• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN KOEFISIEN FENOL PEMBERSIH LANTAI DENGAN KANDUNGAN BENZALKONIUM KLORIDA 1,5 % TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN KOEFISIEN FENOL PEMBERSIH LANTAI DENGAN KANDUNGAN BENZALKONIUM KLORIDA 1,5 % TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KOEFISIEN FENOL PEMBERSIH LANTAI

DENGAN KANDUNGAN BENZALKONIUM KLORIDA 1,5 %

TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa

Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Adichita Khaira

NIM: 1112103000060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 07 September 2016

Adichita Khaira Ridatasatria

Materai 6000

(3)
(4)
(5)

v KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Bismillahirrahmanirahim, Alhamdulillah wa syukurillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya. Berkat karunia-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini terselesaikan melalui kerja keras dan doa yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, walaupun sempat terhambat namun berkat doa dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya penelitian ini berhasil diselesaikan. Untuk itu, izinkan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran dosen Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Yuliati, S.Si, M.Biomed selaku dosen pembimbing, yang selalu memberikan ilmu, arahan, saran, dan bimbingan kepada saya agar penelitian ini dapat terselesakan dengan baik.

3. Ibu dan ayah saya, dr. Sari Intaningtyas dan Ir. Rum D Mutiara, M.Si, selaku pembimbing kedua, yang selalu memberikan dorongan, motivasi, asupan, dan bimbingan kepada saya terutama dalam penulisan laporan penelitian ini.

4. dr. Devy Ariany, M.Biomed dan dr. Fikri Mirza P, Sp.THT-KL selaku dewan penguji, untuk ilmu, waktu dan tenaga dalam menguji dan memperbaiki laporan penelitian ini.

5. Eka Rahma selaku rekan kerja riset sekaligus sebagai mentor yang mengajarkan dan membantu dalam banyak hal pada penelitian ini.

(6)

vi

6. dr. Flori Ratna Sari selaku penanggung jawab (PJ) modul riset PSPD 2012 yang sangat membantu kelancaran penelitian.

7. Official CIMSA UIN 2014-2015, Octafika Hairlina, Fiizhda Baqarizky, Firda Fakhrena, Reni Dwi Parihat, Hylman Mahendra, Nadya Magfira, Nadiyah Zhafirah L, Galang Prahanarendra, Amatillah Raifah, Zulfikar Tria, Noor Shabrina, Raka Petra Prazasta, Mamak Sari Dewi Apriana, dan Melia Fatrani yang selalu menyemangati dan setia menunggu kelulusan saya.

8. Seluruh keluarga besar CIMSA UIN dan CIMSA Nasional yang membuat saya bersemangat untuk segera menyelesaikan penelitian agar dapat kembali aktif berkontribusi di CIMSA.

9. Loco-loco region 3 tersayang yang selalu menyemangati.

10. Teman seperjuangan grup penelitian Mikrobiologi, Eka Rahma, Mulia Sari, Linda Pratiwi Sulaeman, dan Putri Aulia Hilfa Lubis atas kebersamaan, dukungan dan kerja kerasnya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

11. Para Aa warkop 24 jam, abang nasi goreng dan pakde tahu campur yang dengan setia melayani disaat jenuh mengerjakan skripsi.

12. Para sahabat, baik rekan rekan Prasasti, Wakwaw, Wisma Safira, Choiizt, Sunmori HL, dan PSPD 2012 yang selalu memberikan do’a, semangat, serta bersedia mendengarkan keluh kesah selama penelitian.

13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Saya mengucapkan terima kasih dan rasa syukur sebesar-besarnya kepada pihak-pihak diatas yang menjadi inspirasi saya dalam melakukan penelitian. Mohon maaf sekali apabila masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Besar harapan saya agar penelitian di Indonesia dapat membawa manfaat untuk bangsa kita. Sekian dari saya. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ciputat, 07 September 2016 Penulis,

(7)

vii ABSTRAK

Adichita Khaira. Program Studi Pendidikan Dokter. Penentuan Koefisien Fenol Pembersih Lantai dengan Kandungan Benzalkonium Klorida 1,5 % Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa. 2015.

Benzalkonium klorida merupakan senyawa golongan quartenary ammonium compounds yang biasa digunakan sebagai desinfektan atau antiseptik. Senyawa ini

bekerja dengan cara mendenaturasi protein dari bakteri sehingga terjadi kerusakan sel bakteri. Adapun bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah

Pseudomonas aeruginosa, bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas benzalkonium klorida 1,5% terhadap Pseudomonas aeruginosa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode uji koefisien fenol. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 1/40, 1/60, 1/80, 1/100, 1/120, dan 1/140. Pada penelitian ini didapatkan hasil koefisien fenol sebesar 0,72. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

benzalkonium klorida kurang efektif dibandingkan fenol dalam membunuh Pseudomonas aeruginosa. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat resistensi dari Pseudomonas aeruginosa terhadap desinfektan. Dapat disimpulkan bahwa

pembersih lantai yang mengandung benzalkonium klorida 1,5 % kurang efektif dalam membunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa.

Kata kunci: desinfektan, koefisien fenol, benzalkonium klorida, Pseudomonas

aeruginosa.

ABSTRACT

Adichita Khaira. Medical Education Program. Phenol Coeffcient of Disinfectant Containing Benzalkonium Chloride 1,5 % as Floor Disinfectant against Pseudomonas aeruginosa. 2015.

Benzalkonium chloride is a compund belongs to quartenary ammonium compounds group thats commonly used as desinfectant or antiseptic. This

compund destroys bacteria cells by denaturating bacteria’s protein. The bacteria used in this study is Pseudomonas aeruginosa, one of the most frequent cause of nosocomial infection. This study aims to discover the effectivity of benzalkonium

chloride 1,5 % on killing Pseudomonas aeruginosa. This study used descriptive

design with Phenol Coefficient method. Concentrations used in this study are 1/40, 1/60, 1/80, 1/100, 1/120, and 1/140. The resulting value of this study is 0,72. The value shows that the disinfectant is not as effective as phenol in killing

Pseudomonas aeruginosa. This could be caused by the bacteria resistance

characteristic. It concluded that the floor cleaner containing benzalkonium

chloride 1,5 % is not effective to be used against Pseudomonas aeruginosa.

Keywords: disinfectant, phenol coefficient, benzalkonium chloride, Pseudomonas

(8)

viii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PERSETUJUAN... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1 PENDAHULUAN... 1.1 Latar belakang... 1.2 Rumusan masalah... 1.3 Tujuan penelitian... 1.3.1 Tujuan Umum... 1.3.2 Tujuan Khusus... 1.4 Manfaat penelitian...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………...…

2.1 Landasan Teori ... 2.1.1 Koefisien Fenol………. 2.1.2 Desinfektan ... 2.1.2.1 Definisi…... 2.1.2.2 Manfaat Desinfektan... 2.1.2.3 Klasifikasi dan Macam - Macam Desinfektan……….. 2.1.2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kerja

Desinfektan... 2.1.2.5 Metode Uji Desinfektan... 2.1.2.6 Kandungan Benzalkonium Klorida pada Pembersih

Lantai... 2.1.3 Pseudomonas aeruginosa ... 2.1.3.1 Morfologi dan Klasifikasi... 2.1.3.2 Epidemiologi Infeksi Pseudomonas aeruginosa…... 2.1.3.3 Patogenesis Pseudomonas aerugiosa……….... 2.1.3.4 Manifestasi Klinis Pseudomonas aeruginosa………….. 2.2 Kerangka Teori... 2.3 Kerangka Konsep... 2.4 Definisi Operasional...

BAB 3 METODE PENELITIAN...

3.1 Desain Penelitian... 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 3.3 Sampel Penelitian... i ii iii iv v vii viii x xi xii 1 1 4 4 4 4 4 6 6 6 7 7 7 8 12 14 17 18 18 20 21 23 24 25 26 27 27 27 27

(9)

ix

3.4 Identifikasi Variabel... 3.5 Alat dan Bahan Penelitian... 3.5.1 Alat Penelitian... 3.5.2 Bahan Penelitian... 3.6 Cara Kerja Penelitian...

3.6.1 Tahap Persiapan... 3.6.1.1 Sterilisasi Alat dan Bahan... 3.6.1.2 Persiapan Media Perbenihan... 3.6.1.3 Pembuatan Stok Bakteri... 3.6.1.4 Persiapan Sampel dan Standar Uji... 3.6.1.5 Persiapan Bakteri Uji... 3.6.2 Tahap Pengujian... 3.7 Alur Penelitian... 3.8 Manajemen data...

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...

4.1 Hasil Penelitian... 4.2 Pembahasan...

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………

5.1 Kesimpulan... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 27 28 28 28 28 28 28 28 29 29 29 29 31 31 33 33 35 37 37 37 38 42

(10)

x DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Waktu Bunuh Rata-rata Sampel X terhadap Pseudomonas

aeruginosa...

Tabel 4.2 Waktu Bunuh Rata-rata Fenol terhadap Pseudomonas

aeruginosa...

33

(11)

xi DAFTAR GAMBAR

(12)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat dan Bahan Penelitian... Lampiran 2 Kontrol Uji………... Lampiran 3 Hasil Uji Sampel Disinfektan dengan Benzalkonium Klorida

1,5%... Lampiran 4 Hasil Uji larutan Fenol ……... Lampiran 5 Riwayat Penulis...

42 45

46 47 48

(13)

1 BAB 1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada masyarakat umumnya kurangnya higienitas yang terjadi di fasilitas kesehatan dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian infeksi nosokomial. Menurut World Health Organization (WHO) infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya dan belum terjadi pada saat pasien masuk. Infeksi nosokomial disebabkan penularan mikroorganisme dari lingkungan rumah sakit melalui petugas kesehatan atau alat kesehatan yang berinteraksi dengan pasien. Pada penelitian yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara, didapatkan rata-rata 8,7% pasien dari rumah sakit-rumah sakit tersebut mengalami infeksi nosokomial. Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi pada daerah Mediterania Timur dan Asia Tenggara. Di Indonesia, prevalensi infeksi nosokomial pada 10 rumah sakit pendidikan cukup tinggi yaitu 6-16% pasien dengan rata-rata 9,8%.1,2

Mikroorganisme tersebar luas di lingkungan kita, mikroorganisme tersebut dapat menempel pada dinding, lantai, dan juga perabotan-perabotan seperti meja, kursi, tempat tidur, baju, dan lain-lain. Kamar mandi yang lembab dapat menjadi tempat berkembangnya mikroorganisme yang baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Adewoyin dkk (2013), 15 spesies bakteri terisolasi dari kamar mandi di 6 asrama pelajar. Didapatkan penghitungan bakteri tertinggi yaitu 33,90 x 107 CFU/ml dan terendah yaitu 9,00 x 107 CFU/ml. 3

Penelitian juga dilakukan oleh Dewa Ayu (2012) menunjukkan bahwa Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu bakteri yang sering terisolasi dari lingkungan rumah sakit dan dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif aerob obligat berbentuk batang bersilia yang termasuk kedalam famili

Pseudomonadaceae. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS

(14)

2

satunya adalah Pseudomonas aeruginosa. Penelitian selanjutnya dilakukan di RSUD Dr. Moewardi oleh Mustika (2012) bahwa terdapat beberapa bakteri yang terisolasi dari lantai, udara dan dinding yaitu Acinentobacter baumanii,

Staphyolococcus sp, Bacillus sp, Moraxella lakunata, Klebsiella pneumoni, E. Coli, dan Pseudomonas aeruginosa. CDC (Center for Disease Control)

menyatakan bahwa Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu kuman yang umum menyebabkan infeksi yang ditransmisikan melalui endoskopi.4,5,6,7

Pencegahan transmisi mikroorganisme diperlukan untuk mengurangi kejadian infeksi nosokomial. Salah satu cara untuk mencegah infeksi dan penularan bakteri Pseudomonas aeruginosa adalah dengan melakukan pembersihan, desinfeksi lingkungan dan sterilisasi alat kesehatan secara rutin. Dalam proses ini, dibutuhkan agen desinfektan yang mampu membunuh mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial secara efektif.1 Menurut CDC (Center for Disease Control) dalam Guideline Desinfeksi dan Sterilisasi pada Fasilitas Kesehatan tahun 2008, Pseudomonas

aeruginosa merupakan bakteri yang paling sering didapatkan pada

desinfektan yang telah terkontaminasi. P. aeruginosa terisolasi pada 80% produk yang terkontaminasi. Bakteri ini merupakan bakteri patogen oportunistik yang banyak beredar di lingkungan karena kemampuannya untuk hidup ada suhu ruangan (37o-42oC) dan tempat lembab. Bakteri patogen oportunistik merupakan bakteri yang umumnya tidak menginfeksi tubuh pada saat sistem imun dalam kondisi normal namun menginfeksi pada saat sistem imun tubuh melemah atau disebut immunocompromised. Kurang lebih 20% Ventilator-associated Pneumonia disebabkan oleh Pseudomonas

aeruginosa. Hal ini lah yang menyebabkan Pseudomonas aeruginosa

menjadi salah satu penyebab terbesar infeksi nosokomial.6,7

Salah satu desinfektan yang lazim digunakan adalah benzalkonium

klorida. Agen desinfektan tersebut termasuk kedalam golongan Quartenary Ammonium Compound. Desinfektan ini bekerja dengan cara mendenaturasi

protein bakteri dan memanipulasi permeabilitas membran sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan kebocoran sitoplasma bakteri. Benzalkonium

(15)

3

klorida digunakan sebagai bahan aktif pada salah satu pembersih lantai

dengan konsentrasi 1,5% yang digunakan oleh masyarakat.8

Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan untuk menguji efektivitas daya bunuh dari produk pembersih lantai yang digunakan oleh masyarakat Indonesia terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dengan metode uji koefisien fenol, yaitu dengan cara membandingkan daya bunuh sampel uji dengan daya bunuh Fenol terhadap Pseudomonas aeruginosa.9

1.2 Rumusan Masalah

Berapakah nilai koefisien fenol Benzalkonium Klorida 1,5% yang terkandung pada pembersih lantai terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menetapkan nilai koefisien fenol Benzalkonium Klorida 1,5% yang terkandung pada pembersih lantai terhadap bakteri Pseudomonas

aeruginosa.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengenceran tertinggi yang dibutuhkan pembersih lantai dengan Benzalkonium Klorida 1,5% untuk membunuh Pseudomonas

aeruginosa

2. Mengetahui waktu tercepat yang dibutuhkan oleh pembersih lantai dengan kandungan Benzalkonium Klorida 1,5% untuk membunuh

Pseudomonas aeruginosa pada pengenceran tertinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk Peneliti:

 Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peneliti dalam metodologi penelitian.

 Menambah wawasan peneliti dalam bidang mikrobiologi 1.4.2 Untuk Institusi:

(16)

4  Sebagai landasan dan referensi bagi praktisi yang tertarik dalam

bidang mikrobiologi, khususnya pada uji koefisien fenol.

 Dapat menambah data dan informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kemampuan berbagai kandungan desinfektan selain Benzalkonium Klorida 1,5% terhadap pertumbuhan bakteri

Pseudomonas aeruginosa mapun bakteri lainnya.

1.4.3 Untuk masyarakat:

Memberikan informasi tentang koefisien fenol dari Benzalkonium

Klorida 1,5% pada pembersih lantai terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa.

 Memberikan informasi tentang kemampuan pembersih lantai dengan kandungan Benzalkonium Klorida 1,5% dalam membunuh bakteri P. aeruginosa.

(17)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Koefisien Fenol

Koefisien fenol merupakan ukuran kemampuan sebuah desinfektan dalam hal membunuh mikroorganisme tertentu yang dibandingkan dengan kemampuan fenol sebagai pembanding. Uji ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan suatu produk desinfektan dalam membunuh mikroorganisme dengan membandingkannya dengan fenol sebagai standar baku. Fenol ditetapkan sebagai standar baku dalam menguji efektivitas desinfektan karena kemampuannya yang sudah terbukti dalam membunuh mikroorganisme. Dalam uji ini, efektivitas dari desinfektan uji didasarkan pada konsentrasi dan waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme spesifik yang menjadi bahan uji.9

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Rideal dan Walker pada tahun 1903 dan dinobatkan sebagai standar uji untuk desinfektan oleh

Royal Sanitary Institute pada 1906. Sejak saat itu, metode ini telah mengalami

beberapa perubahan dan modifikasi. Peneliti-peneliti telah menggunakan metode ini untuk menguji desinfektan-desinfektan.9

Pada tahun 2012, Lindawaty melakukan penelitian menggunakan koefisien fenol untuk menguji efektivitas Pine oil 2,5% yang terkandung pada dua sampel pembersih lantai terhadap bakteri Staphyllococcus aureus dan

Escherichia coli. Pada uji ini, metode yang digunakan adalah uji suspensi

kualitatif dengan metode Rideal-Walker. Hasil penelitian menunjukkan koefisien fenol sampel pertama dan kedua terhadap bakteri Escherichia coli adalah 1,67 dan 2, dan terhadap bakteri Staphyllococcus aureus adalah 1,33 dan 1,75 yang menunjukkan Pine oil 2,5% efektif membunuh kedua bakteri tersebut.Pada tahun 2013, Didik Setiawan dkk juga menguji koefisien fenol dari tiga desinfektan yaitu kaporit, hidrogen peroksida, dan reagen fenton terhadap bakteri Salmonella typhosa dan Staphylococcus aureus. Dari hasil uji

(18)

