PENGARUH VARIABILITAS IKLIM: ENSO DAN IODM
DI BENUA MARITIM INDONESIA
Tugas Pengayaan
Interaksi Atmosfer-Laut
Oleh:
DINDA TRI HANDAYANI
PROGRAM STUDI SAINS KEBUMIAN
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2 | P a g e
PENGARUH VARIABILITAS IKLIM: ENSO DAN IODM
DI BENUA MARITIM INDONESIA
Oleh: Dinda Tri Handayani (22411306)
Pendahuluan
Wilayah Indonesia merupakan daerah kepulauan terbesar di dunia sehingga lebih dikenal dengan sebutan Benua Maritim Indonesia (BMI). Indonesia termasuk pada daerah ekuatorial yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Letak Indonesia yang seperti itu menjadikan wilayahnya memiliki keunikan iklim yang berbeda dengan wilayah lainnya, yang selain memberikan keuntungan tetapi juga rawan akan fenomena penyimpangan iklim yang beraksi di kedua samudera tersebut.
Pengaruh dari benua Asia dan Australia terhadap wilayah Indonesia adalah adanya fenomena monsun yang disebut dengan sistem monsunal Indonesia. Sedangkan pada kedua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik terdapat fenomena yang khas yang mempengaruhi variabilitas iklim Indonesia. Fenomena yang teridentifikasi di Samudera Hndia dikenal sebagai Indian Ocean Dipole Mode
(IODM). Sedangkan di Samudera Pasifik terdapat fenomena yang serupa yaitu El Nino-Southern Oscillation (ENSO).
1. Indian Ocean Dipole Mode
3 | P a g e
outgoing longwave rad
(Yamagata, 2004).
Gambar 1. Anomali suhu
pemanasan, warna biru menu
meningkat, serta
IOD memiliki fase pos permukaan laut turun di Australia, pantai timur J berupa meningkatnya su timur Afrika dari sebagia (Marchant et al, 2006). lndikator yang digunaka
Mode Index (DMI). DM barat Samudra Hindia (A Samudra Hindia (ASPL DM1 dapat dituliskan se
radiation (OLR), dan anomali ketinggian per
uhu permukaan laut pada saat kejadian IOD. Warna merah m
nunjukkan pendinginan, warna putih menunjukkan aktivitas
rta tanda panah menunjukkan arah angin (www.jamstec.go.
ositif dan fase negatif. Fase IOD positif terjad di bagian selatan-timur samudera Hindia di bagia r Jepang, dan Indonesia. Kemudian diikuti denga suhu permukaan laut di bagian barat samudera
gian pantai utara Madagaskar sampai pantai utara
4 | P a g e
Dipole Mode Positive
wilayah barat Sumatera Afrika yang bertekanan Sumatera ke bagian tim konvektif di wilayah Afr di wilayah Sumatera te
(DMN) terjadi sebalik intensitas curah hujan bertambahnya intensitas
IOD secara langsung m Walker (Walker Circula
perbedaan tekanan anta Bagian Barat dengan ba
simpangan baku dari kedua anomali di kedua lo engan IODM positif, sedangkan DMI negatif di indeks di atas 0.35 digolongkan sebagai IOD (+)
gai IOD (-).
Gambar 2. Lokasi fenomena Indian Ocean Dipole.
west: Pantai timur Afrika dan Kotak east Pantai barat Suma
(http://www.bom.gov.au/climate/IOD/about_IOD.shtml)
(DMP) terjadi pada saat tekanan udara permu ra relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan w an relatif rendah, sehingga udara mengalir dari timur Afrika yang mengakibatkan pembentukka frika dan menghasilkan curah hujan di atas norm terjadi kekeringan. Sedangkan untuk Dipole M
liknya. Apabila DMP berhubungan dengan n di bagian barat BMI, maka DMN berhubu as curah hujan di bagian barat BMI.
5 | P a g e
udara berlangsung secar kumpulan massa udara (wilayah dengan kumpu selama kejadian-kejadian di tengah bagian ekuator timur ke barat pada saat
IODM menguat pada b November. Siklus IODM negatif di sekitar selat L bersamaan dengan itu te Sumatera. Pada bulan J terus menguat dan melua pantai barat Sumatera. P laut positif di Samudera Samudera Hindia ekuat sepanjang ekuator dan p bulan Oktober, dan sela Desember.
Gambar 3. Komposit kejad
permukaan laut dan angin d
ara horizontal dari tekanan udara yang tinggi (wi ara dingin) menuju wilayah dengan tekanan
pulan massa udara hangat). Anomali suhu pe ian IODM berhubungan erat dengan anomali ang tor Samudera Hindia. Angin bertiup berubah arah at kejadian IODM positif (Saji et al, 1999). a bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bu
DM diawali dengan munculnya Anomali suhu pe at Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei
terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sek Juli hingga Agustus, Anomali suhu permukaan luas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan . Pada bulan ini juga mlilai muncul Anomali suh era Hindia bagian barat. Adanya dua titik anoma uatorial ini, semakin memperkuat anomali angin n pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai pu
elanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan
jadian Dipole Mode (1961, 1967, 1972, 1982, 1984, 1997).
dengan signifikan melebihi 90% ditunjukkan oleh arsiran d
6 | P a g e
Dampak kejadian IODM di Indonesia
a. Dampak terhadap curah hujan
Jika anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +) (Ashok et al. 2001).
Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam. Pada fase ini kondisi hidrologi selat Sunda didominasi massa air yang relatif dingin. Wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia Bagian Barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena IOD dengan perilaku curah hujan di wilayah Indonesia Bagian Barat.
b. Dampak terhadap perikanan dan biota laut di Indonesia (Syamsudin, 2009)
1) Terjadi Algae bloom (blooming phytoplankton) di sepanjang pantai barat Sumatra dan selatan jawa yang dipicu oleh meningkatnya intensitas upwelling
7 | P a g e
dan menjadi lebih dominan, maka kelangsungan hidup terumbu karang di perairan tersebut akan terancam.
2) Pada masa Indian Ocean Dipole Negative, pergerakan ikan di daerah ini berlangsung selama Oktober sampai dengan Maret . Fase negatif ditandai dengan dominasi anomali positif suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur dan menyebabkan curah hujan di wilayah ini meningkat secara tajam. Dengan demikian, pada masa ini merupakan kondisi buruk untuk perikanan di daerah Selat Sunda (perairan antara Jawa dan Sumatra) karena dengan curah hujan tinggi, suhu perairan juga mengalami penurunan drastis yang memungkinkan ikan melakukan migrasi ketempat yang lebih hangat.
3) Pada masa Indian Ocean Dipole positif terjadi 3 fase perubahan suhu di daerah selat sunda (antara Sumatra dan jawa), secara berurutan sebagai berikut :
• Fase pertama yang terjadi di daerah selatan P. Jawa dan Sumatra yang mengalami fase pendinginan suhu air laut permukanaan, (ditandai dengan dominasi anomali negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia bagian timur), mulai terbentuk pada bulan Juni dan semakin menguat pengaruhnya akibat propagasi gelombang Rossby yang bergerak ke barat dari sumbernya di perairan sekitar Laut Timor, sepanjang 10-12o LS, pada bulan Juli dan mencapai puncaknya Oktober. Dengan demikian Samudera Hindia bagian timur yang mencakup perairan Selat Sunda didominasi massa air relatif dingin yang tidak kondusif untuk ikan-ikan permukaan berdarah dingin (tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya) sehingga mereka akan melakukan migrasi ke tempat-tempat yang lebih nyaman mereka huni. Karena pada keadaan aslinya permukaan air laut bersuhu hangat.
