• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini menjelaskan mengenai teori makna hidup dan penjelasan mengenai sistem pernikahan yang dianut oleh para Sayyid/Syarifah. Teori yang akan dijelaskan sejalan dengan fokus penelitian yaitu makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian makna hidup, sumber makna hidup dan tahap pencapain kehidupan bermakna yang dikemukakan oleh Bastaman (1996). Teori mengenai tahapan perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir juga akan diuraikan, mengingat subjek dalam penelitian ini berada pada tahap perkembangan usia dewasa madya hingga dewasa akhir.

A. Makna Hidup

1. Pengertian Makna Hidup

Keinginan manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya. Makna hidup merupakan sesuatu yang unik dan khusus; artinya makna hidup hanya dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan, hanya dengan cara itulah individu dapat memiliki arti yang bisa memuaskan keinginannya untuk mencari makna hidup (Frankl, 2004).

Ada berbagai cara dalam memberi arti bagi kehidupan, namun Frankl (dalam Schultz, 1994) tetap mempertahankan bahwa hanya ada satu jawaban terhadap setiap situasi, yaitu makna. Menemukan makna hidup dan

(2)

menetapkan tujuan hidup merupakan upaya untuk mengembangkan hidup yang bermakna. Hasrat untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang yang selalu menginginkan hidup yang bermakna dan bahagia.

Frankl (2004) mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya satu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau dalam kalimat yang sederhana, menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam situasi tertentu.

Bastaman (2007) mendefinisikan makna hidup sebagai hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Apabila makna hidup berhasil ditemukan maka seseorang akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran (reward) dari hidup yang bermakna adalah perasaan bahagia (happiness). Sebaliknya, jika makna hidup belum berhasil ditemukan maka kehidupan akan dirasa tidak bermakna (meaningless) yang apabila berlarut-larut dapat menimbulkan neurosis noogenik.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah makna atau arti yang diperoleh dari penghayatan pada setiap peristiwa yang dialami oleh individu baik peristiwa yang menyenangkan, tidak menyenangkan, bahkan penderitaan, yang jika berhasil ditemukan akan membuat hidup seseorang bermakna sehingga akan muncul perasaan bahagia,

(3)

namun jika tidak dapat membawa seseorang pada kehidupan yang tidak bermakna.

2. Sumber-sumber Untuk Menemukan Makna Hidup

Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengemukakan bahwa makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun, selama individu mampu melihat hikmah-hikmahnya. Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), dalam kehidupan ada tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya. Nilai-nilai tersebut adalah.

a. Creative Values (Nilai-nilai kreatif)

Creative Values merupakan nilai-nilai yang didapat melalui kegiatan berkarya, bekerja, menciptakan serta melaksanakan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja individu dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.

b. Experiential Values (Nilai-nilai penghayatan)

Experiential Values adalah nilai yang didapat dari keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan hidup seseorang berarti. Banyak orang-orang yang merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada sebagian orang yang menghabiskan separuh usianya untuk menekuni suatu

(4)

cabang seni tertentu. Cinta kasih juga dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Mencintai dan dicintai akan membuat seseorang merasa hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.

c. Attitudial Values (Nilai-nilai bersikap)

Attitudinal Values merupakan nilai yang diperoleh dari penerimaan dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan yang tak mungkin diubah atau dihindari. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah dapat mengubah pandangan individu untuk mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan. Penderitaan dapat memberikan makna apabila individu mengubah sikap terhadap penderitaan menjadi lebih baik. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun (sakit, nista, dosa, bahkan maut) arti hidup masih tetap ditemukan, dengan mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya.

Berdasarkan tiga nilai yang dikemukakan Frankl, Bastaman (2007) menambahkan nilai lain yang dapat menjadikan hidup lebih bermakna yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena terdapat keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan

(5)

sikap optimis terhadap masa depan. Nilai kehidupan ini disebut dengan nilai pengharapan (Hopeful Values).