6

didapatkan koefisien fenol dari kaporit adalah 4,dan hidrogen peroksida dan reagen fenton memperoleh nilai 6 yang berarti bahwa ketiga desinfektan tersebut efektif dalam membunuh Salmonella typhosa dan Staphyllococcus

aureus.10,11

2.1.2 Desinfektan 2.1.2.1 Definisi

Desinfeksi merupakan sebuah proses pembasmian kebanyakan mikroorganisme patogen. Desinfektan dapat diartikan sebagai substansi yang dapat membunuh mikroorganisme-mikroorganisme patogen, kecuali spora bakteri. Proses desinfeksi tidak dapat membunuh semua bakteri, seperti spora bakteri, dikarenakan desinfektan tidak bersifat sporosidal. Berbeda dengan proses Sterilisasi yang membunuh seluruh mikroorganisme, sehingga keadaan Steril dapat diartikan sebagai kondisi bebas dari seluruh mikroorganisme. Beberapa desinfektan mampu membunuh spora namun dengan waktu paparan lebih lama.6,12

2.1.2.2 Manfaat Desinfektan

Sesuai namanya, fungsi utama dari desinfektan adalah sebagai agen yang menjalankan proses desinfeksi. Dalam keluarga biosida, desinfektan memiliki fungsi untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme patogen kecuali spora. Beberapa desinfektan memiliki sifat sporostatik, yaitu sebagai penghambat pertumbuhan spora namun tidak memiliki sifat sporosida atau kemampuan membunuh spora. Secara umum desinfektan memiliki manfaat yang sama dengan antiseptik, namun secara teknis pemakaian, berbeda dengan antiseptik yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan jaringan mahluk hidup, desinfektan digunakan pada permukaan benda-benda mati. Oleh karena itu, desinfektan bermanfaat untuk membersihkan lingkungan seperti peralatan rumah tangga, lantai, alat-alat kesehatan, dan benda-benda lainnya sedangkan antiseptik dimanfaatkan untuk mencuci tangan, persiapan bedah, dan proses aseptik lainnya pada mahluk hidup. 6,12

(19)

7 2.1.2.3 Klasifikasi dan Macam-Macam Desinfektan

Dari kekuatannya, desinfektan dapat digolongkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut :

High-level disinfectants : Substansi yang mampu membunuh seluruh mikroorganisme termasuk spora bakteri namun pada konsentrasi dan waktu paparan tertentu

Intermidiate-level disinfectant : Substansi yang dapat membunuh bakteri yang vegetatif, termasuk beberapa virus, jamur, namun tidak mampu membunuh spora bakteri.

Low-level disinfectants : Substansi yang dapat membunuh seluruh bakteri vegetatif, beberapa virus, beberapa jamur, namun tidak dapat membunuh spora bakteri.1,6

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada

tahun 2008, kriteria dari desinfektan yang ideal adalah sebagai berikut :  Spektrum luas: dapat membunuh sebagian besar macam-macam

mikroba

 Aksi Cepat : membunuh mikroorganisme dengan cepat

 Non-Toksik: tidak bersifat toksik atau berbahaya bagi pengguna atau manusia

 Mudah digunakan dan memiliki petunjuk yang mudah dipahami  Ramah lingkungan dan biodegradable : tidak boleh menyebabkan

pencemaran lingkungan  Mudah larut dengan air  Konsentrasi yang stabil

 Beraroma sedap atau tidak beraroma/ berbau.

 Kompatibel dengan sabun, deterjen, dan bahan kimia lainnya yang digunakan sehari-hari

 Tidak korosif

 Tidak merusak bahan-bahan rumah tangga seperti plastik, karet, kayu, dan lain-lainnya.6

(20)

8

Terdapat berbagai macam desinfektan yang beredar. Desinfektan sendiri dapat digunakan tidak hanya dapat digunakan satu macam, namun seringkali digunakan kombinasi lebih dari 1 macam desinfektan terutama pada fasilitas kesehatan. Desinfektan harus digunakan dengan konsentrasi yang sesuai dan peruntukan yang sesuai dengan masing-masing jenis desinfektannya untuk memaksimalkan efektifitas proses desinfeksi. 6

Berikut merupakan jenis-jenis desinfektan: 1. Alkohol

Mengacu pada dua komponen larutan yang terlarut air yaitu etil-alkohol dan isopropil-etil-alkohol. Alkohol bersifat bakterisid terhadap berbagai jenis bakteri aktif maupun dorman, sifat baketerisid ini akan berkurang jika dilarutkan dibawah 50% konsentrasinya. Mekanisme kerja bakterisid dari alkohol sendiri terutama dengan proses denaturasi protein, dengan adanya kandungan air proses denaturasi bias terjadi lebih cepat. Efektifitas bakterisid etanol terhadap Pseudomonas aeruginosa terbunuh dalam 10 detik dalam seluruh konsentrasi dalam rentang 30%-100%. Alkohol efektif untuk mendesinfeksi instrumen alat-alat medis seperti termometer, gunting, stetoskop, tetapi tidak direkomendasikan untuk mensterilisasi instrument bedah. 6,12

2. Klorin

Hypochlorites, merupakan desinfektan klorin yang paling banyak

ditemukan dan tersedia dalam dua bentuk sediaan cair (sodium hypochlorite) dan padat (kalsium hypochlorite). Klorin tidak meninggalkan bekas yang bersifat toksik, serta angka toksisitasnya rendah. Sifat dari klorin adalah bakterisida, fungisida, sporosida, tuberkulosida, dan virusida. Mekanisme kerja dari klorin belum dapat dijelaskan dengan pasti. Banyak teori yang menyatakan mekanismenya, salah satunya adalah klorin dapat menyebabkan oksidasi enzim dan asam amino, kehilangan kandungan intraselular, penurunan uptake nutrien, inhibisi sintesis protein, penurunan uptake oksigen, penurunan produksi ATP, kerusakan DNA dan penurunan sintesis DNA. Pada studi yang dilakukan dengan metode pengenceran AOAC 100 ppm dari klorin

(21)

9

dapat membunuh 106-107 daripada P. aeruginosa dalam waktu kurang dari 10 menit. Kegunaan klorin sering digunakan di fasilitas kesehatan sebagai desinfektan alat-alat medis yang kontak dengan cairan tubuh seperti darah, sekret vagina, dan lainnya. 6,12

3. Formaldehid

Digunakan sebagai desinfektan dan sterilisasi dalam bentuk cair dan gas. Mekanisme kerja dari formaldehid adalah menginaktivasi mikroorganisme dengan alkilasi amino dan sulfhydral protein.. Efektif terhadap berbagai variasi mikroorganisme. Penggunaan formaldehid sebagai desinfektan dan sterilisasi di fasilitas kesehatan terbatas karena sifatnya yang mengiritasi, Formaldehid biasa digunakan untuk menyiapkan vaksin virus, dan juga sebagai pengawet pada spesimen anatomi. 6,12

4. Glutaraldehid

Merupakan sebuah dialdehid yang tersaturasi dan dianggap sebagai desinfekan tingkat tinggi dan sterilan kimia. Bersifat asam tetapi pada kondisi asam tidak memiliki kemampuan sporosidanya, dan apabila glutaraldehid teralkalinisasi menjadi pH 7,5-8,5 sifat sporosida dapat diaktivasi. Mekanisme kerjanya melalui proses alkilasi dari sulfhydryl, gydroxiyl, carboxyl, dan sekelompok gugus amino dari mikroorganisme yang mengubah RNA, DNA, dan sintesis protein. Sering digunakan untuk desinfeksi tingkat tinggi pada alat-alat medis seperti endoskopi, spirometri, dan lainnya. 6,12

5. Hidrogen Peroksida

Bekerja dengan memproduksi radikal bebas hidroksil yang bersifat destruktif untuk menyerang lipid membran, DNA dan komponen esensial lain dalam sel. Hidrogen peroksida bersifat bakterisidal, virusidal, sporosidal, fungisidal, dan efektif pada spektrum luas dari mikroorganisme. Hidrogen peroksida 3%-6% biasa digunakan untuk desinfeksi alat-alat medis seperti tonometer, ventilator, endoskopi, dan lainnya. 6,12

6. Iodofor

Larutan iodin sering digunakan sebagai desinfektan pada kulit atau jaringan, sedangkan iodofor juga digunakan sebagai desinfektan. Cara

(22)

10

kerjanya melalui penetrasi dinding sel mikroorganisme dan disrupsi struktur dan sintesis dari protein dan asam nukleatnya. 6,12

7. Ortho-phthalaldehyde (OPA)

Merupakan salah satu desinfektan tingkat tinggi yang mengandung 0.55% 1,2-benzenedicarboxaldehyde. Mekanisme kerja dari OPA mirip dengan glutaraldehid, dan dapat membunuh spora dengan memblok proses germinasi spora. Memiliki lebih banyak keuntungan daripada glutaraldehid seperti tidak menyebabkan iritasi pada mata dan hidung dan tidak memerlukan monitoring paparan secara rutin. OPA berinteraksi dengan asam amino dan protein. 6,12

8. Asam Perasetat

Asam perasetat merupakan germisida yang bersifat aksi cepat (Rapid action) dalam membunuh semua mikroorganisme. Asam perasetat hampir tidak meninggalkan residu ataupun produk yang berbahaya sama sekali. Asam perasetat tetap efektif dan bersifat sporosidal bahkan pada suhu yang rendah. Belum diketahui secara pasti mekanisme kerjanya, namun kemungkinan cara kerjanya sama dengan Oxidizing agent yang mendenaturasi protein, mengganggu permeabilitas dinding sel,, dan ixidasi Sulfhydryl. 6,12 9. Asam perasetat dan Hidrogen Peroksida

Gabungan Asam perasetat dan hidrogen peroksida terbukti mampu menginaktivasi seluruh mikroorganisme kecuali spora dalam waktu 20 menit. Asam perasetat 0,08% dan hidrogen peroksida 1% secara efektif menginaktivasi glutaraldehyde-resistant mycobacteria. 6,12

10. Fenol

Fenol merupakan agen germisida yang sudah sejak lama digunakan dalam proses desinfeksi di rumah sakit. Fenol terbukti bersifat bakterisidal, fungisidal, virusidal, dan tuberkulosidal. Pada konsentrasi tinggi, fenol dapat bekerja sebagai gross protoplasmic poison, mempenetrasi dan mengganggu dinding sel dan presipitasi protein-protein sel. Pada konsentrasi rendah, fenol dapat menginaktivasi enzim esensial dan membuat kebocoran metabolit dari dinding sel. Fenol terbukti efektif dalam membunuh Pseudomonas

(23)

11

11. Quarternary Ammonium Compunds (QAC)

Sering digunakan sebagai desinfektan untuk peralatan suportif pasien seperti kateter jantung, dan sistoskop. Mekanisme kerjanya melalui proses inaktivasi enzim yang memproduksi energi, denaturasi dinding protein dan disrupsi membran sel mikroorganisme. Selain sebagai desinfektan di rumah sakit quaternary ammonium compounds juga dipakai dalam kebutuhan sehari-hari sebagai pembersih lantai, atau furnitur. 6,12

2.1.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Desinfektan

Kemampuan desinfektan dalam membunuh mikroorganisme, walaupun sudah teruji di laboratorium, dapat berubah seiring dengan pengaruh beberapa faktor. Baik faktor internal dari mikroorganisme maupun eksternal dari lingkungan mempunyai pengaruh masing-masing terhadap kinerja desinfektan. Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kerja desinfektan :

1. Karakteristik Mikroorganisme: a. Jumlah Mikroorganisme

Pada kondisi normal, semakin besar jumlah mikroba akan meningkatkan waktu yang dibutuhkan desinfektan untuk membunuh mikroorganisme. Pada tempat-tempat yang terdapat banyak mikroorganisme seperti pada feses atau sputum, dibutuhkan lebih banyak kadar desinfektan untuk membunuh mikroorganisme-mikroorgansime tersebut.6,13

b. Spesies mikroorganisme

Setiap spesies mikroorganisme memiliki karakteristik masing masing sehingga pemilihan desinfektan yang tepat diperlukan. Sebagai contoh, benda yang terkontaminasi bakteri Gram-negatif tidak akan terdesinfeksi dengan efektif bila menggunakan Chloroxyanol.13.

c. Resistensi Mikroorganisme

Mikroorganisme memiliki sifat resistensi yang bermacam-macam terhadap germisida atau antibiotik. Diperlukan agen yang spesifik dalam membunuh mikroorganisme-mikroorganisme yang resisten. Sebagai contoh, spora yang resisten terhadap kebanyakan desinfektan sehingga diperlukan

(24)

12

konsentrasi yang lebih tinggi dan waktu paparan yang lebih lama untuk proses sterilisasi.6

Dalam hal ini, Pseudomonas aeruginosa terkenal memiliki sifat resisten terhadap banyak variasi desinfektan atau antibiotik. Salah satu bahan kimia yang mampu membunuh Pseudomonas aeruginosa adalah fenol sehingga dalam membunuh Pseudomonas aeruginosa dapat digunakan karbol yang merupakan larutan fenol dalam air.6

d. Lokasi Mikroorganisme

Efektifitas desinfektan juga dipengaruhi dari lokasi mikroorganisme. Efektifitas desinfektan akan berkurang pada permukaan yang sulit dicapai oleh desinfektan sehingga perlu dipastikan bahwa desinfektan mengalami kontak dengan seluruh permukaan yang perlu didesinfeksi untuk memastikan efektifitas kinerja dari desinfektan.6

2. Pengaruh Desinfektan a. Konsentrasi Desinfektan

Pada kondisi normal, semakin besar konsentrasi suatu desinfektan maka semakin tinggi kemampuan bunuhnya terhadap mikroorganisme. Dengan meningkatnya kemampuan bunuh maka waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme pada jumlah yang sama dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menjadi lebih cepat. Disamping itu, konsentrasi yang terlalu tinggi dapat membuat desinfektan terbuang sia-sia dan membuat kerusakan jaringan apabila terpapar pada jaringan kulit. Jaringan kulit yang mengalami kerusakan atau trauma ini akan lebih mudah terinfeksi terutama pada orang yang sering berkontak langung dengan mikroorganisme-mikroorganisme pada kegiatan sehari-harinya. Oleh karena itu desinfektan perlu digunakan dalam konsentrasi yang sesuai, karena apabila konsentrasi desinfektan juga terlalu rendah akan menyebabkan ketidakefektifan dalam membunuh mikroorganisme.6,13

b. Waktu paparan

Pada kondisi yang normal, waktu paparan desinfektan yang lebih lama pada mikroorganisme akan lebih efektif membunuh mikroorgansime dibandingkan waktu yang lebih singkat. Setiap desinfektan membutuhkan

(25)

13

waktu tertentu dalam membunuh mikroorgansime tergantung pada kekuatan desinfektan dan jumlah dari bakteri. Sebagai contoh, dalam membunuh organisme-organisme Gram-negatif secara umum dibutuhkan waktu yang lebih lama oleh desinfektan dibandingkan dengan organisme-organisme Gram-positif. 6,13

c. Tegang Permukaan

Tegang permukaan merupakan aspek yang penting pada desinfektan, semakin rendah tegang permukaan maka semakin baik. Substansi seperti quartenary ammonium compounds merupakan desinfektan sekaligus surface tension reducers. Proses penurunan tegangan permukaan pada benda yang akan didesinfeksi akan terganggu dengan adanya benda padat yang menghalangi seperti feses, oli, atau tanah yang menempel sehingga proses pembersihan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum desinfeksi. Kontak secara keseluruhan antara desinfektan dan permukaan benda sangat diperlukan.13

d. Degradasi Larutan

Larutan dari desinfektan akan mengalami degradasi sehingga harus diganti dengan larutan yang baru setiap harinya. Hal ini mempengaruhi efektifitas dari desinfektan sehingga tidak dianjurkan pemakaian larutan desinfektan yang telah dibuat atau digunakan sehari sebelumnya.13

2.1.2.5 Metode Uji Desinfektan

Desinfektan banyak digunakan dalam banyak hal seperti pembersihan lungkungan rumah tangga, rumah sakit, bidang industri dan lain-lain, sehingga uji desinfektan diperlukan untuk mengetahui kemampuan dari desinfektan.

1. Carrier Test

Carrier Test atau uji pembawa merupakan uji tertua yang

digumakan untuk mengetahui kemampuan desinfektan. Uji ini ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1881.9

Pada uji ini, digunakan kain sutra yang sudah dikontaminasi dengan kultur dari mikroorganisme yang akan diuji. Setelah itu kain

(26)

14

dikeringkan dan diberikan desinfektan yang ingin diuji dalam waktu tertentu. Kemudian setelah paparan dengan desinfektan, dibuatlah kultur dari permukaan kain tersebut pada media perbenihan nutrien broth dan diinkubasi. Hasilnya cukup dilihat pertumbuhan pada media nutrien broth tersebut, apabila tidak terdapat pertumbuhan bakteri mengindikasikan bahwa desinfektan uji efektif membunuh mikroorganisme tersebut.9

Uji ini dilakukan berulang dengan konsentrasi yang berbeda dan waktu paparan yang berbeda untuk menemukan konsentrasi terendah dan waktu tercepat yang dibutuhkan desinfektan sehingga didapatkan rasio penggunaan desinfektan yang paling efektif. 9

2. Suspension Test

Uji suspensi merupakan salah satu uji desinfektan yang paling sederhana. Pada uji ini, kultur bakteri dimasukkan kedalam larutan-larutan desinfektan yang telah diencerkan dengan pengenceran tertentu yang berbeda-beda secara gradual. Hasilnya dilihat pada pertumbuhan bakteri di media perbenihan nutrien broth yang telah diinkubasi.9

Terdapat dua macam uji suspensi yaitu uji kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif digunakan untuk menentukan koefisien fenol dari desinfektan uji atau yang lebih dikenal dengan metode Walker. Selain metode Rideal-Walker, metode Chick-Martin juga digunakan untuk menentukan nilai koefisien fenol namun Chick-Martin menggunakan suspensi ragi atau feces sebagai pelarut desinfektannya, berbeda dengan Rideal-Walker yang menggunakan aquades sebagai pelarut desinfektan. Koefisien fenol yang didapatkan dari metode Chick-Martin cenderung lebih rendah dari nilai yang didapatkan dari metode Rideal-Walker. Koefisien fenol desinfektan uji didapatkan dari perbandingan tingkat pengenceran dan waktu bunuh antara desinfektan uji dengan fenol sebagai standar.9

