• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR ILMU PENYAKIT.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGANTAR ILMU PENYAKIT.doc"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR ILMU PENYAKIT

INFLUENZA

(R.H.H.NELWAN)

Pendahuluan

Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering diserta pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2 – 7 hari dan biasanya sembuh sendiri.

Epidemiologi

Influenza merupakan penyakit yang dapat menjalar dengan cepat dilingkungan masyarakat. Walaupun penyakit ini ringan tetapi tetap berbahaya untuk mereka yang berusia sangat muda dan orang dewasa dengan fungsi kardiopulmoner yang terbatas. Juga penderita yang berusia lanjut dengan penyakit ginjal kronik atau gangguan metabolic-endokrin dapat meninggal akibat penyakit yang dikenal sebagai tidak berbahaya ini. Salah satu komplikasi yang serius adalah pneumonia bacterial. Serangan penyakit ini tercatat paling tinggi pada musim dingin di Negara beriklim dingin dan pada musim hujan dinegara tropic.

Pada saat ini sudah diketahui bahwa pada umumnya dunia dilanda pandemic oleh influenza 2 – 3 tahun sekali. Jumlah kematian pada pandemic ini dapat mencapai puluhan ribu orang dan jauh lebih tinggi daripada angka-angka pada keadaan non epidemic.

Reservoir penyakit influenza adalah manusia sendiri. Diduga bahwa reservoir hewan seperti babi, kuda dan burung memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinyua strain virus influenza yang baru, karena terjadinya rekombinasi gen dengan strain-strain virus lain yang berasal dari manusia. Penyebaran penyakit ini adalah melalui media tetesan air (droplet)

pada waktu batuk atau melalui partikel yang berasal dari sekret hidung atau tenggorok yang melayang di udara (airborne) terutama di ruangan-ruangan yang trtutup dan penuh sesak manusia.

Etiologi

Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemic. Tipe B penyebabnya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dari pada tipe A. dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemic. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenesisnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkjan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomyxovirus golongan RNA dan berdsarkan namanya sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.

Struktur antigenic virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama berupa: antigen S (atau soluble antigen ), hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S yang merupakan suatu inti partikl virus yang terdiri ata ribonukleoprotein. Antigen ini spsifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin terdapat di selubung virus dan memegang peranan pada imunitas terhadap virus. Neuramidase terdapat juga dalam selubung virus dan hanya memegng peranan yang minim pada imunitas.

Patogenesis

(2)

Setelah virus berhsil menerobos masuk kedalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah kesel lain.

Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen dari lipopolisakarida kuman Gram negative.

Gambaran Klinis

Pada umumnya penderita mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, pilek dan kadang-kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemi ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorok.

Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan spontan. Setalah episode sakit ini maka dapat dialami rasa cape dan cepat lelah untuk beberapa waktu. Badan dapat mengatai infeksi virus influenza melalui mekanisme produksi zat anti dan pelepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang homolog.

Pada penderita usia lanjut harus dipastikan apakah juga menyerang paru-paru, sehingga dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal. Mortalitas yang tinggi dialami penderita usia lanjut karena pneumonia virus interstisial, yang mengakibatkan saturasi oksigen yang berkurang dengan akibat acidosis dan anoksia. Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita ini adalah infeksi sekunder, seperti pneumonia bacterial. Batuk-batuk kering berubah menjadi batuk yang produktif yang kadang-kadang dapat mengandung bercak-bercak warna coklat. Penyakit penderita umumnya akan membaik dengan sendirinya tapi kemudian acap kali mengeluh lagi mengenai demam dan sakit dada. Pemeriksaan sinar tembus dapat menunjukkan adanya infiltrate di paru-paru. Infeksi sekunder ini umumnya akibat Streptococcus pneumoniae

atau Hemophilus influenzae.

Infeksi sekunder berat sekali dan dikenal sebagai pneumonia stafilokok fulminans yang dapat terjadi beberapa hari setelah seorang diserang influenza dan kemudian terjadi sesak napas, diare, batuk dengan bercak merah, hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi. Dari darah, Staphylococcus aureus sering dapat dibiakkan. Komplikasi yang sangat jarang tetapi yang dapat juga dijumpai sesudah influenza dalah ensefalomielitis.

Diagnosis

Menetapkan diagnosis pada saat terjadi wabah tidak akan banyak mengalami kesulitan. Diluar kejadian wabah diagnosis influenza kadang-kadang terhambat oleh diagnosis penyakit lain. Diagnosis pasti penyakit influenza ini dapat diproleh melalui isolasi virus maupun melalui pemeriksaan serologic. Untuk mengisolasi virus diperlukan usap tanggorok atau usap hidung dan harus diperoleh sedini mungkin; biasanya pada hari-hari pertama sakit diagnosis serologic dapat diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi dimana akan dapat ditunjukkan kenaikan titer sebanyak 4 kali antara serum pertama dengan serum konvalesen. Diagnosis cepat dapat diperoleh dengan cara pemeriksaan antibody fluoresen yang khusus tersedia untuk tipe virus influenza A.

Penatalaksanaan

Pendrita dapat diobati dengan antipiretika. Hanya untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita bronchitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibitika. Penderita dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan okigen. Pneumonia stafilokokus sekunder harus diberantas dengan antibiotika yang tahan bata-laktamase dan kortikosteroid dalam dosis tinggi.

(3)

Infeksi virus influenza sebelumnya akan memberikan kekebalan terhadap reinfeksi dengan virus homolog. Karena sering terjadi perubahan akibat mutasi gen, maka antigen pada virus influenza akan brubah, sehingga seorang masih mungkin diserang berulang kali dengan strain-strain virus influenza yang telah mengalami perubahan ini. Kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi perlu diberikan 3 sampai 4 minggu sebelum terserang influenza. Karena terjadi perubahan-prubahan pada virus maka permulaan wabah influenza biasanya hanya tersedia vaksin dalam jumlah terbatas dan vakinasi dianjurkan hanya untuk beberapa golongan masyarakat tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi dengan kemungkinan kompliksi yang fatal.

Golongan yang memerlukan vaksin antara lain penderita dengan penyakit kardiorespiratorik yang kronik penderita dengan gangguan metabolic endocrine dan pada penderita usia lanjut. Juga mereka yang meduduki fungsi pelayanan masyarakat yang vital memerlukan vaksinasi, seperti misalnya pegawai-pegawai yang bertugas di Unit Darurat medis di Rumah Sakit.

Pencegahan dengan kemoprofilaksis untuk penderita yang tidak dapat diberikan vaksinasi karena menderita alergi terhadap protein dalam telur dapat diusahakan dengan pemberian amantadin HCl 100 mg dua kali sehari. Juga bila tidak tersedia vaksin, cara pencegahan ini dapat diterapkan.

(4)

DENGUE / DHF / DEMAM BERDARAH

(HENDARWANTO)

Pendahuluan

Demam dengue (dengue fever/DF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, dengan tanpa ruam (rash) dan limfopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan (petekia) spontan.

Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever / DHF), ialah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji Tourniquet akan positif dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekia spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit.

Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah penyakit DHF yang disertai renjatan (shock).

Etiologi

Virus dengue tergolong arbivirus (menurut taksonomi yang baru, virus dengue termasuk famili togoviridiae) dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya Perang Dunia Ke-II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700c.

Epidemiologi

Epidemi dengue dilaporkan pertama kali di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779, sedangkan DHF mula-mula dikemukakan oleh Quintos dan kawan-kawan di Manila pada tahun 1954. Penyakit dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia, tetapi dalam jarak 5 sampai 20 tahun dapat timbul letusan epidemic.

Demam berdarah dengue (DHF) di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologik baru diperoleh pada tahun 1970. Penyakit ini selanjutnya menyebar ke berbagai daerah dan sampai dengan akhir tahun 1983 hanya provinsi Timor-Timur yang belum melaporkan adanya DHF.

Data yang terkumpul dati tahun 1968-1983 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 penderita dengan usia pada umumnya di bawah 15 tahun. Penelitian di pusat pendidikan Jakarta, Semarang dan Surabaya menunjukkan bahwa DHF dan DSS juga ditemukan pada usia dewasa, dan agaknya terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderitanya.

Vektor utama dengue di Indoneisa adalah nyamuk Aedes aegypti, disamping ditemukan pula aedes albopictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak wandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lainnya. Adanya vector tersebut berhubungan erat dengan beberapa factor, antara lain:

(5)

3. Penyediaan air bersih yang langka.

Daerah yang berjangkit DHF adalah wilayah yang ada penduduk, karena:

1. Antar rumah jaraknya berdekatan, yang memungkinkan penularan karena jarak terbang A. aegypti 40-100 meter.

2. A. aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat.

Dengan makin lancarnya hubungan lalulintas, kota-kota kecil atau daerah semi urban dekat kota besar pun saat ini menjadi mudah terserang akibat penjalaran penyakit dari suatu sumber di kota besar.

Kasus DHF cenderung meningkat pada musim hujan, kemungkinan disebabkan:

1. Perubahan musim mempengaruhi frekuensi gigitan nyamuk, karena pengaruh musim hujan, puncak jumlah gigitan terjadi pada siang-sore hari.

2. Perubahan musim mempengaruhi manusia sendiri dalam sikapnya terhadap gigitan nyamuk, misalnya dengan lebih banyak berdiam di rumah selama musim hujan.

Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan nampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Berdasarkan hal ini timbullah yang disebut

the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis yang dianut oleh sebagian besar sarjana saat ini.

Hipotesis ini menyatakan bahwa DHF dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik dari antibody, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus antibody) yang tinggi.

Terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut:

1. Kompleks virus anti-bodi akan mengaktivasi system komplemen, yang berakibat dilepskanny anafilaktosin C3a dan C5a berturut-turut akibat aktivitas C3 dan C5. Penglepasan C3a dan C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Telah terbukti bahwa pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%, sehingga nyatalah pada DHF terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilaktosin dalam jumlah besar pada masa renjatan. Walaupun plasma mengandung anaktivator ampuh terhadap anafilaktosin C3a dan C5a agaknya peranan dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Bukti bahwa anafilaktosin ini sebenarnya secara cepat dapat diinaktivasi dan menghilang dari sirkulasi ialah adanya kasus penyembuhan dramatis seorang penderita renjatan bila ditanggulangi secara adekuat. Anafilaktosin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamine dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam air seni 24 jam pada penderita DHF.

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosi yang mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh system retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amine vasoaktif (histamine dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit factor 3 yang merangsang koagulasi intravaskuler.

(6)

degradation product. Disamping itu, aktivasi akan merangsang system kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas inding pembuluh darah.

Dengan diperolehnya bukti bahwa DSS dapat terjadi pada penderita yang mendapat infeksi dengue pertama kali pada usia lebih dari 1 tahun yang serologis dapat digolongkan dalam infeksi primer, timbullah hipotesis kedua disampin the secondary heterologous infection hypothesis yang telah disebukan diatas.

Konsep hipotesis kedua ini adalah sebagai berikut: Keempat serotype virus/strain serotype virus dengue mempunyai potensi pathogen yangsama, dan sindrom renjatan yang dapat mnyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotype/strain virus paling virulen. Data epidemiDHF di Asia Tenggara menyokong hipotesis ini, dimana di Filipina ternyata virus dengue tipe 3 berperan sebagai penyebab wabah hebat tahun 1966-1967, sedangkan di Thailand sejak tahun 1960 virus dengue tipe 2 dianggap sebagai penyebab utama kasus berat yang berakhir dengan kematian.

Data penelitian di beberapa tempat di Inonesia memberi petunjuk agaknya virus dengue tipe 3 di Indonesia tidak hanya merupakan tipe virus dengue utama, tetapi juga merupakan tipe yang paling virulen. DSS sendiri terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis), yang dasarnya sebagai berikut:

1. Telah dibuktikan berdasarkan penelitian bahwa pada manusia sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, makrofag, histiosit dn sel kupffer merupakan tempat utama terjadinya virus dengue.

2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas disirkulasi maupun yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononukleus.

