• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPONS PERBAIKAN PAKAN TERHADAP RODUKTIVITAS SAPI POTONG INDUK PERIODE POST PARTUM DI KABUPATEN PROBOLINGGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPONS PERBAIKAN PAKAN TERHADAP RODUKTIVITAS SAPI POTONG INDUK PERIODE POST PARTUM DI KABUPATEN PROBOLINGGO"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS PERBAIKAN PAKAN TERHADAP

RODUKTIVITAS SAPI POTONG INDUK PERIODE

POST PARTUM DI KABUPATEN PROBOLINGGO

(Effect of Improved Feed on Productivity of Female Beef Cow Breeding

Stock During Pre and Post Partus Period in Probolinggo Sub District)

UUM UMIYASIH dan YENNY NUR ANGGRAENY Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184

ABSTRAK

A research has been done based on Partisipatory Rural Apprisal analysis to identity the need of farmers in raising breeding stock of beef cattle. Based on SWOT analysis done it was identified that in proved feed was needed especially during dry seasen. A feeding trial was done using 20 heads of beef cow that were 6 – 7 month program. These cows were devided into two groups, fed the standard of farmers feed and the improved feed. Improvement on feed was done by adding the vitamins and minerals. Feeding trail was done for 14 weeks and observation was done on: nutrient consumption, ADG during pre and post partus calves birth weight and calves ADCT; feed efficiency. and economical analysis was done. Data were analysis and presented desriptively. The results showed that the feed additive given can improve post partuscalves birtht weight (30.6 vs – 0.49 kg/day). On the other hand the feed additive given did not affect ADG of cow during pre partus period nor ADG of calves. It is concluded that in raising pregnant breedingstock of beef cattle, feed additive is needed especially during dry season.

Key Words:

ABSTRAK

Pemanfaatan limbah tanaman pangan yang berkualitas rendah dalam jangka waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas dan oleh sebab itu perlu dilakukan pengayaan nilai nutrien antara lain melalui suplementasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola suplementasi yang efisien terutama pada musim kemarau. Diawali dengan identifikasi dan evaluasi terhadap usaha pembibitan sapi potong rakyat dilanjutkan dengan wawancara terutama tentang masalah pakan sebagai bahan untuk analisis SWOT. Dari hasil analisis SWOT diketahui bahwa perlu dilakukan upaya perbaikan pakan terutama pada musim kamarau karena pada saat ini pakan basah yang digunakan adalah hijauan kering asal limbah tanaman pangan. Pengayaan nilai nutrien hijauan kering dilakukan dengan menyiramkan suplemen yang berupa campuran vitamin dan mineral. Pengujian dilakukan menggunakan 20 ekor sapi bunting 6 – 7 bulan milik peternak yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pola peternak dan yang memeperoleh suplementasi. Perlakuan dilakukan selama 14 minggu, dengan pengamatan parameter meliputi: konsumsi zat nutrien, produktivitas (PBHH induk pre dan post partus, bobot lahir pedet dan PBHH pedet) efisiensi ransum serta analisis ekonomi. Data dianalisis menggunakan uji perbandingan dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi zat nutrien pada perlakuan suplementasi telah memenuhi standar kebutuhan. Perlakuan suplementasi berpengaruh nyata terhadap bobot lahir pedet (30,60 kg vs 29,40 kg) dan terhadap penurunan bobot induk setelah melahirkan (-0,36kg/hari vs -0,49 kg/hari) namun tidak berpengaruh terhadap PBHH pedet dan PBHH induk pre partus. Disimpulkan bahwa pada usaha pembibitan sapi potong rakyat diperlukan suplementasi terhadap pakan basal hijauan kering khususnya pada sapi-sapi betina bunting. Kata Kunci: Usaha Pembibitan Rakyat, Sapi Potong Bunting, Limbah Pertanian, Suplementasi

PENDAHULUAN

Dalam mendukung peningkatan produktivi- tas sapi potong rakyat, diperlukan penerapan teknologi yang tepat dan yang dapat menekan

biaya produksi serendah mungkin. HARDIANTO

et al. (2002) mengemukakan bahwa biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan adalah biaya pakan, dan dapat mencapai 60 – 80% dari keseluruhan biaya produksi.

