• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I IDENTITAS PASIEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I IDENTITAS PASIEN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Muhammadiyah Jakarta

1 BAB I

IDENTITAS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Ny. Tarsiah

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 77 tahun

Pekerjaan : IRT

Alamat : Cintajaya – Lakbok

No. RM : 218801

Tanggal Pemeriksaan : 13 Februari 2013

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Mata kanan penglihatan buram sejak 1 bulan SMRS.

Keluhan Tambahan :

 Kadang-kadang pasien merasa pegal dan pusing jika terlalu lama membaca.

 Tumbuh lamad di kedua mata sekitar 1 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 1 bulan SMRS, pasien mengeluh penglihatannya buram di mata kanan, penglihatannya seperti ada asap yang makin lama makin terlihat tebal hingga menghalangi pandangannya. Kedua mata peenglihatannya buram namun dirasa mata kanan lebih buran dibanding mata kiri. Semakin lama, pasien mengaku penglihatannya makin buram dan makin mengganggu aktivitas sehari-hari.

Selain itu juga pasien mengeluh tumbuh lamad pada kedua matanya sejak kurang lebih 1 bulan terakhir ini. Rasa mengganjal disangkal oleh pasien.

Pasien menyangkal adanya keluhan mata merah, perih, gatal, dan berair. Sebelumnya juga pasien tidak ada keluhan

(2)

2 apapun. Pasien juga menyangkal adanya benturan sebelumnya pada mata. Pasien mengeluh pegal pada mata hingga pusing bila membaca terlalu lama.

Riwayat Penyakit Dahulu :

◦ Riwayat kelainan pada mata sebelumnya disangkal oleh pasien. ◦ Riwayat alergi disangkal.

◦ Riwayat hipertensi disangkal.

◦ Riwayat DM disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa.

Riwayat Kebiasaan :

Dulu pasien sering berkebun yg setiap harinya sering terpapar sinar matahari langsung, dan juga sering terpapar debu, dan keringat. Sekarang pasien hanya sebagai ibu rumah tangga, namun masih sering ke kebun untuk sedikit membantu suaminya, dan mengantar makanan ke kebun.

Riw. Pengobatan :

Pasien belum pernah berobat selama keluhan ini datang, dan belum memberikan obat apapun pada kedua matanya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Baik

Tekanan darah : 138/72mmHg

Laju nadi : 76x / menit

Laju napas : 16x / menit

(3)

3 IV. STATUS OFTALMOLOGIKUS

OD Pemeriksaan OS

1/60 (ph 2/60) Visus 1/60 (ph 3/60)

Ortoforia Kedudukan Bola Mata Ortoforia

Normal Pergerakan Bola Mata Normal

Udem (-) Hiperemis (-) Palpebra Superior Udem (-) Hiperemis (-)

Udem (-) Hiperemis (-) Palpebra Inferior Udem (-) Hiperemis (-)

Hiperemis (-) Konjungtiva Tarsalis

Superior

Hiperemis (-)

Terdapat selaput kemerahan berbentuk segitiga belum mencapai limbus, injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-)

Konjungtiva Bulbi Terdapat selaput

kemerahan berbentuk

segitiga (double head)

sudah melewati limbus dan juga sudah mencapai pupil, injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-) Hiperemis (-), papil (-), folikel (-) Konjungtiva Tarsalis Inferior Hiperemis (-), papil (-), folikel (-)

Jernih Kornea Jernih

Sedang COA Sedang

Warna coklat, kripte jelas, sinekia (-)

Iris Warna coklat, kripte jelas,

sinekia (-)

Bulat isokor, refleks (+) Pupil Bulat isokor, refleks (↓)

Keruh Lensa Keruh

Tidak dapat di evaluasi Vitreous Humor Tidak dapat di evaluasi

Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan

Resume

Perempuan, 60 th, datang mengeluh gangguan penglihatan ganda pada kedua mata sejak 1 tahun yang lalu, pandangan juga buram. Sebelumnya mata terus-terusan berair, dan sangat silau ketika terkena cahaya matahari. Dulu pasien bekerja sebagai petani yg setiap harinya sering terpapar sinar matahari langsung, dan juga sering terpapar debu, dan

(4)

4 keringat. Sekarang pasien hanya sbg ibu rumah tangga, dan sudah 1 tahun tdk bertani. Pasien sdh memakai obat tetes mata yg di beli di warung tp tdk ada perubahan. Pada pemeriksaan fisik mata di dapatkan kelainan visus 1/60 (ph 2/60) OD dan 1/60 (ph 3/60) OS. Konjungtiva bulbi selaput kemerahan berbentuk segitiga belum mencapai limbus pada OD dan konjungtiva bulbi selaput kemerahan berbentuk segitiga (jam 3 dan 9) sudah melewati limbus dan juga sudah mencapai pupil.