3. Tahap-tahap Mencapai Kebermaknaan Hidup

Menurut Bastaman (1996) dalam proses perubahan dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi hidup bermakna dapat dideskripsikan dari tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut adalah.

a. Tahap Derita

Pada tahap derita, seseorang dihadapkan pada pengalaman hidup yang tragis dan penderitaan. Pengalaman tragis dan penderitaan tersebut membawa seseorang pada kehidupan tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa, bosan, tidak berarti, tidak memiliki tujuan hidup, dan putus asa.

b. Tahap Penerimaan Diri

Pada tahap penerimaan diri terjadi proses pemahaman diri dan perubahan sikap. Individu mulai dapat memahami dirinya, menerima apa adanya dan mengubah sikap terhadap penderitaan.

c. Tahap Penemuan Makna

Tahap ini ditandai dengan kemampuan individu dalam memaknai peristiwa hidup yang dialami dan mulai menentukan tujuan hidup.

d. Realisasi Makna

Individu melakukan kegiatan-kegiatan yang terarah untuk menemukan makna hidup dan pemenuhan tujuan hidup. Hal ini berarti bahwa

(6)

seseorang harus bersedia melakukan self-commitment terhadap makna dan tujuan hidup serta meningkatkan keterlibatan diri (self-involvement) pada berbagai aktivitas dalam kehidupan.

e. Kehidupan Bermakna

Pada tahap ini, seseorang telah mencapai kehidupan bermakna yang ditandai dengan gairah hidup, semangat hidup, tujuan hidup jelas, kegiatan terarah, dan lainnya. Penghayatan kehidupan bermakna tersebut dapat dicapai apabila individu telah berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga akan menimbulkan perasaan bahagia.

4. Penghayatan Hidup Bermakna

Bastaman (2007) menggambarkan orang-orang yang menghayati hidup bermakna sebagai berikut:

a. Individu menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.

b. Individu mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.

c. Individu memiliki kegiatan-kegiatan terarah dan dapat merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.

d. Individu memiliki tugas-tugas dan pekerjaan yang dianggap sebagai sumber kepuasan dan kesenangan yang dilakukan dengan penuh semangat dan tanggung jawab.

(7)

e. Individu dapat menemukan pengalaman baru setiap hari yang dapat menambah pengalaman hidupnya.

f. Individu dapat menghargai hidup yang dijalani.

g. Individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari batasan-batasan lingkungan, dan dari batasan tersebut individu dapat menentukan apa yang paling baik untuk mereka lakukan.

h. Individu mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain, dan menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang membuat hidup indah.

B. Sistem Pernikahan Sayyid/Syarifah

Penggunaan gelar Sayyid/Syarifah merupakan suatu gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Mereka merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.

Keturunan Hasan dan Husain disebut dengan Sayyid dengan jamak Sadat. Hal ini dikarenakan Nabi SAW mengatakan ‘Kedua Anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di syurga.’ Di beberapa daerah lain disebut dengan Syarif, yang berarti orang mulai atau orang berbangsa, dengan jamak Asyraf. Bagi wanita keturunan ahlul bait Rasulullah SAW mendapat gelar berupa Sayyidah atau Syarifah (Al Hinduan, 2007).

(8)

Menurut Prof. Dr. HAMKA (al-Masyhur,2013), sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain datang ke Indonesia. Sejak dari Semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Banyak jasa mereka dalam penyebaran agaman Islam di seluruh Nusantara. Penyebaran Islam dan pendiri kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang berasal dari Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah putus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayyid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid al-Qadri. Kerajaan Siak merupakan keluarga bangsa Sayyid Bin Syahab.

Al-Masyhur (2013) mengemukakan bahwa kebanyakan para Sayyid yang datang ke Indonesia menjadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut (Yaman) dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang ke Indonesia dari berbagai keluarga. Berbagai keluarga yang banyak dikenal adalah keluarga al-Attas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, al-Habsyi, al-Haddad, Bin Smith, Bin syahab, dan lain-lain.

Menurut Al-Masyhur (2012) menyatakan bahwa para keturunan Rasulullah SAW yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah SWT, karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. keturunan Rasulullah SAW menjadi manusia yang memiliki kemuliaan dan keutamaan, sehingga mereka seharusnya tetap mempertahankan kemuliaan dan keutamaan pada diri dan keturunan mereka melalui pernikahan. Mereka

(9)

menjaga keturunan mereka dengan mengawinkan wanita-wanita Syarifah dengan laki-laki Sayyid.

Berdasarkan hasil pre-eliminary research yang dilakukan peneliti dengan Sayyid Lukman, yaitu ketua Sayyid Se-Aceh saat ini, dikatakan bahwa aturan pernikahan Sayyid/Syarifah didasarkan pada pernikahan putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fathimah dengan sepupu Nabi Muhammad yaitu Ali bin Abi Thalib. Berikut pernyataan Sayyid Lukman.

“Perkawinan Saiyidina Ali radhiallahu ‘anhu dengan Siti Fathimah radhiallahu ‘anhu adalah sekufu (sederajat) dan beliau adalah contoh yang wajib kami ikuti, karena beliau adalah nenek moyang kami. Perkawinan beliau menghasilkan keturunan yaitu Al Hasan dan Al Husein yang merupakan asal usul Syarif/Sayyid dan Syarifah/Sayyidah. Itu perlu kamu ketahui. Keturunan Al Hasan dan Al Husein inilah yang tidak boleh dikawini oleh siapapun, kecuali dari golongan itu sendiri. Bahwa ada hadist yang mengatakan: ‘bahwa keturunan Rasulullah SAW tidak akan terputus hingga hari kemudian’.”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Berdasarkan pre-eliminary research peneliti juga menemukan bahwa akan ada berbagai konsekuensi jika para Syarifah menikah bukan dengan laki-laki Sayyid, diantaranya adalah: akan putus hubungan nasabnya dengan keluarga dan Rasulullah SAW; mendapatkan dosa; dan keturunannya tidak lagi bergelar Sayyid/Syarifah. Seperti ungkapan berikut.

“Wanita Sayyid/Syarif yakni Syarifah, apabila telah mempersuamikan lelaki biasa, maka putuslah hubungan kekeluargaannya dari rumpun familinya, kecuali family yang sudah setuju, namun kenyataan yang kita lihat, jauh lebih banyak family yang tidak setuju daripada yang setuju, sehingga terasinglah wanita tersebut dari keluarganya dan putus pula silaturrahminya. Lagi pula, orang yang sengaja memutuskan silaturrahmi

(10)

dengan cucu Rasulullah SAW akan menjadi dosa besar dan menimbulkan permusuhan yang tidak akan berakhir. Bahkan sampai anak cucunya kelak, karena dianggap mengkhianati bangsanya dan memurkai turunannya yang suci dari Rasulullah SAW, nauzubillahi minzallik !”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Jika telah terjadi pernikahan anatara Syarifah dengan lelaki yang bukan Sayyid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan Sayyid, karena anak mengikuti garis ayahnya. Hal ini mengakibatkan keutamaan dan kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah SWT untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang Syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan Sayyid (al Masyhur, 2012).

Lampiran berkas surat tanggal 28 Agustus 1995 yang ditujukan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, menjelaskan isi ceramah yang disampaikan oleh Habib Muhammad Mohdar Al Mahdar dan Habib Musthafa Al Haddad di Mesjid Jami’ Sulthan Abdurrahman. Ceramah tersebut berisikan pembahasan mengenai masalah Hukum Perkawinan/Pernikahan antara perempuan Syarifah dengan laki-laki yang bukan dari keturunan Syarif/Sayyid. Berikut kutipan isi ceramah.