Pada uji kuantitatif, nilai Microbicidal effect (ME) ditentukan dengan membandingkan jumlah bakteri yang masih hidup setelah paparan dengan desinfektan dengan total bakteri sebelum terpapar dengan desinfektan. Nilai ME dianggap 1 apabila desinfektan mampu membunuh 90% dari total bakteri sebelum terpapar desinfektan, sedangkan nilai ME dianggap 2 apabila

(27)

15

99% jumlah bakteri total mati. Lazimnya desinfektan memiliki nilai ME sama dengan atau melebihi 5, dimana nilai 5 menunjukkan 99,99% dari total bakteri terbunuh.9

3. Capacity Test

Pada uji ini, desinfektan diuji kapasitasnya dalam membunuh mikroorganisme dengan penambahan bakteri secara bertahap kedalam larutan desinfektan. Kapasitas bakteri dilihat dari kemampuannya membunuh bakteri yang terus ditambahkan hingga kemampuannya dalam membunuh mikroorganisme menurun. 9

4. Practical Test

Uji praktis ini dilakukan setelah melakukan uji kuantitatif suspensi desinfektan dan mengetahui rasio konsentrasi dengan waktu bunuh. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah pengenceran paling efektif yang didapatkan dari uji kuantitatif tersebut masih sesuai atau adekuat untuk membunuh mikroorganisme yang diuji dengan kondisi sehari-hari. Uji praktis dilakukan dalam kondisi sehari-hari sedangkan uji suspensi dilakukan didalam kondisi laboratorium. Metode uji praktis yang lazim digunakan adalah surface

test atau uji permukaan.9

Uji ini menggunakan pipa Polyvinyl Chloride (PVC) atau stainless

steel yang telah dikontaminasi dengan biakan mikroorganisme uji dan

dikeringkan. Setelah itu sejumlah larutan desinfektan, dengan kadar pengenceran yang didapat dari uji suspensi, diratakan pada permukaan yang telah dikontaminasi mikroorganisme. Setelah waktu yang ditentukan, permukaan dibilas menggunakan air suling. Air suling hasil pembilasan diinokulasi untuk melihat ada tidaknya mkroorganisme yang masih hidup.9 5. In-use Test

Uji ini merupakan uji yang mudah dilakukan dan bertujuan untuk mendeteksi kontaminasi pada desinfektan. Sampel desinfektan dicampur dengan pelarut dengan perbandingan 1:9. Siapkan dua media perbenihan nutrien agar. 0,2 ml volume larutan diteteskan pada masing-masing nutrien agar yang kemudian diinkubasi secara terpisah. Satu nutrien agar diinkubasi pada suhu 37o C selama tiga hari, sedangkan nutrien agar lainnya diinkubasi

(28)

16

pada suhu ruangan selama tujuh hari. Desinfektan dinyatakan terkontaminasi apabila terdapat lima koloni atau lebih pada salah satu media nutrien agar.9

2.1.2.6 Kandungan dan Peranan Benzalkonium Klorida Pada Desinfektan

Benzalkonium Klorida merupakan bahan kimia yang biasa

digunakan di laboratorium dan industri sebagai bahan pengawet.

Benzalkonium Klorida juga merupakan zat aktif yang banyak terkandung

dalam desinfektan dan sanitizer, produk rumah tangga, pertanian, rumah sakit, perkantoran dan sarana transportasi umum. Selain sebagai bakterisida,

Benzalkonium Klorida juga digunakan sebagai pembasmi alga (Algaesida)

dan pembersih lendir (slimisida) untuk kolam renang, industri penampung air, dan kolam pertanian yang mudah ditumbuhi alga dan lumut.14

Golongan : Ammonium Kuartemer

Nomor Identifikasi :

 Nomor CAS : 63449-41-2  Nomor RTECS : BO3150000  Nomor EINECS : 612-140-00-5 Sinonim : Alkildimetilbenzilammonium klorida

C6H5CH2N(CH3)2RCl, R=C8H17 C18H37 15

Benzalkonium Klorida merupakan bagian dari Quartenary ammonium compounds (QACs). QACs adalah surfaktan amfoter yang

mengandung satu nitrogen kuaterner yang berikatan dengan paling tidak satu molekul hidrofobik. QACs merupakan badan kation yang banyak digunakan dalam desinfektan. Benzalkonium Klorida, yang merupakan agen antimikroba sintetis dengan kemampuan antimikroba spectrum luas, banyak digunakan sebagai desinfektan dan antiseptik pada rumah tangga maupun fasilitas kesehatan. Benzalkonium Klorida adalah produk dari reaksi substitusi nukleofilik dari Alkyldimethylamine dengan Benzil Klorida.8.

(29)

17

Benzalkonium Klorida umumnya menargetkan permeabilitas

membran sel. Pada konsentrasi rendah, dengan memanipulasi permeabilitas membran, Benzalkonium Klorida dapat menyebabkan kebocoran sitolitik di sitoplasma yang disertasi peningkatan uptake intrasel dan kerusakan membran luar mikroba. Pada konsentrasi tinggi, Benzalkonium Klorida menyerang gugus-gugus karboksil dan menyebabkan koagulasi pada sitoplasma bakteri. Kemampuan surfaktan dan muatan listrik positifnya menghasilkan kemampuan yang baik untuk mempenetrasi dan memasuki permukaan yang berpori-pori.8

Permukaan terluar dari sel bakteri secara umum memiliki muatan listrik negatif, yang dapat distabilkan dengan kation divalen. Muatan listrik ini disebabkan adanya Theicoic acid dan elemen polisakarida pada bakteri Gram positif, lipopolisakarida pada bakteri Gram negatif, dan membran sitoplasma itu sendiri. Oleh karena itu, kebanyakan agen antimikroba bersifat kationik dan memiliki daya ikat yang tinggi dengan permukaan sel bakteri.8.

2.1.3 Pseudomonas aeruginosa 2.1.3.1 Morfologi dan Klasifikasi

Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri aerob Gram negatif (-),

memiliki bentuk batang, ukuran sekitar 0,6 µm X 2 µm. Pergerakannya menggunakan flagel tunggal. Tidak memiliki spora.16

Pseudomonas aeruginosa diklasifikasikan sebagai berikut:

 Divisi : Protophyta  Class : Schizomycetes  Ordo : Pseudomonadales  Sub Ordo : Pseudomonadinae  Familia : Pseudomonadaceae  Genus : Pseudomonas

(30)

18

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri obligat aerob yang

mudah tumbuh pada berbagai macam media pembiakan karena kebutuhannya yang sederhana, terkadang dapat mengeluarkan bau seperti buah anggur atau jagung. Disamping itu, Pseudomonas aeruginosa menyukai tempat-tempat yang memiliki suasana lembab seperti alat bantu pernapasan, air yang dingin, lantai, kamar mandi, wastafel, dan lain-lain. Bakteri ini dapat bertumbuh pada suhu diantara 37oC hingga 42oC.16,17

Genus Pseudomonas terbagi menjadi dua grup yaitu grup fluoresen dan grup nonfluoresen. Pseudomonas aeruginosa termasuk kedalam grup fluoresen bersama dengan Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas

putida. Bila ditumbuhkan pada suhu 42oC maka Pseudomonas aeruginosa akan lebih mudah dibedakan dari bakteri Pseudomonas lainnya dalam grup fluoresen. Pseudomonas aeruginosa akan membuat koloni agar berwarna fluoresens kehijauan dan berbentuk bulat. Bakteri ini juga memiliki ciri khas lain yaitu dapat menghasilkan Piosianin. Piosianin merupakan pigmen berwana kebiruan yang berdifusi ke dalam agar dan tidak berfluoresensi.

Piosianin merupakan ciri khas dari Pseudomonas aeruginosa karena tidak

dihasilkan oleh Pseudomonas lainnya. Selain Piosianin, beberapa strain

Pseudomonas aeruginosa juga menghasilkan Pioverdin yang berwarna

kehijauan dan berfluoresensi, Piorubin yang merupakan pigmen berwarna merah, dan Piomelanin yaitu pigmen yang berwarna hitam. 16,17

Pseudomonas aeruginosa memiliki sifat yang lebih resisten

terhadap desinfektan dibandingkan dengan bakteri-bakteri lainnya. Sebagian besar antibiotik maupun antimikroba tidak efektif dalam membunuh

Pseudomonas aeruginosa. Pseudomonas aeruginosa pernah diisolasi dari

sabun Heksaklorofen, yang menunjukkan resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap desinfektan tersebut. Tidak semua desinfektan tidak efektif dalam membunuh Pseudomonas aeuruginosa. Fenol dan beta-glutaraldehid terbukti efektif membunuh Pseudomonas aeruginosa. Air mendidih juga efektif membunuh bakteri tersebut. 16,17

(31)

19

Gambar 2.1: Koloni Pseudomonas aeruginosa pada agar Sumber gambar :

http://www.eolabs.com/media/catalog/product/cache/1/image/500x500/9df 78eab33525d08d6e5fb8d27136e95/p/p/pp_1051_pyoa.jpg

2.1.3.2 Epidemiologi Infeksi Pseudomonas aeruginosa

Sebagai bakteri oportunistik, Pseudomonas aeruginosa menjadi salah satu penyebab umum dari infeksi nosokomial. Terhitung 11-13,8% dari seluruh bakteri yang diisolasi dari penderita infeksi nosokomial merupakan

Pseudomonas aeruginosa. Infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri tersebut

cenderung diderita oleh manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak adekuat atau Immunocompromised seperti penderita luka bakar, penderita AIDS, dan pasien-pasien instansi kesehatan yang menggunakan alat-alat kesehatan yang terkontaminasi Pseudomonas aeruginosa. Pseudomonas aeruginosa dapat hidup pada kateter, masker oksigen, ventilator dan instrumen-instrumen kesehatan lainnya. Kurang lebih 20% Ventilator-associated pneumonia disebabkan oleh infeksi Pseudomonas aeruginosa. 16,17

(32)

20

Dalam usaha pencegahan, Pseudomonas aeruginosa perlu digolongkan berdasarkan piosianin dan imunotipe lipopolisakarida. Penggolongan ini diperlukan untuk mennentukan vaksin yang tepat pada pasien yang rentan terhadap infeksi seperti penderita luka bakar, leukemia, dan kondisi penurunan imun lainnya untuk menghindari terjadinya Pseudomonas septicemia. 16,17

2.1.3.3 Patogenesis Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen oportunistik.

Patogen oportunistik adalah patogen yang memanfaatkan kondisi kerusakan pada sistem imun inang untuk menginfeksi. Pseudomonas aeruginosa dapat menimbulkan infeksi pada saluran pernapasan, saluran kemih, kulit, jaringan lunak, pencernaan, persendian, tulang dan berbagai macam infeksi sistemik. Resiko infeksi meningkat pada individu yang mengalami penurunan daya tahan tubuh atau Immunocompromised seperti penderita AIDS. 16,17

Pseudomonas aeruuginosa bersifat patogen hanya pada host yang

mengalami penurunan pertahanan tubuh atau Immunocompromised. Sebagai contoh pada penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), pada orang yang menggunakan kateter intravena dan urin, pada penderita kanker yang menjalankan terapi radiasi dan mengkonsumsi obat-obatan antineoplastik yang menurunkan kekuatan sistem imun tubuh, dan lain lain.

Pseudomonas aeruginosa menempel dengan Pili dan membentuk koloni pada

membran mukosa atau kulit lalu menginvasi secara lokal menggunakan enzim kemudian mengeluarkan toksin yang menyebabkan penyakit sistemik. Toksin Lipopolisakarida menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), oliguria, leukopenia dan leukositosis, Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC), demam, dan syok. Pseudomonas aeruginosa bersifat

resisten terhadap berbagai macam antibiotik. 16,17

Mekanisme patogenesis dari Pseudomonas aeruginosa belum diketahui secara pasti, namun enzim, toksin, dan lendir yang dihasilkan Pseudomonas

aeruginosa dapat memberikan efek patologik pada hewan walaupun peranan

pastinya pada manusia belum dapat ditentukan. Sedikitnya 2 tipe protease dapat menyebabkan lesi hemoragik pada kulit dan menyebabkan kerusakan

(33)

21

pada kornea, namun tidak bersifat letal. Dua hemolisin juga dihasilkan, yaitu fosfolipase dan glikolipid yang juga tidak bersifat letal. Pada Pseudomonas

aeruginosa induced pneumonia, fosfolipase ini akan membantu perusakan

organism dengan merusak jaringan paru dan mengakibatkan atelektasis dan nekrosis jaringan. 16,17

Pseudomonas aeruginosa menghasilkan tiga jenis eksotoksin yaitu

eksotoksin A, eksotoksin B, dan eksotoksin C. Eksotoksin-eksotoksin ini bersifat letal pada hewan seperti tikus putih dan anjing dan juga mampu menyebabkan syok hipotensi pada monyet. Ditemukan pula enterotoksin dari

Pseudomonas aeruginosa yang mampu menyebabkan infeksi pada saluran

pencernaan sehingga dapat terjadi diare dan gangguan pencernaan lainnya. 16,17

Pseudomonas aeruginosa di lantai dapat menyebabkan infeksi

pada kulit dan jaringan lunak pada kondisi tertentu. Folikulitis dan selulitis dapat terjadi pada pada individu dengan luka terbuka terinfeksi Pseudomonas

aeruginosa. Hampir seluruh kejadian Nail puncture cellulitis, baik yang

disertai abses atau tidak, disebabkan oleh Pseudomonas Sp. Disamping itu Hot

tub folliculitis yang diakibatkan kurang bersihnya bak mandi yang digunakan

untuk berendam juga dapat terjadi pada orang dengan sistem imun yang adekuat. Berikut adalah patogenesis beberapa penyakit yang dapat disebabkan infeksi Pseudomonas aeruginosa, terutama yang dapat tertular dari pajanan di lantai.18

Pada kondisi normal, Pseudomonas aeruginosa tidak dapat diinduksi pertumbuhannya pada kulit yang normal pada orang yang imunokompeten. Kondisi stratum korneum yang teroklusi dan superhidrasi menyediakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi Pseudomonas aeruuginosa. Paparan air yang terlalu lama, terlalu sering mandi, dan perawatan air kolam yang tidak adekuat merupakan faktor risiko dari folikulitis. Port de entry

Pseudomonas aeruuginosa ke dalam kulit dapat melalui kulit kepala, dan kulit

terbuka, penetrasi lebih mudah terjadi saat berkeringat.18

Selulitis Pseudomonas dapat terlokalisir atau terjadi pada

Pseudomonas septicemia. Pada infeksi lokalis, Pseudomonas aeruginosa akan

(34)

22

inguinal, hingga pada penis. Lesi yang dapat ditimbulkan berupa erosi dan nekrosis jaringan yang dapat muncul sebelum terdiagnosis dengan dasar eritema dan sekret purulen. Vesikel dan pustul dapat muncul dengan sebaran lesi satelit. Erupsi mungkin terjadi dan dapat disertai infeksi sistemik.18

2.1.3.4 Manifestasi Klinis Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan infeksi pada

berbagai tempat. Pada luka dapat menimbulkan pus yang berwarna hijau kebiruan, Pada Lumbal Puncture, pseudomonas dapat ikut masuk kedalam tubuh dan bisa menyebabkan meningitis. Pada saluran kemih, Pseudomonas

aeruginosa dapat masuk bersama dengan pemasangan instrument seperti

kateter dan larutan untuk irigasi lalu menyebabkan infeksi. Pada saluran respirasi, Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan pneumonia nekrotik yang biasanya diakibatkan pemakaian respirator yang terkontaminasi bakteri

Pseudomonas aeruginosa. Pseudomonas aeruginosa seringkali menginfeksi

perenang menyebabkan otitis eksterna ringan dan menyebabkan otitis eksterna invasif pada penderita diabetes. Pada mata, Pseudomonas seringkali masuk pada tindakan bedah atau pada trauma mata dan menyebabkan infeksi. 16,17

Manifestasi yang terjadi pada kebanyakan infeksi Pseudomonas

aeruginosa tidak mempunyai gejala atau tanda yang khas dan bergantung pada

organ yang terinfeksi. Pada beberapa kasus, pigmen fluoresens Pseudomonas

aeruginosa dapat terdeteksi pada luka, luka bakar, dan urine dengan uji

fluoresensi ultraviolet. Lesi ektima gangrenosum berupa nekrosis hemoragik kulit yang dikelilngi eritema sering didapatkan pada sepsis yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. 16,17

(35)

23 2.2 Kerangka Teori Alkohol Klorin Formaldehid Glutaraldehid Hidrogen Peroksida Iodofor Ortho-phthalaldehyde (OPA) Asam Perasetat Fenol Quartenary Ammonium Compunds Denaturasi protein Manipulasi permeabilitas membran Alkilasi grup sulfhydril & amino Produksi Hydroxyl free radicals Disrupsi protein & struktur asam nukleat Penetrasi dinding sel &

endapkan protein Inaktivasi enzim penghasil energi (+) Bakteri kehilangan energi (-) Bakteri Menghasilkan enzim penghidrolisis desinfektan (+) Mengacaukan struktur, fungsi sel dan

sintesis bakteri (+) Terjadi kebocoran sitoplasma (-) Penurunan permeabilitas membran & peningkatan Efflux oleh bakteri (+) Modifikasi sintesis

DNA, RNA, & protein

(+) Menghancurkan membran lipid, DNA,

komponen esensial lainnya (-) Degradasi desinfektan oleh enzim katalase bakteri

(+) Terjadi kebocoran metabolit pada dinding sel & inaktivasi

enzim

Pertumbuhan bakteri

(+) : Efek desinfektan yang menghambat pertumbuhan bakteri (-) : Pertahanan bakteri mencegah kerja desinfektan

(36)

24 2.3 Kerangka Konsep

(37)

25 2.4 Definisi Operasional

N o

Variabel Definisi Alat Metode ukur Skala

Pengukuran 1 Pembersih lantai Produk pembersih lantai dengan kandungan Benzalkonium Klorida 1,5%.

- Membaca kandungan zat aktif yang tertera pada kemasan produk pembersih lantai

-

2 .

Konsentrasi desinfektan

Rasio zat aktif desinfektan dengan zat pelarut.

Gelas ukur

Membandingkan jumlah zat terlarut dan pelarut

Satuan = mililiter Numerik 3 Lama waktu paparan Durasi paparan desinfektan terhadap bakteri.

Timer Menghitung durasi paparan Satuan = menit Numerik 4 Uji koefisien fenol Uji perbandingan kemampuan daya

bunuh desinfektan uji dengan fenol pada konsentrasi 1/40, 1/60, 1/80, 1/100, 1/120, 1/140 dengan waktu 5, 10, 15, 20, 25, & 30 menit. - Nilai koefisien lebih dari atau sama dengan 1= Desinfektan efektif .

- Nilai koefisien kurang dari 1 = Desinfektan kurang efektif.

Rumus koefisien fenol

Dilihat dengan meletakkan tabung reaksi membelakangi cahaya

(38)

26 5 Pertumbuhan

bakteri

Koloni bakteri hidup pada media perbenihan nutrien broth.

- Media keruh = terdapat pertumbuhan bakteri,

- Media jernih = tidak terdapat pertumbuhan bakteri.

Observasi menggunakan mata telanjang

(39)

27 BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2015 di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Sampel Penelitian

Pembersih lantai dengan kandungan Benzalkonium Klorida 1,5%

3.4 Identifikasi Variabel

3.4.1 Variabel bebas

Pembersih lantai dengan kandungan bahan aktif Benzalkonium

Klorida 1,5%.

3.4.2 Variabel Terikat

Pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa.

3.5 Alat dan Bahan Penelitian

3.5.1 Alat

Tabung reaksi, rak tabung, ose, bunsen, cawan petri, mikro pipet 1000 µl, tip 100 µl, pipet tetes, vortex, spatula besi, timbangan digital, gelas beker 500 ml, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 10 ml, tabung erlenmeyer,

laminar air flow, stopwatch, hot plate, alumunium foil, tissue, autoklaf,

inkubator, oven, lemari es, alat tulis, label, baki, stir magnetik, kertas putih, korek api, plastik tahan panas, karet gelang, kain lap, masker, sarung tangan, kamera.

3.5.2 Bahan

Pembersih lantai dengan kandungan Benzalkonium Klorida 1,5%, serbuk Fenol, nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), larutan pengencer NaCl steril, larutan standar 0,5 Mc Farland, biakan bakteri Pseudomonas

(40)

28 3.6 Cara Kerja Penelitian

3.6.1 Tahapan Persiapan

3.6.1.1 Sterilisasi Alat dan Bahan

Pertama, cuci seluruh peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan sabun cuci dan air. Lalu, sterilisasi alat-alat tersebut dengan menggunakan Autoklaf pada suhu 120oC dan tekanan sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm). Khusus untuk cawan petri tidak menggunakan autoklaf namun dimasukkan ke oven dengan dibungkus kertas putih, ditunggu hingga suhu mencapai 150oC.

3.6.1.2 Persiapan Media Perbenihan

Media nutrien broth yang telah dimasak dimasukkan dalam 36 tabung reaksi ukuran 20 x 150 mm, masing-masing dengan volume 5 ml. Kemudian dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf lalu diberi label masing-masing tabung dari a1, a2, a3, a4, a,5, a6, begitupula untuk tabung selanjutnya b, c, d, e, dan f. Media nutrien agar yang telah dimasak dilakukan sterilisasi terlebih dahulu menggunakan autolaf kemudian dituang kedalam cawan petri masing-masing 20 ml.

3.6.1.3 Pembuatan Stok Bakteri

Pembuatan stok bakteri ini bertujuan untuk memperbanyak dan meremajakan bakteri uji, yaitu Pseudomonas aeruginosa. Caranya dengan mengambil 1 ose biakan murni bakteri Pseudomonas aeruginosa lalu ditanam pada media nutrien agar (NA) kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

3.6.1.4 Persiapan Sampel dan Standar Uji

Larutan pembersih lantai dan standar fenol 5 % disimpan dalam suhu ruangan dan tetap ditutup rapat. Fenol serbuk dijaga agar terhindar dari paparan sinar matahari. Pengenceran larutan desinfektan dengan kandungan

Benzalkonium Klorida 1,5% menggunakan aquades steril kedalam 6

konsentrasi yaitu 1/40, 1/60, 1/80, 1/100, 1/120, 1/140. Pembuatan larutan fenol dengan cara mencampurkan fenol serbuk 5 gram dengan aquades sampai volume keduanya mencapai 100 ml kemudian dilakukan

(41)

29

pengenceran kedalam enam konsentrasi seperti larutan desinfektan dan diberikan label pada masing-masing tabung reaksi A, B, C, D, E, dan F. 3.6.1.5 Pengenceran Bakteri Uji

Siapkan tabung reaksi berisi 2 ml NaCl fisiologis 0,9% , kemudian tambahkan sebanyak 1 ose biakan Pseudomonas aeruginosa yang telah diremajakan satu hari sebelumnya kedalam tabung tersebut. Setarakan kekeruhannya dengan larutan Mc. Farland III ( 108 kuman/ml) dengan menambahkan NaCl 0.9 % sesuai kebutuhan.

3.6.2 Tahap Pengujian

Percobaan dilakukan terhadap desinfektan dan fenol dengan menggunakan enam konsentrasi yang telah disiapkan sebelumnya yaitu tabung A = 1/40, tabung B = 1/60, tabung C = 1/80, tabung D = 1/100, tabung E = 1/120, tabung F = 1/140. Suspensi bakteri Pseudomonas 108 kuman/ml yang telah disiapkan sebelumnya diambil sebanyak 0,2 ml dan dimasukkan ke tabung A. Pemindahan ini menggunakan mikropipet agar volume suspensi bakteri yang ditambahkan akurat dan dilakukan dalam keadaan aseptik untuk menghindari terjadinya kontaminasi.

Uji dilanjutkan dengan menambahkan masing-masing satu ose suspensi bakteri Pseudomonas aeruginosa kedalam tabung berisi nutrien broth 5 ml yang telah disterilisasi dan diberi label a1. Setelah interval 5 menit, masukkan satu ose suspensi bakteri pada tabung berisi nutrien broth 5 ml dengan label a2, dan lakukan seterusnya hingga tabung a6 dengan interval antar tabung 5 menit. Pemindahan satu ose suspensi bakteri dilakukan dengan menggunakan ose yang telah difiksasi diatas api dan ditunggu beberapa saat sampai ose tidak terlalu panas agar bakteri yang dipindahkan tidak mati karena ose yang telalu panas. Setiap selesai pemindahan bakteri dilakukan pencampuran dengan menggunakan vortex. Ulangi prosedur yang sama pada pengenceran-pengenceran lainnya.

Selanjutnya tabung uji diinkubasi pada suhu 37° C selama 20 jam. Pembacaaan hasil reaksi dinilai dari kekeruhan pada setiap tabung. Jika hasil yang diperoleh adalah keruh (positif) maka menandakan pada tabung ada pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan jika tabung reaksi

(42)

30

bening (negatif) menandakan bahwa tidak ada pertumbuhan bakteri

Pseudomonas aeruginosa karena telah terbunuh oleh kandungan desinfektan.

3.1 Alur Penelitian

3.2 Manajemen Data

Setelah hasil uji kekeruhan tabung dimasukkan ke dalam bentuk tabel, maka dilakukan penghitungan nilai koefisien fenol dengan rumus :

Pc = (1/Cat : 1/Cbt + 1/Cat’ : 1/Cbt’) 2

Keterangan :

Pc = Koefisien fenol

(43)

31

Cbt = Pengenceran fenol dengan waktu tercepat membunuh Cat’ = Pengenceran zat uji dengan waktu terlama membunuh Cbt’ = Pengenceran fenol dengan waktu terlama membunuh

Nilai koefisien fenol :

a. Kurang dari 1 = efektivitasnya lebih kecil dari fenol. b. Sama dengan 1 = efektifitasnya sama dengan fenol.

c. Lebih dari satu = senyawa tersebut lebih efektif dibanding fenol. Tabel pembacaan hasil kekeruhan tabung uji :

Waktu kontak

Pengenceran Bahan Uji

1/40 1/60 1/80 1/100 1/120 1/140 5 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ 10 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ 15 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ 20 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ 25 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ 30 menit -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+

(44)

32 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Setelah dilakukan uji pada kedua zat desinfektan, Benzalkonium Klorida dan Fenol, dihasilkan daya bunuh tercepat sampel Benzalkonium Klorida terhadap Psedomonas aeruginosa yaitu pada menit ke 5 pada pengenceran 1/60, sedangkan daya bunuh terlama pada menit ke 30 pada pengenceran 1/100, seperti tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Waktu Bunuh Rata-rata Sampel Benzalkonium Klorida terhadap Pseudomonas aeruginosa

Waktu kontak

Pengenceran Benzalkonium Klorida 1,5%

1/40 1/60 1/80 1/100 1/120 1/140 5 menit - - + + + + 10 menit - - - + + + 15 menit - - - + + + 20 menit - - - - + + 25 menit - - - - + + 30 menit - - - - + + Keterangan:

+ : Keruh (ada pertumbuhan bakteri) - : Jernih (tidak ada pertumbuhan bakteri) - : Waktu bunuh tercepat

- : Waktu bunuh terlama

Pada uji terhadap daya bunuh Fenol, didapatkan hasil yaitu daya bunuh tercepat fenol terhadap Pseudomonas aeruginosa yaitu pada menit ke 5 pada pengenceran 1/100 dan daya bunuh terlamanya pada menit ke 30 pada pengenceran 1/120, seperti yang tertera pada tabel 4.2.

