10 BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Terapi relaksasi otot progresif
2.1.1. Pengertian relaksasi otot progresif.
Relaksasi otot progresif (ROP) adalah gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan dan melemaskan otot ini dilakukan secara berturut-turut (Synder danLinquisr, 2009 dalam Sari 2014). Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti, dan teknik ini memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Herodes 2010, dalam Setyoadi dan Kushariyadi 2011).
2.1.2. Tujuan relaksasi otot progresif.
Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam Setyoadi dan Kushariyadi(2011) tujuan dari teknik relaksasi otot progresif adalah sebagai berikut :
11
2.1.2.1. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolikMengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen
2.1.2.2. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak memfokuskan perhatian serta relaks
2.1.2.3. Meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi 2.1.2.4. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress
2.1.2.5. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia ringan, gagap ringan
2.1.2.6. Membangun emosi positif dari emosi negatif
Menurut Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando (2017) relaksasi otot progresif pada anak bertujuan agar anak dapat membuat kontraksi otot di bagian tubuh yang berbeda-beda sehingga anak terbantu melakukan gerakan pada bagian tubuh yang tidak nyaman, gerakan ini bermanfaat untuk membuat tubuh anak menjadi relaks dan tenang sehingga diharapakan kecemasan anak dapat di turunkan.
2.1.3. Kontra indikasi.
Relaksasi otot progresif tidak dapat dilakukan apabila anak sering mengalami kejang otot, punya masalah punggung serta cedera lainnya di otot.
12
2.1.4. Persiapan pelaksanaan relaksasi otot progresif. 2.1.4.1. Persiapan pada pasien.
Sebelum melakukan tindakan terlebih dahulu kita melakukan persiapan pada klien dengan menjelaskan tujuan manfaat dan prosedur pelaksanaan relaksasi otot progresif. Kemudian longgarkan pakaian dan lepaskan alas kaki klien, atur posisi duduk yang nyaman, tidak membungkuk, atau merosot, lakukan teknik nafas dalam tiga kali, saat sudah relaks , gerakan dapat dimulai (Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando, 2017).
2.1.4.2. Alat – alat yang dibutuhkan.
Kegiatan relaksasi otot progresif ini dapat dilakukan anak di tempat tidut maupun di kursi dengan sandaran.
2.1.5. Langkah – langkah teknik relaksasi otot progresif.
Menurut Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando (2017) dan setyoadi dan Kushariyadi (2011) langkah-langkah dalam pelaksanaan relaksasi otot progresif adalah sebagai berikut : Tahapan pada setiap otot yaitu tegangkan otot, tahan 5 hitungan, kemudian lemaskan, lakukan nafas dalam 3 kali dan ulangi gerakan sebanyak 3 kali.
2.1.5.1. Gerakan satu pada pundak : ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur dengan mengakat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh kedua telinga.
13
2.1.5.2. Gerakan dua pada mata : tutup keras- keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
2.1.5.3. Gerakan ketiga wajah: untuk mengendurkan otot otot sekitar mulut dan wajah dengan cara katupkan gigi dan nyengir
2.1.5.4. Gerakan keempat tangan kanan dan kiri : dengan cara merentangkan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kedepan kemudian dorong sekuatnya kemudian relaksasikan, kemudian kepalkan tangan dan lepas kepalan.
2.1.5.5. Gerakan ke lima : dengan cara meluruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
Kegiatan relaksasi otot progresif pada pasien anak dengan kemoterapi kanker dapat dilakukan minimal 10 menit dan maksimal 20 menit per hari dapat menurunkan kecemasan (Allenidekania, Nurahmah, Rustina & Eryando, 2017). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nova (2016), relaksai otot progresif dilakukan selama 3 hari pada pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik Medan yang mengalami cemas, hal ini dapat menurunkan kecemasan.