(2)

Sistem pemeliharaan pada peternakan rakyat yang secara intensif dikandangkan menyebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi sangat tergantung pada pakan yang tersedia di kandang. AFFANDHY et al. (1992) menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia. Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak tetapi sesuai dengan kemampuan peternak merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas. Rendahnya kualitas ransum dalam tiga bulan awal setelah beranak; khususnya protein kasar (PK) yang hanya sekitar 50 – 65% dari kebutuhan merupakan faktor utama penyebab tidak optimalnya lama waktu periode anestrus post partus (APP) (YUSRAN et al., 1998). Hasil penelitian ANGGRAENY dan UMIYASIH (2003), pada usaha peternakan sapi potong rakyat di Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa pada musim panen padi kebutuhan nutrien ternak terpenuhi. Sementara itu, pada musim panen tebu, kecukupan bahan kering (BK) dan Total Digestible Nutrient (TDN) bernilai negatif hampir pada semua status fisiologis dibandingkan dengan standar kebutuhan menurut RANJHAN (1980). Selanjutnya dikemukakan bahwa kekurangan BK dan TDN ini mengakibatkan terjadinya penurunan bobot pada induk yang sedang laktasi, rata-rata sebesar 0,36 kg/ekor/hari serta tidak mampu meningkatkan bobot pedet.

Oleh sebab itu, pemanfaatan sumber pakan asal biomas lokal disertai dengan teknologi peningkatan nilai nutrien, misalnya melalui suplementasi, merupakan alternatif pilihan. Suplementasi dengan menggunakan daun tanaman leguminosa pohon dan semak (lamtoro, gamal dan kaliandra) selama dua bulan pertama setelah beranak merupakan upaya memperpendek periode APP (YUSRAN

et al., 1998). Namun dikemukakan bahwa pola ini tidak dapat diaplikasikan tanpa terlebih dahulu dilakukan upaya pengembangan tanaman-tanaman tersebut. Dilain pihak, MA’SUM et al. (1998) menyatakan bahwa suplementasi konsentrat sebanyak 2 kg/ekor/ hari dengan kandungan 16% PK pada ransum pola peternak pada sapi PO induk pada tiga bulan awal laktasi secara ekonomis tidak menguntungkan. Oleh sebab itu perlu ditemukan pola suplementasi yang mudah

diaplikasikan dan secara ekonomis menguntungkan.

MATERI DAN METODE

Penentuan responden diawali dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi usaha pembibitan sapi potong rakyat, dan dilanjutkan dengan wawancara menggunakan metode PRA untuk mengetahui faktor-faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap usaha terutama yang terkait dengan masalah pakan. Strategi/alternatif pemecahan masalah ditentukan berdasarkan hasil analisis SWOT dari data hasil wawancara yaitu dengan memperbaiki ransum pola peternak melalui peningkatan kualitas nutrien pakan basal dengan suplementasi (Tabel 1). Pakan basal adalah biomas lokal berupa hijauan kering dan suplemen diberikan dengan cara disiramkan ke pakan basal yang akan diberikan. Materi penelitian adalah sapi bunting 6 – 7 bulan milik peternak dari kelompok ”Permata Indah” di Kotaanyar, Probolinggo sebanyak 20 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (pola peternak/tanpa suplementasi) dan kelompok perlakuan (dengan suplementasi).

Penelitian dilaksanakan selama 14 minggu, terdiri atas 2 minggu masa adaptasi pakan dan 12 minggu masa koleksi data. Data teknis dianalisis menggunakan uji T sedangkan data ekonomi dengan BC ratio. Parameter yang diukur meliputi konsumsi zat nutrien, tampilan produktivitas (PBHH induk dan pedet, bobot lahir pedet), efisiensi ransum dan analisis ekonomi.

Tabel 1. Komposisi daftar susunan suplementasi

Uraian Jumlah (% dalam campuran) Molasses Sulfur Urea Kalsium Air 25 0,25 1 0,5 73,25

- Perbandingan antara BK hijauan dengan suplementasi adalah 1 : 1

- Suplementasi disiramkan ke hijauan pakan (jerami jagung) sebelum diberikan

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis SWOT

Dari hasil wawancara dan kunjungan lapang diketahui bahwa agroekosistem di wilayah penelitian adalah merupakan lahan kering dengan sarana pengairan tadah hujan. Hasil wawancara dianalisis menggunakan metode SWOT, berdasarkan pada beberapa indikator penting antara lain sumber daya peternak, mekanisme kelompok serta pengetahuan peternak tentang tatalaksana pakan.