• Namun selama massa transisi dari Musim Barat ke Timur, Arus Musim yang mengalir sepanjang pantai selatan P. Sumatra dan Arus Katulistiwa Selatan
8 | P a g e
• Pada fase ketiga kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998 Penampakan upwelling di mulut Selat Sunda (barat Sumatra) dan diikuti dengan pembentukan massa air hangat di perairan internal Selat Sunda, merupakan kondisi ideal lingkungan hidup ikan (terjadi sebelum penurunan suhu secara signifikan pada bulan September.
c. Dampak Terhadap Propagasi Madden Julian Oscillation (MJO) (Sanjaya, 2008)
MJO dicirikan oleh pembentukan kolam panas di Samudera Hindia bagian Timur dan Pasifik hagian barat, dengan konveksi awan cumulus tebal diatasnya dan dominasi angin baratan. Sedangkan IOD positif dicuian oleh menurunnya suhu permukaan laut di bagian timur Samudera Hindia dan meningkatnya suhu permukaan laut di bagian barat Samudera Hindia dengan dominasi angin timuran. Secam umum pada saat terjadinya MJO maka wilayah Indonesia akan mempunyai curah hujan di atas normal. Sedangkan pada saat terjadi IOD positif curah hujan di wilayah Indonesia akan di hawah normal (kering).
Pada bulan Oktober 2006 Madden Julian Oscillation (MJO) mulai berkembang di Samudera Hiidia, pada saat yang bersamaan di Samudera Hindia juga terjadi
Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Akibat terjadiiya kedua fenomena ini menyebabkan MJO yang sebarusnya menjalar ke arah timur menuju Samudera Pasifik, tertahan di Samudera Hindia dan akhimya meluruh karena adanya fenomena IOD positif.
9 | P a g e
10 | P a g e Fenomena ini awalnya menggambarkan masukn Influx ini biasanya terja umat Kristiani. Selanjutn pengkajian terhadap d keterkaitan antara El Nin
lndikator yang digunak (SOI) dan anomali su permukaan laut di Pasif dengan SPL tinggi mer konvektif, sehinga menja
Gambar 3a. Sirkulasi Walker
Oscillation
scillation (ENSO) merupakan fenomena interak a Pasifik, dimana El Nino adalah fenomena laut
dalah fenomena atmosfer.
alah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirk ya digunakan oleh Nelayan Peru di Pantai knya air hangat yang kaya akan nutrient dari telu rjadi pada bulan Desember bertepatan dengan Ha jutnya para oseanografer dan meteorologist tertar dinamika lautannya, hasilnya menunjukkan
ino dengan Osilasi Selatan (OS).
akan untuk mengctahui ENSO adalah lndeks O suhu permukaan laut di Samudera Pasifk. sifik Ekuator berkaitan erat dengan sirkulasi W
erupakan pusat tekanan udara rendah dan meru njadi penggerak utama sirkulasi Walker selanjutny
Pada sirkulasi w
ker normal dan ocean
laut-11 | P a g e
Gambar 3b. Sirkulasi Walker
DAMPAK ENSO DI IN
a. Terhadap curah hujan
ENSO merupakan s di akhir tahun akan d
Beberapa daerah tro kondisi kering akib peningkatan curah h
serta kondisi kering Filipina hal ini dikare
El Nino maka titik k bergeser mengiku sehingga terjadi sirkulasi Walker. F dikenal sebagai El N
3b). Fenomena yang dengan kejadian El La Nina, yaitu daerah SPL tingg sehingga terjadi pe konvektif ke barat pu
ker normal dan ocean saat El Nino
INDONESIA
jan di Indonesia
salah satu bentuk penyimpangan iklim di Sam gan kenaikan suhu permukaan laut (SPL) di daera
timur. Pada kondisi normal, daerah konveksi ber sifik. Namun, pada kondisi El Nino, zona konvek mudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi me ibatnya bagi Indonesia musim penghujan yang bi n diganti dengan kemarau karena pengaruh El Nino
tropis, termasuk Indonesia, secara langsung dipe kibat peristiwa ENSO. Periode El Nino berk
hujan sepanjang Samudera Pasifik bagian timu
ing di atas normal terjadi di Australia utara, In arenakan terjadi subsidensi udara atas di pasifik b
12 | P a g e
Indonesia, sehingga fenomena El Nino m berkurang, tingkat be
El Nino tersebut. Na benua maritim (kepu oleh fenomena El Ni
b. Terhadap transpor m
Transpor massa air bagian barat laut Se tenggara pergerakann La Nina.
