• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PRINSIP THE MOST FAVOURED NATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI BILATERAL INVESTMENT TREATIES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN PRINSIP THE MOST FAVOURED NATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI BILATERAL INVESTMENT TREATIES"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PRINSIP

THE MOST FAVOURED NATION

DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI INTERNASIONAL

YANG BERASAL DARI

BILATERAL INVESTMENT TREATIES

IRENE MIRA

PEMBIMBING : ADIJAYA YUSUF DAN HADI RAHMAT PURNAMA

Prinsip The Most Favoured Nation merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang paling penting untuk diterapkan dalam bidang investasi internasional. Penerapan prinsip ini diatur dalam beberapa instrumen hukum internasional termasuk dalam berbagai Bilateral Investment Treaties. Penerapan prinsip The Most Favoured Nation sendiri menjadi perdebatan ketika muncul pertanyaan mengenai apakah prinsip ini hanya diterapkan untuk perihal substantif dalam kegiatan investasi saja atau dditerapkan hingga perihal prosedural seperti penyelesaian sengketa investasi internasional. Perdebatan mengenai hal tersebut dapat dilihat dari sengketa-sengketa investasi internasional yang diselesaikan pada forum pengadilan internasional dan arbitrase internasional.

Kata Kunci:

Bilateral Investment Treaties, prinsip The Most Favoured Nation dan sengketa investasi internasional

Principle of The Most Favoured Nation is one of the most important principles of international law to be applied in international investment field. The application of this principle is regulated by international law instruments including Bilateral Investment Treaties. The application of this principle comes into debate when questions on whether the principle of most favoured nation is applicable only to substantive matter of investment activities or its applicability also extends to procedural matters such as international investment dispute settlement. The debate can be seen from international investment dispute which are settled in international courts forum and international arbitration forum.

Keyword(s):

Bilateral Investment Treaties, the Most Favoured Nation principle, international investment dispute

PENDAHULUAN

Dilihat dari sejarahnya, prinsip the Most-Favoured-Nation (MFN) telah menjadi pilar utama dari kebijakan perdagangan sejak abad ke-12, namun terminologi MFN

(2)

muncul pertama kalinya pada abad ke-171. Penggunaan klausa- klausa MFN (MFN

clauses) kemudian makin menyebar seiring dengan pesatnya perkembangan kegiatan komersial di abad ke- 15 dan ke-162. Di abad ke-18, Amerika Serikat memasukkan klausa MFN pada perjanjian pertamanya yaitu pada Treaty of Amity and Commerce

dengan Prancis yang menyatakan bahwa3. Pada tahun 1800-an dan 1900-an, klausa MFN sering dimasukkan ke dalam berbagai macam perjanjian, terutama dalam Treaty of Friendship, Commerce and Navigation between the United States of America and the Federal Republic of Germany pada tanggal 14 Juli 1956. Kemudian, perlakuan MFN dibuat menjadi salah satu kewajiban dasar dari kebijakan komersial pada

Havana Charter yang mewajibkan para negara anggotanya untuk mengambil tindakan–tindakan yang menghindari diskriminasi antar para investor asing4. Pencantuman klausa MFN kemudian menjadi praktek umum dalam perjanjian bilateral, regional dan multilateral yang berkaitan dengan investasi setelah Havana Charter gagal diberlakukan5.

Penerapan prinsip the Most-Favoured-Nation (MFN) melalui ketentuan – ketentuan atas perlakuan MFN (MFN treatment) dan klausa MFN (MFN clause) pada perjanjian investasi internasional (international investment agreements / IIAs) seperti

Bilateral Investment Treaties / BITs dan Preferential Trade and Investment Agreements (PTIAs) 6 , memiliki fungsi seperti dalam konteks perdagangan internasional dan bertujuan untuk menciptakan komitmen yang dibuat negara – negara pada perjanjian dagang internasional untuk memberikan perlakuan preferensial

                                                                                                               

1 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Directorate for

Financial and Enterprise Affairs, Working Papers on International Investment Number 2004/2: Most-Favoured-Nation Treatment in International Investment Law (September 2004), hlm. 3

2Ibid. Pada referensi ini tertulis bahwa: “MFN treatment has been a central pillar of trade policy for centuries. It can be traced back to the twelfth century, although the phrase seems to have first appeared in the seventeenth century”.

3 Treaty of Amity and Commerce between France and United States of America (6 Februari

1778), Art. 3.

4 Interim Commission for The International Trade Organization, Final Act and Related Documents (United Nations Conference on Trade and Employment held at Havana, Cuba, from November 21, 1947 to March 24, 1948), Art. 12 par. 2(a)(ii)

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/havana_e.pdf, diunduh 9 April 2013.

5 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Directorate for

Financial and Enterprise Affairs, loc.cit.

6 Perjanjian Investasi Internasional yang akan menjadi fokus pembahasan pada artikel ini

(3)

(preferential treatment) atas barang dan jasa pada akses pasar7. Akan tetapi, dalam

konteks investasi internasional yang dalam prakteknya melintasi batas negara, prinsip MFN bekerja secara berbeda8. Klausa MFN menghubungkan perjanjian – perjanjian investasi internasional dengan menjamin bahwa pihak – pihak dari suatu perjanjian investasi internasional tidak akan memberikan perlakuan yang lebih merugikan (less favourable treatment) kepada para investor dari negara yang berbeda-beda9.

Hal selanjutnya yang penting untuk dibahas adalah skruktur operasi dari prinsip MFN menurut hukum internasional. Struktur operasi tersebut adalah sebagai berikut: Negara A (granting State) memiliki perjanjian dengan negara B (beneficiary State) yang mewajibkan negara A dan negara B untuk saling memberikan hak dan keuntungan dalam suatu konteks yang spesifik tidak hanya kepada satu sama lain, tetapi juga memberikan hak dan keuntungan tersebut kepada negara C (third State). Sebagai konsekuensi, negara B dapat merujuk kepada perjanjian antara negara A dengan negara C selama hak dan keuntungan yang diberikan berada dalam cakupan penerapan klausa MFN dalam perjanjian antara negara A dan B. Perjanjian antara negara A dan negara B disebut sebagai perjanjian dasar (basic treaty) sedangkan perjanjian antara negara A dan negara C disebut juga sebagai perjanjian pihak ketiga (third-party treaty)10.

Dalam kerangka hukum internasional, prinsip MFN untuk pertama kalinya hendak dipelajari lebih lanjut dan dikodifikasi untuk kemudian dijadikan suatu konvensi multilateral mengenai cara kerja klausa MFN oleh pendahulu International Law Commission (ILC) yaitu: the Committee of Experts for the Progressive Codification of International Law (Committee of Experts) di tahun 1920-an11. Namun pada akhirnya Committee of Experts menyimpulkan bahwa: international regulation of these questions by way of a general convention, even if desirable, would encounter

                                                                                                               

7 United Nations Conference on Trade and Development, Most-Favoured-Nation Treatment: UNCTAD Series on Issues in International Investment Agreements II (United Nations: New York & Geneva, 2010), hlm. xiii.

8 Ibid.

9 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Directorate for

Financial and Enterprise Affairs op.cit.,hlm. 2.

