Laporan Problem Based Learning (PBL) Blok Circulation and Oxygenation (COB)
Semester IV
ANEMIA
Oleh: (Kelompok 5)
Septiana Prabawati G1D013050
Durotul Alfiyah G1D013051
Esa Shofiantyna Putri G1D013052
Septo Kristiana G1D013054
Herdika Listya Kurniati G1D013055
Lusiana Fadilah G1D013056
Marchelina Susanto G1D013057
Athifah Nur Istiqomah G1D013058
Hilmasari Rangkuti G1D013059
Setyo Utomo G1D013060
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Menurut bahasa yunani, anemia adalah tanpa darah. Anemia merupakan suatu kondisi saat jumlah sel darah merah berada di dawah normal. Sel darah merah atau hemoglobin yang bertugas sebagai media yang membawa oksigen dari paru-paru dan menghantarkan ke seluruh bagian jaringan tubuh. Anemia atau yang lebih dikenal di masyarakat sebagai berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah sel hemoglobin dalam sel darah merah mampu membawa oksigen dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Menurut Price, S.A., Wilson L. M. (2006), dalam penelitiannya mengungkapkan prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. Dalam penelitian tersebut, ditemukan hampir enam puluh orang dari tujuh puluh dua redponden wanita, menderita anemia dengan rentang usia antara 15 sampai dengan 35 tahun.
Kasus untuk Problem Based Learning ini membahas tentang Ny. G umur 54 tahun dirawat dibangsal penyakit dalam dengan keluhan lethargi, lesu, pandangan kunang-kunang, nyeri kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium mengalami pansitopeni, dengan kadar Hemoglobin 5 gr/dl. Hasil pemeriksaan jenis sel normositik dan normokromik belum ada hasil. Dari informasi tim medis Ny. G diduga mengalami defisiensi besi kronis. Dari hasil diskusi bahwa Ny. G mengalami anemia. Anemia merupakan keadaan yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin dan atau berkurangnya jumlah sel darah merah, yang berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta oksigen untuk proses fisiologis dan biokimia jaringan tubuh. Penyebab anemia adalah kekurangan nutrisi, penyakit kronis dan kehilangan darah yang berlebihan (Prawiroharjo, Sarwono.2009)
2. Tujuan
2.1. Mahasiswa mengetahui kadar Hb normal
2.2. Mahasiswa mengetahui pengertian dari pemeriksaan sel normositik dan normokromik
2.3. Mahasiswa mengetahui pengertian anemia
2.5. Mahasiswa mengetahui faktor risiko terjadinya anemia
2.6. Mahasiswa dapat menganalisis kasus yang disediakan dan memberikan penatalaksanaan sesuai dengan jenis anemianya
2.7. Mahasiswa dapat menggambarkan patofisiologi anemia aplastik
BAB I
ISI DAN PEMBAHASAN
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah (eritrosit) yang berfungsi mentranspor oksigen dari paru ke bagian tubuh yang lain. Apabila eritrosit atau Hb mengalami penurunan karena suatu hal maka O2 yang harus diangkut keseluruh tubuh untuk proses meta juga akan mengalami penurunan.
Kadar Hb normal berdasarkan usia antara lain : (Handayani, 2008) 1.1. Wanita dewasa : 12-16 gr/dL
1.2. Pria Dewasa : 14-18 gr/dL
1.3. Anak : 10-16 gr/dL
1.4. Neonatus : 12-24 gr/dL
Kadar Hb yang kurang dari kadar normal disebut dengan anemia.
