• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN KOMPOSISI ASAM AMINO DAN MINERAL IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) AKIBAT PROSES PENGGORENGAN YULIA EKAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN KOMPOSISI ASAM AMINO DAN MINERAL IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) AKIBAT PROSES PENGGORENGAN YULIA EKAWATI"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KOMPOSISI ASAM AMINO DAN MINERAL

IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)

AKIBAT PROSES PENGGORENGAN

YULIA EKAWATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Akibat Proses Penggorengan” adalah benar merupakan hasil karya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Yulia Ekawati

(4)

ABSTRAK

YULIA EKAWATI. Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Akibat Proses Penggorengan. Dibimbing oleh NURJANAH dan SUGENG HERI SUSENO.

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan sumber protein dan mineral bagi tubuh. Pengolahan ikan cakalang yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah dengan cara penggorengan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menentukan pengaruh proses penggorengan dengan metode

deep frying pada suhu 180 oC terhadap komposisi kimia, asam amino, dan mineral

ikan cakalang. Proses penggorengan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap komposisi kimia, asam amino, dan Ca ikan cakalang. Kadar air dan protein ikan cakalang menurun secara signifikan (P<0,05) setelah proses penggorengan. Kadar lemak dan abu ikan cakalang meningkat secara signifikan (P<0,05) setelah proses penggorengan. Ikan cakalang segar mengandung total asam amino sebesar 74,25 g/100 g yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) setelah proses penggorengan. Asam amino esensial tertinggi pada ikan cakalang segar dan goreng adalah histidin. Kalsium mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) setelah proses penggorengan, sementara mineral K, Na, Fe, dan Zn mengalami perubahan yang tidak signifikan (P>0,05) setelah proses penggorengan. Mineral kalium memiliki jumlah tertinggi pada ikan cakalang segar maupun goreng yaitu masing-masing sebesar 7966,54±834,14 ppm dan 8316,22±141,55 ppm.

Kata kunci: histidin, kalium, pengolahan

ABSTRACT

YULIA EKAWATI. Changes in Amino Acid and Mineral Composition of Skipjack (Katsuwonus pelamis) Due Frying Process. Supervised by NURJANAH and SUGENG HERI SUSENO.

Skipjack (Katsuwonus pelamis) is a source of protein and minerals for the body. Fish processing commonly performed by Indonesian society is frying. The purpose of this study was to determine the effect of deep frying at 180oC for 5 min to the chemical composition, amino acids, and minerals of skipjack. Frying had a significant effect (P<0.05) of chemical composition, amino acid, and Ca in skipjack. Moisture and protein content decreased significantly (P<0.05), fat and ash content increased significantly (P<0.05) after frying. Total amino acids in fresh skipjack were 74.25 g/100 g, consisted of 9 essential amino acids and 6 non essential amino acids. Amino acids decreased significantly (P<0.05) after the frying. The highest essential amino acids in the fresh and fried skipjack were histidine. Mineral Ca increased significantly (P<0.05), Na, K, Fe, and Zn had not changed significantly (P>0.05) after the frying process. Mineral K had the highest number of fresh and fried skipjack (7966.54±834.14 ppm and 8316.22±141.55 ppm).

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)
(7)

PERUBAHAN KOMPOSISI ASAM AMINO DAN MINERAL

IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)

AKIBAT PROSES PENGGORENGAN

YULIA EKAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Akibat Proses Penggorengan

Nama : Yulia Ekawati NIM : C34100002

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Nurjanah, MS Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Akibat Proses Penggorengan” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1 Ibu Prof Dr Ir Nurjanah, MS. selaku dosen pembimbing I, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2 Bapak Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

3 Bapak Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku dosen penguji sekaligus Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

4 Staf dosen dan administrasi Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5 Kedua orang tua tersayang yang telah memberikan cinta, kasih sayang, dan doanya kepada penulis. Kedua adik tersayang Lulut Dwi Jayanti dan Fadhil Andriansyah yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

6 Prisca Sari Paramudhita selaku partner dalam pengerjaan penelitian, atas kebersamaan dan semangat yang telah diberikan.

7 Feraliana Audia Utami, Laela Hidayatul Azizah, Tim Asisten PBB, dan teman-teman THP 47 atas kebersamaan dan semangat yang diberikan.

8 Kakak kelas THP 46 dan 45 yang telah membantu penulis atas informasi yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

9 Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu pesatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, 17 Februari 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 2

METODE ... 3

Bahan Penelitian ... 3

Peralatan Penelitian ... 3

Waktu dan Tempat Penelitian ... 3

Prosedur Penelitian ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Mofometrik Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) ... 9

Rendemen ... 10

Komposisi Kimia ... 11

Asam Amino ... 15

Mineral ... 18

KESIMPULAN DAN SARAN ... 21

Kesimpulan ... 21

Saran ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN ... 26

(13)

DAFTAR TABEL

1 Morfometrik ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ... 9

2 Komposisi kimia ikan cakalang ... 11

3 Perbandingan komposisi kimia ikan cakalang ... 11

4 Komposisi asam amino ikan cakalang ... 16

5 Skor kimia asam amino esensial ikan cakalang ... 17

6 Perbandingan asam amino esensial ikan cakalang dengan kebutuhan harian tubuh ... 18

7 Komposisi mineral makro dan mikro ikan cakalang ... 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir prosedur penelitian ... 4

2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ... 9

3 Rendemen ikan cakalang ... 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data morfometrik ikan cakalang ... 27

2 Contoh perhitungan analisis proksimat ikan cakalang ... 27

3 Contoh data mineral Na ikan cakalang ... 29

4 Peak standar asam amino ikan cakalang segar ... 20

5 Peak asam amino ikan cakalang segar ulangan I ... 31

6 Hasil analisis statistik proksimat ikan cakalang ... 32

7 Hasil analisis statistik mineral ikan cakalang ... 32

8 Hasil analisis statistik asam amino ikan cakalang ... 33

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara maritim memiliki perairan yang sangat luas dan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Kondisi ini menjadikan perikanan memainkan peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Produk perikanan tidak hanya dimanfaatkan untuk konsumsi lokal tetapi juga untuk ekspor. Kebijakan pemerintah untuk menempatkan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015, membuat perikanan dan pelaku perikanan terus berupaya mencapai target melalui peningkatan produksi. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) telah menjadi komoditas penting dalam industri perikanan tuna beberapa tahun terakhir. Produksi ikan tuna, cakalang, dan tongkol nasional pada tahun 2011 sebesar 955.520 ton. Realisasi ekspor tuna, cakalang, dan tongkol asal Indonesia pada tahun 2011 sebesar 141.774 ton meningkat dibandingkan tahun 2010 yang hanya sebesar 122.450 ton. Ekspor perikanan pada tahun 2012 secara umum menunjukkan kecenderungan peningkatan, khususnya ke Jepang dan Amerika Serikat (KKP 2012).

Ikan cakalang mengandung komponen gizi yang cukup tinggi, khususnya protein. Protein ikan lebih mudah dicerna tubuh dibandingkan protein dari hewan terestrial. Protein memiliki peranan yang penting bagi tubuh, diantaranya sebagai bahan pembangun sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel yang telah rusak. Protein tersusun dari asam amino baik esensial maupun non esensial. Asam amino berperan dalam pertumbuhan manusia. Ikan cakalang juga memiliki kandungan mineral makro dan mikro yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Mineral tersebut memiliki fungsi tersendiri dalam tubuh. Jika tubuh kekurangan suatu mineral, maka pertumbuhan dan fungsi dari bagian tubuh tertentu akan terganggu. Menurut Karunarathna dan Attygalle (2009), jenis mineral yang terkandung dalam ikan cakalang yaitu K, Na, Ca, Fe, Cu, dan Zn.

Ikan cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi dan dijual dalam bentuk segar dan beku. Ikan cakalang diolah dalam berbagai bentuk yaitu ikan kaleng, ikan kering, maupun ikan asap. Ikan cakalang juga diproses untuk membuat

katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan) untuk masakan

Jepang. Cakalang juga dapat diawetkan dalam bentuk cakalang fufu (cakalang asap) di Manado. Ikan cakalang umumnya dikonsumsi dalam bentuk goreng.

