• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII PENUTUP. A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji perkembangan penerapan prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Tol MOKER serta pembaharuan pengaturan pengadaan tanah yang partisipatif dan berkeadilan sosian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dari UU Nomor 20 Tahun 1961 sampai dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 mengalami perkembangan peningkatan ke arah pengaturan yang lebih memenuhi prinsip partisipatif. Adapun perkembangan penerapan prinsip keadilan sosial dalam pengaturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum bersifat fluktuatif. UU Nomor 20 Tahun 1961 dan UU Nomor 2 Tahun 2012 lebih mendukung prinsip keadilan dibandingkan dengan produk hukum di bawah undang-undang.

UU Nomor 20 Tahun 1961 tidak mengatur mengenai partisipasi Pemilik dalam pengadaan tanah, sehingga undang-undang ini tidak mendukung prinsip partisipatif. Hal ini dapat dipahami karena UU Nomor 20 Tahun 1961 merupakan produk hukum hasil dari konfigurasi politik

(2)

yang “otoriter-birokratik”544 atau tidak demokratis. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam Mahfud M.D. dan F.X. Adji Samekto,545 konfigurasi politik otoriter-birokratis ini menghasilkan produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis/represif.546

Pada UU Nomor 20 Tahun 1961 yang muatan materinya tidak memenuhi prinsip partisipatif, tetapi undang-undang ini mendukung prinsip keadilan sosial yang berpihak pada rakyat. Ini ditandai dengan adanya jaminan kelangsungan kehidupan Pemilik maupun bukan Pemilik tanah atau rumah yang mengalami kerugian akibat pengadaan tanah.

Keberadaan UU Nomor 20 Tahun 1961 ini bertentangan dengan teori Philippe Nonet dan Philip Selznick yang menyatakan bahwa konfigurasi politik otoriter-birokratis ini menghasilkan produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis/represif. Hal ini terjadi karena pemikiran

The founding Fathers Republik Indonesia yaitu Sukarno dan Hatta selaku

Pemegang pucuk pimpinan tertinggi saat itu, walaupun bersifat otoriter,

544 Menurut Mahfud MD, dalam Moh. Mahfud MD, 2011, Op. Cit., hlm. 31, Konfigurasi

politik otoriter birokratis adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara, yang antara lain ditandai dengan dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.

545 Moh. Mahfud MD, 2011, ibid, hlm. 344; F.X. Adji Samekto, “Relasi Hukum Dengan

Kekuasaan: Melihat Hukum Dalam Perspektif Realitas”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 1 Januari 2013, Purwokerto: FH UNSOED, hlm. 91.

546 Produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis/represif adalah produk hukum yang

isinya lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara, cenderung tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Hal ini disebut juga hukum sebagai instrumen untuk menjalankan kekuasaan sekaligus menjadi instrumen legitimasi kekuasaan (law is subordinated to power

politics), yang tidak diarahkan untuk kepentingan masyarakat supaya menjadi lebih baik. Lihat

(3)

tetapi pemikirannya sangat diwarnai oleh pandangan sosialis-nasionalis atau neo populis untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945.547

Pada masa Orde Baru, mulai mengatur mengenai peran serta Pemilik tanah pada kegiatan pengadaan tanah. Pengaturan partisipasi pada masa ini tidak mendukung prinsip partisipatif dan prinsip keadilan. Ketentuan ini nampak pada: pengaturan mengenai penilaian ganti kerugian, musyawarah dan penetapan ganti kerugian. Penilaian ganti kerugian berdasarkan harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia dan bukan dilakukan oleh Pihak yang memahami realitas. Tujuan penetapan harga dasar tersebut adalah khusus sebagai dasar penarikan uang pemasukan kepada negara dalam pemberian hak atas tanah dan bukan untuk penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah. Sehingga nilai harga dasar selalu di bawah harga pasar atau harga umum setempat.

Pada pengaturan musyawarah ganti kerugian antara Pemilik tanah dengan Panitia Pengadaan Tanah, pengambilan keputusan ganti kerugian hanya diputuskan secara sepihak berdasarkan hasil musyawarah diantara para anggota Panitia itu sendiri tanpa melibatkan Pemilik tanah. Sehingga keberadaan musyawarah seperti tidak ada musyawarah. Bagi Pemilik tanah yang menolak besarnya ganti kerugian yang ditetapkan panitia,

547 Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996, Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Jakarta: ELSAM, hlm 17-18.

