BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan
penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan
sektor pertanian adalah sumber mata pencaharian utama dari sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sektor pertanian melalui komoditas yang dihasilkannya
mempunyai potensi besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat petani di
Indonesia. Salah satu sektor pertanian yang menjadi pusat perhatian adalah sektor
hortikultura
Hortikultura terbagi atas sub sektor seperti sayuran, buah-buahan, tanaman
hias dan tanaman biofarmaka. Beberapa produk hortikultura seperti sayuran,
buah-buahan, dan tanaman biofarmaka sangat berguna bagi kebutuhan tubuh seperti
sumber vitamin, mineral, penyegar, pemenuhan kebutuhan akan serat dan kesehatan
lingkungan. Oleh karena itu produk-produk hortikultura perlu ditingkatkan maupun
dikembangkan selain untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin
meningkat juga karena berpotensi dalam meningkatkan penghasilan, salah satu
diantaranya adalah komoditas cabai.
Cabai atau lombok (bahasa Jawa) adalah sayuran buah semusim yang
termasuk dalam anggota genus Capsicum yang banyak diperlukan oleh masyarakat
sebagai penyedap rasa masakan. Salah satu tanaman cabai yang banyak
annum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat.
Ciri dari jenis sayuran ini adalah rasanya yang pedas dan aromanya yang khas,
sehingga bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan. Karena
merupakan sayuran yang dikonsumsi setiap saat, maka cabai akan terus dibutuhkan
dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk dan perekonomian nasional.
Cabai merah mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi
kesehatan manusia. Kandungan vitamin dalam cabaie merah adalah A dan C serta
mengandung minyak atsiri, yang rasanya pedas dan memberikan kehangatan bila
digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Sun et al. (2000). melaporkan cabai
merah mengandung anti oksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari radikal
bebas. Radikal bebas yaitu suatu keadaan dimana suatu molekul kehilangan atau
kekurangan elektron, sehingga elektron tersebut menjadi tidak stabil dan selalu
berusaha mengambil elektron dari sel-sel tubuh lainnya. Cabai merah juga
mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker.
Pengembangan hortikultura termasuk di dalamnya adalah komoditas cabai
merah selama ini masih tertuju pada sisi penawaran (supply-side), melalui
pendekatan penumbuhan sentra-sentra produksi baru dan pemantapan sentra yang
telah ada. Penumbuhan sentra dilakukan melalui upaya ekstensifikasi dengan
mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat, potensi pasar, dan potensi
sumberdaya manusia, sedangkan pemantapan sentra dilakukan melalui upaya
penawaran yang ada belum efektif dalam pencapaian tujuan akhir yang diharapkan,
yakni terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Petani cabai tetap
menanggung risiko usaha yang sangat tinggi, yang tercermin dari lebarnya
kesenjangan harga terendah dan tertinggi, yaitu antara Rp 2.000/kg pada saat panen
raya dan Rp 20.000/kg (sampai 10 kali lipatnya) pada saat paceklik.
Cabai merah memiliki luas panen yang paling tinggi diantara jenis komoditi
sayuran lainnya. Kendati luas panen cabai merah mengalami penurunan dari tahun ke
tahun sejak tahun 2007 sampai 2011 namun luas panennya tetap berada di atas angka
100.000 ha setiap tahunnya. Komoditi ini merupakan satu-satunya jenis sayuran yang
luas areal panennya mampu menembus angka 100.000 ha dari tahun ke tahun dengan
persentase 10 sampai 13 persen diantara komoditi sayuran lainnya. Luas panen tahun
2011, seluas 121.063 hektar dengan hasil produksi 1.003.085 ton (Direktorat
Jenderal Hortikultura, 2012).
Kebutuhan cabai perkapita Indonesia sangat fluktuatif dari tahun ke tahun.
Jumlah konsumsi cabai tersebut akan terus mengalami peningkatan seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya. Jika kebutuhan perkapita
cabai merah Indonesia adalah 1,49 kg dengan jumlah penduduk tahun 2008 sekitar
220 juta orang maka kebutuhan cabai merah Indonesia adalah 303.600.000 Kg per
tahun (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012).
Menurut Ashari (1995), kendala usahatani hortikultura di beberapa negara
berkembang, adalah rendahnya nilai pendapatan petani, keterbatasan pengetahuan
yang kurang kuat. Hal tersebut menyebabkan rendahnya nilai keuntungan yang
diperoleh petani.
Keterbatasan modal, pengetahuan, keterbatasan lahan serta kurangnya
keterampilan yang dimiliki petani maka petani harus jeli memilih jenis tanaman
sayuran sebagai usahatani. Menurut Hanani dkk (2003), pemilihan jenis sayuran
sebagai usahatani dan penentuan besarnya skala jenis usaha merupakan salah satu
tindakan pertama yang perlu dipertimbangkan. Jenis sayuran yang dipilih untuk
usahatani adalah usagatani sayuran yang memiliki nilai ekonomi atau prospek
(peluang) cukup besar dalam pemasaran dan tidak sulit untuk dibudidayakan. Jenis
sayuran tersebut biasanya banyak diminati. Kalaupun peminatnya tidak banyak,
harganya relatif tinggi dan dapat dijadikan sebagai komoditas ekspor.
