, maka akan tersesatlah ia.
Aliran yang sejalan dengan ayat-ayat tentang doktrinal pelaksanaan baik dan buruk ini adalah Asy’ariyah yang menyatakan bahwa akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.36
Pandangan Asy’ariyah dalam hal kemampuan akal lebih jelas diterangkan oleh Harun yang menyatakan bahwa kewajiban manusia terhadap Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi menjauhi perbuatan jahat, semuanya tak dapat diketahui akal.37
Ketidak mampuan akal dalam
mengetahui wajibnya berbaut baik dan menjauhi perbautan jahat didukung oleh ayat Allah dalam surah Ali Imran ayat 104 yang artinya:
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyerukan kapada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung”.38
Di dalam ayat tersebut dijelaskan perlunya ada manusia yang dapat mengajak untuk melakukan kebajikan, yang dapat mengajak untuk malakukan kebaikan dan
menyerukan untuk tidak malakukan
kejahatan. Ini menunjukkan akal manusia punya keterbatasan dan memerlukan suatu pedoman yang dapat mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kepada kejahatan.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dinyatakan bahwa ayat Allah dan aliran yang dikemukakan para ahli tersebut menegaskan temuan penelitian tentang doktrinal pelaksanaan perbuatan baik dan buruk.
5. Peran Ikhtiar Manusia
Peran ikhtiar manusia adalah Tuhan memberikan suatu kemampuan kepada manusia, yang dengan istilah lain Tuhan memberi qudrat dan iradat kepada manusia, dengan qudrat dan iradat yang diberi Tuhan kepada manusia itu, ia dapat memilih dan merencanakan apa yang harus dilakukannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 29 berikut :
”Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir ....”.39
Ayat di atas menjelaskan segala kebenaran yang ada datangnya dari Tuhan. Disini menunjukkan bahwa adanya suatu ketentuan yang manusia tidak mampu untuk menciptakannya, hanya Tuhannya yang dapat menciptakannya. Oleh sebab itu,
manusia yang ingin mendapatkan
kebenaran, maka hendaklah dia berusaha dengan mendaya gunakan potensi yang diberi oleh Tuhan.
Apabila kemampuan yang diberi oleh Tuhan itu digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan diri sendiri dan orang lain, maka manusia akan mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan tersebut. Tetapi sebaliknya, apabila kemampuan itu tidak digunakan maka dia tidak akan memperoleh sesuatu. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan balasan yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Dan tidak akan ada yang dapat menolong dirinya akibat melakukan kejahatan tersebut bahkan Allah akan memasukkannya kedalam neraka yang kekal di dalamnya. Hal ini dapat dijumpai dalam surah Yunus ayat 27 yang artinya:
”Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalam neraka”.40
Kemampuan yang digunakan untuk kejahatan atau kemudaratan, maka manusia juga akan memperoleh hasil yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat sebagai contohnya, masyarakat yang hidup pada masa Nabi Muhammad, mereka menyakini bahwa ajaran yang
dibawa Nabi Muhammad itu adalah benar. Akan tetapi mereka masih saja tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa Nabi tersebut, yang akhirnya mereka dikatakan dalam al-Qur’an sebagai Ahlul Kitab, atau bahkan kafir.
Dalam hal mendaya gunakan potensi yang ada untuk mengingkari suatu kebenaran, maka manusia juga akan mendapat akibatnya. Hal ini dapat kita lihat kisah Abu Lahab yang diceritakan dalam surah al-Lahab ayat 1-5 yang artinya:
”Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesunggunya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya. Yang di lehernya ada tali dari sabut.41
Selain ayat di atas, kesempatan untuk melakukan usaha digambarkan Allah juga dalam surah Al-Insan ayat 29 berikut: ”Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.”42 Ayat ini lebih jauh mengisyaratkan bahwa manusia diperintah untuk melakukan usaha dengan menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan manusia itu akan mendapat ganjaran berupa kebaikan bagi diri manusia itu.
Kemampuan yang diberi Allah
kepada manusia di atas digenakan oleh manusia dalam bentuk kesungguhan berikhtiar.
Dalam hal ini manusia diberi suatu
kemampuan untuk berikhtia dengan
sungguh-sungguh. Karena kesungguhan itu, manusia akan mendapatkan hasil yang optimal dari usaha yang dilakukannya. Hasil yang diberikan Allah dari usahanya itu tidak hanya pada kehidupan dunia saja akan tetapi juga untuk kehidupan akhirat. Janji Allah itu diungkapkan dalam surah al-Israa’ ayat 19 berikut:
”Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik”.43
Dalam ayat yang lain Allah
menjelaskan kemampuan manusia dapat merobah nasib suatu masyarakat dengan mendaya gunakan potensi yang ada pada diri setiap masyarakat tersebut. Jadi, apabila
setiap orang berusaha melakukan
perobahan misalnya perekonomian, maka masyarakat tersebut akan lebih makmur dari sebelumnya.