10 Schill, op.cit., hlm. 126 – 127.

11 Tony Cole, “The Boundaries of Most Favored Nation Treatment in International Law”

(4)

serious obstacles” and, consequently, decided not to proceed12. Kemudian usaha yang

sama dilanjutkan kembali oleh ILC pada tahun 1967 hingga tahun 1978, ILC menyerahkan Draft Articles on Most-Favored-Nation Clauses13 kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa–Bangsa (United Nations General Assembly) dan merekomendasikan rancangan tersebut sebagai dasar untuk konvensi multilateral14. Meskipun masih berupa rancangan dan belum berubah menjadi konvensi multilateral namun Draft Articles on Most-Favored-Nation Clauses tetap menjadi indikasi dari praktek negara (state practices) dan opinio juris atas pengertian umum dan interpretasi klausa MFN dalam perjanjian internasional15. Di samping itu, Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses juga sering menjadi rujukan pengadilan internasional dan badan arbitrase internasional dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan menyangkut klausa MFN dan perlakuan MFN yang muncul dalam sengketa investasi internasional. Saat menginterpretasi dan menjawab – menjawab pertanyaan mengenai klausa MFN yang muncul dalam kasus, badan arbitrase internasional dan peradilan internasional menggunakan aturan ejusdem generis16 yang disertai dengan rujukan kepada Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 untuk mengintepretasi klausa MFN yang ada dalam BIT. Di samping itu, Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses juga menegaskan penerapan prinsip res inter alios acta17.

Prinsip MFN ternyata tidak hanya diterapkan pada substansi dari kegiatan investasi saja, prinsip ini juga diterapkan pada tahap prosedural dari suatu

                                                                                                               

12 First Report on the most-favoured-nation clause by Mr. Endre Ustor, Special Rapporteur

(Yearbook of the International Law Commission: 1969, Vol. II), hlm. 172.

http://untreaty.un.org/ilc/documentation/english/a_cn4_213.pdf, diunduh 10 April 2013.

13 Draft Articles on Most-Favored-Nation Clauses 1978 tidak hanya berisi mengenai klausa

MFN di dalam bidang investasi internasional saja, tetapi juga klausa MFN dalam perjanjian – perjanjian internasional.

14 International Law Commission, Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses 1978, vol.

II (1978), para.74, hlm. 16.; Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses diadopsi oleh Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa – Bangsa pada pertemuan ke-1522 tertanggal 20 Juli 1978.

15 Schill, op.cit., hlm. 139.

16 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Directorate for

Financial and Enterprise Affairs, op.cit., hlm. 8.; Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses 1978, op.cit., Commentary to Arts. 9 & 10, p.27.

Menurut Black’s Law Dictionary, arti dari ejusdem generis adalah: of the same kind, class, or nature. 17 Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses 1978, op.cit., Commentary of Art. 8, p. 26.

Menurut Black’s Law Dictionary, res inter alios acta adalah: a thing done between others, or between third parties or strangers.

(5)

penyelesaian sengketa investasi yang berasal dari BITs. Pada kasus Emilio Agustin Maffezini v. Kingdom of Spain18, klausa MFN yang ada pada third-State BIT (BIT antara Chile dan Spanyol) dapat menjadi dasar bagi Maffezini, seorang investor berkewarganegaraan Argentina yang memiliki investasi di Spanyol untuk membawa sengketa investasi ke forum International Centre of Investment Dispute Settlement

(ICSID) tanpa harus menempuh ketentuan exhaustion of domestic remedies melalui

amicable dispute settlement antara kedua pihak dan penyelesaian sengketa di pengadilan domestik Spanyol berdasarkan kesepakatan dalam BIT antara Argentina dan Spanyol sebagai basic treaty dengan merujuk pada ketentuan masa tunggu dari BIT antara Chile dan Spanyol. Penerapan prinsip MFN yang lebih jauh lagi pada prosedur penyelesaian sengketa juga terjadi di kasus Siemens A.G. v. The Argentine Republic19. Pada kasus ini, arbitral tribunal ICSID memperbolehkan pihak investor yakni Siemens A.G dari Jerman untuk menggabungkan keuntungan – keuntungan (benefits) dari third-State BIT, tanpa harus terikat pada kondisi – kondisi lain yang kurang menguntungkan (less favorable conditions) yang ada di dalam third-State BIT

yang bersangkutan. Dengan kata lain, arbitral tribunal ICSID berpendapat bahwa perlakuan MFN mempunyai efek untuk menyeleksi keuntungan – keuntungan yang ada pada third-State secara independen tanpa harus menggabungkan limitasi – limitasi yang ditetapkan oleh third-State BIT. Meskipun, arbitral tribunal ICSID secara umum menerima penerapan klausa MFN untuk mengelak dari resktriksi prosedural dalam perihal diterimanya arbitrase antara investor dan negara (admissibility of investor – State arbitration), namun debat lain juga muncul mengenai apakah pertimbangan yang ada pada kasus Emilio Agustin Maffezini v. Kingdom of Spain dan Siemens A.G. v. Argentine Republic dapat diterapkan untuk memperluas jurisdiksi dari suatu badan pengadilan/arbitrase berbasis perjanjian (treaty-based tribunal). Perdebatan mengenai hal ini muncul pada kondisi - kondisi beberapa BITs dari host State sama sekali tidak memiliki persetujuan atas penyelesaian sengketa antara investor dan negara20, atau BITs dari host State                                                                                                                

18 Emilio Agustín Maffezini v. The Kingdom of Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Decision

of the Tribunal on Objections to Jurisdiction, 25 January 2000.

19 Siemens AG v. The Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/02/8, Decision on

Jurisdiction, 3 August 2004.

20 Treaty between the Federal Republic of Germany and Pakistan for the Promotion and

(6)

membatasi perihal yang diselesaikan dalam penyelesaian sengketa antara investor dan negara hanya untuk beberapa hal saja, misalnya tentang ekspropriasi dan kompensasi, atau saat BITs dari host State menyediakan forum penyelesaian sengketa yang berbeda. Perdebatan mengenai hal – hal tersebut dibahas pada kasus Plama v. Bulgaria21 yang diselesaikan di ICSID. Pada tahun 2012, beberapa kasus mengenai penerapan prinsip MFN dalam penyelesaian sengketa investasi internasional juga dianalisis dan diputuskan oleh ICSID dan Permanent Court of Arbitration (PCA). Dua dari beberapa kasus ini adalah ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic yang diselesaikan di PCA22 dan Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The Argentine Republic23 yang diselesaikan di ICSID.

PEMBAHASAN

Dalam kerangka hukum internasional, pengaturan prinsip MFN dalam bidang investasi internasional diterapkan melalui perlakuan MFN (MFN treatment) dan klausa MFN (MFN clause)24, di mana kepastian hukum atas perlakuan MFN diterapkan melalui klausa MFN dari suatu perjanjian investasi internasional, baik dalam BITs maupun perjanjian investasi multilateral (Multilateral Investment Treaties). Hal ini ditunjukkan oleh Article 4 dan Article 5 dari Draft on Most-Favoured-Nation Clauses 1978. Article 5 menyebutkan bahwa: “ Most-favoured-nation treatment is treatment accorded by the granting State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined relationship with that State, not less favourable than treatment extended by the granting State to a third State or to persons or things in the same relationship with that third State”. Sedangkan Article 4

menyatakan “A most-favoured-nation clause is a treaty provision whereby a State                                                                                                                

21 Plama Consortium Ltd. v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24, Decision on Jurisdiction,

8 February 2005.

22 In the Matter of An Arbitration Pursuant to the Agreement Between the Government of the

United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the Republic of Argentina for the Promotion and Protection of Investments, signed 11 December 1990 and the UNCITRAL Arbitration Rules 1976 between ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic, PCA Case No. 2010-9, Award on Jurisdiction, 10 February 2012.

23Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/09/1, Decision on Jurisdiction, 21 December 2012.

(7)

undertakes an obligation towards another State to accord most-favoured-nation treatment in an agreed sphere of relation.”

