• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesionalisme dan Sistem Media. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Profesionalisme dan Sistem Media. pdf"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e1 | P a g e

Profesionalisme Jurnalisme:

Integrasi Serikat Jurnalis pada Sistem Media Pers

Oleh Gilang Desti Parahita1

Abstract

Functionalism sees press organizations as system that hold several functions expected and integrated to social system. Press media system works by those functions. Professionalism of journalism is a crystalization of the positive functioning of journalism. In Indonesia context, professionalism of journalism has been ruinedor e er ee ell de eloped a d ai tai ed by the internal and external

system of press media. Instead of blaming the actors and seeing the problem case by case, this paper applied system perspective (structural functionalism) to examine the problem and concluded that the negletion of journalists trade has triggered the disfunctioning of Indonesian press media system.

Kata kunci: profesionalisme jurnalisme, sistem media, fungsionalisme, disfungsional

SEPANJANG 2012 beberapa peristiwa terkait dengan praktik jurnalisme mengundang perhatian publik di Indonesia. Dari segi cara peliputan di antaranya adalah teguran Hakim kepada kru jurnalis Metro TV pada sidang kasus korupsi yang melibatkan politikus sekaligus selebritas Angelina Sondakh

pada November 20122. Hakim menganggap suara reporter Metro TV yang sedang melaporkan secara langsung mengganggu konsentrasi persidangan sehingga persidangan sempat terhenti selama 90 detik.Tindakan wartawan Metro TV tersebut jelas telah menyebabkan pihak lain, yaitu subjek realitas yang tengah ia liput terintervensi oleh tindakan tim liputan Metro TV. Tata tertib persidangan di Indonesia menyebut di antaranya bahwa pengunjung wajib menaati tata tertib persidangan, dilarang

membuat kegaduhan, baik di dalam maupun di luar ruang sidang, duduk rapi dan sopan selama persidangan, dan dilarang berbicara dengan pengunjung lain selama persidangan berlangsung. 3 Tim liputan Metro TV jelas melanggar tata tertib itu. Dari segi etika profesi,tim liputan Metro TV juga telah melanggar ayat kedua Kode Etik Wartawan yang dikeluarkan oleh gabungan sejumlah organisasi arta a I do esia pada a g e e ut ah a arta a I do esia e e puh tata ara a g etis u tuk e peroleh da e iarka i for asi... .

1

Penulis adalah Asisten Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM.

2

http://news.detik.com/read/2012/11/22/142439/2098352/10/hakim-terganggu-siaran-live-tv-sidang-angie-sempat-dihentikan

3

Tata Tertib Persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diakses di Situs MA RI PN Jakarta Selatan, di

(2)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e2 | P a g e Pelanggaran kode etik wartawan oleh jurnalis Metro TV itu hanyalah puncak gunung es dari fenomena pelanggaran kode etik wartawan di Indonesia. Aduan yang diterima Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), badan yang mengawasi sistem penyiaran Indonesia, pada tahun 2011 mencapai hampir 4.000 aduan dan banyak lembaga siaran yang diberi peringatan dan sangsi oleh KPI4. Pada 2010, Margiono anggota Dewan Pers pernah menyatakan 90 persen aduan yang masuk ke Dewan Pers

mempermasalahkan kesalahan wartawan dalam proses peliputan dan perilaku wartawan, misalnya memeras. 5

Banyaknya pelanggaran etika profesi dan jurnalistik itu mengkonfirmasi temuan survei yang diadakan Dewan Pers. Tahun 2011, Dewan Pers melakukan survei tentang pengetahuan jurnalis

Indonesia atas Kode Etik Jurnalistik (KEJ)6. Hasil survei menunjukkan adanya peningkatan signifikan persentase jurnalis yang membaca seluruh isi KEJ dari 22 persen untuk kesebelas isi pasal KEJ pada 2007 menjadi 42 persen pada 2011. Sebaliknya, 18 persen jurnalis belum pernah membaca KEJ pada 2007, dan menurun hingga 10 persen pada 20117. Menurut AJI, terdapat tiga kesalahan mendasar yang dilakukan wartawan terkait dengan etika jurnalistik, yaitu tidak berimbang, mencampurkan fakta

dengan opini yang menghakimi, serta pemberitaan yang tidak akurat8.

Bersamaan dengan belum kuatnya penanaman etika jurnalistik dan profesi pada sistem media, jurnalis juga banyak dihadapkan oleh pelanggaran profesi jurnalistik yang dilakukan oleh pihak-pihak di lingkungan sumber berita dan umum. Pada Oktober 2012, enam orang wartawan dari berbagai media yang sedang meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Riau dipukul

oleh sejumlah oknum TNI AU RI dan peralatan serta perlengkapan jurnalistik mereka pun dirampas9. Penganiayaan tidak berhenti di situ, beberapa minggu berikutnya salah seorang wartawan Riau TV yang

4 “epa ja g KPI Teri a . Adua ,

Manteb Dotcom, 29 Juni 2012,

http://manteb.com/berita/4602/Sepanjang.2011.KPI.Terima.3.856.Aduan. Dari jumlahpengaduan yang diterima KPI Pusat, pihaknyatelahmenjatuhkansanksisebanyak 55 kali, 10 kali imbauandanperingatan 31 kali. Sanksi yang diberikanmulaidaripengurangan jam tayanghinggapenghentiansiaran.

Survei itu menjaring 1.200 jurnalis yang masih aktif dan tersebar di 33 wilayah melalui kuesioner tertulis dan jawaban tertutup dengan sistem probability sampling dan simple random. Jurnalis setidaknya berusia 20 tahun dan minimal sudah bekerja selama enam bulan dengan lima karya jurnalistik (Uni Lubis, ibid).

(3)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e3 | P a g e menjadi korban itu kembali dianiaya oleh empat orang oknum TNI AU10.Tak hanya oleh oknum TNI AU di Riau, tetapi juga aparat militer secara umum, aparat kepolisian, politisi, organisasi masyarakat, dan anggota masyarakat yang lain di berbagai daerah masih tidak menghormati profesi jurnalis. Fenomena kekerasan terhadap jurnalis selama 2012 itu meneruskan fenomena yang sama pada tahun sebelumnya. Pada 2011, Eko Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia menyebutkan kekerasan fisik jurnalis pada 2011

mengalami peningkatan dari tahun 2010.11Politisi mengancam membunuh wartawan12atau organisasi masyarakat yang mengintimidasi wartawan 13bukanlah hal yang aneh, bahkan pembunuhan terhadap wartawan tanpa kejelasan peradilan pun cukup jamak terjadi di Indonesiabaik pada Orde Baru maupun era Reformasi14.

Bertolak dari fakta-fakta empiris tersebut, salah satu pertanyaan yang selalu muncul adalah hal apakah yang menjadi penyebab semua kebobrokan praktek jurnalisme itu. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, satu pertanyaan yang mendahuluinya adalah praktek jurnalisme apakah yang dianggap profesional? Makalah ini akan membahas asumsi profesionalisme jurnalisme terlebih dahulu agar praktek jur alis e a g dia ggap o rok lebih tajam dianalisis. Bangunan asumsi tersebut

bermula dari pemahaman penulis atas sistem media dengan menerapkan pandangan fungsionalisme struktural (structural functionalism). Penulis juga akan menunjukkan hubungan serikat jurnalis dengan organisasi media atau sistem media. Subbab berikutnya akan menjelaskan tentang pentingnya integrasi nilai-nilai okupasional serikat jurnalis pada sistem media.

Fungsionalisme dan Media Massa

Fungsionalisme telah sangat berpengaruh pada studi media massa. Banyak teori fungsi-fungsi media lahir dalam tradisi tersebut. Fungsi Integrasi dalam AGIL-nya Talcott Parsons, misalnya, tercermin dalam pemikiran Laswell yang memandang masyarakat sebagai organisme yang berupaya untuk tetap berada dalam keseimbangan di mana keseimbangan itu dipelihara melalui fungsi-fungsi komunikasi

(4)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e4 | P a g e lain Robert K. Merton yang menulis esai tentang fungsi laten dan manifes media, Charles R. Wright yang menunjukkan fungsi dan disfungsi media pada level individu dan masyarakat (Allen, 1980).Pada dunia pers secara khusus, Teori Tanggung Jawab Sosial Siebert et.al.(1949) menggambarkan kuatnya tradisi fungsionalisme pada studi pers. Institusi pers bersama sistem kepercayaan dipandang dalam AGIL Parsons tersebut sebagai institusi yang berfungsi integrasi, yaitu upaya-upaya koordinasi internal dan

mengatasi perbedaan dalam sistem.

Profesionalisme jurnalisme terkait erat dengan fungsionalisme. Jurnalisme mengembang fungsi informasi pada media massa (McQuail, 2009). Untuk melakukan fungsi dengan baik, seorang jurnalis harus bertindak profesional. Ada nilai-nilai profesional dalam praktek jurnalisme yang dilakukan

oleh seorang jurnalis. Akan tetapi, profesionalisme jurnalisme tidaklah hadir begitu saja. Pada bab berikutnya, penulis menjabarkan perkembangan wacana profesionalisme jurnalisme secara umum dan pada tradisi Anglo Saxon pada khususnya.

Perkembangan Profesionalisme Jurnalisme Anglo Saxon

Istilah jurnalisme profesional tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritisisme. Pertama,

jurnalisme profesional baik sebagai praktek maupun skolastik lahir di negara-negara Anglo Saxon terutama Amerika Serikat pada 1940-an. Oleh karena itu, nilai-nila profesional jurnalisme tersebut berakar pada perkembangan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Anglo Saxon. Kedua, pada perkembangannya, istilah tersebut tidak selalu merujuk pada satu gagasan nilai yang sama sebab standar profesional akan berbeda do tiap-tiap negara. Ketiga, istilah jurnalisme profesional tidak hanya

digunakan oleh jurnalis, kelompok kolegial jurnalis dan pusat-pusat pendidikan jurnalisme melainkan juga oleh organisasi media yang saat ini menggunakan istilah tersebut untuk konotasi yang berbeda sehingga menunjukkan pergeseran konstruksi makna atas istilah tersebut15. Keempat, apakah jurnalisme profesio al ha a e akup jur alis e-jur alis e serius seperti jur alis e politik, eko o i da

hukum serta genre jurnalistik tertentu; ataukah termasuk jurnalisme populer (infotainment) dan genre-ge re jur alistik e genre-ge g ? Keli a, istilah terse ut e ga du g paradoks, isal a ketika seora g

jurnalis ingin berlaku profesional dengan bekerja secara objektif dan independen, apakah ia sebaiknya bekerja di organisasi media, atau sebagai pekerja lepas? Kondisi apakah yang lebih menguntungkan

15

Arismunandar menunjukkan perusahaan-perusahaan media memaknai profesionalisme jurnalisme adalah yang diadasarkan pada ap yang digariskan perusahaan media. Paparan itu dapat diakses pada

(5)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e5 | P a g e dirinya agar dapat menjadi jurnalis yang profesional? Paradoks rupanya telah menjadi bagian inheren dari jurnalisme profesional semenjak awal perkembangannya.

Jurnalisme di Amerika Serikat (AS) lahir sebagai jurnalisme perjuangan, berbentuk media cetak, pers mewakili suara publik AS yang menentang cengkeraman Inggris di AS. Namun, pers AS terutama suratkabar untuk mencapai format, konten, dan nilai seperti yang dikenal hari ini membutuhkan waktu

yang panjang dan hadirnya teknologi-teknologi baru yang baru muncul pada era-era berikutnya. Secara umum, nilai-nilai jurnalisme profesional seperti objektivitas belum muncul hingga pada abad ke-19 (Hoyer & Lauk, 2003; Nolan, 2008) yang ditengarai oleh dua penyebab. Pertama, adanya kompetisi di antara pensuplai informasi yang bermotivasi politik ataupun ekonomi untuk memberi pengaruh

terhadap proses jurnalistiks direspon para jurnalis dengan membentuk etika profesional jurnalis seperti imparsialitas dan independensi atau yang disebut dengan objektivitas jurnalistik (ala Anglo Saxon) (Nolan, 2008; Deuze, 2005; McChesney, 2003) maupun dengan mendorong keberpihakan jurnalisme terhadap kepentingan publik (Kovach dan Rosenstiel, 2001; Tebbel, 1966). Profesionalisasi jurnalisme oleh para fungsionalis-positivis disebut sebagai proses yang alamiah sebab proses tersebut merupakan

respon jurnalisme terhadap kondisi lingkungan media yang berubah.

Kedua, diskursus akademik jurnalisme sebaga profesionalisme muncul seiring dengan perkembangan sosiologi profesi terutama pada 1970-an dan 1980-an (Blau, 1979).Fungsionalisme struktural menjadi pendekatan pertama dalam sosiologi profesi. Sosiologi profesi melihat profesi-profesi sebagai pekerjaan yang memiliki peran-peran unik di masyarakat, yaitu bahwa sebuah pekerjaan untuk

menjadi sebuah profesi haruslah memiliki inti keunikan dibanding dengan pekerjaan yang lain yang mana keunikan itu didapat secara struktural (Mayiga, 2008).Profesi-profesi adalah fungsional sebab ia mengemban peran-peran yang diamanatkan masyarakat.Durkheim (1957, dalam Nolan, 2008) menyatakan bahwa profesi merujuk pada sekelompok komunitas moral yang memiliki komitmen

bersama dan ritual yang memperkuat norma-norma yang telah disepakati sebagai dasar bagi anggota kelompok untuk mendefinisi identitasnya dan mengawasi praktek-praktek setiap anggota. Selain itu, Talcott Parsons (1951, dalam Nolan, 2008), memandang sistem masyarakat direproduksi melalui fungsi-fungsi profesi-profesi dan standar-standar normatif yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan profesi

tersebut dalam sistem.

(6)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e6 | P a g e profesionalisasi mencakup pelatihan dan prosedur seleksi atas pelaku profesi (profesional) dan pembentukan asosiasi profesi (ibid). Profesi itu lalu menuntut rekognisi publik dan dukungan legal untuk mengawasi masuknya individu-individu dalam bidang pekerjaan dan metode-metode praktek pekerjaan tersebut (ibid). Tahap akhir dari profesionalisasi adalah pengembangan kode etik formal (ibid).

Secara umum, fungsionalisme berdampak pada munculnya profesionalisme jurnalisme. Nolan

(2008) menunjukkan dua kelompok dalam aliran fungsionalis, yaitu pro dan kontra. Kalangan pro-jurnalisme profesional memandang pekerjaan jurnalistik layak dimasukkan ke dalam salah satu jenis profesi karena ia memiliki nilai nilai kepublikan yang penting, yang dikenal, yang mana kesuksesan performanya bergantung pada otonomi dan independensi, dan yang membutuhkan keterampilan

tertentu, pengetahuan, pelatihan, teknik-teknik produksi, dan komitmen-komitmen etik spesifik. Hoyer dan Lauk (2003)mengutip Millerson (1964) untuk meyakinkan bahwa jurnalisme merupakan praktek profesional: pemberian layanan yang didasarkan pada keterampilan yang spesifik pada basis teoritis atau pengetahuan ilmiah, dilakukan oleh individual profesional dan diawasi oleh organisasi profesional.

Sementara, kalangan kontra profesionalisme jurnalisme berargumen bahwa jurnalisme

bukanlah profesi (Nolan, 2008). Untuk menjadi seorang jurnalis seseorang tidak perlu melewati skema akreditasi seperti pelamar profesi lain, dan organisasi media tidak membutuhkan individu-individu yang memiliki portofolio kualifikasi semacam itu untuk menjadikan mereka jurnalis. Jurnalis juga tidak memiliki basis yang efektif untuk memertahankan independensi dari pemberi kerja, dan secara historis sangsi-sangsi atas pelanggaran etik jarang diterapkan, dan hak untuk melindungi kerahasiaan klien

(narasumber) tidak setiap saat berlaku, berbeda dari profesi yang lain. Kaum ini juga menyangsikan profesi jurnalis memiliki harga diri tinggi di mata publik (Nolan, 2008). Baru-baru ini sebuah survei kepercayaan publik mendudukkan jurnalis pada kelompok kepercayaan yang sama dengan penjual mobil bekas dan agen perumahan (Barnett, 2008, dalam Nolan,2008).

Sementara itu, alih-alih memandang profesionalisasi jurnalisme sebagai proses yang wajar dan alamiah, aliran kritis mencurigai penghargaan diri secara moral itu merupakan konstruksi kapitalis. Profesio alisasi erupaka istilah a g di erika oleh pa da ga kritis terhadap fe o e a

penyeragaman watak jurnalistik termasuk dengan menyuntikkan nilai-nilai objektivitas tersebut oleh

para pemillik da li gku ga edia. De ga profesio alisasi terse ut, Nola e gutip Marjori a ks , para jur alis a g e gide tifikasi diri se agai pekerja kerah putih e iliki sikap tidak kritis

terhadap transformasi lingkungan kerja termasuk berkurangnya serikat-serikat pekerja (de-unionisation).Nolan (2008) juga menunjukkan studi-studi historis tentang bagaimana para pemilik media

(7)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e7 | P a g e jurnalisme mengalami penurunan (Reese 1999, Reese dan Cohen, 2000). Objektivitas juga bagian dari upaya membangun mekanisme kontrol yang disepakati bersama antara para pemilik media dan pengelola redaksi untuk mendisiplinkan dan menciptakan standardisasi kerja (Soloski, 1997 dan Schudson, 2001 dalam Nolan, 2008).

Selain bermaksud mendisiplinkan jurnalis –namun malah mengurangi kritisisme jurnalis

seperti yang dipaparkan Nolan (2008), McChesney (2003) menunjukkan bahwa otonomi redaksi pernah menjadi salah satu strategi pemilik media pada masa lalu bukan untuk mengimbangi pengaruh pemilik media, melainkan menghadapi pengaruh pengiklan yang aktif. Ketika itu, strategi memberikan otonomi redaksi seluas-luasnya menjadi pilihan yang masuk akal bagi pemilik media sebab dengan begitu mereka

bisa memberi kredibilitas kepada produknya dan membuka pasar yang lebih luas untuk pemasangan iklan. Akan tetapi, kesepakatan-kesepakatan jurnalis dan pemilik media untuk menciptakan jurnalisme profesional itu tidak pernah dilakukan di atas kontrak tertulis da la at lau kesepakata itu se aki tidak masuk akal bagi pemilik media (McChesney, 2008). Sejak 1980-an, regulasi media semakin lemah, pasar semakin ketat, dan media melakukan konglomerasi untuk bertahan, sehingga jurnalisme

profesional semakin tidak mendapatkan tempat (McChesney, 2008).