Namun kemampuan masyarakat tersebut juga punya keterbatasan karena kemampuan yang ada pada manusia juga ciptaan Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam surah Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: ”... Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”44
Jelaslah bahwa kemampuan manusia di atas kemampuan Allah. Dalam hal kebebasan manusia dalam merencanakan, berbuat sesuatu yang diinginkan di dunia ini, maka hal tersebut akan ditanggung oleh dirinya sendiri, hal ini dikuatkan oleh firman Allah surah an-Nisa’ ayat 111 yang artinya : ”Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.45
Selain ayat-ayat Qur’an di atas, Allah menekankan lagi tentang kesungguhan berusaha dalam surah Al-Ankabut ayat 69 yang artinya:
”Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.46
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang berjihad untuk mendapat ridhonya Allah akan disenangi Allah dan akan diberi imbalan yang setimpal. Kata ’berjihad’ tersebut dapat dimaknai ’berjuang dengan
sungguh-sungguh’.47 Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berikhtiar dengan serius dengan tujuan yang baik maka tidak hanya hasil atau keuntungan materi yang didapat tetapi ibadah yang balasannya surga.
Di samping itu, ada beberapa aliran yang mendukung temuan dan ayat-ayat antara lain: pandangan Jabariah yang
moderat menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbutan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya.48 Demikian juga menurut Al-Asy’ariyah, untuk terujudnya perbuatan perlu ada dua daya yakni daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan. Daya manusia tidak efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan.49
Dalam hal perbuatan manusia Al-Baqillani, salah satu penerus ajaran Asy’ari, menyatakan manusia mempunyai saham
yang efektif dalam mewujudkan
perbuatannya, Tuhan hanya mewujudkan gerak pada diri manusia, adapun bentuk sifat dan jenis perbuatannya dihasilkan oleh manusia.50
Menurut al-Bazdawi salah satu pengikut Maturidi di dalam perwujudan perbuatan ada dua perbuatan. Perbuatan Tuahn dan perbuatan manusia, manusia bebas dalam kemauan dan perbuatannya.51
Al-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa al-Nihal menyatakan bahwa Tuhan menciptakan pada manusia, kekuasaan, kemampuan, pilihan dan kehendak untuk menunaikan suatu perbuatan. Manusia yang dianugerahi kekuasaan perolehan ini, bebas memilih salah satu alternatif dan bebas menghendaki dan berniat untuk melakukan suatu perbuatan dan selaras dengan niat dan pilihan ini, Allah menciptakan dan menyempurnakan perbuatan itu.52
Ulama yang mendukung temuan penelitian ini termasuk Ibn Taimiyah yang memiliki pandangan tentang keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu: Allah pencipta segala sesuatu, hamba pelaku perbuatan
yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga
manusia bertanggungjawab terhadap
perbuatannya; Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.53
Demikian juga Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Manusia telah dianugerahkan Tuhan berbagai macam daya, dengan daya itulah manusia merealisasikan kehendaknya.54
Bertitik tolak dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ayat Allah dan aliran yang dikemukakan para ahli tersebut menegaskan temuan penelitian tentang peran ikhtiar manusia adalah manusia diberi kemampuan oleh Tuhan, maka manusia dapat menggunakan kemampuan tersebut
dengan sungguh-sungguh untuk
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.
D.Penutup
Berdasarkan deskripsi di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, corak teologi akademisi Muslim yang berlatar belakang pendidikan barat ditinjau dari peran akal dalam memperoleh pengetahuan mencakup: (a) keterbatasan akal, (b) keniscayaan kewajiban mengetahui Tuhan, (c) universalitas kebaikan dan keburukan, dan (d) doktrinal pelaksanaan baik dan buruk.
Kedua, apabila dihubungkan dengan corak teologi yang ada, akademisi Muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat ditinjau dari peran akal dalam memperoleh pengetahuan ternyata tidak memiliki satu aliran tertentu, namun mereka menganut kombinasi berbagai aliran yakni aliran mu’tazilah, Ibn Taimiyah, al-Maturidiyah, al-Asy’ariah, dan Muhammad Abduh.
Ketiga, corak teologi Muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat ditinjau dari peran ikhtiar manusia adalah Tuhan
menciptakan manusia dengan suatu
kemampuan. Yang dengan kemampuan tersebut manusia dapat melakukan suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh atau
dapat melakukan perbuatan untuk menghindari kemudaratan.
