• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENIHAN UDANG WINDU DAN PRODUKSI PAKAN ALAMI DI BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU UJUNG BATEE KABUPATEN ACEH BESAR NAD LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBENIHAN UDANG WINDU DAN PRODUKSI PAKAN ALAMI DI BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU UJUNG BATEE KABUPATEN ACEH BESAR NAD LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENIHAN UDANG WINDU DAN PRODUKSI PAKAN ALAMI

DI BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU UJUNG BATEE

KABUPATEN ACEH BESAR

NAD

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Persyaratan Penyelesaian

Praktik Kerja Lapangan Pendidikan D4

Manajemen Agroindustri Joint Program

Bidang Peminatan Budidaya Perairan

Disusun Oleh :

AGUS SALIM

D4 K4207162

PROGRAM PENDIDIKAN D4

MANAJEMEN AGROINDUSTRI JOINT PROGRAM

PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK

DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (PPPPTK) PERTANIAN

Kerjasama Dengan

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2009

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dilaksanakan PKL bagi Mahasiswa pada tanggal 15 September 2008 s/d 13 Ferbruari 2009

di Industri / Institusi Dalam Bidang pembenihan

Pembenihan Udang Windu (Penaues monodon) dan Produksi Pakan

Alami (Skeletonema costatum dan Artemia salina)

Nama Mahasiswa : Agus Salim NIM : K 420 7162 Bidang Peminatan : Budidaya Perairan

Disahkan pada Tanggal:

Kepala PPPPTK Direktur Politeknik

Pertanian Cianjur Negeri Jember

Drs. Dedy H. Karwan, MM Ir. H. Asmuji, MM

(3)

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN INDUSTRI

Telah Dilaksanakan PKL Bagi Mahasiswa Dari tanggal 13 Oktober 2008 s/d 30 Januari 2009

Di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee

Dalam Bidang Pembenihan Udang Windu dan Produksi Pakan Alami

Nama Mahasiswa : Agus Salim

NIM : K4207162

Bidang Peminatan : Budidaya Perairan

Disahkan pada tanggal : 30 Februari 2009

Pembimbing II Pembimbing I

Karyawan Perangin-angin S.St. M.Si Jalaluddin, S.Pi

NIP. 131 883 438 NIP. 080 121 408

Mengetahui,

Kepala Divisi Kerjasama Pimpinan Industri, Pendidikan Tinggi Cianjur,

Ir. Anton Sugiri, MP NIP. 13117613117

(4)

PRAKATA

Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahakn Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga telah dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang berjudul “ Pembenihan

Udang Windu (Penaeus monodon), dan Produksi Pakan Alami (Skeletonema

costatum dan Artemia salina)” di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee Kabupaten Aceh Besar”.

Selama pembuatan laporan ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada penulis sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Menteri Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kesempatan Bagi mahasiswa mendapatkan Beasiswa.

3. Bapak Drs. Dedy H. Karwan. MM, selaku Kepala PPPPTK Pertanian Cianjur 4. Bapak Ir. Anton Sugiri, MP, selaku kepala Divisi Kerjasama Pendidikan Tinggi 5. Bapak Karyawan Perangin Angin S.St. M.Si, Selaku dosen Pembimbing 1 yang

sekaligus sebagai Kepala Departemen Perikanan Budidaya Vedca Cianjur.

6. Bapak Ir. Coco Kokarkin. S., M.Sc., Ph.D. selaku Pimpinan Industri Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee

7. Bapak Jalaluddin, S.Pi., selaku Pembimbing Praktek Kerja Lapangan (PKL) 8. Segenap karyawan/karyawati BBAP Ujung Batee, yang telah membantu penulis

(5)

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih belum sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi penulis sendiri.

Singkil, Februari 2009

(6)

ABSTRAKSI

Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon) dan Produksi Pakan Alami (Skeletonemacostatum dan Artemia salina)

Di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh Besar Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh:

Agus Salim

K 420 7162

Indonesia mempunyai beragam potensi sumberdaya kelautan yang sangat beragam. Wilayah Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor budidaya perairan laut. Salah satu komoditas yang berkembang pesat di perairan Indonesia adalah udang windu (Penaeus monodon. Fab). Tempat pelaksanaan praktek kerja lapang berlangsung dari tanggal 13 Oktober s/d 29 Januari 2009 di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee. Metode yang dilakukan selama praktek adalah orientasi, adaptasi, observasi, wawancara dan berpatisipasi serta praktek langsung di lapangan. Dan untuk menambah kelengkapan data ditambah dengan studi literature dari pustaka.

Dalam proses pembenihan udang windu, induk yang dipakai adalah induk yang berasal dari alam dan dipilih induk yang matang gonad, rata–rata TKG induk udang yang diambil dari alam (hasil tangkapan nelayan) adalah 2 – 3. Induk udang ini berasal dari Peureulak Aceh Timur. Tahapan pembenihan udang windu ini meliputi:

Pengadaan induk yaitu memilih induk hasil tangkapan nelayan yang benar – benar

sesuai dengan kriteria induk yang diinginkan yakni telah matang gonad pada tingkat TKG 2 – 3.

Persiapan bak yaitu bak yang akan digunakan adalah bak fiber dengan dasar kerucut,

bak ini dibersihkan dengan menggunakan air tawar lalu diisi dengan air laut dan diberi aerasi. Sedangkan untuk bak pemeliharaan larva digunakan bak beton dengan kapasitas 10 m3.

Penetasan dan perawatan larva. Penetasan telur dilakukan pada media pelepasan telur

dan setelah semua telur–telur menetas maka larva udang ini dipindahkan ke wadah pemeliharaan selanjutnya.

Aklimatisasi dan penebaran nauplius. Sebelum melakukan pemindahan ke bak

pemeliharaan, larva–larva ini harus dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu agar tidak stress yang berakibat pada kematian.

Pengamatan kondisi larva. Pengamatan kondisi larva di lakukan setiap hari guna

mengetahui tingkat stadia larva juga untuk mengatahui jenis pakan yang akan diberikan.

Pemberian pakan. Pakan yang diberikan tergantung pada stadia larva tersebut, pada

stadia naupli-6 sampai mysis-3 diberikan phytoplankton yang berupa Skeletonema

costatum dan dicampur dengan pakan buatan berbentuk tepung, pada masa mysis

memasuki PL diberi pakan naupli artemia dan pakan buatan secara bergantian.

Pengendalian penyakit, selama melakukan praktek pembenihan udang windu Tidak ada

(7)

Panen. Dilakukan pada larva mencapai stadia >PL12 atau tergantung dengan permintaan

petambak udang.

Pakan alami yang dipakai dalam pembenihan udang windu ini adalah Skeletonema

costatum dan naupli artemia.

Selama PKL dapat disimpulkan bahwa induk hasil tangkapan dari alam juga dapat digunakan sebagai induk untuk pembenihan dan penanganan induk dari alam ini tidak mengalami kesulitan dan waktu yang lama.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Sasaran ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Sejarah Singkat ... 3

2.2 Penyebaran Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.)... 3

2.3 Klasifikasi ... 4

2.4 Pembenihan Udang Windu ... 4

2.4.1. Pemilihan Induk ... 4

2.4.2. Pakan Induk ... 4

2.4.3. Teknik Pemijahan... 5

2.4.4. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon ) ... 8

2.4.5. Karakteristik Induk Udang ... 8

2.4.6. Reproduksi Udang ... 9

2.4.7. Kawin dan Bertelur ... 10

2.4.8. Proses Pembenihan Secara Konvensional ... 11

2.5 Budidaya Pakan Alami ... 12

2.5.1 Biologi Skeletonema costatum ... 13

(9)

BAB III METODE PELAKSANAAN PKL... 24

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan PKL ... 24

3.2 Metode ... 24

3.2.1 Orientasi ... 24

3.2.2 Observasi ... 24

3.2.3 Adaptasi ... 24

3.3 Pelaksaan PKL... 25

BAB IV HASIL PKL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1.Gambaran Umum Balai Budidaa Air Payau Ujung Batee ... 26

4.1.1.Tugas dan Fungsi Balai Budidaya Air Payau... 27

4.1.2.Visi Dan Misi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee... 28

4.1.3 Sarana dan Prasarana BBAP Ujung Batee... 29

4.2.Hasil Kegiatan PKL ... 29

4.2.1.Teknik Pembenihan Udang... 29

4.2.1.1.Pengadaan Induk... 30 4.2.1.2.Persiapan Bak... 30 4.2.1.3.Pengisian Air... 31 4.2.1.4 Pemijahan Induk ... 31 4.2.1.5 Ablasi Mata ... 32 4.2.1.6 Pelepasan Telur... 33