Proses penggorengan merupakan suatu cara memasak bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Tujuan proses penggorengan adalah melakukan pemanasan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan pangan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan serta jumlah kalori makanan akan meningkat setelah digoreng (Winarno 1999). Salah satu teknik menggoreng yang umum dilakukan adalah deep frying. Deep frying merupakan metode menggoreng dengan minyak berjumlah banyak sehingga semua bagian makanan yang digoreng terendam di dalam minyak panas. Keuntungan menggoreng dengan teknik deep frying adalah tingkat kematangan bahan yang merata dan bahan akan menjadi lebih renyah (Mulyatingisih 2007).

(16)

2

Proses penggorengan dapat mempengaruhi komponen gizi yang terkandung di dalam bahan makanan. Hasil penelitian Gokoglu et al. (2004) menunjukkan bahwa proses penggorengan dapat meningkatkan kadar lemak rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) sebesar 9,26%. Penelitian Oluwaniyi dan Dosumu (2009) menunjukkan bahwa total asam amino Trachurus trachurus mengalami penurunan sebesar 6,21% akibat proses penggorengan. Penelitian terkait kandungan gizi dan pengaruh proses penggorengan terhadap ikan cakalang masih belum diketahui, oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai pengaruh proses penggorengan terhadap komposisi gizi ikan cakalang khususnya asam amino dan mineral.

Perumusan Masalah

Penelitian internasional mengenai ikan cakalang telah banyak dilakukan baik dari aspek biologi maupun kimia ikan cakalang, namun di dalam negeri penelitian mengenai ikan cakalang masih jarang dilakukan. Bentuk pengolahan ikan cakalang yang umum dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara menggoreng. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk menentukan efek penggorengan pada komposisi bahan pangan. Pengaruh proses penggorengan terhadap komposisi kimia, asam amino, dan mineral ikan cakalang sebagai salah satu sumber pemenuhan gizi perlu diketahui mengingat ikan cakalang merupakan ikan yang cukup diminati oleh masyarakat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh proses penggorengan dengan metode deep frying pada suhu 180 oC selama 5 menit terhadap komposisi kimia, asam amino, dan mineral ikan cakalang.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kandungan gizi ikan cakalang dan pengaruh penggorengan terhadap kandungan asam amino dan mineral ikan cakalang.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan sampel, pengukuran morfometrik dan pengujian sensori, preparasi sampel dan perhitungan rendemen, proses penggorengan, analisis proksimat, asam amino, mineral, pengolahan data, dan penulisan laporan.

(17)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan November 2013. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Industri Hasil Perairan, proses penggorengan dilakukan di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, dan ananlisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis asam amino dilakukan di Laboratorium Terpadu Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan cakalang yang diperoleh dari PT Graha Insan Sejahtera, Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan pembantu yang digunakan adalah minyak goreng merk “bimoli”, air, es, dan dalam analisis proksimat menggunakan bahan berupa akuades, H2SO4, NaOH,

HCl, H3BO4, dan pelarut heksana. Bahan yang digunakan dalam analisis asam

amino adalah HCl, larutan brij-30 (polietilen lauril eter) 30%, 2-merkaptoetanol, larutan standar asam amino 0,5 mikromol/mL, Na EDTA, metanol, akuades, Na-asetat, dan larutan ortoftalaldehid. Bahan yang digunakan untuk analisis mineral adalah akuades, HNO3, HClO4, H2SO4, dan HCl.

Peralatan Penelitian

Alat yang digunakan dalam preparasi sampel pada penelitian ini adalah deep

fryer, pisau, talenan, aluminium foil, baskom, timbangan analitik, kertas label,

plastik tahan panas, dan alat pendingin. Analisis proksimat menggunakan alat berupa cawan porselen, oven, desikator (analisis kadar air); labu lemak, tabung sokhlet, pemanas (analisis kadar lemak); tabung kjeldhal, desikator, destilat, dan buret (analisis kadar protein); cawan porselen, tanur, dan desikator (analisis kadar abu). Analisis asam amino menggunakan alat labu takar, evaporator, oven, syringe, pipet mikro, timbangan digital, erlenmeyer, water bath, mortar, kertas saring milipore, dan High Performance Liquid Chromatrography (HPLC) Shimadzu RF 20A. Analisis mineral menggunakan alat hotplate, labu takar, erlenmeyer, timbangan dan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Shimadzu tipe AA-7000.

(18)

4

Prosedur Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan cakalang dari PT Graha Insan Sejahtera, Muara Baru, Jakarta Utara. Sampel selanjutnya dilakukan pengujian sensori, pengukuran morfometrik, preparasi, perhitungan rendemen (daging dan kulit, tulang dan kepala, serta jeroan) dan proses penggorengan. Daging ikan cakalang segar dan goreng yang telah dicacah selanjutnya dianalisis proksimat, asam amino, dan mineral. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Pengukuran Morfometrik (Nasution et al. 2004)

Bahan baku yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis morfometrik meliputi panjang total, panjang baku, panjang cagak, tinggi badan, dan lebar badan. Panjang total merupakan ukuran dari ujung bagian kepala yang paling depan sampai dengan ujung sirip ekor. Panjang baku merupakan jarak antara ujung bagian kepala yang paling depan sampai ke pelipatan pangkal sirip ekor. Panjang cagak diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung bagian luar

Ikan cakalang

Pengujian sensori, pengukuran berat, dan morfometrik

Preparasi sampel (pemisahan jeroan, kepala dan tulang, dan daging)

Perhitungan rendemen

Segar Penggorengan pada suhu 180 ºC selama 5

menit

Analisis proksimat, mineral, dan asam amino Pencacahan

Pencacahan

Daging segar cacah

(19)

5

lekukan cabang sirip ekor. Tinggi badan diukur pada jarak tertinggi antara bagian dorsal dengan ventral. Lebar badan merupakan jarak terbesar antara kedua sisi badan ikan.

Preparasi dan Perhitungan Rendemen (Purwaningsih et al. 2013)

Ikan cakalang dipreparasi dengan cara memfillet ikan. Hasil fillet kemudian dipisahkan dari jeroan dan tulang serta kepala untuk menentukan rendemen masing-masing bagian tubuh. Rendemen dihitung sebagai persentase bobot bagian tubuh ikan yang digunakan dari bobot ikan total. Rendemen yang dihitung adalah daging, kepala dan tulang, serta jeroan. Perhitungan rendemen dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:

Rendemen = Bobot contoh

Bobot total x 100%

Proses Penggorengan (modifikasi Domiszewski et al. 2011)

Daging ikan yang telah diperoleh kemudian diambil sebagian untuk digoreng. Daging ikan yang akan digoreng memiliki ukuran panjang 4 cm, lebar 6 cm, dan tebal 0,5 cm. Daging ikan digoreng menggunakan 4 liter minyak goreng dengan suhu penggorengan 180 oC. Modifikasi dilakukan pada waktu proses penggorengan yaitu selama 5 menit. Daging ikan segar dan goreng masing-masing dicacah, kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu untuk analisis proksimat, analisis asam amino, dan analisis mineral.

Analisis Proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap sampel ikan cakalang meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak.

1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 100 ºC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan yang telah mempunyai berat yang konstan, ditambahkan sampel seberat 5 g. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 100 ºC selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut:

kadar air (%) = B - C

B - A X 100% Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

(20)

6

2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 100-150 ºC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan sampai tidak berasap, selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 ºC selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih, setelah itu cawan abu porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya. Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut:

kadar abu (%) = 𝐶−𝐴

𝐵−𝐴

x 100% Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (g)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g) 3) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Prinsip dari analisis protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(a) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltab. Satu butir tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas dengan suhu 410 ºC. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi hijau bening.

(b) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu labu dibilas dengan dengan akuades (50 mL). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40-60% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmenyer 125 mL berisi larutan H3BO3 dan 3

tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dan metil biru 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 mL destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator

dalam erlenmenyer. (c) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan di dalam erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:

protein (%) = vol HCl x N HCl x 14,01 x 6,25 x FP

mg sampel x 100%

Keterangan: FP = Faktor pengenceran

4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2), dan disambungkan dengan tabung soxhlet.