Keempat, apabila dikaitkan dengan corak aliran teologi yang berkembang saat ini maka akademisi muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat dalam hal peran ikhtiar manusia menganut kombinasi beberapa corak yakni kombinasi berbagai corak teologi yaitu Qadariyah, Jabariah moderat, Ibn Taimiyah, al-Asy’ariah, dan Al-maturidiyah, Abduh, Ahmad Khan.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hye, Abdul, Aliran-aliran Filsafat Islam, Bandung: Nuansa Cendekia, 2004. al-Ghazali, Kitab al-Arba’an fi Ushul al-Lin,
Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1988. al-Zarnudji, Syekh, Panduan Belajar bagi
Penuntut Ilmu, Jakarta: Pustaka Amani, 2005.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang,1992.
Arlina, ”Tauhid/Ilmu Kalam”, Diktat, Medan: Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2008.
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar-Fikr, t.t.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV Indah Press, 1994.
________, Ensiklopedi Islam di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1992.
Hanafi, Ahmad, Theologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ismail, Faisal, Kerancuan Pemikiran Cak Nur,
27 April 2009
(http://www.nu.or.id/page.php?lang
=id&menu=news_view&news_id=15 79).
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, Juz. 13, Kairo: Dar al-Misyriyah, t.t. Miles, Matthew B. dan A. Michael
Huberman, Qualitative Data Analysis, Beverly Hills: SAGE Publications, Inc., 1984.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jil.II, UI-Press, Jakarta, 1985.
________, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1989.
________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987.
________, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Pustaka,“Teologis“, Mei 2009
(http://www.wisdoms4all.com/Indo nesia/doc/Pustaka/Mengenal%20Sif at2/telaah%20teologis11.htm.)
Rasyid, Daud, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Usamah Press, 1993.
Rozak, Abdul & Rosihan Anwar, Ilmu
Kalam, Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2007.
Wajdi, Muhammad Farid, Dairah Ma’arif Al-Qarn al-Isryrin, Jilid 6, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.t.
Wojowasito, S., Kamus Bahasa Indonesia. Malang: CV Pengarang, 1999.
1 Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta: Usamah Press, 1993), p. 49.
2
S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia
(Malang: CV Pengarang, 1999), p. 62.
3
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta : UI-Press, 1986), p. 79. 4Ibid.,p. 80. 5 Ibid., pp. 11-60. 6 Harun, Teologi, p. 80. 7 Ibid. 8
Asy-Syahrastani, al-Milal wa An-Nihal, (Dar-fikr, Beirut, t.t.), p, 52.
9Ibid., p. 58.
10 Harun, Teologi, p. 99. 11Ibid., pp. 81-82. 12
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid.II, (Jakarta: UI-Press, 1985), p. 38.
13
Ibid., p. 83.
14
Harun Nasutioan, Islam Rasional, (Jakarta; Mizan, 1989), p. 374.
15 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), p. 104.
16 Rozak & Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Penerbit Pustaka Setia, 2007), p. 214.
17
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang,1992), p. 115.
18
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan TeologiRasionalMu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), p. 50.
19 Rojak, Ilmu, p. 117. 20
Ibid., p. 203.
21
Harun Nasutioan, Islam, p. 84.
22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV Indah Press, 1994, p. 535.
23
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, p. 437.
24 Ibid., p. 390 25 Ibid., p. 426. 26 Ibid., p. 492.
27 Harun Nasution, Muhammad, p. 85. 28 Ibid., p. 83.
29 Departemen Agama RI, al-Qur’an, p. 67. 30
Ibid., p. 372.
31
Asy-Syahrastani, al-Milal, p. 52.
32
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, p. 104.
33
Al-Bazdawi dalam Arlina,”Tauhid Ilmu Kalam”, Diktat, Medan: Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, 2008, p. 87.
34 Departemen Agama RI, al-Qur’an, p. 1006. 35
Ibid., p. 8.
36
Harun Nasution, Muhammad, p. 101.
37
Harun Nasution, Muhammad, p. 373.
38
Departemen Agama RI, al-Qur’an, p. 93.
39 Ibid., p. 8. 40Ibid, p. 310-311. 41Ibid, p. 1116. . 42 Ibid, p. 1006. 43 Ibit, p. 427. 44 Ibid, p. 370 45 Ibid., p. 140. 46 Ibid., p. 638.
47 Syekh Al-Zarnudji, Panduan Belajar bagi Penuntut Ilmu, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), p. 44.
48 Abdul Rozak, Ilmu, p. 160. 49
Harun, Muhammad, p. 111.
50
Al-Ghazali, Kitab al-Arba’an fi Ushul al-Lin
(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1988), pp. 13-14.
51
Harun, Muhammad, p. 115.
52
Abdul Hye, Aliran-aliran Filsafat Islam
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), p. 70.
53 Rozak, Ilmu,pp. 116-117. 54Ibid.