4.2.1.7 Penetasan Dan Perawatan Larva ... 34

4.2.1.8 Aklimatisasi dan penebaran Nauplius ... 34

4.2.1.9 Pengamatan Kondisi Larva ... 35

4.2.1.10 Pemberian Pakan... 36

4.2.1.11 Pengendalian Penyakit. ... 36

4.2.1.12 Panen ... 36

4.2.2 Budidaya Pakan Alami... 37

4.2.2.1 Penetasan Artemia ... 37

(10)

4.3 Pembahasan... 39

4.3.1 Persiapan Lokasi Pembenihan ... 39

4.3.2 Fasilitas dan Peralatan Pembenihan ... 40

4.3.3 Persiapan Kegiatan Pembenihan ... 41

4.3.4 Penanganan Induk ... 44

4.3.5 Penanganan Telur... 45

4.3.6 Perkembangan Dan Pemeliharaan Larva ... 47

4.3.7 Pengaturan Pakan. ... 48

4.3.8 Pemanenan Post Larva ... 56

4.3.9 Pemasaran ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran... 61 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) ... 6

Gambar 2.2. Karakteristik Udang Windu ... 9

Gambar 2.3. Proses Perkawinan pada Udang... 10

Gambar 2.4. Skema Pembelahan Sel pada Skeletonema costatum ... 14

Gambar 4.1. Persiapan Bak Untuk Pemeliharaan Larva Udang Windu ... 30

Gambar 4.2. Ablasi Mata pada Udang Windu... 33

Gambar 4.3. Sampling Tingkat Kematangan Gonag Udang ... 33

Gambar 4.4. Aklimatisasi Nauplius di Bak Pemeliharaan... 34

Gambar 4.5 Pengamatan Secara Mikroskopik... 35

Gambar 4.6. Pengamatan Secara Visual ... 35

Gambar 4.7. Proses Pemanenan Hingga Packing pada Udang Windu ... 37

Gambar 4.8. Panen Nauplius dari Bak Penetasan ... 47

Gambar 4.9. Penampungan Nauplius ke Baskom ... 47

Gambar 4.10. Pembersihan Nauplus dari Seser ... 47

Gambar 4.11. Aklimatisasi Nauplius ke Bak Pemeliharaan Larva ... 47

Gambar 4.12. Post Larva Udang Windu ... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Table 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Praktek Kerja Lapang ... 25

Tabel 4.1. Tingkat Kematangan Gonad Udang Windu (Penaeus monodon) ... 32

Tabel 4.2. Ciri – Ciri Perkembangan Nauplius ... 46

Tabel 4.3. Jenis Pakan Yang Diberikan Pada larva Udang Windu ... 49

Tabel 4.4. Tingkat Perkembangan Larva pada Stadia Zoea ... 53

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai beragam potensi sumberdaya kelautan yang sangat beragam. Didukung dengan adanya garis pantai sepanjang ± 81.000 km. Wilayah Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor budidaya perairan laut. Salah satu komoditas yang berkembang pesat di perairan Indonesia adalah udang windu (Penaeus monodon. Fab).

Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon. Fab) sepanjang tahun. Udang windu (Penaeus monodon. Fab) merupakan salah satu komoditas unggulan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Ditjen PB) yang terus dipacu perkembangannya. Pada saat ini, baik usaha pembenihan maupun budidayanya banyak dirintis oleh perusahaan swasta dalam skala besar.

Khusus untuk sistem pembenihan, yang berkembang di perusahaan swasta selama ini masih terbilang sangat kompleks. Oleh karena itu, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, sebagai satu-satunya unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Ditjen PB) yang mengembangkan spesies ini, terus berupaya menyederhanakan sistem pembenihan tanpa mengurangi kuantitas dan kualitas hasil produksi.

Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya di bidang pembudidayaan ikan air payau dan laut yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

(14)

1.2 Tujuan

Tujuan PKL mahasiswa ini adalah:

- Mahasiswa mendapatkan pengetahuan tentang teknik pembenihan udang windu (Penaeus monodon Fabr.) yang diterapkan di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, serta mengetahui aspek-aspek yang terkait dengan mengikuti semua kegiatan praktek pembenihan secara langsung.

- Mahasiswa mengetahui permasalahan dan alternatif penyelesaiannya yang sering dihadapi didalam praktek pembenihan.

- Mahasiswa mengetahui sistem usaha pembenihan

1.3 Sasaran

Sasaran yang dicapai dalam kegiatan PKL mahasiswa adalah : - Meningkatkan keterampilan dalam bidang budidaya air payau.

- Mahasiswa memperoleh pengalaman dan kedisiplinan di dunia kerja yang sifatnya membangun keahlian.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Singkat

Udang windu merupakan jenis ikan konsumsi air payau, udang windu memiliki 13 ruas (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut Eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar berasal dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang Palaemnid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang bisa disebut udang penaeid oleh para ahli. Udang merupakan salah satu bahan pakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Walaupun masih banyak kendala yang dihadapi, namun hingga saat ini negara produsen udang yang menjadi pesaing baru ekspor udang Indonesia terus bermunculan.

2.2 Penyebaran Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.)

Di Indonesia daerah penyebaran benih udang windu antara lain: Sulawesi Selatan (Jeneponto, Tamanroya, Nassara, Suppa), Jawa Tengah (Sluke, Lasem), dan Jawa Timur (Banyuwangi, Situbondo, Tuban, Bangkalan, dan Sumenep), Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan lain-lain (Choirul, 2002).

(16)

2.3 Klasifikasi

Menurut Courtland (1999), Klasifikasi udang adalah sebagai berikut: Klas : Crustacea

Sub-klas : Malacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub ordo : Natantia

Famili : Palaemonidae, Penaeidae Spesies : Penaeus monodon Fabr

2.4 Pembenihan Udang Windu 2.4.1 Pemilihan Induk

Induk betina yang dipilih harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: - Berat lebih dari 50 gram

- Kandungan telur tinggi

- Sudah matang telur (terlihat dari warna abu-abu di punggung) - Bentuk tubuh normal, tidak cacat

- Bersih dari kotoran dan parasit.

Sedangkan persyaratan induk jantan adalah sebagai berikut: - Berat lebih dari 40 gram

- Kaki jalan kedua tidak terlalu besar - Tidak agresif

- Bentuk tubuh normal, tidak cacat - Bersih dari kotoran dan parasit.

2.4.2 Pakan Induk

Udang windu bersifat Nokturnal, artinya aktif mencari makan dan beraktivitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya di dalam lumpur atau pasir. Pakan udang windu bervariasi, baik jenis maupun komposisinya, tergantung dari umurnya. Namun, umumnya udang bersifat karnivora (pemakan hewan). Pakannya

(17)

berupa hewan-hewan kecil, seperti invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) air, udang kecil, kerang (Bivalvae). Udang yang dibudidayakan di tambak umumnya diberi pelet. Induk udang memerlukan pakan alami yang mempunyai kandungan kolesterol tinggi yang berasal dari kerang-kerangan dan krustasea lain (kepiting). Jenis pakan ini diperlukan untuk mempercepat proses pematangan telur.

2.4.3 Teknik Pemijahan

Di alam, udang windu muda banyak ditemukan di perairan payau dengan salinitas rendah, seperti di muara sungai tempat pertemuan antara air laut dan air tawar. Setelah dewasa, udang windu akan menuju perairan laut dalam yang kondisi airnya jernih dan tenang dan menjadikan tempat tersebut untuk berkembang biak. Kondisi yang demikian juga diperlukan jika udang windu dipijahkan di luar habitat aslinya, misalnya di tempat pembenihan (hatchery) udang windu.Pemijahan udang windu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemijahan ikan.

Udang windu matang kelamin pada umur 1,5 tahun dan siap melakukan tugasnya untuk berkembang biak. Pada saat itu, berat tubuhnya mencapai 90-120 gram/ekor. Perkawinan udang windu umumnya berlangsung pada malam hari. Ada kecenderungan, pada saat bulan purnama terjadi pemijahan massal udang windu yang sudah matang kelamin (Darmono, 1991).

Menurut Mudjiman (1988), pemijahan terjadi tatkala udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat kelamin jantan (petasma) kemudian memasukannya ke dalam alat kelamin (telichum) udang betina. Setelah terjadi kontak langsung, induk betina akan mengeluarkan telur sehingga terjadilah pembuahan. Telur hasil pembuahan ini akan melayang di dasar perairan laut dalam. Selanjutnya, telur yang sudah menetas akan menjadi larva yang bersifat planktonik (melayang) dan akan naik ke permukaan air. Dalam satu kali musim pemijahan, seekor induk betina menghasilkan telur sebanyak 200.000-500.000 butir.

(18)

Menurut Jasin Maskoeri (1984), larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini:

1. Periode Nauplius atau periode pertama larva udang. Umur nauplius selama 46-50 jam dan mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode Zoea atau periode kedua. Umur zoea adalah sekitar 96-120 jam mengalami tiga kali pergantian kulit.

3. Periode Mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.

5. Periode Juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.

6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt.

Sumber: Stewart, 2005 Gambar 2.1. Siklus hidup Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.)

(19)

Udang windu (Penaeus monodon) termasuk famili Penaidae. Udang windu dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya.

Penaeus monodon memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum (Wyban et al., 1991).

Penaeus monodon memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m²). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus monodon tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan(Wyban et al., 1991).

Penaeus monodon memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih manis. Selama proses post-panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis alami udang tersebut.

Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang.

Penaeus monodon akan mati jika berada dalam air dengan suhu dibawah 15 o

C atau

diatas 33 o

C selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 o

C dan

30-33 o

C. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus monodon adalah

23-30 o

C (Wibowo. S, 1990). Pengaruh temperatur pada pertumbuhan udang windu spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun (Balai Informasi Pertanian D.I Aceh, 1984).

(20)

2.4.4 Siklus Hidup Udang Windu (Penaeusmonodon )

Udang biasa memijah di daerah lepas pantai pada perairan yang dalam. Proses memijah udang meliputi pemindahan spermatophore dari induk jantan ke induk betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara internal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Perry, 2008). Tahap nauplius tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton.

Perry (2008) mengatakan, setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi post larva. Tahap post larva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplius sampai post larva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya, post larva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut.

2.4.5 Karakteristik Induk Udang

Udang yang dijadikan sebagai induk (Broodstock) sebaiknya bersifat SPF (Specific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti

White spot, dan lain-lain. Udang tersebut didapat dari sejumlah besar famili dengan

seleksi dari tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi famili, seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah keturunan dari kelompok famili yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi (Prosedur Oprasional Standar BBAP Ujung Batee, 2008).

(21)

Kaki Renang Kaki Jalan Ekor Badan Rostrum (Kepala) Sensor Mata

Antena Kaki Jalan Kaki Renang

Ekor Badan Rostrum (Kepala) Sensor Mata Antena Sumber: http//www.google.com/image/udangwindu.jpg.

Gambar 2.2. Karakteristik Udang Windu

Karakteristik induk udang baik yang lain adalah udang jantan dan betina memiliki karakteristik reproduksi yang sangat bagus. Spermatophore jantan berkembang baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual dan menunjukkan perkembangan ovarium yang alami. Berat udang jantan dan betina sekitar 40 gram dan berumur 12 bulan (Prosedur Oprasional Standar BBAP Ujung Batee, 2008).

2.4.6 Reproduksi Udang

Sistem reproduksi Penaeus monodon betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari

epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina.

Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).

Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991).

(22)

2.4.7 Kawin dan Bertelur

Perilaku kawin pada Penaeus monodon pada tangki maturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur air, kedalaman, intensitas cahaya,

fotoperiodisme, dan beberapa faktor biologis seperti densitas aerial dan rasio

kelamin. Udang jantan hanya akan kawin dengan udang betina yang memiliki ovarium yang sudah matang. Kontak antena yang dilakukan oleh udang jantan pada udang betina dimaksudkan untuk pengenalan reseptor seksual pada udang. Proses kawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari. Tetapi, udang windu paling aktif kawin pada saat matahari tenggelam (Yano, et al., 1988).

Spesies udang windu memiliki tipe Thelycum tertutup sehingga udang tersebut kawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah kawin.

Sumber: Dahuri, R. 2004

Peneluran terjadi saat udang betina mengeluarkan telurnya yang sudah matang. Proses tersebut berlangsung kurang lebih selama dua menit. Penaeus

monodon biasa bertelur di malam hari atau beberapa jam setelah kawin. Udang

betina tersebut harus dikondisikan sendirian agar perilaku kawin alami muncul (Wyban et al., 1991).

(23)

2.4.8 Proses Pembenihan Secara Konvensional

Proses pembenihan yang biasa dilakukan pada tempat-tempat pembenihan (hatchery) udang komersial adalah dengan cara perkawinan alami untuk menghasilkan larva. Keuntungan pemijahan alami dibandingkan dengan pemijahan secara buatan adalah jumlah nauplius yang dihasilkan tiap udang betina sekali bertelur lebih banyak dibandingkan nauplius yang dihasilkan dengan metode inseminasi buatan (Yano et al., 1988).

Induk udang Penaeus monodon dikumpulkan dan dipelihara dalam kondisi normal untuk maturasi dan kawin secara alami. Setiap sore dilakukan pemeriksaan untuk melihat udang betina yang sudah kawin lalu dipindah ke tangki peneluran (spawning tank). Betina yang sudah kawin akan memperlihatkan adanya

Spermatophore yang melekat. Saat pagi hari, betina yang ada di dalam tangki

peneluran dipindahkan lagi ke dalam tangki maturasi (maturation tank). Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam tangki peneluran akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau nauplius (Wyban et al., 1991).

Menurut Caillouet (1972), Aquacop (1975), dan Duronslet et al., (1975), ovum pada udang betina biasanya mengalami Reabsorbsi tanpa adanya peneluran lagi. Masalah tersebut dapat dikurangi dengan cara ablasi salah satu tangkai mata yang menyediakan hormon yang berfungsi sebagai stimulus untuk reabsorbsi ovum (Arnstein dan Beard, 1975). Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa ablasi juga dapat meningkatkan pertumbuhan udang (Hameed dan Dwivedi, 1977). Ablasi dilakukan dengan cara membakar, mengeluarkan isi dari salah satu batang mata keluar melalui bola mata, dan melukai batang mata dengan gunting (Wyban et al., 2005).

Udang yang akan diablasi dipersiapkan untuk memasuki puncak reproduktif. Jika ablasi dilakukan saat tahap premolting maka akan menyebabkan molting, ablasi setelah udang molting dapat menyebabkan kematian, dan ablasi selama intermolt menyebabkan perkembangan ovum (Mudjiman, A. 1987).

(24)

2.6 Budidaya Pakan Alami

Sejalan dengan pesatnya perkembangan usaha pembenihan udang, maka peranan pakan alami semakin besar. Ketersediaan pakan alami yang kurang memadai baik dari segi jumlah, mutu dan kesinambungan sehingga mengakibatkan usaha pembenihan udang tidak berjalan dengan baik. Kelangsungan hidup larva udang windu (Penaeus monodon) sangat tergantung pada ketersediaan pakan alami, karena pakan alami sebagai sumber nutrisi untuk memenuhi kebutuhan setiap stadia larva udang.

Pakan alami, baik fitoplankton maupun zooplankton sangat menentukan kualitas, kuantitas, dan kesinambungan benih yang dihasilkan. Banyak jenis plankton yang sudah dapat dibudidayakan, salah satunya fitoplankton tersebut yaitu.

Skeletonema costatum termasuk dalam kelas Bacillaiophyceae. Bentuk selnya seperti

kotak dan bersel tunggal (Uniselular). Diameter selnya berkisar antara 4-6 mikron, berwarna coklat, pada setiap sel mempunyai frustula (Epiteka dan Hipoteka) yang dapat menghasilkan skeletal eksternal (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).

Dewasa ini Skeletonema costatum juga sudah banyak dimanfaatkan sebagai media pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon). Selain memiliki daur hidup yang pendek, Skeletonema costatum juga dapat berkembangbiak dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan hariannya, maka perlu dipelajari secara intensif mengenai produksi Skeletonema costatum.

(25)

2.5.1 Biologi Skeletonema costatum

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Skeletonema costatum diklasifikasikan sebagai berikut:

Phylum : Bacillariophyta Kelas : Bacillariophyceae Ordo : Bacillariales Subordo : Coscinodiscinae Genus : Skeletonema

Spesies : Skeletonema costatum

2.5.2 Morfologi

Skeletonema costatum bersel tunggal (Uniselular), berukuran 4-6 mikron.

Akan tetapi alga ini dapat membentuk urutan rantai yang terdiri dari beberapa sel. Sel berbentuk seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sela dan tidak memiliki alat gerak. Dinding sel yang unik karena terdiri dari dua bagian yang bertindih (flustula) yang terbuat dari silikat, bagian katub atas disebut epiteka dan kutup bawah disebut hipoteka. Pada bagian epiteka terdiri dari komponen epivaf dan episingulum dan pada bagian hipoteka terdiri dari komponen hipovaf dan

hiposingulum ( Dahril. T, 1990).

2.5.3 Siklus Hidup Skeletonema costatum

Secara normal Skeletonema costatum ini bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan pembelahan sel. Pembelahan sel yang terjadi berulang-ulang ini akan mengakibatkan ukuran sel menjadi lebih kecil secara berangsur-angsur hingga generasi tertentu. Apabila ukuran sel sudah dibawah 7 mikron, secara reproduksi tidak lagi secara aseksual akan tetapi berganti menjadi seksual dengan pembentukan auxospora. Mula-mula epiteka dan hipoteka ditinggalkan dan menghasilkan auxospora tersebut. Auxospora ini akan membangun epiteka dan hipoteka baru dan tumbuh menjadi sel yang ukurannya membesar, kemudian melakukan pembelahan sel hingga membentuk rantai (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

(26)

Sumber: Mudjiman, A., 2004

2.5.4 Ekologi dan Fisiologi

Secara ekologis, berbagai macam pakan itu dapat dikelompokkan sebagai plankton, nekton, bentos, perifitin dan neuston. Semua ini di dalam perairan akan membentuk suatu rantai pakan dan jaringan pakan. Fitoplankton memegang peranan penting dalam perairan, sebab fitoplankton asal mulanya terjadi dari bahan organik, yang kemudian dijadikan sumber pakan oleh jasad-jasad lainnya. Zooplankton dan jasad-jasad lainnya akan berkembang. Apabila tersedianya pakan yang cukup yang berasal dari fitoplankton tersebut (Mudjiman, 2004).

Plankton adalah biota yang hidup di permukaan air dan mengapung, menghanyut atau berenang lemah, artinya mereka tidak melawan arus. Di alam bebas larva udang mengkonsumsi plankton baik berupa fitoplankton dan zooplankton. Oleh karena itu dalam pemeliharaan larva perlu di pilih jenis yang paling sesuai dan baik untuk pakan larva udang tersebut. Untuk keperluan ini maka jenis plankton tersebut harus dipelihara dalam bak tersendiri. Dalam pemeliharaan larva udang selain pakan alami juga pakan buatan sangat berperan yang diberikan sebagai pakan tambahan. Pemberian pakan yang berupa

Skeletonema costatum dimulai pada stadia zoea dan mysis.

Gambar 2.4. Skema pembelahan sel pada Skeletonema

(27)

Menurut Afrianto dan Liviawati (2005) ada beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah jenis plankton itu termasuk kategori pakan alami yang memenuhi syarat, diantaranya :

- Bentuk dan ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva - Mudah diproduksi secara massal dan mudah dibudidayakan - Kandungan sumber nutrisinya lengkap dan tinggi

- Isi sel padat dan mempunyai dinding sel tipis sehingga mudah dicerna - Cepat berkembangbiak dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan

lingkungan sehinga lestari ketersediaannya - Tidak mengeluarkan senyawa beracun

- Gerakannya menarik bagi ikan tetapi tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap.

Diatom adalah ganggang atau alga renik yang termasuk dalam divisi

Thallophyta dan kelas diatomae (Bacillariophyta). Ganggang jenis ini memiliki

dua ordo, yakni Centrales dan Pennales. Ordo Centrales bentuknya seperti silinder dan kebanyakan hidup di laut. Beberapa contoh anggota ordo Centrales diantaranya Planktoniella, Cyclotella, Coscinodiscus, Chaetoceros, Melosira dan

Skeletonema. ordo Pennales berbentuk lonjong, memanjang, seperti gada, dan

seperti perahu. Jenis ini banyak hidup di air tawar. Beberapa contoh diantaranya adalah Synedra, Pleurosigma, Navicula, Nitzschia dan Amphora (Mudjiman, 2004).

2.5.5 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Untuk mendapatkan hasil kultur Skeletonema costatum yang berkualitas baik, maka diperlukan beberapa faktor yang dapat mendukung keberhasilan lingkungan kultur tersebut. Faktor-faktor yang mendukung tersebut diantanya adalah faktor biologis, kimia, fisika, dan keberhasilan lingkungan kultur. Faktor biologis meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlah yang mencukupi. Faktor fisika yang mempengaruhi antara lain suhu, salinitas, pH, dan intensitas cahaya. Faktor kimia adalah unsur hara dalam media pemeliharaan harus sesuai dengan kebutuhan jenis plankton yang akan dikultur. Selain faktor tersebut diatas

(28)

ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu kebersihan dari alat-alat kultur agar tidak terkontaminasi dengan organisme lain yang akan mengganggu pertumbuhan.

Suhu berperan dalam pengatur proses metabolisme organisme dalam perairan. Suhu mempengaruhi suatu stadium daur hidup organisme dan merupakan faktor pembatas penyebaran suatu spesies. Dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan reproduksi secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan Skeletonema costatum. Dalam proses aerasi, selain terjadi proses pemasukan gas-gas yang diperlukan dalam proses potositesis juga akan timbul gesekan antara gelembung udara dengan moleku-molekul air sehingga terjadi sirkulasi air. Proses sirkulasi air ini sangat penting untuk mempertahankan suhu tetap homogen serta penyebaran penyinaran dan nutrient tetap merata. Sirkulasi juga dapat mencegah pengendapan plankton dan menimbulkan getaran air yang menyerupai getaran di alam (Mudjiman, 2004). Menurut Isnasetyo dan Kurniastuty (1995) untuk kultur berbagai jenis alga dibawah 300C merupakan suhu yang optimum. Untuk pertumbuhan optimal, alga ini membutuhkan kisaran suhu antara 250-270C.

Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi tekanan osmotik antara protoplasma sel organik dengan lingkungannya. Kadar garam yang berubah-ubah dalam air dapat menimbulkan hambatan bagi kultur

Skeletonema costatum. Skeletonema costatum tumbuh optimal pada salinitas

25-29 ppt.

Pertumbuhan Skeletonema costatum sangat tergantung pada intensitas lamanya penyinaran dan panjang gelombang cahaya yang mengenai sel-sel tanaman selama fotosintesis. Biasanya, dalam ruang kultur intensitas cahaya berkisar antara 500-5000 lux (Mudjiman, 2004).

(29)

Untuk kultur penyediaan bibit, intensitas cahaya yang diberikan berkisar antara 500-1000 lux, biasanya 12 jam dalam keadaan terang dan 12 jam dalam keadaan gelap. Kultur massal diruang terbuka, intensitas cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux (Isnantyo dan Kurniastuty, 1995).

2.5.6 Kebutuhan Nutrien

Skeletonema costatum untuk kehidupannya memerlukan bahan-bahan

organik dan anorganik yang diambil dari lingkungannya. Bahan-bahan tersebut dinamakan nutrien, sedangkan penyerapannya disebut nutrisi. Fungsi utama bahan pakan (nutrien) adalah sebagai sumber energi dan pembangun sel. Pada budidaya

Skeletonema costatum sangat dibutuhkan berbagai macam senyawa organik baik

senyawa unsur hara makro (nitrigen, fosfor, besi, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium) dan unsur hara mikro (tembaga, mangan, seng, boron, molibdenum dan cobelt).

Isnansetyo dan Kurniastuty (1999), menganjurkan bahwa untuk kultur

Skeletonema costatum skala laboratorium dapat digunakan pupuk conway

ditambahkan silikat (Na2SiO3) sebanyak 5 mg/L, NaH2PO4 : 10-15 mg/L, Na2SiO3 : 10-15 mg/L, FeCl3 : 5-10 mg/L, EDTA : 5-10 mg/L. sedangkan untuk kultur skala massal dapat digunakan pupuk dengan komposisi urea 60 gr/ton, NaH2PO48 gr/ton, Na2SiO3 6 gr/ton, FeCl3 1 gr/ton, EDTA 5 gr/ton atau TSP 15 gr/ton, Urea 30 gr/ton, Na2SiO3 10 gr/ton, KNO3 60 gr/ton, FeCl31 gr/ton, EDTA 3 gr/ton.

2.5.7 Budidaya Skeletonema costatum

1) Kultur murni

Tujuan isolasi untuk memperoleh fitoplankton monopesies (murni) dengan cara mengambil sampel air laut di alam dengan menggunakan planktonet, untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Ada beberapa cara isolasi antara lain pengenceran berseri dan menggunakan pipet kapiler. Pengenceran berseri digunakan bila jumlah organisme banyak dan ada spesies dominan, memindahkan sampel kedalam beberapa tabung reaksi yang dikondisikan untuk pertumbuhan yang akan diisolasi. Sedangkan dengan

(30)

menggunakan pipet kapiler, dimana sampel 10 – 15 tetes setiap medium(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).

2) Kultur Skala Semi-Massal

Kegiatan kultur skala semi-massal ini dilakukan diruang semi “out door” tanpa dinding, beratap transparan untuk memanfaatkan cahaya matahari. Kultur dengan wadah aquarium /fiber transparan pada volume sekitar 100 liter. Sebelum melakukan kultur, terlebih dahulu menyiapkan wadah dan peralatan lainnya dengan kaporit 100 ppm. Sterilisasi air laut di bak dengan kaporit 15-10 ppm dilakukan pengadukan selama 1-2 hari atau sampai netral kemudian diendapkan dengan menghentikan pengadukan. Untuk volume diperlukan bibit 5-10 % dari volume total. Diawal total kultur salinitas 28-30 ppt suhu air dibawah 300C dan pH 7,9-8,3 dan kekuatan cahaya pada kisaran 10000-50000 lux. Pupuk yang digunakan adalah pupuk teknis (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).