“Tidak ada satu dalilpun yang dapat mengesahkan Pernikahan Syarifah pada bukan Sayyid/Syarif. Berani mengesahkannya berarti gugurlah semua kitan dan fatwa dari pada Imam al-Mujtahid serta para ulama yang besar, dan memang begitulah sejarah yang di alami oleh Keturunan Rasulullah SAW mulai dari: Sayyidina Hasan ra.; Sayyidina Husain, juga cucunya Al Hasan dan Al Husein. Kembalilah pada sejarah pada Zaman Pemerintahan Bani Umayyah dan BAni Abbas apa yang terjadi saat itu. Tapi jangan lupa bahwa duna sudah tua, yang tak pernah terjadi akan terjadi, salah satu contoh: 1) Berlainan Agama dapat kawin, yang satu Islam yang satunya agama selain Islam, padahal HUKUM SUDAH

(11)

ADA, tapi seperti itu; 2) Seorang akan kawin pada seorang wanita sesama Islam, dalam hal ini Walinya tidak setuju, tapi dinikahkan juga, menurut Hadist, BATAL NIKAH TANPA WALI, kalaupun keduanya kawin, jelas HUKUMNYA ZINA !. kedua calon suami isteri akan kawin, walinya tidak setuju, kemudian mereka lari kesuatu daerah, yang oleh penghulu setempat dinikahkan, apa Hukumnya SAH? – tentu tidak, padahal orang tua perempuan masih ada, hanya tidak setuju saja. Kasus tersebut dalam hal ini sudah sering terjadi, padahal HUKUMNYA JELAS ADA. Bagi kami yang tahu Hukum Perkawinan Syarifah tetap mempertahankannya, kalau tidak siapa llagi yang akan menegakkannya. Karena Datuk kami Rasulullah SAW telah memberi contoh kepada anak keturunannya (ahlul bait) dan ‘ilmu rumah tangga tak akan jatuh pada orang luar, kecuali orang tumah tak mau belajar dan orang luar yang mau belajar malah lebih tahu’. Bagi yang mau memakai silahkan, begitu juga yang tidak terserah masing-masing.”

Banyak sumber hukum yang menjelaskan mengenai sistem pernikahan Sayyid/Syarifah. Berbagai dalil dalam Al Qur’an, Hadist, Ijma’ Ulama, dan hukum Qias yang menjelaskan hukum pernikahan Sayyid dan Syarifah. Namun, dalam hal ini peneliti tidak membahas lebih dalam, dikarenakan fokus penelitian ini di pandang dari kacamata psikologi, mengenai keadaan Syarifah yang melajang karena nilai yang dianutnya, yakni tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan dari golongan Sayyid.

C. Tahapan Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut) 1. Perkembangan Dewasa Madya

Hurlock (1999) menyatakan usia dewasa madya dipandang sebagai usia antara 40 hingga 60 tahun. Masa dewasa madya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi pernurunan daya ingat. Meningkatnya kecenderungan untuk pensiun pada usia

(12)

enampuluhan tahun dianggap sebagai garis batas antara usia dewasa madya dengan usia lanjut.

Menurut Lachman (dalam Papalia & Olds & Feldman, 2009), usia dewasa madya adalah waktu untuk mengevaluasi kembali tujuan dan aspirasi dan sejauh mana individu pada usia ini telah memenuhinya, usia ini juga usia untuk memutuskan bagaimana cara terbaik dalam menggunakan sisa dari setengah rentang kehidupan. Pada beberapa budaya, seperti Amerika, usia dewasa madya merupakan masa paling sulit dalam rentang kehidupan (Hurlock, 1999). Bagaimanapun baiknya individu berusaha untuk menyesuaikan diri hasilnya akan tergantung pada dasar-dasar yang ditanamkan pada tahap awal kehidupan, khususnya harapan tentang penyesuaian diri terhadap peran dan harapan sosial dari masyarakat dewasa. Kesehatan mental yang baik yang dibutuhkan pada masa-masa dewasa, memberi kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap pelbagai peran baru dan harapan sosial usia dewasa madya.

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa karakteristik dewasa madya, diantaranya adalah periode yang sangat ditakuti, masa transisi, masa stress, usia yang berbahaya, usia canggung, masa berprestasi, masa evaluasi, masa sepi, dan masa jenuh. Erickson (dalam Papalia; Olds; & Feldman, 2009) memandang usia 40 tahun sebagai masa ketika individu memasuki tahap normatif, yaitu generativity versus stagnation. Individu pada tahapan ini menurut Erickson, mengembangkan suatu kepedulian untuk membangun, membimbing, dan memenuhi generasi berikutnya, jika tidak, individu akan

(13)

mengalamani stagnasi (perasaan ketidakaktifan dalam kehidupan). Generativity berkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang menentukan penyesuaian psikososial pada masa dewasa madya. Menurut Erickson, banyaknya peran dan tantangan pada masa ini, seperti tuntutan pekerjaan dan keluarga, menuntut respons yang generatif pada individu dewasa madya.

2. Perkembangan Dewasa Akhir (Usia Lanjut)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya yang tidak bahagia (Hurlock, 1999). Ada beberapa masalah tertentu dari penyesuaian diri dan sosial yang bersifat unik pada individu usia lanjut, misalnya meningkatnya ketergantungan fisik dan ekonomi pada orang lain, membentuk kontak sosial baru, mengembangkan keinginan dan minat baru dan kegiatan untuk memanfaatkan waktu luang yang jumlahnya meningkat, belajar memperlakukan anak yang sedang tumbuh sebagai orang dewasa, dan menjadi korban karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan diri.

Bahaya yang potensial terhadap penyesuaian pribadi dan sosial pada usia lanjut disebabkan oleh menurunnya fungsi fisik dan mental sebagai ciri-ciri usia lanjut, yang mengakibatkan orang usia lanjut mudah diserang penyakit dan sebagian lagi disebabkan oleh kurangnya pengenalan terhadap bahaya potensial yang berasal dari kelompok sosial. Bahaya fisik yang bersifat umum

(14)

pada individu usia lanjut adalah penyakitan, hambatan yang bersifat jasmaniah, kurang gizi, gigi banyak yang tanggal, kecelakaan dan hilangnya kemampuan seksual. Bahaya yang bersifat psikologis meliputi kepercayaan terhadap pendapat klise tentang usia lanjut, perasaan rendah diri, perasaan tak berguna, dan perasaan tidak enak sebagai akibat dari perubahan fisik, perubahan pola hidup, perasaan bersalah karena menganggur, terutama yang mau tidak mau harus mengakibatkan perubahan pola hidup

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut)

Tabel 1. Tugas perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999)

Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Tugas Perkembangan Dewasa Akhir

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga Negara b. Membantu anak-anak remaja

belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan bahagia

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa

d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier pekerjaan

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan f. Menyesuaikan diri dengan peran

(15)

Masalah-masalah tertentu yang timbul dalam penyesuaian diri merupakan ciri dari usia dewasa madya. Masalah utama yang harus diselesaikan dan disesuaikan secara memuaskan selama usia dewasa madya mencakup apa saja yang menjadi tugas-tugas perkembangan selama periode ini. Tugas perkembangan dewasa madya tidak seluruhnya dapat dikuasai dalam waktu yang sama atau dengan cara yang sama oleh setiap orang. Beberapa tugas tampaknya lebih dikuasai pada awal dewasa madya, dan lainnya pada akhir periode tersebut. Keadaan ini tentunya akan bervariasi untuk individu-individu yang berbeda pula (Hurlock, 1999).

Kebanyakan tugas perkembangan usia madya mempersiapkan individu bagi penyesuaian yang berhasil terhadap usia tua. Hal ini mengindikasikan penguasaan tugas-tugas ini penting artinya untuk keberhasilan dan kebahagiaan baik pada usia madya maupun pada tahun-tahun terakhir kehidupan serta pemanfaatan kegiatan pada waktu luang. Menurut Hurlock (1999) sebagian besar pengembangan tugas usia madya diarahkan pada persiapan individu demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan di usia lanjut nanti hingga akhir kehidupan.

Tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada orang lain. Individu pada tahap usia lanjut lebih diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka juga

(16)

diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda.