(4)

mereka dapat mengajukan upaya hukum keberatan kepada Panitia atau kemudian dilanjutkan mengajukan banding kepada Gubernur. Ketentuan ini telah mencederai prinsip kemanusiaan dan keadilan Pihak yang dirugikan akibat pengadaan tanah.

Ketentuan pengadaan tanah pada masa Orde Baru sesuai dengan teori Philippe Nonet dan Philip Selznick yang menyatakan bahwa konfigurasi politik otoriter-birokratis ini menghasilkan produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis/represif yang tidak memihak kepada rakyat dan pihak yang dirugikan akibat pengadaan tanah. Hal ini dapat dipahami mengingat masa Orde Baru merupakan masa pertumbuhan ekonomi dengan strategi pembangunan ekonomi gaya kapitalis yang memberi peluang besar kepada swasta dan modal asing. Untuk mendukung pembangunan ekonomi tersebut dicanangkan progran Trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang didukung adanya stabilitas politik yang mantab dan dinamis, dengan tujuan pemerataan pembangunan.

Pada masa reformasi, terjadi pergeseran konfigurasi politik dari otoriter ke arah yang lebih demokratis, sesuai dengan teori Philippe Nonet dan Philip Selznick, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dan UU Nomor 2 Tahun 2012 dibuat lebih bersifat responsif dan mendukung prinsip partisipatif dan keadilan sosial dalam pengadaan tanah, walaupun belum sempurna karena belum menjamin kelangsungan kehidupan Pemilik tanah. Hal tersebut nampak pada ketentuan mengenai

(5)

adanya peran serta Pemilik tanah dalam keputusan penetapan lokasi pembangunan dan musyawarah ganti kerugian. Pada ketentuan mengenai musyawarah ganti kerugian, peraturan pelaksananya menolak esensi prinsip partisipasif.

Adapun ketentuan mengenai asas, ganti kerugian dan upaya hukum keberatan terhadap keputusan pengadaan tanah mendukung prinsip keadilan sosial. Pada masa ini, ganti kerugian dimaknai sebagai penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Ketentuan ini sejalan dengan keberadaan asas keadilan dan asas kesejahteraan yang menekankan terciptanya peningkatan kesejahteraan.

Berdasarkan uraian tersebut maka pada tataran normatif, pengaturan pengadaan tanah sebagian memperkuat teori yang ada bahwa keadilan dalam pengertian adanya keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum hanya dapat dicapai dengan melalui sebuah proses. Proses tersebut adalah dengan memperhatikan aspek kemanusiaan dan aspek partisipasi, terutama pada pengambilan keputusan ganti kerugian.

2. Pada tataran pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum yang didukung oleh peraturan pelaksananya, justru terjadi penolakan terhadap bangunan upaya mencapai keadilan karena

(6)

kurang memperhatikan aspek kemanusiaan dan prinsip partisipatif. Pemilik tanah dalam kegiatan pengadaan tanah lebih diperlakukan sebagai obyek. Pada musyawarah konsultasi publik dan musyawarah ganti kerugian terkadang dilakukan secara semu atau dimanipulasi. Dalam musyawarah ganti kerugian, Pemilik tanah hanya diberikan satu nilai ganti kerugian tunggal hasil dari Penilai tanpa memberi kesempatan untuk mengajukan alternatif lain. Jika Pemilik tidak menerima hasil penilaian tersebut dipersilahkan mengajukan keberatan ke pengadilan. Artinya partisipasi dalam musyawarah tersebut ditutup.

3. Untuk mendukung prinsip partisipatif dan prinsip keadilan sosial, maka akan lebih sempurna jika dilakukan pembaharuan hukum pengaturan pengadaan tanah yang ada, yaitu UU Nomor 2 tahun 2012. Pembaharuan Hukum peraturan pengadaan tanah yang partisipatif meliputi:

a. Merubah prinsip demokratis menjadi prinsip partisipatif b. Memperbaiki konsep asas keterbukaan dan asas keikutsertaan.

c. Memperbaiki ketentuan penilaian mengenai: Penilai dan proses pengadaan jasa Penilai yang mekanisme dan pengambilan keputusannya melibatkan Pemilik/Pihak yang Berhak/kuasanya secara kemitraan dan sederajad. Menambahkan ketentuan sebelum melakukan penilaian ada penyampaian informasi dasar dan cara penilaian yang akan dilakukan kepada Lembaga Pertanahan dan Pemilik/Pihak yang Berhak. Merubah dasar penilaian menjadi bahan pertimbangan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian.

