• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan mengenai Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan mengenai Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembicaraan mengenai Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengandung esensi kepada masalah otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah juga merupakan hak daerah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, berdasarkan tuntutan dan dukungan dari masyarakat sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat.

Kebijakan tersebut memberikan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam seluruh proses kebijakan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Masyarakat daerah baik sebagai kesatuan kelompok maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara prinsip penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di daerah yang bersangkutan.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur sistem pemerintahan dalam tiga tingkatan utama, yakni provinsi sebagai daerah otonom terbatas, kabupaten sebagai daerah otonom penuh dan desa sebagai daerah otonom asli. Artinya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 juga mengatur sistem pemerintahan desa dengan menempatkan desa sebagai salah satu daerah otonom yang bersifat asli.

(2)

Kehadiran otonom daerah bagi setiap warga di desa memberikan dinamika dan suasana baru dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Sebab, masyarakat desa sadar bahwa keberadaan institusi-institusi demokrasi selama ini berada dalam posisi yang tidak kondusif dalam mendorong penegakan demokrasi pada masyarakat pedesaan.

Konsekwensi implementasi otonomi daerah salah satu perubahan yang fundamental adalah terjadinya pergeseran struktur politik pemerintahan desa yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Angin segar yang dibawa arus reformasi adalah lahirnya pelembagaan politik ditingkat desa yang diharapkan memberikan dinamika dan suasana politik yang lebih demokratis, otonom, independent dan sekaligus prospektif dalam pembangunan masyarakat desa. Pengaturan mengenai desa dalam undang-undang ini meliputi peraturan tentang:

1. Pembentukan, penghapusan dan pembangunan desa 2. Pemerintahan desa

3. Badan Permusyaratan Desa 4. Keuangan Desa

5. Kerjasama antar desa

Maka yang utama dari undang-undang ini bagi desa adalah kedudukan desa yang tidak lagi dibawahi kecamatan. Desa adalah entitas politik yang otonom. Fungsi kecamatan dalam konteks ini adalah sekedar menjalankan fungsi administratif dan koordinasi di wilayah kecamatan, sesuai dengan status kecamatan yang tidak lagi merupakan sebuah wilayah kekuasaan melainkan sebagai perpanjangan tangan dari kabupaten.

(3)

Untuk memperkuat dasar-dasar operasional pelaksanaan pemerintahan desa, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2006 tentang pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Peraturan pemerintah ini melengkapi peraturan sebelumnya dengan menegaskan kewenangan desa.

Hal yang menarik sekali dan penting dalam struktur baru pemerintahan desa adalah hadirnya Badan Permusyaratan Desa yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintaha Desa. Kehadiran BPD ditingkat desa, hendakanya diarahkan pada membangun hubungan yang sinergis antar lembaga legislatif dan eksekutif desa, tanpa perlu menimbulkan kesalah pahaman yang menjurus pada timbulnya konflik yang dapat mengganggu proses penegakan demokrasi di desa.

Terbentuknya BPD bertujuan mendorong terciptanya partnership yang harmonis serta tidak konfrontatif antara kepala desa sebagai kepala pemerintah desa dan BPD sebagai wakil-wakil rakyat desa yang diperagakan oleh lembaga legislatif baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.

Eksistensi lembaga ini memiliki tugas, fungsi, kedudukan wewenang yang tidak kalah kemandiriannya dengan pemerintah Desa (Kepala Desa). Seperangkat peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah Badan Permusyaratan Desa (BPD), menyebutkan bahwa secara garis besar institusi ini memiliki tugas dan misi luhur yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Fungsi kontrol yang memiliki Badan Permusyaratan Desa (BPD) hendaknya diarahkan kepada upaya terselenggaranya pemerintah desa berkualitas, dinamis, transparan, baik dan bersih. Jika sebelumnya fungsi kritis dan

(4)

kontrol warga itu berlangsung tertutup dan sembunyi, kini bisa disuarakan secara langsung, terbuka dan prosedural.

