• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. Indonesia diawali oleh Telkomsel yang merilis t-cash pada tahun 2007, kemudian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. Indonesia diawali oleh Telkomsel yang merilis t-cash pada tahun 2007, kemudian"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerangka Teori

Pengertian-pengertian umum 1. Definisi E-Wallet 1.1 Pengertian E-Wallet

Secara umum e-wallet didefinisikan sebagai aplikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi secara online melalui gawai atau smartphone yang kegunaannya hampir sama dengan kartukreditatau debit. Pertumbuhan dompet digital di Indonesia diawali oleh Telkomsel yang merilis t-cash pada tahun 2007, kemudian disusul oleh Dompetku dan XL Tunai pada tahun 2012. Layanan yang dimiliki juga masih terbilang sedikit, yaitu meliputi top-up pulsa dan data internet, transfer uang ke bank yang tergabung dalam ATM Bersama.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat dompet digital mulai bertransformasi dengan memperluas layanan pembayaran. Seperti Go-Pay milik Go-Jek yang meluncur pada tahun 2016, selain bisa digunakan untuk berbagai layanan lain yang ada di aplikasi Go-jek. Selain itu go-pay juga bisa digunakan untuk melakukan transaksi diberbagai merchant di pusat perbelanjaan, bahkan go-pay juga akan segera diterapkan disejumlah kantin di sekolah.

(2)

17

Sementara OVO yang sudah bekerjasama dengan Grab dan Tokopedia serta sudah hampir 70% diterima oleh pusat perbelanjaan di Indonesia termasuk kafe, bioskop, penyelenggara parkir, dan juga supermarket. Adapula DANA pendatang baru yang menyediakan fitur pembelian pulsa, tagihan listrik dan telepon, pembayaran PDAM, BPJS, cicilan kartu kredit, serta transfer dana antar pengguna. Para perusahaan pemilik e-wallet tersebut juga sering memberikan promosi kepada pengguna seperti cashback dengan maksimal tertentu, potongan harga, buy one get

one.

E-wallet merupakan jenis akun prabayar yang dilindungi dengan kata sandi dimana para pengguna dapat menyimpan uang untuk setiap transaksi online seperti membayar ditoko makanan dan minuman, mini market, belanja online, pembayaran listrik dan air, tiket penerbangan. Layanan tersebut memiliki dua komponen utama yakni perangkat lunak dan informasi. Untuk perangkat lunak menyimpan informasi pribadi serta menyediakan keamanan dan enkripsi data, sedangkan untuk informasi berupa data rinci mengenai pengguna. Mencakup nama lengkap, alamat, nomor handphone, info kartu kredit atau debit, dan sebagainya.

Untuk menggunakan akun e-wallet pengguna perlu menginstal aplikasi yang disediakan oleh perusahaan e-wallet dan setelah itu memasukkan informasi data yang relevan yang diperlukan. Setelah itu informasi akan tersimpan dalam database dan diperbaharui secara otomatis. E-wallet tergolong aman karena rata-rata menggunakan tiga platfrom pembayaran yakni, QR Code, Near-Field Communication (NFC), dan One-Time Password (OTP) yang memerlukan verifikasi dari pengguna di setiap transaksi yang hendak dilakukan.

(3)

18 1.2 Fungsi E-Wallet

E-wallet sangat berguna bagi kehidupan masyarakat Indonesia karena sudah semakin banyaknya e-wallet yang bermunculan. E-wallet merupakan jenis dompet elektronik yang digunakan untuk transaksi yang dilakukan secara online melalui gawai, e-wallet juga mempunyai kegunaan yang sama dengan kartu debit atau kartu kredit. E-wallet sangat berfungsi dalam berbagai transaksi pembayaran yaitu berguna untuk

1. Membayar barang atau makanan di merchants yang menyediakan pembayaran melalui e-wallet;

2. Membayar iuran bpjs; 3. Membayar listrik dan air;

4. Sebagai pengganti kartu member toko,

5. Membayar voucher game, pulsa, paket data, pascabayar; 6. Membayara asuransi;

7. Membayar iuran lingkungan;

8. Membeli tiket pesawat maupun kereta; 9. Untuk membayar belanjaan online; 10. Transfer dana.

Di dalam fitur e-wallet proses transaksi yang biasa kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari telah tersedia dan memudahkan para penggunanya. Beberapa perusahaan e-wallet sendiri kadang juga memberikan promo berupa cashback pembayaran makanan, voucher potongan harga untuk pembelian koin game,

(4)

19

voucher potongan pembelian tiket pesawat dan kereta, juga cashback untuk pembayar listrik air dan telepon.