(7)

d. Memperbaiki ketentuan mengenai musyawarah ganti kerugian dengan mengatur bahwa kesepakatan dibuat jika secara materiil benar-benar telah terjadi kesepakatan. Hasil kesepakatan hanya mengikat para pihak yang bersepakat saja.

Adapun Pembaharuan peraturan pengadaan tanah yang berkeadilan sosial meliputi:

a. Menambah prinsip berkelanjutan

b. Memperbaiki asas keberlanjutan menjadi asas keberlanjutan dan kelestarian

c. Menambah asas keserasian dan keseimbangan, asas pencemar membayar dan asas tanggung jawab negara.

d. Memperbaiki konsep kepentingan umum.

e. Memperbaiki konsep ruang atas tanah dan bawah tanah

f. Memperluas dan mempertegas konsep kerugian lain yang dapat dinilai. g. Perlunya penilaian dengan mempertimbangkan potensi kenaikan nilai

pasar akibat pengadaan tanah.

h. Perlu alternatif penggantian rumah pemukiman, dalam bentuk konsolidasi tanah

i. Perlunya penegasan penilaian ganti kerugian bangunan tidak perlu melihat usia bangunan, sehingga tidak perlu dilakukan depresiasi atau nilai penyusutan bangunan.

(8)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengaturan dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum sepenuhnya memenuhi prinsip partisipatif dan prinsip keadilan sosial, maka direkomendasikan agar Pemerintah bersama dengan DPR-RI melakukan perubahan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2012, dengan:

1 Memperjelas dan mempertegas pengaturan akses informasi dan peran serta masyarakat, khususnya Pemilik/Pihak yang Berhak, dalam peraturan pengadaan tanah yang lebih memenuhi prinsip partisipatif yang bersifat kemitraan dengan mempertimbangan hasil pembaharuan hukum yang partisipatif yang ditemukan.

2 Memperjelas dan mempertegas pengaturan yang memenuhi prinsip keadilan sosial dengan mempertimbangkan hasil pembaharuan hukum yang ditemukan

3 Memberi jaminan penggantian yang layak kepada Pemilik maupun yang bukan Pemilik yang mengalami kerugian materiil maupun immateriil akibat pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sehingga ada jaminan peningkatan kesejahteraan mereka.

Penyelenggara Pengadaan Tanah supaya lebih memahami bahwa dalam pengadaan tanah ini Pemilik/Pihak yang Berhak tidak pada kehendak untuk melepaskan tanah. Kesediaan Pemilik melepaskan tanah adalah bentuk nyata peran mereka dalam mensukseskan pembangunan atau dapat juga disebut sebagai

(9)

pahlawan pembangunan. Sehingga lebih menghargai mereka dengan cara menempatkan mereka sebagai mitra dalam pengambilan keputusan pengadaan tanah dan mengupayakan untuk menjaga kesejahteraannya.

Pemerintah dapat menentukan urutan prioritas pembangunan kepentingan umum yang harus dilaksanakan dan merencanakan dengan lebih baik pendanaan pengadaan tanah yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan Pemilik/Pihak yang Berhak.

Pemerintah dapat mencegah dan memberi sanksi bagi spekulan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah ditentukan, memiliki tujuan untuk mengetahui risiko-risiko kategori non kritis dan kritis yang potensial terjadi pada material besi baja

Selain itu, pada tahun 2021 pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat. Namun program BST ini

Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam tube dari sediaan jadi/paten yang tersedia beberapa kemasan, maka harus ditulis, misal:.

a. Individual, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler

Keraf (1981) meninjau reduplikasi dari segi morfologis dan semantis yaitu melihat reeduplikasi dari segi bentuk, fungsi dan makna. Keempat ahli bahasa diatas mengkaji reduplikasi

Penyebab dari sindrom metabolik belum diketahui secara pasti namun berkaitan dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif dan

Berdasarkan pengamalan industri takaful, syarikat merupakan wakil (al-Wakil) kepada peserta dan peserta sebagai pewakil (al-muwakkil), skim takaful atau dana yang diuruskan

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah