• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA SOSIAL FUNDAMENTALISME ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FENOMENA SOSIAL FUNDAMENTALISME ISLAM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA SOSIAL FUNDAMENTALISME ISLAM

Abdullah Sattar*)

Abstrak

Tulisan ini hendak melihat akar-akar sosial politik muncul dan berkembangnya fenomena fundamentalisme dalam dunia Islam. Gerakan fundamentalisme Islam setidaknya memiliki empat motif yang menjadi arah gerakannya: sebagai gerakan pembaruan, reaksi terhadap arus modernitas, reaksi terhadap westernisasi, dan keyakinan terhadap agama sebagai teologi alternatif. Berpegang pada prinsip-prinsip perlawanan (oppositionalism), penolakan terhadap hermeneutika, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, serta penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, gerakan fundamentalis berkembang dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik-ideologis. Penulis melihat kemunculan fundamentalisme di dunia Islam disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu adanya represi (penindasan) politik, kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat, respon terhadap Barat (rasionalisasi, modernisasi, sekularisasi dan kapitalisme), respon atas situasi politik internasional yang sering membuat dunia Islam tersudut atau bahkan teraniaya, serangan kultural (budaya) terhadap masyarakat Islam dan terakhir kegagalan negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam dalam menyejahterakan masyarakatnya.

Kata Kunci: Fundamentalisme, Islam, Barat

Pendahuluan

Agak sulit kita menelusuri term fundamentalisme di dalam Islam, apalagi sejarahnya. Para pakar menggunakan istilah yang berbeda tentang fundamentalisme Islam ini. Sebagian pakar menyamakan (mengaburkan) fundamentalisme dengan Islam politik, revivalis, literalis, skripturalis, Islamis, bahkan radikalisme dan terorisme.

Istilah fundamentalisme berasal dari Protestan, yang menunjukkan suatu penafsiran literal, namun kreatif terhadap Bibel. Makna yang sebenarnya dari

(2)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

istilah ini diasumsikan sebagai suatu sikap intelektual yang mengklaim telah mendasarkan prinsip-prinsip politiknya dari teks-teks suci.1

Menurut M. ‘Abid Al-Jâbirî, istilah ‘muslim fundamentalis’ awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir, dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘muslim fundamentalis’ adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.

Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), Al-Asymawi berkata bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islampun muncul.

Musa Keilani, sebagaimana dikutip Yusril Ihza Mahendra, mendefinisikan fundamentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada “prinsip” Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikan secara positif (dengan doktrin agama), kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan kepribadiannya sendiri.2

Allan Taylor mendefinisikan fundamentalis sebagai kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis dan menekankan pada pemurnian doktrin. Sementara Patrick Bennerman melihat kaum fundamentalis sebagai kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita menegakkan konsep keagamaan dari abad XVII M, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.3

1 Youssef M. Choueri, Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme, penterj. Humaidi Syuhud dan M. Madkur (Yogyakarta: Qonun, 2003), v.

2 Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme dan Modernisme Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 17.

(3)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 Meminjam istilah Fazlur Rahman, kaum fundamentalis lebih senang kepada slogan-slogan yang bercorak distinktif, yang pada hakikatnya mereka sebagai kelompok “anti intelektual” dan menafikan pluralitas. Simbol atau slogan yang sering digunakan adalah “jihad”. Dengan semboyan tersebut kaum fundamentalis mempunyai kecenderungan membakar emosi massa yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang doktrin teologi keagamaan, dari pada membangun kesadaran teologis dan mencerahkan mereka mengenai realitas sosial politik.4

Karakteristik Fundamentalisme

Karakteristik fundamentalis, menurut Farid Esack ada tujuh ciri; yaitu pertama, berkomitmen pada praktik keagamaan yang ketat; kedua, berkomitmen mentaati teks; ketiga, memiliki pandangan ahistoris bahwa Islam mampu menjawab semua persoalan umat manusia secara permanen; keempat, berkeyakinan akan perlunya penerapan syari’at sebagai yang diyakini fundamentalis telah dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad Saw di Madinah; kelima, berkomitmen untuk menegakkan negara Islam dengan kedaulatan di tangan Tuhan; keenam, permusuhan terhadap semua yang menolak fundamentalis dengan menyebut mereka sebagai orang yang telah memiliki kesesatan dari pada kebenaran; ketujuh, penyangkalan terhadap kebaikan apapun dalam sesuatu yang non-Islam.5

Kelompok fundamentalis, secara sosial dapat dibedakan dengan kelompok yang lain. Setidaknya mereka mempunyai beberapa ciri, misalnya, penggunaan jalabiyah (jubah panjang), imamah (serban), isbal (celana yang panjangnya sampai batas mata kaki), memanjangkan jenggot. Ciri ini melekat bagi kelompok laki-laki. Sedang kelompok perempuannya memakai niqab (pakaian panjang hitam yang menutupi seluruh tubuh). Mereka mengoraginisir diri dalam komunitas-komunitas kecil yang terjalin secara ketat dan eksklusif. Sebutan-sebutan anta, ana, akhi dan lain-lain yang berbau arab kental mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Mereka merindukan kehidupan persis sepserti zaman Nabi saw dan para sahabat menjalankannya. Bagi mereka kehidupan yang ideal adalah kehidupan sebagaimana yang dilakukan Nabi. Sedang kehidupan sekarang dianggap sudah westernized.6

4 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 312.

5 Ibid.

(4)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

Kelompok fundamentalis juga sering melakukan ikonoklasme. Iconoclasticism (bahasa Inggris) adalah tindakan penghancuran patung, lukisan, monumen atau simbol-simbol (icons), baik karena alasan teologis maupun politis. Para pelaku tindakan pengrusakan atau yang biasa disebut iconoclasts umumnya berangkat dari pemahaman literal terhadap ajaran agama bahwa patung, lukisan, monumen, dan benda-benda seni adalah “berhala” yang dapat membuat orang beriman menjadi musyrik.7

Menurut Jalaludin Rahmat-sebagaimana dikutip Muhammadun AS- ada empat motif yang bisa dijadikan bahan mendeteksi dan mendefinisikan arah gelombang fundamentalisme. Yakni sebagai gerakan pembaruan, reaksi terhadap arus modernitas, reaksi terhadap westernisasi, dan keyakinan terhadap agama sebagai teologi alternatif.

Pertama, sebagai gerakan pembaruan. Dalam konteks ini, kaum fundamentalis ingin menggugah kembali nalar berpikir manusia yang terjebak dalam berbagai aliran pemikiran yang terpencar, sehingga tidak mampu bersatu membangun teologi baru yang progresif dan proyektif. Untuk itu mereka berusaha sekuat tenaga melakukan gerakan pembaruan umatnya dengan merujuk kembali pada ajaran dasar yang telah diyakini selama ini, kemudian membangun gerakan progresif yang mampu menceraikan umat manusia. Dalam dataran ini, fundamentalisme sangat bermakna posisitif, karena kaum fundamentalis menggugah umat manusia dari kealpaannya.

Kedua, sebagai reaksi terhadap arus modernitas. Hal ini termasuk dalam kategori pendekatan sosiologis. Atau dalam bahasa Bassam Tibi, ia digunakan sebagai perlawanan terhadap ordo sekuler (secular orde). Itulah sebabnya fundamentalisme sesungguhnya bukan semata-mata penghayatan agama kembali, tetapi merupakan a prartical policy preference. Lebih berupa penekanan pada persoalan kekuasaan politik. Dalam konteks ini, fundamentalisme tidak hanya terjadi dalam umat Islam (sebagaimana yang berkembang selama ini), namun bagi Tibi fundamentalisme juga telah berkembang bagi kalangan Kristen dan gerakan religi-politik dalam konteks budaya lainnya, seperti gerakan Khalistan di kalangan kaum Sikh atau revivalisme Hindu di India. Bahkan bagi Tibi, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Ia hidup dan

kuat ke masa lalu, dimana masa lalu dianggap sebagai zaman keemasan yang harus dihadirkan kembali di era kini. Di samping intoleran, mereka cenderung pada kekerasan karena keinginannya yang kuat untuk mengubah orang lain dan lingkungannya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. (lihat Haidar Ibrahim Ali, “Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme”, dalam http//pcinu-mesir.tripod.com.Lihat juga Asep Syamsul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), 34.

(5)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 berkembang dalam agama-agama lain. Namun dalam perkembangannya, pers Baratlah yang sering mengaitkannya dengan Islam. Dan, kaitan-kaitan inilah yang sebenarnya sedang dilawan Islam, namun perlawanan mereka ternyata banyak diselubungi oleh kepentingan-kepentingan politik yang hegemonik juga.

Ketiga, reaksi terhadap westernisasi. Dalam konteks ini, menarik apa yang dijelaskan Samuel Huntington bahwa telah terjadi perang peradaban (the clash of civilization) antara Barat (The West) dan Timur (The East). Tesis Huntington inilah yang kemudian memicu dua peradaban besar ini untuk selalu bermusuhan setiap waktu. Barat yang merasa berkuasa selalu melancarkan hegemoni, sementara Timur yang berada di bawah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan hegemoni Barat. Kaum Timur seolah ingin memutus apapun yang berasal dari Barat. Dalam konteks inilah kaum fundamentalis berkembang luar biasa.

Keempat, keyakinan terhadap agama sebagai teologi alternatif. Dalam hal ini, umat Islam sering terjebak. Kaum fundamentalis Muslim banyak tejebak bahwa Islam sebagai agama yang akan menyelesaikan segala problem dunia. Islam adalah agama sekaligus ideologi. Yang sering muncul di sini Islam adalah agama yang tinggi, bahkan tidak ada yang menyaingi (al-islam ya'lu wala yu'la alaihi), Islam sebagai agama sekaligus juga jihad (al-Islam dinun wa jihadun) Islam selalu sesuai dengan kondisi apapun (al-islam solihun likulli zamanin wa makanin), dan lain sebagainya.8

Menurut Marty, ada beberapa prinsip yang dipegang teguh oleh kaum fundamentalis; pertama, perlawanan (oppositionalism). Menurut Marty, fundamentalisme dalam agama apa pun mengambil bentuk perlawanan-yang sering bersifat radikal-terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekulerisme, maupun tata nlai Barat pada umumnya. Acuan dan tolak ukur sebuah ancaman tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur;an, dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi saw.

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika, dengan kata lain kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal-sebagaimana adanya karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.

(6)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralitas merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literer kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai as it should be, bukan as it is. Dalam kerangka ini, masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan teks kitab suci, dan bukan sebaliknya, teks atau tafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis, dan bertujuan kembali pada bentuk masyarakat “ideal” seperti pada zaman Nabi dan kaum salaf, yang dipandang sebagai pengejawantahan atas kitab suci secara sempurna.9

Fenomena Sosial Fundamentalisme Islam 1. Dari Agama ke Politik

Para orentalis menganggap Islam fundamentalis sebagaimana fundamentalisme secara umum. Watt mengemukakan ciri-ciri bagi orang Islam seperti: teguh, tidak mudah goyah, hilangnya pikiran perkembangan, dan wataknya tidak berubah, Islam cukup mengambil sample dari masa-masa pertama.

Gellner melihat Islam fundamentalis itu mempunyai sifat kesederhanaan, penuh dengan kekuatan, militansi yang kadang-kadang keras, dan gerakan menjaga masyarakat, mayoritas kehidupannya miskin, mampu mengkondisikan masyarakat dengan kebudayaan kuno yang terkandung dalam akidahnya, serta menunjukkan sebab-sebab kesengsaraannya itu disebabkan oleh penyimpangan dari jalan yang benar, dan solusi dari semua ini adalah kembali kepada etika dan kekuatan identitas.

Sebagian lagi berpendapat, bahwasanya fundamentalisme adalah ideologi yang kuat pada dunia ketiga yang bergerak untuk mencapai kemerdekaaan dari para penjajah, namun pada saat sekarang ini terkadang sekedar menjaga identitas kebudayaan dari arus globalisasi.

Di antara orang-orang yang mempunyai pandangan dan analisis terhadap gerakan kebangkitan Islam kontemporer seperti ini adalah mantan Presiden Amerika Richard Nixon yang berkata dalam bukunya, Seize the Moment, mereka adalah orang-orang yang digerakkan oleh kebencian

(7)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 mereka yang sangat kepada Barat. Mereka bersikukuh mengembalikan peradaban Islam yang lampau dengan cara membangkitkan masa lalu. Mereka bertujuan mengaplikasikan syariat Islam dan mengampanyekan bahwa Islam adalah agama dan Negara. Dan meskipun mereka melihat masa lalu, namun mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan. Mereka bukan orang konsevatif, namun mereka adalah orang-orang revolusioner.10

Sepanjang sejarah manusia, perubahan sosial besar dan pergolakan politik selalu diiringi kebangkitan kembali agama. Inilah fenomena sosiologis dan sejarah yang dapat diamati melintasi batas-batas negara, suku bangsa, dan peradaban.Selama pendudukan bangsa Mongolia atas Rusia (1237-1480), misalnya, Gereja Ortodoks mengalami salah satu masa pertumbuhannya yang terbesar. Fenomena serupa juga terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad kesembilan belas di awal Revolusi Industri. Secara sederhana, gejolak sosial mendorong orang mencari kestabilan dan keamanan dengan kembali ke sesuatu yang mendasar dan akrab dengan mereka, yaitu agama. Hal itulah yang juga dialami oleh masyarakat Muslim.11