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi.

4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravascular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

Patofisiologi

Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hyperemia tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat anafilatoksin, histamine dan serotonin serta aktivitas system kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.

Hal ini berakibat mengurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan. Pada penderita dengan renjatan hebat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.

(7)

hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolic dan kematian.

Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastic setelah pemberian plasma/expander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsy tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja singkat. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam system retikuloendotelial.

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologi dengan terdapatnya kompleks immune dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktivasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/DSS, terutama pada penderita dengan perdarahan hebat, sejak lama telah menjadi bahan perdebatan.

Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada penderita DHF tanpa renjatan. Dikatakan pada masa dini DHF, peranan DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka renjatan akan memperberat DIC sehingga peranannya akan menonjol.

Patologi

Belum banyak pengalaman yang diperoleh, terutama tentang proses patologis pada penderita dewasa, tetapi dari yang telah dikemukakan diperoleh gambaran yang tidak berbeda dengan gambaran pada anak. Pada autopsy penderita dengue yang fatal (kasus jarang), diperoleh tanda perdarahan yang eksudasi cairan dalam rongga tubuh, tanda-tanda kongesti pada organ-organ vital dan degeneratif tingkat sel.

Pada autopsy penderita DHF ditemukan secara makro dan mikroskopik tanda-tanda perdarahan dihampir semua alat tubuh, misalnya dikulit, saluran cerna, paru, subenkardial pada septum interventrikuler, dan jaringan adrenal. Hati umumnya membesar dengan perlemakan yang berhubungan dengan nekrosis karena perdarahan. Terdapatnya koagulasi nekrosis di daerah sentral atau parasentral lobulus hati, pembesaran sel-sel kupffer, sel-sel asidofilik dengan vakuola sitoplasma yang menyerupai councilman bodies pada yellow fever. Kadang-kadang nampak pula sel neutrofil dan limfosit yang lebih besar dari biasanya dengan persentase lebih banyak daripada yang normal di daerah tepi. Limpa memperlihatkan hiperplasi pulpa merah dengan infiltrasi luas sel plasma, limfosit dan histiosit. Terlihat fagositosis limfosit sangat aktif. Pusat-pusat germinal dalam badan-badan malpighi juga sangat akti, beberapa di antaranya menunjukkan nekrosis sentral. Gambaran yang sama juga terlihat pada jaringan dan kelenjar getah bening lainnya. Kelenjar adrenal; mengalami pengurangan zat lemak, terutama di zone glomerulosa; sel menciut dan mengecil. Ginjal menunjukkan dilatasi ruang Bowman dan proliferasi ringan kapiler gelung-glomerulus dan kelainan degenerasi pada tubulus.

Imunopatologi

(8)

Pewarnaan suspensi limfosit dengan cara imunofluresen pada sebagian besar penderita dilaporkan positif terhadap antigen dengue dan komplemen globulin, yang keduanya melekat pada limfosit.

Biopsi ginjal memberi hasil glomerulonefritis proliferatif ringan dengan penimbunan kompleks imun didaerah subendotel dan paramesangium. Pada autopsy, antigen dengue terdapat dalam leukosit mononukleus sekitar daerah Bilroth limpa. Antigen dan kompleks antigen-antibodi ditemukan pada permukaan limfosit B dan permukaan trombosit.

Gambaran klinis

Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang amat ringan (silent dengue infection) hingga yang sedang seperti DF, sampai DHF dengan manifestasi demam akut, perdarahan serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3 – 15 hari, rata-rata 5 – 8 hari. Pada DF, suhu meningkat tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan tulang (breakbone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbital dan retroorbital.

Nyeri dibagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimalis dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa sakit bila disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal.

Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (initial rash)

terlihat jelas pada muka dan dada, berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh penderita. Ruam berikutnya (terminal rash) mulai antara hari ke 3 – 6, mula-mula berbentuk makula-makula besar yang kemudian bersatu dan memucat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia pada dasarnya. Hal ini terlihat pada lengan kanan dan kiri, kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun kembali ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal.

Pada sebagian penderita ditemukan kurve suhu yang bifasik (saddle back fever).

Pemeriksaan fisik penderita DF hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi penderita mula-mula cepat dan dapat menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.

Lidah sering kotor dan kadang-kadang penderita sukar buang air besar. Terkadang dapat diraba pembesaran kelenjar yang konsistensinya lunak dan tak nyeri. Pada penderita DHF, gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit. Tidak dijumpai ikterus.

Dibeberapa Negara ASEAN dijumpai pula pembesaran limfa pada 5 – 40% penderita. Pada penderita DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki serta dijumpai pula penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3 dan hari ke-7 penyakit. Bila tatalaksana renjatan tidak sempurna, penderita dapat jatuh dalam irreversible shock.

Pemeriksaan LaboratoriumDarah

(9)

Pada analisis kuantitatif ditemukan penurunan factor-faktor II, V, VII, IX dan X. Pada pemeriksaan kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia, serta hipokloremia. SGOT, SGPT, ureum dan pH darah mungkin meningkat, sedangkan reserve alkali merendah.

Air seni

Mungkin ditemukan albuminuria ringan.

Sumsum tulang

Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi, sedangkan pada hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk semua system.

Serologi

Pemeriksan yang dilakukan adalah mengukur titer antibody penderita dengan cara

haemagglutination inhibition test (HI test) atau dengan uji pengikatan komplemen (complement fixation test = CFT). Untuk pemeriksaan serologi dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan dari penderita yang sama, yaitu pada masa akut/masa demam dan masa penyembuhan (1 – 4 mingu setelah onset penyakit).

Untuk praktisnya, biasanya bahan pemeriksaan I diambil saat penderita masuk rumah sakit, sedangkan bahan pemerikasaan II diambil saat gejala memburuk atau pada waktu penderita akan pulang. Bila mungkin diambil juga bahan pemeriksaaan III, yaitu 1 – 3 minggu setelah bahan pemeriksaan II. Pemeriksaan pada hanya satu bahan pemeriksaan, sering tidak ada gunanya karena menyulitkan penafsiran. Untuk keperluan uji serologi ini diambil darah vena 2- 5 ml atau memakai kertas saring (filter paper disc). Plasma/serum darah perlu disimpan dan di angkut dalam keadaan dingin dalam termos es, tetapi kertas saring dapat disimpan dalam suhu kamar sambil menunggu pengiriman ke laboratorium.