(21)

7

Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 ºC dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor kemudian dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak adalah sebagai berikut:

kadar lemak (%) = W3-W2

W1 x 100% Keterangan : W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)

Analisis Asam Amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC merk Shimadzu RF 20A. Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi, dan tahap injeksi serta analisis asam amino.

1) Tahap pembuatan hidrolisat protein

Hal yang dilakukan pada tahap pembuatan hidrolisat protein adalah sampel ditimbang sebanyak 3 mg dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 10 mL yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 ºC selama 24 jam. Sebelum dilaukan pemanasan, ditambahkan gas N2 pada sampel untuk menghilangkan gas atau udara yang ada

pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis.

2) Tahap pengeringan

Sampel disaring menggunakan kertas saring dan dikeringkan menggunakan

rotary evaporator pada suhu 85 ºC selama 30 menit. Hal ini dilakukan untuk

memisahkan pelarut dengan asam amino. 3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi dibuat dari campuran ortoftalaldehida (OPA) 50 mg, metanol 4 mL, merkaptoetanol 0,025 mL, brij-30 30% sebanyak 0,050 mL, dan buffer borat 1 M pH = 10,4. Pereaksi derivatisasi dibuat dengan mencampurkan satu bagian larutan stok dengan dua bagian larutan buffer Kalium Borat pH 10,4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Sampel yang telah dikeringkan ditambahkan dengan 5 mL HCl 0,01 N kemudian disaring menggunakan kertas milipore.

4) Tahap injeksi ke HPLC

Injeksi larutan standar diawali dengan pencampuran larutan stok dengan larutan standar dan buffer borat (1:1). Sebanyak 5 μL larutan tersebut diinjeksi ke HPLC dalam waktu 30 menit. Tahapan yang sama dilakukan pada sampel yaitu dengan mencampurkannya dengan buffer borat (1:1) dan dilakukan pencampuran

(22)

8

dengan larutan stok. Campuran diinjeksi ke HPLC sampai pendeteksian semua asam amino selesai. Kandungan asam amino pada bahan dihitung dengan rumus:

asam amino (%) = luas area sampel x C x FP x BM x 100%

luas area standar x bobot sampel

Keterangan :

C = Konsentrasi standar asam amino (μg/mL) FP = Faktor pengenceran

BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol) Kondisi alat:

Kolom = Ultra techspere Laju alir = 1 mL/menit Detektor = Flouresensi

Fase mobil = Buffer A (Na-asetat dan Na-EDTA) Buffer B (metanol 95% dan air)

Analisis Mineral (AOAC 2005)

Mineral yang diuji adalah mineral K, Na, Ca, Fe, Zn, dan Cu. Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Proses pengabuan basah dilakukan dengan sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 mL, ditambahkan 5 mL HNO3, dan didiamkan selama 1 jam.

Labu ditempatkan di atas hotplate dengan suhu ± 600 oC selama 4-6 jam dan ditambahkan 0,4 mL H2SO4 pekat dan campuran (HClO4 dan HNO3) sebanyak 3

tetes hingga warna menjadi bening. Sampel didinginkan kemudian ditambahkan 2 mL akuades dan 0,6 mL HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menggunakan akuades menjadi 100 mL dalam labu takar. Sejumlah larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam.

Larutan standar, blanko, dan contoh dialirkan ke dalam Atomic Absorption

Spectrophotometer (AAS) merk Shimadzu tipe AA-7000 dengan limit deteksi

0,005 ppm. Absorbansi atau tinggi puncak yang muncul dari standar, blanko, dan contoh dihitung pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan yaitu Ca 422,7 nm, K 766,5 nm, Na 589,0 nm, Fe 248,3 nm, Zn 213,9 nm, dan Cu 324,7 nm. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan melihat hubungan antara absorbansi standar (variabel terikat) dan ppm standar (variabel bebas). Hubungan kedua variabel tersebut digambarkan dalam suatu bentuk persamaan garis dalam regresi linier. Persamaan garis tersebut digunakan dalam menghitung ppm sampel dengan mengubah variabel terikat dengan absorbansi sampel yang terdeteksi pada alat.

(23)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfometrik Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik bentuk tubuh torpedo, bagian kepala sangat tebal, dan sedikit pipih pada bagian samping. Ikan cakalang memiliki 2 sirip punggung yang terpisah. Ikan cakalang memiliki 14-16 finlet pada sirip punggung pertama dan 7-9 finlet pada sirip punggung kedua. Badan tidak bersisik kecuali pada lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap, di sisi bawah dan perut berwarna keperakan dengan 4-6 buah garis berwarna kehitaman (gelap) yang memanjang di sepanjang badan (Matsumoto et al. 1984). Hasil pengukuran morfometrik 10 ekor ikan cakalang dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Morfometrik ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Parameter Hasil Panjang total 30,05±1,32 cm Panjang baku 24,65±1,38 cm Panjang cagak 28,30±1,36 cm Tinggi badan 7,10±0,46 cm Lebar badan 4,90±0,21 cm Berat badan 424,67±8,51 g

Tabel 1 menunjukkan bahwa ikan cakalang memiliki perbandingan antara tinggi badan dan panjang total sekitar 1:4. Ukuran panjang total dan berat badan ikan cakalang menunjukkan bahwa ikan cakalang yang digunakan belum mencapai ukuran dewasa (maksimal). Menurut Matsumoto et al. (1984), ikan cakalang dapat mencapai ukuran panjang 50-70 cm dan berat 1500-5000 g.

Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Menurut Spikadhara et al. (2012), terdapat dua faktor yang menyebabkan perbedaan karakterisitk suatu biota, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam dapat berupa jenis kelamin, umur, keturunan, dan penyakit. Faktor luar dapat berupa makanan dan kualitas perairan. Faktor dalam umumnya tidak dapat dikontrol oleh manusia sementara faktor luar masih dapat dikontrol.

Ikan cakalang yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai organoleptik yaitu 7 dengan ciri-ciri lendir tubuh sedikit, tekstur daging kompak, mata jernih, dan bau segar spesifik jenis. Score sheet organoleptik ikan cakalang

(24)

10

dapat dilihat pada Lampiran 9. Daging ikan cakalang mengalami perubahan setelah proses penggorengan. Daging ikan mentah berwarna putih, kompak, dan berbau segar spesifik jenis, sementara daging ikan goreng berwarna kecoklatan dengan tekstur yang lebih padat dan bau yang lezat. Perubahan bau dan warna ikan cakalang goreng disebabkan oleh terbentuknya senyawa hasil reaksi maillard. Ikan cakalang yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Rendemen

Rendemen bagian tubuh ikan cakalang hasil penelitian ini berupa daging dan kulit, tulang dan kepala, serta jeroan. Rendemen ikan cakalang dihitung menggunakan 10 ekor ikan sampel. Hasil perhitungan rendemen ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa ikan cakalang memiliki rendemen daging sebesar 57,80%, tulang dan kepala sebesar 25,20%, dan jeroan sebesar 17%. Daging ikan cakalang memiliki rendemen terbesar dibandingkan tulang dan jeroan. Hal ini didukung oleh karakteristik ikan cakalang yang memiliki tekstur daging yang padat dan kompak. Rendemen ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan tersebut. Pertumbuhan pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, jenis ikan, jenis kelamin, fishing ground, umur ikan, musim, dan jenis makanan yang tersedia (Spikadhara et al. 2012).

Perkembangan industri perikanan yang semakin pesat membutuhkan suatu sistem pengolahan yang menerapkan sistem zero waste untuk meminimalisir limbah. Daging ikan cakalang yang tinggi dapat dioptimalkan potensinya sebagai salah satu sumber protein hewani (Intarasirisawat et al. 2011). Daging ikan cakalang juga dapat diolah menjadi berbagai jenis produk olahan pangan yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dari ikan cakalang.

Gambar 3 Rendemen ikan cakalang

Jeroan ikan memiliki potensi pemanfaatan yang cukup besar diantaranya sebagai sumber minyak ikan dan sebagai bahan pakan ikan. Jeroan ikan dapat digunakan untuk mensubstitusikan tepung ikan dalam penyusunan formulasi pakan melalui pembuatan silase (Putra 2001). Rendemen tulang ikan cakalang

Daging dan kulit 57,80% Jeroan 17% Tulang dan kepala 25,20%

(25)

11

yang cukup tinggi dapat dioptimalkan pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan gelatin dan tepung tulang ikan. Tulang ikan dapat dijadikan alternatif pengganti sumber pembuatan gelatin yang umumnya berasal dari kulit babi (Astawan et al. 2002). Pemanfaatan tulang ikan menjadi tepung tulang ikan memiliki berbagai keunggulan yaitu tepung tulang ikan memiliki kandungan mineral terutama kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga dapat dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan mineral (Kaya et al. 2007).

Komposisi Kimia

Komposisi ikan cakalang segar dan goreng dapat dilihat pada Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia ikan cakalang dengan bluefin tuna (Thunnus orientalis) dan tongkol (Euthynnus lineatus) dapat dilihat pada Tabel 3. Contoh perhitungan analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbandingan ketiga spesies ikan ini didasarkan pada kekerabatannya yang dekat yaitu berada dalam satu famili Scombridae. Hasil analisis statistik pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa proses penggorengan berpengaruh signifikan terhadap kadar air, protein, lemak, dan abu ikan cakalang (P<0,05)

Tabel 2 Komposisi kimia ikan cakalang

Parameter Cakalang Segar Cakalang Goreng BB BK BB BK Air (%) 71,75±0,42 0,00±0,00 48,25±0,77 0,00±0,00 Protein (%) 25,29±0,00 89,54±0,00 41,25±0,00 79,71±0,00 Lemak (%) 0,59±0,00 2,11±0,00 4,80±0,00 9,27±0,00 Abu (%) 1,49±0,14 5,27±0,42 4,09±0,13 7,91±0,14 Karbohidrat (%) 0,86±0,28 3,06±0,95 1,60±0,64 3,09±1,19

Tabel 3 Perbandingan komposisi kimia ikan cakalang

Parameter Cakalang segar Bluefin tuna* Tongkol**

Air (%) 71,75±0,42 72,8±0,2 73,2 Protein (%) 25,29±0,00 26,1±0,1 21,8 Lemak (%) 0,59±0,00 2,0±0,4 1,0 Abu (%) 1,49±0,14 1,6±0,1 1,4 Karbohidrat (%) 0,86±0,28 - -

Keterangan: *Nakamura et al. (2007) **Manzano et al. (2007)

Kadar Air

Kadar air ikan cakalang mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) akibat proses penggorengan dari 71,75±0,424% hingga 48,25±0,774% atau dengan kata lain terjadi penurunan sebesar 23,50%. Kadar air ikan cakalang segar tidak jauh berbeda dengan kadar air T. orientalis yaitu sebesar 72,8±0,02% (Nakamura et al. 2007). Hasil penelitian lainnya, yaitu Manzano et al. (2007) menyatakan bahwa tongkol (E. lineatus) memiliki kadar air yang tidak jauh berbeda yaitu 73,2%. Hasil tersebut akan menjadi lebih rendah jika dibandingkan

(26)

12

dengan kadar air ikan patin sebesar 82,27% (Alhana 2011). Hal ini menunjukkan bahwa ikan mengandung kadar air yang cukup tinggi dan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (high perishable food).

Kadar air dalam bahan makanan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran, dan daya simpan bahan tersebut. Kadar air ikan segar yang tinggi menunjukkan kadar air bebas yang tinggi pada ikan. Semakin tinggi kadar air pada suatu bahan pangan, maka daya tahan terhadap kebusukan akan semakin rendah (Kadir 2010).

Penurunan kadar air daging ikan setelah digoreng dapat terjadi akibat menguapnya air yang ada dalam bahan pangan selama proses pemanasan. Menurut Jacoeb et al. (2008), bahan pangan selama proses pemasakan berlangsung, dapat mengalami pengurangan kadar air terutama pada bahan pangan hasil perikanan. Zahra et al. (2013) menambahkan bahwa pada suhu pengeringan yang lebih tinggi dengan waktu yang lama, panas yang diterima oleh bahan selain digunakan untuk menguapkan air pada permukaan bahan, juga dapat menguapkan air yang terikat di dalam bahan. Minyak akan terserap ke dalam bahan pangan sejalan dengan menguapnya air dari bahan pangan selama proses penggorengan. Penyerapan minyak yang meningkat mengakibatkan penurunan kadar air karena posisi air digantikan oleh minyak sebagai media penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak oleh produk yaitu suhu dan waktu yang berbanding lurus dengan jumlah minyak yang diserap bahan.

Kadar Protein

Protein daging ikan cakalang segar adalah 25,29% dan setelah proses penggorengan adalah 41,25% pada basis basah. Peningkatan kadar protein basis basah terjadi secara proporsional setelah proses penggorengan diakibatkan oleh pengurangan kadar air. Kadar protein ikan cakalang goreng lebih tinggi karena kadar airnya lebih rendah dibandingkan ikan cakalang segar. Semakin rendah kadar air maka konsentrasi protein di dalam bahan semakin pekat, sehingga persentasenya akan lebih besar.

Kadar protein daging ikan cakalang segar dan goreng yang sebenarnya dapat dilihat pada basis kering yaitu masing-masing sebesar 89,54% dan 79,71%. Kadar protein menurun secara signifikan (P<0,05) sebesar 9,83% setelah proses penggorengan. Penentuan basis kering dimaksudkan untuk mengetahui besar penurunan sesungguhnya yang terjadi pada protein ikan cakalang setelah proses penggorengan, yaitu dengan mengabaikan kadar airnya. Penurunan kadar protein diduga disebabkan oleh terbawanya komponen protein dari daging ikan ke dalam minyak yang digunakan selama proses penggorengan. Perhitungan kadar protein pada pengujian ini adalah untuk menguji total nitrogen yang ada di dalam bahan pangan (crude protein), diduga masih terdapat komponen lain berupa nitrogen non protein yang terhitung dalam penelitian ini.

Panas atau suhu tinggi, pH, bahan kimia, kejadian mekanik, dan sebagainya akan menyebabkan denaturasi pada struktur protein. Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuarterner molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen (Jacoeb et al. 2008). Rachmawati et al. (2013) menambahkan bahwa bahan yang mengandung protein seperti kerang dan ikan akan mengalami denaturasi dan

(27)

13

koagulasi selama pemanasan, sehingga daging yang digoreng akan lebih padat dari semula.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kerusakan protein pada proses penggorengan adalah lama waktu dan temperatur pemanasan. Pengolahan dengan panas secara umum juga memiliki kelebihan diantaranya adalah mengurangi kerusakan akibat mikroorganisme, menyediakan makanan sepanjang waktu, dan menambah palabilitas konsumen terhadap bahan pangan tertentu. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia ikan. Suhu 100 ºC akan mengakibatkan protein terkoagulasi dan air dari dalam daging akan keluar. Semakin tinggi suhu maka protein akan terdenaturasi serta kehilangan aktivitas enzim (Apriyantono 2002). Struktur protein pada umumnya labil sehingga dalam larutan mudah berubah bila mengalami perubahan pH, radiasi, cahaya, suhu tinggi, dan sebagainya. Protein yang berubah ini dinamakan protein yang telah terdenaturasi, yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan protein semula (Nurhidajah et al. 2009).

Proses penggorengan juga dapat menyebabkan proses perubahan pada protein yaitu reaksi maillard yang dapat mempengaruhi warna, rasa, dan tekstur dari bahan pangan. Muchtadi (1989) menyatakan bahwa protein ikan mudah rusak selama penanganan dan pengolahan karena degradasi, denaturasi, dan koagulasi. Penyebab utama ketidakstabilan protein ikan adalah miosinnya, namun tidak semua miosin ikan bersifat tidak stabil. Kestabilan protein ini berhubungan dengan suhu tubuh sumber miosin diperoleh. Miosin dari hewan berdarah hangat relatif stabil, sedangkan dari hewan berdarah dingin bersifat sangat tidak stabil.