2.2. Kemoterapi kanker pada keganasan pediatrik
Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkontrol yang bisa mempengaruhi hampir semua bagian tubuh. Word Health Organisation (2014). Keganasan pada anak yang sering terjadi seperti leukimia, tumor otak dan sistem saraf,
14
limfoma, neuroblastoma, rabdomiosarcoma, osteo sarcoma, tumor wilms, retinoblastoma. Upaya pengobatan keganasan tersebut adalah dengan pembedahan, radioterapi, bioterapi, transplantasi sumsum tulang dan kemoterapi. Kemoterapi kanker merupakan salah satu dari sedikit bidang ilmu kedokteran yang sekarang ini menggunakan kombinasi obat lebih berhasil daripada agen tunggal, kemoterapi adalah pemberian agen kima atau anti neoplastik yang bertujuan untuk mengobati penyakit melalui penekanan pertumbuhan organ penyebab dan tidak membahayakan bagi pasien (Faizi dan Irwanto 2016)
Data dari UNICEF yang menyebutkan bahwa jumlah penderita kanker di dunia pada anak umur 5-9 tahun adalah 196 ribu (56,6 %) berjenis kelamin laki-laki dan 150 ribu (43,3%) berjenis kelamin perempuan (UNICEF 2015). Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Novrianda (2016) dalam penelitian disebutkan bahwa anak dengan leukima limpoblastik akut terbanyak adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 68% sedangkan anak yang memiliki jenis kelamin perempuan 32 %. Tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Pinontoan (2013) dimana dikatakan bahwa 61 % anak penderita akut limpositik leukimia adalah berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 39 % anak berjenis kelamin perempuan.
Setiap satu juta anak terdapat 120 anak yang mengidap kanker dan 60 % diantaranya disebabkan oleh leukimia dimana 82% anak menderita leukima limpoblastik akut dan hanya 18% anak dengan leukima mieloblastik (Akut International Cancer Parent Organization 2011 dalam Pinontoan 2013). Demikian pula dengan penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang menyebutkan bahwa jenis
15
kanker yang paling banyak diderita anak berumur dibawah 15 tahun adalah leukimia (30-4%) disusul tumor Otak (10-15%) dan Tumor Mata (10-12%) serta sisanya adalah dari jenis tumor lain (Simanjorang 2013).
Obat kemoterapi kanker yang sering digunakan pada anak-anak yaitu siklofospamide, vincristin, aktinomisin D, asparginase-L, cisplatin, carboplatinum, metrotreksat, 6-merkaptopurin, arabinoside sitosin, vinblastin, dan etoposide. Pengobatan menggunakan kemoterapi, sering di jumpai efek samping baik secara fisik maupun secara psikologis. Adapun efek samping pada fisik anak yang mendapatkan kemoterapi yaitu anak dapat mengalami infeksi karena leukopenia, perdarahan karena trombositopenia, anemia, mual, muntah, gangguan nutrisi, ulserasi mukosa atau stomatitis, alopesia, diare atau konstipasi, demam, neuropati, ruam pada kulit, gangguan elektrolit serta kardiotoksitis, sedangkan dampak psikologis efek samping psikologis yang terjadi pada anak adalah kelelahan, khawatir, cemas, takut akan ancaman kematian serta perubahan emosi (Setiawan 2015).
Efek samping secara fisik yang dialami oleh anak dengan kemoterapi seperti anemia, mual muntah, penurunan nafsu makan membuat anak menjadi merasa lemas, tidak bersemangat, kehilangan tenaga dan mudah merasa mengantuk serta kosentrasi menjadi menurun. Dimana kita mengetahui bahwa anak usia sekolah ini menurut erikson dalam wong (2009) berada dalam tahap industri yaitu anak tertarik untuk melakukan banyak hal dan mengetahui serta mempelajari hal-hal yang baru, anak usia sekolah juga sudah memiliki keinginan untuk bersaing serta memiliki interaksi yang sangat besar dengan teman sebaya, dengan kondisinya yang lemah menyebabkan anak tidak dapat melakukan
16
hal-hal yang biasa dilakukannya seperti kegemaran atau hobinya sebelum anak mengalami kemoterapi di Rumah Sakit serta kegiatan-kegiatan lain yang pada umumnya dilakukan oleh anak seusianya. Hal ini menimbulkan perasaan cemas, khawatir dan takut pada anak bahwa dirinya akan tertinggal dan merasa menjadi berbeda dengan teman-temannya.
Selain itu dampak fisik yang dialami oleh anak dengan kemoterapi juga berdampak pada mendepresi sumsum tulang sehingga selain anak mengalami anemia, anak juga mengalami trombositopenia dan leukositopenia yang membuat anak harus dirawat lebih lama dirumah sakit karena perdarahan maupun infeksi lainnya. Pada anak usia sekolah sudah mampu memahami hubungan sebab akibat dan anak mengetahui apabila melakukan hal yang salah maka akan mendapatkan hukuman, serta anak mampu menempatkan dirinya di posisi orang lain atau anak sudah mampu bersimpati maupun empati. Jadi anak bisa memiliki persepsi bahwa penyakit yang dialaminya akibat ia bersalah dan mendapat hukuman sehingga meningkatkan kecemasan, kekhawatiaran dan ketakutan pada anak akan ancaman kematian dan berpisah dengan keluarganya serta tidak dapat bergabung mengikuti kegiatan dengan teman sebayanya.
Gangguan fisik yang lainnya berupa alopesia dan ruam-ruam di kulit dapat menimbulkan gangguan citra tubuh pada anak, anak merasa berbeda dengan teman sebayanya ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya kecemasan pada anak. Selain itu anak usia sekolah juga merasa bahwa jika anak dan orang tua berbeda pendapat maka pendapat orang tualah yang benar sehingga anak merasa tidak berdaya dan tidak mampu mengungkapkan apa yang diinginkannya, misalnya dalam pengambilan keputusan
17
tentang pengobatan ataupun perawatannya. Anak juga merasa tidak mampu untuk menolok yang diinginkannya terhadap prosedur perawatannya, karena ketidakberdayaan tersebut anak dapat mengalami kecemasan.
Uraian diatas menunjukkan bahwa efek samping kemoterapi terhadap fisik maupun psikologis memiliki saling keterkaitan satu dengan yang lain, dimana efek samping pada fisik juga bisa menimbulakan efek secara psikologis. Usaha untuk meminimalisasikan efek samping secara fisik maka anak diberikan terapi farmakologi oleh dokter seperti anti emetik, anti nyeri, transfusi produk darah, anti fungi, anti piretik dan antibiotika serta obat-obatan lainnya untuk memberikan rasa nyaman dan mengobati gejala-gejala yang timbul, sementara itu terapi non Farmakologi diberikan oleh perawat seperti teknik distraksi atau nafas dalam untuk mengurangi nyeri atau melakukan akupresure titik P6 untuk mengurangi mual dan muntah, tindakan-tindakan tersebut diharapkan mampu mengurangi penyebab kecemasan pada anak ataupun efek samping secara psikologis pada anak. Efek samping psikologis khususnya cemas dapat diatasi dengan beberapa terapi relaksasi salah satunya adalah dengan relaksasi pogresif.
2.3. Kecemasan
2.3.1. Definisi cemas.
Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik yang menegangkan serta tidak diinginkan ( Davies 2009 dalam Rochmawaty 2014). Menurut Corner (1992) dalam Videbeck (2008) cemas atau ansietas adalah perasaan takut yang tidak
18
jelas dan tidak di dukung oleh situasi. Ketika merasa cemas individu merasa tidak nyaman atau takut atau memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang bisa diidentifikasi sebagai stimulus ansietas.
Menurut Stuart (2013) cemas dalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Seseorang merasa dirinya sedang terancam. Perasaan cemas dimulai pada masa bayi dan berlanjut sepanjang hidup. Kecemasan adalah gangguan perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai Reality Testing Ability (RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari 2011 dalam Delvinasari 2015)
2.3.2. Tingkat kecemasan.
Peplau (1963) dalam Stuart ( 2016) mengidentifikasi empat tingkat ansietas dengan penjelasan efeknya:
2.3.2.1. Ansietas ringan terjadi saat kegagalan hidup sehari-hari. Selama tahap ini seseorang waspada dan lapang persepsi meningkat. Kemampuan seseorang untuk melihat, mendengar, dan menangkap lebih dari sebelumnya. Jenis ansietas ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan penumbuhan kreatifitas.
19
2.3.2.2. Ansietas sedang, dimana seseorang hanya berfokus pada hal yang penting saja lapang persepsi menyempit, sehingga kurang melihat, mendengar, dan menangkap. Seseorang memblokir area tertentu tetapi masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan untuk melakukannya. 2.3.2.3. Ansietas berat ditandai dengan penurunan yang signifikan dilapang
persepsi. Cenderung memfokuskan pada hal yang detail dan tidak berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ansietas, dan banyak arahan yang dibutuhkan untuk fokus pada area lainnya.
2.3.2.4. Panik dikaitkan dengan rasa takut dan teror, sebagian orang yang mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan dengan arahan. Peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyempit, dan kehilangan pemikiran yang rasional.
2.3.3. Faktor predisposisi dan presipitasi kecemasan.
Faktor predisposisi dan presipitasi kecemasan menurut stuart dan sundeen (2013) meliputi:
2.3.3.1. Faktor predisposisi.
Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan, konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadiaan (id dan superego), id mewakili dorongan insting sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya, ego memenuhi
20
tuntutan kedua elemen (mengingatkan adanya bahaya). Dalam pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal, kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan fisik. Dalam pandangan perilaku kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2.3.3.2. Faktor presipitasi.
stressor pencetus kecemasan mungkin berasal dari sumber internal atau sumber eksternal yang dapat di kelompokkan dalam dua kategori yaitu : (1) Ancaman terhadap integritas seseorang : ketidakmampuan seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari. (2) Ancaman terhadap sistem diri seseorang : ancaman yang dapat membahayakan identitas, harga diri, fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
2.3.4. Alat ukur kecemasan.
Untuk mengukur tingkat kecemasan pada anak dapat menggunakan The Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS). RCMAS ini dikembangkan oleh Reynolds dan Richmond (1978) untuk menilai tingkat dan kualitas kecemasan yang dialami oleh anak-anak dan remaja yang merupakan revisi dari Children’s
21
Manifest Anxiety Scale (CMAS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Castaneda, Mc Candless dan Palermo (1956). RCMAS cocok digunakan untuk menilai derajat dan kualitas kecemasan pada anak usia 6-19 tahun . Kuesioner RCMAS “apa yang saya pikirkan dan apa yang saya rasakan” terdiri dari tiga faktor kecemasan yang dinilai yaitu kecemasan fisiologis (10 item), khawatir/ oversensitivity (11 item), konsentrasi dan kepedulian sosial (7 item) dengan jawaban “ya” skor 1 dan jawaban “tidak” skor 0. Jumlah skor butir pernyataan pada kuesioner RCMAS yang diperoleh adalah 0-28 (han, 2009). Quesioner RCMAS ini telah digunakan dan alih bahasakan serta di uji validitasnya oleh prabowo (2015) dalam penelitiannya tentang pengaruh senam otak terhadap tingkat kecemasan sosial pada anak usia sekolah kelas 1 di SD Negeri Tuguran Gampng Sleman Yogyakarta. RCMAS juga telah digunakan dan dialih bahasakan serta telah di uji validitas oleh Sun (2007) dalam Ahmadi 2014. RCMAS dapat didisi oleh petugas kesehatan maupun diisi oleh responden sehingga kuesioner ini dapat dengan mudah diterapkan dan hanya membutuhkan waktu kuranglebih 10 menit dalam pengisiannya (Drjenna 2013).
Selain itu untuk mengukur tingkat kecemasan dapat Menggunakan Hamilto Rating Scale For Anxiety (HRS-A) Maranatha (2011). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skore) antara 0-4.
0 : tidak ada gejala
22
2 : sedang (satu gejala dari pilihan yang ada) 3 : berat (separuh dari gejala yang ada) 4 : berat (lebih dari separuh gejala yang ada) 5 : Berat sekali (semua gejala ada)
Alat ukur ini menggunakan teknik wawancara langsung. Masing-masing angka dari ke 14 kelompok tersebut di jumlahkan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu :
Skor <14 tidak ada kecemasan 14-20 kecemasan ringan 21-27 (kecemasan sedang) 28-41 (kecemasan berat)
42-56 (kecemasan berat sekali.)
2.4. Anak usia sekolah 2.4.1. Definisi.
Anak usia sekolah adalah antara usia 6-12 tahun, mengalami waktu pertumbuhan fisik pogresif yang lambat, sedangkan kompleksitas pertumbuhan sosial dan perkembangan mengalami percepatan dan meningkat. Fokus dunia mereka berkembang dari keluarga ke guru, teman sebaya, dan pengaruh luar lainnya. (Kyle & Carman 2012). Anak usia sekolah merupakan rentang kehidupan yang dimulai dari usia 6 sampai 12 tahun, usia ini memliliki berbagai label yang masing-masing menguraikan karakteristik penting dari periode tersebut (Wong 2009).
23 2.4.2. Tahap Perkembang anak usia sekolah.