Dari isi kedua pasal tersebut, maka dapat dilihat bahwa perlakuan MFN dalam praktek di bidang investasi internasional diterapkan melalui klausa MFN pada suatu BIT. Menurut hukum internasional, ada 2 macam prinsip MFN di bidang investasi yaitu: prinsip ejusdem generis dan prinsip res inter alios acta25. Penerapan kedua prinsip ini ada pada klausa MFN (MFN clause) dari suatu perjanjian investasi internasional. Di samping itu, Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses juga menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang dapat menjadi suatu panduan untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip MFN itu sendiri di dalam perjanjian-perjanjian internasional. Prinsip ejusdem generis adalah prinsip yang mengatur bahwa suatu klausa MFN hanya dapat menarik suatu perihal yang termasuk dalam kategori subjek yang sama dan berkaitan dengan klausa MFN itu sendiri26. Article 9 dari Draft Articles on Most-Favoured-Nation Clauses menyatakan bahwa beneficiary State dari suatu klausa MFN seharusnya memperoleh keuntungan untuk beneficiary State itu sendiri atau untuk individual maupun kepentingan untuk perihal lain yang telah ditetapkan melalui klausa MFN27. Article 10 dari Drafts on Most-Favoured-Nation Clauses28 menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh terbatas hanya untuk hak-hak yang diatur dalam subjek klausa MFN, dan hanya berkenaan dengan orang-orang atau hal-hal yang ditentukan dalam klausa atau yang tersirat dari pokok perihal yang diatur oleh klausa MFN yang bersangkutan. Ada tiga kasus yang menjadi rujukan ILC dalam menganalisis prinsip ejusdem generis yaitu: Anglo-Iranian Oil Company Case                                                                                                                

25 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Directorate for

Financial and Enterprise Affairs op.cit, hlm. 9, United Nations Conference on Trade and Development,

op.cit, hlm. 24.

26Ibid, hlm. 9.

27 Art.9 dari Drafts on Most-Favoured-Nation Clauses menyatakan bahwa: 1. Under a most-favoured-nation clause the beneficiary State acquires, for itself or for the benefit of persons or things in a determined relationship with it, only those rights which fall within the limits of the subject-matter of the clause, 2. The beneficiary State acquires the rights under paragraph 1 only in respect of persons or things which are specified in the clause or implied from its subject-matter.

28 Art.10 dari Drafts on Most-Favoured-Nation Clauses 1978 menyatakan bahwa: (1) Under a most-favoured-nation clause the beneficiary State acquires the right to most-favoured-nation treatment only if the granting State extends to a third State treatment within the limits of the subject-matter of the clause, (2) The beneficiary State acquires rights under paragraph 1 in respect of persons or things in a determined relationship with it only if they: (a) belong to the same category of persons or things as those in a determined relationship with a third State which benefit from the treatment extended to them by the granting State and(b) have the same relationship with the beneficiary State as the persons and things referred to in subparagraph (a) have with that third State.

(8)

(1952)29, Case concerning Rights of Nationals by the United States of America in

Morocco (1952)30dan Ambatielos Case (Greece v. United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, 1956)31. Sedangkan prinsip res inter alios acta menyentuh isu mengenai apakah suatu perlakuan lebih menguntungkan dalam third-party treaty (granting State dengan third State) dapat menjadi rujukan di luar basic treaty

(granting State dengan beneficiary State) dan apakah rujukan pada third-party treaty

tersebut dapat mempengaruhi hak – hak investor yang bukan merupakan pihak dari perjanjian tersebut32. Third-party treaty tidak merubah hubungan perjanjian yang dibuat antara granting State dengan beneficiary State. Seperti yang dikemukakan oleh ICJ dalam kasus Anglo-Iranian Oil Company: “… A third-party treaty, independent of and isolated from the basic treaty, cannot produce any legal effect as between the [beneficiary State] and [the granting State]: it is res inter alios acta33.

Untuk melihat sejauh mana cakupan dari penerapan perlakuan MFN yang ada di dalam klausa BIT ada hal – hal yang perlu dipertimbangkan. Hal – hal ini yaitu: cakupan perihal subjek (subject-matter coverage) dan cakupan substantif (substantive coverage). Cakupan substantif umumnya dibentuk oleh teks klausa perlakuan MFN itu sendiri dengan mendefinisikan beneficiaries yang termasuk dalam cakupan BIT yang bersangkutan, fase investasi yang dicakup dan pengecualian – pengecualian yang berlaku34. Secara spesifik, cakupan dari penerapan klausa MFN akan tergantung dari apakah perlakuan MFN meliputi35: investor; dan/ atau investasi dari investor.

Untuk kedua unsur tersebut, biasanya perlakuan MFN dalam suatu perjanjian investasi internasional diberikan untuk investor dan investasi yang mereka miliki, akan tetapi klausa MFN boleh saja membatasi penerima perlakuan MFN (beneficiaries), misalnya klausa MFN menetapkan agar perlakuan MFN hanya

                                                                                                               

29 Anglo-Iranian Oil Company (United Kingdom v. Iran), Judgment, 22 Juli 1952, (I.C.J.

Reports :1952).

30 Case concerning Rights of Nationals of the United States of America in Morocco (France v.

United States of America), Judgment, 27 Agustus 1952, (I.C.J. Reports :1952).

31 Ambatielos, (Greece v. United Kingdom), Judgment, 1 Juli 1952, (ICJ ReportsL 1952);

Ambatielos Claim (Greece, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland), Reports of International Arbitral Awards, 6 Maret 1956.

32 Alexander Koch, “The Interraction of MFN Clauses With Dispute Settlement Provisions in

Investment Treaties – A New Continent to Discover?”, (Master Thesis, Stockholm University, Stockholm, 2007), hlm. 6.

33 Anglo-Iranian Oil Company (United Kingdom v. Iran), op.cit., hlm. 109. 34 United Nations Conference on Trade and Development, op.cit., hlm. 18. 35Ibid.

(9)

diberikan kepada investor saja36. Jenis pendekatan yang diterapkan untuk hal ini

memiliki konsekuensi penting menigngat bahwa investor dan investasi, meskipun berhubungan secara langsung, adalah subjek yang berbeda dan mungkin memiliki hak – hak berbeda yang diatur dalam perjanjian investasi internasional37. Di samping itu, klausa MFN dalam BITs bisa juga mencakup post-establishment phase (fase pasca dibentuknya atau ditetapkannya suatu investasi, atau pre/post-establishment phases

(fase pra dan pasca dibentuknya atau ditetapkannya suatu investasi). Dalam hal pre-establishment phase, perlakuan MFN meliputi kondisi – kondisi untuk masuknya atau dilakukannya suatu investasi, dengan kata lain memberikan hak – hak tertentu kepada investor saat investasi mulai terealisasikan secara efektif dan saat proses terbentuknya investasi berlangsung38. Sedangkan untuk post-establishment phase, perlakuan MFN hanya berlaku untuk diterapkan ketika investasi telah terbentuk, dengan demikian perlindungan yang diberikan mencakup jalannya siklus investasi asing setelah masuk ke dalam suatu negara (di mana masuknya suatu investasi asing diatur oleh hukum dan kebijakan nasional)39.

Selain itu, konstruksi dari klausa MFN tersebut bisa saja meliputi pengecualian umum (generic exceptions) dan/atau pengeculian yang ditetapkan secara spesifik oleh suatu negara (country-spesific exceptions) seperti pengecualian perlakuan MFN dalam perpajakan dan kondisi – kondisi yang memberikan pengecualian perlakuan MFN pada negara anggota free trade area agreements, custom union atau perjanjian sejenisnya. Selanjutnya, kualifikasi atau klarifikasi (qualifications and/or clarifications) dapat dicantumkan untuk memberikan kepastian dan pedoman atas interpretasi dan penerapan dari perlakuan MFN yang menjadi keinginan contracting States seperti contohnya apa saja kegiatan investasi yang akan diberikan perlakuan MFN (misalnya; operation, management, maintenance)40.

Model BITs merupakan dasar atau acuan bagi suatu negara untuk melakukan negosiasi dengan negara lain dalam pembuatan BITs. Model BITs hanya suatu contoh produk hukum yang dibuat oleh kementerian/departemen yang bersangkutan dalam suatu negara. Model BITs juga kurang lebih menggambarkan tipologi dan iklim

                                                                                                                36Ibid, hlm. 19. 37Ibid. 38Ibid. 39 Ibid, hlm. 20. 40 Ibid. hlm. 21.