Hasil penelitian Nakamura et al. (2007) menunjukkan bahwa bluefin tuna mengandung protein sebesar 26,1±0,1%. Kerabat ikan cakalang lainnya yaitu tongkol juga memiliki kadar protein yang cukup tinggi yaitu 21,8%. Ikan pada umumnya memiliki kadar protein yang cukup tinggi hingga mencapai 20% (Adawyah 2007). Hal ini mendukung pernyataan bahwa ikan cakalang merupakan ikan dengan kadar protein tinggi.

Kadar Lemak

Daging ikan cakalang segar mengandung lemak sebesar 0,598% (bb). Hal ini menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong ikan berlemak rendah. Ikan yang tergolong berlemak rendah memiliki kadar lemak <2% (Ackman 1989). Penelitian lain terkait kerabat ikan cakalang yaitu tuna sirip biru juga menunjukkan bahwa ikan ini mengandung lemak yang rendah yaitu 2,0±0,4% (Nakamura et al. 2007). Ikan tongkol hasil penelitian Manzano et al. (2007) juga mengandung lemak yang cukup rendah yaitu sebesar 1%. Kandungan lemak pada setiap biota akan berbeda-beda. Menurut Jacoeb et al. (2008) kadar lemak pada ikan tidak hanya dipengaruhi oleh jenis ikan tetapi dipengaruhi pula oleh kebiasaan makan (feeding

habit), jenis makanan, umur, lingkungan, musim, dan TKG (Heltonika 2009).

Kadar lemak daging ikan cakalang yang sesungguhnya dapat dilihat pada perhitungan basis kering. Kadar lemak (bk) daging ikan cakalang segar dan goreng berturut-turut yaitu 2,11% dan 9,27%. Proses penggorengan berpengaruh nyata terhadap kandungan lemak ikan cakalang (P<0,05). Kadar lemak meningkat sebesar 7,16%. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Gokoglu et al. (2004), proses penggorengan dapat meningkatkan kadar lemak rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) sebesar 9,26%. Peningkatan kadar lemak terjadi akibat

(28)

14

adanya penyerapan minyak dari minyak goreng yang digunakan karena selama proses penggorengan bahan pangan terendam dalam minyak. Bahan pangan akan kehilangan kandungan air yang terdapat di dalamnya dan minyak masuk ke dalam rongga sehingga minyak terserap dalam bahan (Zahra et al. 2013).

Minyak merupakan senyawa trigliserida atau triasilgliserol. Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan gliserol. Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang. Minyak goreng berasal dari tanaman atau biasa disebut dengan minyak nabati. Penyerapan minyak ke dalam bahan pangan akan dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam bahan pangan (Anwar 2012).

Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi menyebabkan lemak menjadi mudah rusak oleh proses oksidasi. Lemak yang dipanaskan pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar akan memudahkan terjadinya oksidasi. Kerusakan oksidasi umumnya terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila dipanaskan pada suhu 100 oC atau lebih, asam lemak jenuh juga dapat teroksidasi (Sartika 2009). Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal.

Kadar Abu

Kadar abu daging ikan cakalang segar basis basah adalah 1,49±0,14%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nakamura et al. (2007) yaitu sebesar 1,6±0,1%. Kadar abu yang rendah juga terdapat pada E. lineatus yaitu 1,4% (Manzano et al. 2007). Kadar mineral dalam sebagian besar bahan makanan tidak lebih dari 4%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa daging ikan cakalang segar memiliki kadar abu sebesar 5,27±0,42% (bk) dan meningkat secara signifikan (P<0,05) sebesar 2,64% setelah proses penggorengan menjadi 7,91±0,14% (bk). Menurut Ghidurus et al. (2010), proses penggorengan tidak terlalu berpengaruh pada kandungan mineral bahan pangan karena mineral relatif tahan terhadap suhu yang cukup tinggi dan beberapa jenis mineral tidak larut dalam minyak melainkan larut dalam air. Kandungan mineral yang terdapat pada minyak goreng juga dapat mempengaruhi kadar mineral daging ikan cakalang goreng. Hasil penelitian Kok et al. (2011) menunjukkan bahwa minyak goreng mengandung mineral Fe (5,20 mg/100 g), Ca (217±21,2 mg/100 g), dan K (693±108 mg/100 g). Proses penggorengan dapat menyebabkan terserapnya mineral dari minyak goreng tersebut ke dalam bahan pangan. Penyusutan daging ikan setelah digoreng dapat menyebabkan hilangnya bahan organik sehingga bahan anorganik akan meningkat secara proporsional. Kadar abu menggambarkan kandungan mineral yang ada dalam suatu bahan. Mineral merupakan unsur anorganik. Proses pembakaran dapat menyebabkan hilangnya bahan organik namun tidak demikian pada bahan anorganik.

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat yang dihitung secara by difference menunjukkan bahwa daging ikan cakalang segar dan goreng secara berturut-turut memiliki kandungan karbohidrat basis kering sebesar 3,06±0,95% dan 3,09±1,19%. Proses

(29)

15

penggorengan bahan pangan yang mengandung karbohidrat dan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi browning non enzimatis berupa reaksi maillard. Reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dan amina primer ketika dipanaskan. Hasil dari reaksi maillard adalah bahan pangan yang berwarna kecoklatan (Widaningrum et al. 2008).

Kandungan karbohidrat ikan cakalang basis basah yaitu sebesar 0,86%. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen. Kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan kurang lebih sebesar 1% untuk ikan. Kandungan karbohidrat dalam daging ikan dapat berupa glikogen 0,05-0,85%, glukosa 0,038%, dan asam laktat 0,006-0,43% (Adawyah 2007).

Asam Amino

Komposisi asam amino ikan cakalang dalam basis kering dan perbandingannya dengan ikan mackarel dan tuna dapat dilihat pada Tabel 4. Perbandingan komposisi asam amino ketiga ikan tersebut didasarkan pada beberapa kesamaan. Ikan mackarel, tuna, dan cakalang merupakan ikan pelagis dan perenang cepat. Ketiga jenis ikan ini juga berasal dari famili Scombridae.

Tabel 4 menunjukkan bahwa daging ikan cakalang mengandung 15 jenis asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial (histidin, treonin, tirosin, metionin, valin, fenilalanin, isoleusin, leusin, dan lisin) dan 6 asam amino non esensial (asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, dan alanin). Total asam amino ikan cakalang segar adalah 74,25 g/100 g yang merupakan hasil kumulatif dari total asam amino esensial sebesar 38,27 g/100 g dan asam amino non esensial sebesar 35,98 g/100 g.

Asam amino esensial yang tidak terdeteksi pada pengujian ini yaitu triptofan dan sistein. Proses hidrolisis merusak semua triptofan dan sistein. Menurut Jacoeb et al. (2008), triptofan hanya dapat dideteksi dengan melakukan tahapan pengujian berupa hidrolisis basa. Hidrolisis yang dilakukan pada pengujian ini adalah hidrolisis asam. Jenis asam amino lain yang tidak terdapat pada ikan cakalang dapat dipenuhi dengan mengimbangi sumber makanan lain yang mengandung asam amino tersebut. Kekurangan asam amino dari suatu jenis makanan dapat ditutupi oleh asam amino sejenis pada makanan lainnya sehingga mutu proteinnya akan meningkat.

Hasil analisis statistik pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa proses penggorengan berpengaruh nyata terhadap komposisi asam amino ikan cakalang (P<0,05). Komposisi asam amino mengalami penurunan yang signifikan setelah proses penggorengan. Persentase penurunan ini yaitu sebesar 23,62%. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Oluwaniyi dan Dosumu (2009) yang menunjukkan total asam amino Trachurus trachurus mengalami penuruan sebesar 6,21% akibat proses penggorengan. Hal ini dapat disebabkan oleh panas. Menurut Nurhidajah et al. (2009), asam amino bersifat reaktif oleh pemanasan. Perlakuan pemanasan dapat berpengaruh terhadap asam-asam amino penyusun proteinnya. Oluwaniyi et al. (2010) menambahakan bahwa pengolahan pangan yang mengandung karbohidrat dan protein dapat menyebabkan reaksi maillard. Reaksi maillard merupakan reaksi antara gugus amino dengan gugus aldehid dari gula

(30)

16

pereduksi yang dapat menurunkan availabilitas asam amino. Asam amino di dalam ikan cakalang goreng sebagian diubah menjadi pigmen melanoid sehingga jumlahnya menjadi berkurang.

Kandungan asam amino non esensial tertinggi pada daging cakalang segar dan goreng adalah asam glutamat dengan nilai masing-masing sebesar 11,22±0,14 g/100 g dan 8,48±0,10 g/100 g. Hasil penelitian Chalamaiah et al. (2012) menunjukkan bahwa kandungan asam glutamat yang tinggi juga terdapat pada ikan mackarel (Scomber japonica) dengan nilai sebesar 15,84 g/100 g. Menurut Oladapa et al. (1984), asam glutamat dapat menciptakan karakteristik aroma dan rasa pada makanan. Kandungan asam glutamat yang tinggi pada ikan cakalang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber alternatif pengganti MSG. Salah satu pemanfaatan ikan cakalang di Jepang yaitu sebagai katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan). Asam glutamat juga merupakan prekursor pengantar saraf gamma amino-asam abutirat (Almatsier 2006).

Tabel 4 Komposisi asam amino ikan cakalang dalam basis kering (bk)

Asam amino Hasil (g/100 g protein) Cakalang segar Cakalang goreng Mackarel segar* Yellowfin tuna** AA non esensial Asam aspartat 7,35±0,11 5,72±0,07 9,84 5,02 Asam glutamat 11,22±0,14 8,48±0,10 15,84 5,25 Serin 2,69±0,04 2,02±0,04 4,24 7,92 Arginin 4,85±0,09 3,43±0,08 5,67 6,16 Glisin 4,83±0,20 3,00±0,03 4,33 6,74 Alanin 5,04±0,09 3,41±0,08 8,49 11,92 Total AA non esensial 35,98 26,06 48,41 43,01 AA esensial Threonin 3,30±0,05 2,69±0,10 4,68 2,83 Tirosin 2,54±0,04 1,99±0,05 - 3,26 Metionin 2,16±0,04 1,79±0,04 3,65 1,28 Valin 4,25±0,04 3,43±0,07 8,63 4,54 Fenilalanin 3,23±0,02 2,50±0,07 - 3,17 Isoleusin 3,89±0,04 3,07±0,05 4,25 3,21 Leusin 5,89±0,05 4,54±0,10 7,49 8,04 Lisin 6,29±0,38 5,13±0,20 7,63 6,13 Histidin 6,72±0,12 5,51±0,28 2,72 15,57 Total AA esensial 38,27 30,65 39,05 48,30 Total AA 74,25 56,71 87,46 91,31

Keterangan: * Chalamaiah et al. (2012) ** Buentello et al. (2011)

Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan asam amino esensial tertinggi pada ikan cakalang dan yellowfin tuna adalah histidin. Kandungan histidin pada ikan cakalang segar dan goreng masing-masing sebesar 6,72±0,12 g/100 g dan 5,51±0,28 g/100 g. Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan kandungan histidin yellowfin tuna hasil penelitian Buentello et al. (2011) yaitu sebesar

(31)

17

15,57 g/100 g. Perbedaan komposisi asam amino ikan dapat disebabkan oleh jenis spesies, jenis kelamin, umur, kondisi lingkungan, makanan, dan musim penangkapan (Nurjanah et al. 2005). Histidin berfungsi dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh serta memproduksi sel darah merah. Histidin melebarkan pembuluh darah dan bermanfaat untuk mengurangi gejala rheumatoid arthritis. Histidin bebas juga berperan sebagai prekursor dalam sintesis histamin (Fitri 2012).

Tabel 5 Skor kimia asam amino esensial ikan cakalang

AA Esensial

mg/g protein Skor AA Skor kimia Segar Goreng Referensi* Segar Goreng Segar Goreng

Isoleusin 38,9 30,7 40 97 77 Leusin 58,9 45,4 70 84 65 Lisin 62,9 51,3 55 100 93 Metionin 21,6 17,9 35 62 51 62 51 Fenilalanin + Tirosin 57,7 44,9 60 96 75 Threonin 33 26,9 40 83 67 Valin 42,5 34,3 50 77 69 Keterangan: *FAO/WHO (1973) dalam Winarno (2008)

Setiap bahan pangan yang mengandung protein pasti memiliki asam amino pembatas. Asam amino pembatas adalah asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan makanan (Nurhidajah et al. 2009). Penentuan asam amino pembatas dapat dilihat dari skor kimia yang disajikan pada Tabel 5. Asam amino pembatas adalah asam amino yang memiliki skor asam amino dan skor kimia terendah. Tabel 5 menunjukkan bahwa asam amino pembatas pada ikan cakalang baik segar maupun goreng adalah metionin. Kandungan metionin pada ikan cakalang segar dan goreng yaitu masing-masing sebesar 2,16±0,04 g/100 g dan 1,79±0,04 g/100 g. Spesies lain dalam satu famili Scombridae yaitu

Thunnus albacares (yellowfin tuna) juga memiliki asam amino pembatas berupa

metionin sebesar 1,28 g/100 g (Buentello et al. 2011). Metionin memberikan gugus metil untuk sintesis kolin dan kreatinin. Metionin juga merupakan prekursor sistein. Metionin penting untuk metabolisme lemak, menjaga kesehatan hati, menenangkan syaraf yang tegang, dan detoksifikasi zat-zat berbahaya pada saluran pencernaan (Harli 2008).

Tabel 6 menunjukkan bahwa ikan cakalang goreng belum dapat memenuhi kebutuhan asam amino esensial, terutama pada asam amino treonin, tirosin, dan metionin. Proses penggorengan menyebabkan berkurangnya asam amino pada ikan cakalang segar. Kekurangan satu jenis asam amino pada suatu bahan pangan dapat ditutupi dengan asam amino sejenis pada bahan pangan lain sehingga mutu proteinnya akan meningkat. Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein yang bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk pertumbuhan (Almatsier 2006).

(32)

18

Tabel 6 Perbandingan asam amino esensial ikan cakalang dengan kebutuhan harian tubuh

Asam amino Hasil (g/100 g protein) Kebutuhan (g/100 g protein)* cakalang segar cakalang goreng

AA esensial Histidin 6,72±0,12 5,51±0,28 1,9 Threonin 3,30±0,05 2,69±0,10 2,8 Tirosin 2,54±0,04 1,99±0,05 2,2 Metionin 2,16±0,04 1,79±0,04 2,2 Valin 4,25±0,04 3,43±0,07 2,5 Fenilalanin 3,23±0,02 2,50±0,07 2,2 Isoleusin 3,89±0,04 3,07±0,05 2,8 Leusin 5,89±0,05 4,54±0,10 4,4 Lisin 6,29±0,38 5,13±0,20 4,4 Keterangan: * FAO/WHO (1985) dalam Almatsier (2006)

Berbagai jenis asam amino yang dibutuhkan tubuh memiliki fungsi yang khusus. Triptofan adalah prekursor vitamin niasin dan pengantar saraf serotonin. Fenilalanin adalah prekursor tirosin dan bersama membentuk hormon tiroksin dan epinefrin. Tirosin merupakan prekursor bahan yang membentuk pigmen kulit dan rambut. Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum. Glisin mengikat bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan tidak berbahaya (Almatsier 2006). Leusin membantu mengurangi pemecahan protein otot. Asam amino ini memfasilitasi penyembuhan patah tulang dan juga penyerapan prekursor neurotransmitter oleh otak. Isoleusin menyediakan energi untuk otot sekaligus mencegah kerusakan otot. Isoleusin memainkan peran penting pula dalam pembentukan hemoglobin. Sistein dapat melawan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel. Lisin penting untuk pertumbuhan serta memperbaiki otot. Lisin bersama dengan vitamin C memainkan peran penting dalam pembentukan kolagen (Fitri 2012).

Mineral

Komposisi mineral makro dan mikro ikan cakalang segar dan goreng dinyatakan dalam basis kering. Komposisi mineral makro dan mikro ikan cakalang segar dan goreng dalam basis kering serta perbandingannya dengan hasil penelitian lain dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa ikan cakalang mengandung mineral makro berupa natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), dan mineral mikro berupa seng (Zn) dan besi (Fe). Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Hasil analisis statistik pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa proses penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap mineral Na, K, Fe, dan Zn ikan cakalang (P>0,05) namun proses penggorengan berpengaruh nyata terhadap mineral Ca ikan cakalang (P<0,05).

Kandungan mineral tembaga (Cu) ikan cakalang baik segar maupun goreng pada penelitian ini tidak terdeteksi. Hal diduga disebabkan oleh rendahnya kadar

(33)

19

Cu pada ikan cakalang sehingga berada di bawah limit deteksi alat (<0,005 ppm). Garam-garam mineral umumnya tidak terpengaruh secara signifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Beberapa mineral kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi dengan adanya oksigen, namun tidak mempengaruhi nilai gizinya (Palupi et al. 2007). Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan.

Tabel 7 Komposisi mineral makro dan mikro ikan cakalang

Mineral Hasil (ppm) cakalang segar cakalang goreng cakalang segar* Rainbow trout segar** Makro Na 1993,47±268,28 1865,37±74,33 1373,3 455 K 7966,54±834,14 8316,22±141,55 2938,4 3060 Ca 506±47,69 843,06±86,41 359,7 632 Mikro Fe 63,49±14,62 66,03±10,64 32,9 2,10 Zn 24,70±1,19 20,53±2,58 17,0 9,68 Cu td td 3,9 0,33 Keterangan: * Karunarathna dan Attygalle (2009)

** Gokoglu et al. (2004) td : tidak terdeteksi

Perbandingan komposisi mineral antara ikan cakalang segar hasil penelitian ini, ikan cakalang segar hasil penelitian Karunarathna dan Atygalle (2009), dan

rainbow trout segar hasil penelitian Gokoglu et al. (2004) secara keseluruhan

menunjukkan perbedaan. Komposisi seluruh mineral ikan cakalang hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kedua ikan pembanding. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan akuades dalam penelitian ini. Proses pengujian mineral sebaiknya menggunakan deionized water yang sudah tidak mengandung mineral. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa mineral kalium merupakan mineral makro tertinggi pada ketiga ikan tersebut sementara tembaga merupakan mineral mikro terendah pada ketiga ikan tersebut. Menurut Nurjanah et al. (2005), perbedaan komposisi mineral dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan, jenis spesies, jenis kelamin, umur, dan musim penangkapan.

Kalium (K) merupakan mineral makro dengan jumlah tertinggi pada ikan cakalang segar maupun goreng. Kandungan kalium pada ikan cakalang segar dan goreng masing-masing yaitu sebesar 7966,54±834,14 ppm dan 8316,22±141,55 ppm. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kalium yang tidak signifikan (P>0,05) akibat proses penggorengan. Hal ini diduga disebabkan oleh terserapnya kalium dari minyak goreng ke daging ikan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Kok et al. (2011) yang menunjukkan bahwa minyak goreng mengandung mineral kalium sebesar 693±108 mg/100 g bahan. Hasil penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) juga menunjukkan peningkatan kadar kalium ikan lele sebesar 953 ppm setelah proses penggorengan. Kalium berada di dalam sel daripada di luar sel sehingga simpanannya lebih terjaga. Sebanyak 95% kalium berada di dalam cairan intraselular (Winarno 2008).

(34)

20

Kalium bersama natrium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Kalium juga berperan dalam transmisi saraf relaksasi otot dan sebagai katalisator dalam reaksi biologi (Almatsier 2006). Kandungan kalium ikan cakalang segar pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan kalium ikan cakalang hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) yaitu sebesar 2938,4 ppm.

Mineral makro berikutnya yang juga terkandung pada ikan cakalang adalah natrium (Na). Kadar Na pada ikan cakalang segar hasil penelitian ini adalah 1993,47±268,28 ppm. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) yang menunjukkan bahwa kadar Na ikan cakalang segar adalah 1373,3 ppm. Kadar Na mengalami penurunan yang tidak signifikan (P>0,05) setelah proses penggorengan menjadi 1865,37±74,33 ppm. Penurunan ini diduga disebabkan oleh hilangnya Na bersama cairan tubuh ikan selama proses penggorengan. Natrium terutama terdapat dalam cairan ekstraseluler bersama-sama dengan klorida dan bikarbonat. Jika cairan di dalam daging hilang, maka unsur utama yang hilang adalah natrium (deMan 1997). Kehilangan natrium selama pemasakan tidak dapat dihindari karena natrium dapat melebur pada suhu 97,5 oC. Natrium dalam tubuh berfungsi mempertahankan tekanan osmotik dan membantu keseimbangan asam dan basa (Aisyah 2012).

Kadar kalsium (Ca) ikan cakalang segar pada penelitian ini adalah 506±47,69 ppm, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar Ca ikan cakalang hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) yaitu sebesar 359,7 ppm. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan wilayah pengambilan sampel dan kondisi lingkungan. Kadar Ca meningkat secara signifikan (P<0,05) setelah proses penggorengan menjadi 843,06±86,41 ppm. Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) yang menunjukkan bahwa kandungan kalsium ikan lele meningkat sebesat 30,8 ppm setelah proses penggorengan. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh terserapnya kandungan kalsium pada minyak goreng. Hasil penelitian Kok et al. (2011) menunjukkan bahwa minyak goreng mengandung kalsium sebesar 217±21,2 mg/100 g. Sebagian kalsium terkonsentrasi dalam tulang dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak. Peranan kalsium dalam tubuh manusia antara lain untuk pertumbuhan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik, dan kontraksi otot (Almatsier 2006).

Besi (Fe) merupakan mineral mikro tertinggi yang terdapat pada ikan cakalang hasil penelitian. Kandungan besi pada ikan cakalang segar adalah sebesar 63,49±14,62 ppm, jauh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) yaitu hanya sebesar 32,9 ppm. Kadar besi setelah proses penggorengan mengalami peningkatan yang tidak signifikan (P>0,05) menjadi 66,03±10,64 ppm. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh terserapnya kandungan besi yang terdapat pada minyak goreng. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hasibuan dan Nuryanto (2011) yang menunjukkan bahwa minyak yang berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,0157-0,093 ppm. Penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) juga menunjukkan bahwa kandungan besi pada ikan lele meningkat sebesar 14 mg/kg setelah proses penggorengan. Besi merupakan salah satu mineral yang stabil terhadap panas (Harris dan Karmas 1989). Mineral bersifat mantap atau tidak

(35)

21

rusak karena pengolahan, namun pengolahan dapat menyebabkan susut mineral maksimal sebesar 3% pada beberapa jenis sumber makanan. Besi memiliki

peranan yang cukup penting dalam pembentukan sel darah merah (Winarno 2008).

Ikan cakalang juga mengandung mineral seng (Zn) sebagai mineral mikro. Kandungan mineral Zn yang terdapat pada ikan cakalang segar hasil penelitian ini lebih tinggi yaitu sebesar 24,70±1,19 ppm dibandingkan dengan hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) yang hanya sebesar 17,0 ppm. Kandungan seng mengalami penurunan yang tidak signifikan (P>0,05) selama proses penggorengan menjadi 20,53±2,58 ppm. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Gokoglu et al. (2004) bahwa kadar Zn rainbow trout mengalami penurunan sebesar 6,00 mg/kg akibat proses penggorengan. Penelitian Nurjanah et al. (2005) juga menunjukkan bahwa kadar Zn menurun setelah proses pengolahan akibat terdegradasinya komponen metallothionine. Mineral Zn merupakan komponen protein yang mempunyai gugus SH- (metallothionine) dan berperan sebagai pembersih radikal bebas. Seng di dalam tubuh juga memiliki peranan lain untuk maturasi, diferensiasi, dan aktivasi sel T.