Isolasi Virus

Bahan pemeriksaan adalah darah penderita, jaringan-jaringan baik dari penderita hidup (melalui biopsy) atau dari penderita yang meninggal (melalui autopsy).

Diagnosis

Diagnosis klinis demam dengue (DF) memerluka beberapa criteria: 1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi.

2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari. 3. Kurve demam yang menyerupai pelana kuda. 4. Nyeri terutama di otot-otot dan persendiaan. 5. Adanya ruam-ruam kulit.

6. Leukopenia

Diagnosis klinis demam berdarah (DHF) mempunyai ktiteria:

1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari, kemudian turun secara lisis,. Demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian dan kepala.

2. Manifestasi perdarahan:

 Uji tourniquet positif.  Petekia, purpura, ekimosis.  Epistaksis, perdarahan gusi.  Hematemesis, melena.

3. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus. 4. Dengan/tanpa renjatan

Renjatan biasanya terjadi pada saat demam menurun (hari ke-3 dan ke-7 sakit). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

(10)

Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) merupakan indicator yang peka akan timbulnya renjatan. Kenaikan nilai Ht lebih dari 20% menunjang diagnosa klinis DHF. Bila fasilitas pemeriksaan Ht tidak ada, hemokonsentrasi dapat diukur dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan metode Sahli secara berkala dan dilakukan oleh pemeriksa yang sama. Kenaikan kadar Hb lebih dari 20% menunjang diagnosis klinis DHF.

Derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai brikut: ~ Derajat I (ringan)

Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji Tourniquet positif.

~ Derajat II (sedang)

Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan lain. ~ Derajat III.

Ditemukan tanda-tanda dini renjatan. ~ Derajat IV

Ditemukan DSS dengan tensi dan nadi yang tak terukur. Diagnosis klinis perlu disokong pemeriksaan serologi. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan isolasi virus.

Diagnosa Banding

Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu diteliti infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, kolesistisis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DHF. Biasanya pada morbili, ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. Pada hari ke-3 – 4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan diagnosis DHF akan lebih besar.

Perdarahan di kulit ditemukan pula pada meningitis meningokok dan keadaan sepsis. Pemeriksan saraf dan fungsi lumbal serta darah tepi dan biakan darah, dapat membedakan hal ini dengan DHF.

Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), leukemia pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala yang mirip DHF. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, factor predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.

Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestsi perdarahan, tetapi tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran. Beberapa perbedaan utama yang terlihat pada anak adalah lebih banyak ditemukan keluhan artralgia, injeksi konjungtiva, dan adanya ruam makulopapular pada penyakit Chikungunya. Pada laboratorium lebih sering ditemukan leucopenia dan sedikit sekali dijumpai kasus dengan trombositopenia.

Penatalaksanaan

Setiap penderita tersangka DF dan DHF sebaiknya dirawat ditampat yang terpisah dengan penderita lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada DF atau DHF tanpa penyulit adalah:

1. Tirah baring. 2. Makanan lunak

Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5 – 2 liter dalam 24 jam (susu, air teh dengan gula atau sirup) atau air tawar ditambah dengan garam saja.

(11)

Untuk hipereksia dapat diberikan kompres es di kepala, ketiak, dan inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari asetosal karena bahaya perdarahan.

4. Antibiotika dibrikan bila terdapat kkuatiran infeksi sekunder.

Penderita DHF perlu observasi teliti terhadap penemuan dini tanda renjatan, yaitu:

 Keadaan umum memburuk.

 Hati makin besar.

 Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.  Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.

Dalam hal ditemukan hal-hal dini tersebut, infuse harus disiapkan dan dipasang pada penderita. Observasi meliputi pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan; serta Hb dan Ht setiap 4–6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam.

Terapi untuk DSS bertujuan utama untuk mengembalikan volume cairan intravascular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl faali, laktat Ringer atau bila terdapat renjatan yang berat dipakai plasma atau expander plasma. Jumlah cairan dan kecepatan pemberian cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis. Kecepatan permulaan tetesan ialah 20 ml/kg berat badan/jam, dan bila renjatan telah teratasi, kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/jam.

Pada kasus dengan renjatan besar, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak nampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat

hemacel dengan jumlah 15 – 20 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan

asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonas. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskuler, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi.

Transfusi darah dilakukan pada:

1. Penderita dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan / melena).

2. Penderita DSS yang pada pemeriksan berkala, menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht. Pemberian kortikosteroid masih menjadi bahan perdebatan, tapi pada umumnya di Indonesia hal ini tidak dilakukan karena telah terbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara terapi tanpa atau dengan kortikosteroid. Pada penderita dengan renjatan yang lama

(prolonged shock); DIC diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan. Bila dengan

pemeriksaan hemostatis terbukti adanya DIC, heparin perlu diberikan.

Prognosis

Kematian oleh demam dengue hampir tak ada, sebaliknya pada DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, semarang, dan Jakarta mempelihatkan bahwea prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.

Pencegahan

Untuk memutuskan rantai penularan, pembatasan vector dianggap cara yang paling memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A. aegypti sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vector tersebar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.

Ada 2 cara pemberantasan: ~ Menggunakan insektisida

Yang lazim dipakai dalam Program Pemberantasan demam berdarah dengue adalah

malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan

(12)

digunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Cara penanggulangan temephos (abate) ialah dengan menaburkan pasir abate (sand granules) kedalam sarang-sarang nyamuk Aedes, yaitu bejana tempat penampungan air bersih. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm abate SG 1% per 10 liter air.

~ Tanpa insektisida Caranya adalah:

- Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1x seminggu (perkembangan telur ke nyamuk lamanya 7 – 10 hari)>

- Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.

- Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

Isolasi penderita agar penderita tidak digigit vector untuk dutularkan kepada orang lain sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan di Rumah Sakit karena kesukaran diagnosis dini.

Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok/repellant maupun pemakaian kelambu memang dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis.

Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf penelitian.

DEMAM TIFOID

(RACHMAT JUWONO)

Pendahuluan

Tifoid dan paratifoid (selanjutnya disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut usus halus. Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran klinis yang sama, atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid adalah typhoid and paratyphoid fever, enteric fever, typhus and paratyphus abdominalis. Etiologinya ialah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C.

Epidemiologi

Tifoid dan paratipoid merupakan endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun tifoid tercantum dalam Undang-Undang dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologiknya belum diketahui secara pasti. Di Indonesia tifoid jarang di jumpai secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.

DistribusiGeografi

Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis, hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

(13)

Di Indonesia tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada persesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus tipoid. Ada peneliti yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

Jenis kelamin

Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden tifoid pada pria dan wanita.

Umur

Didaerah endemic tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada penderita yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70 – 80% penderita berumur antara 12 dan 30 tahun, 10 – 20% antara 30 – 40 tahun dan hanya 5 – 10% diatas 40 tahun.

Patogenesis

Penularan S. typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk kedalam usus halus, mencapai jaringan limfoid lalu berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial hati, limpa dan organ-organ lainnya. Disangka proses ini terjadi pada masa tunas, yang berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dam menimbulkan bakteriemia untuk kedua kalinya. Kuman-kuman selanjutnya masuk kejaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu.

Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksprimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada tifoid. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis tifoid. Karena membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan tempat di mana S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pigmen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Patologi

Kelainan patologik utama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal. Pada minggu pertama penyakit terjadi hyperplasia plaks peyer, disusul minggu kedua terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga ulserasi plaks peyer dan selanjutnya dalam minggu ke empat penyembuhan ulkus-ulkus dengan meninggalkan sikatris. Ulkus berbentuk bulat lonjong dengan sumbu memanjang sejajar dengan sumbu usus. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.

Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuclear, serta nekrosis fokal.

Sistem retikuloendotelial menunjukkan hyperplasia dan kelenjar-kelenjar mesenterial dan limpa membesar.

Kelainan patologik juga dapat dijumpai pada ginjal, paru, jantung, selaput otak, otot dan tulang.

Gambaran Klinis

(14)

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didaptkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splnomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesi.

Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksan leukosit

Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada tifoid terdapat leucopenia dan limfositosis relative, tetapi kenyatannya leukopienia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosis tifoid.

Biakan darah

Biakan darah positif memastikan tifoid, tetapi biakan darah negative tidak menyingkirkan tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada factor, antara lain:

o Teknik pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu laboratorium bisa berbeda dari waktu-kewaktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaaan teknik dan media biakan yang digunakan.

Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada penderita dewasa diambil 5 – 10 ml darah dan pada anak-anak 2 – 5 ml. Bila darah yang diabiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada disisi penderita dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteriemia berlangsung.

o Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

Pada tifoid biakan darah terhadap S. typhi terutama positif pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah bisa poitif lagi.

o Vaksinasi di masa lampau.

Vaksinasi terhadap tifoid di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam darah penderita.Antiobodi ini dapat menekan bakteriema, hingga darah mungkin negative.

o Pengobatan dengan obat antimikroba.

Bila penderita sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negative.

Kepekaan S. Typhi Terhadap Obat Antimikroba

(15)

S.paratyphi A masih sensitive terhadap kloramfenikol (98,1% sensitive) dan kotrimoksasol (98,1% sensitive), akan tetapi terhadap ampicillin tidak sensitive (hanya 1,9% yang sensitive).

Reaksi Widal

Reaksi widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (agglutinin). Aglitinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum penderita tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap tifoid.

Antigen yang digunakan pada reaksi widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud reaksi widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita tifoid.

Akibat infeksi oleh S.typhi, penderita membuat antibody (aglutinin), yaitu:

 Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).  Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).

 Aglutinin Vi, Karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan penderita menderita tifoid. Pada infksi yang aktif, titer reaksi widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi widal

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita. 2. Faktor-faktor teknis.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita:

1. Keadaan umum

Gizi buruk menghambat pembentukan antibody. 2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

Aglutinin baru dijumpai dalam darah serelah penderita sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.

3. Pengobatan dini dengan antibiotika.

Beberapa penelitian berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibody, tetapi peneliti-peneliti lain menentang pendapat ini.

4. Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai tifoid tidak terjadi pembentukan antibody, misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsino lanjut.

5. Obat-obat imunosupresif.

Obat-obat imunosupresif ini menghambat pembentukan antibody karena supresi system retikuloendoteliel.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

Pada seorang yang divaksinasi, titer agglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglitinin H pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostic.

7. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella sebelumnya.

Keadaan ini dapat menyebabkan reaksi widal positif, walaupun dengan titer rendah. Didaerah dimana tifoid endemic dapat dijumpai agglutinin pada orang-orang sehat. 8. Reaksi anamnestis

Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer agglutinin terhadapa S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan tifoid pada seorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonella dimasa lalu.

(16)

1. Aglutinasi silang.

Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutininasi pada satu spesies dapat terjadi juga reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan reaksi widal.

2. Konsentrasi suspensi antigen.

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada reaksi widal akan mempengaruhi hasilnya.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

d. Interpretasi reaksi widal

Di kepustakaaan tidak ada konsesus mengenai tingginya titer reaksi widal yang mempunyai nilai diagnosis yanbg pasti untuk tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya perjanjijan saja, yang hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai laboratorium setempat. Kenaikan titer empat kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Reaksi widal negatif atau positif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.]

Karena pada seorang setelah sembuh dari tifoid, aglutinin akan berada dalam darah untuk waktu yang lama, maka reaksi widal bukan pemeriksan untuk menentukan kesembuhan penderita.

Pengobatan

Pengobatan tifoid terdiri atas 3 bagian, yaitu: - Perawatan

- Diet - Obat

1. Perawatan

Penderita tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Penderita harus tirah baring absolute sampai minimal 7 hari bebas semam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perorasi usus. Mobilisasi penderita dilakukan secara bertahap, sesuasi dengan pulihnya kekuatan penderita.

Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

2. Diet

Dimasa lampau, penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus-usus perlu di isterahatkan. Banyak penderita tidak menyukai bubur saring, Karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit dan ini berakibat keadaan umum dan gizi semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita tifoid. Karena ada juga penderita tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan terserah pada penderita sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.

(17)

Obat-obat animikroba yang erring dipergunakan, ialah:

 Kloramfenikol

 Tiamfenikol

 Kotrimoksazol

 Ampicillin dan amoksisillin

a. Kloramfenikol

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari per oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis eter ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada tifoid turun setelah 5 hari.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologist pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada tifoid turun setelah rata-rata 5 – 6 hari.

c. Ko-trimoksazol (kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol)

Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunkanan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5 – 6 hari.

d. Ampicillin dan amosisilin

Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas amnpicillin dan amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah penderita tiopid dengan leucopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75 – 150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksilin demam tioid turun rata-rata setelah 7 – 9 hari.

Kombinasi obat antimikroba

Pengobatan tifoid dengan kombinasi obat-obat antimikroba tersebut diatas tidak memberikan keuntungan dibandungkan dengan pengobatan dengan obat antimikroba tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, maupun dalam hal menurunkan angka kejadian kekambuhan dan angka kejadian pengekskresian kuman dan penyembuhan (convalescent excretor rate).

Obat-obat simtomatik

a. Antipiretika

Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap penderita tifoid, karena tidak banyak berguna.

b. Kortikostroid

Penderita yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran penderita menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

Pengobatan tifoid pada wanita hamil

(18)

Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena kemungkinan adanya efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, thiamfenikol boleh diberikan. Ampisilin dan amoksilin aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila penderita hipersensitif terhadap obat tersebut.

Masalah Carrier

Setiap orang yang ketularan salmonella, mengekskresi kuman tersebut dengan feses dan air seni selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang tersebut dinamakan symptomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang tersebut dinamakan carrier. Hal serupa terjadi pada penderita tifoid. Terbanyak penderita tifoid berhenti mengekskresi salmonella dalam 3 bulan. Mereka yng tetap mengekskresi salmonella setelah 3 bulan dinamakan carrier. Kira-kira 3% penderita tifoid masih mengekskresi salmonella lebih dari satu tahun. Carier didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada wanita dibanding pria dan jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi salmonella dalam feses (faeses carrier) lebih banyak dan lebih berperan pada penularan daripada orang yang mengekskresikan salmonella melalui air seni (urinary carrier). Pada faeses carrier, kuman menetap dikandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandung batu. Pada urinary carrier, salmonella menetap di saluran air seni, biasanya disebabkan kelainan saluran air seni yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik atau kelainan ureter.

Carrier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air seni untuk S.typhi dan paratyphi. Karena ekskresi salmonella terjadi intermitten, sedikit-dikitnya diperlukan 3 sampai 6 biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negative. Pengobatan carrier tifoid merupakan masalah yang sulit. Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau amoksisilin 1 gram tiap 6 jam, per oral, selama 4 minggu; atau ko-trimoksasol 2 tablet tiap 12 jam, selama 4 minggu. Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan pemberian ampisilin. Pengobatan kadang-kadang gagal karena salmonella dapat bersarang didalam saluran empedu intrahepatik.

Komplikasi

Komplikasi tifoid dapat dibagi dalam: 1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus. b. Perforasi usus. c. Ileus paralitik.

2. Komplikasi ekstra-intestinal: a. Komplikasi kardiovaskular:

Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. b. Komplikasi darah:

Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravascular coagulation

(DIC) dan sindrom uremia hemolitik. c. Komplikasi paru:

Pneumonia, empiema dan pleuritis. d. Komplikasi hepar dan kandung empedu:

Hepatitis dan kolesistitis. e. Komplikasi ginjal:

Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. f. Komplikasi tulang:

(19)

Delirium, meningismus, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan penderita kurang sempurna.

Prognosis

Prognosis bergantung pada umur, keadan umum, derakat kekebalan penderita, jumlah dan virulensi salmonella, serta sepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian paratifoid lebih rendah daripada tifoid.

Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa angka kematian tifoid di rumah-rumah sakit di Indonesia menurun dari 5,6% pada tahun 1969 menjadi 3,3% pada tahun 1978.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding demam tifoid, ialah: 1. Influenza

2. Malaria. 3. Disentri basiler 4. Tuberkulosis

5. Penyakit-penyakit lain dengan demam yang lama, misalnya leukemia, lupus eritematosus sistemik dan lain-lain.

Pencegahan

Usaha pencegahan tiffoid dapat dibagi dalam: 1. Usaha terhadap lingkungan hidup

2. Usaha terhadap manusia.

Usaha terhadap lingkungan hidup

a. Penyedian air minum yang memenuhi syarat. b. Pembuangan kotoran manusia yang hygienis. c. Pemberantasan lalat.

d. Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjul makanan.

Usaha-usaha tterhadap manusia

a. Imunitas

b. Menemukan dan mengawasi carrier tifoid c. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

(20)

KOLERA

(H.SOEMARSONO S.)

Pendahuluan

Kolera adalah suatu penyakit berak-berak disertai muntah yang akut, ditimbulkan oleh suatu enterotoksin yang dihasilkan vibrio cholerae dalam usus halus. Bentuk manifestasi klinisnya yang khas adalah dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovelemik dan asidosis metabolic yang tercapai dalam waktu yang amat singkat akibat diare sekretorik dan dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan adekuat.

Etiologi

Vibrio chlolerae adalah kuman gram negatif berukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,0 mm, mudah dikenal dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnan gram sebagai batang-batang pendek sedikit bengkok (komma), tersusun berkelompok seperti kawanan ikan yang berenang.

Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan menggunakan mikroskop-fluoresensi dengan memakai antibody tipe-spesifik yang telah dilabel dengan flurescein, atau dengan uji imobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe-spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase.