2. Pemeriksaan normositik dan normokromik
Eritrosit dalam batas-batas normal disebut sebagai normositik. Besarnya sel eritrosit dinyatakan dalam mikrometer kubik, dengan rentang nilai normal dari 81 hingga 96 µm3. MCV yang kurang dari 81 µm3 menunjukan sel mikrositik karena berukuran lebih kecil dari 7 µm3 pada sediaan apus, menunjukkan sel-sel makrositik yang berukuran lebih besar dari 8 µm3 pada sediaan apus. (Price & Wilson, 2008)
Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (mean corpuscular hemoglobin concentration, MCHC) mengukur jumlah hemoglobin dalam 100 ml (1 dl) eritrosit packed. Batas normal MCHC adalah 30 sampai 36 g/100 ml darah, disebut normokromik. (Price & Wilson, 2008)
3. Anemia
Anemia adalah berkurangnya sel darah merah (SDM) dibawah dari nilai normal, kuatitas Hb dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukan merupakan diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patologik yang medasar. (Price & Wilson, 2006)
4. Klasifikasi Anemia
Menurut Handayani (2008) anemia diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu : 4.1. Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan darah yang mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yaitu sel darah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan. (Price & Wilson, 2006)
4.1.2. Etiologi
Etiologi anemia aplastik beraneka ragam. Berikut ini adalah berbagai faktor yang menjadi etiologi anemia aplastik.
4.1.2.1. Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian besar diturunkan menurut hukum mendel. Pembagian kelompok pada faktor ini adalah sebagai berikut.
4.1.2.1.1. Anemia Fanconi
4.1.2.1.2. Diskeratosis bawaan
4.1.2.1.3. Anemia aplastik konstitusional tanpa kelainan kulit/tulang
4.1.2.1.4. Sindrom aplastik parsial:
4.1.2.1.4.1. Sindrom blackfand-Diamond. 4.1.2.1.4.2. Trombositopenia bawaan. 4.1.2.1.4.3. Agranulositosis bawaan.
4.1.2.2. Obat-obatan dan Bahan Kimia
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Obat yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Sedangkan bahan kimia yang terkenal dapat menyebabkan anemia aplastik adalah senyawa benzen.
4.1.2.3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen
4.1.2.3.1. Sementara
4.1.2.3.1.1. Mononukleosis infeksiosa
4.1.2.3.1.3. Influenza
4.1.2.3.1.4. Bruselosis
4.1.2.3.1.5. Dengue
4.1.2.3.2. Permanen
Penyebab yang terkenal ialah virus hepatitis tipe non-A dan non-B. Virus ini dapat menyebabkan anemia. Umumnya anemia aplastik pasca-hepatitis ini mempunyai prognosis yang buruk.
4.1.2.4. Ideopatik 4.1.3. Manifestasi klinis
Gejala klinis anemia aplastik terjadi sebagai akibat adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Gejala yang dirasakan berupa gejala sebagai berikut.
4.1.3.1. Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi, mulai dari ringan sampai berat.
4.1.3.2. Gejala perdarahan: paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit seperti petekie dan ekimosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epiktaksis, perdarahan sub-konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis melena, dan pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal. 4.1.3.3. Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau
tenggorokan, febris, dan sepsis.
4.1.3.4. Organomegali dapat berupa hepatomegali dan splenomegali. 4.2. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya, sehingga kadar hemoglobin berkurang yang akan mengakibtakan kerusakan eritosit lebih cepat dari pada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali (Handayani, 2008).
4.2.1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritosit sendiri atau disebut intrakorpuskular. Misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolisme dan hemoglobinopati, seperti anemia sel sabit, methemoglobinemia.
4.2.2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritosit atau disebut ekstrakorpuskular. Misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, hipersplenisme dan mikroangiopati, seperti pada purpura trombotik trombositopenik, koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Manifestasi klinis dari anemia hemolitik yaitu Hb < 7g/dl, gejala hemolitiknya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dalam darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali, kholelitiasis (batu empedu), dan ulkus. Kadang-kadang hemolisis terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan demam, menggigil, nyeri punggung, dan nyeri lambung. Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah. Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah.
4.3. Anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with reticuloendothelial siderosis. Anemia penyakit kronis merupakan anemia hipoproliferatif yang berhubungan dengan proses infeksi/inflamasi kronis, kerusakan jaringan, atau kondisi yang melepaskan sitokin proinflamasi (Price & Wilson, 2006). Anemia penyakit kronis cadangan zat besi di dalam tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru sehingga disebut anemia penggunaan ulang zat besi.
inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain-lain misalnya penyakit hati, alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik (Panjaitan, 2003).
Anemia penyakit kronik ini berkembang secara perlahan dan biasanya ringan, anemia ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Jika timbul gejala, biasanya merupakan akibat dari penyakit kroniknya, bukan karena anemianya. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai.
misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, tachkikardi, cepat lelah, lemah, dll. Takikardi, Kuku pucat, Cafilary refil 3.
Pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang nantinya akan menimbulkan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral.
Pemeriksaan laboratorium, yaitu : anemia ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya sekitar 7-11 gr/dL.b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik. Pemeriksaan sumsum tulang normal, Hematokrit 25-30%.
4.4. Anemia defisiensi besi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron stirage) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Ganong, 2010).
menjadi kosong sama sekali penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit. Defisiensi besi secara terus menerus akan menimbulkan anemia hipokromik mikrositer ditandai dengan besi serum <50 mg/dl, TIBC >350 mg/dl, saturasi transferin <15%, feritin serum <20 mg/l.
Menurut Ganong (2010) dan Sudoyo (2006), gejala klinis khas pada ADB antara lain:
4.4.1. Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. 4.4.2. Atropi Papil Lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
4.4.3. Stomatitis Angularis (Cheilosis) : ada keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4.4.4. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
4.4.5. Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklorhidria (tidak adanya asam lambung)
4.5. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah kelainan pematangan nukleus atau peningkatan fraksi sel darah merah muda yang besar (retikulosit) dengan jumlah Hb meningkat dalam sitoplasm (Ganong, 2010). Sel terutama yang terkena adalah sel yang pertukarannya (turn over) cepat, terutama sel prekursor hematopoetik dan sel epitel gastro-intestinal (Sudoyo, 2006).
proliferasi, anemia juga dicetuskan oleh kerusakan dini megaloblast di sumsum tulang (peningkatan eritropoesis yang tidak efisien) karena pemendekan masa hidup megalosit yang masuk dalam darah. Penyebab lain makrositosis adalah hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik. Apusan darah memperlihatkan anisitosis mencolok dan poikilositosis disertai makrovalosit yaitu, eritrosit yang mengalami hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik. Anemia megaloblastik ditandai oleh eritropoesis yang tidak efektif. Gangguan absorbsi atau metabolism folat akan menghambat sintesis
DNA, dan Eritropoesis. Asupan folat yang sedikit dari makanan (< 50µg/hari, pemasakan yang lama dapat merusak kandungan folat)
Menurut Ganong (2010) dan Sudoyo (2006),gejala klinis anemia megaloblastik antara lain:
4.5.1. Defisiensi kobalami : gangguan neurologis
4.5.2. Gangguan gastrointestinal dapat timul gejala: kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, mual dan sembelit
4.5.3. Pasien mungkin diikuti sariawan dan sakit pada lidah 4.5.4. Tanda-tanda anemia
4.5.5. Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori selanjutnya jika keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan, kebutaan akibat atropi nefron optikus dan gangguan kejiwaan
5. Faktor risiko anemia
5.1. Rendahnya asupan gizi pada makanan
Makanan yang kekurangan atau tidak memiliki zat besi, asam folat (folat), dan vitamin B12 dapat menyebabkan tubuh Anda tidak membuat sel darah merah yang cukup. Zat besi merupakan mineral penting untuk pembuatan sel darah merah.
5.2. Gangguan kesehatan usus kecil atau operasi yang berkenaan dengan usus kecil 5.3. Kehamilan
5.4. Menstruasi
Pada saat menstruasi seorang wanita bisa kehilangan darah dalm jumlah yang besar. Apabila nutrisi yang didapattidak adekuat untuk mengkompensasinya maka bisa terjadi anemia.