Fundamentalisme awalnya adalah gerakan keagamaan, namun kemudian bergeser ke ranah politik. Adalah kegagalan rezim penguasa di beberapa Negara Muslim yang mengikuti model pembangunan Barat yang menjadi pemicu eksternal gerakan politik kaum fundamentalis. Gerakan ini juga lahir sebagai respon terhadap kekalahan Arab dalam perang melawan Israel tahun 1967. Dari sini kemudian muncul jargon utama kalangan fundamentalis yang bergema sampai sekarang, “ Islam adalah solusi”.12

James Piscatori dengan tajam mengatakan bahwa "agama, terutama karena pada masa lalu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan mati dan memberikan para penganutnya hubungan moral antara satu dengan yang lain, menjadi sarana yang memberikan orang harapan untuk menjawab pertanyaan baru tentang cara menjadi modern, dan, dengan melakukan hal tersebut, mungkin bisa memperoleh pandangan umum tentang dunia yang lebih meyakinkan. Dalam hal ini, seorang Kristen yang dilahirkan kembali dan seorang Muslim yang menutup dirinya kembali merupakan reaksi yang sama atas fenomena umum tersebut". Berbagai pergolakan yang berhubungan dengan modernitas, seperti yang dinyatakan

10 Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 1999), 19.

11 Nader Hashemi, Pencarian akar fundamentalisme Islam, dalam www.commongroundnews.org.

(8)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

Piscatori, sangat penting untuk memahami kebangkitan fundamentalisme keagamaan.13

Modernisasi, harus ditekankan, merupakan sebuah proses yang traumatis. Barat, membutuhkan waktu ratusan tahun dan proses jatuh bangun untuk mengembangkan berbagai institusi sekuler dan demokratis mereka. Perang agama antar umat Kristen, penganiayaan politik, pemusnahan bangsa, Revolusi Industri, pemerasan tenaga kerja, kebangkitan nasionalisme, dan dua perang dunia telah menghasilkan perubahan masif dalam segala aspek kehidupan – politik, ekonomi, intelektual, dan keagamaan. Dewasa ini kita tengah menyaksikan proses perubahan yang sama, berikut dampak-dampaknya, di berbagai negara berkembang. Hanya saja perubahan-perubahan ini berlangsung lebih cepat di Dunia Muslim (dalam paruh terakhir abad 20) dibandingkan dengan di Barat yang berlangsung selama ratusan tahun.

Penting artinya untuk menghargai bahwa proses modernisasi yang berlangsung di dunia Muslim sangat berbeda dalam berbagai hal. Tidak seperti di Eropa di mana proses tersebut sebagian besar didorong dari dalam masyarakat, dalam masyarakat Muslim, modernisasi muncul sebagai akibat dari sentuhan kolonial dengan bangsa Eropa. Apa yang kini dilakukan oleh umat Muslim dalam mengejar ketertinggalan mereka dari Barat merupakan kegiatan meniru, bukan inovasi. Negara-negara Muslim di masa post-kolonialisme telah terbagi secara tidak sehat ke dalam dua kubu: kelompok elit, yang memperoleh pendidikan Barat dengan nilai-nilai sekulernya dan kelompok mayoritas yang tak mendapatkan semua itu. Pemerintahan-pemerintahan banyak dikuasai oleh rezim-rezim gerontokrasi yang terdiri atas para lelaki berusia lanjut, sementara mayoritas penduduk mereka berusia di bawah 30 tahun. Kebanyakan perubahan politik sejak masa kemerdekaan formal dipaksakan dari atas ke bawah dengan melakukan percepatan, bukan dari bawah ke atas melalui proses evolusi sosial dan negosiasi demokratis dari dalam masyarakat sendiri.14

Pada tahun 1935, misalnya, Reza Pahlavi (ayahanda dari Shah terakhir) memerintahkan pasukannya turun ke jalanan Teheran untuk secara paksa membuka–dengan ancaman bayonet–cadar yang menutupi wajah kaum perempuan. Kebijakan ini disaingi oleh negara tetangga Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk yang dengan keras membuat masyarakat Turki menjadi sekuler dan Barat. Dua generasi kemudian, dengan cara yang sama otoriternya dengan pencopotan cadar monarki Pahlavi, Ayatullah Khomeini dan revolusioner Islam-nya memaksa para perempuan Iran

(9)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 memasang cadar. Demikian pula dengan kebangkitan politik Islam di Turki yang sebagian dapat dijelaskan sebagai reaksi balasan terhadap pemaksaan dari atas ke bawah kebijakan-kebijakan sekuler Kemal terhadap masyarakat yang taat beragama– 99,8 % merupakan umat Muslim –hingga menghapus karakter ke-Islam-an Turki. Dari latar belakang inilah kita seharusnya menempatkan dan mempelajari kebangkitan fundamentalisme Islam, yaitu sebagai sebuah fenomena sejarah.

Dalam tinjauan sosiologis, contoh kasus pikiran dan tindakan radikal gerakan muslim fundamentalis bisa disimpulkan muncul karena penekanan-penindasan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan muslim fundamentalis Indonesia pasca reformasi, dan munculnya Jamaah Jihad di Mesir.

Di zaman Suharto berkuasa, gerakan muslim fundamentalis bisa dianggap sepi. Sebab, rezim ini menganut asas tunggal dan menerapkan undang-undang subversi. Sehingga suara-suara yang ‘melenceng’ dari Pancasila ditebas. Dan tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas nasional dihempas. Namun setelah roda reformasi bergulir, gerakan muslim fundamentalis mulai ramai. Mereka yang tadinya tak bebas di zaman Suharto, mulai berani unjuk gigi secara serempak. Dengan mendirikan partai politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik.

Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “alfaridzah al-ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat.15 Dari dua contoh kasus itu, maka cukup

tepat untuk mengatakan bahwa gerakan muslim fundamentalis, secara sosiologis, timbul karena tertindas atau tertekan.

Masih dalam tinjauan sosiologis pula, fenomena muslim fundamentalis ini bisa juga disimpulkan sering muncul dalam keadaan sosial-politik yang tidak stabil. Contoh kongkretnya dapat dilihat pada kasus munculnya Khawarij dan gerakan muslim fundamentalis Indonesia.

Pada zaman khalifah Ali, perang saudara sedang berkecamuk hebat antara kelompok Ali dan Muawiyyah. Kedua belah fihak bersengketa pendapat tentang masalah pembunuhan Utsman dan masalah khilafah. Kelompok Ali bersikeras mengangkat khalifah terlebih dahulu lalu

(10)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

menyelesaikan masalah pembunuhan. Sedangkan kelompok Muawiyyah menuntut penyelesaian masalah pembunuhan terlebih dahulu sebelum khalifah dipilih. Karena masing-masing telah menjadi air dengan minyak, maka rekonsiliasi-perdamaian tak berarti lagi. Sesama muslim itu saling bunuh. Lalu damai dengan sistem tahkim.

Dalam keadaan runyam semacam ini Khawarij yang awalnya masuk dalam golongan Ali keluar darinya dan muncul secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru dan slogan “La hukma illa allah”, mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyyah kafir dan halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyyah masih tetap hidup karena pengawalan ketat.

Adapun kemunculan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, selain karena penekanan, sebagaimana yang diutarakan di depan, adalah karena ketidak stabilan sosial-politik, sebagaimana yang dialami oleh Khawarij pada awal kemunculannya.

Pada akhir pemerintahan Suharto, Indonesia mengalami krisis multi dimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik dan etika semuanya parah. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang. Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim fundamentalis. Maka, setelah genderang reformasi ditabuh dan kebebasan berkelompok terbuka lebar, mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu-kubu, lalu berteriak mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis.

Pergeseran arah orientasi gerakan kaum fundamentalis dari keagamaan ke politik sejatinya bukan karena birahi kekuasaan, melainkan sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam. Bagi kelompok fundamentalis, Islam adalah ajaran yang syumul dan kaffah yang mengandung elemen-elemen yang kompleks tentang kehidupan ini. Ajaran Islam harus terkejawantahkan dalam setiap gerak langkah umatnya. Namun ketika implementasi penegakan syariah terganggu bahkan terganjal karena persoalan politik, maka menerobos pintu-pintu politik adalah pilihan yang tidak dapat dihindari.

(11)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 diametral dengan penguasa keagamaan. Tentu sudah bisa ditebak, penguasa keagamaan kebakaran jenggot dan marah. Bukan persoalan kepentingan pribadi penguasa keagamaan yang dipersoalkan, melainkan kepentingan Penguasa Tertinggi, yaitu tegaknya Syariat Allah di muka bumi ini. Maka menjadi absah manakala penguasa keagamaan ingin merebut kekuasaan politik, agar tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai agama dapat dijalankan dengan baik.

Dalam penelitian yang dilakukan Qasim Zaman tahun 1997, setelah melacak kembali data sejarah awal Islam , sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada bukti yang mengindikasikan adanya pemisahan antara agama dan politik (Negara) atau pemisahan antara ulama dan umaro. Karena itu pemahaman yang memisahkan antara agama dan Negara dan antara ulama dan umaro dalam sejarah awal Islam, secara ilmiah tertolak atau setidak-tidaknya patut dipertanyakan.16

Secara normatif- deduktif maupun empiris induktif, pemikiran maupun praktik menyangkut Negara, pemerintahan maupun politik pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama(agama) dan umaro (Negara) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari ulama yang menginginkan umat tetap berada di jalur ajaran syariah.17

2. Interaksi Sosial

Kepemimpinan dalam fundamentalisme, biasanya lebih bersifat informal dari pada kelembagaan. Bagi fundamentalisme Kristen, kepemimpinan itu berada pada para penginjil besar, penasehat, para ahli yang dikenal konservatif dalam kecenderungan-kecenderungannya, dan para ideologi konservatisme. Otoritas orang-orang itu, dalam fundamentalisme, jauh lebih besar dibanding otoritas para uskup, ketua sinode dan para pemimpin gereja lainnya, di kalangan lembaga kegerejaan, dan lebih besar pula dibanding pengaruh para ahli al-Kitab atau teolog di kalangan kekristenan non-fundamentalis. Fundamentalisme menekankan sang guru dengan pemanutannya.18

16 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara : Perspektif Modernis dan Fundamentalis (Jakarta: Indonesia Tera, 2001), xlv.

17 Ibid.

(12)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

Di dalam fundamentalisme Islam, keberadaan pemimpin dalam kelompok mereka sangat signifikan. Pemimpin atau ketua kelompok fundamentalis menjadi figur sentral. Ketaatan jamaah kemudian menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan dalam batas-batas tertentu ketaatan ini melampaui ketaatan kepada agama itu sendiri. Pelaku kekerasan dan pembunuhan, termasuk bom bunuh diri adalah contoh konkret betapa ujaran Sang pemimpin lebih suci ketimbang firman Allah Swt yang tertuang dalam teks-teks suci. Apa yang dikatakan Sang pemimpin dianggap fatwa yang mutlak benar dan harus diiluti. Boleh jadi adanya bay’at yang dilakukan bagi anggota jamaah baru menjadi semacam pembenar adanya ketaatan yang luar biasa jamaah kepada organisasi, tentu juga kepada pemimpinnya.

Ketaatan jamaah kepada pemimpin mereka bukan tanpa alasan yang kuat. Di samping adanya bay’at yang sudah mereka lakukan, ketokohan Sang pemimpin juga menjadi pemicu. Kharisma, kecerdasan, keteladanan, menjadi variabel yang harus melekat pada Sang pemimpin. Bahkan dalam hal-hal tertentu, pemimpin harus mempunyai indera keenam- ilham- yang dapat menangkap isyarat-isyarat halus dari Allah Swt. Oleh karenya, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, al-Mawdudi adalah sederetan pemimpin di kalangan fundamentalis yang namanya terus berkibar dan dikenang karena ketokohannya.

Pada sisi lain, interaksi antar kelompok sangat solid. Perasaan in group dalam internal mereka sangat kuat. Ajaran Nabi saw bahwa umat Islam bersaudara mereka praktikkan dan terapkan. Sayangnya, ini hanya terjadi di dalam kelompok mereka sendiri. Sedangkan untuk orang-orang Islam di luar kelompok mereka, mereka perlakukan berbeda. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, orang-orang Islam di luar mereka dihukumi kafir, jika berbeda haluan secara diametral di dalam pemikiran kegamaan mereka.

Aspek inovatif fundamentalisme melewati batas reinterpretasi tradisi secara radikal. Sebagai fenomena sosial, fundamentalisme mampu mengintegrasikan orang-orang dari beragam latar belakang sosial dan segmen yang berbeda, untuk kemudian membentuk semacam asosiasi dan gerakan yang didasarkan pada cita-cita dan praktik kultural keagamaan. Berbagai lapisan masyarakat yang bergabung kemudian melebur dan melepaskan kelasnya menjadi gerakan kultural. Dengan kata lain, ini bukan kultur kelas, melainkan milieu kultural.19

Suatu kelompok atau gerakan disebut milieu kultural, manakala identitas dan persepsi kelompok terhadap rasa kebersamaan ditentukan oleh kesamaan cita-cita sosio-moral dan kriteria non ekonomis lainnya. Dan

(13)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 fundamentalisme merepresentasikan milieu kultural semacam itu. Karena itu, walaupun gerakan-gerakan mereka tampak homogen, tapi tidak dalam konteks kepentingan kelas atau status sosial ekonomi. Kenyataan inilah yang dapat menjelaskan mengapa fokus perjuangan mereka tidak menyangkut kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan seterusnya, tetapi lebih berkait masalah dekadensi moral, konsumerisme, kebebasan, dan lain-lain.

Karakteristik paling spektakuler dari fundamentalisme adalah keberhasilannya memobilisasi massa, bukan hanya dari sisi jumlah tapi juga militansi. Tentu tidak sulit mencari penjelasannya, karena fundamentalisme dapat dipandang sebagai fenomena keagamaan. Agama merupakan bagian esensial dalam fundamentalisme, dilihat dari sisi kepemimpinan, ideologi, etos, tujuan, hubungannya dengan kelompok sosial lain. Dengan sentiment keagamaan, maka setiap gerakan dapat menghasilkan kekuatan dahsyat.20

3. Fakta Sosial

Fundamentalisme tidak muncul dari ruang hampa. Mengikuti paham kaum fakta sosial, bahwa radikalisme atau fundamentalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Geneologi radikalisme atau fundamentalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:21

pertama, tekanan politik penguasa. Fundamentalisme muncul disebabkan oleh tekanan politik terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, fenomena radikalisme muncul karena otoriterisme. Dalam kasus orde baru, Negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya, radikalisme adalah musuh nomor satu dan dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) melalui berbagai media transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja.

Kedua, kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat. Rezim sekular di Negara-negara berkembang yang kebanyakan mengadopsi sistem kapitalisme ternyata gagal dalam mengimplementasikan kebijakannya di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Kegagalan pembangunan yang mengakomodasi teori-teori modernisasi, ternyata berdampak terhadap ketidakpercayaan masyarakat terhadap model pembangunan yang diadopsi dari pengalaman-pengalaman Negara Barat tersebut.

Ketiga, respon terhadap Barat. Kebanyakan isu yang diangkat ke permukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apa pun yang datang dari Barat. Isu tentang salibisme, moralitas permissiveness,

20 Ibid., 8-9.

(14)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

demokrasi, dan bahkan hak aasasi manusia adalah rekayasa Barat untuk meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat. Semua ide tentang persoalan tersebut dikemas dengan konsep modernisasi dan sekularisasi. Modernisasi mempunyai anak kandung kapitalisme dan materialisme. Kapitalisme yang merupakan proses akumulasi modal didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan materialisme yang menganggap bahwa materi adalah segala-galanya juga sangat bertentangan secara diametral deng an Islam. Apalagi sekularisasi yang bermakna pemisahan antara agama dan kehidupan dunia juga merupakan musuh Islam yang lebih menekankan kehidupan spiritual.

Keempat, rasionalisasi yang menghasilkan modernisme dan kapitalisme. Sebagai anak kandung rasionalisasi, modernism akan dapat menggerogoti pilar-pilar agama yang disebabkan oleh cara berpikir yang bertolak belakang. Agama mengagungkan berbagai keyakinan spiritual, sementara rasionalisasi membabat habis dunia keyakinan yang dianggapnya tidak akseptabel dan empiris. Kekuatan agama justru pada dimensi spiritual yang tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Semenjak Weber memperkenalkan konsep rasionalisasi, sebagai dasar munculnya industrialisasi di Negara-negara Barat, maka secara tidak langsung dunia non-industri yang kebanyakan Negara-negara Islam menjadi semacam ledekan: bahwa Negara-negara Islam tidak maju karena belum tersentuh rasionalisasi.

Kelima, secara politis umat Islam di dunia internasional berada di kawasan pinggiran. Umat Islam sering diadu domba dengan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan oleh Negara-negara adi daya, terutama Amerika Serikat dan Inggris berikut sekutu-sekutunya. Dalam permainan global (global game) yang diperagakan Negara-negara Barat ditegaskan bahwa Negara-negara Islam tidak boleh menjadi satu kesatuan. Mereka harus diceraiberaikan.

Keenam, serangan kultural (budaya) terhadap masyarakat Islam. Seperti diketahui bahwa dunia Barat adalah dunia modern dengan tingkat kebudayaan dan teknologi canggihnya. Di era dunia tanpa batas (borderless society) atau globalisasi, maka pengaruh Negara Barat terhadap Dunia Ketiga –terutama Negara dan masyarakat Islam- bukan kepalang tanggung. Melalui penetrasi budaya yang terjadi secara deras, maka dapat dipastikan bahwa budaya timur, khususnya Islam, menjadi terpinggirkan.

(15)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192 mayoritas penduduknya beragama Islam di dalam kenyataannya gagal membangun masyarakatnya karena terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat menggurita.

Kesimpulan

Fenomena fundamentalisme mewabah dan merambah semua kelompok sosial masyarakat di dunia, bukan hanya kelompok keagamaan saja, apalagi khas Islam. Namun pers Barat seringkali menuding Islam sebagai pelaku fundamntalis. Di dalam Islam sendiri, fundamentalisme muncul dengan berbagai varian dan kepentingan, dari yang ingin mempertahankan ajaran murni Islam dengan menolak semua norma dari Barat hingga yang mengusung politik sebagai lahan garapannya. Pada umumnya, interaksi antar kelompok mereka sangat solid dan kuat, akan tetapi lemah dan longgar dengan orang di luar kelompok mereka. Sebagian orang mungkin akan menolak fundamentalisme Islam yang sering mengusung kekerasan karena dianggap mencoreng muka Islam yang ajarannya kental dengan nuansa perdamaian dan keramahan. Namun sebagian yang lain justru mendukung keberadaan fundamentalisme Islam sebagai balancing terhadap kekuatan Barat yang selama ini menghegemoni dunia.

Daftar Pustaka

Ali, Haidar Ibrahim. “Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme”, dalam http//pcinu-mesir.tripod.com

AS, Muhammadun. Menghadang Gelombang Fundamentalisme dalam http://www.suarakarya-online.com

Assyaukanie, Luthti. Islam Benar Versus Islam Salah. Jakarta: Kata Kita, 2007.

Barr, James. Fundamentalisme, terj. Stephen Suleeman. Jakarta: Gunung Mulia, 1996

Choueri, Youssef M. Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme, penterj. Humaidi Syuhud dan M. Madkur . Yogyakarta: Qonun, 2003.

(16)

Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013 ISSN: 2089-0192

Hashemi, Nader. Pencarian akar fundamentalisme Islam, dalam www.commongroundnews.org.

Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani, 1999

Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara : Perspektif Modernis dan Fundamentalis. Jakarta: Indonesia Tera, 2001.

Kepel, Gilles. Pembalasan Tuhan: Kebangkitan Aagama-Agama Samawi di Dunia Modern, terj. Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Ma’arif, Zainul. Menelusuri Akar Muslim Fundamentalis Analisa Kritis Paradigma Komplek dalam http://islamlib.com/id/artikel/menggali-akar-fundamentalisme-islam

Mahendra, Yusril Ihza. Fundamentalisme dan Modernisme Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1999.

Marty, Martin E.. “What is Fundamentalism ? Theological Perspective”Challance. London: t.p., 1992.

Romli, Asep Syamsul M.. Demonologi Islam : Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.

Sirry, Mun’im A.. Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003.

Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009..

Referensi

Dokumen terkait

kutani va swi vona ni ku tiva leswaku wena Xikwembu hi wena ntsena loyi va nga ala ku n'wi amukela.. Hikokwalaho va

Tujuan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk mempelajari metode pembekuan udang vannamei menggunakan Air Blast Freezer (ABF) beserta kelebihan, kekurangan,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dapat ditarik kesimpulan bahwa melukis menggunakan media lilin dapat meningkatkan kreativitas pada anak

 Menyelesaikan model matematika dari suatu masalah dalam matematika atau mata pelajaran lain yang berhubungan dengan pertidaksamaan satu variabel bentuk pecahan aljabar..

Kondisi ini juga mampu menjelaskan, bahwa Inflasi, Nilai Tukar, Current Ratio (CR) dan Debt to Equity Ratio (DER)secara simultan memberikan prediksi positif

Dynamic response of model variables to a shock to the rate of interest (Regime 3)... total wealth), firms’ (and households’ and banks’) expectations concerning government behavior

Saran dalam penelitian ini yaitu perusahaan hendaknya memperhatikan kebersihan di lingkungan kerja, meningkatkan pengawasan terhadap peraturan kerja, dan mengkaji ulang

Kajian ini bertujuan bagi mengenal pasti persepsi guru terhadap tahap kepentingan penyeliaan pengajaran, tahap kesediaan mengajar guru semasa penyeliaan pengajaran berlaku