Sejalan dengan tugas perkembangan usia lanjut, Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa kepercayaan umum yang menyatakan bahwa orang usia lanjut yang tidak pernah menikah akan tidak bahagia dan tidak benar kalau perasaan kesepian di masa usia lanjut disebabkan oleh pengalaman nyata. Wanita usia lanjut yang melajang akan membangun kehidupan sendiri, dan telah belajar selama bertahun-tahun untuk mengembangkan minatnya dan mulai ikut terlibat dalam kegiatan penanggulangan masalah keluarga yang kurang hubungan sosial. Hal ini menyebabkan individu harus menjaga terus agar dirinya bahagia hingga usia tua. Walaupun mereka pensiun, biasanya mereka mempunyai pendapatan dari dana pensiun, atau tunjangan jaminan sosial dan dari tabungannya, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup bahagia dan berbuat apa saja yang diinginkannya. Karena mereka tidak pernah menggunakan waktu senggangnya untuk keperluan keluarga, maka mereka mempunyai kesempatan untuk memantapkan banyak minat yang dapat menjauhkan dari kehidupan yang sepi apabila mencapai masa pensiun.

D. Kebermaknaan Hidup Wanita Aceh Bergelar Syarifah yang Melajang

Seorang Syarifah merupakan wanita keturunan ahlul bait Rasulullah SAW yang berasal dari keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hasan dan Husain. Saat ini kemurnian keturunan ahlul bait Rasulullah SAW masih tetap terjaga dan telah tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di

(17)

Indonesia (al-Masyhur, 2013). Banyak keturunan Nabi Muhammad SAW datang ke Indonesia sejak zaman kebesaran Aceh. Mereka berasal dari Hadramaut, dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Kedudukan mereka di Nusantara telah turun temurun sehingga mereka telah menjadi bagian dari warga Negara Indonesia tempat mereka berdomisili.

Menurut al-Masyhur (2012), kaum Alawiyin (ahlul bait Rasulullah SAW) diseluruh dunia memelihara nasab-nasab mereka. Sudah menjadi keharusan bagi keturunan Hasan dan Husain untuk menjaga nasabnya, sehingga tidak mudah orang merusak keturunan mereka. al-Masyhur (2012) menambahkan bahwa seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukur, dikarenakan Allah SWT telah menjadikan mereka manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan. Oleh karena itu, tidak seharusnya mereka kufur akan nikmat yang telah diberikan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan dirinya melalui pernikahan yang tidak sekufu’, yaitu dengan menikahkan para Syarifah dengan laki-laki yang bukan Sayyid.

Keadaan pada saat ini berbanding terbalik sebagaimana fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Kemuliaan sebagai keturunan Rasulullah SAW seharusnya menjadi kenikmatan dan kebanggaan bagi seorang Syarifah (al-Masyhur, 2012). Kenikmatan dan kebanggaan sebaliknya, telah menjadi suatu masalah pada saat ini. Aturan menikah harus dengan laki-laki bergelar Sayyid menyebabkan sebagian wanita bergelar Syarifah sulit untuk menikah. Beberapa wanita bergelar Syarifah bahkan tidak menikah hingga usia lanjut.

(18)

Suatu keharusan bahwa seorang Syarifah menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid (al-Masyhur, 2012). Keadaan tersebut menjadi lebih sulit bagi Syarifah ketika ia menyukai laki-laki yang bukan dari golongan Sayyid, sedangkan ia harus mempertahankan nasabnya sebagai keturunan Rasulullah. Berdasarkan hasil data awal, beberapa dari mereka bahkan lebih memilih untuk tidak menikah dan hidup melajang. Ada juga Syarifah yang kebingungan dengan kelanjutan hidupnya ketika usianya memasuki masa dewasa, yang dituntut oleh tugas perkembangan yaitu menikah. Oleh sebab itu, kenikmatan menjadi seorang Syarifah membawa mereka pada situasi penderitaan ketika memasuki usia dewasa awal. Lebih lanjut lagi, ketika usia bertambah dan hidup sebagai seorang yang melajang tentunya memunculkan penderitaan lain bagi Syarifah.

Fenomena melajang bagi wanita hingga usia lanjut menjadi suatu masalah tersendiri. Hal ini juga dialami oleh wanita bergelar Syarifah. Permasalahan psikologis seperti kesepian dan hasrat untuk memiliki anak menjadi hal yang harus dihadapi oleh para wanita bergelar Syarifah. Belum lagi tekanan sosial dari lingkungan sekitar menambah penderitaan bagi mereka (DeGenova, 2008).