(10)

investasi yang ada di suatu negara serta merupakan implementasi dari suatu kebijakan negara di bidang investasi internasional. Ketika suatu rancangan BITs telah disetujui dan difinalisasi maka hasilnya akan merepresentasikan isi dan intensi dalam konteks bidang investasi dari kedua negara yang sebelumnya telah mereka cantumkan di dalam Model BITs. Klausa-klausa MFN dari beberapa Model BITs dan juga BITs menunjukkan bahwa dalam mencantumkan ketentuan mengenai perlakuan MFN, mayoritas dari Model BITs dan BITs yang ada menunjukkan bahwa klausa MFN yang tertera di dalamnya telah mencakup perlakuan MFN terhadap investor dan/atau invetasi, pre/post establishment phases, exceptions dan qualification/ clarification. Tipologi klausa MFN dari beberapa Model BITs yang telah dibahas adalah:

1. Perlakuan MFN yang diberikan untuk investor dan investasi dari contracting States pada suatu BIT tidak boleh lebih merugikan dibandingkan dengan perlakuan MFN yang diterima oleh investor dan investasi dari third State. 2. Perlakuan MFN yang ditetapkan dalam suatu klausa MFN tidak dapat

diberikan oleh contracting States dalam suatu BIT berbeda dan tidak dapat dihubungkan dengan perlakuan MFN yang diberikan oleh salah satu atau kedua contracting Parties kepada third States dalam perjanjian – perjanjian seperti free trade area agreements, customs union, perjanjian kerjasama ekonomi regional dan perjanjian lainnya yang sejenis.

3. Tiap Model BIT mencantumkan pembatasan, pengecualian, atau klasifikasi mengenai cakupan kegiatan investasi yang menerima perlakuan MFN.

BITs sebagai perjanjian harus diinterpretasi menurut Law of Nations dan bukan menurut municipal code41. Ini berarti dalam melakukan interpretasi terhadap suatu BIT, maka hukum yang harus digunakan adalah hukum internasional, tepatnya

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT). VCLT digunakan karena dua alasan yaitu: karena pihak – pihak dalam BIT yang bersangkutan adalah

contracting States dari VCLT atau karena aturan interpretasi dalam VCLT merepresentasikan hukum kebiasaan internasional42 yaitu : Article 31 VCLT43 dan

                                                                                                               

41 Asian Agricultural Products Limited v. Republic of Sri Lanka (AAPL v. Sri Lanka), ICSID

Case NoARB/87/3, Award , 27 June 1990.

42 Campbell McLachlan QC,, Laurence Shore, Matthew Weiniger International Investment Arbitration: Substantive Principles, (New York: Oxford University Press Inc., 2008), hlm. 66.

43  Art. 31 dari Vienna Convention on the Law of Treaties menyatakan bahwa:

“(1) A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose

(11)

Article 32 dari VCLT44. Dengan ketentuan yang diatur dalam VCLT tersebut maka

tahap-tahap interpretasi yang dilakukan adalah45:

a. Pada saat arbitral tribunal atau pengadilan hendak menentukan cakupan penerapan dari suatu klausa MFN terhadap ketentuan penyelesaian sengketa dalam suatu BIT, maka yang harus dimulai pertama kali adalah menganalisis

ordinary meaning of the text in light of the object and purpose of the Treaty.

Dalam menginterpretasikan klausa MFN, biasanya tiga tipologi yang ditemukan dan digunakan adalah: broad Clauses dan ordinary meaning of “treatment”, narrow Clauses dan “treatment” under the principle of ejusdem generis dan ordinary meaning viewed in light of object and purpose of the treaty

b. Rujukan pada Article 32 dari VCLT mengatur adanya necessary “out” bagi

arbitral tribunal untuk meghindari penggunaan klausa MFN demi menciptakan juridiksi.

c. Isi dan ketentuan dalam BITs yang menjadi komitmen dan tanggung jawab para contracting States yang bersangkutan.

Dalam kasus Emilio Agustin Maffezini v. Kingdom of Spain (Maffezini v. Spain), pihak Claimant adalah Emilio Agustin Maffezini, seorang investor berkewarganegaraan Argentina dan pihak Respondent adalah Republik Argentina. Sengketa yang dibawa ke hadapan ICSID ini adalah sengketa yang berasal dari perlakuan yang diduga diterima oleh Maffezini dari entitas Spanyol yang

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             

(2) The context for the purpose of the interpretation of a treaty shall comprise, in addition to the text, including its preamble and annexes:

(a) any agreement relating to the treaty which was made between all the parties in connection with the conclusion of the treaty (b) any instrument which was made by one or more parties in connection with the conclusion of the treaty and accepted by the other parties as an instrument related to the treaty.

(3) There shall be taken into account, together with the context: (a) any subsequent agreement between the parties regarding the interpretation of the treaty or the application of its provisions; (b) any subsequent practice in the application of the treaty which establishes the agreement of the parties regarding its interpretation; (c) any relevant rules of international law applicable in the relations between the parties. 4. A special meaning shall be given to a term if it is established that the parties so intended.”

44  Article 32 dari Vienna Convention on the Law of Treaties menyatakan bahwa: “Recourse

may be had to supplementary means of interpretation, including the preparatory work of the treaty and the circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the application of article 31, or to determine the meaning when the interpretation according to article 31: (a) leaves the meaning ambiguous or obscure; or (b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable.”  

45  Stephanie Parker, “ A BIT at a Time: The Proper Extension of the MFN Clause to Dispute Settlement Provisions in Bilateral Investment Treaties”, hlm. 43.

(12)

berhubungan dengan investasi Maffezini di Galicia, Spanyol. Dalam permintaan penyelesaian sengketa yang diajukan kepada ICSID, Claimant menggunakan ketentuan – ketentuan dalam the 1991“Agreement for the Reciprocal Promotion and Protection of Investments between the Kingdom of Spain and the Argentine Republic” (Argentine-Spain BIT). Dalam kasus ini, Respondent mengajukan argumen bahwa

exhaustion of local remedies di pengadilan domestik Spanyol untuk menyelesaikan sengketa di antara kedua belah pihak yang diatur dalam Article X dari Argentine-Spain BIT belum ditempuh oleh Claimant. Menurut Claimant, analisis mengenai ketentuan Article X dari Argentine – Spain BIT yang relevan dalam kasus ini mengindikasikan bahwa suatu sengketa tidak perlu diserahkan ke hadapan pengadilan domestik sebelum diserahkan ke hadapan forum arbitrase internasional selama sengketa tersebut masih berlanjut dan periode delapan belas bulan yang disebutkan di atas telah berakhir46. Menurut pandangan Claimant, kesimpulan ini diperoleh dari fakta bahwa Article X(3) dari Argentine – Spain BIT memperbolehkan suatu sengketa untuk dibawa ke hadapan forum arbitrase internasional terlepas dari apakah putusan pengadilan domestik telah dihasilkan dan apakah hasil dari putusan itu sendiri47.

Claimant juga mengajukan argumen mengenai penerapan prinsip MFN dengan merujuk pada Article IV dari Argentine-Spain BIT mengenai ketentuan MFN dan

Article 10(2) dari Chile-Spain BIT yang tidak mewajibkan ketentuan exhaustion of local remedies seperti ketentuan yang ada dalam Argentine-Spain BIT. Respondent

dalam hal ini berargumen bahwa perjanjian– perjanjian yang dibuat antara Spanyol dan third States adalah in respect of Argentina res inter alios acta sehingga tidak dapat digunakan dalam argumen Claimant48. Di samping itu, menurut prinsip ejusdem generis, klausa MFN hanya dapat beroperasi untuk perihal yang sama dan tidak bisa diperluas untuk perihal – perihal lain yang berbeda dengan perihal yang telah diatur dalam basic treaty49. Menurut pandangan Respondent, hal ini berarti rujukan pada klausa MFN yang diatur dalam Argentine – Spain BIT mengenai perihal/matters

seharusnya hanya dimengerti sebagai perihal substantif atau aspek material atas perlakuan yang diberikan kepada investor dan bukan perihal mengenai prosedural

                                                                                                               

46Ibid, par. 26. 47Ibid. 48Ibid, par. 41.     49Ibid.