Strength (kekuatan)

Hasil wawancara menunjukkan bahwa 90% peternak di lokasi penelitian mempunyai pengalaman memelihara sapi lebih dari 10 tahun; dengan rata-rata pemilikan 2 – 3 ekor sapi/kepala keluarga. Sedangkan mata pencaharian menunjukkan bahwa hampir semua (95%) menyatakan diri berprofesi sebagai petani, sedangkan beternak adalah sebagai pekerjaan sambilan. Pada musim panen limbah cukup melimpah dan peternak biasa melakukan pengeringan untuk digunakan sebagai stok pakan dimusim kemarau (terutama jerami padi).

Mata pencaharian utama responden sebagai petani merupakan modal yang cukup potensial untuk mengembangkan usaha peternakan. Aplikasi usaha tani ternak merupakan salah satu kunci sukses bagi usaha peternakan rakyat. Pemanfaatan limbah tanaman pangan secara optimal sebagai sumber pakan basal bagi ternak disertai dengan pemanfatan limbah kandang sebagai pupuk merupakan langkah efisiensi yang tepat.

Pemberian pakan pada umumnya dilakukan 2 – 3 kali sehari terdiri dari pakan hijauan yang bervariasi tergantung pada musim panen. Peternak paham bahwa frekuensi pemberian pakan yang semakin tinggi akan lebih baik untuk ternak. Pemeliharaan terhadap sapi-sapi yang bunting tua agak khusus, peternak mempunyai kebiasaan memberikan jamu terdiri dari campuran kunyit, madu dan telur ayam dengan maksud agar stamina ternak meningkat menjelang melahirkan.

Perawatan terhadap pedet, terutama pengenalan terhadap rumput dan pakan

penguat/konsentrat telah dipahami oleh peternak. Pada umumnya pedet disapih pada umur 3 bulan setelah beberapa saat dicoba diberi rumput dan atau konsentrat. Dibandingkan dengan daerah lain, penyapihan umur 3 bulan ini adalah cukup singkat dengan harapan induk akan segera dapat dikawinkan kembali.

Weaknees (kelemahan)

Pada musim kemarau, pakan yang diberikan didominasi oleh hijauan kering terutama jerami padi, rumput kering, daun kering seperti daun pisang maupun daun bambu. Jumlah pakan yang diberikan tergantung pada kemampuan peternak untuk menyediakan pakan pada saat itu.

Sapi betina yang bunting maupun menyusui tidak diberi pakan tambahan. Pemberian pakan didasarkan atas besarnya badan sapi. Pemahaman tentang pentingnya pemberian pakan penguat/konsentrat terhambat oleh rendahnya kemampuan ekonomi peternak, sehingga pemberian konsentrat/pakan penguat sangat jarang dilakukan bahkan ada yang tidak pernah. Pemberian pakan yang saat ini berdasarkan pada kemampuan peternak dan besarnya sapi harus mulai diubah. Kebutuhan nutrien yang berbeda pada setiap status fisiologis ternak harus dipaham oleh peternak. Diharapkan kombinasi pemenuhan nutrisi sesuai kebutuhan dengan kebiasaan memberikan jamu pada sapi sapi bunting/setelah melahirkan akan dapat menghasilkan produktifitas yang optimal.

Di lokasi penelitian, selain inseminator yang merupakan petugas Dinas Pertanian/ Peternakan Daerah, juga terdapat inseminator Swadaya. Dari peternak yang ada, (90%) diantaranya lebih memilih sistem perkawinan melalui program IB.

Pelaksanaan PKB yang seharusnya kontinyu dilakukan mengikuti program IB jarang dilakukan dengan alasan ada tambahan biaya untuk petugas. Tanda-tanda birahi telah dipahami, namun pengetahuan bahwa faktor pakan berkualitas rendah terutama di musim kemarau yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan dapat menghambat keberhasilan IB kurang disadari oleh peternak.

(4)

Opportunities (peluang)

Dilokasi penelitian, peternak mengandalkan pakan utama berupa limbah pertanian tanaman pangan. Pada musim panen jumlah limbah cenderung melimpah dan untuk persediaan di musim kemarau peternak biasanya mengeringkan limbah tersebut untuk disimpan.

Penerapan teknologi pengayaan nilai nutrisi melalui penambahan suplemen ataupun perlakuan lain misalnya fermentasi terhadap jerami dapat dilakukan agar selama musim kemarau ternak tidak kekurangan nutrisi. Selain itu upaya pemenuhan pakan dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan hijauan inkonvensional yang terdapat disekitar lokasi.

