• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Negara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Islam dalam Kebijakan Luar Negeri Negara-negara Islam,

Idealisme Islam vs Pragmatisme: Studi Komparatif Indonesia,

Arab Saudi, dan Turki

Oleh Farah Dina F

(Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Abstract

Islam ever had its victorious moments. The fact that this modern civilization has been much inspired by the glory of Islam can not be denied. Science and knowledge were brought by Islamic scientists and experts who were sometimes forgotten by the historical books and records. Islam was once a driving force ideology that motivated many Islamic leaders to establish Islamic monarchy which based its rule on Islamic rules and teachings. Holy Koran, Hadits, Ijma’, and Qiyas were the main sources of references for the leaders to lead their people. Hundreds of years have been passed. Globalization has brought a new era and surprisingly changed the foreign policy orientation of Islamic states. Would these states stick to their idealism on holding Islamic ideology as one of important factors in their foreign policy? Or Islamic ideology has been no longer as the main driving force in foreign policy making? When the era of Western states glory came, everything has changed, and so did the Islamic states in making their foreign policy. Pragmatism has been seen so far as the only answer to survive on this western capitalism era.

Key Words: Islam, Ideology, Foreign Policy, Islamic States, Western, Pragmatism

Introduction

(2)

mayoritas Muslim saat ini tidak dapat disamakan karena terdapat perbedaan pada latar belakang sejarah, budaya, politik, demografi dan posisinya dalam hubungan internasional. Islam di Asia Tenggara merupakan Islam yang moderat dan khas karena dalam perkembangannya secara substansi telah tercampur dengan budaya lokal. Indonesia dipilih karena jumlah penduduk Muslimnya yang sangat signifikan sehingga dapat mewakili regional Asia Tenggara. Islam di Timur Tengah merupakan Islam yang masih relatif original dan kental dengan warisan peradaban Islam di zaman Rasulullah SAW. Arab Saudi sebagai negara yang pengaruhnya cukup kuat di Timur Tengah dipilih oleh penulis sebagai representatif negera-negara Timur Tengah. Islam di Eropa hari ini semakin menyita perhatian peneliti hubungan internasional. Turki yang sebagian wilayahnya berada di Eropa berdampak pada masuknya pengaruh budaya Eropa ke dalam budaya asli negara runtuhan kerajaan Turki Usmani yang begitu berjaya pada masanya ini. Maka perbincangan mengenai Turki sebagai negara Islam yang kini menjadi sekuler pun semakin gencar dibicarakan.

Jadi, penulis akan menyajikan studi komparatif bersumber kepada literatur-literatur yang terkait dengan masalah bagaimana pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri ketiga negara yang memiliki karakter masing-masing tersebut.

Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Arab Saudi, dan Turki: studi komparatif

(3)

mayoritas negara Islam lainnya. Derajat pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri negara dalam kategori ini cukup kuat. Ketiga, negara Islam yang masih mempertahankan sistem teokrasi seperti Arab Saudi dan Iran. Derajat pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri sebuah negara Islam pada kategori ini sangat kuat.

Lalu cara yang kedua adalah melalui ideologi Pan-Islamisme dan fundamentalisme Islam. Pan-Islamisme adalah ideologi yang menginginkan bersatunya seluruh umat Muslim di dunia ke dalam sebuah entitas politik tunggal yang merupakan satu-satunya rumah bagi seluruh Muslim. Kekuatan ideologi Pan-Islamisme yang mulai pudar karena runtuhnya kerajaan Turki Usmani ini kemudian mendorong para ulama dunia untuk membentuk sebuah organisasi religius internasional bernama Organisasi Konferensi Islam atau disingkat OKI (sekarang berubah menjadi Organisasi Kerjasama Islam). Piagam OKI menginstruksikan bahwa seluruh negara anggota harus melawan kolonialisme dan diskriminasi rasial, usaha bersama dalam mempertahankan situs-situs Islam dari berbagai ancaman, dan melakukan apapun untuk membantu perjuangan umat Islam meraih harga diri, kemerdekaan dan hak-hak nasional. Maka dari itu, OKI telah berhasil menjadi sebuah dewan menteri negara-negara Islam yang berfungsi sebagai wadah dan mekanisme bagi negara anggota untuk berkoordinasi satu sama lain mengenai isu-isu inetrnasional. Pan-Islamisme OKI ini telah membangkitkan semangat kerjasama antar sesama anggotanya dalam setiap kebijakan luar negerinya terkait masalah Islam di hubungan internasional.

Selain Pan-Islamisme, ideologi fundamentalisme Islam juga menjadi cara bagi Islam untuk dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara Islam. Contoh kelompok fundamentalis Islam ini adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaah Islamiyah (JI) Pakistan dan al-Qaeda yang mulai mendirikan cabang di berbagai negara Islam di dunia. Para fundamentalis ini mayoritas memposisikan dirinya sebagai oposisi negara dalam upaya mempengaruhi kebijakan luar negeri negaranya. Kemampuan mereka untuk menciptakan sebuah gelombang protes dan (pada bentuk ekstrimnya) melakukan aksi terorisme menjadi faktor penekan pemerintah dalam pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara Islam.1

Itulah cara bagaimana Islam mempengaruhi sebuah kebijakan luar negeri negara Islam. Selanjutnya penulis akan menyajikan studi komparatif dinamika pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri di tiga negara Islam, yaitu Indonesia, Arab Saudi, dan Turki.

- Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia

(4)

Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, banyak orang mengira bahwa pengaruh Islam sangat kuat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia. Nyatanya tidak. Fakta yang perlu diingat adalah bahwa Indonesia bukanlah negara yang secara jelas menyatakan identitasnya sebagai negara Islam dan tidak menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai sumber undang-undangnya. Sebagaimana dalam kategori yang telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia termasuk dalam kategori ketiga, yaitu negara yang secara samar-samar (tanpa deklarasi jelas) memisahkan politik dari agama.

Indonesia adalah sebuah negara netral yang mengadopsi nilai-nilai Pancasila sebagai basis negara dan memiliki pluralitas etnik, budaya, dan agama. Sebagai konsekuensi, pemerintah memiliki kewajiban untuk mengakomodasi aspirasi kedua kelompok, yaitu aspirasi Muslim (sebagai kelompok mayoritas) dan kelompok minoritas.2

Walaupun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pertama kali diakui oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, rezim Soekarno tidak pernah diarahkan oleh agenda Islam. Sebagai konsekuensi dari dari prinsip bebas aktif, Islam tidak pernah menjadi faktor utama dalam rezim Soekarno. Kealpaan faktor Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia pada rezim Soekarno lebih terlihat jelas ketika Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin pada bulan Juli tahun 1957. Pemerintah saat itu menganggap Muslim sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Maka dari itu, Islam cenderung berfungsi sebagai elemen positif dalam kebijakan luar negeri Indonesia saat perjuangan mendapatkan kemerdekaan.3

Islam di Kebijakan Luar Negeri Indonesia hanyalah berupa fisik, bukan substansi. Hambatannya adalah pertimbangan prioritas domestik, kepentingan negara, dilema identitas, dan masalah-masalah internal. Ketika kebijakan luar negeri Indonesia bersifat non-Islami, kebijakan tersebut di sisi lain juga tidak kontradiktif dengan kepentingan Islam. Hal ini terjadi ketika masa Presiden Soeharto yang tidak ingin terjadi perlawanan dari komunitas Muslim. Masalah dual-identity muncul. Soeharto mengatasi masalah tersebut dengan memberi jatah kepada Islam in terms of form, sedangkan substansinya adalah prioritas kepada dimensi non-religius. Faktor Islam pada kebijakan luar negeri Soeharto berfungsi sebagai instrumen untuk rezim Orde Baru mendamaikan kepentingan politik domestiknya dan kepentingan eksternal regimnya. Semua ini tidak lepas dari ketergantungan Indonesia kepada Barat, yang mana jika Indonesia terlalu mementingkan faktor agama dapat menurunkan kepercayaan Barat kepada Indonesia.4

2 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012

3Ibid.,

(5)

Dari masa pra-kemerdekaan hingga masa pasca-Soeharto, Muslim Indonesia menggunakan Islam sebagai sumber nasionalisme (religius) dan benteng terhadap kolonialisme, eksploitasi, dan represi. Sering dikatakan bahwa pada masa Orde Baru Soeharto yang otoriter, Islam menjadi lebih radikal dari sebelumnya. Kebijakan depolitisasi Islam Soeharto, yakni Muslim boleh mengembangkan dimensi budaya dan religius agamanya tanpa memasuki arena politik, membuat Islam makin tidak berpengaruh. Ketidakmampuan Islam untuk berperan aktif dalam politik, domestik maupun internasional, disebabkan salah satunya oleh tidak adanya partai politik, organisasi atau institusi Islam yang kuat yang menyatukan seluruh Muslim Indonesia.

Jatuhnya Soeharto disambut dengan banyaknya kelompok-kelompok radikal Islam yang muncul di Indonesia. Tujuan utama dari kelompok-kelompok radikal ini adalah untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Bagaimanapun juga, alasan utama berkembangnya kelompok radikal ini adalah karena kegagalan pemerintah untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan konflik etno-religius serta korupsi yang merajalela.5 Maka, dilema-dilema

yang terjadi pada masa Soeharto terulang kembali pada pemerintahan Habibi.

Meskipun peran Islam meningkat dalam politik domestik setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, namun tidak demikian dengan perannya dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Islam tetap sebagai faktor nomor dua dibanding faktor-faktor utama lainnya.6

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid juga terjadi dilema serupa. Rencana Presiden Wahid untuk membuka kerjasama perdagangan dengan Israel ditolak oleh komunitas Muslim. Dalam periode ini Islam berfungsi lebih sebagai mekanisme kontrol daripada faktor utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Pada masa Presiden Megawati justru karakter non-religius semakin nampak pada kebijakan luar negeri Indonesia. Pemerintah tetap dihadapkan pada masalah double dilemmas, yakni dilema masalah ketergantungan terhadap Barat karena masalah-masalah internal, serta dilema dual identitas antara negara non-teokratik atau negara dengan mayoritas Muslim.7

Namun hal yang berbeda terjadi ketika masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai konsekuensi dari demokrasi dan meningkatnya politik Islam, pengaruh Islam meningkat dalam kebijakan luar negeri Indonesia, walaupun dukungan untuk

partai-5Anak Agung Banyu Perwita, Islam “Symbolic Politics”, Democratization and Indonesian Foreign Policy

6 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012

(6)

partai Islam menurun secara signifikan. Faktor-faktor Islam yang mempengaruhi politik cenderung moderat dan demokratis, hal ini menunjukan bahwa mayoritas Muslim di Indonesia adalah moderat dan demokratis. Pasca peristiwa 9/11, Indonesia lebih aktif mengkampanyekan Islam moderat. Indonesia juga berkomitmen untuk berperan aktif dalam isu-isu Islam dalam hubungan internasional. Indonesia berusaha menjembatani negara-negara Barat dan Islam. Pemerintah SBY mengadakan beberapa dialog untuk mengkampanyekan Islam moderat dan meluruskan kesalahpahaman dunia internasional terhadap Islam. Semua hal tersebut memperbaiki citra Indonesia dan Islam di mata Internasional.8

- Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara monarki yang beroperasi dengan sistem yang mengintegrasi politik dengan agama, dimana tidak ada konstitusi, partai politik dan sistem sekuler dan hanya bersumber kepada al-Quran dan Hadits. Hanya hukum Islam yang menjadi pedoman untuk menyelesaikan konflik sipil. Sektor religiusnya adalah bagian dari rezim keseluruhannyakarena elit-elitnya memiliki kepentingan yang sama dengan keluarga kerajaan. Maka dari itu, tujuan fundamental dari kebijakan laur negeri Arab Saudi adalah untuk membawa dan merepresentasikan ortodoksi Islam, meraih kepentingan nasionalnya melalui Islam dan mengkonsolidasi statusnya sebagai pemimpin dunia Islam. Contohnya, Arab Saudi memutuskan untuk mengerahkan usahanya untuk mendukung AS dalam memerangi komunisme Uni Soviet (1979-1989), dan melakukan apapun untuk membantu militer mujahidin Afganistan yang bertujuan untuk mencapai kepentingannya di regional Asia Tengah.9

Islam adalah unsur penting dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi. Sejak tahun 1950an, tiga tema utama yang konsisten terdapat di kebijakan luar negeri Arab Saudi adalah: keamanan regional, nasionalisme Arab dan Islam. Ketiga tema utama ini saling mempengaruhi satu sama lain. Islam memberikan dasar pertimbangan Arab Saudi untuk mencari aliansi dan mungkin yang lebih penting menjadi pemimpin bagi negara-negara Muslim, tidak hanya di Timur Tengah namun juga di regional Asia dan Afrika, seperti Pakistan, Bangladesh dan Somalia.

Islam juga merupakan motivasi utama bagi Arab Saudi untuk melawan komunisme Uni Soviet selama Perang Dingin. Hal ini berarti bahwa dari tahun 1938 hingga 1991, Arab

8 Ahmad Fuad Fanani, SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012

(7)

Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang dianggapnya sebagai negara Tidak Bertuhan. Hal tersebut juga membuat Arab Saudi menjadi aliansi dekat AS.

Sejak invasi Afganistan, muncul isu Somalia, Chechnya dan Bosnia yang menjadi perhatian penting kebijakan luar negeri Arab Saudi. Para alumni universitas Islam juga dibekali spirit Islami. Alumni-alumni inilah yang kemudian dikirim ke berbagai belahan dunia untuk menyebarkan kepentingan Islami Arab Saudi.

Memang saat ini banyak opini bahwa Arab Saudi adalah aliansi dekat AS dan cenderung menjadi proksi kepentingan AS di Timur Tengah. Namun bagaimanapun, unsur Islam masih merupakan unsur utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri Arab Saudi.10

- Dinamika Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Turki

Turki menempati tempat khusus dalam sistem internasional karena posisinya yang berada di perbatasan antara utara versus selatan dan antara timur versus barat. Terlepas dari posisi geografinya yang unik, Turki juga menempati posisi yang spesial diantara peradaban-peradaban yang berbeda: Muslim, Timur Tengah dan Barat. Turki adalah negara dengan mayoritas Muslim tetapi juga menganut versi unik negara sekuler yang menerapkan demokrasi gaya Barat. Walaupun posisi geografis dan budayanya di sistem internasional yang berada di perbatasan tersebut memungkinkan Turki untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang multidimensional, namun Turki telah menetapkan identitasnya sebagai negara “Barat”, khususnya negara “Eropa” dan telah menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat.

Gerakan modernisasi atau westernization di Turki mulai terjadi ketika kekuasaan kerajaan Turki Utsmani menurun di abad 17 dan 18. Ketika Eropa mulai mengalahkan pasukan Turki Utsmani, pemimpin Turki Utsmani mengirimkan sebuah misi ke Eropa dan membuka kedutaan besar di berbagai ibukota Barat untuk memahami superioritas Barat. Ketika misi ini menemukan bahwa keunggulan Barat adalah hasil dari penggunaan ilmu dan teknologi Turki, pemerintah Turki Utsmani ingin membawa pulang teknologi baru ke kerajaan mereka dengan mendirikan sekolah-sekolah teknik mesin, medis, militer dan sipil dengan kurikulum sekuler dan positivis.

Tanzimat, istilah untuk reformasi Kerajaan Turki Utsmani, segera dimulai. Contoh sistem sekular yang diterapkan diantaranya sekolah medis militer pada tahun 1827, sekolah

(8)

militer pada tahun 1836 dan fakultas ilmu administrasi pada tahun 1859. Walaupun tujuan dari pendirian institusi-institusi ini hanya untuk mengadopsi aspek-aspek material peradaban Barat, ide-ide positivis dan nilai-nilai budaya Barat juga mulai menyebar dengan cepat, khususnya diantara kelas-kelas sosial baru yang terbentuk oleh sistem pendidikan sekuler di kerajaan Turki Utsmani.