(13)

atau jurisdiksi. Arbitral tribunal dalam kasus ini melihat kepada prinsip ejusdem generis, prinsip res inter alios acta dan juga praktek negara Spanyol dilihat dari BITs yang dibuatnya dengan negara-negara lain. Menurut arbitral tribunal, jika pendekatan yang tepat adalah dengan mempertimbangkan bahwa perihal subjek yang diatur oleh klausa MFN memang terdapat pada basic treaty dan perihal subjek tersebut diberikan secara lebih menguntungkan kepada third States maka dengan klausa MFN tersebut, perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada beneficiary State pada basic treaty50. Arbitral tribunal menambahkan jika third-party BIT merujuk kepada perihal yang tidak diatur dalam basic treaty, maka perihal tersebut adalah res inter alios acta

sehubungan dengan beneficiary State. Melalui BITs Spanyol dengan negara-negara lain terlihat bahwa masa tunggu untuk membawa sengketa investasi untuk diselesaikan di forum arbitrase internasional memiliki preferensi kurang dari delapan belas bulan (enam bulan hingga dua belas bulan). Arbitral tribunal dalam kasus ini memutuskan bahwa argumen Claimant mengenai penerapan klausa MFN dapat diterima. Kasus Maffezini v. Spain ini sendiri merupakan landmark case mengenai penerapan klausa MFN dalam sengketa investasi internasional.

Dalam kasus lainnya, yaitu kasus Siemens AG v. The Argentine Republic yang diselesaikan di ICSID pada tahun 200451 (Siemens v. Argentine), Siemens sebagai

Claimant berhasil menghindari klausa yang ada di German – Argentine BIT yang mengharuskan penyelesaian sengketa investasi di hadapan pengadilan di Argentina selama jangka waktu delapan belas bulan sebelum sengketa investasi tersebut diselesaikan melalui arbitrase di ICSID. Claimant pada kasus ini menggunakan klausa MFN yang ada pada Argentine – Chile BIT yang mengatur bahwa waktu tunggu untuk membawa sengketa ke forum arbitrase internasional adalah enam bulan lamanya. Sama seperti yang dilakukan Maffezini selaku Claimant pada kasus Maffezini v. Spain, Claimant pada kasus Siemens v. Argentine ini juga mengakui bahwa sengketa investasi yang timbul di antara para pihak belum diserahkan ke pengadilan yang ada di Argentina untuk diselesaikan. Meskipun demikian, Claimant merujuk kepada klausa MFN dalam Article 3 dari German – Argentine BIT. Respondent juga beragumen bahwa jika Claimant dapat merujuk kepada waktu tunggu yang lebih singkat seperti yang diatur pada Argentine – Chile BIT, maka Claimant juga harus

                                                                                                               

50Ibid.

(14)

terikat pada ketentuan “fork in the road” provision pada Argentina – Chile BIT yang mengharuskan investor berkewarganegaraan Chile untuk membuat keputusan akhir yang mengikat antara penyelesaian sengketa di forum peradilan domestik atau arbitrase internasional. Arbitral tribunal ICSID pada kasus ini menolak seluruh argumen Respondent di atas. Pertama, menurut arbitral tribunal, klausa MFN yang menjadi isu dalam kasus ini mencakup segala macam “treatment” terhadap investor asing dan termasuk di dalamnya adalah akses atas investor-State dispute settlement52. Kedua, menurut arbitral tribunal, para pihak dalam BIT telah sepakat untuk memberikan beberapa pengecualian terhadap perlakuan MFN tanpa mengikutsertakan perihal penyelesaian sengketa, e contrario, klausa MFN seharusnya juga mencakup perihal penyelesaian sengketa53. Kemudian, menurut arbitral tribunal, tujuan dan objektif dari BIT itu sendiri adalah “to create favorable conditions for investments and to stimulate private initiative54.” Arbitral tribunal menyimpulkan bahwa BIT dalam kasus ini: ha[d] as a distinctive feature special dispute settlement mechanisms not normally open to investors. Access to these mechanisms is part of the protection offered under the Treaty. It is part of the treatment of foreign investors and investments and of the advantages accessible through an MFN clause55. Arbitral tribunal dalam Siemens v. Argentine memiliki pertimbangan dan keputusan yang melampaui putusan kasus Maffezini v. Spain, arbitral tribunal memutuskan bahwa perlakuan MFN memiliki effect of selectively importing benefits tanpa mengikutsertakan limitasi yang ada di dalam third-party BIT. Arbitral tribunal

berpendapat bahwa argumen Respondent mengenai penerapan klausa MFN dapat mengalahkan tujuan dari klausa MFN yaitu untuk mengharmonisasikan keuntungan-keuntungan antara granting State, beneficiary State dan third State. Putusan arbitral tribunal dalam kasus ini yang dianggap menggunakan “cherry-picking approach”

yaitu melakukan rujukan kepada ketentuan – ketentuan dalam third-State BIT yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan ketentuan yang ada dalam basic treaty56

dalam menganalisis dan menjawab isu mengenai penerapan prinsip MFN dalam

                                                                                                                52Ibid, paras. 82 – 86. 53Ibid. 54Ibid, par. 81. 55Ibid, par. 102. 56 Schill, op.cit., hlm. 156.

(15)

penyelesaian sengketa investasi internasional menuai banyak kritik57.

Kasus lain yaitu Plama Consortium Ltd v. Bulgaria yang diselesaikan di forum ICSID pada tahun 2005 58 (Plama v. Bulgaria) merupakan salah satu kasus yang menentang putusan Maffezini v. Spain dan Siemens v. Argentina59. Claimant

dalam kasus ini memiliki dua basis hukum untuk membuktikan bahwa ICSID memiliki jurisdiksi dan dapat menyelesaikan kasus ini. Dua basis hukum ini adalah:

Part V of the Energy Charter Treaty dan the 1987 Bulgaria – Cyprus BIT (Bulgaria – Cyprus BIT)60. Kesulitan Claimant untuk membuktikan jurisdiksi ICSID ada pada

Bulgaria – Cyprus BIT karena persetujuan Bulgaria atas arbitrase yang diatur di dalam Article 4 di Bulgaria – Cyprus BIT terbatas untuk arbitrase ad hoc UNCITRAL mengenai sengketa “with regard to the amount of compensation” due to an investor only after the merits of the investor’s claims had first been adjudicated “though the regular administrative and legal procedure[s] of Bulgaria.” Meskipun fakta dan ketentuan yang ada menunjukkan hal demikian, Claimant mengajukan permohonan untuk arbitrase di ICSID agar ICSID tribunal mengeluarkan primary ruling atas merits of its compensation claims meskipun: Bulgaria – Cyprus BIT hanya mengatur sebatas arbitrase ad hoc UNCITRAL dan Claimant belum meminta pengadilan di Bulgaria untuk memutuskan merits dari sengketa yang ada. Respondent mengajukan keberatan terhadap jurisdiksi dari arbitral tribunal yang sudah dibentuk untuk menyelesaikan sengketa ini karena merits of the dispute antara para pihak masih diproses di pengadilan domestik. Kondisi inilah yang membuat Claimant ingin menghindari halangan jurisdiksi ini dengan merujuk pada klausa MFN pada Article 3

dari Bulgaria – Cyprus BIT dan seperti Bulgaria – Finland BIT yang mengatur mengenai arbitrase di ICSID atas sengketa investasi yang lebih luas, juga dipindahkan ke dalam Bulgaria – Cyprus BIT. Arbitral tribunal pada kasus ini meyimpulkan bahwa ketentuan MFN yang ada di dalam Bulgaria – Cyrpus BIT tidak dapat diinterpretasikan sebagai persetujuan untuk menyelesaikan sengketa yang berasal dari

                                                                                                               

57Ibid, hlm. 159.