Pendapat lain mengenai profesionalisme jurnalisme lahir dari cara berpikir konstruktivis. Hoyer dan Lauk (2003) berpendapat bahwa profesionalisasi jurnalisme merupakan upaya yang dilakukan oleh organisasi media untuk melepaskan diri dari keberpihakan terhadap politik dan untuk merengkuh pasar (publik) yang lebih luas (Hoyer dan Lauk, 2003). Profesionalisasi yang semula bertujuan untuk

melepaskan diri dari partisanships, malah menjadi bumerang ketika jurnalis dan organisasi media menyerah kepada logika-logika ekonomi media. Akan tetapi, alih-alih menolak profesionalime jurnalisme, Hoyer dan Lauk (2003) menyetujui bahwa pada derajat tertentu, profesionalisme jurnalisme akan berkembang pada masing-masing konteks ekonomi dan politik praktek jurnalisme sehingga

profesionalisme jurnalime tidaklah seragam antar negara. Mereka mengkritik teori-teori profesionalisasi klasik yang mengagungkan:

linearitas dan ahistoris, yaitu profesionalisasi akan melewati tahapan yang sama atau serupa antar konteks tanpa melihat perjalanan sejarah masing-masing negara;

universalitas, bahwa profesionaisasi akan mencapai nilai-nilai yang juga sama dengan yang dicapai di negara lain;

(8)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e8 | P a g e individualitas, bahwa penjunjung utama profesionalisme adalah praktek-praktek individual dan organisasi profesi akan mengakreditasi dan mengawasi praktek-praktek individual tersebut.

Hoyer dan Lauk (2003) tidak menyepakati nilai-nilai yang dijunjung teori profesionalisasi klasik tersebut. Menurutnya, jurnalisme profesional adalah konstruksi organisasional, bukan individual. Mereka berargumen bahwa pamor seorang jurnalis dibangun dari performa produk organisasi

medianya, namun semakin media berkembang besar, kerja jurnalistik akan lebih terutinisasi, terfragmentasi, dan bahkan ter-deskillisasi, didasarkan lebih banyak pada prosedur-prosedur organisasional, alih-alih perorangan. Perilaku jurnalis menunjukkan hal ini: mereka lebih berpihak kepada organisasi yang memayungi mereka daripada ideologi bersama yang abstrak. Bahwa jurnalisme profesional organisasional adalah konstruksi juga diamini oleh Deuze (2005). Deuze (2005) melakukan

penelitian terhadap jurnalisme infotainment di Belanda dan ia menemukan bahwa ideologi profesionalisme para jurnalis tersebut tak jauh berbeda dari jurnalisme arus utama. Sedikit perbedaan jurnalisme profesional infotainment terletak pada: publik dianggap sebagai umum atau massa yang dilihat dari tingkat keterbacaan.

Profesionalisme Jurnalisme, Serikat Jurnalis dan Sistem Media Pers

Bertolak dari pentingnya aspek organisasional, pada subbab berikut penulis akan membahas mengenai faktor sistem media pers dan serikat jurnalis dalam membentuk profesionalisme jurnalisme dan bagaimana menempatkan serikat jurnalis dalam keseluruhan proses jurnalisme profesional.

Fungsionalis memandang serikat jurnalis berperan untuk menjaga fungsi-fungsi profesional

jurnalistik dalam sistem media. Oleh karena itu, profesionalisme jurnalisme terbentuk melalui proses tertentu da e ghasilka ujud terte tu prese tasi a g diakui se agai jur alis e profesio al. Unsur-unsur terlibat antara lain :

Norma atau aturan-aturan yang menjadi standar praktek dan perilaku jurnalis yang mencakup metode jurnalistik, proses kerja tim, dan presentasi yang dianggap sebagai profesional;

Dukungan organisasi media (manajemen media dan serikat jurnalis) terhadap praktek

jurnalistik sesuai dengan norma sebab profesionalisme jurnalisme merupakan perilaku kelompok, bukan individual.

Dalam perspektif fungsionalis, elemen organisasi media merupakan elemen yang turut e e tuk profesio alis e jur alis e . M Ches e e egaska ah a profesio alis e

(9)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e9 | P a g e survei dan observasi terhadap tiga negara Baltik untuk melihat pembentukan identitas profesionalisme dan perkembangan jurnalisme pada masing-masing konteks negara. Balcytiene (2008) melihat regulasi media belum cukup mengarah kepada terciptanya independensi media dikarenakan lemahnya sangsi legal dan kesepakatan di antara pelaku media. Selain itu, profesionalisme jurnalisme terhalang oleh berbagai kondisi tertentu dan menghasilkan kecenderungan sebagai berikut:

Faktor Kapital

Hanya media-media besar yang mampu mengakses lebih banyak berita dari agensi berita, mempekerjakan lebih banyak reporter, dan berinvestasi pada pelatihan profesional para jurnalis, serta menyelenggarakan proyek-proyek jurnalisme investigatif. Sistem pengupahan liberal dipertahankan sebagai cara pemilik untuk membatasi kemandirian jurnalis dalam memilih dan otonomi jurnalis. Jurnalis

mengikuti instruksi-instruksi dari para redaktur pelaksana, termasuk enggan mengkrtitik pemilik media karena takut kehilangan pekerjaan.

Faktor organisasional

Pemimpin redaksi seringkali juga pemimpin umum media, meski belum banyak penelitian ilmiah yang melihat fenomena tersebut namun jabatan ganda tersebut kerap menimbulkan pertanyaan

kemandirian editorial. Tidak ada prosedur formal dalam melibatkan jurnalis pada pembuatan keputusan tentang personel liputan atau redaktur pelaksana.

Pentingnya organisasi media dalam membangun profesionalisme jurnalisme disadari oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Organization for Security and Co-operation in

Europe/ OSCE). Berbeda dari sejarah jurnalisme Anglo-Saxon yang berkembang dari upaya untuk melepaskan diri dari tekanan politik maupun industrial, jurnalisme Eropa berkembang dari keberpihakan politik organisasi media. Media-media di Eropa saat ini tengah mengalami fenomena konglomerasi vertikal dan horizonal (lintas media maupun lintas batas). Donahnyi (2003) meyakini bahwa format bisnis media seperti konsentrasi kepemilikan akan berpengaruh pada independensi media. Penelitian

yang dilakukan Donahnyi bersama OSCE pada 2003 itu lantas menghasilkan beberapa rekomendasi untuk menjamin independensi redaksional, sebagai berikut:

Transparansi struktur kepemilikan media pers kepada publik;

Kesepakatan perilaku yang dicapai antara para staf dan manajemen berdasarkan prinsip-prinsip dasar jurnalistik, yang meliputi perlindungan HAM, perlindungan hak-hak demokratis, melawan kecenderungan aktivitas politik yang totalitarian, dan melawan diskriminasi ras atau bangsa manapun;

(10)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e10 | P a g e Komitmen perusahaan-perusahaan media, yang memiliki lebih dari satu outlet media, untuk menjamin independensi dan pluralitas sebagai kontribusi perusahaan terhadap demokratisasi dan kebebasan media.

Organisasi media di sini tak lagi bisa dimaknai secara tunggal. Organisasi media atau organisasi pers tidak serta-merta langsung merujuk kepada divisi redaksional atau editorial. Organisasi media

terdiri dari tiga kelompok elemen (McQuail, 2009), yaitu manajemen, teknis, dan profesional media dalam ranah tegangan-tegangan sosial. McQuail (2009) menggambarkannya sebagai berikut:

Gambar 1. Organisasi media dalam ruang tegangan sosial.

Organisasi media digambarkan berada di tegangan antara dorongan atau tekanan ekonomi dan

dorongan atau tekanan politik dan hukum. Akan tetapi dorongan (forces) dan permintaan (demand) tersebut tidak selalu dimaknai sebagai sesuatu yang menghambat, seringkali malah membebaskan dan membantu organisasi media dari rintangan-rintangan. Sumber daya organisasi media adalah suplai budaya, informasi, dan peristiwa-peristiwa yang konstan, serta saluran-saluran distribusi dan

permintaan audiens pada kutub yang lain. Dari Gambaran tersebut, serikat pekerja seperti halnya pemilik media dipandang McQuail (2009) sebagai bagian dari dorongan ekonomi bagi organisasi media

Peristiwa-peristiwa dan suplai informasi

dan budaya yang konstan (sources)

Saluran-saluran distribusi Kepentingan/permintaan audiens

Pengawasan legal/politik

Kelompok penekan

Institusi sosial yang

lain Kompetitor

Agensi berita/ informasi

Pengiklan Pemilik

Serikat

Dorongan sosial dan politik Dorongan

(11)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e11 | P a g e dan terletak di luar organisasi media atau tidak secara langsung berpengaruh pada proses yang terjadi di dalam organisasi media sehari-hari. Akan tetapi, kehadirannya dirasakan sebagai faktor yang cukup menentukan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan organisasi media.

Lalu, berdasarkan gambar organisasi media tersebut, bagaimanakah hubungan serikat pekerja dan profesionalisme jurnalisme? Profesionalisme jurnalisme adalah nilai-nilai profesional yang

diterapkan pada praktek jurnalisme yang mana nilai-nilai tersebut disepakati dan diakui secara kolektif. Individu dan kolektif jurnalis merupakan pelaku dari profesionalisme jurnalisme.

Gambar 2. Hubungan yang overlapping antara pemilik media, serikat pekerja, dan publik.

Menurut Christopher Warren, Direktur Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), pada kunjungannya

di Indonesia lebih dari sepuluh tahun lalu (The Jakarta Post Dotcom, 2011), profesionalisme jurnalisme tercipta manakala masing-masing elemen seperti jurnalis itu sendiri, pemilik media, dan publik menghormati kerja-kerja jurnalisme. Jurnalis tidak dapat bekerja dalam kondisi takut dan lapar. Serikat jurnalis dibutuhkan untuk memperkuat posisi jurnalis dan profesionalisme jurnalisme. Jurnalis yang menjadi anggota serikat akan mampu berbicara atas diri mereka sendiri (bukan pemilik media, atau

publik termasuk publik politik maupun komersial) dan memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan pers dan berbicara.

Serikat pekerja bukanlah penyeragaman suara jurnalis namun variasinya tidak merusak prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang profesional. Mengapa profesional? Warren (2001) mengungkapkan

beberapa alasan, yaitu:

(12)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e12 | P a g e Proses produksi dalam media tidak melalui pengawasan yang kaku seperti pabrik, melainkan berdasarkan pendapat-pendapat profesional jurnalis;

Semua perusahaan media ditekan oleh publik untuk menerapkan prinsip-prinsip kebebasan pers;

Kreasi konten media didasarkan pada keterampilan yang tinggi dan tidak dapat diawasi secara rigid melainkan melalui kepercayaan dan regulasi diri;

Pekerjaan di media terutama jurnalisme cenderung menarik orang untuk bekerja di lapangan

pekerjaan tersebut karena mereka meyakini prinsip-prinsip yang membingkai pekerjaan tersebut. Alih-alih merugikan, kehadiran serikat pekerja dalam jangka panjang akan menguntungkan pemilik media. Serikat pekerja akan memperkuat posisi jurnalis yang memegang prinsip-prinsip profesionalisme jurnalisme dan akan menyumbang kredibilitas produk di mata publik serta pada

akhirnya pemilik media akan mendapatkan keuntungan.

Gambar 3. Proses pembentukan dan pemeliharaan profesionalisme jurnalisme. Adaptasi dari McQuail (2009).

Gambar di atas mendeskripsikan bahwa profesional atau tidaknya praktek-praktek jurnalistik

yang dilakukan oleh jurnalis tidak sekadar bergantung pada integritas jurnalis, melainkan juga faktor pemilik/pengelola media dan serikat pekerja. Serikat pekerja maupun pemilik atau pengelola media tidak secara langsung berhubungan dengan praktek jurnalistik sehari-hari, keduanya, mengacu kepada McQuail (2009) merupakan lingkungan ekonomi organisasi media. Jurnalis merupakan bagian dari profesional media. Meski tidak langsung berhubungan, hubungan antara serikat pekerja dan

pemilik/pengelola media, dan hubungan antara masing-masing tersebut terhadap jurnalis, akan mempengaruhi apakah profesionalisme jurnalisme tercipta atau tidak. Untuk mendukung profesionalisme jurnalisme, pemilik/pengelola media bekerjasama dengan serikat pekerja untuk

JURNALIS

PRAKTEK JURNALISTIK

PROSES EDITORIAL SERIKAT PEKERJA

(13)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e13 | P a g e merumuskan hal-hal yang dapat membantu terciptanya profesionalisme tersebut. Jurnalis sebagai anggota dari serikat pekerja akan merasakan manfaat tersebut dan manfaat tersebut akan berimplikasi pada praktek jurnalistik.

Warren (2006) mencatat bahwa 85 % jurnalis di Indonesia menerima amplop yang berisi uang tunai dari sumber berita yang merasa senang dengan pemberitaan atau liputan jurnalis. Perilaku korup

semacam itu juga dijumpai di banyak negara yang lain di mana kemiskinan masih menjadi endemis. Perilaku semacam itu hanya bisa diatasi dengan meningkatkan standar kerja jurnalistik dan meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Kedua tujuan itu hanya bisa tercapai jika para jurnalis memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pemilik atau pengelola media. Menurut Warren berjuang melalui

serikat jurnalis merupakan upaya yang bisa ditempuh untuk meningkatkan posisi tawar.

Sebagaimana yang telah diungkap oleh Warren (2006), peran serikat jurnalis dalam profesionalisme jurnalisme tidak selalu berhubungan langsung dengan penciptaan profesionalisme jurnalisme, misalnya dalam hal memediasi kepentingan ekonomi jurnalis dan pemilik media. Berhu u ga tidak la gsu g di si i erarti serikat perlu elakuka persuasi terhadap pe ilik edia

untuk memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial jur alis. “e e tara itu, erhu u ga la gsu g de ga profesionalisme jurnalisme berarti serikat menjadi kekuatan kolektif jurnalis untuk membentuk, mengawasi, dan mengevaluasi praktek-praktek jurnalisme profesional. Rincinya sebagai berikut:

Membentuk basis hubungan ekonomi pemilik media dengan jurnalis

Jurnalis memiliki hubungan ekonomi dengan pemilik media (McQuail, 2009) sehingga peran serikat

ditujukan untuk memediasi kepentingan jurnalis dan pemilik media dalam hubungan tersebut, misalnya advokasi terhadap pemenuhan hak ekonomi jurnalis, dan jaminan kepastian kerja (job security). Melakukan persuasi terhadap manajemen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia juga termasuk manifestasi hubungan pemilik media dan jurnalis yang berimplikasi pada peningkatan mutu praktek jurnalisme;

Membentuk, mendukung, mengawasi, dan mengevaluasi praktek-praktek jurnalisme profesional.

Realisasi peran-peran normatif serikat jurnalis terletak pada kemampuannya untuk menjaga kualitas praktek jurnalisme profesional. Untuk mencapai fungsi tersebut, serikat jurnalis menyepakati norma dan regulasi profesionalisme jurnalisme, dan mengawasi serta mengevaluasi penerapan

(14)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e14 | P a g e Pada dasarnya, peran utama serikat jurnalis adalah mendukung terciptanya praktek-praktek jurnalisme yang menjalankan fungsi-fungsi tanggung jawab sosial media di masyarakat. Siebert et.al. (1956, dalam Adaja, 2012) memaparkan fungsi tanggung jawab sosial media sebagai berikut:

Melayani sistem politik dengan membuat informasi, diskusi, dan pertimbangan-pertimbangan kepentingan publik agar bisa diakses siapa saja;

Untuk menginformasikan kepada publik untuk mengambil tindakan pribadi;

Untuk menjamin hak individu dengan menjadi anjing penjaga pemerintah;

Untuk melayani sistem ekonomi, misalnya dengan menghubungkan pembeli dan penjual melalui iklan;

U tuk e ediaka hi ura a g aik, apa pu arti aik di setiap uda a pada suatu era;

Untuk menjaga otonomi finansial dalam rangka menghindari kepentingan dan pengaruh tertentu.

Dalam studi-studi organisasi, unionisasi merupakan upaya untuk meningkatkan posisi tawar

pekerja sebab unionisasi menghimpun suara individual pekerja menjadi suara kolektif pekerja. Perubahan skala suara pekerja itu meningkatkan posisi tawar yaitu dari posisi tawar skala individu menjadi skala kolektif. Untuk meneliti bagaimana posisi tawar antara pekerja dan pemberi kerja, Rabban (1991) meneliti perjanjian kerja antara serikat dengan pemberi kerja. Dalam penelitian itu

menunjukkan aspek-aspek perjanjian secara umum yang mencerminkan posisi tawar masing-masing pihak, yaitu:

Mengembangkan standar profesional;

Menyediakan partisipasi profesional dalam pembuatan kebijakan organisasional;

Mengatur kerja profesional;

Menyediakan pelatihan dan pengembangan profesional;

Mengarahkan sumber daya organisasional untuk berkomitmen pada tujuan-tujuan profesional;

Dan mengelaborasi kriteria untuk keputusan terkait personal dan peran para profesional dalam

membuat keputusan tersebut.

Aspek-aspek perjanjian yang mencerminkan suara kolektif pekerja melalui buruh itu juga menginspirasi peran serikat jurnalis. Pada intinya, serikat jurnalis laiknya serikat pekerja lainnya bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan para jurnalis dan memediasinya dengan kepentingan pemilik media. Federasi Jurnalis Internasional (International Federation of Journalists/IFJ) telah lama

(15)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e15 | P a g e Suara kolektif: serikat-serikat jurnalis yang independen penting untuk kebebasan pers sebab melalui serikat jurnalis, jurnalis dapat menghimpun suara dan dapat berbicara atas kepentingan bersama, independen dari pemerintah dan pemilik media;

Mendukung profesionalisme, keamanan, dan etika: serikat jurnalis dibutuhkan untuk mendukung etika dan regulasi diri jurnalisme, keamanan, kerahasiaan sumber, anti kriminalisasi laporan jurnalitik, kebebasan informasi, penyiaran publik dan nilai-nilai layanan publik, profesionalisme dan

menjamin hak-hak ekonomi dan sosial jurnalis dihormati;

Melawan korupsi dan menuntun upah yang adil: hanya melalui upah yang adil dan kondisi kerja –dicapai melalui upaya kolektif- jurnalis dapat mempraktekkan jurnalisme etis dan menolak korupsi;

Menjangkau jurnalis: serikat jurnalis yang independen merupakan alat yang efektif, adil, dan demokratis untuk menjangkau jurnalis di lapangan;

Isu-isu ketenagakerjaan merupakan isu kebebasan pers: serikat pekerja yang independen dibutuhkan sebab isu-isu ketenagakerjaan merupakan isu kebebasan pers.

Kesemua fungsi tersebut bisa dijalani oleh suatu serikat jurnalis, meski tidak semua serikat pekerja melakukan semua fungsi itu.

Singkat kata, hubungan antara serikat pekerja dan pemilik atau pengelola media tidak jauh berbeda dengan hubungan antara pemilik dengan karyawan di bidang ekonomi yang lain, yaitu

hubungan transaksional, artinya masing-masing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Akan tetapi, berbeda dari hubungan bisnis yang lain, hubungan serikat pekerja dengan pemilik media idealnya menempatkan kepentingan publik sebagai kepentingan yang utama (Kovach dan Rosenstiel, 2001) sehingga penentuan keputusan berikutnya bertolak atas dasar tersebut.

Integrasi Profesionalisme Okupasional pada Sistem Media Pers Indonesia

Evetts (2005) menunjukkan dua tipe diskursus profesionalisme, yaitu profesionalisme

organisasional dan profesionalisme okupasional. Profesionalisme organisasional dikonstruksi oleh hirarki media sebagai kontrol sosial dari pihak manajemen, sedangkan profesionalisme okupasional merupakan bentuk ideal dari jurnalisme yang dikonstruksi secara kolegial. Riilnya dalam konteks Indonesia, profesionalisme organisasional adalah nilai-nilai profesional yang dikonstruksi oleh sistem media di

(16)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e16 | P a g e Profesionalisme jurnalisme baik organisasional maupun okupasional sebagaimana yang berkembang dan diidealka oleh jur alis e A glo “a o isa ditegaska tidak per ah lahir se ara ala iah di I do esia. Dala hal profesio alis e okupasio al , ha a elalui diskursus skolastik

profesionalisme jurnalisme muncul (Sumadiria, 2006) yaitu melalui institusi-institusi pendidikan atau lembaga-lembaga pelatihan yang mendifusikan nilai-nilai jurnalisme Anglo Saxon ke Indonesia. Pers

Indonesia selalu bersifat partisan sejak munculnya nasionalisme Indonesia hingga zaman Orde Baru (Sen dan Hill, 2000). Bahkan sejak era reformasi hingga saat ini di mana kepemilikan media semakin oligopolistis (Nugroho, 2011) dan regulasi media semakin dilemahkan (PR2Media, 2011), kebebasan pers a g e ja jika profesio alisasi jur alis e telah dikooptasi oleh kepe ti ga odal sejak a al

reformasi (Hidayat, 2000) dan justru dibelokkan untuk menutup keberagaman pemilik maupun perspektif media, terutama dengan adanya pemilik-pemilIik media yang berafiliasi dengan partai-partai politik pada situasi kontemporer (Armando, 2011).

Secara umum, profesionalisme jurnalisme Indonesia masih terus dikonstruksi oleh para pemangku kepentingan dengan dua cara yang berbeda. Melalui isu penolakan terhadap pembentukan

serikat jurnalis, Satrio Arismunandar (2012) mengamati bahwa media-media berapologi bahwa pembentukan serikat jurnalis akan mendegradasi kemuliaan peran profesional jurnalis dan tugas-tugas profesional jurnalistik. Ironisnya, media-media arus utama yang menolak kehadiran serikat jurnalis dimiliki oleh taipan-taipan yang berafiliasi politik tertentu dan tak mengakui secara terbuka di hadapan publik. Pada kutub yang berbeda, pemangku kepentingan yang lain seperti Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meyakinkan banyak pihak bahwa serikat jurnalis akan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kuasa pemilik media melalui berbagai upaya yang dilakukan sehingga profesionalisme jurnalisme bisa dijaga (Arismunandar, 2012).

Terlepas dari ada tidaknya motif penggiringan jurnalis ke pemahaman yang keliru terhadap

serikat jurnalis oleh para pemilik media , pembacaan Arismunandar (2012) tersebut mencerminkan kontestasi diskursus profesionalisme antara dua kecenderungan yang berbeda seperti yang diungkapkan oleh Evetts (2005). Berdasarkan fakta-fakta yang ada, secara hipotetis profesionalisme yang diusung media-media di Indonesia umumnya merupakan mekanisme kontrol sosial dari pengelola media.

(17)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e17 | P a g e Indonesia, negosiasi antar tuntutan-tuntutan profesionalisme tersebut terjadi di dalam diri jurnalis. Hanya sedikit serikat jurnalis yang menggawangi profesionalisme jurnalisme di Indonesia dari jumlah total serikat jurnalis yang terbatas. Jumlah serikat profesi jurnalis yang tak banyak itu mencakup media-media yang mapan di Pulau Jawa dan sudah termasuk serikat jurnalis lintas media-media, sementara itu puluhan ribu jurnalis lainnya tidak tergabung dalam serikat16 sehingga secara hipotetis mereka lebih

didominasi oleh wacana profesionalisme organisasional. Kesimpulan

Dalam cara berpikir fungsionalisme, pers selalu dituntut untuk berfungsi ideal untuk membantu memelihara keharmonisan dalam sistem masyarakat. Profesionalisme jurnalisme lahir dan berkembang

di kebudayaan Anglo Saxon setelah tradisi fungsionalisme dan sosiologi profesi menguat pada konteks kebudayaan tersebut. Nilai-nilai tersebut lantas tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia baik melalui jalur skolastik maupun kolegial terutama melalui asosiasi-asosiasi jurnalis. Asosiasi atau serikat jurnalis merupakan salah satu elemen dalam sistem media yang diakui secara teoritik dapat mempertahankan profesionalisme jurnalisme yang okupasional. Akan tetapi, sebagaimana yang juga

tengah dialami oleh Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, pelaku pers Indonesia dianggap tak berlaku profesional (okupasional) seiring dengan meningkatnya konglomerasi media. Profesionalisme yang berlaku adalah profesionalisme organisasional. Khususnya di Indonesia, profesionalisme jurnalisme tidak pernah sungguh-sungguh lahir dan kuat di Indonesia. Serikat-serikat jurnalis lokal seperti PWI dan AJI masih belum memiliki daya tawar terhadap para pemilik media. Para jurnalis yang berniat membuat

serikat jurnalis pun banyak yang dipecat oleh media tempatnya bekerja. Makalah ini menyarankan agar mutu pers Indonesia tetap terjaga, organisasi media pers justru harus melibatkan serikat-serikat jurnalis dalam membuat keputusan-keputusan manajerial maupun redaksional.

16

(18)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e18 | P a g e Referensi:

Adaja, T.A. , Nigeria Jour alis a d Professio alis : Issues a d Challe ges , News Media and Mass Communication, Vol. 5.

Allen, F.J. (1980), Functionalism and Use and Gratifications: A Comparison, A Thesis Submitted to University of Delaware, diakses

sa e , Westminster Papers in Communication and Culture, Vol. 5(2), 4-23.

Deuze, M , Popular jour alis a d professio al ideolog : ta loid reporters a d editors speak out , dala Media Culture Society, Vol. 27, No.6, hal. 861-882.

E etts, J. , The a age e t of professio alis : a o te porar parado , akalah dala seminar Changing Teacher Roles, Identity and Professionalism, Kings College, London pada 15 Oktober.

von Dohnanyi, J. Dan Moller, C. (2008), The Impact of Media Concentration on Professional Journalism. Vienna: OSCE.

Ho er, “. da Lauk, E. , The Parado es of Jour alisti Professio : A Histori al Perspe ti e , Nordicom Review, 24 (2), 3-18.

Kolari, E. , Jour alisti profesio alis as o te tual e terprise , Working Paper dipresentasikan pada 18th Nordic Conference for Media and Communication Research, Helsinski, 16 Agustus. Kovach, B. dan Rosenstiel, T. (2001), Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui

Wartawan dan Diharapkan Publik. Pantau: Jakarta.

M Ches e , ‘. , The pro le of jour alis : a politi al e o o i o tri utio to an explanation of the risis i o te porar U“ jour alis , Journalism Studies, Vol. 4(3), 299-329.

McQuail, D. (2009), M Quail s Mass Co u i atio Theory. California: Sage Publications. Nola , D , Professio alis ithout professio s? Jour alism and the Paradox of

Professio alisatio , School of Culture and Communication University of Melbourne. O Keeffe, “.ed., (2010), Journalism, Unions in Touch with the Future, A Report of the International

Federation of Journalists, Brussels: IFJ.

Sen, K. dan Hill, DT. (2000), Media, Culture, and Politics in Indonesia, Jakarta: Equinox Publishing. Sumadiria, ASH.(2006), Jurnalistik Indonesia: Menulis Beriita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis

Profesional, Bandung: Simbiosis Rekatama Media.

Te el, J. , Pu li e light e t or pri ate i terest? , Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.363, 79-86.

(19)

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e19 | P a g e Warre , C. , Shaping Journalism: How journalists work together , prosidi g pada Co fere e i

Media Developmet di Myanmar, 12 Maret.

Warre , C. , The e us et ee i depe de t jour alists u io s, press freedom and poverty eradi atio , akalah pada A Strategic Policy Discussion Between Donors and UNESCO, 4 Mei. Wiik, J. (2010), Journalism in transition: the Professional Identity of Swedish Journalists, naskah tesis

doktral untuk University of Gothenberg.

Wile sk , H.L. The professio alizatio of e er o e? , American Journal of Sociology, Vol. 70 (2), 137-158.

Wits hge, T. da N gre , G. , Jour alis : professio u der professure? Journal of Media Business Studies, Vol. 6 (1), 37-59.

Internet:

http://www2.thejakartapost.com/news/2001/03/01/press-union039s-role-media-professionalism.html

Gambar

Gambar 1. Organisasi media dalam ruang tegangan sosial.
Gambar 2. Hubungan yang overlapping antara pemilik media, serikat pekerja, dan publik
Gambar 3. Proses pembentukan dan pemeliharaan profesionalisme jurnalisme. Adaptasi dari McQuail (2009)

Referensi

Dokumen terkait

“Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel bebasnya dalam penelitian ini

Sedangkan pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Dewan Pengawas Syariah dan kepatuhan syariah tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Islamic Social Reporting

FAI Universitas Muhammadiyah Palembang 33 STAI

nasi yang dibentuk seperti gunungan atau setengahlingkaran yang ditaruh di atas tampah yang dilengkapi dengan lauk pauk, digunakan untuk kenduri. s|gO gOlOG nasi

Grafik menunjukkan hubungan lendutan terhadap penambahan beban dari balok.beton.bertulang..HVFA- SCC..50%.dan.beton normal cenderung tidak berbeda jauh dimana nilai

Perhitungan penurunan frekuensi sebagai akibat tripnya salah satu unit pembangkit dimaksudkan untuk merencanakan pelepasan beban dengan menggunakan Under Frekuensi

i((ia% Li((i) %)d)ii!i#a “Ethics as the normative science of conduct of human being living in societies – a science which judges this conduct . to be right or

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Indeks kepuasan masyarakat pada Kecamatan Medan Selayang adalah 75,07 sehingga mutu pelayannanya “B”, Indeks Kepuasan Masyarakat di Kecamatan