1.3 Kelemahan dan Kelebihan E-Wallet

1) Kelebihan E-Wallet

a. Mudah, Praktis dan Efisien

Dengan menggunakan dompet digital pengguna tidak perlu lagi membawa uang tunai, kartu debit atau debit cukup dengan membawa gawai.

b. Banyak promo dan diskon

Berbagai promosi mulai dari reward poin, cashback, tambahan produk gratis, diskon besar-besaran dari 30% - 100%, hingga promo khusus di merchant-merchant terpilih.

c. Lebih aman dan resiko lebih rendah

Apabila gawai hilang atau dicuri pengguna tidak perlu khawatir apabila pin dirahasiakan dengan baik. Dengan begitu saldo yang tersimpan di aplikasi didalam gawai akan aman.

d. Top-up saldo bisa dimana saja

Selain melalui m-banking atau ATM top-up juga bisa dilakukan di gerai-gerai seperti alfamart, indomaret, hypermart, ataupun lewat mitra ojol go-jek dan grab.

(5)

20

a. Hanya berlaku pada merchant tertentu

Penggunaan e-wallet hanya dapat dilakukan di merchant khusus yang menyediakan pembayaran via e-wallet.

b. Bergantung pada jaringan internet

Satu lagi kelemahan pada e-wallet adalah ketergantungan pada jaringan internet. Penggunaan internet memang bisa memudahkan, namun jika sewaktu-waktu jaringan terputus harus membayar dengan cara tunai.

c. Uang di e-wallet tidak bisa dicairkan

Saldo di e-wallet hanya bisa dibelanjakan dan tidak bisa dicairkan. Ini artinya walaupun tidak ingin berbelanja dan ingin mengalokasikan uang untuk hal lain, hal ini tidak dapat dilakukan. Uang yang ada di e-wallet akan tetap berada di sana dan tidak bisa dicairkan.

1.4 Aspek Hukum E-Wallet

Aspek hukum e-wallet terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016, di dalam peraturan tersebut juga diatur proses perizinan agar dompet elektronik dapat berlaku secara legal. Perizinan tersebut tercantum dalam pasal 7 dan pasal 8 PBI Nomor 18/40/2016 sebagai berikut :

Pasal 7

“ (1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik harus berupa: a. Bank; atau b. Lembaga Selain Bank.

(6)

21

(2) Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbentuk perseroan terbatas.”

Pasal 8

“ Kewajiban memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berlaku bagi Bank atau Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyelenggarakan Dompet Elektronik dengan pengguna aktif telah mencapai atau direncanakan akan mencapai jumlah paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) pengguna.”

Penyelenggara Dompet Elektronik harus memenuhi persyaratan aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputi:

a. legalitas dan profil perusahaan; b. hukum;

c. kesiapan operasional;

d. keamanan dan keandalan sistem; e. kelayakan bisnis;

f. kecukupan manajemen risiko; dan g. perlindungan konsumen.

Bagi pihak yang akan mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik yang dapat juga menampung dana maka pemenuhan persyaratan:

a. kecukupan manajemen risiko sebagaimana; dan

b. perlindungan konsumen, harus mencakup pula manajemen risiko dan perlindungan konsumen terkait pengelolaan dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik.

Dalam pasal 35 PBI No. 18/40/PBI/2016 mengatur sanksi untuk pelanggarannya menyatakan :

“(1)Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 11 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1),

(7)

22

Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34, Pasal 40, dan/atau Pasal 42 dikenakan sanksi administratif berupa:

a.teguran; b.denda;

c.penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau

d.pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.”

2. Definisi Hukum Perlindungan Konsumen

Pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, pada dasarnya dimaksudkan untuk merubah atau mengarahkan perilaku dan/atau situasi tertentu dari yang semula dinilai tidak baik menuju situasi yang ideal. Dengan kata lain, menyelesaikan berbagai masalah yang ada dengan melakukan perubahan-perubahan baik terhadap perilaku maupun situasi tertentu yang pada dasarnya dijadikan sebagai landasan mengapa suatu peraturan perundang-undang diberlakukan.

Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu, maka di dalam peraturan itu akan disertai pula dengan penetapan tentang kondisi ideal yang ingin dicapai serta stratgi yang ditempuh untuk merubah kondisi yang tidak baik menuju kondisi ideal yang diharapkan.

Hukum perlindungan konsumen menurut Nasution merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas secara definitif ia mengemukakan :

“Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.

(8)

23

Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.”1

Nasution mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan “seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi negara dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.”2 Dikarenakan posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum ialah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hukum konsumen berskala luas karena di dalamnya meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen. Salah satu bagian dari hukum konsumen adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertakankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.

2.1 Subjek Hukum dan Objek Hukum

Subyek Hukum

Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban. Segala sesuatu yang dapat memiliki hak secara sah dan diakui berdasarkan hukum dan dapat dibebani kewajiban menurut hukum yang berlaku.

1 Nasution, Az, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Social, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan

Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995,

hlm.,72.

(9)

24

Dalam konteks Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pembicaraan tentang subjek hukum adalah untuk mengetahui siapa saja yang dapat memiliki hak dan dibebani kewajiban menurut UUPK dan dengan demikian berarti pula untuk mengetahui siapa sajakah yang dapat “mempergunakan” UUPK untuk memperjuangkan hak-haknya. Terdapat dua subjek hukum yang diatur dalam UUPK, yaitu:

a. Konsumen b. Pelaku Usaha.

Terminologi konsumen di dalam hukum positif bukanlah sesuatu yang sudah lama dikenal. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sangat jarang ditemui istilah konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument (Belanda) yang artinya pihak pemakai barang atau jasa.3 Pengertian dari consumer atau consument tersebut tergantung dalam

posisi mana istilah tersebut digunakan. Secara harfiah arti kata consumer itu adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.4 Tujuan penggunaan barang atau

jasa tersebut akan menentukan posisi kelompok konsumen.

Menurut Nasution di dalam hukum positif Indonesia pengertian konsumen digunakan dalam berbagai istilah salah satunya adalah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam undang-undang ini terdapat berbagai istilah “pembeli” (pasal 1460,1513, dst. Jo. Pasal 1457) , “penyewa” (pasal 1550 dst. Jo. pasal 1548), “penerima hibah” (pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), “peminjam pakai” (pasal 1740 jo. 1743), “peminjam” (pasal 1744).

3 Puspa, Y.P, Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Inggris, Aneka, Semarang, 1997. 4 Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta, 1998.

(10)

25

Dilihat dari banyaknya istilah yang digunakan dalam mengartikan konsumen, maka pengertian konsumen itu sendiri ada beraneka ragam dimana masing-masing ketentuan memiliki suatu kelebihan dan kekurangan. Menurut Badrulzaman konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan pada mereka oleh pengusaha.5 Dalam studi yang diselenggarakan baik

yang bersifat akademis maupun yang bertujuan untuk mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen ditemukan beberapa pengertian yang menarik perhatian, antara lain :

a. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, sebagaimana tersebut di dalam draft rancangan undang-undang tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

b. Fakultas Hukum Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan, sebagaimana tersebut dalam draft rancangan undang-undang tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

Objek Hukum

Objek Hukum adalah segala sesuatu yang berada di dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak/kewajiban

5 Badrulzaman, M, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku

(11)

26

yang dimilikinya atas objek hukum yang bersangkutan. Objek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum. Jenis objek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni:

1. Benda Bergerak

Adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud.

2. Benda Tidak Bergerak

Adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik/lagu.

2.2 Hak Konsumen

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

(12)

27

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,

I. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebut di atas secara ringkas dapat di jelaskan sebagai berikut. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam ke kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (misalnya makanan). Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahan, konstruksi, maupun kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan,dan keselamatan konsumen.

Tidak dikehendaki adanya produk yang dapat mencelakakan dan mencedera konsumen. Karena itu, produsen wajib mencantumkan label produknya sehingga konsumen dapat mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan

(13)

28

keamanan dan keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok baginya (hak untuk memilih). Termasuk dalam hal ini juga adalah bahwa produsen harus memeriksa barang produknya sebelum diedarkan sehingga makanan yang sudah kadaluarsa sehingga terpenuhi pula hak konsumen atas informasi dan hak untuk memilih.