Threats (ancaman)

Kondisi pakan yang jelek terutama di musim kemarau, penanganan dan pengawasan IB yang kurang sempurna dikhawatirkan akan dapat menghambat produktivitas ternak; antara lain capaian PBHH yang tidak optimal, gangguan sistem reproduksi, kematian pedet yang tinggi, S/C yang rendah ataupun C/R yang tinggi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan maupun bimbingan terhadap responden perlu ditingkatkan terutama pemahaman tentang tatalaksana pakan.

Pemenuhan nutrien sesuai dengan status fisiologis ternak, antisipasi kesulitan pakan di musim kemarau dengan pengawetan pakan dan pengayaan nilai nutrien pakan basal melalui suplementasi merupakan hal yang harus dilakukan dalam sistem integrasi usaha tani-ternak agar produktivitas usaha pembibitan yang dilakukan dapat memberikan hasil yang maksimal.

Hasil pengamatan terhadap parameter selama pengujian adalah sebagai berikut:

Konsumsi zat-zat nutrien ransum

Pola pemberian pakan bertumpu pada ketersediaan limbah tanaman pangan yang tersedia dilokasi terutama jerami padi dan jerami jagung. Distribusi penggunaan limbah-limbah tersebut tergantung dari musim panen, namun mayoritas peternak menggunakan jerami padi dalam waktu yang cukup lama. Pemberian pakan basal berupa jerami yang nilai nutrisinya rendah dalam jangka waktu yang panjang tanpa penambahan pakan penguat/konsentrat memerlukan adanya penambahan suplemen terutama vitamin dan mineral. Sapi yang bunting membutuhkan nutrisi kritis, karena adanya pertumbuhan (TILLMAN et. al., 1984). Hasil analisis data terhadap konsumsi zat nutrien ransum tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsumsi zat nutrien vs standar kebutuhan pada sapi masing-masing perlakuan Lokasi/perlakuan

Probolinggo Bantul K S K S Uraian

Pre p Post p Pre p Post p Pre p Post p Pre p Post p BK (kg/ekor/hari) Konsumsi Kebutuhan Selisih 8,50 8,04 +0,46 8,5 8,27 +0,23 9,70 7,90 +1,8 9,70 7,55 +2,15 7,48 7,60 -0,12 7,48 6,90 +058 7,81 7,55 +0,26 7,81 7,24 +0,57 PK (kg/ekor/hari) Konsumsi Kebutuhan Selisih 1,28 0,45 +0,83 1,28 0,85 +0,43 1,17 0,64 +0,53 1,17 0,85 +0,32 2,26 0,62 +1,64 2,26 0,81 +1,45 0,66 0,66 0 0,66 0,48 +0,18 TDN (kg/ekor/hari) Konsumsi Kebutuhan Selisih 5,65 4,34 +1,31 5,65 4,30 +1,35 5,65 4,30 +1,35 5,65 4,90 +1,75 3,50 4,17 -0,67 3,50 4,60 -1,1 5,09 4,48 +0,61 5,09 4,17 +0,92 K = perlakuan kontrol; S = perlakuan perbaikan pakan dengan suplementasi; Pre p = pre partus; Post p = post partus

(5)

Dibandingkan dengan standar kebutuhan, konsumsi BK dan TDN pada kelompok kontrol lebih rendah, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap konsidi induk. Hal ini diduga sebagai penyebab bobot lahir pedet yang dilahirkan oleh sapi-sapi pada kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan.

Dengan bobot badan rata-rata sebesar 389 – 390 kg maka konsumsi BK yang berkisar antara 7,55 – 9,70 kg/ekor/hari atau sekitar 1,95 – 2,48% BB adalah masih rendah dari standar pemberian BK sebagaimana yang disarankan oleh KEARLS (1982) yaitu sebesar 3,0%.

Tampilan produktivitas

Materi penelitian yang digunakan adalah sapi betina bunting ± 6 – 7 bulan dan tampilan produktivitas yang dapat diamati adalah induk pre partus ( ± 2 bulan sebelum partus, PBHH induk post partus ( ± 2 bulan setelah partus), bobot lahir pedet dan PBHH pedet. Hasil pengamatan secara rinci dicantumkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Performans produktivitas pada masing-masing perlakuan

Uraian Kontrol Perlakuan

Bobot lahir pedet (kg) 29,40a 30,60b PBHH pedet (kg) 0,85 0,86 PBHH induk pre partus (kg) 0,38 0,52 PBHH induk post partus (kg) - 0,49b - 0,37a

a, b = Notasi yang berbeda pada baris yang sama

menunjukkan beda nyata (P < 0,05) * = Tidak dilakukan analisis statistik

Data adalah untuk sapi induk bunting ± 7 bulan Bobot lahir pedet dari sapi induk kelompok kontrol (sebesar 29,40 kg) secara nyata lebih rendah dari bobot lahir pedet yang dihasilkan dari induk kelompok perlakuan suplementasi (sebesar 30,60 kg) namun demikian PBHH pedet tidak berbeda nyata. Bobot lahir pedet pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

SIREGAR et al. (1999) pada usaha peternakan rekyat di Sumatra Barat yaitu 19,80 kg, Apabila dibanding dengan berat induknya maka berat pedet pada kelompok kontrol adalah sebesar 7,60% dan kelompok suplementasi adalah sebesar 7,80%; lebih rendah dari berat pedet sapi PO X PO di daerah DIY sebesar 8,44% (HARJOSUBROTO, 1988).

Hasil pengamatan terhadap PBHH induk pre partus tidak berbeda diantara perlakuan sedangkan PBHH induk post partus menunjukkan bahwa kelompok yang memperoleh suplementasi mampu menahan penurunan sebesar –0,372 kg/ hari vs –0, 49 kg (pada kelompok kontrol).

Efisiensi pakan

Efisiensi pakan yang menggambarkan capaian PBHH yang dapat dihasilkan dari konsumsi 1 kg BK pakan berbeda karena adanya suplementasi. Kondisi ini diduga disebabkan karena suplementasi berpengaruh positif terhadap kecernaan sehingga pakan tersuplementasi lebih efisien dari pada kontrol.

Nilai efisiensi pakan yang dapat diamati/dihitung adalah pada induk bunting status fisiologis pre partus. Efesiensi pakan pada kelompok kontrol adalah sebesar 4,47%, dan kelompok suplementasi sebesar 5,36%.

Keseimbangan kondisi rumen sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kecernaan sehingga dapat meningkatkan effisiensi pakan. Suplementasi mineral (N dan S) dan karbohidrat mudah larut (molases) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi kritis bakteri selulolitik dalam ekosistem rumen (PRESTON dan LENG, 1987; AKIN, GORDON

dan HOGAN, 1983) sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan.

Analisis ekonomi

Dari tampilan produktivitas, data yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung nilai ekonomi pemeliharaan adalah PBHH induk pre partus. Nilai input yang dihitung adalah harga pakan sedangkan nilai out put adalah nilai harga PBHH. Secara rinci analisis ekonomi ditampilkan dalam Tabel 4.

(6)

Tabel 4. Pengaruh suplementasi terhadap induk bunting Perlakuan Uraian Kontrol Suplementasi Input Harga pakan (Rp./ekor/hari) 3833,00 3853,57 Out put Harga PBHH (Rp.) 5720,52 6812,61 Keuntungan (Rp.) 1887,51 2959,04 B/C 1,50 1,76

Harga pakan adalah harga hijauan, tidak ada pemberian konsentrat

Harga PBHH = Rp. 13.500/kg

Perlakuan suplementasi mampu menghasil- kan PBHH yang lebih tinggi daripada perlakuan kontrol; dengan harga pakan yang relatif tidak berbeda jauh maka keuntungan yang diperoleh juga lebih tinggi (Rp. 1887,51 pada perlakuan kontrol vs Rp. 2959,04).

Ditinjau dari nilai B/C yang lebih tinggi dari kontrol maka perlakuan suplementasi dapat dianjurkan untuk diaplikasikan karena dapat memenuhi kebutuhan nutrisi kritis sehingga mampu memperbaiki produktivitas ternak; tidak hanya mampu meningkatkan PBHH induk pre partus namun juga mampu menghasilkan pedet dengan bobot yang lebih tinggi.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa pada usaha pembibitan sapi potong rakyatm diperlukan suplementasi yang mengandung mineral Ca Na, S dan molasses terhadap hijauan asal limbah sebagai pakan basal sapi betina bunting, Karena secara nyata mampu menghasilkan bobot lahir pedet yang lebih tinggi serta mampu menekan penurunan bobot badan pada waktu menyusui.