(45)

33 Tabel 4.2 Waktu Bunuh Rata-rata Fenol terhadap Pseudomonas aeruginosa Waktu kontak Pengenceran fenol 1/40 1/60 1/80 1/100 1/120 1/140 5 menit - - - - + + 10 menit - - - - + + 15 menit - - - - + + 20 menit - - - - + + 25 menit - - - - + + 30 menit - - - + Keterangan:

+ : Keruh (ada pertumbuhan bakteri) - : Jernih (tidak ada pertumbuhan bakteri) - : Waktu bunuh tercepat

- : Waktu bunuh terlama

Pada tahap selanjutnya, dilakukan penghitungan nilai koefisien fenol dari hasil uji. Waktu bunuh rata-rata sampel Benzalkonium Klorida dibandingkan terhadap fenol untuk mendapatkan nilai koefisien fenol.

Koefisien fenol sampel X = {(60 : 100)+(100 : 120)}:2 = (0,6 + 0,83) : 2

= 0,72

Koefisien fenol sampel Benzalkonium Klorida terhadap

Pseudomonas aeruginosa adalah 0,72. Dari hasil penghitungan ini

menandakan bahwa Benzalkonium Klorida kurang efektif dalam membunuh Pseudomonas aeruginosa.

(46)

34 4.2 Pembahasan

Dari tabel 4.1 dan 4.2 didapatkan bahwa Benzalkonium Klorida membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama untuk membunuh Pseudomonas aeruginosa. Dari penghitungan nilai koefisien yang dilakukan didapatkan nilai dibawah 1, yang artinya desinfektan uji dengan bahan aktif Benzalkonium Klorida memiliki efektivitas daya bunuh dibawah kemampuan Fenol. Hal ini menandakan desinfektan uji kurang efektif terhadap bakteri

Pseudomonas aeruginosa. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang

menggunakan metode difusi agar yang dilaksanakan oleh Lembah Sulistyaningsih dkk (2012) yang menyatakan bahwa Benzalkonium Klorida tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa.19

McDonnell dan Russell (1999) menyatakan bahwa bakteri-bakteri Gram-negatif secara umum lebih resisten terhadap antiseptik dan desinfektan dibandingkan bakteri-bakteri Gram-positif. Pseudomonas aeruginosa sendiri sangat resisten terhadap agen-agen antibakteri seperti benzalkonium klorida,

benzethonium, cetrimide, heksaklorofen, diamidin, triclosan, klorhexidin, dan

lainnya. Hal ini disebabkan kemampuan fisiknya yang mampu menahan efek dari agen-agen tersebut, dan bakteri Gram negatif memiliki membran terluar yang memiliki permeabilitas rendah sehingga berfungsi sebagai penghalang yang membatasi masuknya agen antibakteri kimia kedalam membran. Pada bakteri mutan, selnya bersifat hidrofobik yang disebabkan oleh fosfolipid yang menempel pada permukaan sel. Bakteri-bakteri ini cenderung hipersensitif terhadap antibiotik dan desinfektan yang bersifat hidrofobik. Molekul hidrofilik yang memiliki berat molekul rendah mampu masuk kedalam sel bakteri Gram-negatif melalui porin, sedangkan molekul hidrofobik harus berdifusi melalui membran bilayer luar sel. Pada bakteri Gram-negatif tipe liar, lipopolisakarida pada permukaan sel mencegah akses masuk molekul hidrofobik menuju internal sel bakteri. Pada Pseudomonas aeruginosa sendiri, membran luarnyalah yang menyebabkan kuatnya resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap desinfektan karena bila dibandingkan dengan organisme lain, komposisi lipopolisakarida dan tingginya kadar Mg2+ sebgai kation membantu memproduksi ikatan antar lipopolisakarida yang kuat dan mempersempit porin.20

(47)

35

Robert Hancock (1998) menjelaskan resistensi Pseudomonas

aeruginosa terjadi akibat tiga macam resistensi yaitu resistensi intrinsik, acquired resistance atau resistensi yang didapat, dan resistensi genetik. Resistensi intrinsik

merupakan mekanisme resistensi yang terjadi pada kebanyakan bakteri. Resistensi ini memiliki kemampuan berbeda-beda pada setiap spesies. Pada Pseudomonas

aeruginosa, mekanisme utama resistensi intrinsiknya adalah rendahnya

permebilitas membran luas bakteri. Rendahnya permeabilitas membran mengakibatkan sulitnya desinfektan atau antibiotik untuk masuk kedalam bakteri. Hal ini disebabkan oleh porin-porin Pseudomonas aeruginosa yang selektif dan memiliki kerapatan lebih tinggi dibanding spesies lainnya. Rendahnya permeabilitas membran ini didukung oleh mekanisme efflux yang aktif sehingga membantu mengeluarkan kembali agen antimikroba yang masuk dan enzim-enzim yang mereduksi kemampuan antibiotik. Acquired resistance atau resistensi yang didapatkan oleh Pseudomonas aeruginosa dikarenakan oleh paparan oleh antibiotik atau desinfektan kepada bakteri tersebut sebelumnya sehingga menimbulkan resistensi pada bakteri. Pada Pseudomonas aeruginosa, resistensi genetik disebabkan oleh mutasi sehingga menghasilkan strain-strain yang bersifat liar yang menghasilkan resistensi tersendiri terhadap agen-agen desinfektan maupun antibiotik.21

Pada tahun 1989, Yoshikazu Sakagami dkk meneliti mekanisme resistensi bakteri Pseudomonas aeruginosa terhadap desinfektan Benzalkonium

Klorida. Pada penelitian ini dilakukan dengan membandingkan antara Pseudomonas aeruginosa yang sensitif terhadap Benzalkonium Klorida dan

resisten terhadap Benzalkonium Klorida. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat perbedaan berupa kandungan Fosfolipid (FL) dan Fatty and neutral lipids

(FNL) pada dinding sel Pseudomonas aeruginosa, dimana bakteri yang resisten

mengandung FL dan FNL lebih tinggi dibandingkan kandungan pada dinding sel

Pseudomonas aeruginosa yang sensitif pada Benzalkonium Klorida. Bakteri Pseudomonas aeruginosa yang resisten menyerap kadar Benzalkonium Klorida

lebih rendah dibandingkan Pseudomonas aeruginosa yang sensitif. Dengan menggunakan Capillary gas chromatography dan Gas chromatography-mass

Gambar

Tabel 4.1 Waktu Bunuh Rata-rata Sampel X terhadap Pseudomonas
Gambar 2.1  Koloni Pseudomona aeruginosa pada Media Agar........................  20
Tabel pembacaan hasil kekeruhan tabung uji :  Waktu
Tabel 4.1 Waktu Bunuh Rata-rata Sampel Benzalkonium Klorida    terhadap Pseudomonas aeruginosa

Referensi

Dokumen terkait

This study characterized the statistical errors of daily precipitation from four satellite-based rainfall products from (1) the Tropical Rainfall Measuring

BAB IV ANALISIS NILAI KARAKTER TERHADAP CERITA RAKYAT DI KECAMATAN DARMARAJA KABUPATEN SUMEDANG DAN MODEL PELESTARIANNYA SERTA PEMBAHASANNYA

materials, indentation P-h curves and hardness on spherical indenters has been systematically investigated by combining representative stress analysis and FE

Dari hasiltersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang positifdansignifikankombinasi model pembelajaranStudent Team Achievement Division dan Numbered

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menganalisa secara kualitatif berdasarkan data yang diperoleh dari tiap adegan

Meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun.. anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali

Didasari oleh penguasaan atas pengetahuan atas fungsi-fungsi bahasa serta ragam dan larasnya, keterampilan ejaaan-tanda baca, kalimat, paragraf, dan jenis wacana, serta

Selain memberikan gambaran deskriptif pola konsumsi energi rumah tangga di Pulau Jawa dan estimasi elastisitas permintaan komoditi-komoditi yang dianalisis berdasarkan