3) Kultur Massal

Kultur massal/out door dimulai dari volume 1 ton sampai dengan 20 ton atau lebih. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukan kedalam bak-bak kultur, selanjutnya dilakukan pemupukan dan diberi aerasi. Pupuk yang digunakan untuk kultur massal adalah pupuk teknis atau pupuk pertanian seperti : Urea, TSP, dan vitamin mix (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1999).

(31)

2.5.8 Artemia salina 2.5.8.1 Kalsifikasi Artemia

Menurut Mudjiman (2004), klasifikasi artemia adalah: Phylum : Arthropoda

Kelas : Crustacean Sub kelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Familia : Artemidia Genus : Artemia. Spesies : Artemia salina

2.5.8.2 Morfologi

Artemia dijual belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut dengan kista. Kista ini apabila dilihat dengan mata telanjang berbentuk bulatan kecil berwarna kecoklatan dengan diameter yang berkisar antara 200-300 mikron. Satu gram kista artemia kering rata-rata terdiri atas 200.000-300.000 butir kista. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam apabila diinkubasikan dalam air bersalinitas 5-70 permil. Ada beberapa tahapan proses penetasan artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi pengeluaran air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Selanjutnya adalah tahap pecah cangkang dan disusul dengan tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang. Artemia yang baru menetas disebut dengan nauplius. Nauplius yang berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. ukuran-ukuran tersebut sangat bervariasi tergantung strainnya. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antena. Antenulla berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antena. Selain itu, diantara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang Mandibula rudimenter terdapat dibelakang antena.

(32)

Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap tingkatan pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I hingga instar XV. Setelah cadangan pakan yang berupa kuning telur habis dan saluran pencernaan berfungsi, nauplius mengambil pakan ke dalam mulutnya dengan menggunakan setae pada antenae. Artemia mulai mengambil pakan setelah mencapai instar II. Saat instar kedua, pada pangkal antenanya tumbuh gnatobasen setae menyerupai duri menghadap ke belakang. Perubahan morfologi yang sangat mencolok terjadi setelah masuk instar X antena mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelaminnya, thoracopoda mengalami diferensiasi menjadi tiga bagian yaitu telopodite/eksopodite yang berfungsi sebagai penyaring pakan, endopodite yang berfungsi sebagai alat gerak atau berenang, dan epipodite yang berfungsi sebagai alat pernafasan.

Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 8-10 mm yang ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antena sebagai alat sensor, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan II pasang

Thorakopoda. Pada artemia jantan, antena berubah menjadi alat penjepit

(mascular grasper), sepasang penis terdapat di bagian belakang tubuh. Sedangkan pada artemia betina antena mengalami penyusutan, sepasang indung telur atau ovary terdapat di kedua sisi saluran pencernaan, di belakang

Thorakopoda. Telur yang sudah matang akan disalurkan ke sepasang kantong

(33)

2.5.8.3 Sifat Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi

Sifat ekologi artemia bervariasi tergantung pada strainnya. Secara umum artemia tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 250C-30oC. Akan tetapi kista artemia yang kering sangat tahan terhadap suhu yang ekstrem dari 27oC hinnga 100oC.

Artemia banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat tinggi sehingga disebut juga dengan brain shrimp. Toleransi terhadap kadar garam yang sangat menakjubkan, bahkan pada siklus hidupnya memerlukan kadar garam yang tinggi agar dapat menghasilkan kista. Untuk pertumbuhan biomasa artemia yang baik membutuhkan kadar garam antara 30-50 ppt. Sedangkan kadar garam yang diperlukan agar artemia tersebut dapat mengahasilkan kista yang bervariasi tergantung strainnya, pada umumnya membutuhkan kadar garam di atas 100 permil.

Artemia juga termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar akan kandungan oksigen. Pada kandungan oksigen 1 mg/L artemia masih dapat bertahan. Sebaliknya, pada kandungan oksigen terlarut yang tinggi sampai mencapai kejenuhan 150 %, jenis udang-udangan ini masih dapat bertahan hidup. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3 mg/L.

Kemasaman air (pH) juga mempengaruhi kehidupan artemia. Seperti halnya hewan-hewan yang hidup di air laut, artemia juga membutuhkan pH air yang sedikit bersifat basa untuk kehidupannya. Agar artemia dapat tumbuh dengan baik maka pH air yang baik digunakan untuk budidaya berkisar antara 7,5-8,5.

Satu hal lagi tentang sifat ekologi artemia yang sangat menakjubkan, yakni ketahanannya terhadap kandungan amonia yang tinggi. Pada kondisi budidaya kandungan amonia hingga 90 mg/L masih dapat ditoleransi oleh hewan ini. Akan tetapi, agar pertumbuhan artemia bagus, kandungan amonia pada media budidaya sebaiknya kurang dari 80 mg/L.

(34)

Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Pakan artemia berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk mulut. Artemia dalam mengambil pakan bersifat penyaring tidak selektif (non selectif filter

feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut artemia seakan-akan

menjadi pakannya. Akibatnya kandungan gizi artemia sangat di pengaruhi oleh kualitas pakan yan tersedia pada perairan tersebut. Partikel pakan yang dapat ditelan artemia paling besar berukuran 50 mikron. Artemia mengambil pakan dari media hidupnya terus menerus sambil berenang. Pengambilan pakan dibantu dengan antena II pada nauplius, sedangkan pada artemia dewasa dibantu oleh telepodite yang merupakan bagian dari thoracopoda.

Menurut cara reproduksinya, artemia dipilah menjadi dua yaitu artemia yang bersifat biseksual dan artemia yang bersifat partenogenetik. Keduanya mempunyai perkembangbiakan yang berlainan artemia biseksual berkembangbiak secara seksual, yaitu perkembangbiakannya didahului dengan perkawinan antara jantan dan betina. Sedangkan artemia partenogenetik berkembangbiak secara partenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa adanya pembuahan.

Siklus hidup artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun partenogenetik perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar tergantung kondisi lingkungan terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan dihasilkan kista yang keluar dari induk betina sehingga disebut perkembangbiakan secara ovipar. Sedangkan pada salinitas rendah tidak menghasilkan kista akan tetapi langsung menetas dan dikeluarkan sudah dalam bentuk nauplius sehingga disebut dengan perkembangbiakan secara ovovivipar.

(35)

Pada jenis biseksual perkembangbiakan diawali perkawinan. Perkawinan sendiri diawali dengan adanya pasangan-pasangan jantan dan betina yang berenang bersama (riding pair). Artemia betina di depan sedangkan jantannya “memeluk” dengan menggunakan penjepit dibelakangnya. Riding pair

berlangsung cukup lama, walaupun perkawinan/kopulasinya hannya membutuhkan waktu singkat. Artemia jantan memasukan penis ke dalam lubang uterus betina dengan cara membengkokan tubuhnya ke depan sambil naik turun.

(36)

BAB III

METODE PELAKSANAAN PKL 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan PKL

Tempat Pelaksanaan Magang Industri tentang pembenihan udang windu (Penaeus

monodon) dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee. Berlangsung

dari tanggal 13 Oktober 2008 s/d 30 Januari 2009.

3.2 Metode

3.2.1 Orientasi

Sebelum mengikuti kegiatan praktek peserta praktek diperkenalkan terlebih dahulu dengan lingkungan sekitar baik itu para karyawan dan pergawai di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee maupun dengan fasilitas yang digunakan di UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) tersebut.

3.2.2 Observasi

Selain dari perkenalan lingkungan baik itu berupa fasilitas dan para pekerja yang ada di balai tersebut, para peserta praktek diperkenankan melihat – lihat semua kegiatan yang berlangsung yang dengan atau tanpa dipandu oleh pihak balai. Hal ini dimaksud agar para peserta dapat lebih leluasa dalam melaksanakan praktek nantinya.

3.2.3 Adaptasi

Salah satu langkah penting sebelum melakukan praktek kerja lapang ataupun magang sangat perlu menyesuaikan dengan lingkungan sekitar baik itu adat istiadat, kebiasan bahasa dan lain sebagainya. Hal ini berguna untuk nantinya kita tidak mengalami kecanggungan ataupun kesalahan dalam melakukan sesuatu baik itu secara lisan ataupun perbuatan juga untuk dapat menjalin hubungan yang harmonis antara para peserta praktek dengan para karyawan ataupun masyarakat sekitar.

(37)

3.3 Pelaksaan PKL

Kegiatan praktek lapang dimulai dari penyelesaian administrasi di perusahaan, mengikuti orientasi lapangan serta mengikuti kegiatan lapangan secara keseluruhan hingga praktek kerja lapang selesai. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

Table 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Praktek Kerja Lapang

Kegiatan Waktu pelaksanaan PKL Tahun 2008 Tahun 2009 No

Tahun / Bulan

10 11 12 1 2

1. Penyelesaian Administrasi

2. Orientasi dan Perkenalan Lingkungan Balai

3. Mengikuti Kegian Lapangan 4. Penyelesaian Administrasi 5. Kembali ke Kampus

(38)

BAB IV

HASIL PKL DAN PEMBAHASAN 4.3. Gambaran Umum Balai Budidaa Air Payau Ujung Batee

Balai budidaya Air Payau Ujung Batee, merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) di lingkungan Departement Kelautan dan Perikanan.

Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berdiri pada tahun 1986 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.473/kpts/OT.210/8/ 1986 Tanggal 5 Agustus 1986 dengan Nama SUB Centre Udang dan disempurnakan lagi dengan SK Menteri Pertanian No. 264/kpts/OT.210/1994 Tanggal 18 April 1994 menjadi Loka Budidaya Air Payau. Pada saat itu Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee diberi tugas melaksanakan penerapan teknik penerapan air payau serta kelestarian sumber daya ikan di lingkungan wilayah Indonesia bagian barat khususnya Sumatera. Pada Tanggal 19 Oktober 1999 Loka Budidaya Air Payau mendapat tugas berdasarkan SK Menteri Pertanian No.1040.1/kpts/ik.150/10/1999 dan SK menteri Eksploitasi Laut dan Perikanan No. 65 Tahun 2000. Selanjutnya pada tanggal 18 November 2002 Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee mendapat tugas sebagai pelaksana teknik Pembenihan dan Pembudidayaan Ikan Air Payau serta pelestarian sumber daya induk atau benih ikan dan lingkungan berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. KEP.49/MEN/2002.

Pada perkembengan terakhir sesuai dengan kebutuhan Organiasasi Loka Budidaya Air Payau berdasarkan peraturan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor. PER.08/MEN/2006 Tanggal 12 Januari 2006 mendapatkan peningkatan ekselon ke III/a sehingga struktur organisasi meningkat menjadi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

Secara umum usaha aplikasi teknik dan segala aspek kegiatan dan sumberdaya manusia terus berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan, walaupun dalam berbagai sisi masih harus dilakukan pembinaan dan dipacu perkembangannya.

(39)

Sejak Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berdiri sudah memproduksi benur udang windu, namun produksinya belum optimal. Tahun 1997, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee mulai menjalankan usaha pembenihan lebih intensif.

Pada tahun 2005 kegiatan di Balai Budidaya Air Payau sempat berhenti selama beberaapa bulan karena adanya musibah Gempa dan Tsunami pada akhir tahun 2004 yang melanda daerah NAD dan Sumatara. Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee mulai beroperasi kembali pada bulan Mei tahun 2005.

Tahun 2007 beberapa keberhasilan usaha yang sudah dirintis oleh Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee antara lain, pembenihan udang windu, budidaya udang windu, budidaya udang putih, pembenihan dan budidaya bandeng, budidaya kepiting sangkat, produksi pakan alami, dan budidaya kerapu kertang. Kegiatan usaha tersebut dipimpin oleh seorang kepala proyek yang berada di bawah pembinaan dan pengawasan Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sebagai pusat bisnis inkubator sangat berkepentingan dalam memacu perkembangan budidaya air payau secara terarah dan terprogram. Setiap usaha budidaya dipimpin dan dijalankan oleh seorang ketua divisi. Setiap divisi bertanggung jawab kepada pimpinan proyek. Usaha pembenihan udang windu dijalankan oleh Bapak Joko Purwantyo sebagai kepala divisi pembenihan udang yang didampingi oleh 4 orang asistent pelaksana.

4.3.1.Tugas dan Fungsi Balai Budidaya Air Payau.

Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee mempunyai tugas pokok yaitu penerapan teknik pembenihan dan budidaya ikan air payau serta pelestarian sumberdaya induk atau benih ikan dan lingkungan.

Wilayah kerja Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee meliputi seluruh Sumatra yang terdiri dari Sembilan provinsi yaitu, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Bengkulu dan Lampung.

Dalam menjalankan tugas pokok tersebut, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berfungsi sebagai:

(40)

- Pengkajian, pengujian dan bimbingan penerapan standar pembenihan dan pembuididayaan ikan air payau.

- Pengkajian standard dan pelaksanaan sertifikasi sistem mutu dan sertifikasi personil pembenihan serta pembudidayaan ikan air payau.

- Pengkajian sistem dan tata laksana produksi dan pengolahan induk penjenis dan induk dasar ikan air payau.

- Pelaksanaan pengujian teknik pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau. - Pengkajian standar pengawas benih. Pembudidayaan serta pengendalian hama

dan penyakit ikan air payu.

- Pengkajian standar pengendalian dan sumberdaya individu atau benih ikan air payau.

- Pelaksanaan sistem jaringan laboratorium pengujian, pengawasan benih dan pembudidayaan ikan air payau.

- Pengelolaan dan pelayanaan informasi dan publikasi pembenihan dan pembudidayaaan ikan air payau.

- Pelaksanaan urusan data usaha dan rumah tangga.

4.3.2.Visi Dan Misi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee

Visi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee adalah sebagai Pusat Pengembangan dan informasi dalam pendampingan teknologi budidaya air payau dalam menunjang pembangunan perikanan budidaya yang ramah lingkungan, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Untuk mencapai visi tersebut, misi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sebagai berikut:

- Mengkaji dan menerapkan teknologi budidaya air payau yang sederhana, efisien, berdaya guna dan berhasil guna.

- Meningkatkan peranan balai sebagai pendamping teknologi di masyarakat dalam rangka proses alih teknologi.

- Meningkatkan kualitas dan kapabilitas sumber daya manusia Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

(41)

- Mewujudkan sentral pengembangan bank induk udang windu unggul.

- Mendorong berkembangnya usaha perikanan budidaya air payau yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

4.3.3. Sarana dan Prasaraana Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee

Lokasi Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee berada di Kabupaten Aceh Besar dengan dua lokasi pengembangan. Lokasi pertama ( balai satu ) terletak di desa Durung Kecamatan Mesjid Raya dengan luas areal 2,09 ha, sarana dan prasaraana terdiri dari gedung kantor, bak induk bandeng, bak induk kerapu, hatchery bandeng, hatchery kerapu, lab pakan alami, lab hama dan penyakit, lab pakan buatan, bak larva out door, bak pakan alami, perpustakaan dan musholla.

Lokasi kedua (balai dua ) terletak di Desa Neheun Kecamatan Mesjid Raya, 1 (satu ) KM dari lokasi pertama dengan luas areal 7,58 ha. Sarana dan prasarana terdiri dari bak induk udang windu, bak induk udang putih, hathcery windu, hathcery udang putih, bak pakan alami massal, reservoir air laut 900 ton, bak pakan alami, bak larva out door, tambak pendederan, tambak calon induk, tambak udang windu dan tambak bandeng umpan.

4.4. Hasil Kegiatan PKL

4.4.1. Teknik Pembenihan Udang

Awal kegiatan dari usaha kegiatan pembenihan udang windu adalah rangkaian pemilihan induk diunit pembenihan. Kegiatan yang dilakukan meliputi : pengaadaaan induk, persiapan bak, ablasi mata, pemeriksaan ovari, pelepasan telur, perawatan benur, serta pemanenan.

4.2.1.1 Pengadaan Induk

Untuk mengadakan induk di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee dalam pembenihan udang windu, induk yang diambil dari hasil penangkapan para nelayan, dengan induk dari alam ketersediaan akan nutrisinya masih lengkap sehingga kita masih memperoleh benur yang baik, ukuran induk yang digunakan berkisar antara 18-29 cm warna yang baik adalah berwarna hitam kecoklatan. Adapun syarat induk yang digunakan adalah di atas 1 tahun, untuk induk betina memiliki berat di atas 150 gram, tidak cacat. Dan sedangkan

(42)

pada induk jantan memiliki berat di atas 70 gram. Induk yang berasal dari perairan yang paling dalam untuk mencegah terjadinya penyakit induk yang baru datang harus dikarantinakan terlebih dahulu. Induk ditampung dalam bak terpisah, sebelum dimasukan ke dalam bak penampungan induk. Induk direndam dalam larutan formalin dengan dosis 1 ml/5 liter selama 2 – 3 menit.

4.2.1.2 Persiapan Bak

Untuk mendukung keberhasilan dalam pembenihan maka harus dilakukan persiapan bak sebaik mungkin, bak harus bersih dari segala bentuk kotoran yang menempel pada bak seperti lumut dan sisa kotoran dari bak yang sudah lama tidak digunakan. Pembersihan bak dilakukan dengan cara menggosok dengan menggunakan sikat dan penggosok lainnya. Untuk mencegah timbulnya penyakit bak direndam dengan larutan kaporit selama 1-2 jam untuk menghilangkan bau kaporit tersebut bak dibilas sampai bersih kemudian keringkan.

Bak yang digunakan di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee untuk kegiatan pembenihan udang windu adalah bak berbentuk persegi empat panjang dengan kapasitas 10 ton yang terbuat dari beton. Untuk bak induk digunakan fiber bulat yang di tempatkan di ruang tertutup kondisi selalu gelap kecuali pada saat pergantian air dan pemberian pakan, bak ini juga dilengkapi dengan pipa paralon untuk pemasukan dan pembuangan air. Pemasangan aerasi selain menyuplai oksigen dalam air juga berfungsi untuk menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan dan mempercepat penguapan gas beracun sebagai proses pembusukan dari sisa pakan dan kotoran hasil metabolisme udang.

(43)

4.2.1.3 Pengisian Air

Setiap kegiatan Pembenihan udang memerlukan air sebagai media hidupnya. Di Balai budidaya Air payau (BBAP) Ujung Batee pengadaan dilakukan dengan memompa air laut dan ditampung pada bak penampungan utama kemudian dialirkan secara gravitasi ke bak filterasi untuk menyaring air sebelum digunakan, setelah penyaringan maka dilakukan pengisian air pada bak pemeliharaan induk maupun pemeliharan larva yaitu dengan cara menyaring air dengan filter bag.

4.2.1.4 Pemijahan Induk

Kegiatan pemijahan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee dilakukan dengan dua cara yaitu : pemijahan secara alami dan ablasi mata. Pemijahan secara alami terjadi di alam, induk-induk dari hasil penangkapan para nelayan yang dibawa ke Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee mayoritas sudah matang gonad. Sehingga dalam kegiatan pemijahan induk-induk yang sudah diseleksi langsung dimasukan ke dalam bak pelepasan telur (konikel tank). Adapun ciri-ciri induk yang sudah matang gonad dapat dilihat seperti tabel di bawah ini:

Tabel 4.1. Tingkat Kematangan Gonad Udang Windu

TKG Bentuk

Tingkat I Ovari terlihat hiata masih kecil

Tingkat II garis ovari sudah mulai nampak menebal dan nampak jelas. Tingkat III Ovari semakin menebal dan

samping kiri dan kanan terbentuk seperti bulan sabit. Tingkat IV Warna transparan menandakan

ovari sudah kosong (telur sudah lepas)

(44)

4.2.1.5 Ablasi Mata

Kegiatan ablasi mata dilakukan pada udang windu betina yang berkulit keras (tidak sedang atau baru moulting) sebab udang yang baru moulting akan mengalami stress jika diablasi.

Ablasi pada mata dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya bisa dengan memotong tangkai mata, membelah dan mengeluarkan isi bola mata, membakar bola mata yaitu dengan cara menusukan ujung soulder pada mata, dan mengikat bola mata. tetapi ablasi yang dilakukan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee dengan cara membelah mata dan mengeluarkan semua isi mata dengan menggunakan silet, dimana induk betina dipegang dengan cara melipat ekornya kearah perut secara perlahan-lahan sehingga induk tersebut tidak mampu berontak lagi. Setelah dilakukan pembelahan mata bekas luka dibersihkan dengan larutan Treflan. Hal ini untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka dan selanjutnya direndam dalam larutan Kalium Permanganate (KMnO) 1-2 ppm selama satu menit. Setelah itu induk betina dimasukan dalam bak pemeliharaan induk dan dipacu dengan pemberian pakan berupa cumi, dan tiram, tujuanya adalah untuk mempercepat proses pematangan gonad pada induk udang tersebut.

Selama pada masa pemeliharaan dilakukan pergantian air sebanyak 70 % per hari yaitu pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Pemberian pakan dilakukan 4 kali dalam satu hari yaitu : pagi hari, siang, sore, dan malam hari.

(45)

4.2.1.6 Pelepasan Telur

Biasanya setelah tujuh hari dilakukan ablasi induk sudah matang gonad, maka dari itu pemeriksaan gonad perlu dilakukan setiap hari setelah hari ketujuh ablasi mata, yaitu dengan cara menggunakan senter yang diarahkan ke bawah sisi tubuh udang dan senter tersebut disorotkan ke atas.

Gambar 4.3. Sampling Tingkat Kematangan Gonag Udang

Setelah didapatkan induk udang yang sudah memasuki TKG ke tiga maka dimasukan ke dalam bak pelepasan telur (konikel tank).

4.2.1.11 Penetasan Dan Perawatan Larva

Telur – telur yang dikeluarkan oleh induknya akan menetas setelah 24 jam, telur yang sudah menetas menjadi nauplius dipindahkan ke bak pemeliharaan larva. Pemanenan nauplius dilakukan dengan cara menyinari bak dengan lampu hingga nauplius berkumpul mendekati cahaya pada lampu tersebut, hal ini disebabkan karena nauplius ini memiliki sifat foto taksis. Setelah itu nauplius langsung disipon atau diseser dan dimasukkan ke baskom yang selanjutnya ditebar ke dalam bak pemeliharan.

4.2.1.12 Aklimatisasi dan Penebaran Nauplius

Sebelum penebaran nauplius maka dilakukan aklimatisasi sebab kondisi air pada saat mengambil nauplius dengan air dalam bak pemeliharaan yang baru tidak mungkin sama baik salinitas, suhu dan pHnya.

(46)

Gambar 4.4. Aklimatisasi Nauplius di Bak Pemeliharaan

4.2.1.13 Pengamatan Kondisi Larva

Pengamatan kondisi larva dilakukan dengan cara mengambil sampel larva dengan menggunakan beaker glass. Secara visual larva dapat diamati dengan aktifitas berenangnya namun untuk lebih detail dalam pengamatan kondisi larva baik itu pertumbuhan dan kesehatannya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop.

(47)

Pengamatan berlangsung setiap kali pemberian pakan, hal ini perlu di amati karena untuk mengetahui sejauh mana perkembangan larva yang dipelihara dan apa langkah selanjutnya bila larva telah berubah stadia.

Hal – hal yang perlu diamati setiap harinya bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan larva saja akan tetapi yang paling penting adalah media dari hidup larva tersebut seperti: kualitas air dan sisa pakan serta kotoran yang ada di dalam wadah pemeliharaan.

4.2.1.10 Pemberian Pakan

Jenis pakan yang diberikan pada larva yaitu pakan alami dan pakan buatan, pakan alami yang diberikan adalah Skeletonema dan Artemia salina. Pemberian pakan diberikan ketika larva memasuki stadium nauplius 6 sampai mysis 3 diberi pakan Skeletonema yang dibarengi dengan penambahan pakan buatan berupa larva Z Plus, larva ZM, Flake, dsb. Sedangkan setelah larva mencapai setadium Post larva pemberian pakan alami berupa Skeletonema diganti dengan pakan alami yang lain yaitu Artemia salina.

2.4.1.1 Pengendalian penyakit.

Upaya pengendalian penyakit dilakukan dengan pencegahan timbulnya penyakit dengan cara pengontrolan kualitas air baik berupa fisik dan kimia air. Selain itu dilakukan penyiponan terhadap endapan pakan dan kotoran hasil

(48)

metabolisme udang tersebut. Pemberian pakan yang baik dan cukup, dengan kualitas pakan yang baik akan mampu meningkatkan daya tahan tubuh udang, hingga udang lebih tahan terhadap serangan patogen. Selain itu juga pemakaian alat – alat yang bersih juga salah satu upaya untuk pengendalian penyakit pada larva udang tersebut.

2.4.1.2 Panen

Panen larva dapat dilakukan apabila larva sudah mencapai PL10, 12, 15 atau tergantung terhadap permintaan konsumen. Namun di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee pemanenan larva dilakukan pada saat larva mencapai PL 15 untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam bak tongkolan untuk pemeliharaan lebih lanjut sebelum konsumen datang untuk membeli benur.

Pemanenan dilakukan dengan cara mengeluarkan air dari bak dengan membuka saluran pembuangan dan dipasang saringan. Sebelumnya baskom – baskom panen harus disiapkan setelah air berkurang sekitar 50% dari volume yang ada. Maka larva yang ada dalam bak pemeliharaan diseser dengan serokan yang halus dan dimasukkan ke dalam baskom – baskom yang sudah siapkan. Setelah itu dilakukan perhitungan dengan takaran dan selanjutnya dilakukan packing.

Sebelum dilakukan proses packing, plastik – plastik harus disiapkan terlebih dahulu dan diisi dengan air yang kadar garam dan suhunya sama dengan wadah pemeliharaan sebelumnya. Setelah itu benur dimasukkan ke dalam plastik packing dan diberi oksigen lalu diikat dengan karet. Setelah itu benur – benur yang telah dipacking siap di bawa oleh konsumen.

(49)

Gambar 4.7. Proses Pemanenan Hingga Packing pada Udang Windu

4.2.2 Budidaya Pakan Alami 4.2.2.1 Penetasan Artemia

Artemia termasuk kedalam filum Arthopoda, kelas Crustacea, ordo Anacostraca dan famili Artemiidae. Artemia dewasa dapat mencapai panjang

antara 1 sampai 2 cm, dengan berat badan 10 mg. Anak artemia yang baru menetas (nauplius instar I) panjangnya sekitar 0,4 mm dan berat sekitar 15 mikrogram. Nauplius instar II panjangnya 0,7 mm. telur yang masih bercangkang berdiameter sekitar 300 mikron dan berat kering sekitar 3,65 mikrogram. Telur yang telah didekapsulasi (dibuang cangkangnya) ukuran garis tengahnya sekitar 210 mikron. Beberapa jenis artemia yang dikenal antara lain, Artemia

fransciscana, A.tunisiana, A.urmiana, A.persimilis, A.monica, A.odessensis, dan

A.partenogenetica.

Penetasan artemia dilakukan dengan menggunakan wadah berbentuk corong (konical tank). apabila jumlah sedikit dapat menggunakan ember. Penetasan kista dapat dilakukan dengan penetasan langsung atau dekapsulasi dengan chlorine. Penetasan langsung dengan cara bak corong diisi air laut dan diaerasi kuat, kemudian kista artemia dimasukkan ke dalam bak. Di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, penetasan kista artemia di lakukan pada bak corong konikel tank dengan kapasitas air 250 liter. Kista yang akan ditetaskan dalam bak corong berkisar antara 150 – 200 gram.

(50)

Agar daya tetasnya baik maka kepadatan kista tidak lebih 2 -5 gram/liter, dengan salinitas air laut 15-35 ppt, suhu 25-28 oC, lama penetasan antara 18-36 jam. Penetasan dekapsulasi yaitu menghilangkan lapisan luar kista dengan menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Proses dekapsulasi sebagai berikut :

− Kista dihidrasi dengan air tawar selama 1-2 jam,

− Kista disaring dengan saringan 120 m dan dicuci bersih,

− Kista dicampur dengan larutan hipoklorit dan diaduk secara manual,

− Suhu dipertahankan < 40 oC. Jika perlu ditambahkan es. Lama proses dekapsulasi 5-15 menit ditandai perubahan warna kista dari coklat menjadi orange.

− Kista dicuci bersih dengan air laut sampai bau hipoklorit hilang.

− Kista ditetaskan, dan setelah menetas naupli Artemia dapat langsung diberikan pada larva.

4.2.2.2 Kultur Skeletonema costatum

Kegiatan budidaya pakan alami yang dilakukan di BBAP Ujung Batee adalah kegiatan kultur untuk skala semi massal. Pada pelaksanaan untuk beberapa jenis pakan alami yang dibudidayakan, khususnya yang diberikan untuk larva udang, mahasiswa tidak mengikuti proses kultur murni yang dilakukan dalam laboratorium.

Skeletonema costatum sangat cepat berkembang, 2-3 hari dari penebaran,

pemanenan sudah dapat dilakukan. Pelaksanaan kultur pakan alami untuk jenis ini penggunaan pupuk Urea tidak diberikan karena dengan penggunaan pupuk Urea puncak blooming akan lebih cepat terjadi dan memungkinkan kematian yang begitu cepat, sehingga pengadaan pakan untuk larva tidak akan mencapai target.

Skeletonema hidup di perairan laut atau pantai dengan kisaran suhu 25-32oC dan kisaran salinitas 28-34 ppt. Faktor pembatas bagi pertumbuhannya selain P dan N ialah unsur Si. Unsur hara yang diperlukan untuk perkembangan Skeletonema adalah N, P, Si, Fe dan unsur mikro lainnya.

(51)

Kunci keberhasilan dalam pelaksanaan budidaya pakan alami adalah menghindari terkontaminasinya plaknton yang kita kultur dengan jenis plankton lain. Apabila terkontaminasi kemungkinan kegagalan kultur akan labih banyak.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Persiapan Lokasi Pembenihan

Pemilihan lokasi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu usaha budidaya, baik itu usaha pembenihan ataupum usaha pembesaran ikan maupun udang. Mencari lokasi yang cocok untuk usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum membangun suatu unit usaha pembenihan atau heatchery. Sebab, tanpa lokasi yang cocok, tiada mungkin usaha pembenihan dapat berjalan dengan lancar. Ada saja kendala yang muncul seperti, kurangnya air bersih, sarana pengangkutan sulit (transportasi), benih terserang penyakit dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemilihan lokasi usaha pembenihan harus dilakukan dengan cermat dan teliti.

Dalam memilih lokasi pembenihan baik udang maupun ikan yang ideal tidaklah sembarang, karena ini menyangkut dengan uang dan kelangsungan usaha yang akan dijalankan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi untuk unit pembenihan udang maupun ikan diantaranya:

4.3.1.1. Aspek Sosial Ekonomi

Dari aspek sosial ekonomi usaha pembenihan haruslah menguntungkan tanpa harus mengesampingkan lingkungan sekitar (aspek sosial), maksudnya walaupun usaha pembenihan ini menguntungkan, namun harus dijaga agar masyarakat sekitarnya tidak merasa dirugikan akibat pembuangan dari air limbah hasil budidaya. Untuk itu ada beberapa aspek ekonomi dan sosial yang harus diperhatikan:

- Dekat dengan pantai

- Dekat dengan daerah pengembangan budidaya tambak - Dekat dengan jaringan listrik Negara (PLN)

(52)

- Dekat dengan perkampungan, namun tidak berada ditengah–tengah lingkup perumahan penduduk.

4.3.1.2 Aspek Teknis

Aspek teknis yang dominan memperangaruhi adalah faktor iklim, yaitu angin dan curah hujan. Pada daerah yang kecepatan anginnya tinggi suhu air dan media cenderung rendah dan cepat kotor akibat kotoran yang terbawa angin.

Curah hujan juga dapat mempengeruhi kelancaran operasional pemeliharaan. Curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi salinitas air media dalam bak kultur pakan alami yang berada di luar bangunan heatchery. Dengan demikian, memilih daerah yang frekuensi curah hujannya rendah dan terlindung dari angin kencang merupakan langkah yang bijaksana.

Letak Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sangat cocok untuk lokasi Pembenihan Udang Windu apabila ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan teknis. Karena letak lokasi yang dekat dengan pantai, dekat dengan daerah pengembangan tambak, dekat dengan Jaringan Listrik Negara (PLN), dekat dengan pemukiman penduduk serta tersedianya sarana transportasi juga memiliki iklim yang baik.

4.3.2 Fasilitas dan Peralatan Pembenihan

Hasil pembenihan udang windu yang memuaskan akan diperoleh bila ditunjang oleh sarana yang komplit mulai dari bangunan (heatchery), bak, sarana aerasi dan sarana pembenihan lainnya. Pada Unit BBAP Ujung Batee fasilitas yang tersedia cukup memadai untuk kegiatan pembenihan baik udang maupun ikan.

4.3.3 Persiapan Kegiatan Pembenihan

Sukses tidaknya usaha pembenihan ditentukan oleh beberapa perlakuan. Mulai dari persiapan, penyediaan dan pemberian pakan, pengelolaaan kualitas air, serta pengamatan harian. Usaha ini akan berjalan lancar bila pembenih tekun dan teliti serta didukung oleh sarana yang memadai. Dalam merawat induk maupun larva harus serius dan hati – hati agar organisme yang ditebar tetap sehat dan tumbuh baik.

Gambar

Gambar 2.2. Karakteristik Udang Windu
Gambar 2.3. Proses Perkawinan Pada Udang
Gambar 2.4. Skema pembelahan sel pada Skeletonema                      costatum
Table 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Praktek Kerja Lapang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ektoparasit benih udang windu (Penaeus monodon)..

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji dinamika plankton pada budidaya udang windu ( Penaeus monodon ) semi intensif di tambak beton. Penelitian dilakukan

Permintaan akan komoditas udang windu yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi terutama pada era booming udang windu mendorong pembudidaya memacu

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen pembenihan Ikan klon (amphiprionperculla)di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut

Teknik Pemeliharaan Induk Udang Galah ( Macrobranchium rosenbergii ) di Instalasi Budidaya Air Payau Desa Sukabumi Kecamatan Mayangan Kabupaten Probolinggo - Jawa

Penelitian dari berbagai aspek budidaya untuk jenis-jenis cacing laut yang lain, yang dimanfaatkan di pembenihan udang di masing-masing daerah masih sangat diperlukan

Kegiatan pembenihan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) meliputi pengelolaan induk, perawatan telur, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi mata, pemijahan,

4.4 Prosedur Kerja Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada pembenihan ikan lele sangkuriang Clarias gariepinus di Pusat Pembenihan Ikan Kerasaan UPTD Budidaya Ikan Air Payau dan Laut