Usahatani cabai merah biasanya dilakukan dalam skala kecil. Hal ini terjadi
karena usahatani ini sangat tergantung terhadap harga jual yang berfluktuasi setiap
waktu, sehingga mempengaruhi hasil produksi usahatani serta pendapatan petani.
Oleh karena itu untuk pengelolaan cabai merah dari penyemaian bibit hingga pasca
panen memerlukan pengelolaan khusus oleh petani mulai dari perencanaan tanam
hingga pemasarannya ke konsumen agar diperoleh produksi bermutu tinggi dan
dengan harga dan keuntungan yang layak (Redaksi Agromedia 2008).
Pengelolaan cabai merah secara khusus merupakan salah satu kendala yang
dihadapi petani dalam usahatani tersebut, oleh karena itu petani harus jeli dalam
mengelola usahatani cabai merah. Sistem pengelolaan sangat mempengaruhi hasil
usahatani cabe merah dan pengaruhnya terhadap jumlah produksi dan tingkat
pendapatan.
Kabupaten Karo memiliki prospek yang cerah untuk pengembangan tanaman
cabai merah. Hal ini dibuktikan dengan produksi cabai merah yang disumbangkan
untuk Propinsi Sumatera Utara sebesar 41.349 ton dengan rata-rata produksi 8,4
ton/hektar pada tahun 2011.
Tabel 1. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Cabai Merah di Kabupaten Karo Tahun 2011
No Kecamatan
Sumber : Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Karo, Tahun 2012.
Dari tabel di atas, terdapat jumlah luas tanam dan luas panen yang berbeda.
Salah satu penyebab hal ini terjadi karena data yang diperoleh hanya pada awal tahun
2010 sementara data panennya pada awal tahun 2011, maka data luas panen akan
masuk data pada tahun 2009 dan luas panen akan masuk pada data pada tahun 2011.
Produksi cabai merah di Kecamatan Tiga Panah tercatat 15,2 ton/ha pada
tahun 2011. Produksi cabai merah tersebut masih belum optimal. Menurut Pracaya
(2000), tanaman cabe merah jika dibudidayakan dengan intensif bisa mencapai
rentang 15 sampai 20 ton/ha. Salah satu penyebab belum optimalnya produksi
usahatani cabai bisa diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit pada buah cabai,
disamping faktor sistem pengelolaan yang kurang baik.
Kecamatan Tiga Panah memiliki produksi ton/hektar cabai merah terbesar
dari 17 kecamatan yang tecatat pada data statistik Kabupaten Karo, sehingga
Kecamatan Tiga Panah dipilih sebagai lokasi penelitian. Adapun peneliti memilih
Kecamatan Tiga Panah sebagai daerah penelitian, karena kecamatan ini relatif tidak
jauh dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Karo dan memiliki informasi pasar serta
kemudahan akses atas sarana produksi pertanian.
Berdasarkan alasan-alasan dan latar belakang di atas, penulis merasa perlu
untuk mengkaji lebih jauh tentang ” Pengaruh Sistem Pengelolaan Usahatani Cabai
Merah terhadap Jumlah Produksi dan Tingkat Pendapatan”
1.2. Indentifikasi Masalah
1) Bagaimana luas lahan, frekuensi panen, jumlah produksi, jumlah biaya produksi,
jumlah tenaga kerja, jumlah penerimaan dan tingkat pendapatan usahatani cabai
2) Bagaimana luas lahan, frekuensi panen, jumlah produksi, jumlah biaya produksi,
jumlah tenaga kerja, jumlah penerimaan dan tingkat pendapatan usahatani cabai
merah dengan sistem pengelolaan intensif di daerah penelitian ?
3) Bagaimana pengaruh sistem pengelolaan usahatani cabai merah terhadap jumlah
produksi dan tingkat pendapatan di daerah penelitian?
4) Bagaimana pengaruh sistem pengelolaan dan jumlah tenaga kerja usahatani cabai
merah terhadap jumlah produksi dan tingkat pendapatan di daerah penelitian?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan indentifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1) Untuk mengidentifikasi luas lahan, frekuensi panen, jumlah produksi, jumlah
biaya produksi, jumlah tenaga kerja, jumlah penerimaan dan tingkat pendapatan
usahatani cabai merah dengan sistem pengelolaan biasa di daerah penelitian.
2) Untuk mengidentifikasi luas lahan, frekuensi panen, jumlah produksi, jumlah
biaya produksi, jumlah tenaga kerja, jumlah penerimaan dan tingkat pendapatan
usahatani cabai merah dengan sistem pengelolaan intensif di daerah penelitian.
3) Untuk mengetahui pengaruh sistem pengelolaan usahatani cabai merah terhadap
jumlah produksi dan tingkat pendapatan di daerah penelitian.
4) Untuk mengetahui pengaruh sistem pengelolaan dan jumlah tenaga kerja
usahatani cabai merah terhadap jumlah produksi dan tingkat pendapatan di
1.4. Kegunaan Penelitian
Berdasarakan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka kegunaan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1) Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi pihak terkait dalam mengambil
kebijakan pengembangan usahatani cabai merah.
2) Sebagai bahan pertimbangan bagi petani dalam mengembangkan usahatani cabai
merah di daerah penelitian.
3) Sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian