• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Pendidikan Seks” (Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seks kepada Remaja Putri dalam Keluarga di Kelurahan Kristen, Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Pendidikan Seks” (Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seks kepada Remaja Putri dalam Keluarga di Kelurahan Kristen, Pematangsiantar)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana pendidikan seks itu diberikan

kepada remaja putri di dalam sebuah keluarga. Adanya kebutuhan orang untuk

dapat memahami seks dengan baik dan benar merupakan petunjuk bahwa

pendidikan seks itu diperlukan. Seperti kita ketahui, masyarakat selalu

berkembang dan mengalami perubahan, termasuk perubahan nilai dan moralitas

serta pandangan terhadap seks. Seks memang merupakan bahan pembicaraan

yang peka. Di satu pihak ia sangat dibutuhkan, tetapi di pihak lain orang berusaha

menutup-nutupinya. Seks bukan hal yang tabu, apalagi jika dibicarakan di dalam

keluarga, antara orangtua dan anak-anaknya.

Seks adalah topik yang sudah lama dianggap pantang untuk

diperbincangkan oleh orang dewasa, Banyak orang kurang mengetahui tentang

seksualitas atau enggan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan

seksualitas. Namun, seringkali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian

bahwa istilah seks lebih mengarah pada bagaimana masalah hubungan seksual

antara dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004). Seks merupakan

masalah yang paling sulit di dunia untuk didiskusikan, dan sebagian besar orang

mencoba menghindari atau sebaliknya memasukkan lelucon yang berbau seks ke

▸ Baca selengkapnya: perdamaian dalam keluarga kristen

(2)

Dalam sebagian besar kasus, para orangtua cenderung menghindari

masalah-masalah seks secara keseluruhan dalam mengajari anak-anak mereka tentang apa

pun yang harus diketahui oleh anak-anak mereka. Orangtua harus mengetahui

bahwa mereka sangat berperan dalam membantu anak remaja melewati masa

remajanya dengan baik, juga untuk menyadarkan kepada orang tua bahwa

berbagai perubahan/gejolak yang dialami oleh anak remaja adalah sesuatu yang

alamiah dan tidak terhindarkan. Anak remaja yang kebingungan menghadapi hal

itu dan justru mereka sangat mengharapkan bantuan orangtua, namun mereka sulit

mengungkapkannya. Oleh karena itu orangtualah yang secara arif dan bijaksana

mendekatkan diri kepada anak remaja untuk menjadi sahabat bagi mereka.

(Mu’tadin,2002)

Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih

amat kurang sampai saat ini. Sebagian dari masyarakat masih amat mempercayai

pada mitos-mitos seksual dan justru mitos-mitos inilah yang merupakan salah satu

pemahaman yang salah tentang seksual (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja

mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan

mengenai seksualitas didepan umum dan juga adanya pemahaman yang salah

mengenai pendidikan seks, sehingga melarang membicarakan seks secara vulgar.

Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak

lengkap, di mana para remaja hanya mengetahui cara melakukan hubungan seks

tanpa mengetahui dampak yang akan muncul akibat aktivitas seksual tersebut.

Masa remaja merupakan suatu proses alami yang harus dilewati setiap

(3)

globalisasi pada saat ini, membuat keadaan semakin sulit bagi remaja putri untuk

tetap mempertahankan kepribadiannya. Menjadi seorang remaja putri biasanya

ditandai dengan datangnya menstruasi1 pertama dalam kehidupan mereka, dan ini

seringkali dianggap sebagai masa yang paling indah dalam hidup seseorang.

Namun lebih dari itu, masa ini juga membawa berbagai perubahan bagi remaja

putri tersebut, baik secara fisik maupun mental. Bagaimana remaja putri

menghadapi segala perubahan yang terjadi sekarang sangat menentukan

perkembangan mereka selanjutnya dalam proses menjadi dewasa. Pada saat yang

bersamaan, sesuai dengan tahapan usia mereka yang sedang mengalami pubertas2

Banyaknya persepsi yang mereka dapatkan mulai dari nilai-nilai agama

hingga pengaruh film dan cerita yang berbau pornografi telah membuat seks

menjadi “sesuatu” yang bahkan lebih membingungkan.

,

remaja putri juga memiliki rasa ingin tahu yang besar. Seks untuk remaja putri

adalah sebuah hal yang penuh misteri dan mengundang rasa keingintahuan.Seks

dilihat sebagai sesuatu hal yang membingungkan dan menggoda.

3

1

Menstruasi disebut juga haid atau datang bulan. Ini adalah masa tiga sampai lima hari dalam sebulan yang menyebabkan pendarakan akibat dari sel telur yang tidak dibuahi di dalam ovarium.

2

Pubertas adalah suatu periode dalam kehidupan anak ketika anak laki-laki atau perempuan mulai matang secara seksual

3

Jurnal Perempuan Edisi 16, hal 26-27

Adanya konsep sosial

budaya yang menganggap bahwa seks adalah suatu hal yang tabu untuk

dibicarakan membuat jalur informasi yang sebenarnya sangat mereka butuhkan

menjadi tertutup. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan informasi ini,

mereka pun mencoba mendapatkannya melalui teman-teman mereka dan media

(4)

pada akhirnya malah menjerumuskan mereka. Sehingga tidak jarang sekarang kita

temui remaja putri dengan kehamilan yang tidak diinginkan atau mendapatkan

penyakit-penyakit seksual yang menular.

Menurut dr. Eka Viora, Sp.K.J selama ini, pendidikan seks dianggap tabu

dikalangan masyarakat. Mereka berpendapat pendidikan seks belum pantas

diterima oleh anak usia dini, padahal pendidikan seks sangat berpengaruh untuk

kehidupan anak ketika remaja. Karena nantinya mereka bisa berhati-hati dengan

perlakuan berbahaya yang bisa diterimanya, seperti pelecehan seksual. Oleh

karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Orangtua

dituntut untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Hal ini

disebabkan, keluarga merupakan awal dari pembentukan diri si anak. Untuk itu,

diperlukan perhatian yang lebih dari orangtua kepada anak-anaknya.

Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar

65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya

dari film porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang

seks dari orangtuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena

penyakit seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif

untuk mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan

(5)

dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah

aborsi, 97% pernah menonton film porno.4

Ada dua faktor mengapa

Faktor pertama adalah ketika anak-anak perempuan tumbuh

menjadi remaja, mereka belum paham dengan seks, sebab orangtua masih

menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga

dari ketidakpahaman tersebut para remaja putri merasa tidak bertanggung jawab

dengan seks atau kesehatan anatomi reproduksinya. Faktor kedua, dari

ketidakpahaman remaja putri tentang seks dan kesehatan anatomi reproduksi

mereka, di dalam lingkungan sosial masyarakat hal ini ditawarkan hanya sebatas

komoditi seper

antara lain, VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah

mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakpahaman remaja putri

tentang pendidikan seks ini menyebabkan banyak hal-hal negatif terjadi, seperti

tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan,

5

Pendidikan seks sebagaimana pendidikan yang lain pada umumnya

(pendidikan agama atau pendidikan moral pancasila) mengandung pengalihan

nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik. Dimana informasi diberikan secara

konstektual yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam

(6)

masyarakat, apa yang terlarang, apa yang lazim dan bagaimana cara

melakukannya tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk

menghubungi rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran

informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang

benar, jujur, dan disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Terlepas dari

pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat marak diberitakan di

berbagai media. Diera globalisasi sekarang ini pendidikan seks dirasa cukup

penting mengingat anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai

media seperti majalah, buku, televisi, video compact disc, dan internet. Dengan

demikian para remaja akan mengetahui hubungan seksual yang sebenarnya

sampai mereka menikah dan memiliki anak (Dianawati, 2003).

Dalam sejarah dunia, pendidikan seks sama pentingnya dengan pendidikan

lain dimana anak-anak perempuan sebaiknya mendapatkan informasi tentang seks

pada usia-usia awal. Jadi pendidikan seks bagi remaja putri oleh orang tua mereka

menjadi sesuatu yang harus dipertahankan. Jika orangtua melepaskan tugas ini,

remaja putri akan berisiko mudah diserang oleh orang-orang yang

mengeksploitasi seks. Dalam kenyataannya, sekarang ini nilai-nilai moral seks

sudah semakin kabur, dan remaja putri pada akhirnya akan dikonfrontasikan

dengan godaan seksual. Seiring berjalannya waktu, pendidikan seks semakin

marak diperbincangkan.

Misalnya, dalam sebuah pertemuan bulanan keluarga besar Forum

Wartawan Kesehatan (Forwakes) yang mengangkat tema “Pendidikan Seks

(7)

ini, diberitahukan bahwa, pendidikan seks itu penting dilakukan oleh para

orangtua mengingat semakin maraknya masalah-masalah yang berhubungan

dengan seks yang terjadi pada anak dan remaja saat ini.6 Contoh kasusnya adalah

seorang remaja putri yang merasa khawatir luar biasa ketika menstruasinya tidak

datang, karena beberapa minggu sebelumnya, ia melakukan hubungan badan

dengan pacarnya. Oleh karena kekhawatirannya bahwa ia akan hamil, ia

terjerumus dengan mitos yang mengatakan bahwa loncat-loncat dan memakan

buah nanas yang banyak dapat menyebabkan keguguran. Kasus lainnya, ada

seorang remaja putri mengeluh sakit dirahimnya. Ketika diperiksa oleh dokter,

ternyata terdapat alat pembuka tutup botol dirahimnya. Remaja itu mengaku

memasukkannya untuk melakukan masturbasi.7

Begitupula dengan remaja putri lain yang juga buta soal kehamilan. Ia

mencoba menggugurkan kandungannya dengan memasukkan gabus ke dalam

rahimnya. Tentu saja hal ini malah mengakibatkan infeksi yang sangat parah.8

Kasus lainnya juga terlihat dari semakin maraknya tingkat kriminal terkait

seksualitas terhadap anak dan remaja putri sekarang ini, dimana tercatat bahwa

Indonesia merupakan urutan ke-62 di dunia yang memiliki tingkat perkosaan yang

tinggi9

6

Dikutip dari Harian Analisa, Medan, 26 November 2012

. Hal ini juga terlihat dari data yang dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak

Indonesia (KPAI), yakni 30% kejahatan yang terjadi pada tahun 2012 adalah

7

Masturbasi, onani, atau rancap adalah perangsangan

kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan sesuatu objek atau alat, atau kombinasinya.

8

Jurnal Perempuan Edisi 41, hal 106-107

(8)

kasus perkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan serta Lembaga Indonesia Police Watch (IPW) juga mencatat, yakni selama bulan Januari 2013

sudah terjadi 27 kasus perkosaan dan 2 kasus pencabulan. Korbannya mencapai

29 orang gadis dan perempuan dewasa. Namun yang memprihatinkan adalah

sebanyak 23 dari 29 korban perkosaan itu berusia di bawah 17 tahun.

Minimnya perhatian masyarakat dan lemahnya penegakan hukum oleh

aparat makin membuat para remaja berani untuk mencoba dan mencoba lagi. Hal

ini terlihat dari pernyataan calon Hakim Agung, Daming SH, saat fit dan proper

test10 di DPR, yang mengatakan bahwa kasus perkosaan itu tidak usah dihukum

berat, sebab pelaku dan korbannya sama-sama merasa enak. Dan ini juga terbukti

dari 6 pasal yang ada di KUHP, hanya ada 2 pasal yang mengandung ancaman

pidana terberat, namun demikian tetap saja dalam praktik peradilan, hakim yang

memeriksa perkara sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal kepada

terdakwa pemerkosaan dengan berbagai alasan.11

Anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tinggal bagaimana

cara orangtua menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mereka. Salah satu hal

terpenting adalah menjawab pertanyaan sang anak dengan jujur dan dengan

bahasa yang lebih halus, sehingga anak bisa memahami dengan baik. Namun juga Orangtua merupakan aktor

utama dalam hal pendidikan anak usia dini. Orangtua sebagai wahana belajar

utama bagi anak, karena orangtualah yang paling tepat untuk memberikan

pendidikan seks pada usia dini.

10

fit dan proper test adalah tes kepantasan, kepatutan dan kelayakan yang dipadatkan dalam kalimat tes kemampuan dan kepatutan.

11

(9)

tidak berarti harus dijelaskan secara detail, karena hal itu justru akan membuat

anak merasa bingung. dr. Eka Viora mencontohkan pertanyaan yang sering

dilontarkan anak kepada orangtuanya, misalnya “mama, kita lahir dari mana?”,

“Ayah, mimpi basah itu apa?” atau jika anak bertanya tentang nama-nama organ

tubuh, orangtua hanya akan menjawab dengan jawaban yang tidak sesuai

kenyataan. Seharusnya orangtua tidak perlu malu untuk menjawab pertanyaan

anaknya, berikan jawaban yang tepat kepada anak, bukan menjawabnya dengan

istilah atau kata-kata lain.

Misalkan seperti vagina12 atau penis13, jangan diistilahkan dengan kata

lain seperti “apem” atau “burung”. Sementara itu dr. Warih A Puspitosari, M.Sc,

Sp.K.J. menjelaskan bahwa pendidikan seks usia dini bukan berarti mengajarkan

bagaimana cara melakukan seks. Namun pendidikan seks pada usia dini

menjelaskan tentang organ-organ yang dimiliki manusia dan apa fungsinya.14

Pendidikan Seks (Sex education) sangat perlu sekali untuk mengantisipasi, mengetahui atau mencegah kegiatan seks bebas dan mampu menghindari

dampak-dampak negatif lainnya. Mungkin kita baru menyadari betapa

pergaulan bebas muncul di kalangan remaja

dewasa ini.

Kalau kita berbicara tentang pergaulan bebas, hal ini sebenarnya sudah

muncul dari dulu, hanya saja sekarang ini terlihat semakin parah.15

12

Vagina merupakan sebutan secara biologi kepada alat kelamin wanita

13

Penis merupakan sebutan secara biologi kepada alat kelamin pria

14

http://okezonekampus – orangtua-harus-berikan-pendidikan-seks-sejak-dini.com (27 Desember 2012, pukul 08.05)

Hal ini pun

(10)

terjadi di daerah lokasi penelitian yang sedang saya lakukan. Dari hasil observasi

sementara yang saya lakukan terdapat satu keluarga dimana salah seorang anak

perempuannya mengalami pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil diluar

nikah. Sulit bagi saya untuk observasi langsung ke dalam keluarga dikarenakan

ketertutupan keluarga tersebut mengenai masalah itu. Namun, menurut warga

sekitar, hal tersebut terjadi akibat kurangnya perhatian yang diberikan orangtua

kepada anak yang setiap hari selalu sibuk bekerja.

Saya lebih memfokuskan penelitian saya kepada pendidikan seks yang

diberikan kepada remaja putri di dalam keluarga. Mengapa demikian ? Saya ingin

melihat bagaimana peran keluarga dalam memberikan pendidikan seks tersebut

kepada anak perempuan, yang mana telah kita ketahui bahwa di antara orangtua

dan anak perempuan terkadang memiliki sebuah rasa keseganan yang cenderung

memberikan jarak antara keduanya dalam keterbukaan di lingkup masalah seks.16

Penelitian tentang seks bukan lagi hal yang baru dalam dunia Antropologi.

Hal ini diperlihatkan dari penelitian-penelitian mengenai seks yang sebelumnya

telah dilakukan oleh para ahli Antropologi. Misalnya saja penelitian yang

dilakukan oleh Margareth Mead. Ia meneliti seberapa jauh para remaja dalam Hal ini pun membuat para pemerkosa tidak jera dalam melakukan aksinya. Oleh

karena itu, saya pun tertarik untuk meneliti tentang, “Pendidikan Seks kepada

Remaja Putri dalam Keluarga di Kelurahan Kristen, Pematangsiantar”.

1.2. Tinjauan Pustaka

16

(11)

kebudayaan Samoa, terutama wanita, mengalami masalah ketegangan akil balig.

Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Ero-Amerika, ada kecenderungan para

remajanya untuk menentang kekuasaan dan otoritas orangtuanya walaupun dalam

keadaan ragu-ragu dan ketidakmantapan akil balig terhadap tujuan hidupnya

sendiri, namun selalu ingin mencari kebebasan dan otoritas pada umumnya.

Pada masa itu kecenderungan semacam itu dianggap universal, dan

Margareth Mead ingin melihat apakah kecenderungan semacam itu ada juga pada

masyarakat di luar kebudayaan Ero-Amerika (Mead dalam Danandjaja, 2005).

Dari hasil penelitiannya selama sembilan bulan di tiga desa di

Samoa, Mead berkesimpulan bahwa para gadis Samoa tidak mcngalami gejala

gejolak akil balig tersebut. Sebabnya, keluarga orang Samoa bukan bersifat

keluarga inti, yang hanya terdiri dan ayah, ibu, kakak serta adik, melainkan

bersifat keluarga luas. Akibatnya seorang anak tidak selalu harus berhubungan

terus-menerus dengan kedua orangtuanya saja, tetapi juga mendapat kesempatan

untuk berhubungan secara bebas dan emosional dengan anggota kerabatnya yang

lain. Selain itu, pergaulan secara seksual antara para remaja dan lain jenis

kelamin, juga lebih bebas jika dibandingkan dengan para remaja Ero-Amerika

pada tahun dua puluhan. Karena tidak adanya pengekangan mengenai seks,

gejolak akil balig tidak ada pada remaja Samoa. Mungkin keadaan yang sama

juga berlaku pada masyarakat yang mempunyai sistem dan organisasi kekerabatan

serta norma pergaulan seks yang sama dengan Samoa (Mead dalam Danandjaja,

(12)

Menurut kamus, kata “pendidikan” berarti “proses pengubahan sikap dan

tata laku kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan latihan. Sedangkan kata seks mempunyai dua pengertian. Pertama,

berarti jenis kelamin dan yang kedua adalah hal ihwal yang berhubungan dengan

alat kelamin, misalnya persetubuhan atau sanggama. Padahal yang disebut

pendidikan seks sebenarnya mempunyai pengertian yang jauh lebih luas, yaitu

upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan

psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia (Yusuf

Madan, 2004). Pendidikan seks (Mayo, 1986) merupakan pelajaran untuk

menguatkan kehidupan keluarga, untuk menumbuhkan pemahaman diri dan

hormat terhadap diri, untuk mengembangkan kemampuan hubungan manusiawi

yang sehat, untuk membangun tanggung jawab seksual dan sosial, untuk

mempertinggi masa perkenalan yang bertanggung jawab, perkawinan yang

bertanggung jawab, dan orangtua yang bertanggung jawab.

Pendidikan seks tidak hanya mengenai perkembangbiakan manusia, tetapi

juga mencakup keseluruhan sikap terbuka pria dan perempuan dalam hubungan

mereka satu sama lain dan mengembangkan diri mereka agar bertanggung jawab.

Defenisi lain dari pendidikan seks adalah pendidikan tentang tingkah laku yang

baik sehubungan dengan masalah-masalah seks. Pendidikan seks dimaksudkan

sebagai penerangan tentang kehidupan yang wajar atau sehat selama masa

kanak-kanak sampai dewasa. dr. Warih A Puspitosari, M.Sc, Sp.K.J. menjelaskan bahwa

pendidikan seks usia dini bukan berarti mengajarkan bagaimana cara melakukan

(13)

yang dimiliki manusia dan apa fungsinya.17

17

http://okezonekampus – orangtua-harus-berikan-pendidikan-seks-sejak-dini.com (27 Desember 2012, pukul 08.05)

Tujuan utama pendidikan seks yang

disampaikan Pohan (1990), yakni memberikan pondasi yang kuat supaya sebagai

makhluk seksual ia dapat berfungsi secara efektif, sebagai pria atau perempuan

selama hidupnya.

Dianawati (2003) mengatakan pentingnya memberikan pendidikan seks

bagi remaja, sudah seharusnya dipahami, karena pada dasarnya usia remaja

merupakan masa transisi, masa terjadinya perubahan, baik fisik, emosional,

maupun seksual. Hormon seks dalam tubuhnya mulai berfungsi dan siap

melakukan fungsinya. Perubahan hormon itu ditandai dengan kematangan seks,

sehingga dorongan seks yang timbul semakin meluap. Dorongan tersebut akan

semakin liar jika tidak diberi bimbingan yang benar tentang perubahan ini. Pada

usia remaja, seorang anak belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya.

Hal-hal yang mereka lakukan hanya merupakan kesenangan sesaat.

Ketidakjelasan pendidikan seks dari orangtuanya akan menimbulkan berbagai

masalah yang mengacu pada gangguan seksual ketika memasuki kehidupan

seksual yang sebenarnya dengan pasangannya. Oleh sebab itu, bimbingan dari

orangtua sangat dibutuhkan. Pendidikan seks di dalam keluarga juga berhubungan

dengan pola pengasuhan anak yang dilakukan di dalam keluarga. Pengasuhan

anak merupakan bagian yang sangat penting dari proses sosialisasi yang dapat

(14)

Pengaruh kebudayaan pada kepribadian anak sangat besar dan ciri-ciri

kepribadian anak yang berbeda kebudayaan juga berbeda. Hal ini disebabkan oleh

sistem nilai kebudayaan masing-masing yang berbeda sehingga cara mengasuh

dan mendidiknya pun berbeda (Lintondalam Danandjaja, 2005). Demikian juga

dengan pendidikan seks yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anak mereka

di dalam sebuah keluarga. Ada orangtua yang berpendirian bahwa tugas mereka

adalah mendidik anak sedemikian rupa sehingga anak dapat bertingkah laku sopan

dan suci, dan hal ini mnyebabkan mereka tidak mau membicarakan

masalah-masalah yang berhubungan dengan seks yang mereka anggap tabu untuk

diperbincangkan. Hal ini membuat anak-anak berusaha untuk mencari tahu sendiri

dari luar yang mana belum tentu kebenarannya.

Dalam hal ini, dr. Boyke Dian Nugroho, mengatakan bahwa mulai

sekarang orangtua harus mulai menghindari untuk mentabukan masalah ini karena

hal ini merupakan suatu pengetahuan yang dapat dipelajari sejak beberapa ratus

tahun yang lalu, para ilmuwan pun juga telah mencoba meneliti tentang seks ini,

dan sampai sekarang pun mereka masih menemukan hal-hal yang baru (Nugroho,

2000). Psikolog Sani B. Hermawan, Psi dari Lembaga Konsultasi Psikologi Daya

Insani mengatakan ada 7 modal awal sebelum memberikan pendidikan seks pada anak, yakni:

1. Luangkan waktu untuk berdialog.

2. Miliki sikap terbuka, informatif, dan yakinlah bahwa apa yang kita berikan

(15)

3. Siapkan materi dan penyampaian yang sesuai, serta gunakan istilah ilmiah

untuk menghindari kesalahpahaman penyebutan.

4. Gunakan media atau alat bantu seperti buku atau gambar anatomi.

5. Membekali diri dengan wawasan yang cukup.

6. Menyakinkan diri bahwa pendidikan seks penting dan bermanfaat.

7. Mendiskusikan kepada ahli jika ragu atau bingung.

Dengan begitu, orangtua sudah membekali seluruh anggota keluarga untuk

terhindar dari pelecehan seksual dan pemerkosaan.18

Ada dua faktor yang menyebabkan remaja perempuan menjadi sangat

rentan terhadap badai ini. Faktor yang pertama adalah masalah pertumbuhan

Masa remaja atau adolescence (Mayo, 1986) adalah masa yang penting

dalam hidup remaja, masa yang indah, masa di mana manusia mampu mencatat

dan mengumpulkan kebenaran-kebenaran fundamental tertentu untuk belajar

mengenal dan memiliki nilai-nilai fundamental dan lain-lain. Dalam masa ini

perlu diletakkan dasar yang kuat untuk pembentukan watak. Dalam masa remaja

ini tidak cukup hanya diberikan pengetahuan tentang fakta-fakta biologis, tetapi

pembentukan watak dan pengetahuan seksual juga harus diberikan secara

bersama-sama, sehingga mereka akan memperoleh kehidupan seksual yang baik

dan sehat. Usia remaja yang dimaksud disini adalah berkisar 12-18 tahun (remaja

perempuan) secara psikologi. Pada awal masa remaja, anak perempuan dapat

diibaratkan seperti pohon yang baru tumbuh diterpa badai.

18

(16)

mentalitas mereka. Memasuki masa remaja, segalanya menjadi berubah. Mulai

dari perubahan bentuk tubuh, hormon, kulit, dan juga rambut. Cara berpikir

mereka pun mulai berubah. Sementara faktor kedua adalah pada masa ini mereka

mulai memasuki ruang lingkup era-globalisasi dan menjadi sasaran segala macam

paham yang akhirnya dapat merugikan mereka. Sebut saja misalnya

paham-paham seperti :seksisme19 dan lookism20. Semua paham-paham uang

mengevaluasi atau menilai seseorang berdasar penampilan mereka, baik itu fisik

maupun tingkah laku atau sikap diri.21

Persoalan seksualitas terbukti memang bukan hanya masalah tubuh

perempuan dan laki-laki saja, namun juga berkaitan dengan relasi kekuasaan.

Frederick Engels dalam bukunya berjudul The Origin of The Family, Private

Property and State, mencoba merumuskan pensubordinasian perempuan dalam

perannya dimulai dengan perkembangan kepemilikan pribadi, saat ketika terjadi

kekalahan sejarah perempuan di dunia. Sejak lahir ia telah disosialisasikan

sebagai milik laki-laki, sebelum menikah ia bergantung dan menjadi milik sang

ayah, sedangkan ketika menikah ia menjadi milik suami. Kepemilikan ini

berkaitan erat dengan dominasi ekonomi dan dominasi politik oleh laki-laki

termasuk kontrol mereka atas seksualitas perempuan. Kontrol ini dinilai penting

19

Seksisme adalah prasangka berdasarkan jenis kelamin, sikap negatif bisa dari laki-laki terhadap perempuan, atau dari perempuan terhadap laki-laki., contohnya adalah ketidaksukaan laki-laki terhadap peran wanita, dll.Intinya seksisme adalah prasangka dengan berdasarkan jenis kelamin, dan bisa berpotensi menimbulkan konflik.

20

Lookism adalah penilaian terhadap orang lain berdasarkan fisik yang dimiliki melalui penglihatan

21

(17)

karena reproduksi dan seksualitas sudah menjadi bagian dari basis material

masyarakat.22

1. Bagaimana pengertian seks yang dipahami oleh remaja putri dan

keluarganya di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar ?

Ibu dan anak perempuan sering mempunyai waktu yang lebih banyak

daripada ayah dan anak laki-lakinya dalam berkomunikasi tentang seks. Anak

perempuan dan ibunya cenderung lebih mudah saling berbicara daripada anak

laki-laki dan ayahnya karena pada awal menstruasi memerlukan diskusi dan

penjelasan-penjelasan terkait menstruasi tersebut. Agak jarang ada anak

perempuan yang akan mendatangi ayahnya untuk konseling masalah ini. Rasa

sakit yang pertama kali biasanya akan menyebabkan dia mencari bantuan dari

orangtuanya. (Djiwandono, 2008)

1.3. Perumusan Masalah

Penulis memfokuskan penelitian ini untuk mendeskripsikan pendidikan

seks kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan Kristen, kota

Pematangsiantar. Masalah penelitian akan tertuang dalam pertanyaan penelitian :

2. Darimana orangtua dan remaja putri mendapatkan informasi tentang

pendidikan seks di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar?

3. Apa saja kendala (tantangan) yang dihadapi dalam penerapan pendidikan

seks kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan Kristen, kota

Pematangsiantar ?

22

(18)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman seks

yang dimiliki remaja putri dan keluarganya, serta kaitannya dengan penerapan

pendidikan seks yang diberikan kepada remaja putri dalam keluarga di Kelurahan

Kristen, kota Pematangsiantar. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa

saja yang menjadi kendala (tantangan) yang dihadapi dalam pemberian

pendidikan seks tersebut.

Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk menambah dan

memperkaya literatur mengenai pendidikan seks di dalam keluarga. Sedangkan

manfaat secara praktis yaitu agar berguna bagi masyarakat secara umum dan

akademisi secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang pendidikan

seks dalam keluarga. Pendidikan seks ini juga diharapkan dapat memberikan

suatu manfaat yang besar bagi para remaja putri khususnya dalam menghadapi era

globalisasi saat ini serta dengan adanya pendidikan seks ini, dapat mengurangi

tingkat kriminal terkait masalah seks.

1.5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kristen, Kota Pematangsiantar.

Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan penulis berasal dari daerah

tersebut yang ingin mencoba mencari tahu sejauh mana pendidikan seks itu

diterapkan di dalam keluarga khususnya kepada remaja putri. Selain itu, di daerah

tersebut mayoritas memeluk agama Kristen sehingga penulis ingin mengetahui

(19)

Kristen. Di daerah tersebut juga terdapat beberapa kasus terkait masalah seks,

misalnya kasus remaja putri hamil di luar nikah yang berakhir dikeluarkan dari

gereja mereka masing-masing.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis

data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini

digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai pendidikan

seks kepada remaja putri dalam keluarga. Dengan demikian, eksplorasi data

secara mendalam tentang pendidikan seks bisa terjaring dengan baik. Prosedur

penelitian kualitatif lebih bersifar sirkuler, artinya dalam hal-hal tertentu, langkah

atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh

data yang lengkap untuk membangun teori dasar. Dalam konteks ini, peneliti

dimungkinkan untuk beberapa kali turun ke lapangan. (Berutu, dkk. 2001)

1.6.1. Teknik pengumpulan data

 Observasi

Pertama sekali ketika berada dilapangan, yang penulis lakukan dalam

penelitian ini adalah melakukan observasi (pengamatan) kepada remaja putri di

dalam keluarganya menyangkut masalah pendidikan seks yang diberikan. Dalam

penelitian ini, observasi yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

(20)

observasi23

 Wawancara

. Dalam hal ini, penulis mengamati saja, yakni dengan mengamati dari

jauh dahulu suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan

remaja putri dalam penerapan pendidikan seks oleh anggota keluarga lainnya. Hal

ini disebabkan, ada beberapa hal dari subjek yang diteliti yang tak dapat diperoleh

dengan keterlibatan langsung, seperti gerak tubuh yang sedang diteliti.

Selanjutnya, penulis melakukan observasi partisipasi (participant observation)

yakni, terlibat langsung ke dalam keseharian informannya misalnya, ikut tinggal

bersama masyarakat. Penulis pun akan mencoba ikut merasakan bagaimana

penerapan pendidikan seks yang diberikan di dalam keluarga tersebut kepada anak

perempuan di dalam keluarga tersebut. Penulis juga akan mengamati, bagaimana

hubungan antar anggota keluarga dalam konteks pembicaraan mengenai seks.

Tidak hanya itu, penulis pun akan mengamati apa yang menjadi kendala dalam

penerapan pendidikan seks di dalam sebuah keluarga kepada para remaja putri

yang menjadi anggota keluarga tersebut. Sehingga dengan begitu, penulis akan

mampu menyimpulkan bagaimana sebenarnya pendidikan seks yang diberikan

kepada remaja putri di Kelurahan Kristen, kota Pematangsiantar tersebut.

Selain melakukan observasi (pengamatan), penulis juga akan melakukan

wawancara mendalam mengenai masalah yang sedang diteliti oleh penulis.

Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

23

(21)

menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat

dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara ini digunakan untuk

mengungkapkan masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan beberapa

kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan

kemantapan masalah yang dijelajahi.

Dalam wawancara ini digunakan metode wawancara mendalam yang

dilakukan secara akrab dan penuh kekeluargaan. Sesuai dengan pendapat

(Spradley, 1979:46; 1980:3) yang mengatakan bahwa, metode wawancara

mendalam (in–depth interview) jenis ini tentunya berpijak pada prinsip bahwa

peneliti melakukan learning from people (belajar pada masyarakat), dan bukannya

study of people (mengkaji masyarakat).

Pada awalnya penulis mendatangi Kantor Lurah untuk meminta izin

melakukan penelitian mengenai masalah yang sedang diteliti penulis. Setelah

mendapat izin, penulis mendatangi ketua STM (Serikat tolong-menolong) yang

bernama Bapak Sidabutar untuk mendapatkan informasi terkait masalah

penelitian. Sang ketua merasa keberatan ketika hendak diwawancarai terkait

masalah penelitian tersebut dikarenakan, beliau merasa isterinya yang lebih

mengetahui dan paham akan masalah tersebut. Penulis pun ditujukan kepada isteri

ketua STM tersebut. Secara kebetulan, Bapak Sinaga memiliki anak perempuan

yang berusia 16 tahun dan 14 tahun. Penulis pun akhirnya mendapat informan

pertamanya, yakni Ibu Siregar yang merupakan isteri dari ketua STM tersebut.

Penulis pun mulai melakukan wawancara dengan Ibu Siregar dan setelah itu

(22)

Ketika melakukan wawancara dengan Ibu Siregar (38 tahun), beliau

memberitahu bahwa di kelurahan tersebut ada beberapa remaja putri yang hamil

di luar nikah. Ibu Siregar mencoba menjelaskan kepada penulis bahwa yang

menjadi penyebab hal tersebut terjadi adalah kurangnya perhatian dari si ibu

kepada anak perempuan tersebut. Ibu Siregar yang memiliki pendidikan terakhir

adalah SMA mengaku bahwa, beliau sudah memberikan pendidikan seks yang

baik kepada anak-anaknya. Selanjutnya penulis melakukan wawancara dengan

anak perempuan mereka yang bernama Gerta (16 tahun). Saat mewawancarainya,

Gerta menjelaskan bahwa, pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari

sekolah. Orangtuanya memang memberikan pendidikan seks namun, lebih bersifat

nasehat-nasehat seperti agar lebih menjaga diri dan memilih teman-teman pria

mereka. Selanjutnya penulis juga melanjutkan wawancara dengan putri ke-2

mereka yang bernama Widia (14 tahun). Berbeda halnya dengan kakaknya Gerta,

Widia menjelaskan bahwa pendidikan seks yang ia tahu lebih banyak dari

teman-temannya. Ia beranggapan bahwa ketika berbicara mengenai seks dengan

keluarganya, ada rasa malu dan takut jika nanti akan ditertawai.

Selain mereka, ada beberapa informain lainnya yang penulis wawancarai.

Mereka adalah Tante Lusi (40 tahun), Namboru Mida (45 tahun), Dion Purba (16

tahun), Tika Panggabean (15 tahun), dan Ibu Silaen (58 tahun). Penulis juga

mencoba untuk mewawancarai pria yang dianggap sebagai ayah di dalam sebuah

keluarga, namun tidak berhasil. Hal ini dikarenakan, mereka menganggap jika

ingin berbicara mengenai masalah penelitian ini maka lebih baik kepada isteri

(23)

paham terkait pertanyaan yang akan diajukan penulis. Pada penelitian ini, penulis

tidak akan membeda-bedakan mana yang termasuk ke dalam informan kunci dan

mana yang termasuk ke dalam informan pangkal maupun informan biasa. Hal ini

dikarenakan semua informasi yang penulis dapat selama wawancara adalah

penting.

Penulis berusaha untuk menjalin rapport24

1.6.2. Rangkaian Pengalaman di Lapangan

dengan informan.

Pengembangan rapport dilakukan dengan cara hidup beradaptasi dan mengikuti

kegiatan sehari-hari masyarakat dan menjalin hubungan yang baik dengan

penduduk setempat sehingga ketika melakukan wawancara, data yang di dapat

benar-benar atau mendekati fakta sesungguhnya. Hasil-hasil wawancara akan

dicatat dalam catatan lapangan dan untuk memudahkan pemahaman akan

disertakan foto dan rekaman suara yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Penulis tiba di lokasi penelitian pada tanggal 15 April 2013 yang lalu.

Sebagai langkah awal penulis melapor ke Kantor Kelurahan Kristen serta

menjelaskan maksud dari kedatangan penulis ke Kantor Kelurahan ini. Saat itu

Kantor terlihat sepi hanya ada anak-anak PAUD yang sedang diajar oleh guru

mereka di halaman depan. Penulis pun mencoba bertanya kepada guru tersebut.

Dari guru tersebut, penulis mengetahui bahwa Bapak Lurah beserta pegawainya

sedang apel pagi di kantor Camat. Guru tersebut meminta kepada penulis untuk

datang lagi pada siang hari.

24

(24)

Sesaat akan beranjak pulang, penulis bertemu dengan salah seorang

pegawai Kelurahan setempat. Penulis menghentikan langkahnya dan mengajak

pegawai tersebut berbicara. Penulis pun memperkenalkan diri dan tidak lupa juga

penulis memberikan surat izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara kepada

beliau yang bernama Bapak Tupa Sinaga. Bapak Tupa Sinaga menjelaskan bahwa

bapak Lurah sedang berada di luar bersama pegawai lainnya. Beliau meminta saya

untuk menunggu di dalam saja. Sembari menunggu, penulis meminta monografi

Kelurahan kepada Bapak Tupa Sinaga. Beliau pun memberikan monografi

Kelurahan dari tahun 2010-2013. Namun sesaat membuka monografi tahun 2013,

ternyata monografi tersebut belum selesai diisi.

Bapak Tupa Sinaga menganjurkan untuk saya melihat monografi tahun

2012 saja. Beliau pun meminta penulis untuk membantu mengisi monografi

tersebut ketika penelitian nanti. Cukup lama penulis menunggu namun, penulis

tak merasa bosan dikarenakan sembari menunggu dan melihat-lihat monografi,

penulis ditemani oleh anak-anak PAUD yang pada saat itu sedang istirahat

sekolah. Selang beberapa waktu, Bapak Lurah pun datang. Bapak Tupa Sinaga

langsung menemui dan menjelaskan maksud kedatangan penulis dan

menyerahkan surat izin penelitian yang penulis berikan tadi. Penulis pun kembali

memperkenalkan diri kepada beliau. Beliau menerima kedatangan penulis dengan

sangat baik pada waktu itu dan pada saat penulis berdiskusi dengan beliau saat itu,

beliau sangat tertarik dengan judul yang penulis ingin teliti di Kelurahan ini.

Bapak Lurah yang bernama Asman Sinaga juga mengatakan kepada

(25)

dengan penulis hanya saja berbeda jurusan. Beliau bertanya apakah penulis akan

melakukan penelitian di kantor atau langsung ke lapangan. Penulis pun

menjelaskan bahwa ia akan langsung ke lapangan. Setelah berdiskusi cukup lama,

penulis berpamitan untuk pulang dan meminta izin ingin memfotokopi monografi

yang ia pinjam beserta peta kelurahan. Bapak Lurah pun meminta Bapak Sinaga

untuk meminjamkan monografi dan peta kelurahan kepada penulis. Setelah selesai

memfotokopi data-data tersebut, penulis pun mengembalikan kembali ke kantor

kelurahan dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih.

Selanjutnya, penulis melanjutkan ke rumah ketua STM di kelurahan

tersebut untuk bertemu dengan bapak Sinaga. Disana penulis berbincang-bincang

dengan beliau terkait masalah penelitian tersebut. Namun, bapak tersebut merasa

tidak begitu paham akan hal itu, sehingga beliau menyarankan untuk bertanya

kepada isterinya. Akhirnya penulis pun memutuskan untuk melakukan wawancara

dengan isteri beliau. Penulis meminta izin untuk bertemu dengan isterinya.

Kebetulan pada saat itu, isteri Ketua STM tersebut sedang berada di luar. Penulis

pun menunggu beberapa saat. Tak lama kemudian, isteri Ketua STM itu datang.

Penulis pun segera memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dari

kedatangannya. Tak disangka-sangka, ternyata isteri Ketua STM yang bernama

Ibu Siregar (38 tahun) begitu antusias terkait masalah penelitian yang penulis

angkat menjadi penelitian skripsinya.

Setelah berkenalan, penulis pun memulai wawancaranya. Ibu Siregar

mengakui bahwa pendidikan seks itu sangat penting bagi anak-anak saat ini

(26)

bahwa pendidikan seks itu dapat menjadi alat untuk menjaga diri remaja tersebut.

Alat menjaga diri yang dimaksud beliau adalah sebagai pengetahuan-pengetahuan

yang dapat memberikan penjelasan dan batasan-batasan tingkah laku bagi para

remaja khususnya remaja putri. Beliau juga mengatakan bahwa, keluarga

merupakan pemberi pendidikan seks pertama bagi si remaja putri tersebut. Tak

dapat disangkal, sekarang ini menurut beliau banyak orangtua yang melupakan

bahwa penerapan pendidikan seks itu penting.

Para orangtua lebih mementingkan pekerjaan mereka untuk mencari uang

daripada tinggal di rumah untuk menjaga dan memperhatikan perkembangan serta

pertumbuhan anak-anak mereka. Contohnya saja, ibu-ibu di kelurahan ini

semuanya bekerja yakni, berdagang di pasar. Mereka akan pergi pukul 09.00 pagi

dan pulang sore hari pukul 18.00. Hal ini tentu saja membuat komunikasi antara

orangtua dan anak-anak mereka menjadi sangat sedikit. Akibatnya, anak-anak

tersebut akan mencari tahu apa yang mereka tidak ketahui dari luar rumah,

misalnya internet. Ibu Siregar pun menyatakan bahwa hal tersebutlah yang

membuat salah seorang remaja putri hamil di luar nikah di kelurahan ini dapat

terjadi. Kurangnya perhatian dari orangtuanya khususnya dari sang ibu, membuat

pergaulan si anak tak dapat dikontrol dengan baik. Menurut beliau, keluarganya

pun patut disalahkan.

Setelah berdiskusi panjang lebar, merekam dan menulis apa yang

didiskusikan tersebut, penulis meminta izin kepada Ibu Siregar untuk

mewawancarai putri-putri beliau. Setelah mendapat izin, penulis melanjutkan

(27)

mengaku bahwa pendidikan seks yang ia dapat lebih banyak dari sekolah.

Keluarganya juga memberikan pendidikan seks, namun pendidikan seks yang ia

dapat lebih bersifat nasehat-nasehat untuk menjaga dirinya. Gerta merasa

pendidikan seks itu penting untuk dibicarakan dalam keluarga, karena menurutnya

agar ia dan teman-teman sebayanya dapat lebih mengerti apa sebenarnya seks itu.

Ketika penulis bertanya apa tanggapannya akan kasus remaja putri yang

hamil di luar nikah di kelurahan tersebut, ia merasa kecewa kepada remaja

tersebut. Bagi dirinya itu diakibatkan karena kurangnya perhatian dari orangtua si

anak akan pergaulan remaja tersebut. Gerta juga mengungkapkan bahwa,

pergaulan yang dimiliki si remaja tersebut sudah sangat bebas. Sangat bebas yang

ia maksud disini adalah tidak adanya kontrol dari orangtua akan pergaulan si

anak. Tidak hanya itu, Gerta juga menyebutkan bahwa, beberapa kali ia sering

menangkap basah remaja tersebut sedang berdua-duaan di dekat rumahnya.

Bahkan ia mengungkapkan, ia melihat mereka ciuman. Baginya itu benar-benar

perbuatan yang memalukan. Penulis juga bertanya bagaimana bila apa yang

terjadi pada remaja itu terjadi pada dirinya. Gerta terkejut dan spontan

mengatakan bahwa mungkin ia akan bunuh diri. Karena ia tidak akan mampu

untuk menanggung malu akan perbuatan yang ia lakukan.

Penulis tak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya lebih dalam kepada

informannya tersebut. Banyak hal menarik yang penulis dapatkan selama

berdiskusi dengannya. Setelah beberapa lama, Widia (14 tahun) yang merupakan

adik dari Gerta datang menghampiri penulis dan Gerta yang sedang

(28)

Widia. Penulis juga bermaksud untuk mewawancarai Widia. Ada rasa malu-malu

dari mimik wajah Widia ketika penulis mulai bertanya dan mengucapkan kata

“seks”.

Penulis mendapatkan sedikit kesulitan saat akan mewawancarai Widia.

Selama beberapa menit, Widia hanya tertawa-tertawa kecil dan malu-malu akan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis tanyakan. Penulis pun sempat

merasa kesal, namun penulis mencoba untuk bersabar demi dapat mewawancarai

Widia. Setelah beberapa saat, akhirnya Widia pun mulai mau diwawancarai

dengan serius. Widia mengaku pendidikan seks yang ia dapat sangat kurang dari

orangtuanya. Hal ini dikarenakan ia tidak tinggal bersama orangtuanya melainkan

bersama opung25

Salah seorang dari bapak tersebut yang bernama Bapak Situmorang

mengatakan bahwa, lebih baik jika penulis ingin mengetahui hal yang nya. Meskipun demikian, saat ia pulang ke rumah orangtuanya,

ia sering mendapat nasehat-nasehat dari ibunya untuk lebih berhati-hati dengan

anak laki-laki.

Tak terasa hari telah menjelang siang hari, penulis berpamitan kepada

keluarga bapak Ketua STM untuk pulang. Di perjalanan akan pulang, penulis

bertemu dengan sekumpulan bapak-bapak yang sedang berkumpul di sebuah

warung. Penulis memutuskan untuk mampir ke tempat itu dan berharap

mendapatkan informasi. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak,

penulis pun menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu. Beberapa

di antara bapak-bapak tersebut tertawa mendengar apa yang penulis sampaikan.

25

(29)

berhubungan dengan masalah penelitian itu untuk bertanya kepada isteri mereka

saja. Bapak itu mengatakan bahwa, isteri merekalah yang lebih mengetahui hal

tersebut. Karena, anak perempuan mereka di rumah lebih suka membicarakan

masalah itu kepada ibu mereka. Penulis sudah berusaha untuk bertanya lebih

kepada bapak-bapak itu, namun hasilnya nol. Mereka bersikeras tidak mau

diwawancarai. Penulis sangat merasa kecewa. Namun, penulis tetap semangat

untuk mencari informan bapak-bapak yang mau diwawancarai untuk

mendapatkan informasi terkait masalah penelitian ini. Penulis pun memutuskan

untuk pulang dan melanjutkannya keesokan harinya. Sesampainya dirumah,

penulis mengulang kembali hasil pembicaraan tersebut dan setelah itu penulis

dapat menganalisis data tersebut.

Keesokan harinya, penulis melanjutkan untuk mencari informan yakni

para bapak yang mau diwawancarai. Karena sampai saat ini penulis belum juga

mendapatkan informan seorang ayah. Penulis berharap segera mendapatkannya.

Penulis bertanya kepada seorang ibu yang sedang menunggu angkot, dimana

kira-kira di pagi hari seperti ini, bapak-bapak di kelurahan ini berkumpul untuk

membaca koran dan minum kopi. Ibu itu menunjuk sebuah warung yang ada di

persimpangan jalan. Beliau mengatakan bahwa biasanya bapak-bapak di kampung

ini akan berkumpul di warung itu untuk minum kopi dan membaca Koran

sebelum mereka berangkat kerja.

Penulis bergegas menuju ke warung itu dan berharap mendapatkan

informan. Sesampai disana, penulis tidak segera melakukan wawancara. Penulis

(30)

menjual mie balap sebagai sarapan di pagi hari. Penulis pun berpura-pura seperti

warga yang hendak sarapan pagi. Penulis memesan mie balap dan segelas teh

manis serta duduk di bangku bersama dengan bapak-bapak tersebut. Salah

seorang bapak terlihat sedang asyik membaca surat kabar dan sesekali terlihat

mendesis. Penulis pun mendekati bapak tersebut. Penulis mulai menegur bapak

tersebut dengan berpura-pura menanyakan apa yang bapak itu baca.

Bapak itu mengatakan bahwa, semua berita di surat kabar sekarang ini

setiap harinya tentang pemerkosaan. Beliau mengatakan bahwa semakin banyak

saja orang-orang “bejat” sekarang ini. Seorang ayah saja mampu memperkosa

anaknya sendiri apalagi orang lain. Penulis merasa ini adalah waktunya untuk

masuk mewawancarai bapak itu. Saat akan memulai wawancara, bapak tersebut

permisi untuk berangkat kerja. Penulis merasa kecewa lagi. Hampir saja penulis

berhasil mendapatkan waktu yang tepat namun, gagal lagi karena bapak itu harus

berangkat kerja. Penulis pun bertanya apakah bisa berbincang-bincang di lain hari,

bapak itu menjawab “iya”.

Pesanan penulis pun datang. Saat menikmati sarapan, penulis melihat

seorang bapak yang baru saja datang. Bapak tersebut menegur penulis. Ternyata

bapak itu adalah Bapak Sinaga yang merupakan Ketua STM yang baru ditemui

penulis kemarin. Bapak-bapak yang ada di warung itu heran melihat penulis dan

beliau begitu akrab. Salah seorang bapak menanyakan siapa penulis kepada ketua

STM tersebut. Bapak Sinaga pun memperkenalkan penulis. Penulis pun

(31)

Respon mereka sama seperti respon Bapak Sinaga saat penulis wawancara

kemarin. Mereka pun juga meminta penulis untuk bertanya kepada isteri mereka.

Kembali rasa kecewa menghinggapi penulis. Penulis berpikir apa yang

harus penulis lakukan selanjutnya. Penulis pun mencari tahu siapa nama bapak

dan dimana rumahnya yang penulis temui tadi. Salah seorang bapak di warung itu

mengatakan bahwa beliau tidak tinggal di kelurahan tersebut. Beliau hanya

terkadang mampir untuk membaca surat kabar saja. Penulis mulai putus asa. Tak

terasa mie yang ada dihadapan penulis sudah dingin dan tak enak lagi dimakan

ditambah lagi hilangnya selera makan penulis akibat rasa kekecewaan tersebut.

Penulis sulit sekali mendapatkan informan seorang ayah untuk diwawancarai.

Para ayah tersebut merasa bahwa masalah terkait seks itu hanya kaum ibu yang

paham dan yang biasa memberikan pendidikan seks kepada putra-putri mereka.

Penulis pun memutuskan untuk pulang menenangkan hati dan pikirannya.

Penulis juga ingin mengatur rencana untuk dapat menemukan cara bagaimana

agar para ayah mau diajak berbicara mengenai masalah penelitian ini. Penulis pun

berpamitan untuk pulang dan membayar sarapan yang penulis pesan tadi.

Sesampai di rumah, ternyata ada tamu. Tamu tersebut adalah Namboru Mida (45

tahun). Kesempatan ini tak disia-siakan oleh penulis. Penulis pun mulai berdiskusi

dengan namboru tersebut.

Menurut Namboru Mida, tabu baginya untuk membicarakan masalah seks

antara orangtua dan anak. Bagi beliau, sang anak akan mengetahui apa seks itu

kelak ketika ia telah berumahtangga. Penulis merasa ini informasi penting. Penulis

(32)

mengaku bahwa, beliau tidak pernah berbicara mengenai masalah tersebut kepada

anak-anaknya. Anak-anaknya terkhusus putrinya yang beranjak remaja pun tidak

pernah berbicara mengenai masalah tersebut. Menurut Namboru Mida,

anak-anaknya akan mengetahui lebih baik dari luar, apalagi saat ini kemajuan teknologi

sudah semakin canggih. Ketika penulis bertanya apakah pendidikan seks itu

penting, beliau mengatakan bahwa, pendidikan seks itu penting. Namun, akan

lebih baik jika yang mengajarkannya adalah sekolah. Karena sekolah lebih

mengetahui bagaimana mengajarkan pendidikan seks itu sesuai usia anak tersebut.

Dari beberapa informan yang penulis wawancarai menjelaskan bagaimana

pendidikan seks yang ada di dalam keluarga. Para ibu mengaku bahwa mereka

telah memberikan pendidikan seks kepada putri mereka, namun beberapa remaja

putri mengaku bahwa pendidikan seks yang mereka dapat lebih banyak dari

sekolah yakni dalam pelajaran biologi, sedangkan ibu mereka hanya sekedar

memberikan nasehat dan larangan-larangan yang harus mereka jauhi dalam

pergaulan mereka. Para ayah pun mengaku bahwa, yang bertanggungjawab

memberikan pendidikan seks itu adalah para ibu di dalam keluarga

masing-masing. Hal ini dikarenakan para ibu lebih memiliki hubungan yang dekat dengan

Referensi

Dokumen terkait

diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Program Studi Teknik

Fokus Jurnal Pendidikan Bahasa Asing-Jurusan Pendidikan Bahasa Asing-FPBS UPI

 Pendekatan penelitian atau metode penelitian yang dipilih kurang tidak dengan topik penelitian dan rumusan masalah.  Penjabaran langkah-langkah pengumpulan data

Pergeseran itu kian terkuatkan oleh pengarusutamaan argumen para praktisi dan akademisi tentang pembangunan berbasis komunitas dan pendekatan partisipatif—semisal

Sedangkan teknik analisis data menggunakan Uji normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov, Uji homogenitas variant menggunakan uji Levene’s Test dengan

Tanda perubahan (alterasi) adalah istilah yang dipakai untuk perubahan kromatis (nada yang berjarak ½) salah satu nada dalam suatu Accord.. Tanda perubahan (alterasi) dibagi menjadi

Hal ini sejalan dengan pernyataan Sanchez dan Larrea (1972) melalui percobaan umur bibit padi dengan mulai umur 30 sampai dengan 105 hari pembibitan pada tiga

Secara umum, hasil distribusi tersebut memberikan gambaran terdapat konektivitas juvenil ikan antara habitat mangrove dan lamun yang berdekatan dimana sebagian