Kembalinya fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa, yang selama ini didominasi oleh kepala desa, sekarang fungsi kontrol atas kekuasaan eksekutif desa dijalankan oleh Badan Permusyaratan Desa (BPD) sebagai badan legislatif desa yang merupakan lembaga kepercayaan masyarakat. Lahirnya Badan Permusyaratan Desa (BPD), dinilai sebagai institusi politik demokrasi di masyarakat pedesaaan sebagai pengganti LMD yang memberikan suasana baru dalam kehidupan demokrasi di desa. Badan Permusyaratan Desa (BPD) diharapkan menjadi wadah atau gelanggang politik baru bagi warga desa dan membangun tradisi demokrasi, sekaligus tempat pembuatan kebijakan publik desa serta menjadi alat kontrol bagi proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ditingkat desa. Hal ini bisa terealisasi apabila Badan Permusyaratan Desa (BPD) sebagai mitra Kepala Desa, berperan aktif dalam membangun desa bersama kepala desa dan masyarakat.

Lahirnya Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar merupakan konsekwensi dari implementasi otonomi daerah. Dalam jangka waktu yang relatif cepat lembaga ini dibentuk untuk melakukan pilkades. Lembaga yang masih muda ini adalah lembaga legislatif desa yang baru dalam kehidupan demokrasi di tingkat desa, seharusnya memiliki tanggung jawab penuh untuk menjalankan peranan atau fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap lembaga, termasuk Badan Permusyaratan Desa (BPD) Di Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar akan seoptimal mungkin melaksanakan peran atau fungsinya secara baik, namun semua itu harus dipersiapkan secara matang dan terencana.

(5)

Badan Permusyaratan Desa ( BPD) menjadi alat kontrol bagi pemerintah desa dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah di desa. Sehingga diharapkan pemerintah desa komitmen terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi pembentukan Badan Permusyratan Desa (BPD) yang tidak melibatkan berbagai perwakilan dari masyarakat yang ada akan mengakibatkan pelaksanaan fungsinya tidak optimal. Hal ini terjadi pada proses pembentukan Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria, maka yang terjadi adalah tubuh anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) hanya berlaku parsial bagi pemerintah desa yang terpilih.

Padahal, kegagalan dan kurang optimalnya sebuah lembaga dalam menjalankan peranan serta fungsinya secara maksimal disebabkan karena secara individu maupun lembaga kurang memiliki kinerja yang baik. Kerja pemerintah Desa Janjimaria tidak berjalan dengan baik, karena tidak adanya satu lembaga yang mampu mengontrol seluruh program kerja dalam rangka pelayanan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan desa. Sehingga seluruh tanggung jawab yang dibebankan tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien. Maka, menjadi sangat penting kehadiran Badan pemusyaratan Desa (BPD) dapat diterapkan dengan optimal di pemerintahan desa Janjimaria.

Dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk menggambarkan secara maksimal bagaimana pengaruh pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) terhadap pelaksanaan kerja yang dijalankan oleh kepala desa sebagi pemerintah desa, agar terwujudnya demokratisasi serta semakin baiknya pelayanan terhadap masyarakat didesa sebagai mana yang dicita-citakan dalam otonomi daerah.

(6)

Berdasarkan pemikiran di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Badan Permusyaratan Desa (BPD) dalam menjalankan peran fungsinya terhadap pelaksanaan pemerintahan desa dengan judul ” Pelaksanaan Fungsi Badan

Permusyaratan Desa di Desa Janjimaria ” .

B. Perumusan Masalah

Menurut DR. Suharsimi Arikunto (1996:19) dalam penelitian harus dirumuskan masalah dengan jelas agar penelitian dapat di laksanakan dengan sebaik-baiknyya sehingga akan jelas dari mana harus dimulai dan kemana harus pergi. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria pada pemerintahan Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir.

2. Bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria diimplementasikan pada pemerintahan Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir.

3. Bagaimana fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria efektif dilaksanakan pada program kerja pemerintahan Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir.

(7)

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

“ Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD), implementasinya pada pemerintahan Desa Janjimaria serta efektif dilaksanakan pada program kerja pemerintahan desa Janjimaraia di Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir”

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat ilmiah

Untuk menjadi khasanah ilmiah tentang pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka pemberdayaan desa.

2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan dalam literature kepustakaan bagi kalangan yang berkepentingan dan tertarik dengan masalah yang sama.

(8)

E. Kerangka Teori

Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih (Nawawi; 1987:40)

Selanjutnya Singarimbun menyebutkan bahwa teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Ringkasnya, teori adalah hubungan satu konsep dengan konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu.

Adapun teori-teori yang mendasari penelitian ini adalah:

1. Fungsi Lembaga Badan Permusyaratan Desa (BPD)

a. Defenisi Fungsi.