58  Plama Consortium Ltd v. Bulgaria, loc.cit.    

59 Dana Freyer dan David Herlihy, “MFN Treatment and Dispute Settlement in Investment

Arbitration: Just How “Favored” is “Most-Favored”?” (ICSID Review: Foreign Investment Law Journal, Spring 2005), Vol. 20, Number 1, hlm. 75.

60 Pembahasan analisis kasus ini hanya terbatas untuk putusan arbitral tribunal ICSID

(16)

Bulgaria – Cyprus BIT melalui arbitrase di ICSID61. Arbitral tribunal menyatakan

bahwa dalam menginterpretasikan syarat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase di ICSID adalah dengan cara sebagai berikut: “it is a well-established principle, both in domestic and international law, that such an agreement should be clear and unambiguous.” Dalam kasus ini, berdasarkan kata – kata pada

Bulgaria – Cyprus BIT dan negosiasi di antara kedua negara, arbitral tribunal

menemukan bahwa klausa MFN yang ada tidak memenuhi standard tersebut. Di kasus

Plama v. Bulgaria, arbitral tribunal melihat kembali dan menganalisis apakah sebenarnya intensi dan kepentingan para pihak dalam BITs yang bersangkutan, apakah saat membuat BIT para pihak memang menghendaki penerapan perlakuan MFN untuk mencakup mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara tertentu atau pada suatu forum tertentu.

Pada kasus ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic yang diselesaikan di Permanent Court of Arbitration pada tahun 2012 (ICS v. Argentine), ICS Inspection and Control Services Limited (ICS) sebagai Claimant mengajukan sengketa investasi yang berasal dari the 1990 Agreement Between The Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the Republic of Argentina for the Promotion and Protection of Investments Argentina (UK – Argentina BIT) terhadap Argentina sebagai Respondent untuk diselesaikan di hadapan Permanent Court of Arbitration

(PCA) yang berkedudukan di The Hague. Dalam Decision of Juridiction yang diputuskan oleh arbitral tribunal PCA dalam kasus ini, isu mengenai penerapan prinsip MFN dalam penyelesaian sengketa investasi internasional yang menjadi pusat pembahasan adalah mengenai pre-arbitration requirements of Article 3 dan Article 8 of UK – Argentina BIT dan rujukan kepada Argentina – Lithuania BIT yang merupakan third-party BIT. Menurut Respondent, arbitral tribunal tidak memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikan kasus ini karena ketentuan untuk menyerahkan kasus antara Claimant dan Respondent ke pengadilan domestik Argentina untuk diadili sebelum diselesaikan di forum arbitrase belum dipenuhi oleh Claimant62. Argumen

Respondent adalah upaya penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak di pengadilan domestik Argentina dalam jangka waktu delapan belas bulan merupakan

                                                                                                               

61Ibid, par. 184.

62 ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine

(17)

ketentuan exhaustion of domestic remedies yang harus ditempuh sebelum menyelesaikan sengketa anatara para pihak di forum arbitrase internasionalseperti yang diatur pada Article 8(2)(a)(i) dari UK – Argentina BIT63. Menurut Respondent, Claimant tidak bisa merujuk kepada klausa MFN yang ada pada Article 3 dari UK -Argentina BIT untuk mengelak dari ketentuan exhaustion of domestic remedies yang ditentukan dalam UK – Argentina BIT di atas. Respondent berpendapat bahwa Article 8 dari UK – Argentina BITarticulates a multi-layered, sequential dispute resolution system” in which all subsections of the Article “are inter-dependent and interlinked”64dalam arti ketentuan dalam Article 8 tersebut merupakan ketentuan sisem penyelesaian sengketa yang saling berhubungan dan bergantung satu sama lain, tiap tahap sistem penyelesaian sengketa dari awal hingga akhir harus ditempuh satu per satu dan tidak bisa dielakkan. Respondent juga menyatakan bahwa Claimant sama sekali belum pernah menyerahkan sengketa ini untuk diselesaikan pada pengadilan domestik Argentina dalam jangka waktu delapan belas bulan seperti yang ditentukan dalam Article 8 dari UK – Argentina BIT. Di samping itu, untuk memperkuat argumen mengenai ketentuan di Article 8 dari UK – Argentina BIT sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam penyelesaian sengketa, Respondent merujuk kepada kasus Maffezini v. Spain dan Wintershall v. Argentine 65 di mana arbitral tribunal pada kedua kasus tersebut menemukan bahwa ketentuan dalam BIT merupakan suatu kewajiban dan bukan hanya suatu pilihan66. Sebagai alternatif,

Respondent berargumen bahwa syarat –syarat penyelesaian sengketa dalam Article 8

dari UK – Argentina BIT tidak bisa dipandang prosedural saja, daripada jurisdiksional, karena keduanya membentuk kondisi – kondisi yang dapat berhubungan pada tahap – tahap sebelum dilakukannya arbitrase67. Respondent juga berargumen bahwa kata “shall” dalam Article 8(1) dari UK – Argentine BIT secara jelas mensugestikan suatu ide bahwa penyelesaian sengketa pada pengadilan domestik

                                                                                                               

63 Agreement Between The Government of the United Kingdom of Great Britain and

Northern Ireland and the Government of the Republic of Argentina for the Promotion and Protection of Investments Argentina (11 December 1990).

64 ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic, op.cit., par. 69.

65 Wintershall Aktiengesellschaft v. Argentine Republic, ICSID Case No. ARB/04/14, Award,

8 December 2008 .

66 ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic, op.cit., par. 70.

(18)

di Argentina sebelum penyelesaian sengketa di arbitrase merupakan kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, meskipun ketentuan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang prosedural, namun hal itu tidak dapat dikesampingkan oleh pihak manapun kecuali para pihak dalam BIT yang bersangkutan68. Menurut Respondent, ketentuan penyelesaian sengketa yang ada pada UK – Argentine BIT mewakili perihal yang vital dalam hukum internasional69 dan tidak bisa dielakkan hanya karena ketentuan – ketentuan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, atau sesuatu yang mengakibatkan inefisiensi dan ketidakdilan, atau ketentuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sia – sia karena sengketa di antara para pihak tidak akan diselesaikan dalam waktu delapan belas bulan70. Dalam argumennya,

Respondent juga menambahkan bahwa Article 8 dari UK – Argentine BIT adalah bagian dari “offer to arbitrate” yang telah disepakati kedua pihak dalam UK – Argentine BIT dan tidak dapat dirubah oleh Claimant.71“Offer to arbitrate” yang dimaksud di sini merupakan kondisi – kondisi yang harus ditempuh sebelum sengketa diselesaikan dengan arbitrase internasional dan hal ini harus diterima oleh pihak investor sebagai Claimant agar perjanjian arbitrase dapat terwujud. Investor berhak menerima atau menolah “offer to arbitrate” tersebut, tetapi tidak boleh merubahnya secara unilateral. Argumen lain yang diajukan oleh Respondent adalah sebagai suatu aturan, klausa MFN tidak diterapkan untuk perihal – perihal jurisdiksional (as a rule, MFN clauses do not apply to jurisdictional matters)72. Respondent berpendapat

bahwa jurisdiski internasional didasarkan pada prinsip kesepakatan (consent). Kemudian, prinsip tersebut menjadi alasan mengapa klausa MFN bukanlah suatu perjanjian arbitrase dan tidak membentuk bagian dari suatu “offer to arbitrate”. Kesepakatan untuk menyimpang dari hal tersebut harus terlihat dengan jelas dari intensi para pihak dalam BIT yang bersangkutan dan maka dari itu tidak menghasilkan keikutsertaan ketentuan penyelesaian sengketa dari BITs lain melalui penerapan klausa MFN73. Respondent merujuk kepada argumen Claimant yang

                                                                                                               

68Ibid.