Pelaksanaan penelitian bertepatan dengan musim kemarau sehingga disesuaikan adanya penelitian tentang suplementasi yang tepat untuk pakan basal di musim penghujan.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L., M.A YUSRAN dan A. RASYID. 1992. Ketersediaan tenaga kerja keluarga dengan suplai pakan sapi induk menyusui pada musim kemarau. Studi kasus di dua desa beragroekosistem lahan kering. Pros. Seminar Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati – Pasuruan. AKIN D.E., GORDON, G.L.R. dan HOGAN, J.P. 1983.

Rumen Fungal Degradation of Digitaria

Pentzii. S. Afr. Tydskr. Veck. 13(1).

ANGGRAENY, Y. N. 2001. Kemampuan Adaptasi Bakteri Asam Laktat Hasil Isolasi dari Usus Halus Sapi Perah Pada Kondisi Saluran Pencernaan Ternak Ruminansia. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.

ANGGRAENY, Y.N. dan U. UMIYASIH. 2003. Tinjauan tentang karakteristik tatalaksana pakan, kaitannya dengan limbah tanaman pangan pada usaha sapi potong rakyat di kabupaten Lumajang. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. KEARL. 1982. Nutrien Requirement of Ruminant in

Developing Countries.

NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1983. Nutrien Requirement of Beef Cattle.

PRESTON, T.R. and R.A. LENG. 1987. Matching Ruminant Production System With Available Resources in the Tropic and Sub Tropic, Penambul Book, Armidale.

RANJHAN, S. K. 1980 Animal Nutrition in the Tropics. Vikas publising. Horse. PVT. LTD. New Delhi.

SIREGAR, M.E. 1987. Produktivitas dan kemampuan menahan erosi spesies rumput dan leguminosa terpilih sebagai bahan yang ditanam pada tampingan Teras bangku di DAS Citandung, Ciamis. Disertasi Universitas Pajajaran, Bandung.

SIREGAR, A.R., J. BESTARI., R.H. MATONDANG, Y. SANI dan H. PANJAITAN. 1999. Penentuan breeding sapi potong program IB di Propinsi Sumatera Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 199. Puslitbang Peternakan, Bogor. SUGANDI, D., U. KUSNADI, M. PANJAITAN, N. SUNANDAR dan I. HERDIAWAN. 1996. Laporan Hasil Penelitian Studi Potensi dan Kendala Penyediaan Hijauan Pakan. Balitnak, Bogor.

(7)

TILLMAN, HARTADI. H, REKSO HADIPROJO. S., PRAWIROKUSUMO dan LEBDOSOEKODJO. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM. HARDJOSUBROTO, W. 1988. Produktivitas sapi

Onggole dan persilangannya. Seminar Ekspor Ternak Potong. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

HARDIANTO, R., D.E. WAHYONO, C. ANAM, SURYANTO, G. KARTONO dan S.R. SOEMARSONO. 2002. Kajian teknologi pakan lengkap (complete feed) sebagai peluang agribisnis bernilai komersial di pedesaan. Makalah seminar dan Ekspose Teknologi Spesific lokasi. Badan Litbangtan – Jakarta.

YUSRAN. M. A., T. PURWANTO, B. SURYANTO, M. SABRANI, M. WINUGROHO and E. TELENI. 1998. Application of surge feeding for improving the post partum an estrus of Ongole Cows Calve in rainy season in dry land of East Java. Dipresentasikan di The 2nd ISTAP, Juli 1998. Fakultas Peternakan, UGM Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada

--- = tidak termasuk di dalam penelitian.. kerja yang tinggi. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Bidang pendidikan dan

Merancang sistem pengereman hidrolik yang sesuai dengan kendaraan bermotor roda tiga untuk penyandang disabilitas tidak hanya pembagian selang hidrolik ke rem cakram secara merata

Dalam analisis data ini penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan pengetahuan hukum perkawinan pelaku cerai gugat dan faktor penyebab perceraian

Penyakit­penyakit  paro  dahulu  ditandai  oleh  infeksi.  Dengan  majunya  sesuatu  negara  dan  pemakaian  antibiotika,  maka  penyakit­penyakit  infeksi  banyak 

Salah satu tradisi tersebut adalah kebiasaan para suku bugis yang akan meminta uang panaik (uang pesta) kepada pihak pria yang ingin menikahi anak perempuan

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari beberapa

Pada bab pendahuluan ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan penelitian, serta menerangkan alasan pengambilan topik permasalahan untuk penelitian,