Secara fisiologis, anak usia sekolah dimulai dengan tanggalnya gigi susu pertama dan diakhiri pada usia pubertas dengan memperoleh gigi permanen terakhir (kecuali gigi geraham terakhir). Tahap perkembangan menurut Teori Erikson adalah industri vs inferior (pengembangan rasa industri), dijelaskan bawa pada usia ini anak ingin melakukan atau mempelajari dan menghasilkan sesuatu yang baru, sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan pujian atas keberhasilannya serta mendapatkan dukungan yang banyak ketika anak mengalami kegagalan. Anak usia sekolah juga memiliki keterikatan yang besar terhadap teman sebayanya, melakukan aktifitas belajar dan bermain bersama teman sebaya menjadi hal yang sangat penting bagi anak (Erikson 1963 dalam Kyle dan Carman 2012).
Hospitalisasi merupakan suatu proses dimana karena alasan tertentu atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di Rumah Sakit, menjalani terapi perawatan sampai pulangnya kembali ke rumah (Supartini 2004 dalam utami 2014). Saat anak mengalami hospitalisasi dirumah sakit anak memiliki keterbatasan dalam melakukan hal-hal yang dia inginkan dan melakukan kegemarannya, hal ini membuat anak menjadi cemas bahwa dia akan berbeda dengan teman sebayanya dan merasa tidak dapat melakukan apa-apa, serta muncul perasaan cemas apakah ia dapat membuat orangtuanya bangga, sehingga anak membutuhkan dukungan
24
dari lingkungan sekitarnya, seperti orang tua, teman sebaya dan juga perawat yang berada 24 jam bersama pasien selama anak mengalami hospitalisasi.
Pada anak usia sekolah anak sudah mampu mengenal benar dan salah , anak memahami jika dirinya melakukan kesalahan maka dia akan mendapat hukuman. Pada anak yang mengalami sakit anak dapat berfikir bahwa sakitnya adalah merupakan hukuman karena kesalahannya, sehingga sering kali menimbulkan kecemasan pada anak. Selain itu anak usia sekolah juga menganggap jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dan orang dewasa maka orang dewasa yang benar, pada anak yang mengalami hospitalisasi anak terpaksa harus mengikuti prosedur-prosedur untuk pengobatan dan perawatan yang menyebabkan anak mengalami nyeri dan tidak nyaman sehingga anak cenderung tidak mau mengikuti prosedur-prosedur tersebut, serta mengalami kecemasan sebelum maupun saat prosedur berlangsung, anak juga merasa tidak mampu untuk menolak prosedur perawatan hal ini akan meningkatkan kecemasan yang dialami anak.
Menurut Freud dalam Wong (2009) anak usia sekolah berfokus pada aktifitas yang mengembangkan keterampilan sosial dalam hubungan dengan teman sebaya yang sejenis dan mengembangkan keterampilan kognitif. Saat anak mengalami hospitalisasi dan mendapatkan kemoterapi, lingkungan anak terbatas, dan anak mengalami efek kemoterapi seperti mual, muntah, diare, demam, perdarahan dan yang lainnya sehingga anak mengalami kelemahan dan memaksa anak untuk tetap
25
tinggal di tempat tidurnya, hal ini menyebabkan anak kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan tengan sebaya melakukan aktifitas- aktifitas seperti belajar maupun bermain perasaan cemas akan timbul karena hal tersebut. Tidak jarang anak yang mendapatkan kemoterapi harus mengalami isolasi dikarenakan mengalami leukopenia, isolasi disini adalah anak ditempatkan di ruang tersendiri dan dibatasi pengunjung. Anak akan merasa sendiri dan perasaan cemas akan muncul karena merasa tidak mendapat dukungan terutama dari teman sebaya.
2.5. Penelitian terdahulu
Penelitian terdahulu tentang pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan adalah sebagai berikut:
2.5.1. Penelitian yang dilakukan oleh Praptini(2014) tentang Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Kemoterapi pada 22 Orang Pasieni di Rumah Singgah Kanker Denpasar , di temukan bahwa relaksasi otot progressif berpengaruh terhadap tingkat kecemasan dengan p value 0.002.
2.5.2. Penelitian yang dilakukan oleh Dogobercia (2012) yang juga meneliti perbedaan tingkat kecemasan pada 30 orang pasien dewasa preoperasi dengan general anestesi sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otot progresif di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Hasil penelitian adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otot progresif.