Hak tentu tidak dapat dipisahkan dari kewajiban. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang maksimal, atau bahkan dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa. Namun setelah diselidiki, kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.

Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak orang lain.

Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(14)

29 2.3 Perlindungan Konsumen

Peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Terkait dengan hal ini pula, bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar, selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga maupun mutu. Serta tidak ada pelaku usaha dan produsen yang mampu menetapkan harga berlebihan atau menawarkan produk dengan kualitas yang rendah, selama masih ada produsen lain dan konsumen akan pindah kepada produk lain tersebut.6

Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Terkait dengan hal ini pula, bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar, selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga maupun mutu.

Serta tidak ada pelaku usaha dan produsen yang mampu menetapkan harga berlebihan atau menawarkan produk dengan kualitas yang rendah, selama masih ada produsen lain dan konsumen akan pindah kepada produk lain tersebut di dunia. Persaingan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.7

6 David Oughton dan John Lowery, Consumer Law, Oxford University Press, London, hlm.,13. 7 Erman Rajaguguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas,

(15)

30

Perlindungan konsumen tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi juga terhadap barang-barang yang membahayakan kehidupan masyarakat.

Menurut Business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah

protecting consumers against unfair or illegal traders.8 Adapun Black's Law

Dictionary mendefinisikan a statute that safeguards consumers in the use goods and services.9 Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.10

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu:11

1. . Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati. 2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak

8 Peter Collin, Business English Dictionary, Linguaphone Institute Limited, London, 2000,

hlm.,61.

9 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary Eight Edition, West Publishing, St Paul Minnesota,

hlm.,335.

10 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 11 Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.,152.

(16)

31

adil kepada konsumen.

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalahmenciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana.12 Singkatnya, bahwa segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen. Maka pengaturan

perlindungan konsumen dilakukan dengan:13

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastianhukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

12 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2003, hlm.,30-31.

13 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,

(17)

32

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.14 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice) yang menyatakan the end of the justice to secure

from the injury.15 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya

mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the

element of will).16 Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkret. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan.17

Maka, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Tegasnya, hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundangan, baik

14 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung,

Jakarta, 2002, hlm.,85.

15 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,

Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, hlm.,4-5.

16 George Whitercross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, Oxford University

Press, London, hlm.,221.

17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

(18)

33

undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan konsumen.18

Hal ini terkait dengan Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

"Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”

2.4 Asas Perlindungan Konsumen

Ada sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen ini adalah:

1. Asas manfaat;

2. Asas keadilan;

3. Asas keseimbangan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; serta

5. Asas kepastian hukum.

Asas manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

18 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

(19)

34

kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen-pelaku usaha dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

Dengan asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen-pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan produsen-pelaku usaha.

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 43 Asas ini menghendaki agar konsumen, produsen-pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen-pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing

(20)

35

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pada pihak lain. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketenteraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen atau pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.

Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana disebut dalam Pasal 3 adalah:

a) meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

(21)

36

b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

B. TEORI-TEORI 1. Teori Perikatan

Hukum Perikatan menurut Hoffman merupakan suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lainnya, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Hukum perikatan menganut suatu asas yang dinamakan asas kebebasan berkontrak atau di istilahkan contractvrijheid atau partijautonomie artinya subyek-subyek hukum diberi suatu kebebasan untuk mengadakan atau melaksanakan kontrak / perjanjian sesuai kehendak dalam menentukan isi dan syarat berdasarkan

(22)

37

kesepakatan asalkan memenuhi rambu-rambu pembatasanya. Berdasar atas tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak, serta kebutuhan untuk adanya aturan yang mampu mengakomodir kepentingan serta memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku ekonomi (para pihak), maka dalam perkembangan hukum perjanjian, berdampak pada bentuk-bentuk baru hukum perjanjian yang menghendaki efektif, sederhana, praktis, dan tidak membutuhkan proses dan waktu yang lama dimungkinkan dalam asas kebebasan berkontrak.19 Meski memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian, pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa

(mandatory) dan yang opsional sifatnya. Adanya ketentuan- ketentuan memaksa

dalam aturan hukum tentunya hal ini cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat bisnis atau ekonomi (keuangan). Oleh karena itu dalam suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, seharusnya mampu mewadahi kepentingan-kepentian para pihak. Adanya kepentingan para pihak, merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya dalam kontrak perjanjian yang dilakukan para pihak di dalamnya sama-sama memiliki kepentingan. Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika para pihak yang ada di dalamnya sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka dalam hal ini pelaksanaan perjanjian tidak dapat lepas dari perinsip konsensualisme yang merupakan suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip konsensualisme merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak yang berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.20

2. Klausula Baku

19 Achmad Busro, Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2013, hlm.,2. 20 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hlm.,5.

(23)

38

Teori due care tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa pembeli dan konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen berada pada posisi yang lebih menguntungkan, maka mereka berkewajiban untuk menjamin kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.

Karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen dan pelaku usaha, maka produsen tidak hanya berkewajiban memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya. Namun juga harus berhati-hati untuk mencegah kerugian konsumen, meskipun produsen secara eksplisit menolak pertanggung jawaban seperti ini konsumen menerima penolakan tersebut dalam bentuk perjanjian klausula baku. Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak.

Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih seringsetuju terhadap isi klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima walaupun dengan berat hati.21

21 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Citra

(24)

39

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.22 Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangka dalam perjanjian yang sifatnya tertentu.23

Sudaryatmo mengungkapkan karateristik klausula baku sebagai berikut:24

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal.

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.25

22 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hlm., 48. 23 Ibid.

24 Sudaryatmo, Hukum dan Advoskasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm., 93. 25 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(25)

40

Adapun klausula eksonerasi adalah yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.26 Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencemirkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.

Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal itu.

Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang,maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkannya dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku. Sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihakB yang terlibat dalam perjanjian, tidak

(26)

41

ditemukan lagi dalam bentuk perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian telh dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, tentu saja dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkannya. Serta bukantidak mungkin juga meringankan atau menghapuskan beban dan kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

C. ANALISIS

1. Peraturan Bank Indonesia No. 20/06/PBI/2018

Di dalam pengaturan ini juga menjelaskan mengenai lembaga bukan bank, lembaga bukan bank yang mengajukan permohonan izin sebagai Penerbit harus memenuhi persyaratan modal disetor minimum dan komposisi kepemilikan saham. Modal disetor sebagaimana dimaksud paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Lembaga Bukan Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit wajib tetap memelihara pemenuhan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dan menyesuaikan pemenuhan modal disetor berdasarkan posisi dana

float sesuai dengan ketentuan. Komposisi kepemilikan saham sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 PBI No.. 20/06/PBI/2018 yaitu paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh:

a. warga negara Indonesia; dan/atau

(27)

42

Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Lembaga Selain Bank maka perhitungan porsi kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara langsung maupun kepemilikan secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.

Di dalam pasal 34 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No. 20/06/PBI/2018 tentang Uang Elektronik menyebutkan:

“Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus untuk Penyelenggara berupa Penerbit wajib:

a. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan

b. menerapkan prinsip perlindungan konsumen.”

Pada peraturan pasal 34 ayat (2) huruf b maka penerbit wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penerbit wajib:

a. membatasi permintaan dan penggunaan data dan/atau informasi pengguna, sebatas yang diperlukan dalam penyelenggaraan dompet elektronik;

b. menyediakan sarana dan/atau infrastruktur pengisian ulang (Top

Up) secara luas untuk keperluan pengguna; dan

c. memiliki mekanisme penggantian kerugian finansial kepada pengguna sepanjang kerugian tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengguna.

2. Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Transaksi Pembayaran

(28)

43

Dompet Elektronik (Electronic Wallet) yang selanjutnya disebut dompet elektronik adalah layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran.

Sebuah perusahaan apabila ingin mendirikan sebuah perusahaan e-wallet harus memenuhi kelengkapan izin yang ada setidaknya harus bank atau lembaga bukan bank atau perseroan terbatas. Serta memiliki legalitas dan profil perusahaan, hukum, kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem. Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten menerapkan standar keamanan sistem informasi.

Dalam hal terjadi permintaan pengembalian dana (refund) atas pembatalan transaksi pembayaran, penyelenggara dompet elektronik wajib segera melaksanakan pengembalian dana (refund) tersebut kepada pengguna dompet elektronik. Penyelenggara dompet elektronik wajib memiliki prosedur untuk memastikan terlaksananya pengembalian dana (refund). Dana hasil pengembalian wajib segera dikembalikan ke dalam sumber dana asal yang digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran.

Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 penyelenggara dompet elektronik yang menyelenggarakan dompet elektronik yang dapat digunakan untuk menyimpan data instrumen pembayaran dan menampung dana, wajib untuk:

(29)

44

a. memastikan penggunaan dana pada dompet elektronik hanya untuk tujuan pembayaran;

b. mematuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam dompet elektronik;

c. memastikan dana yang dimiliki pengguna telah tersedia dan dapat digunakan saat melakukan transaksi;

d. menempatkan seluruh dana yang tersimpan dalam dompet elektronik dalam bentuk aset yang aman dan likuid untuk memastikan ketersediaan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. memastikan bahwa penggunaan dana hanya untuk memenuhi kepentingan transaksi pembayaran oleh pengguna dompet elektronik; dan

f. menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Batasan nilai dana yang dapat ditampung dalam Dompet Elektronik hanya dapat dilampaui dalam hal terdapat pengembalian dana (refund) dan perusahaan penyelenggara dompet elektronik mampu mengidentifikasi kelebihan dana tersebut sebagai hasil pengembalian dana (refund).

Penempatan seluruh dana yang tersimpan dalam dompet elektronik dilakukan dengan menatausahakan dana yang tersimpan dalam dompet elektronik melalui pencatatan pada pos kewajiban segera atau rupa-rupa pasiva bagi penyelenggara dompet elektronik berupa bank, atau menempatkan dana yang tersimpan dalam dompet elektronik sebesar 100% (seratus persen) pada bank umum dalam bentuk rekening simpanan, bagi penyelenggara dompet elektronik berupa lembaga selain bank.

(30)

45

Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten serta menerapkan standar keamanan sistem informasi. Sebagai pelaku usaha atau produsen perusahaan harus bertanggung jawab pula terhadap kerugian yang terjadi akibat malfungsi aplikasi yang dimiliki oleh perusahaan ataupun human error.

Apabila perusahaan tidak mau bertanggung jawab atas kerugian konsumen perusahaan mendapatkan sanksi yang berlaku sesuai di Peraturan Bank Indonesia. Dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 yang berbunyi, dalam hal setelah berlalunya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 atau setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini terdapat pihak yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran tanpa izin Bank Indonesia maka Bank Indonesia berwenang:

a. menyampaikan teguran tertulis; dan/atau

b. merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk:

1. menghentikan kegiatan usaha; dan/atau

2. mencabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwenang.

Penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 oleh penyelenggara dompet elektronik antara lain:

(31)

46

a. penyediaan informasi yang memadai kepada konsumen mengenai dompet elektronik yang diselenggarakan, termasuk informasi mengenai prosedur pengembalian dana (refund) dan;

b. memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan konsumen.

Hal ini sangat diperlukan untuk menindaklanjuti kerugian-kerugian yang terjadi pada setiap konsumen pengguna jasa untuk mendapatkan haknya kembali. Setiap perusahaan penyelenggara dompet elektronik juga wajib memiliki pelayanan pengaduan konsumen untuk menyampaikan kritik serta saran yang dimiliki oleh konsumen dan serta untuk melaporkan kerugian yang mereka alami akibat kegagalan sistem yang disebabkan oleh penyelenggara dompet elektronik.

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Keterkaitan UU-ITE dengan dompet elektronik adalah pada lingkup transaksi elektronik, yang mana menurut pasal 1 angka 2 UU ITE No. 11 tahun 2008 diatur bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka suatu tindakan pertukaran informasi yang dilakukan melalui jaringan elektronik bisa dikatakan sebagai tindakan transaksi elektronik.

Konsep lain yang mengikuti dari uang elektronik jika dikaitkan dengan konsep konvensional adalah dompet elektronik (e-wallet) yang berarti apabila uang yang dimiliki berbentuk elektronik maka dompet yang dimiliki juga berbentuk

(32)

47

digital. Secara konseptual, ada perbedaan pertanggungjawaban dan konsekuensi hukum pada dompet digital yang perlu diketahui, yang mana hal ini berangkat dari konsep konvensional.

Dompet elektronik/digital yang uangnya disimpan dan dibawa oleh pemegangnya, maka pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pemilik, karena hal ini bisa dipersamakan dengan membawa uang konvensional. Tetapi apabila kesalahan terjadi akibat penyelenggara dompet elektronik, apabila dompet elektronik/digital yang uangnya disimpan oleh penyelenggara dompet elektronik maka model uang dompet digital yang uangnya disimpan oleh penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara dompet elektronik harus bertanggungjawab atas segala kehilangan dan kerusakan yan terjadi.