Tabel 7 menunjukkan bahwa mineral tembaga (Cu) ikan cakalang baik segar maupun goreng tidak terdeteksi pada penelitian ini sementara itu hasil penelitian Karunarathna dan Attygalle (2009) menunjukkan bahwa ikan cakalang mengandung tembaga sebesar 3,9 ppm. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan tembaga lebih kecil dibandingan kandungan mineral lainnya. Kandungan Cu pada ikan cakalang yang tidak terdeteksi diduga disebabkan oleh rendahnya kandungan Cu pada ikan cakalang sehingga berada di bawah limit deteksi alat (<0,005 ppm). Tembaga banyak terdapat pada hati, ginjal, dan otak (Winarno 2008). Mineral Cu berperan melalui aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD). Peran tembaga sebagai kofaktor maupun sebagai pengatur enzim SOD cukup besar. Jika tubuh kekurangan tembaga maka akan terjadi peningkatan peroksida lipid (Nurjanah et al. 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Proses penggorengan dengan metode deep frying pada suhu 180 oCselama 5 menit berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia, asam amino, dan mineral Ca (P<0,05) ikan cakalang. Kadar air dan protein mengalami penurunan yang signifikan setelah proses penggorengan. Kadar lemak dan abu mengalami peningkatan yang signifikan setelah proses penggorengan. Ikan cakalang mengandung 15 jenis asam amino. Proses penggorengan menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap komposisi asam amino. Ikan cakalang goreng belum dapat memenuhi kebutuhan asam amino metionin, treonin, dan tirosin pada tubuh. Mineral Ca ikan cakalang meningkat secara signifikan akibat proses penggorengan. Proses penggorengan tidak berpengaruh nyata terhadap mineral K, Na, Zn, dan Fe (P>0,05) ikan cakalang.

(36)

22

Saran

Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan uji organoleptik kepada panelis terlebih dahulu untuk menentukan waktu dan suhu penggorengan yang optimal. Pengujian bioavailabilitas juga perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kecernaan dari suatu komponen gizi. Penelitian mengenai berbagai metode pengolahan ikan cakalang sebaiknya dilakukan untuk menentukan metode pengolahan terbaik dalam memanfaatkan kandungan gizi ikan cakalang.

DAFTAR PUSTAKA

Ackman RG. 1989. Nutritional composition on fats in seafood. Progress in Food

and Nutrition Science 13(1):161-241.

Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Aisyah AN. 2012. Perubahan kandungan mineral dan vitamin A ikan cobia

(Rachycentron canadum) akibat proses pengukusan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alhana. 2011. Analisis asam amino dan pengamatan jaringan daging fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) akibat penggorengan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of

Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Arlington

(US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Anwar RW. 2012. Studi pengaruh dan jenis bahan pangan terhadap stabilitas minyak kelapa selama proses penggorengan [skripsi]. Makasar (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.

Apriyantono A. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. http://209.85.175.104/ [25 Desember 2013].

Astawan M, Hariyadi P, Mulyani A. 2002. Analisis reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13 (1):38-46.

Buentello JA, Pohlenz C, Marguiles D, Scholey V, Wexler J. 2011. A preliminary study of digestive enzyme activities and amino acid composition of early juvenile yellowfin tuna (Thunnus albacares). Aquaculture 312(11):205-211. Chalamaiah M, Kumar D, Hemalatha R, Jyothirmayi T. 2012. Fish protein

hydrolisates: proximate composition, amino acid compositions, antioxidant activities and application: a review. Food Chemistry 135(12):3020-3038. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah: Padmawinata K. Bandung (ID):

ITB.

Domiszewski Z, Bienkiewicz G, Plust D. 2011. Effects of different heat treatment on lipid quality of striped catfish (Pangasius hypophthalmus). Acta Sci.Pol.,

Technol. Aliment. 10(3):359-373.

Ersoy B, Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. Food Chemistry 115(9):419-422.

(37)

23

Fitri R. 2012. Jenis asam amino terpenting. http://www.amazine.co [16 Desember 2013].

Ghidurus M, Turtoi M, Boskou G, Niculita P, Stan V. 2010. Nutritional and health aspects related to frying. Romanian Biotechnological Letters 15 (6):5675-5682.

Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengiz E. 2004. Effect of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Food Chemistry 84(4):19-22.

Harli M. 2008. Asam Amino Esensial. http://www.suparmas.com. [16 Desember 2013].

Harris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan Edisi ke-2. Penerjemah: Achmadi S. Bandung (ID): ITB Press.

Hasibuan HA, Nuryanto E. 2011. Kajian kandungan P, Fe, Cu dan Ni pada minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa selama proses rafinasi.

Jurnal Standardisasi 13 (1):67-71.

Heltonika B. 2009. Kajian makanan dan kaitannya dengan reproduksi ikan senggaringan (Mystus nigriceps) di Sungai Klawing, Purbalingga [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Intarasirisawat R, Benjakul S, Visessanguan W. 2011. Chemical compositions of the roes from skipjack, tongol, and bonito. Food Chemistry 124(11):1328-1334.

Jacoeb AM, Cakti NW, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi protein dan asam amino daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan.

Buletin Teknologi Hasil Perairan 11(1):1-20.

Kadir I. 2010. Pemanfaatan iradiasi untuk memperpanjang daya simpan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) kering. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan

Radiasi 6(1):86-103.

Karunarathna K, Attygalle M. 2009. Mineral spectrum in different body parts of fove species of tuna consumed in Sri Lanka. Journal of Science 14(11):103-111.

Kaya AOW, Santoso J, Salamah E. 2007. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit. Ichthyos 7 (1):9-14.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Ekspor tuna terus meningkat.

http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/830/Ekspor-Tuna-Terus-Meningkat/

[29 Oktober 2013].

Kok S, Meilina O, Gwendoline CE, Prameswari N. 2011. Comparison of nutrient composition in kernal of tenera and clonal of oil palm. Food Chemistry 129(11):1343-1347.

Manzano M, Aguilar R, Rojas E, Sanchez L. 2007. Postmortem changes in black skipjack muscle during storage in ice. Food Chemistry and Toxicology 65(5):1-6.

Matsumoto WM, Skillman RA. Dizon AE. 1984. Synopsis of Biological Data on

Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis. NDAA Technical Report NMFS

Circular.

Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-IPB.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Tabel 4 Komposisi asam amino ikan cakalang dalam basis kering (bk)  Asam amino  Hasil (g/100 g protein) Cakalang  segar  Cakalang goreng  Mackarel segar*  Yellowfin tuna**  AA non esensial  Asam aspartat  7,35±0,11  5,72±0,07  9,84  5,02  Asam glutamat  11
Tabel 5 Skor kimia asam amino esensial ikan cakalang  AA
Tabel 7 Komposisi mineral makro dan mikro ikan cakalang   Mineral  Hasil (ppm) cakalang   segar  cakalang goreng  cakalang segar*  Rainbow trout segar**  Makro  Na  1993,47±268,28  1865,37±74,33  1373,3  455  K  7966,54±834,14  8316,22±141,55  2938,4  3060

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan pernapasan Biasanya tidak ada perlindungan yang diperlukan pada penggunaan dalam kondisi normal dan dengan ventilasi yang cukup.... Perlindungan tangan

Dalam proses belajar maka pemilihan model yang akan diimplementasikan pada saat proses belajar menjadi hal yang penting dalam pemilihannya karena dengan pemilihan

negara Dunia Ketiga secara fisik, akan tetapi dominasi bangsa penjajah terhadap bekas koloninya tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori-teori pembangunan

Ascarya (2017) menjelaskan bahwa generasi ketiga dibangun atas dasar kekurangan model generasi kedua, namun jika diteliti lebih mendalam generasi ketiga mencoba

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Roychowdhury (2006) dan Zang (2012) yang menyebutkan bahwa semakin besar market to book ratio suatu perusahaan,

Merupakan saluran distribusi yang digunakan oleh perusahaan dimana aktifitas utamanya adalah menyalurkan produk dari produsen sampai ke tangan konsumen, yaitu

Dari pembahasan di atas teorema Pythagoras yang diperoleh pada bidang Taxicab bergantung kepada posisi segitiga siku-siku pada bidang koordinat serta menggunakan kemiringan dan

Pada tahun 2017, kami juga meluncurkan UOB Smart Risk, yang merupakan layanan wealth management and investment untuk membantu nasabah Privilege Banking dalam meraih tujuan