Gambar 4. Transpor masa air
c. La Nina Kuat (Nov, 1988
ga konveksi kurang aktif ketika tahun El ni menyebabkan curah hujan di sebagian besar wila berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung d Namun karena posisi geografis Indonesia yang di epulauan), maka tidak seluruh wilayah Indonesia Nino.
massa air laut di Selat Malaka (Muhammad dkk, 2
ir laut pada kondisi El Niño menunjukkan bahw Selat Malaka pergerakannya melemah dan trans annya menguat dibandingkan pada kondisi tahun
air laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), B. El Nino K
988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 1997), f.
(Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
nino. Sehingga ilayah Indonesia g dari intensitas dikenal sebagai esia dipengaruhi
k, 2009)
hwa transpor di nspor di bagian hun Normal dan
o Kuat (Nov 1982),
13 | P a g e lapisan kedalaman 3 1981, Nov 1996), El 1998, Nov 2007) ber lapisan dibawah perm air lapisan permukaa
asi muka laut di Selat Malaka baik pada tahun no r 0,4 sampai 1 m. Pada kondisi tahun Normal (N a Nina (Nov 1988, Nov 1998 dan Nov 2007) ele
ggi berkisar 0,8 m s/d 1 m, sedangkan pada kon ov 1997) elevasi muka air laut jauh lebih rendah
uka air di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Niño K
Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 19
uat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
an laut di Selat Malaka pada kondisi tahun Norma ño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 198
ar 18,5 s/d 20,5 kg/m3 (Gambar 5). Sementara 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (No berkisar 19 s/d 21 kg/m3 (Gambar 6). Tingginya ermukaan dikarenakan adanya paksaan atau tekan
14 | P a g e
Gambar 6. Densitas Permuk
1982), c. La Nina Kuat (Nov
Kua
Gambar 7. Densitas Laut L
(Nov 1982), c. La Nina Kua
Nina K
Elevasi muka air d dibandingkan pada k Malaka pada kondisi
ukaan Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El N
ov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 19
uat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
t Lapisan 30-50 m di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b
uat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (N
a Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
di Selat Malaka pada kondisi tahun El Niño a kondisi Normal dan La Nina. Densitas permukaa isi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niñ
l Niño Kuat (Nov
1997), f. La Nina
, b. El Niño Kuat
(Nov 1997), f. La
15 | P a g e
Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3. Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan densitas laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El Niño lebih besar dibandingkan pada tahun normal.
16 | P a g e
Ashok, K., Z. Guan., dan T. Yamagata. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. (Geophys.Rer.Lett) Marchant, R, C. Mumbi, S. Behera dan T. Yamagata. 2006. The Indian Ocean
Dipole-the Unsung Driver of Climatic Variability in East Afrika. J. Ecol
Muhammad, dkk. 2009. Pengaruh ENSO (El Nino Sothern Oscillation) Terhadap Transport Massa Air Laut di Selat Malaka. Jurusan Ilmi Kelautan Syah Kuala Banda Aceh
Sanjaya, Budi. 2008. Pengaruh Indian Dipole (IOD) Terhadap Propagasi Madden Julian Oscillation (MJO). Skripsi. Fakultas Matematika dan IPA. IPB
Saji, N. H., B. N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999. A DipoleMode in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401:360-363.
Yamgata, T., S.K Behera., J.J. Luo., S. Masson., M. R. Jury., dan S.A. Rao. 2004.
Coupled. Ocean-aatmosphere Variability in The Tropical Indian Ocean. Earth Climate: The Ocean-Atmosphere Interaction. Geophys. Union.