5.5. Kondisi kronis seperti gagal ginjal kronis
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama sel darah merah. (Baradero et all, 2009). Apabila ginjal mengalami kegagalan kronis maka produksi hormon tersebut juga akan mengalami penurunan dan berlanjut ke penurunan sel darah merah serta Hb. 5.6. Infeksi tertentu seperti gangguan pada darah dan autoimun, terkena racun
kimia, dan menggunakan beberapa obat yang berpengaruh pada produksi sel darah merah dan menyebabkan anemia. Risiko lain adalah diabetes, alkohol dan orang yang menjadi vegetarian ketat dan kurang asupan zat besi atau vitamin B-12 pada makanannya.
6. Analisa kasus PBL
Analisis kasus yang sudah dilakukan oleh kelompok ditentukan bahwa jenis anemia yang terjadi pada kasus Ny. G umur 54 tahun adalah anemia aplastik. Berdasarkan tanda dan gejala serta data pemeriksaan yang telah dilakukan menunujukan bahwa anemia pada Ny. G adalah anemia aplastik. Hasil dari pemeriksaan laboratorium ditemukan pansitopeni. Pansitopeni adalah penurunan eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopeni merupakan ciri khas dari anemia aplastik. Walaupun, didalam kasus disebutkan bahwa diduga mengalami defisiensi besi kronis. Akan tetapi, pada anemia defisiensi besi tidak ditemukan adanya pansitopeni. Sehingga pentalaksanaan yang akan dilakukan pada pasien sesuai dengan jenis anemia yang diderita oleh pasien.
6.1. Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate.
6.2. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi.
6.3. Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat.
6.4. Androgen, seperti fluokrimesteron, testoteron, metandrostenolon, dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan amenore.
6.5. Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Saran penggunaan pada pasien > 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang.
6.6. Transplantasi sumsum tulang.
Menurut pendapat lain, yakni Billota (2011) mengklasifikan terapi pada anemia aplastik sebagai berikut:
6.1. Secara umum
6.1.1. Eliminasi penyebab yang dapat diidentifikasi.
6.1.2. Langkah-langkah tindakan cepat dan tepat, seperti transfusi SDM kemasan, trombosit, dan histokompatibilitas eksperimental leukosit cocok antigen.
6.1.3. Bantuan pernapasan dengan oksigen.
6.1.4. Pencegahan infeksi dari cuci tangan sering sampai aliran terfilter. 6.1.5. Diet seimbang.
6.1.6. Tindakan kewaspadaan neutropenik, bila tepat 6.2. Pengobatan
6.2.1. Antibiotik
6.2.2. Agens penstimulasi sumsum tulang, seperti eritropoiten dan faktor penstimulasi-koloni, seperti filgrastim dan sargramostim.
6.2.3. Imunosupresan
6.2.3.1. Kortikosteroid, seperti metilprednisolon. 6.2.3.2. Globulin antitimosit.
Transplantasi sumsung tulang (untuk aplasia berat dan pasien yang memerlukan SDM konstan.
7. Patofisiologi
Suplai darah ke
Otak Iskemia
Kunang-Kunang
Nyeri Metabolisme
Anaerob Metabolisme
Energi
Kelelahan Penumpuka n Asam
Laktat
ATP
Lemah Lelah
O2
Sirkulasi O2 ke Jaringan
Granulosit Eritrosit
Trombosit
Risiko Perdarahan Hb Risiko Infeksi
Depresi Sumsum Tulang Belakang
Mengganggu sel perkuser
Pansitopeni
8. Asuhan Keperawatan 8.1. Analisa Data
Data Problem Etiologi
DO:
-Pansitopeni
-Hemoglobin 5 gr/dl
DS: -Lethargi -Lesu
-Pandangan kunang-kunang
-Nyeri kepala
Keletihan Anemia
DO:
-Pansitopeni (granulosit menurun)
-Hemoglobin 5 gr/dl
DS: -Lethargi -Lesu
-Pandangan kunang-kunang
-Nyeri kepala
Risiko Infeksi Leukopenia
DO:
-Pansitopeni (Trombosit menurun)
-Hemoglobin 5 gr/dl
DS: -Lethargi -Lesu
-Pandangan kunang-kunang
-Nyeri kepala
8.2. Rencana Keperawatan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan kelelahan pasien akan teratasi dengan kriteria hasil:
NIC: Energy Management
Intervensi :
1. Monitor dan catat pola
dan jumlah tidur pasien 2. Monitor intake nutrisi
yang adekuat
3. Ajarkan tehnik dan
manajemen aktivitas untuk mencegah kelelahan
4. Jelaskan pada pasien
hubungan kelelahan dengan proses penyakit (membaca, mendengarkan musik)