Pada pasal 21 ayat (4) UU ITE No. 11 Tahun 2008 menjelaskan jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab, pengguna jasa layanan. Sehingga pihak penyelanggara wajib bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi sesuai yang dialami oleh pengguna layanan.

4. Hukum Perlindungan Konsumen

Dilihat dari contoh kasus yang berada pada web internet seperti media konsumen dan lapor.id terdapat beberapa pengguna yang mengeluhkan tentang kerugian yang dialaminya akibat penggunaan e-wallet. Salah satunya pelapor melaporkan mengalami kerugian sebesar Rp 650.000,- (enam ratus lima puluh ribu rupiah) akibat gagal transaksi tetapi uang sudah terpotong dan belum ada pengembalian sama sekali.

(33)

48

Jika suatu peristiwa yang merugikan konsumen telah terjadi misalnya timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi suatu produk, yang pertama kali dicari adalah apakah kualifikasi hukum dari peristiwa yang menimbulkan kerugian itu. Apakah ada hubungan kontraktual antara produsen-pelaku usaha dan konsumen atau tidak ada hubungan hukum diantara mereka.

Jika ditemukan ada hubungan kontraktual antara produsen-pelaku usaha dan konsumen, langkah berikutnya adalah mencari bagian-bagian dari kontrak/perjanjian yang mungkin tidak dipenuhi sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen. Jika ditemukan ada bagian dari perjanjian/kontrak yang tidak dipenuhi, untuk sementara dapat dikualifikasikan sebagai peristiwa wanprestasi.

Jika ternyata tidak ada hubungan kontraktual antara produsen-pelaku usaha dan konsumen, harus dicari saluran lain, yaitu dengan mengonstruksikan fakta-fakta pada peristiwa itu ke dalam suatu perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, satu langkah awal penyelesaian sengketa konsumen sudah terlampaui dengan mengetahui kualifikasi peristiwa kerugian pada konsumen itu disebabkan oleh perbuatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Mencari dan menemukan ada tidaknya hubungan kontraktual antara produsen atau pelaku usaha dan konsumen kadang-kadang tidak mudah dilakukan. Apabila ternyata ada perjanjian/kontrak, baik dalam bentuk yang sederhana sekalipun antara produsen dan konsumen, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa mereka terikat secara kontraktual. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Maka langkah berikutnya adalah mencari mengumpulkan fakta-fakta sekitar terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu lalu merekonstruksikannya menjadi

(34)

49

sebuah kontrak/perjanjian. Untuk dapat dimasukkan ke dalam saluran perjanjian/kontrak maka harus dipenuhi syarat-syarat minimal dari kontrak sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan

Ada dua golongan konsumen dilihat dari segi keterikatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen, yaitu perihal ada atau tidak adanya hubungan hukum antara produsen-pelaku usaha dan konsumen. Kedua golongan itu adalah konsumen yang mempunyai hubungan kontraktual dengan produsen-pelaku usaha dan konsumen yang tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan produsen-pelaku usaha.

Dalam hukum, khususnya hukum perdata, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab, hal yang menyebabkan lahirnya kewajiban ada dua, yaitu kesalahan dan risiko. Seseorang wajib bertanggungjawab (atau lahir kewajiban bertanggung jawab) karena dia bersalah, baik berupa kesalahan maupun kelalaian. Inilah yang disebut tanggung jawab atas dasar kesalahan.

Kemudian, hukum perdata memungkinkan seseorang bertanggung jawab bukan karena dia bersalah, tetapi karena dia meng ambil risiko dalam kedudukan hukumnya sedemikian rupa yang mewajib kannya bertanggung jawab. Inilah yang disebut dengan tanggung jawab atas dasar risiko. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi yang jauh berbeda.

Secara teoritis pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak dituntut

(35)

50

untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan:

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan

Yaitu tanggung jawab yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko

Yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang produsen-pelaku usaha atas kegiatan usahanya.

5. Pertanggungjawaban Publik

Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu kepada produsen-pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.

Etika bisnis merupakan salah satu pedoman bagi setiap pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Prinsip business

is business tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas

prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen

(36)

51

pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Kewajiban para produsen atau pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya berarti pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh produsen atau pelaku usaha.

Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan produsen-pelaku usaha, khususnya di bidang usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional.

Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh produsen-pelaku usaha maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan.

Pemberian sanksi ini penting mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha vang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi produsen-pelaku lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

(37)

52

Bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp200.000.000,00 terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang:

a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (Pasal 19 ayat (2) dan (3))

b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (Pasal 20);

c. .Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (Pasal 25); dan d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang di jas

Sedangkan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada produsen- pelaku adalah:

a. Pidana penjara paling lama 5 tahun atas pelanggaran terhadap ke- ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a.b,c, dan e, ayat (2), Pasal 18.

b. Pidana penjara palíng lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- terhadap pelanggaran atas ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f.

c. Terhadap sanksi pidana di atas dapat dikenakan hukuman tambahan berupa tindakan:

1) perampasan barang tertentu; 2) pengumuman keputusan hakim;

(38)

53

3) pembayaran ganti rugi;

4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

5) kewajiban menarik barang dari peredaran; atau 6) pencabutan izin usaha.

2. Pertanggungjawaban Privat (Keperdataan)

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai pertanggungjawaban produsen, yang disebut dengan pelaku usaha, pada Bab VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Pasal 19 jo 28. Ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Tanggung jawab pelaku usaha pada umumnya dalam pasal 19 menentukan:

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh hari) setelah tanggal transaksi.

(39)

54

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Yang dimaksudkan dengan Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini adalah jika konsumen menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, dan kerugian finansial produsen wajib memberikan penggantian kerugian. Baik dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang. Penggantian kerugian itu dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari setelah tanggal transaksi.

Dengan demikian, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk diselesaikan melalui pengadilan, tetapi merupakan kewajiban mutlak bagi produsen untuk memberi penggantian kepada konsumen, kewajiban yang harus dipenuhi seketika. Dalam pasal 22 menentukan :

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), pasal 20, dan pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini mempersoalkan tentang segi pidana dari masalah pelanggaran atas pasal 19, 20, dan 21 dimana pembuktian unsur

(40)

55

kesalahan pada perkara pidana itu dibebankan pada produsen dan/atau jaksa.

Jika pelaku usaha menolak bertanggung jawab ditentukan dalam pasal 23 : “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Dalam pasal 23 dapat disimpulkan apabila para produsen atau pelaku usaha yang menolak bertanggung jawab atau menolak membayar ganti rugi kepada konsumen maka produsen atau pelaku usaha dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ataupun pengadilan.

Dengan demikian berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2016, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Hukum Perlindungan Konsumen. Maka perusahaan penyelenggara dompet elektronik memiliki kewajiban untuk mengganti kerugian yang telah terjadi pada konsumen. Dikarenakan kerugian terjadi akibat transaksi melalui aplikasi penyelenggara dompet elektronik. Penggantian kerugian dapat diberikan dengan cara refund atau pengembalian dana. Apabila kesalahan disebabkan oleh pihak konsumen maka perusahaan pelenggara dompet elektronik tidak perlu bertanggung jawab atas kerugian apapun.

Referensi

Dokumen terkait

Instalasi CSSD melayani semua unit di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, mulai dari proses perencanaan, penerimaan barang, pencucian, pengemasan &

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Tabela 7: Število samozaposlitev po občinah v obdobju 2001 – 2004 Oddelek za prestrukturiranje RTH, 2006 Tabela 8: Število prezaposlitev in samozaposlitev skupaj po občinah v

Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti di SD Inpres Laemanta, bahwa hasil belajar siswa sangatlah rendah dalam memahami materi palajaran khusunya pada mata

keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan Syari’ah. Dari hasil pengolahan dana mudharabah, BMT Marhamah membagi hasilkan kepada pemilik dana

Saran untuk Inspektorat Kabupaten Rokan Hulu adalah perlu mengadakan pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk menunjang pengetahuan dan keterampilan yang baik

Kajian dasar mengenai kesan jerebu dalam mengatasi pencemaran udara dijalankan dengan memilih kawasan Kucing sebagai kawasan kajian memandangkan kawasan ini

Banyak penelitian menunjukan bahwa meningkatnya jarak tempuh latihan pada pelari wanita mempunyai hubungan yang hampir linier dengan kejadian amenorrhoea bila jarak tempuh