Vibrio cholerae tumbuh cepat dalam berbagai macam media selektif seperti agar garam empedu, agar gliserin-telurit-taurokola, atau agar thiosulfate-citratebile sdalt-sucrose

(TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakaiannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwarna kuning-opaque. Dikenal 3 serotipe vibrio cholerae, yaitu Ogawa, Inaba, dan Hikojima, yang pembedaannya dapat dibuat dengan cara aglutinsi dengan anti seratipe tipe-spesifik.

Identifikasi vibrio cholerae biotipe eltor penting untuk tujuan-tujuan epidemiologic. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera klasik, ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.

Epidemiologi

Dalam kurung waktu satu setengah abad, kolera menetap secara endemic di daerah delta Gangga dengan epidemic tiap tahun pada pusat-pusat padat penduduk di Bengal Barat dan Bangladesh serta penyebaran berkala ke Asia Tenggara. Sejak tahun 1917 dikenal tujuh pandemic yang daerahnya bahkan mencapai Eropa; hanya pandemic ke-7 baru-baru ini (1961-1977) tidak berhasil mencapai Eropa Barat. Di Indonesia sendiri sampai perang Dunia Ke-II terjadi beberpa epidemic kolera, terakhir pada tahun 1926.

Peristiwa-peeristiwa yang tidak didokumentasikan dengan baik ini dikenal sebagai penyakit yang ”bila timbul pagi hari menyebabkan kematian malam hari, dan bila timbul malam hari menyebabkan kematian pagi harinya”. Diduga penyebabnya adalah kolera klasik.

Kolera Eltor

Kolera pada pandemic-pandemi yang terdahulu disebabkan karena vibrio cholerae. Pada tahun 1961 dan seterusnya, kolera eltor menyebar dari suatu focus di Sulawesi Selatan ke daerah-daerah lain di Indonesia, dan dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun kemudian dinyatakan tidak ada provinsi lagi yang masih virgin.

(21)

Pada periode 1970-1974 kolera eltor tampil di daerah Mediterania, Afrika dari panai timur sampai ke pantai barat dan Eropa.

Manusia merupakan pejamu alamiah sekaligus korban kolera.

Transmisi

Pada daerah endemic, air terutama berperan dalam penularan kolera; namun pada epidemic yang besar, makanan yang terkontaminasi oleh tinja yang terinfeksi juga dapat berperan, terutama pada kolera eltor, yang dapat hidup lebih lama dalam air dibandingkan dengan V.cholerae, disamping dapat bertahan baik pada makanan.

Penderita dengan infeksi yang rigan atau asimptomatik (carrier) berperanan penting pada penyebaran penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimptomatik dengan penderita dengan manifestasi klinis yang khas diperkirakan 4 : 1 pada kolera asiatika, sedangkan untuk kolera eltor, perkiraan ini menjadi 10 : 1 pada suatu pandemic (iceberg phenomena). Hal ini untuk kolera eltor merupakan permasalahan pada surveillance penyakit ini. Pada kolera eltor angka carrier (pembawa kuman) yang tetap sehat mencapai 3% pada penderita yang konvalesen. Kuman dalam kantong empedu dijumpai pada carrier orang dewasa. Dalam hal ini belum ada pengamatan pada usia anak. Segala usia sejak bayi hingga usia lanjut adalah terhadap kolera; usia termuda yang pernah diokumentasikan terkena penyakit ini adalah 2 minggu.

Attack rate di daerah pada usia anak-anak lebih besar disbanding dengan dewasa yaitu 10 : 1, sedangkan pada orang dewasa attack rate lebih tinggi pada pria daripada wanita. Pada keadaan epidemic, attack rate tidak berbeda baik pada golongan umur maupun kelamin.

Imunitas Tubuh

Mekanisme imunitas pada kolera belumlah diketahui benar. Laporan yang di dokumentasi mengenai kemungkinan serangan kolera yang berulang pada penderita yang sama agaknya tidak ada, akan tetapi ada penderita yang sedang diobati secara tidak adekuat, perjalan fase akutnya dapat berkepanjangan.

Sepanjang yang diketahui, respon imun pada kolera ialah tipe humoral. Meskipun vibrio dan enterotoksin kolera tidak beredar dalam darah, ternyata tubuh membentuk antibody-humoral bersama-sama dengan kopro-antibody. Kedua antibody ini bekerja, baik sebagai anti-enterotoksin maupun anti-bakteri.

Patogenesis dan Patologi

Kolera ditularkan melalui mulut. Bila vibrio ini berhasil lolos dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, dia akan terbunuh dalam asam lambung yang tak diencerkan. Bila pertahanan kedua ini pun dapat dilalui dengan selamat, maka vibrio akan sampai dalam usus halus. Suasana alkali di bagian usus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri, jumlahnya bisa mencapai sampai sakitar 1011/ml cairan tinja. Semua strain vibrio yang pathogen menghasilkan enterotoksin.

Enteroroksin adalah suatu protein, dengan berat molekul 84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam, residen terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Enterotoksin ini terikat secara cepat pada sel-sel epithelial usus halus dan tak dapat lepas kembali. Efeknya yang khas terhadap sekresi elektrolit tidak terjadi segera, tapi memerlukan waktu kurang lebih 10-30 menit, sedangkan aktivitas yang maksimum tercatat dalam 3-4 jam sejak perstiwa pengikatan tahun, dan berkelanjutan dalam waktu 8-12 jam pada suatu exposure tunggal. Efek enterotoksin maupun vibrionya sendiri tidak menyebabkan kerusakan pada mukosa usus. Perubahan patologik yang lazim berupa edema ringan pada lamina propria dan dilatasi ringan kapiler-kapiler darah dan pembuluh limfe pada puncak vili.

(22)

pihak lain kadar cyclic AMP dalam sel yang senantiasa meningkat juga menghalangi absorpsi natrium dan klorida pada vili. Efek resultante dari peningkatan cyclic AMP menyebabkan sekresi dari cairan isotonic di samping usus halus.

Enterotoksin kolera tidak menyebabkan sekresi pada lambung dan efeknya minim terhadap perpindahan cairan dalam usus besar. Tinja kolera adalah cairan isotonic dengan kadar bikarbonas kira-kira 2 kali kadar normal dalam plasma dan kadar rata-rata kalium 4-8 kali kadar plasma. Kecepatan kehilangan cairan usus pada penderita kolera dewasa dapat mencapai 1.000 ml per jam. Lamanya diare bila tidak diobati dengan antibiotika dapat berlangsung lebih dari 5 hari.

Manifestasi Klinik

Pada kolera ada beberapa perbedaan mengeni sifat dan berat gejala, baik perbedaan pada kasus individual maupun pada setiap epidemic. Waktu inkubasi 2 – 6 hari. Infeksi terbanyak bersifat asimptomatik atau terjadi diare ringan dan penderita tetap ambulatoir.

Kolera yang khas dimulai dengan diare yang encer dan berlimpah, tanpa didahului dengan diare yang encer dan berlimpah, tanpa didahului oleh rasa mulas dan tanpa disertai tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh tidak berbau busuk maupun amis, tapi manis membusuk. Cairan yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan, akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih. Cairan ini akan dilimpahkan berkali-kali dari anus penderita dalam jumlah yang besar. Muntah timbul kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa mual-mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan ataupun rintihan penderita karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai terisakan nyeri karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuscular.

Semua gejala dan tanda kolera disebabkan oleh kehilangan air dan elektrolit badan serta asidosis. Penderita berada dalam keadaan lunglai, tak berdaya, namun kesadarannya tetap baik dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru akan terjadi pada saat-saat terakhir. Pada bayi dan usia anak-anak, sekitar 10% dapat dijumpai kejang-kejang sentral dan stupor, yang dikaitkan dengan keadaan hipoglikemia. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, perubahan suara menjadi serak seperti suara bebek Manila (vox cholerica), kelopak mata cekung dan tak dapat dipejamkan, pipi yang cekung memberi kesan hidung yang mancung tipis, tulang pipi yang menonjol, muka menyerigai karena bibir kering, memberi perangai muka kolera yang khas (facies cholerica). Turgor kulit berkurang, perut cekung (skafoid) tanpa ada steifung maupun contour usus, suara peristaltic usus bila ada jarang terjadi. Jari-jari tangan dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit, terutama ujung jari yang keriput (washer woman hand), diuresis berangsur-angsur kurang dan berakhir dengan anuri.

Tanda-Tanda Gagal Sirkulasi

(23)

Asidosis metabolic karena kehilangan bikarbonat jumlah besar dan metabolsme anaerob akibat gagal sirkulasi, nampak pada pernapasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam dan sering (kussmaul).

Perubahan fisiofatologis karena yang irreversible lainnya pada organ-organ badan agaknya tidak terjadi, bahkan homeostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih mudah dapat dikoreksi dengan baik.

Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad intergum atau kematian, dan penyulit yang betul-betul karena penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit yang ada biasanya disebabkan karena keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat seperti uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gagal ginjal dengan anuria yang berkepanjangan terjadi dalam persentasi yang kecil berupa nekrose tubular akut (ATN) yang bisanyanya sapat diatasi secara konservatif dan tidak memerlukan dialysis.

Penyulit yang perlu diperhatikan ialah terjadi abortus penderita yang hamil muda, dan komplikasi iatrogenic seperti gagal jantung, reaksi infuse berupa demam, infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis baterial dengan akibat-akibatnya). Pada umumnya dengan pengobatan yang dini dan adekuat, prognosis kolera cukup baik dan penderita tidak perlu sampai meninggal.

Diagnosis

Diagnosis kolera melliputi klinis dan baktriologis. Menegakkan diagnosis penyalit kolera yang berat, terutama pada suatu daerah endemic, tidaklah sukar. Kesukaran menegakkan diagnosis biasanya terjadi pada kasus-kasus yang ringan dan sedang, terutama diluar endemic atau epidemic. Kolera yang tipik dan berat dikenal dengan adanya berak-berak yang sering tanpa mulas diikuti dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu yang tetap normal atau menurun, dan cepat bertambah buruknya keadaan penderita dengan gejala-gekala akibat dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis yang jelas.

Bila keadaan klinis memberi dugaan yang kuat kearah penyakit ini, pengobatan harus segera dimulai, sambil menyiapokan diagnosis bakteriologis tanpa menunggu hasil bakteriologis. Diare sekretorik lainnya dengan gambaran klinis yang mirip dengan kolera ialah diare yang disebabkan oleh enterotoxigenic Escherchia coli (ETEC). Kausa mikrobila yang menyebabkan diare sekretorik anatara lain:

 Vibrio cholerae

 Vibrio cholerae non 0 grup  Escherchia coli

 Clostridium perfringens  Bacillus coreus

 Staphylococcus aureus.

Untuk pemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pmeriksaan tinja yang tepat adalah apus rectum (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport Carry dan blair atau peptone-alkali, atau langsung ditanam dalam agar TCBS, dapat memberikan persentase hasil positif yang tinggi.

Pengobatan

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah anugerah dan bukti kasih-NYA, sehingga skripsi yang berjudul Peran Modal Sosial dalam Pencapaian Keberhasilan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) (Studi Kasus

APRIL telah menanam lebih dari 4.000 ha tanaman jenis Melaleuca secara komersial pada area-area yang lebih basah dan telah memiliki sejumlah data mumpuni mengenai pertumbuhan

Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai multikultural menjadi praktik dalam kehidupan masyarakat, maka diperlukan suatu upaya pengkondisian yang mengarah pada situasi

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Latar Belakang Pendidikan Dan Status Sosial Ekonomi Keluarga Masyarakat di Desa Bontoborusu 12,8 % sebagai petani, 3,3 % sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), 15,4%

Sekolah/madrasah melibatkan orang tua siswa untuk memberi saran/masukan dalam membuat keputusan terkait dengan kegiatan asesmen siswa pada seluruh proses pembelajaran serta mampu

An cylostoma duodenal e dan Nector amer ican us (hookworm, cacing tambang) Larva infektif menembus kulit yang utuh, masuk sirkulasi, dan terbawa ke  paru; setelah matang, larva di