Fungsi merupakan tranformasi akibat pemetaan suatu nilai ke nilai lain

b. Defenisi Lembaga Badan Permusyaratan Desa (BPD).

Badan Permusyaratan Desa (BPD) merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan desa yang diharapkan dapat membantu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat.

c. Fungsi, wewenang, hak dan kewajiban Badan Permusyaratan Desa (BPD).

(9)

1) Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD):

a) Fungsi mengayomi yaitu: menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.

b) Legilasi: merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa.

c) Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang. d) Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peratauran

Desa, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, pelaksanaan Keputusan Kepala Desa dan Kebijaksanaan Pemerintahan Desa serta memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Desa terhadap perjanjian kerja sama yang menyangkut kepentingan desa.

2) Wewenang Badan Permusyaratan Desa (BPD):

a) Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

b) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa.

c) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa

d) Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat;dan menyusun tata tertib Badan Permusyaratan Desa (BPD)

3) Hak Badan Permusyaratan Desa (BPD) :

a) Meminta keteranagn kepada Pemerintah Desa. b) Menyatakan pendapat

(10)

4) Kewajiban Badan Permusyaratan Desa (BPD):

a) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.

b) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

c) Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republuk Indonesia.

d) Menyerap, menampung, menghimpun dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.

e) Memproses pemilihan kepala desa.

f) Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

g) Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. h) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga

kemasyarakatan.

2. Badan Permusyaratan Desa (BPD)

Badan Permusyaratan Desa (BPD) merupakan suatu lembaga yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota Badan Permusyartan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota Badan Permusyaratan

(11)

Desa ( BPD) terdiri dari ketua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Peresmian anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota dihadapan masyarakat dan dipandu oleh. Pimpinan BPD yang terdri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD), dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) secara langsung dalam rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) yang diadakan secara khusus, Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD) untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Badan Permusyaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat..

Rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD). Rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya (satu per dua) dari jumlah anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD), dan keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal tertentu rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota Badan Permusyaratn Desa (BPD),dan keputusan ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya satu perdua ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyartan Desa (BPD) yang

(12)

hadir. Hasil rapat Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyaratan Desa (BPD) dan dilengkapi dengan notulen rapat yang dibuat oleh Sekretaris BPD. Pimpinan dan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Tunjangan pimpinan dan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) ditetapkan dalam APB desa. Untuk kegiatan Badan Permusyaratan Desa (BPD) disediakan biaya operasional sesuai kemampuan keuangan desa yang dikelola oleh Sekretaris Badan Permusyaratan Desa (BPD). Biaya ditetapkan setiap tahun dalam APB desa. Pimpinan dan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa.

Pimpinan dan Anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) dilarang:

a. Sebagai pelaksan proyek desa.

b. Merugikan kepentingan umum, meresahakan sekelompok masyarkat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain.

c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.

d. Menyalah gunakan wewenang. e. Melanggar sumpah/janji jabatan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyaratan Desa (BPD), ditetapkan dengan peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan daerah Kabupaten /Kota sekurang-kurangnya:

(13)

a. Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

b. Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota. c. Pengesahan penetapan anggota.

d. Fungsi, dan wewenang. e. Hak, kewajiban dan larangan.

f. Pemberhentian dan masa keanggotaan. g. Penggantian anggota dan kepemimpinan. h. Tata cara pengucapan sumpah dan janji. i. Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja.

j. Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. k. Hubungan kerja dengan kepala desa dan lembaga kemasyarakatan. l. Keuangan dan administratif.

3. Otonomi Daerah

Menurut Loggeman dalam tulisannya ” Het staatsrecht derzelfregerenda Gemenschappe ” istilah ototnomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas yang harus dipertanggung jawabkan.

Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur:

a. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus dilaksanakan serta kewenangan untuk melaksanakannya.

(14)

b. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian itu.

Pemberian kekuasaan dalam istilah otonomi dalam arti bertanggung jawab atas pengaturan dan pengurusan pemerintahan daerah mempunyai sifat mendorong atau memberikan perangsangan untuk berusaha menumbuh dan mengembangkan keinginan sendiri, sifat itu membangkitkan otoaktivitas dan mempertinggi harga diri dalam arti yang sebaik-baiknya (Syafruddin,1984;6). Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintahan di daerah.

Otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah inilah yang disebut dengan otonomi daerah (Garna,2000:246)

Pengertaian otonomi daerah mengandung beberapa segi:

Pertama, bahwa otonomi daerah bukan skema kedaulatan daerah dalam konteks Negara federa. Otonomi dalam rangka undang-undang 1945 pasal 18 yang menyebutkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar klan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyaratan dalam sistem pemerintahan Negara klan hak asal usul dalam Negara yang bersifat istimewa.

Kedua, kebijakan otonomi lebih merupakan perubahan dalam tatanan susunan kekuasaan, termasuk di dalam perubahan dalam prinsip kerja pemerintah dimana daerah mendapatkan kemenangan untuk mengatur urusan daerahnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian otonomi mempunyai arti adanya skema otonmi dipandang sebagai pendekatan baru dalam menjalankan pembangunan. Pendekatan baru

(15)

ini tentunya membutuhkan bukti praktis dimana kekuasaan pusat memberikan kepercayan penuh terhadap daerah untuk mensejahterahkan rakyat dengan tetap menjaga integrasi bangsa.

Ketiga, prose politik yang dijalankan orde baru yang tidak memberikan harga kepada partisipasi masyarakat telah dengan seksama menunjukkan bagaimana akibat dari elitesmi politk tersebut. Akibat dari sesuatu yang dimaksud tersebut bukan sesuatu yang harus ditanggung oleh elit melainkan oleh masyarakat. Dari ketiga segi tersebut dinyatakan bahwa otonomi daerah pada dasarnya adalah sebuah koreksi terhadap struktur kekuasaan yang semula lebih berakar keatas menjadi model baru yang berorentasi ke bawah. (Alexandar,2000:1-2)

Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan, Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Widjaja,2001:243).

Ada beberapa prinsip otonomi daerah yang dijadikan prinsip dalam penyelenggaraan pemerintah daerah,yaitu:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakasanakan berdasarkan aspek demokratis, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

(16)

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatakan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten/kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan perumahan , kawasan perkebunan, kawasan kehutanan, kawasan industri, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi

legislatif daerah, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

g. Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepala daerah, tetapi juga dari pemerintah daerah kepada pemerintah desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana. Serta sumber daya manusia dan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yangmenugaskan (Masyukur,2001:21).

(17)

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantaun, Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyrakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatakan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

(18)

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraaan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatakan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tegaknya Negara Kesatauan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.

(19)

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.

Di samping itu pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalaam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dngan peratuaran perundang-undangan.

4. Pemerintahan Daerah

Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kepala Daerah adalah Kepala pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil, Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung. Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah.

(20)

Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan taat caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politk atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh dukungan suara dalam pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu.

Susunan dan kedudukan DPRD yang mencakup keanggotaan, pimpinan, fungsi, tugas, wewenang, hak, kewajiban, penggantian antar waktu, alat kelengkapan, protokoler, keuangan, peraturan tata tertib, larangan dan sangsi, diatur tersendiri di dalam Undang-undang mengenai susunan dan kedudukan Majelis Permusyaratan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakialn Rakyat Daerah. Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tersebut dan yang masih memerlukan pengaturan lebih lanjut baik yang bersifat penegasan maupun melengkapi diatur dalam Undang-Undang ini.

Melalui Undang-Undang ini Komisi pemilihan Umum Daerah (KUPD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagi penyelenggara pemilihan kepala daerah. KUPD yang dimaksud Undang-Undang ini adalah KUPD sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakya, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KUPD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelenggaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KUPD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan berita acara yang selanjutnya KUPD

(21)

menyerahkan kepada DPRD untuk proses pengusulannya kepada pemerintah guna mendapatkan pengesahan.

Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintah daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya mendukung bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

5. Desa

Pengertian desa dari sudut pandang sosial budaya dapat diartikan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara

(22)

langsung pada alam. Oleh karean itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dikatakan rendah. Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum , desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Melalui kaca mata ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan Negara. (Juliantara,2000:18)

Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintah Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasitisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Undang-undang lain mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemrintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa genekologis yaitu dengan yang bersifat administratif ataupun alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

(23)

Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaraan pendapatan dan belanja desa, dan keputusan kepala desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagi mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.

Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabnya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyaratan Desa (BPD), Kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyratan Desa (BPD) untuk menyatakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang dimaksud.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkn dalam peraturan daerah yang mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah pusat.