Khususnya di sekolah medis militer, pembelajaran pengobatan modern, Biologi dan Fisika berhasil membawa mental rasionalis dan positivis ke dalam pemikiran murid-muridnya yang kelak menjadi agen reformasi Turki secara besar-besarnya. Menciptakan kelas-kelas birokrat dan militer dengan ide-ide sekuler dan materialis berarti bahwa reformasi yang terjadi di Turki pada abad 19 dan 20 kemudian dibawa oleh kelas-kelas ini, bukan masyarakat secara luas. Walaupun proyek modernisasi ini pada mulanya ditujukan untuk menyelamatkan kerjaan Turki Utsmani yang mulai hancur, namun pada prakteknya modernisasi ini melampaui jauh tujuan tersebut dan pada pertengahan kedua abad 19 banyak hukum-hukum Barat diterapkan.

Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Menurut sebuah kelompok oposisi bernama Pemuda Utsman (The Young ottoman), reformasi modernisasi adalah usaha imitasi sistem Eropa yang mengesampingkan nilai-nilai tradisional Utsmani dan Islam. Mereka menilai bahwa reformasi belum mampu menyelamatkan kerajaan Turki Utsmani, malah membuat kerajaan tunduk pada kepentingan Eropa. Menurut mereka, kerajaan harus mengikuti jejak negara-negara liberal Eropa namun tetap mempertahankan hukum-hukum Islam.

Penyebaran ideologi Eropa melalui sistem pendidikan yang sekuler di kerajaan juga menciptakan generasi baru elit-elit Barat yang melawan rezim Raja Abdulhamit II. Mereka mendirikan komite kecil bernama Ittihat ve Terakki Cemiyeti (Committe of Union and Proggress, CUP). Sebagian anggota dari mereka ditangkap oleh kerajaan namun sebagain berhasil melarikan diri ke Paris, Perancis. Kelompok yang berada di Perancis ini menamakan dirinya sebagai Pemuda Turki (The Young Turks). Ide-ide Pemuda Turki ini dengan cepat menyebar dan menghasilkan sebuah revolusi di tahun 1908 yang membuka era konstitusional kedua dalam sejarah Turki.

(9)

dan pendidikan di Turki yang mendiskreditkan posisi Ulama. Terjadi persaingan utama antara tiga ideologi yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Turki pada saat itu, yaitu Utsmanisme, Pan-Islamisme dan Pan Turkisme. Namun ada juga ideologi Westernism

sebagai ideologi tandingan dari ketiganya. Pengikut Utsmanisme dan Islamisme yang tidak melawan ide peminjaman nilai-nilai, ilmu dan teknologi Barat untuk Turki berusaha untuk mengkorporasi unsur-unsur Barat tersebut kedalam prinsip-prinsip Islam. Namun westeners percaya bahwa jika Turki Utsmani ingin mengadopsi peradaban Eropa maka harus dilakukan secara total, tanpa harus mempertahankan unsur Islam.

Kemudian terjadilah revolusi Kemalisme pada awal tahun 1920 an yang kemudian berusaha untuk meninggalkan seluruh nilai-nilai Islam dalam kebijakan luar negeri Turki. Pada saat itulah terjadi perubahan dari sistem Kerajaan Turki Utsmani menjadi Republik Turki. Menurut elit Kemalis, hanya ada satu peradaban: Eropa. Kemudian Kemalisme menjadi ideologi resmi Republik Turki. Hal ini membawa dampak penting bagi pembentukan kebijakan luar negeri Turki. Kontruksi identitas baru ini memberikan

frameworks baru bagi para pembuat kebijakan. Turki saat itu mulai bergabung dengan berbagai institusi internasional modern.

Namun karena reformasi kemalisme ini hanya menyentuh para elit kota dan tidak menyentuh seluruh masyarakat yang ada di pedesaan, maka kemudian terjadilah kebangkitan Politik Islam. Politik Islam ini mulai menantang validitas orientasi kebaratan Turki dan menginginkan sebuah perubahan dalam kebijakan domestik dan luar negeri Turki. Ketika Partai Kesejahteraan Islam memenangkan pemilu pada tahun 1995, pemimpin partai tersebut (Necmettin Erbakan) mulai menjalin hubungan dekat dengan negara-negara Muslim Timur Tengah dan memotong hubungan Turki dengan Kristian Barat dan Israel. Kemudian muncul Partai Islam lain seperti AKP (Justice and Development Party) yang meneruskan kebangkitan Politik Islam.

Dominasi AKP dalam kebijakan Turki menjadi perhatian khusus AS dan para sekutunya. Dominasi AKP ini mengerosi demokrasi dan fungsi check and balances dalam pemerintahan Republik Turki.11

Sebagai kesimpulan, sejak kelahirannya tahun 1923, kebijakan luar negeri Republik Turki merupakan ekstensi dari kebijakan domestiknyandan perdebatan kebijakan luar negeri tersebut berkembang di sekitar isu identitas Turki dan akan berlanjut seperti itu. Secara

(10)

spesifik, pembagian sekuler atau Islamis telah menjadi determinan utama dalam pembentukan kebijakan luar negeri Turki. Tantangan para Islamis ketika bangkitnya Politik Islam di Turki saat ini menjadi pertimbangan penting bagi pembuat kebijakan. Bagaimanapun juga hal ini tetap menjadi tugas sulit bagi para Islamis karena ketika Turki mengkontruksi identitasnya, Turki menjadikannya unsur penting dalam kebijakan domestik dan luar negeri. Para Republikan telah menciptakan institusi militer, yudikatif dan pemerintahan secara keseluruhan yang lebih mendukung sekulerisme. Maka, masa depan kebijakan luar negeri Turki akan bergantung kepada negosiasi kedua kelompok ini.12

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa unsur Islam di kebijakan luar negeri Indonesia, Arab Saudi dan Turki mengalami proses sejarah yang luarbiasa. Unsur Islam ini dipengaruhi banyak faktor seperti hadirnya kelompok penekan yang mayoritas berasal dari kelompok Islamis. Faktor lain seperti karakter pemimpin juga mempengharuhi derajat unsur Islam dalam kebijakan luar negeri ketiga negara ini.

Namun pada faktanya unsur Islam semakin kuat di kebijakan luar negeri ketiga negara ini walaupun terkadang masih terdapat pragmatisme disebabkan oleh interdependensi mereka kepada negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Negara Barat jelas akan memberi tekanan kepada ketiga negara ini untuk menganut nilai-nilai Barat agar tetap dapat dikontrol dan tidak mengancam peradaban Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Cagaptay, Soner. Secularism and Foreign Policy in Turket, 2007

Bozdaglioglu, Yucel. Modernity, Identity and Turkey’s Foreign Policy, 2008

Henderson, Simon. Institutionalized Islam: Saudi Arabias’s Islamic Policies and The Threat They Pose, 2003 Yungui, WU. The Influence of Islam over the Foreign Policies of Contemporary Islamic Countries, 2011. Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy, 2003

Perwita, Anak Agung Banyu. Islam “Symbolic Politics”, Democratization and Indonesian Foreign Policy Fanani, Ahmad Fuad. SBY and The Place of Islam in Indonesian Foreign Policy, 2012

Referensi

Dokumen terkait

Building on the overall vision of the Masterplan, the Compendium provides the detailed design guidance required to raise the quality of Sheffield’s built environment, and

In accordance with the steps set forth in the AHP method, hence in this study used seven criteria to determine the winner of the tender procurement project.. Meanwhile,

Perkembangan jaman memaksa kita harus tetap maju dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan yang kita kehendaki. Saat ini `pemerintah telah memberikan kesempatan yang

Tabel 2. Kandungan bahan organik media fermentasi G. lucidum pada level Cr dan lama fermentasi berbeda. TKS= campuran tandan kosong sawit dan serat sawit dengan perbandingan

Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos limbah domestik memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (tinggi tanaman, jumlah

Dari beberapa keunggulan yang dimiliki oleh benih padi varietas IR42, faktor yang menjadi pendorong utama bagi petani untuk menggunakan benih padi varietas IR42

Secara amnya, jika dilihat purata min bagi setiap bahagian seperti dalam jadual 7, dapat digambarkan bahawa persepsi pelajar terhadap aktiviti kokurikulum berada dalam

Sistem dianggap air dangkal jika kedalaman fluida jauh lebih kecil daripada panjang gelombangnya atau persaman air dangkal hanya berlaku untuk gelombang yang