Penderitaan yang dialami wanita bergelar Syarifah adalah salah satu keadaan yang sulit untuk diubah. Menurut Frankl, nasib dan tugas-tugas individu adalah unik bagi individu di setiap periode waktu dalam kehidupan dan dalam semua situasi tentunya memiliki makna, sehingga merupakan tugas individu untuk menemukan makna dari penderitaan tersebut (dalam Schultz,

(19)

1994). Makna yang dimaksud adalah arti yang dapat diperoleh dari penghayatan tentang segala hal yang dilaksanakan, dihadapi, dan dijalani dalam berbagai situasi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa setiap pengalaman hidup tentu memiliki makna, asalkan seseorang mampu melihat atau menemukan makna tersebut (Frankl, 2004). Demikian halnya pada wanita bergelar Syarifah. Penderitaan yang dialami sebagai seorang Syarifah dan menjadi wanita yang hidup melajang hingga memasuki usia lanjut merupakan sebuah tantangan unik yang menawarkan arti untuk dimaknai. Makna tersebut dapat diperoleh ketika wanita bergelar Syarifah mampu melihat makna dari penderitaan yang dialami.

Pencarian makna hidup merupakan suatu pergerakan dan perjuangan menuju tujuan tertentu yang layak bagi seseorang, yaitu makna (Frankl, dalam Schultz, 1994). Dalam proses pencarian makna hidup, individu dapat memilih untuk tetap aktif mencari makna kehidupan atau memilih untuk menghentikan pencarian makna hidupnya. Mereka yang tidak berhasil menemukan makna hidup pada umumnya akan merasa kehampaan, putus asa, sehingga individu akan berada dalam keraguan. Individu yang berhasil menemukan makna hidup akan merasakan kepuasaan dan kebahagiaan dalam kehidupan yang dijalani (Bastaman, 2007).

Individu yang tetap aktif mencari makna hidup merupakan individu yang memiliki motivasi dan berkeinginan menjadi pribadi yang berharga dan berarti. Makna hidup dapat ditemukan melalui lima tahapan, yaitu tahap

(20)

derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna (Bastaman, 1996). Kelima tahapan penemuan makna hidup ini berperan aktif ketika individu mengubah kondisi hidup tidak bermakna menjadi kehidupan yang lebih baik.

Tahap derita adalah tahap dimana seseorang mengalami peristiwa tragis, dan mengalami kehidupan tanpa makna. Tahap penerimaan diri merupakan tahap dimana seseorang mampu memahami diri dan timbul perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi berbagai masalah. Perubahan sikap biasanya disertai peningkatan gairah hidup dan secara sadar melakukan berbagai kegiatan yang terarah, seperti pengembangan bakat, keterampilan dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi makna hidup dan tujuan hidup. Ketika tahap ini berhasil dilalui, maka akan ada perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan penghayatan hidup bermakna (the meaningful life) disertai perasaan bahagia (Bastaman, 1996).

Tahapan penemuan makna hidup juga dipengaruhi oleh empat sumber nilai makna hidup, yaitu, creative values, experiential values, attitudinal values dan hopeful values (Bastaman, 2007). Nilai kreatif realisasinya melalui berbagai kegiatan seperti berkarya, bekerja, interaksi sosial dan melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab. Nilai penghayatan dapat diperoleh dengan penerimaan diri yang baik, keyakinan diri, emosi yang positif, dan peningkatan ibadah melalui realisasi nilai-nilai agama.

Realisasi nilai bersikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaannya. Realisasinya melalui sikap ikhlas,

(21)

tawaqal, optimis, dan dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa (Bastaman, 2007). Dalam kehidupan wanita bergelar Syarifah, realisasi ketiga nilai-nilai tersebut tampak dari bagaimana ia menjalani kehidupannya dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Wanita bergelar Syarifah juga memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana ia menyikapi terhadap pengalaman hidupnya. Baik memilih untuk aktif dalam penemuan makna maupun pasif mencari makna. Proses pencarian makna hidup pada wanita bergelar Syarifah merupakan proses yang dijalani untuk mencari makna dalam pengalaman hidup sebagai wanita bergelar Syarifah, ahlul bait dari Rasulullah SAW, dengan segala aturan budaya yang mengikatnya. Tentunya mereka memiliki kebebasan untuk memilih caranya sendiri untuk melanjutkan kehidupan.