8. Tingkatkan bed rest dan pembatasan aktivitas
9. Batasi stimulasi lingkungan untuk memfasilitasi relaksasi
1. Klien akan cepat pulih dari keletihannya jika tidur dengan nyenyak dan waktu yang tidak sebentar.
2. Supaya kadar hb dapat meningkat dan keletihan berkurang
3. Agar klien mengetahui apa saja aktivitas yang bisa dilakukakan tanpa membuat keletihan
4. Agar pasien paham dan bisa ikut serta memperbaiki keadaannya
5. Untuk mengkompensasi anemia yang dialami klien 6. Supaya aktivitas tersebut
dapat dihindari sementara sampai klien mampu
7. Agar klien rileks
8. Mencegah kelelahan yang berlanjut
9. Menciptakan lingkungan yang damai agar klien dapat beristirahat dengan tenang
Dx: Risiko Infeksi Dengan faktor risiko leukopenia
NOC: Immune Status Risk Control
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
dari tanda dan gejala infeksi
NIC : Infection Protection Intervensi
1. Pertahankan teknik aseptif
2. Batasi pengunjung bila perlu
5. Tingkatkan intake nutrisi
6. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
9. Monitor adanya luka
Dx: Risiko
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak terjadi
perdarahan dengan kriteria hasil:
NIC: Bleeding Precaution
Intervensi :
1. Pertahankan bed rest
2. Kolaborasi dalam pemberian produk darah (platelet atau fresh frozen plasma)
3. Lindungi klien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
4. Hindari pemberian aspirin atau antikoagulan lainnya 5. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake makanan yang banyak mengandung vitamin K 6. Hindari terjadinya konstipasi
dengan menganjurkan untuk mempertahankan intake
3. Luka kecil akan menyebabkan perdarahan
yang hebat dan konsentrasi trombosit dan pembekuan darah
BAB III
KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan mengenai kasus anemia di atas dapat disimpulkan bahwa, kadar hemoglobin Ny. G rendah karena kadar normal hemoglobin wanita dewasa adalah 12-16 gr/dl. Pemeriksaan normositik merupakan pemeriksaan untuk mengetahui ukuran sel, sedangkan pemeriksaan normokronik bertujuan untuk mengetahui bentuk sel. Anemia adalah berkurangnya sel darah merah (SDM) dibawah dari nilai normal, kuatitas Hb dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Anemia dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia megaloblastik. Faktor risiko anemia meliputi, rendahnya asupan gizi pada makanan, penyakit kronis, gangguan kesehatan usus kecil atau operasi yang berkenaan dengan usus kecil, kehamilan, hormon, mestruasi, kondisi kronis seperti kanker, gagal ginjal atau kegagalan hati, faktor keturunan. Penatalaksanaan anemia aplastik diantaranya, transfusi darah, mengatasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid dan androgen, imunosupresif, transplantasi sumsum tulang.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Billota, K. A. J. (2011). Kapita selekta penyakit dengan implikasi keperawatan. Jakarta: EGC Baradero, M., Dayrit, M. W. & Siswadi, Y. (2009). Seri asuhan keperawatan klien gangguan
ginjal. Jakarta : EGC
Ganong,W.F dan McPhee, S.J. (2010). Patofisiologi penyakit pengantar menuju kedokteran
klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC
Handayani, W. dan Haribowo, A. S. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Mansjoer, A. (2007). Kapita selekta kedokteran edisi 7. Jakarta: EGC
Panjaitan, suryadi. 2003. Beberapa aspek anemia penyakit kronik pada lanjut usia. Bagian ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas sumatra utara. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6338/1/D0300606.pdf [ Accessed 11 maret 2015 ].
Price, S. A. & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Ed 6. Jakarta: EGC