Diagnosa Kerja

Pterigium OD stadium I dan OS stadium III (double head) Penatalaksanaan

1. Pembedahan (dilakukan segera karena pterigium sudah mengganggu penglihatan OS)

2. Edukasi (Untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops)

3. Antibiotik tetes mata 4. Kortikosteroid tetes mata

(5)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA PTERIGIUM

I. DEFINISI

Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah., umumnya bilateral di sisi nasal.

II. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. 2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. 3. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.

III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterigium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan

(6)

6 dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1. Usia

Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.

4. Jenis kelamin

Prbedaan risiko laki-laki > perempuan. 5. Herediter

Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterigium. 7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium.

IV. KLASIFIKASI

1. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 3 stadium yaitu: Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

(7)

7 2. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:

Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

3. Berdasarkan tipenya, dibagi menjadi 2 yaitu :

Membran/fibrosa : tipis dan pucat, pembuluh darah < 5

Vaskuler : hiperemi, pembuluh darah > 5

V. PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.

Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basementdan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh

(8)

8 jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

VI. GAMBARAN KLINIK

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata perih, silau, sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada yang mengganjal, masalh kosmetik. Pada tahap lanjut dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. Diplopia timbul apabila pterigium besar.

VII. DIAGNOSIS Anamnesis

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Pemeriksaaan fisik

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

VIII. PENATALAKSANAAN 1. Konservatif

Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. 2 . Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu: Menurut Ziegler :

(9)

9 1. Mengganggu visus

2. Mengganggu pergerakan bola mata 3. Berkembang progresif

4. Mendahului suatu operasi intraokuler 5. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas 2. Mengganggu visus

3. Mengganggu pergerakan bola mata 4. Masalah kosmetik

5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone

6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtata 7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

IX. DIAGNOSIS BANDING

Pterigium harus dapat dibedakan dengan pseudopterigium. Pseudopterigium terjadi

akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan

pterigium, dimana pada pseudopterigium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterigium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterigium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.

Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

X. KOMPLIKASI

Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut: Pra-operatif:

1. Astigmat

Perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterigium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.

(10)

10

2. Kemerahan

3. Iritasi

4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan

dan menyebabkan diplopia. Intra-operatif:

Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan.

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:

1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.

2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea

3. Pterigium rekuren. XI. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls. 2010

2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from :www.eyewiki.aao.org/Pterygium

(11)

11 3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum: edisi 17.

Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.

6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October

23]http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available from :http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from

: http://www.dokter-online.org/index.php.htm .

9. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited

2011 October 23]. Available from

: http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York

: Thieme Stutgart. 2000

11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from

:http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan mikroskopis jari tungkai depan menunjukkan bahwa pada cacat fetus yang berupa phocomelia unilateral tidak terbentuk ruas jari yang seharusnya tersusun

Konflik adalah ketidak sesuaian paham antara dua anggota atau lebih yang timbul Konflik adalah ketidak sesuaian paham antara dua anggota atau lebih yang timbul karena fakta bahwa

(e&amp;ikian surat per&amp;oonan pende-egasian peserta, atas peratiann6a diaturkan teri&amp;a kasi. Wallahul Muwafq Ilaa

1 Kestabilan nilai rupiah antara lain merupakan kestabilan terhadap harga- harga barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi.Untuk mencapai tujuan tersebut,

Untuk itu makalah berikut akan mengkaji situasi dan kondisi rabies serta berbagai kendala yang dihadapi berdasarkan data yang berasal dari sampel yang diperiksa di Balai

 Jika kita melakukan kompilasi program ini, kita akan memperoleh pesan kesalahan menyatakan kalimat catch kedua tidak akan pernah dicapai karena Exception telah ditangkap

Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil.. Di bawah bimbingan ELOK BUDI RETNANI

Untuk menjawab masalah penelitian kedua dan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, maka setelah data terkumpul akan dilakukan analisis dengan