(22)

E. Paradigma Teoritis

Bagan 1. Paradigma Teoritis

Kehidupan wanita Aceh bergelar Syarifah

Dewasa Madya Tugas Perkembangan

→ Mencapai tangggungjawab sbg warga Negara

→ Membantu remaja menjadi idv dewasa yg bertanggungjawab → Mengembangkan kegiatan waktu

senggang

→ Menerima dan menyesuaikan diri dg perubahan fisiologis

→ Mencapai dan mempertahankan prestasi karier

→ Menyesuaikan diri dg orang tua yang semakin tua

Usia Lanjut Tugas Perkembangan

→ Menyesuaikan diri dg menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan → Menyesuaikan diri dg masa pensiun

dan berkurangnya pendapatan → Membentuk hubungan dg

orang-orang yg seusia

→ Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

→ Mneyesuaikan diri dengan peran sosial

Belum/Tidak menikah

Keinginan hidup bermakna

Sumber makna → Creative values → Attitudinal values → Experiential values → Hope values

Tahapan pencarian makna → Tahap derita

→ Tahap penerimaan diri → Tahap penemuan makna → Tahap realisasi makna → Tahap penemuan makna

(23)

F. Paradigma Berpikir

Bagan 2. Paradigma Berpikir

Kehidupan Wanita Aceh bergelar Syarifah

Mempertahankan kemurnian keturunan dan

marga

Usia Dewasa Awal Kekerabatan bersifat

patrilineal (keturunan

berasal dari pihak laki-laki)

Mencari klp sosial yg menyenangkan Mengambil tanggung

jawab sbg warga negara Bekerja Menikah

Tugas Perkembangan

Harus dengan laki-laki bergelar Said

Memilih menunggu jodoh Memilih tidak menikah

Usia Syarifah bertambah memasuki usia lanjut

Adanya Masalah (Tahap Derita) - Ketakutan melanggar aturan - Menyukai orang yang bukan

Sayyid

- Hidup sebagai wanita single (rasa

kesepian, rasa keterasingan dari lingkungan sosial & keinginan memiliki anak

Pencarian Makna Hidup

Pasif Mencari Makna Hidup Kehampaan Hidup Aktif mencari Makna Hidup

Nilai kreatif, Nilai Bersikap, Nilai

Gambar

Tabel 1.  Tugas perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir menurut  Havighurst (dalam Hurlock, 1999)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu penelitian untuk mengetahui sistem kerja pada alat transmisi data komunikasi satu arah dengan memanfaatkan gelombang cahaya tampak pada LED yang

Dengan diberlakukannya regulasi tersebut, maka air limbah yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatan industri tekstil perlu diterapkan baku mutu air limbah

Apakah memang penggunaan media sosial di kalangan para pemuda tani dapat menjadi subsitusi atau hanya komplementer bagi saluran komunikasi politik berbasis

Perlu dibuat standar prosedur operasional (SPO) kelengkapan pengisian resume medis 24 jam setelah selesai pelayanan, perlu melakukan koordinasi antara bagian keuangan

Login Index daftar Login List Lapangan Tampil Lapangan pesan form pesanan pesanan saya cetak detail Cek Jadwal pembayaran logout login Data Lapangan lihat data lapangan

Karena motif intrinsik adalah sebuah motif yang tidak mudah berubah dikarenakan berada di dalam diri manusia tersebut selain itu motif intrinsik dapat lebih tahan dalam

Diskusi tentang dasar pengorbanan telah memainkan peran sentral dalam semua agama dan masyarakat saat ini.(Schwager dan Palaver 2018) Secara epistemologis,

Adalah bagian yang bertanggung jawab mencatat persediaan barang dagang sesuai faktur seperti nama barang, kode barang, harga barang, dan jumlah barang1. Dokumen yang digunakan