BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana pendidikan seks itu diberikan
kepada remaja putri di dalam sebuah keluarga. Adanya kebutuhan orang untuk
dapat memahami seks dengan baik dan benar merupakan petunjuk bahwa
pendidikan seks itu diperlukan. Seperti kita ketahui, masyarakat selalu
berkembang dan mengalami perubahan, termasuk perubahan nilai dan moralitas
serta pandangan terhadap seks. Seks memang merupakan bahan pembicaraan
yang peka. Di satu pihak ia sangat dibutuhkan, tetapi di pihak lain orang berusaha
menutup-nutupinya. Seks bukan hal yang tabu, apalagi jika dibicarakan di dalam
keluarga, antara orangtua dan anak-anaknya.
Seks adalah topik yang sudah lama dianggap pantang untuk
diperbincangkan oleh orang dewasa, Banyak orang kurang mengetahui tentang
seksualitas atau enggan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
seksualitas. Namun, seringkali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian
bahwa istilah seks lebih mengarah pada bagaimana masalah hubungan seksual
antara dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004). Seks merupakan
masalah yang paling sulit di dunia untuk didiskusikan, dan sebagian besar orang
mencoba menghindari atau sebaliknya memasukkan lelucon yang berbau seks ke
▸ Baca selengkapnya: perdamaian dalam keluarga kristen
(2)Dalam sebagian besar kasus, para orangtua cenderung menghindari
masalah-masalah seks secara keseluruhan dalam mengajari anak-anak mereka tentang apa
pun yang harus diketahui oleh anak-anak mereka. Orangtua harus mengetahui
bahwa mereka sangat berperan dalam membantu anak remaja melewati masa
remajanya dengan baik, juga untuk menyadarkan kepada orang tua bahwa
berbagai perubahan/gejolak yang dialami oleh anak remaja adalah sesuatu yang
alamiah dan tidak terhindarkan. Anak remaja yang kebingungan menghadapi hal
itu dan justru mereka sangat mengharapkan bantuan orangtua, namun mereka sulit
mengungkapkannya. Oleh karena itu orangtualah yang secara arif dan bijaksana
mendekatkan diri kepada anak remaja untuk menjadi sahabat bagi mereka.
(Mu’tadin,2002)
Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih
amat kurang sampai saat ini. Sebagian dari masyarakat masih amat mempercayai
pada mitos-mitos seksual dan justru mitos-mitos inilah yang merupakan salah satu
pemahaman yang salah tentang seksual (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja
mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan
mengenai seksualitas didepan umum dan juga adanya pemahaman yang salah
mengenai pendidikan seks, sehingga melarang membicarakan seks secara vulgar.
Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak
lengkap, di mana para remaja hanya mengetahui cara melakukan hubungan seks
tanpa mengetahui dampak yang akan muncul akibat aktivitas seksual tersebut.
Masa remaja merupakan suatu proses alami yang harus dilewati setiap
globalisasi pada saat ini, membuat keadaan semakin sulit bagi remaja putri untuk
tetap mempertahankan kepribadiannya. Menjadi seorang remaja putri biasanya
ditandai dengan datangnya menstruasi1 pertama dalam kehidupan mereka, dan ini
seringkali dianggap sebagai masa yang paling indah dalam hidup seseorang.
Namun lebih dari itu, masa ini juga membawa berbagai perubahan bagi remaja
putri tersebut, baik secara fisik maupun mental. Bagaimana remaja putri
menghadapi segala perubahan yang terjadi sekarang sangat menentukan
perkembangan mereka selanjutnya dalam proses menjadi dewasa. Pada saat yang
bersamaan, sesuai dengan tahapan usia mereka yang sedang mengalami pubertas2
Banyaknya persepsi yang mereka dapatkan mulai dari nilai-nilai agama
hingga pengaruh film dan cerita yang berbau pornografi telah membuat seks
menjadi “sesuatu” yang bahkan lebih membingungkan.
,
remaja putri juga memiliki rasa ingin tahu yang besar. Seks untuk remaja putri
adalah sebuah hal yang penuh misteri dan mengundang rasa keingintahuan.Seks
dilihat sebagai sesuatu hal yang membingungkan dan menggoda.
3
1
Menstruasi disebut juga haid atau datang bulan. Ini adalah masa tiga sampai lima hari dalam sebulan yang menyebabkan pendarakan akibat dari sel telur yang tidak dibuahi di dalam ovarium.
2
Pubertas adalah suatu periode dalam kehidupan anak ketika anak laki-laki atau perempuan mulai matang secara seksual
3
Jurnal Perempuan Edisi 16, hal 26-27
Adanya konsep sosial
budaya yang menganggap bahwa seks adalah suatu hal yang tabu untuk
dibicarakan membuat jalur informasi yang sebenarnya sangat mereka butuhkan
menjadi tertutup. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan informasi ini,
mereka pun mencoba mendapatkannya melalui teman-teman mereka dan media
pada akhirnya malah menjerumuskan mereka. Sehingga tidak jarang sekarang kita
temui remaja putri dengan kehamilan yang tidak diinginkan atau mendapatkan
penyakit-penyakit seksual yang menular.
Menurut dr. Eka Viora, Sp.K.J selama ini, pendidikan seks dianggap tabu
dikalangan masyarakat. Mereka berpendapat pendidikan seks belum pantas
diterima oleh anak usia dini, padahal pendidikan seks sangat berpengaruh untuk
kehidupan anak ketika remaja. Karena nantinya mereka bisa berhati-hati dengan
perlakuan berbahaya yang bisa diterimanya, seperti pelecehan seksual. Oleh
karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Orangtua
dituntut untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Hal ini
disebabkan, keluarga merupakan awal dari pembentukan diri si anak. Untuk itu,
diperlukan perhatian yang lebih dari orangtua kepada anak-anaknya.
Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar
65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya
dari film porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang
seks dari orangtuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena
penyakit seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif
untuk mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan
dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah
aborsi, 97% pernah menonton film porno.4
Ada dua faktor mengapa
Faktor pertama adalah ketika anak-anak perempuan tumbuh
menjadi remaja, mereka belum paham dengan seks, sebab orangtua masih
menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga
dari ketidakpahaman tersebut para remaja putri merasa tidak bertanggung jawab
dengan seks atau kesehatan anatomi reproduksinya. Faktor kedua, dari
ketidakpahaman remaja putri tentang seks dan kesehatan anatomi reproduksi
mereka, di dalam lingkungan sosial masyarakat hal ini ditawarkan hanya sebatas
komoditi seper
antara lain, VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah
mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakpahaman remaja putri
tentang pendidikan seks ini menyebabkan banyak hal-hal negatif terjadi, seperti
tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan,
5
Pendidikan seks sebagaimana pendidikan yang lain pada umumnya
(pendidikan agama atau pendidikan moral pancasila) mengandung pengalihan
nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik. Dimana informasi diberikan secara
konstektual yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, apa yang terlarang, apa yang lazim dan bagaimana cara
melakukannya tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk
menghubungi rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran
informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang
benar, jujur, dan disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Terlepas dari
pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat marak diberitakan di
berbagai media. Diera globalisasi sekarang ini pendidikan seks dirasa cukup
penting mengingat anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai
media seperti majalah, buku, televisi, video compact disc, dan internet. Dengan
demikian para remaja akan mengetahui hubungan seksual yang sebenarnya
sampai mereka menikah dan memiliki anak (Dianawati, 2003).
Dalam sejarah dunia, pendidikan seks sama pentingnya dengan pendidikan
lain dimana anak-anak perempuan sebaiknya mendapatkan informasi tentang seks
pada usia-usia awal. Jadi pendidikan seks bagi remaja putri oleh orang tua mereka
menjadi sesuatu yang harus dipertahankan. Jika orangtua melepaskan tugas ini,
remaja putri akan berisiko mudah diserang oleh orang-orang yang
mengeksploitasi seks. Dalam kenyataannya, sekarang ini nilai-nilai moral seks
sudah semakin kabur, dan remaja putri pada akhirnya akan dikonfrontasikan
dengan godaan seksual. Seiring berjalannya waktu, pendidikan seks semakin
marak diperbincangkan.
Misalnya, dalam sebuah pertemuan bulanan keluarga besar Forum
Wartawan Kesehatan (Forwakes) yang mengangkat tema “Pendidikan Seks
ini, diberitahukan bahwa, pendidikan seks itu penting dilakukan oleh para
orangtua mengingat semakin maraknya masalah-masalah yang berhubungan
dengan seks yang terjadi pada anak dan remaja saat ini.6 Contoh kasusnya adalah
seorang remaja putri yang merasa khawatir luar biasa ketika menstruasinya tidak
datang, karena beberapa minggu sebelumnya, ia melakukan hubungan badan
dengan pacarnya. Oleh karena kekhawatirannya bahwa ia akan hamil, ia
terjerumus dengan mitos yang mengatakan bahwa loncat-loncat dan memakan
buah nanas yang banyak dapat menyebabkan keguguran. Kasus lainnya, ada
seorang remaja putri mengeluh sakit dirahimnya. Ketika diperiksa oleh dokter,
ternyata terdapat alat pembuka tutup botol dirahimnya. Remaja itu mengaku
memasukkannya untuk melakukan masturbasi.7
Begitupula dengan remaja putri lain yang juga buta soal kehamilan. Ia
mencoba menggugurkan kandungannya dengan memasukkan gabus ke dalam
rahimnya. Tentu saja hal ini malah mengakibatkan infeksi yang sangat parah.8
Kasus lainnya juga terlihat dari semakin maraknya tingkat kriminal terkait
seksualitas terhadap anak dan remaja putri sekarang ini, dimana tercatat bahwa
Indonesia merupakan urutan ke-62 di dunia yang memiliki tingkat perkosaan yang
tinggi9
6
Dikutip dari Harian Analisa, Medan, 26 November 2012
. Hal ini juga terlihat dari data yang dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), yakni 30% kejahatan yang terjadi pada tahun 2012 adalah
7
Masturbasi, onani, atau rancap adalah perangsangan
kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan sesuatu objek atau alat, atau kombinasinya.
8
Jurnal Perempuan Edisi 41, hal 106-107
kasus perkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan serta Lembaga Indonesia Police Watch (IPW) juga mencatat, yakni selama bulan Januari 2013
sudah terjadi 27 kasus perkosaan dan 2 kasus pencabulan. Korbannya mencapai
29 orang gadis dan perempuan dewasa. Namun yang memprihatinkan adalah
sebanyak 23 dari 29 korban perkosaan itu berusia di bawah 17 tahun.
Minimnya perhatian masyarakat dan lemahnya penegakan hukum oleh
aparat makin membuat para remaja berani untuk mencoba dan mencoba lagi. Hal
ini terlihat dari pernyataan calon Hakim Agung, Daming SH, saat fit dan proper
test10 di DPR, yang mengatakan bahwa kasus perkosaan itu tidak usah dihukum
berat, sebab pelaku dan korbannya sama-sama merasa enak. Dan ini juga terbukti
dari 6 pasal yang ada di KUHP, hanya ada 2 pasal yang mengandung ancaman
pidana terberat, namun demikian tetap saja dalam praktik peradilan, hakim yang
memeriksa perkara sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal kepada
terdakwa pemerkosaan dengan berbagai alasan.11
Anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tinggal bagaimana
cara orangtua menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mereka. Salah satu hal
terpenting adalah menjawab pertanyaan sang anak dengan jujur dan dengan
bahasa yang lebih halus, sehingga anak bisa memahami dengan baik. Namun juga Orangtua merupakan aktor
utama dalam hal pendidikan anak usia dini. Orangtua sebagai wahana belajar
utama bagi anak, karena orangtualah yang paling tepat untuk memberikan
pendidikan seks pada usia dini.
10
fit dan proper test adalah tes kepantasan, kepatutan dan kelayakan yang dipadatkan dalam kalimat tes kemampuan dan kepatutan.
11
tidak berarti harus dijelaskan secara detail, karena hal itu justru akan membuat
anak merasa bingung. dr. Eka Viora mencontohkan pertanyaan yang sering
dilontarkan anak kepada orangtuanya, misalnya “mama, kita lahir dari mana?”,
“Ayah, mimpi basah itu apa?” atau jika anak bertanya tentang nama-nama organ
tubuh, orangtua hanya akan menjawab dengan jawaban yang tidak sesuai
kenyataan. Seharusnya orangtua tidak perlu malu untuk menjawab pertanyaan
anaknya, berikan jawaban yang tepat kepada anak, bukan menjawabnya dengan
istilah atau kata-kata lain.
Misalkan seperti vagina12 atau penis13, jangan diistilahkan dengan kata
lain seperti “apem” atau “burung”. Sementara itu dr. Warih A Puspitosari, M.Sc,
Sp.K.J. menjelaskan bahwa pendidikan seks usia dini bukan berarti mengajarkan
bagaimana cara melakukan seks. Namun pendidikan seks pada usia dini
menjelaskan tentang organ-organ yang dimiliki manusia dan apa fungsinya.14
Pendidikan Seks (Sex education) sangat perlu sekali untuk mengantisipasi, mengetahui atau mencegah kegiatan seks bebas dan mampu menghindari
dampak-dampak negatif lainnya. Mungkin kita baru menyadari betapa
pergaulan bebas muncul di kalangan remaja
dewasa ini.
Kalau kita berbicara tentang pergaulan bebas, hal ini sebenarnya sudah
muncul dari dulu, hanya saja sekarang ini terlihat semakin parah.15
12
Vagina merupakan sebutan secara biologi kepada alat kelamin wanita
13
Penis merupakan sebutan secara biologi kepada alat kelamin pria
14
http://okezonekampus – orangtua-harus-berikan-pendidikan-seks-sejak-dini.com (27 Desember 2012, pukul 08.05)
Hal ini pun
terjadi di daerah lokasi penelitian yang sedang saya lakukan. Dari hasil observasi
sementara yang saya lakukan terdapat satu keluarga dimana salah seorang anak
perempuannya mengalami pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil diluar
nikah. Sulit bagi saya untuk observasi langsung ke dalam keluarga dikarenakan
ketertutupan keluarga tersebut mengenai masalah itu. Namun, menurut warga
sekitar, hal tersebut terjadi akibat kurangnya perhatian yang diberikan orangtua
kepada anak yang setiap hari selalu sibuk bekerja.
Saya lebih memfokuskan penelitian saya kepada pendidikan seks yang
diberikan kepada remaja putri di dalam keluarga. Mengapa demikian ? Saya ingin
melihat bagaimana peran keluarga dalam memberikan pendidikan seks tersebut
kepada anak perempuan, yang mana telah kita ketahui bahwa di antara orangtua
dan anak perempuan terkadang memiliki sebuah rasa keseganan yang cenderung
memberikan jarak antara keduanya dalam keterbukaan di lingkup masalah seks.16
Penelitian tentang seks bukan lagi hal yang baru dalam dunia Antropologi.
Hal ini diperlihatkan dari penelitian-penelitian mengenai seks yang sebelumnya
telah dilakukan oleh para ahli Antropologi. Misalnya saja penelitian yang
dilakukan oleh Margareth Mead. Ia meneliti seberapa jauh para remaja dalam Hal ini pun membuat para pemerkosa tidak jera dalam melakukan aksinya. Oleh
karena itu, saya pun tertarik untuk meneliti tentang, “Pendidikan Seks kepada
Remaja Putri dalam Keluarga di Kelurahan Kristen, Pematangsiantar”.
1.2. Tinjauan Pustaka
16
kebudayaan Samoa, terutama wanita, mengalami masalah ketegangan akil balig.
Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Ero-Amerika, ada kecenderungan para
remajanya untuk menentang kekuasaan dan otoritas orangtuanya walaupun dalam
keadaan ragu-ragu dan ketidakmantapan akil balig terhadap tujuan hidupnya
sendiri, namun selalu ingin mencari kebebasan dan otoritas pada umumnya.
Pada masa itu kecenderungan semacam itu dianggap universal, dan
Margareth Mead ingin melihat apakah kecenderungan semacam itu ada juga pada
masyarakat di luar kebudayaan Ero-Amerika (Mead dalam Danandjaja, 2005).
Dari hasil penelitiannya selama sembilan bulan di tiga desa di
Samoa, Mead berkesimpulan bahwa para gadis Samoa tidak mcngalami gejala
gejolak akil balig tersebut. Sebabnya, keluarga orang Samoa bukan bersifat
keluarga inti, yang hanya terdiri dan ayah, ibu, kakak serta adik, melainkan
bersifat keluarga luas. Akibatnya seorang anak tidak selalu harus berhubungan
terus-menerus dengan kedua orangtuanya saja, tetapi juga mendapat kesempatan
untuk berhubungan secara bebas dan emosional dengan anggota kerabatnya yang
lain. Selain itu, pergaulan secara seksual antara para remaja dan lain jenis
kelamin, juga lebih bebas jika dibandingkan dengan para remaja Ero-Amerika
pada tahun dua puluhan. Karena tidak adanya pengekangan mengenai seks,
gejolak akil balig tidak ada pada remaja Samoa. Mungkin keadaan yang sama
juga berlaku pada masyarakat yang mempunyai sistem dan organisasi kekerabatan
serta norma pergaulan seks yang sama dengan Samoa (Mead dalam Danandjaja,
Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti “proses pengubahan sikap dan
tata laku kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan. Sedangkan kata seks mempunyai dua pengertian. Pertama,
berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan
alat kelamin, misalnya persetubuhan atau sanggama. Padahal yang disebut
pendidikan seks sebenarnya mempunyai pengertian yang jauh lebih luas, yaitu
upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan
psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia (Yusuf
Madan, 2004). Pendidikan seks (Mayo, 1986) merupakan pelajaran untuk
menguatkan kehidupan keluarga, untuk menumbuhkan pemahaman diri dan
hormat terhadap diri, untuk mengembangkan kemampuan hubungan manusiawi
yang sehat, untuk membangun tanggung jawab seksual dan sosial, untuk
mempertinggi masa perkenalan yang bertanggung jawab, perkawinan yang
bertanggung jawab, dan orangtua yang bertanggung jawab.
Pendidikan seks tidak hanya mengenai perkembangbiakan manusia, tetapi
juga mencakup keseluruhan sikap terbuka pria dan perempuan dalam hubungan
mereka satu sama lain dan mengembangkan diri mereka agar bertanggung jawab.
Defenisi lain dari pendidikan seks adalah pendidikan tentang tingkah laku yang
baik sehubungan dengan masalah-masalah seks. Pendidikan seks dimaksudkan
sebagai penerangan tentang kehidupan yang wajar atau sehat selama masa
kanak-kanak sampai dewasa. dr. Warih A Puspitosari, M.Sc, Sp.K.J. menjelaskan bahwa
pendidikan seks usia dini bukan berarti mengajarkan bagaimana cara melakukan
yang dimiliki manusia dan apa fungsinya.17
17
http://okezonekampus – orangtua-harus-berikan-pendidikan-seks-sejak-dini.com (27 Desember 2012, pukul 08.05)
Tujuan utama pendidikan seks yang
disampaikan Pohan (1990), yakni memberikan pondasi yang kuat supaya sebagai
makhluk seksual ia dapat berfungsi secara efektif, sebagai pria atau perempuan
selama hidupnya.
Dianawati (2003) mengatakan pentingnya memberikan pendidikan seks
bagi remaja, sudah seharusnya dipahami, karena pada dasarnya usia remaja
merupakan masa transisi, masa terjadinya perubahan, baik fisik, emosional,
maupun seksual. Hormon seks dalam tubuhnya mulai berfungsi dan siap
melakukan fungsinya. Perubahan hormon itu ditandai dengan kematangan seks,
sehingga dorongan seks yang timbul semakin meluap. Dorongan tersebut akan
semakin liar jika tidak diberi bimbingan yang benar tentang perubahan ini. Pada
usia remaja, seorang anak belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya.
Hal-hal yang mereka lakukan hanya merupakan kesenangan sesaat.
Ketidakjelasan pendidikan seks dari orangtuanya akan menimbulkan berbagai
masalah yang mengacu pada gangguan seksual ketika memasuki kehidupan
seksual yang sebenarnya dengan pasangannya. Oleh sebab itu, bimbingan dari
orangtua sangat dibutuhkan. Pendidikan seks di dalam keluarga juga berhubungan
dengan pola pengasuhan anak yang dilakukan di dalam keluarga. Pengasuhan
anak merupakan bagian yang sangat penting dari proses sosialisasi yang dapat
Pengaruh kebudayaan pada kepribadian anak sangat besar dan ciri-ciri
kepribadian anak yang berbeda kebudayaan juga berbeda. Hal ini disebabkan oleh
sistem nilai kebudayaan masing-masing yang berbeda sehingga cara mengasuh
dan mendidiknya pun berbeda (Lintondalam Danandjaja, 2005). Demikian juga
dengan pendidikan seks yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anak mereka
di dalam sebuah keluarga. Ada orangtua yang berpendirian bahwa tugas mereka
adalah mendidik anak sedemikian rupa sehingga anak dapat bertingkah laku sopan
dan suci, dan hal ini mnyebabkan mereka tidak mau membicarakan
masalah-masalah yang berhubungan dengan seks yang mereka anggap tabu untuk
diperbincangkan. Hal ini membuat anak-anak berusaha untuk mencari tahu sendiri
dari luar yang mana belum tentu kebenarannya.
Dalam hal ini, dr. Boyke Dian Nugroho, mengatakan bahwa mulai
sekarang orangtua harus mulai menghindari untuk mentabukan masalah ini karena
hal ini merupakan suatu pengetahuan yang dapat dipelajari sejak beberapa ratus
tahun yang lalu, para ilmuwan pun juga telah mencoba meneliti tentang seks ini,
dan sampai sekarang pun mereka masih menemukan hal-hal yang baru (Nugroho,
2000). Psikolog Sani B. Hermawan, Psi dari Lembaga Konsultasi Psikologi Daya
Insani mengatakan ada 7 modal awal sebelum memberikan pendidikan seks pada anak, yakni:
1. Luangkan waktu untuk berdialog.
2. Miliki sikap terbuka, informatif, dan yakinlah bahwa apa yang kita berikan
3. Siapkan materi dan penyampaian yang sesuai, serta gunakan istilah ilmiah
untuk menghindari kesalahpahaman penyebutan.
4. Gunakan media atau alat bantu seperti buku atau gambar anatomi.
5. Membekali diri dengan wawasan yang cukup.
6. Menyakinkan diri bahwa pendidikan seks penting dan bermanfaat.
7. Mendiskusikan kepada ahli jika ragu atau bingung.
Dengan begitu, orangtua sudah membekali seluruh anggota keluarga untuk
terhindar dari pelecehan seksual dan pemerkosaan.18
Ada dua faktor yang menyebabkan remaja perempuan menjadi sangat
rentan terhadap badai ini. Faktor yang pertama adalah masalah pertumbuhan
Masa remaja atau adolescence (Mayo, 1986) adalah masa yang penting
dalam hidup remaja, masa yang indah, masa di mana manusia mampu mencatat
dan mengumpulkan kebenaran-kebenaran fundamental tertentu untuk belajar
mengenal dan memiliki nilai-nilai fundamental dan lain-lain. Dalam masa ini
perlu diletakkan dasar yang kuat untuk pembentukan watak. Dalam masa remaja
ini tidak cukup hanya diberikan pengetahuan tentang fakta-fakta biologis, tetapi
pembentukan watak dan pengetahuan seksual juga harus diberikan secara
bersama-sama, sehingga mereka akan memperoleh kehidupan seksual yang baik
dan sehat. Usia remaja yang dimaksud disini adalah berkisar 12-18 tahun (remaja
perempuan) secara psikologi. Pada awal masa remaja, anak perempuan dapat
diibaratkan seperti pohon yang baru tumbuh diterpa badai.
18
mentalitas mereka. Memasuki masa remaja, segalanya menjadi berubah. Mulai
dari perubahan bentuk tubuh, hormon, kulit, dan juga rambut. Cara berpikir
mereka pun mulai berubah. Sementara faktor kedua adalah pada masa ini mereka
mulai memasuki ruang lingkup era-globalisasi dan menjadi sasaran segala macam
paham yang akhirnya dapat merugikan mereka. Sebut saja misalnya
paham-paham seperti :seksisme19 dan lookism20. Semua paham-paham uang
mengevaluasi atau menilai seseorang berdasar penampilan mereka, baik itu fisik
maupun tingkah laku atau sikap diri.21
Persoalan seksualitas terbukti memang bukan hanya masalah tubuh
perempuan dan laki-laki saja, namun juga berkaitan dengan relasi kekuasaan.
Frederick Engels dalam bukunya berjudul The Origin of The Family, Private
Property and State, mencoba merumuskan pensubordinasian perempuan dalam
perannya dimulai dengan perkembangan kepemilikan pribadi, saat ketika terjadi
kekalahan sejarah perempuan di dunia. Sejak lahir ia telah disosialisasikan
sebagai milik laki-laki, sebelum menikah ia bergantung dan menjadi milik sang
ayah, sedangkan ketika menikah ia menjadi milik suami. Kepemilikan ini
berkaitan erat dengan dominasi ekonomi dan dominasi politik oleh laki-laki
termasuk kontrol mereka atas seksualitas perempuan. Kontrol ini dinilai penting
19
Seksisme adalah prasangka berdasarkan jenis kelamin, sikap negatif bisa dari laki-laki terhadap perempuan, atau dari perempuan terhadap laki-laki., contohnya adalah ketidaksukaan laki-laki terhadap peran wanita, dll.Intinya seksisme adalah prasangka dengan berdasarkan jenis kelamin, dan bisa berpotensi menimbulkan konflik.
20
Lookism adalah penilaian terhadap orang lain berdasarkan fisik yang dimiliki melalui penglihatan
21
karena reproduksi dan seksualitas sudah menjadi bagian dari basis material
masyarakat.22
1. Bagaimana pengertian seks yang dipahami oleh remaja putri dan
keluarganya di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar ?
Ibu dan anak perempuan sering mempunyai waktu yang lebih banyak
daripada ayah dan anak laki-lakinya dalam berkomunikasi tentang seks. Anak
perempuan dan ibunya cenderung lebih mudah saling berbicara daripada anak
laki-laki dan ayahnya karena pada awal menstruasi memerlukan diskusi dan
penjelasan-penjelasan terkait menstruasi tersebut. Agak jarang ada anak
perempuan yang akan mendatangi ayahnya untuk konseling masalah ini. Rasa
sakit yang pertama kali biasanya akan menyebabkan dia mencari bantuan dari
orangtuanya. (Djiwandono, 2008)
1.3. Perumusan Masalah
Penulis memfokuskan penelitian ini untuk mendeskripsikan pendidikan
seks kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan Kristen, kota
Pematangsiantar. Masalah penelitian akan tertuang dalam pertanyaan penelitian :
2. Darimana orangtua dan remaja putri mendapatkan informasi tentang
pendidikan seks di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar?
3. Apa saja kendala (tantangan) yang dihadapi dalam penerapan pendidikan
seks kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan Kristen, kota
Pematangsiantar ?
22
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman seks
yang dimiliki remaja putri dan keluarganya, serta kaitannya dengan penerapan
pendidikan seks yang diberikan kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan
Kristen, kota Pematangsiantar. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa
saja yang menjadi kendala (tantangan) yang dihadapi dalam pemberian
pendidikan seks tersebut.
Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk menambah dan
memperkaya literatur mengenai pendidikan seks di dalam keluarga. Sedangkan
manfaat secara praktis yaitu agar berguna bagi masyarakat secara umum dan
akademisi secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang pendidikan
seks dalam keluarga. Pendidikan seks ini juga diharapkan dapat memberikan
suatu manfaat yang besar bagi para remaja putri khususnya dalam menghadapi era
globalisasi saat ini serta dengan adanya pendidikan seks ini, dapat mengurangi
tingkat kriminal terkait masalah seks.
1.5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kristen, Kota Pematangsiantar.
Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan penulis berasal dari daerah
tersebut yang ingin mencoba mencari tahu sejauh mana pendidikan seks itu
diterapkan di dalam keluarga khususnya kepada remaja putri. Selain itu, di daerah
tersebut mayoritas memeluk agama Kristen sehingga penulis ingin mengetahui
Kristen. Di daerah tersebut juga terdapat beberapa kasus terkait masalah seks,
misalnya kasus remaja putri hamil di luar nikah yang berakhir dikeluarkan dari
gereja mereka masing-masing.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis
data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini
digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai pendidikan
seks kepada remaja putri dalam keluarga. Dengan demikian, eksplorasi data
secara mendalam tentang pendidikan seks bisa terjaring dengan baik. Prosedur
penelitian kualitatif lebih bersifar sirkuler, artinya dalam hal-hal tertentu, langkah
atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh
data yang lengkap untuk membangun teori dasar. Dalam konteks ini, peneliti
dimungkinkan untuk beberapa kali turun ke lapangan. (Berutu, dkk. 2001)
1.6.1. Teknik pengumpulan data
Observasi
Pertama sekali ketika berada dilapangan, yang penulis lakukan dalam
penelitian ini adalah melakukan observasi (pengamatan) kepada remaja putri di
dalam keluarganya menyangkut masalah pendidikan seks yang diberikan. Dalam
penelitian ini, observasi yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
observasi23
Wawancara
. Dalam hal ini, penulis mengamati saja, yakni dengan mengamati dari
jauh dahulu suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan
remaja putri dalam penerapan pendidikan seks oleh anggota keluarga lainnya. Hal
ini disebabkan, ada beberapa hal dari subjek yang diteliti yang tak dapat diperoleh
dengan keterlibatan langsung, seperti gerak tubuh yang sedang diteliti.
Selanjutnya, penulis melakukan observasi partisipasi (participant observation)
yakni, terlibat langsung ke dalam keseharian informannya misalnya, ikut tinggal
bersama masyarakat. Penulis pun akan mencoba ikut merasakan bagaimana
penerapan pendidikan seks yang diberikan di dalam keluarga tersebut kepada anak
perempuan di dalam keluarga tersebut. Penulis juga akan mengamati, bagaimana
hubungan antar anggota keluarga dalam konteks pembicaraan mengenai seks.
Tidak hanya itu, penulis pun akan mengamati apa yang menjadi kendala dalam
penerapan pendidikan seks di dalam sebuah keluarga kepada para remaja putri
yang menjadi anggota keluarga tersebut. Sehingga dengan begitu, penulis akan
mampu menyimpulkan bagaimana sebenarnya pendidikan seks yang diberikan
kepada remaja putri di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar tersebut.
Selain melakukan observasi (pengamatan), penulis juga akan melakukan
wawancara mendalam mengenai masalah yang sedang diteliti oleh penulis.
Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
23
menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat
dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara ini digunakan untuk
mengungkapkan masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan beberapa
kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan
kemantapan masalah yang dijelajahi.
Dalam wawancara ini digunakan metode wawancara mendalam yang
dilakukan secara akrab dan penuh kekeluargaan. Sesuai dengan pendapat
(Spradley, 1979:46; 1980:3) yang mengatakan bahwa, metode wawancara
mendalam (in–depth interview) jenis ini tentunya berpijak pada prinsip bahwa
peneliti melakukan learning from people (belajar pada masyarakat), dan bukannya
study of people (mengkaji masyarakat).
Pada awalnya penulis mendatangi Kantor Lurah untuk meminta izin
melakukan penelitian mengenai masalah yang sedang diteliti penulis. Setelah
mendapat izin, penulis mendatangi ketua STM (Serikat tolong-menolong) yang
bernama Bapak Sidabutar untuk mendapatkan informasi terkait masalah
penelitian. Sang ketua merasa keberatan ketika hendak diwawancarai terkait
masalah penelitian tersebut dikarenakan, beliau merasa isterinya yang lebih
mengetahui dan paham akan masalah tersebut. Penulis pun ditujukan kepada isteri
ketua STM tersebut. Secara kebetulan, Bapak Sinaga memiliki anak perempuan
yang berusia 16 tahun dan 14 tahun. Penulis pun akhirnya mendapat informan
pertamanya, yakni Ibu Siregar yang merupakan isteri dari ketua STM tersebut.
Penulis pun mulai melakukan wawancara dengan Ibu Siregar dan setelah itu
Ketika melakukan wawancara dengan Ibu Siregar (38 tahun), beliau
memberitahu bahwa di kelurahan tersebut ada beberapa remaja putri yang hamil
di luar nikah. Ibu Siregar mencoba menjelaskan kepada penulis bahwa yang
menjadi penyebab hal tersebut terjadi adalah kurangnya perhatian dari si ibu
kepada anak perempuan tersebut. Ibu Siregar yang memiliki pendidikan terakhir
adalah SMA mengaku bahwa, beliau sudah memberikan pendidikan seks yang
baik kepada anak-anaknya. Selanjutnya penulis melakukan wawancara dengan
anak perempuan mereka yang bernama Gerta (16 tahun). Saat mewawancarainya,
Gerta menjelaskan bahwa, pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari
sekolah. Orangtuanya memang memberikan pendidikan seks namun, lebih bersifat
nasehat-nasehat seperti agar lebih menjaga diri dan memilih teman-teman pria
mereka. Selanjutnya penulis juga melanjutkan wawancara dengan putri ke-2
mereka yang bernama Widia (14 tahun). Berbeda halnya dengan kakaknya Gerta,
Widia menjelaskan bahwa pendidikan seks yang ia tahu lebih banyak dari
teman-temannya. Ia beranggapan bahwa ketika berbicara mengenai seks dengan
keluarganya, ada rasa malu dan takut jika nanti akan ditertawai.
Selain mereka, ada beberapa informain lainnya yang penulis wawancarai.
Mereka adalah Tante Lusi (40 tahun), Namboru Mida (45 tahun), Dion Purba (16
tahun), Tika Panggabean (15 tahun), dan Ibu Silaen (58 tahun). Penulis juga
mencoba untuk mewawancarai pria yang dianggap sebagai ayah di dalam sebuah
keluarga, namun tidak berhasil. Hal ini dikarenakan, mereka menganggap jika
ingin berbicara mengenai masalah penelitian ini maka lebih baik kepada isteri
paham terkait pertanyaan yang akan diajukan penulis. Pada penelitian ini, penulis
tidak akan membeda-bedakan mana yang termasuk ke dalam informan kunci dan
mana yang termasuk ke dalam informan pangkal maupun informan biasa. Hal ini
dikarenakan semua informasi yang penulis dapat selama wawancara adalah
penting.
Penulis berusaha untuk menjalin rapport24
1.6.2. Rangkaian Pengalaman di Lapangan
dengan informan.
Pengembangan rapport dilakukan dengan cara hidup beradaptasi dan mengikuti
kegiatan sehari-hari masyarakat dan menjalin hubungan yang baik dengan
penduduk setempat sehingga ketika melakukan wawancara, data yang di dapat
benar-benar atau mendekati fakta sesungguhnya. Hasil-hasil wawancara akan
dicatat dalam catatan lapangan dan untuk memudahkan pemahaman akan
disertakan foto dan rekaman suara yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Penulis tiba di lokasi penelitian pada tanggal 15 April 2013 yang lalu.
Sebagai langkah awal penulis melapor ke Kantor Kelurahan Kristen serta
menjelaskan maksud dari kedatangan penulis ke Kantor Kelurahan ini. Saat itu
Kantor terlihat sepi hanya ada anak-anak PAUD yang sedang diajar oleh guru
mereka di halaman depan. Penulis pun mencoba bertanya kepada guru tersebut.
Dari guru tersebut, penulis mengetahui bahwa Bapak Lurah beserta pegawainya
sedang apel pagi di kantor Camat. Guru tersebut meminta kepada penulis untuk
datang lagi pada siang hari.
24
Sesaat akan beranjak pulang, penulis bertemu dengan salah seorang
pegawai Kelurahan setempat. Penulis menghentikan langkahnya dan mengajak
pegawai tersebut berbicara. Penulis pun memperkenalkan diri dan tidak lupa juga
penulis memberikan surat izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara kepada
beliau yang bernama Bapak Tupa Sinaga. Bapak Tupa Sinaga menjelaskan bahwa
bapak Lurah sedang berada di luar bersama pegawai lainnya. Beliau meminta saya
untuk menunggu di dalam saja. Sembari menunggu, penulis meminta monografi
Kelurahan kepada Bapak Tupa Sinaga. Beliau pun memberikan monografi
Kelurahan dari tahun 2010-2013. Namun sesaat membuka monografi tahun 2013,
ternyata monografi tersebut belum selesai diisi.
Bapak Tupa Sinaga menganjurkan untuk saya melihat monografi tahun
2012 saja. Beliau pun meminta penulis untuk membantu mengisi monografi
tersebut ketika penelitian nanti. Cukup lama penulis menunggu namun, penulis
tak merasa bosan dikarenakan sembari menunggu dan melihat-lihat monografi,
penulis ditemani oleh anak-anak PAUD yang pada saat itu sedang istirahat
sekolah. Selang beberapa waktu, Bapak Lurah pun datang. Bapak Tupa Sinaga
langsung menemui dan menjelaskan maksud kedatangan penulis dan
menyerahkan surat izin penelitian yang penulis berikan tadi. Penulis pun kembali
memperkenalkan diri kepada beliau. Beliau menerima kedatangan penulis dengan
sangat baik pada waktu itu dan pada saat penulis berdiskusi dengan beliau saat itu,
beliau sangat tertarik dengan judul yang penulis ingin teliti di Kelurahan ini.
Bapak Lurah yang bernama Asman Sinaga juga mengatakan kepada
dengan penulis hanya saja berbeda jurusan. Beliau bertanya apakah penulis akan
melakukan penelitian di kantor atau langsung ke lapangan. Penulis pun
menjelaskan bahwa ia akan langsung ke lapangan. Setelah berdiskusi cukup lama,
penulis berpamitan untuk pulang dan meminta izin ingin memfotokopi monografi
yang ia pinjam beserta peta kelurahan. Bapak Lurah pun meminta Bapak Sinaga
untuk meminjamkan monografi dan peta kelurahan kepada penulis. Setelah selesai
memfotokopi data-data tersebut, penulis pun mengembalikan kembali ke kantor
kelurahan dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih.
Selanjutnya, penulis melanjutkan ke rumah ketua STM di kelurahan
tersebut untuk bertemu dengan bapak Sinaga. Disana penulis berbincang-bincang
dengan beliau terkait masalah penelitian tersebut. Namun, bapak tersebut merasa
tidak begitu paham akan hal itu, sehingga beliau menyarankan untuk bertanya
kepada isterinya. Akhirnya penulis pun memutuskan untuk melakukan wawancara
dengan isteri beliau. Penulis meminta izin untuk bertemu dengan isterinya.
Kebetulan pada saat itu, isteri Ketua STM tersebut sedang berada di luar. Penulis
pun menunggu beberapa saat. Tak lama kemudian, isteri Ketua STM itu datang.
Penulis pun segera memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dari
kedatangannya. Tak disangka-sangka, ternyata isteri Ketua STM yang bernama
Ibu Siregar (38 tahun) begitu antusias terkait masalah penelitian yang penulis
angkat menjadi penelitian skripsinya.
Setelah berkenalan, penulis pun memulai wawancaranya. Ibu Siregar
mengakui bahwa pendidikan seks itu sangat penting bagi anak-anak saat ini
bahwa pendidikan seks itu dapat menjadi alat untuk menjaga diri remaja tersebut.
Alat menjaga diri yang dimaksud beliau adalah sebagai pengetahuan-pengetahuan
yang dapat memberikan penjelasan dan batasan-batasan tingkah laku bagi para
remaja khususnya remaja putri. Beliau juga mengatakan bahwa, keluarga
merupakan pemberi pendidikan seks pertama bagi si remaja putri tersebut. Tak
dapat disangkal, sekarang ini menurut beliau banyak orangtua yang melupakan
bahwa penerapan pendidikan seks itu penting.
Para orangtua lebih mementingkan pekerjaan mereka untuk mencari uang
daripada tinggal di rumah untuk menjaga dan memperhatikan perkembangan serta
pertumbuhan anak-anak mereka. Contohnya saja, ibu-ibu di kelurahan ini
semuanya bekerja yakni, berdagang di pasar. Mereka akan pergi pukul 09.00 pagi
dan pulang sore hari pukul 18.00. Hal ini tentu saja membuat komunikasi antara
orangtua dan anak-anak mereka menjadi sangat sedikit. Akibatnya, anak-anak
tersebut akan mencari tahu apa yang mereka tidak ketahui dari luar rumah,
misalnya internet. Ibu Siregar pun menyatakan bahwa hal tersebutlah yang
membuat salah seorang remaja putri hamil di luar nikah di kelurahan ini dapat
terjadi. Kurangnya perhatian dari orangtuanya khususnya dari sang ibu, membuat
pergaulan si anak tak dapat dikontrol dengan baik. Menurut beliau, keluarganya
pun patut disalahkan.
Setelah berdiskusi panjang lebar, merekam dan menulis apa yang
didiskusikan tersebut, penulis meminta izin kepada Ibu Siregar untuk
mewawancarai putri-putri beliau. Setelah mendapat izin, penulis melanjutkan
mengaku bahwa pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari sekolah.
Keluarganya juga memberikan pendidikan seks, namun pendidikan seks yang ia
dapat lebih bersifat nasehat-nasehat untuk menjaga dirinya. Gerta merasa
pendidikan seks itu penting untuk dibicarakan dalam keluarga, karena menurutnya
agar ia dan teman-teman sebayanya dapat lebih mengerti apa sebenarnya seks itu.
Ketika penulis bertanya apa tanggapannya akan kasus remaja putri yang
hamil di luar nikah di kelurahan tersebut, ia merasa kecewa kepada remaja
tersebut. Bagi dirinya itu diakibatkan karena kurangnya perhatian dari orangtua si
anak akan pergaulan remaja tersebut. Gerta juga mengungkapkan bahwa,
pergaulan yang dimiliki si remaja tersebut sudah sangat bebas. Sangat bebas yang
ia maksud disini adalah tidak adanya kontrol dari orangtua akan pergaulan si
anak. Tidak hanya itu, Gerta juga menyebutkan bahwa, beberapa kali ia sering
menangkap basah remaja tersebut sedang berdua-duaan di dekat rumahnya.
Bahkan ia mengungkapkan, ia melihat mereka ciuman. Baginya itu benar-benar
perbuatan yang memalukan. Penulis juga bertanya bagaimana bila apa yang
terjadi pada remaja itu terjadi pada dirinya. Gerta terkejut dan spontan
mengatakan bahwa mungkin ia akan bunuh diri. Karena ia tidak akan mampu
untuk menanggung malu akan perbuatan yang ia lakukan.
Penulis tak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya lebih dalam kepada
informannya tersebut. Banyak hal menarik yang penulis dapatkan selama
berdiskusi dengannya. Setelah beberapa lama, Widia (14 tahun) yang merupakan
adik dari Gerta datang menghampiri penulis dan Gerta yang sedang
Widia. Penulis juga bermaksud untuk mewawancarai Widia. Ada rasa malu-malu
dari mimik wajah Widia ketika penulis mulai bertanya dan mengucapkan kata
“seks”.
Penulis mendapatkan sedikit kesulitan saat akan mewawancarai Widia.
Selama beberapa menit, Widia hanya tertawa-tertawa kecil dan malu-malu akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis tanyakan. Penulis pun sempat
merasa kesal, namun penulis mencoba untuk bersabar demi dapat mewawancarai
Widia. Setelah beberapa saat, akhirnya Widia pun mulai mau diwawancarai
dengan serius. Widia mengaku pendidikan seks yang ia dapat sangat kurang dari
orangtuanya. Hal ini dikarenakan ia tidak tinggal bersama orangtuanya melainkan
bersama opung25
Salah seorang dari bapak tersebut yang bernama Bapak Situmorang
mengatakan bahwa, lebih baik jika penulis ingin mengetahui hal yang nya. Meskipun demikian, saat ia pulang ke rumah orangtuanya,
ia sering mendapat nasehat-nasehat dari ibunya untuk lebih berhati-hati dengan
anak laki-laki.
Tak terasa hari telah menjelang siang hari, penulis berpamitan kepada
keluarga bapak Ketua STM untuk pulang. Di perjalanan akan pulang, penulis
bertemu dengan sekumpulan bapak-bapak yang sedang berkumpul di sebuah
warung. Penulis memutuskan untuk mampir ke tempat itu dan berharap
mendapatkan informasi. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak,
penulis pun menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu. Beberapa
di antara bapak-bapak tersebut tertawa mendengar apa yang penulis sampaikan.
25
berhubungan dengan masalah penelitian itu untuk bertanya kepada isteri mereka
saja. Bapak itu mengatakan bahwa, isteri merekalah yang lebih mengetahui hal
tersebut. Karena, anak perempuan mereka di rumah lebih suka membicarakan
masalah itu kepada ibu mereka. Penulis sudah berusaha untuk bertanya lebih
kepada bapak-bapak itu, namun hasilnya nol. Mereka bersikeras tidak mau
diwawancarai. Penulis sangat merasa kecewa. Namun, penulis tetap semangat
untuk mencari informan bapak-bapak yang mau diwawancarai untuk
mendapatkan informasi terkait masalah penelitian ini. Penulis pun memutuskan
untuk pulang dan melanjutkannya keesokan harinya. Sesampainya dirumah,
penulis mengulang kembali hasil pembicaraan tersebut dan setelah itu penulis
dapat menganalisis data tersebut.
Keesokan harinya, penulis melanjutkan untuk mencari informan yakni
para bapak yang mau diwawancarai. Karena sampai saat ini penulis belum juga
mendapatkan informan seorang ayah. Penulis berharap segera mendapatkannya.
Penulis bertanya kepada seorang ibu yang sedang menunggu angkot, dimana
kira-kira di pagi hari seperti ini, bapak-bapak di kelurahan ini berkumpul untuk
membaca koran dan minum kopi. Ibu itu menunjuk sebuah warung yang ada di
persimpangan jalan. Beliau mengatakan bahwa biasanya bapak-bapak di kampung
ini akan berkumpul di warung itu untuk minum kopi dan membaca Koran
sebelum mereka berangkat kerja.
Penulis bergegas menuju ke warung itu dan berharap mendapatkan
informan. Sesampai disana, penulis tidak segera melakukan wawancara. Penulis
menjual mie balap sebagai sarapan di pagi hari. Penulis pun berpura-pura seperti
warga yang hendak sarapan pagi. Penulis memesan mie balap dan segelas teh
manis serta duduk di bangku bersama dengan bapak-bapak tersebut. Salah
seorang bapak terlihat sedang asyik membaca surat kabar dan sesekali terlihat
mendesis. Penulis pun mendekati bapak tersebut. Penulis mulai menegur bapak
tersebut dengan berpura-pura menanyakan apa yang bapak itu baca.
Bapak itu mengatakan bahwa, semua berita di surat kabar sekarang ini
setiap harinya tentang pemerkosaan. Beliau mengatakan bahwa semakin banyak
saja orang-orang “bejat” sekarang ini. Seorang ayah saja mampu memperkosa
anaknya sendiri apalagi orang lain. Penulis merasa ini adalah waktunya untuk
masuk mewawancarai bapak itu. Saat akan memulai wawancara, bapak tersebut
permisi untuk berangkat kerja. Penulis merasa kecewa lagi. Hampir saja penulis
berhasil mendapatkan waktu yang tepat namun, gagal lagi karena bapak itu harus
berangkat kerja. Penulis pun bertanya apakah bisa berbincang-bincang di lain hari,
bapak itu menjawab “iya”.
Pesanan penulis pun datang. Saat menikmati sarapan, penulis melihat
seorang bapak yang baru saja datang. Bapak tersebut menegur penulis. Ternyata
bapak itu adalah Bapak Sinaga yang merupakan Ketua STM yang baru ditemui
penulis kemarin. Bapak-bapak yang ada di warung itu heran melihat penulis dan
beliau begitu akrab. Salah seorang bapak menanyakan siapa penulis kepada ketua
STM tersebut. Bapak Sinaga pun memperkenalkan penulis. Penulis pun
Respon mereka sama seperti respon Bapak Sinaga saat penulis wawancara
kemarin. Mereka pun juga meminta penulis untuk bertanya kepada isteri mereka.
Kembali rasa kecewa menghinggapi penulis. Penulis berpikir apa yang
harus penulis lakukan selanjutnya. Penulis pun mencari tahu siapa nama bapak
dan dimana rumahnya yang penulis temui tadi. Salah seorang bapak di warung itu
mengatakan bahwa beliau tidak tinggal di kelurahan tersebut. Beliau hanya
terkadang mampir untuk membaca surat kabar saja. Penulis mulai putus asa. Tak
terasa mie yang ada dihadapan penulis sudah dingin dan tak enak lagi dimakan
ditambah lagi hilangnya selera makan penulis akibat rasa kekecewaan tersebut.
Penulis sulit sekali mendapatkan informan seorang ayah untuk diwawancarai.
Para ayah tersebut merasa bahwa masalah terkait seks itu hanya kaum ibu yang
paham dan yang biasa memberikan pendidikan seks kepada putra-putri mereka.
Penulis pun memutuskan untuk pulang menenangkan hati dan pikirannya.
Penulis juga ingin mengatur rencana untuk dapat menemukan cara bagaimana
agar para ayah mau diajak berbicara mengenai masalah penelitian ini. Penulis pun
berpamitan untuk pulang dan membayar sarapan yang penulis pesan tadi.
Sesampai di rumah, ternyata ada tamu. Tamu tersebut adalah Namboru Mida (45
tahun). Kesempatan ini tak disia-siakan oleh penulis. Penulis pun mulai berdiskusi
dengan namboru tersebut.
Menurut Namboru Mida, tabu baginya untuk membicarakan masalah seks
antara orangtua dan anak. Bagi beliau, sang anak akan mengetahui apa seks itu
kelak ketika ia telah berumahtangga. Penulis merasa ini informasi penting. Penulis
mengaku bahwa, beliau tidak pernah berbicara mengenai masalah tersebut kepada
anak-anaknya. Anak-anaknya terkhusus putrinya yang beranjak remaja pun tidak
pernah berbicara mengenai masalah tersebut. Menurut Namboru Mida,
anak-anaknya akan mengetahui lebih baik dari luar, apalagi saat ini kemajuan teknologi
sudah semakin canggih. Ketika penulis bertanya apakah pendidikan seks itu
penting, beliau mengatakan bahwa, pendidikan seks itu penting. Namun, akan
lebih baik jika yang mengajarkannya adalah sekolah. Karena sekolah lebih
mengetahui bagaimana mengajarkan pendidikan seks itu sesuai usia anak tersebut.
Dari beberapa informan yang penulis wawancarai menjelaskan bagaimana
pendidikan seks yang ada di dalam keluarga. Para ibu mengaku bahwa mereka
telah memberikan pendidikan seks kepada putri mereka, namun beberapa remaja
putri mengaku bahwa pendidikan seks yang mereka dapat lebih banyak dari
sekolah yakni dalam pelajaran biologi, sedangkan ibu mereka hanya sekedar
memberikan nasehat dan larangan-larangan yang harus mereka jauhi dalam
pergaulan mereka. Para ayah pun mengaku bahwa, yang bertanggungjawab
memberikan pendidikan seks itu adalah para ibu di dalam keluarga
masing-masing. Hal ini dikarenakan para ibu lebih memiliki hubungan yang dekat dengan