(24)

6. Pemerintahan Desa

Dalam pemerintah daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintahan desa dan Badan Permusyaratan Desa (BPD).

Pembentukan, penghapusan, dan atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal usulnya atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama Badan Permusyaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan Perda.

Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga Negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada peraturan pemerintah. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa ditetapkan sebagai kepala desa. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum dapat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan, hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pemilihan. Sebelum memangku jabatannya, kepala desa mengucapakan sumpah/janji.

(25)

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. Urusan pemerintahn yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.

b. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada kepala desa.

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan peraturan pemerintah. Badan Permusyaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung damn menyalurkan aspirasi masyarkat.

Anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD). Masa jabatan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD) diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.

Didesa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Lembaga kemasyarakatan bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.

(26)

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa.

Sumber pendapatan desa terdiri atas: a. Pendapatan asli desa

b. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah dan kabupaten/kota.

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupataen/kota.

d. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh Kepala Desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pedoman pengelolaan keuangan desa ditetapkan oleh Bupati/walikota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Badan usaha milik desa dibentuk berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa dapat melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.

Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kerjasama antar desa dengan pihak ketiga dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Kerjasama desa

(27)

dengan pihak ketiga dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk pelaksanaan kerja sama, dapat dibentuk kerja sama.

Pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan Badan Permusyaratan Desa (BPD). Pelaksanaan pembangunan kawasan pedesaaan diatur dengan Perda, dengan memperhatikan:

a. Kepentingan masyarakat desa. b. Kewenangan desa.

c. Kelancaran pelaksanaan investasi. d. Kelestarian lingkungan hidup.

e. Keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Perda, sebagaimana dimaksud wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa.

F. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. (Singarimbun,1995:31).

Untuk mendapatkan batasan defenisi yang lebih jelas dari masing-masing konsep, maka penulis mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan yaitu:

(28)

1. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan.

2. Otonomi Desa adalah kewenangan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan.

3. Pemerintahan desa adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyaratan desa.(BPD)

4. Badan Permusyaratan Desa (BPD merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan desa yang diharapkan dapat membantu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat.

5. Fungsi pemerintah desa adalah menjalankan tugas, kewajiban atau kerja pokok yang harus dilaksanakan oleh eksekutif desa atau kepala desa dan perangkai desa. 6. Pelaksanaan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) yaitu:

a. Fungsi mengayomi yaitu: menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersngkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.

b. Legisasi yaitu:merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Perintah Desa.

c. Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang.

(29)

d. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa, pelaksanaan Keputusan Kepala Desa dan Kebijaksanaan Pemerintahan Desa serta memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Desa terhadap rencana perjanjian kerja sama yang menyangkut kepentingan desa.

G. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain sebagai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah operasionalisasi kerangka teori yang telah diajukan sebelumnya (singarimbun 1989:46).

Adapun indikator-indikator dari variabel yang diteliti adalah Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa di Desa Janjimaria Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba samosir adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD). 2. Peran Badan Permusyaratan Desa (BPD).

3. Kendala, penghalang dalam menjalankan fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD).

4. Usaha-usaha yang dilakukan agar pelaksanaan Badan Permusyaratan Desa BPD) berjalan dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap syukur kepada Kristus Sang Kepala Gereja, Majelis Jemaat GKI Delima, akan melaksanakan Kebaktian Penahbisan Pendeta dalam

Adapun variabel-variabel yang sangat berpengaruh terhadap penentuan zona kerentanan bencana gempa bumi tektonik di wilayah penelitian, yaitu variabel jenis

Tatap muka dalam kegiatan kolektif guru (KKG/MGMP/MGBK) yaitu peserta berinteraksi dengan fasilitator untuk mempelajari modul yang telah ditentukan secara terjadwal,

Apabila individu mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan maka dalam urin biasanya akan terdapat lebih sedikit air dan secara proporsional lebih banyak

Dalam upaya tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara: (1) penyebaran kuesioner kepada responden masyarakat Desa, (2) wawancara mendalam kepada Kepala

- Jika data menyebar lebih jauh dari diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka

Secara hukum putusan baik pada tingkat pertama, maupun kasasi adalah tepat, hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu dipertimbangkan beberapa hal penting khusus mengenai

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen ( Risk Based Internal Audit dan Regulasi Rokok ) mempunyai pengaruh yang sama terhadap variabel