69 ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic, op.cit., par. 73

70Ibid.

71Ibid, par. 79. 72Ibid. par.80. 73Ibid.

(19)

menggunakan kasus Maffezini v. Spain untuk meminta suatu interpretasi yang luas dari klausa MFN, Respondent berargumen bahwa putusan kasus Maffezini v. Spain

didasarkan pada interpretasi yang keliru dari kasus Ambatielos Case74. Respondent

menegaskan bahwa putusan Commission of Arbitration mengenai klausa MFN pada kasus tersebut yang digunakan dalam kasus Maffezini v. Spain hanya merujuk pada perihal substantif dan sama sekali tidak berhubungan dengan perihal prosedural75 sehingga analisis dalam Ambatielos Case mengenai penerapan prinsip MFN tidak relevan. Respondent berpendapat bahwa Article 3 di atas harus ditafsirkan sesuai dengan aturan interpretasi perjanjian internasional yang ada di dalam Article 31 dan

Article 32 dari VCLT. Menyambung hal ini, Respondent juga berargumen bahwa prinsip ejsudem generis juga harus diterapkan dalam menginterpretasikan klausa MFN. Prinsip tersebut mengatur bahwa klausa MFN hanya dapat diterapkan untuk perihal – perihal yang termasuk dalam kategori subjek yang sama. Respondent juga merujuk kepada praktek UK dalam BITs yang menunjukkan bahwa jika UK hendak menerapkan perlakuan MFN dalam ketentuan penyelesaian sengketa maka UK akan mencantumkan hal tersebut secara jelas dalam BIT76. Merespon terhadap argumen

Respondent, Claimant mengajukan argumen bahwa mayoritas dari arbitral tribunal yang menangani kasus sengketa investasi internasional dan di dalamnya membahas mengenai penerapan prinsip MFN pada penyelesaian sengketa mengadopsi interpretasi yang luas atas klausa MFN77. Claimant beragumen bahwa banyak negara

yang telah menggunakan klausa – klauss MFN dari berbagai BITs untuk Di samping itu, Claimant berargumen bahwa klausa MFN memperbolehkan investor dari UK yang berada di Argentina untuk langsung membawa sengketa ke jalur arbitrase internasional karena klausa MFN itu sendiri bertujuan untuk memastikan adanya kesetaraan perlakuan kepada beneficiaries dari klausa MFN.

Arbitral tribunal memutuskan bahwa mereka tidak mempunyai jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa antara Claimant dan Respondent dengan alasan jika ketentuan MFN di dalam BIT tidak mengatur tentang perihal jurisdiksional dalam mekanisme penyelesaian sengketa maka prinsip MFN tidak dapat diterapkan ke

                                                                                                               

74Ibid, par. 86 75Ibid.

76 ICS Inspection and Control Services Limited (United Kingdom) v. The Argentine Republic, op.cit.,par. 99.

(20)

dalam penyelesaian sengketa. Arbitral tribunal berpandangan bahwa persetujuan para pihak dalam suatu BIT untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme dan forum tertentu harus jelas karena persetujuan para pihak dalam hal tersebut tidak dapat diasumsikan bila ada ketidakjelasan mengenai kesepakatan para pihak dalam penyelesaian sengketa78. Arbitral tribunal dalam kasus ini memutuskan bahwa

intention di balik Article 8 dari UK – Argentina BIT adalah untuk pembentukan suatu jurisidiksi eksklusif di pengadilan domestik di Argentina untuk periode delapan belas bulan atau hingga keputusan akhir dihasilkan. Arbitral tribunal melihat bahwa

Claimant belum memenuhi ketentuan untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan domestik Argentina sehingga arbitral tribunal tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili sengketa ini. PCA dalam kasus ICS v. Argentina melihat kepada intensi awal para pihak saat mereka menyepakati pembentukan BIT, apakah para pihak menyetujui perlakuan MFN mencakup mekanisme penyelesaian sengketa atau tidak.

Berbeda dengan kasus Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The Argentine Republic yang diselesaikan di ICSID pada 21 Desember 201279 (Teinver v. Argentine). Dalam kasus dengan Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The Argentine Republic (Teinver and Autobuses Urbanos v. Argentina), isu mengenai penerapan prinsip MFN dalam sengekta investasi internasional yang muncul adalah pada first jurisdictional objection yang diajukan oleh Argentina selaku Respondent. Menurut

Respondent, Claimants belum menempuh metode penyelesaian sengketa dengan cara damai sesuai dengan ketentuan pada Article X(1) dan (2) dari Spain – Argentine BIT.

Di samping itu, Respondent juga menyatakan bahwa Claimants belum menyerahkan sengekta di anatara kedua pihak untuk diselsaikan di pengadilan domestik Argentina dalam kurun waktu delapan belas bulan sesuai dengan ketentuan pada Article X(3)

sebelum dilakukannya arbitrase di ICSID.

Claimants mengajukan dua respon terhadap argumen Respondent. Pertama, Claimants menyatakan bahwa mereka berhak merujuk pada klausa MFN di Article IV(2) dari Spain – Argentine BIT untuk mendapatkan keuntungan dari ketentuan penyelesaian sengketa yang lebih menguntungkan pada BITs lain di mana Argentina adalah pihaknya. Article IV (2) dari Spain – Argentine BIT menyatakan bahwa: “In all                                                                                                                

78Ibid, hlm. 280.

79 Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The

(21)

areas governed by this Treaty, such treatment shall not be less favourable than that accorded by each Contracting Party to investments made within its territory by investors of a third country.” Claimants pada Memorial of Merits juga merujuk pada

Article VII dari U.S – Argentine BIT untuk membuktikan bahwa mereka telah memenuhi semua syarat untuk mengajukan sengketa pada forum arbitrase ICSID80. Dalam Counter – Memorial, Claimants merujuk pada ketentuan penyelesaian sengketa di Article 13 dari Australia – Argentine BIT yang mengatur bahwa investor berhak memilih jalur arbitrase di ICSID atau arbitral tribunal dengan UNCITRAL

Rules, atau arbitration rules lain yang disepakati para pihak setelah menempuh penyelesaian sengketa dengan cara damai. Mengenai argumen penerapan klausa MFN yang diajukan oleh Claimants, Respondent berpendapat bahwa klausa MFN yang ada di dalam BITs bukanlah suatu perjanjian atau bagian dari offer to abitrate

dalam perjanjian yang bersangkutan sehingga klausa MFN tidak dapat diterapkan dalam perihal jurisdiksional. Respondent juga berargumen bahwa ordinary meaning,

baik menurut VCLT ataupun prinsip ejusdem generis, di balik klausa MFN pada

Spain-Argentine BIT tidak menunjukkan intensi kedua belah pihak untuk menerapkan klausa MFN pada penyelesaian sengketa. Arbitral tribunal memutuskan bahwa

Claimants dapat merujuk kepada ketentuan penyelesaian sengketa dalam Article 13

dari Australia-Argentine BIT. Bahasa “all matters” yang luas dalam Article IV(2) dari

Spain-Argentine BIT bersifat jelas dan inklusif. Terlebih lagi, menerapkan ketentuan penyelesaian sengketa yang diatur dalam Australia-Argentine BIT tidak akan merubah cakupan, forum atau aturan-aturan yang berlaku dalam arbitrase kasus ini. Selain itu,

arbitral tribunal melihat bahwa Respondent juga tidak menunjukkan adanya kerugian baik yang nyata maupun yang diduga akan terjadi atau perubahan dalam argumen

Respondent akibat dari rujukan yang dibuat Claimants pada US-Argentine BIT dan

Australia-Argentine BIT.

                                                                                                               

80   Seperti yang dicantumkan dalam puttusan kasus ini: Article VII(2) of the U.S.-Argentina

BIT provides that in the event of a dispute, the parties “should initially seek resolution through consultation and negotiation.” If this is unavailing, the investor may choose to submit the dispute for resolution before a) the courts or administrative tribunals of the State party to thedispute; b) in accordance with any previously-agreed procedures; or c) in accordance with the terms of subprovision 3. Article VII(3), in turn, provides that if the investor has not submitted the dispute for resolution under VII(2)(a) or (b), and that six months have elapsed from the date the dispute arose, the investor may submit the dispute to ICSID, ICSID Additional Facility, in accordance with UNCITRAL Arbitration Rules, or any other mutually agreed arbitration rules.

(22)

PENUTUP

Menurut hukum internasional, prinsip MFN dalam bidang investasi internasional diatur oleh dua prinsip yaitu: ejusdem generis dan res inter alios acta

dan penerapan prinsip MFN melalui perlakuan MFN dan klausa MFN dapat dilihat tentunya dari BITs. Menurut prinsip ejusdem generis, hak dan keuntungan yang diperoleh terbatas hanya untuk hak-hak yang diatur dalam subjek klausa MFN dan hanya berkenaan dengan orang-orang atau hal-hal yang ditentukan dalam klausa, atau yang tersirat dari pokok perihal yang diatur oleh klausa MFN yang bersangkutan. Sedangkan menurut prinsip res inter alios acta, apakah suatu perlakuan lebih menguntungkan yang diatur dalam third-party treaty (granting State dengan third State) dapat menjadi rujukan di luar basic treaty (granting State dengan beneficiary State) dan apakah rujukan pada third-party treaty tersebut dapat mempengaruhi hak – hak investor yang bukan merupakan pihak dari perjanjian tersebut. Third-party treaty

tidak merubah hubungan perjanjian yang dibuat antara granting State dengan

beneficiary State. Dalam perkembangannya, pengkodifikasian mengenai prinsip MFN namun usaha ini hanya menghasilkan Draft Articles on Most-Favpured-Nation Clauses 1978 sehingga belum seprogresif ILC Drafts on State Responsibility yang telah menjadi suatu codification of international law mengenai tanggung jawab negara. Cakupan dari penerapan perlakuan MFN yang ada di dalam klausa BIT ada hal – hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: cakupan perihal subjek (subject-matter coverage) dan cakupan substantif (substantive coverage). Cakupan substantif umumnya dibentuk oleh teks klausa perlakuan MFN itu sendiri dengan mendefinisikan beneficiaries yang termasuk dalam cakupan BIT yang bersangkutan, fase investasi yang dicakup dan pengecualian – pengecualian yang berlaku. Secara spesifik, cakupan dari penerapan klausa MFN akan tergantung dari apakah perlakuan MFN meliputi: investor; dan/ atau nvestasi dari investor, post-establishment phase

(fase pasca dibentuknya atau ditetapkannya suatu investasi, atau pre/post-establishment phases (fase pra dan pasca dibentuknya atau ditetapkannya suatu investasi). Selain itu, konstruksi dari klausa MFN tersebut bisa saja meliputi pengecualian umum (generic exceptions) dan/atau pengeculian yang ditetapkan secara spesifik oleh suatu negara (country-spesific exceptions) seperti pengecualian perlakuan MFN dalam perpajakan dan kondisi – kondisi yang memberikan pengecualian perlakuan MFN pada negara anggota free trade area agreements, custom union atau perjanjian sejenisnya. Selanjutnya, kualifikasi atau klarifikasi

(23)

(qualifications and/or clarifications)

Kedua, dari beberapa BITs menunjukkan bahwa ada perbedaan terminologi dalam pencantuman klausa MFN itu sendiri, namun hal ini tidak menjadi suatu masalah atau hambatan dalam penerapan prinsip MFN itu sendiri. Beberapa Model BITs dan BITs antara beberapa negara menunjukkan bahwa konten Model BITs suatu negara dapat berubah ketika negara tersebut membuat BIT dengan negara lain. Hal ini terjadi karena saat perundingan kedua negara untuk membuat suatu BIT, intensi dan kepentingan kedua negara dalam perihal investasi disampaikan dan harus disesuaikan agar kesepakatan dalam BIT memuaskan bagi para pihak dan mencakup kepentingan mereka. Dari beberapa BITs yang dibahas pada Bab 3, dapat dilihat bahwa ada BITs yang mencakup perlakuan MFN meliputi perlindungan kepada investasi dan investor,

pre-establishment phase, post-establishment phase, exceptions dan qualifications. Ada juga contoh BITs yang mencakup perlakuan MFN untuk investasi saja, atau mencakup post-establishment clause saja dan tidak mencakup pre-establishment clause. Interpretasi klausa MFN dalam BITs menggunakan Article 31 dan Article 32

VCLT Pada saat arbitral tribunal maupun hakim-hakim pengadilan hendak menentukan cakupan penerapan dari suatu klausa MFN terhadap ketentuan penyelesaian sengketa dalam suatu BIT, maka yang harus dimulai pertama kali adalah menganalisis ordinary meaning of the text in light of the object and purpose of the Treaty. Dalam menginterpretasikan klausa MFN, biasanya tiga cara digunakan yaitu: menggunakan Broad Clauses dan ordinary meaning of “treatment”, narrow clauses

dan “treatment” under the principle of ejusdem generis serta ordinary meaning viewed in light of object and purpose of the treaty sesuai dengan ketentuan dalam VCLT.

Ketiga, kontroversi penerapan prinsip MFN di dalam penyelesaian sengketa investasi internasional masih berlanjut hingga sekarang, dimulai di tahun 2000 saat ICSID mengeluarkan putusan kasus Maffezini v. Spain diikuti oleh beberapa kasus lain yaitu: Siemens AG v. The Argentine Republic `yang diselesaikan pada forum ICSID di tahun 2004, Plama Consortium Ltd v. Bulgaria yang diselesiakan di ICSID di tahun 2005, ISC Inspection and Control Services Limited v. Argentine Republic

yang diselesaikan di Permanent Court of Arbitration di tahun 2012 hingga kasus terbaru adalah Teinver S.S, Transportes de Cercanias S.A and Autobuses Urbanos del Sur S.A v. The Argentine Republic di ICSID pada Desember 2012. Dari beberapa kasus yang dibahas dalam penulisan ini, masih ada pro dan kontra mengenai apakah

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum

Masih sedikitnya penelitian mengenai tumbuhan Karamunting yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes, maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya aktivitas

pada permukaan tubuh benih ikan gurami disebabkan karena lendir merupakan bagian yang paling luas dibandingkan organ tubuh lainnya dan memiliki kemungkinan terinfeksi

Oleh karena itu dalam pelaksanaan akhlak anak banyak hal yang dilakukan oleh orang tua agar pembinaan akhlak anak lebih baik, melihat realita dilapangan bahwa masih adanya

Image Processing atau pengolahan citra adalah suatu pemrosesan citra, khususnya menggunakan komputer dengan tujuan menghasilkan citra dengan kualitas lebih baik.. Tiga

dapat perbedaan yang ta;jam antara auami dengan isteri. Yaitu dapat disebutkan. aebagai berikut, bahwa iateri se-. cara tegas tidak mau rukun lcerabali dengan suami,

You’ll look at the various options on the TypeScript compiler, learn how to create declaration files for third-party JavaScript libraries, and see how to include TypeScript in

Tidak seperti model tutorial yang memberikan pendahuluan berupa materi kemudian berlanjut ke tahap akhir dimana pengguna dihadapkan pada soal – soal layaknya ujian, pada