• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menolak Diperiksa Lebih Baik Ditempat Ma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menolak Diperiksa Lebih Baik Ditempat Ma"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MENOLAK DIPERIKSA (Lebih Baik Ditembak Mati Saja)

Pendahuluan

Ada yang menarik pernyataan seorang tersangka dugaan tindak pidana korupsi yang menyatakan menolak untuk diperiksa, lebih baik ditembak mati daripada harus diperiksa, demikian kurang lebih yang dikatakan. Sontak pertanyaan tersebut mendapat reaksi yang beragam, baik yang pro maupun yang kontra. Tentu menjadi menarik ketika pernyataan tersebut dikemukakan seorang tersangka yang merupakan seorang advokat senior yang telah lama malang melintang di dunia hukum, penyandang gelar akademik sebagai seorang guru besar ilmu hukum.

Dengan telah dilakukannya penetapan tersangka terhadap advokat senior tersebut, terlebih terhadapnya telah pula dilakukan penahanan tentu karena penyidik pada lembaga anti rasuah tersebut telah memiliki ‘bukti permulaan yang cukup’ untuk itu. Terlebih pasca putusan Mahkamah Konstitusi, terhadap penetapan tersangka dimungkinkan untuk diajukan pengujian ke pengadilan melalui lembaga PraPeradilan. Lalu apa dan bagaimana maksud dari pernyataan menolak diperiksa tersebut?

Pemeriksaan Tersangka

Setelah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana, kepadanya hukum acara pidana melekatkan hak-hak sebagai tersangka. Melekatnya hak-hak sebagai tersangka di satu sisi, tentu di sisi lain melekatkan pula kewajiban pada penyidik untuk memenuhi hak-hak tersangka tersebut. Salah

satu hak tersangka tersebut adalah hak untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, sebagai awal untuk memperoleh hak untuk segera dilimpahkan dan hak untuk segera disidangkan perkaranya.

(2)

Dalam pembuktian perkara pidana, maka keterangan tersangka hanyalah merupakan salah satu alat bukti. Jika dilihat dari urutannya maka keterangan tersangka (dan/atau terdakwa) adalah terakhir dibanding keterangan saksi, ahli, surat dan petunjuk. Hal ini merupakan perubahan dari hukum acara yang lama

yang menempatkan pengakuan tersangka pada urutan pertama. Ketentuan pasal 66 KUHAP menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Sehingga beban pembuktian ada pada Penuntut Umum yang berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. selanjutnya sebagai konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh

hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan

dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak

memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses

persidangan (the right to remain silent).

Berangkat dari adalah hak tersangka untuk diperiksa yang menimbulkan kewajiban bagi penyidik untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, maka tidak akan menjadi persoalan hukum ketika seorang tersangka menyatakan menolak untuk memberikan keterangan (baca: diperiksa). Sebagai pemegang hak untuk segera diperiksa, maka ketika penyidik telah memenuhi kewajiban untuk menyiapkan pemeriksaan dan ternyata tersangka sebagai pemegang hak tidak menggunakan haknya untuk memberikan keterangan maka cukup hal tersebut dituangkan dalam berita acara. Penuangan dalam berita acara ini menjadi penting, sebagai bukti bahwa proses penyidikan telah menempatkan tersangka sebagai subyek dan bukan obyek dalam proses hukum (baca: penyidikan).

(3)

alat-alat bukti yang lainnya telah ada, sewaktu menetapkan tersangka bahkan telah melakukan penahanan terhadap tersangka.

Pemeriksaan Saksi (Mahkota)

Dalam suatu peristiwa pidana dapat terjadi yang diduga melakukannya lebih dari satu orang, sehingga dalam hukum pidana dikenal adanya penyertaan, baik sebagai pelaku, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan melakukan ataupun membantu melakukan. Terhadap penyertaan tindak pidana, penyidik biasanya melakukan pemberkasan dalam penyidikan berdasarkan kualifikasi peranan perbuatan tersangka. Akan tetapi tidak jarang terhadap beberapa tersangka dengan kualifikasi perbuatan yang sama dibuat dalam beberapa berkas yang berbeda. Dalam hal demikian, ditemukan tersangka yang telah memberikan keterangan dalam suatu berkas perkara kemudian dijadikan dan diperiksa dan memberikan keterangan sebagai saksi untuk berkas perkara tersangka lainnya.

Tersangka yang kemudian menjadi saksi bagi tersangka lainnya dalam penyertaan tindak pidana, dikenal sebagai saksi mahkota. Meskipun banyak ditemui dalam praktek peradilan, istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Saksi dalam hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Status tersangka akan berubah setelah perkara diadili di persidangan menjadi terdakwa.

(4)

tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Saksi sebagai orang yang mengetahui suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, oleh hukum dibebabi kewajiban hukum

untuk memberikan keterangan yang sebenarnya. Bahkan hukum mengancamkan pidana, terhadap saksi yang terbukti memberikan keterangan yang tidak benar setelah diperingatkan sebelumnya. Dalam penyidikan, keterangan saksi yang diberikan dibuatkan berita acara pemeriksaan saksi yang kemudian ditandatangani (atau cap jempol) setelah sebelumnya dibaca dan/atau dibacakan kembali. Berita acara pemeriksaan saksi tersebut menjadi kelengkapan berkas perkara penyidikan. Keterangan saksi tersebut sebagai salah satu alat bukti untuk membuktikan tindak pidana yang memiliki peranan penting, terutama dilihat dari penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama.

Menolak Diperiksa

Menjadi menarik (setidaknya menurut penulis) ketika pernyataan tersangka seorang advokat senior yang juga guru besar menolak diperiksa, apabila dipahami sebagai menolak untuk diperiksa sebagai saksi bagi tersangka lainnya. Hal ini dapat ditarik dari setidaknya pernyataan juru bicara lembaga anti rasuah bahwa dalam dugaan tindak pidana yang dilakukan tersangka telah pula sebelumnya ditetapkan tersangka lainnya, termasuk tiga orang hakim, panitera dan advokat junior yang tertangkap tangan. Jika demikian maka menarik setidaknya untuk melihat dan mengkaji tentang apa yang disebut sebagai saksi mahkota.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara keterangan saksi dan keterangan tersangka. Selain tentang disumpah untuk saksi dan tidak disumpah

untuk terdakwa, perbedaan mendasar lainnya adalah mengenai nilai pembuktiannya. Jika keterangan saksi dapat digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan dapat digunakan untuk semua yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan keterangan tersangka (dan/atau terdakwa) hanyalah mempunyai kekuatan pembuktian bagi diri tersangka sendiri, dan tidak untuk tersangka lainnya bahkan yang bersama-sama sebagai tersangka dalam satu berkas perkara.

(5)

sebuah hak bagi tersangka dan bukan kewajiban. Dalam arti, pilihan menjadi saksi bagi tersangka ada pada diri tersangka dan tidak dapat dipaksakan oleh penyidik. Hal ini sejalan dengan penyebutan saksi mahkota, pemberian mahkota kepada saksi yang berstatus terdakwa adalah sebagai penghargaan negara kepada

tersangka yang membantu mengungkapkan tindak pidana. Bentuk penghargaan ini dapat berupa ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Dalam berbagai perundangan sudah mengakomodir hal ini, istilah justice collaborator ataupun wishtle blower dapat menggambarkan hal tersebut.

Memaksakan tersangka untuk menjadi saksi bagi tersangka lainnya, tanpa adanya ‘imbalan’ yang sepadan sebagaimana maksud dan tujuan saksi mahkota di atas, sangat rentan terjadi pelanggaran prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari pendapat mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum. Hal yang sama juga muncul dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dari beberapa hal di atas, lalu bagaimana jika tersangka menolak diperiksa sebagai saksi untuk tersangka lainnya. Tentu dari pada penyidik berpolemik

tentang hal tersebut, maka akan lebih bermanfaat apabila penyidik mengoptimalkan alat-alat bukti yang lainnya dan tidak memaksakan melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tersebut untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.

Saksi Mahkota Dalam Rancangan KUHAP

(6)

Dalam Pasal 158 dan 159 Rancangan KUHAP ditentukan bahwa saksi mahkota (yang bersama-sama sebagai tersangka meskipun perkaranya dipisah) dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Apabila saksi mahkota tersebut tetap berkehendak memberikan kesaksian, maka hal tersebut harus mendapat

persetujuan secara tegas dari penuntut umum maupun terdakwa, tanpa adanya persetujuan tersebut maka saksi mahkota hanya dapat memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji.

Penutup

Penggunaan tersangka (dan/atau terdakwa) menjadi saksi bagi tersangka lainnya banyak terjadi dalam praktek peradilan telah menempatkan seseorang dalam posisi pertentangan antara kewajiban hukum dan hak-hak sebagai tersangka. Hal tersebut rentan terjadi pelanggaran hak asasi manusia, ketika hal tersebut dimaknai sebagai sebuah kewajiban hukum. Menempatkan hal tersebut sebagai sebuah hak, yang memberikan kebebasan bagi tersangka untuk memilih apakah tetap akan menjadi saksi bagi tersangka lainnya akan meminimalisir terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut sejalan dengan rancangan hukum acara pidana dengan memberikan hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi bagi tersangka (dan/atau terdakwa) yang bersama-sama menjadi tersangka meskipun perkaranya dipisah. Bukankah penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu tujuan hukum acara pidana itu sendiri. Konsekuensi selanjutnya atas itu, maka keprofesionalan para penegak hukum dituntut untuk mewujudkannya. Lalu tentunya jika menolak diperiksa, tak perlu kiranya sampai ditembak mati segala. Semoga

Referensi

Dokumen terkait

4.26 Rekapitulasi Peningkatan Hasil Observasi Peneliti Terhadap Siswa Kelas X-MIPA 5 SMA Negeri 3 Pati dalam Pelaksanaan Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik

Salah satu rendahnya prestasi belajar Matematika dalam kemampuan mengalikan bilangan cacah yaitu penyampaian pelajaran Matematika hanya menggunakan metode ceramah

Bagi lansia di Posyandu Lansia Ngudi Waras Sapen Umbulmartani Ngemplak Sleman diharapkan lansia dapat melakukan perilaku perawatan hipertensi dengan cara

Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimna kondisi aspirasi mahasiswa FIS UNM tentang wacana dikembalikannya GBHN sebagai pedoman dan

Muhammad Sabran, selaku Ketua Bidang Analisis Kebijakan KNSDG yang telah sudi meluangkan waktunya untuk berdiskusi, berbagi pengalaman, dan memberikan dukungan,

akad mudharabah dalam produk simpanan berkah plus pemberian bonus yang dilakukan di BMT ini diberikan di awal karena pemberian bonus di awal sangat

Adapun pengertian strategi yang penulis maksud adalah segala usaha dan cara yang dilakukan oleh seseorang guru dalam menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam

Pemecahan konflik dengan strategi saya menang - anda menang ( win-win strategy ) adalah kemungkinan untuk memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Penyelesaian konfli dengan