• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM SIMPAN PINJAM PEREMPUAN DI DESA WINUMURU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM SIMPAN PINJAM PEREMPUAN DI DESA WINUMURU"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM SIMPAN PINJAM PEREMPUAN DI DESA WINUMURU

6.1.Profil Kelompok SPP di Desa Winumuru Jejak Yang Tidak Ditemukan

Cuaca mendung mengiringi perjalanan peneliti untuk menemui dua orang informan kunci setelah membuat janji hari kemaren. Sabtu 21 September 2013, di pagi itu ada sebuah harapan untuk mendapatkan data soal informasi yang berkembang simpang-siur tentang keberadaan kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di desa ini. Informasi awal yang berkembang menunjukan bahwa ada 3 (tiga) kelompok SPP di Winumuru, namun hasil observasi yang peneliti lakukan hanya ada 2 (dua) kelompok SPP yang “aktif” melakukan kegiatannya. Berbekal informasi ini, peneliti kemudian menemui bapak Leri selaku Fasilitator Kecamatan (FK) dan bapak Tamu Ama Yiwa Marumata selaku Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK), keduanya bertempat tinggal di Kananggar.

Keputusan peneliti untuk bertemu dengan kedua tokoh “sentral” PNPM Mandiri perdesaan di yang membawahi kegiatan di desa Winumuru dilatar belakangi oleh hasil wawancara dengan kepala desa Winumuru, bapak Mata Yiwa, tanggal 18 September 2013. Pada intinya kepala desa mengatakan bahwa: “Di desa Wimunuru terdapat tiga kelompok SPP, yaitu: kelompok Paluanda Lama Hammu, kelompok Hahanung Pahamu, dan kelompok Tahamemu Hammu Duang.Yang menjadi ketua dari kelompok Paluanda Lama Hamu adalah Agustina Pekuwali, dengan bendahara Frederika Tamu Ina; dan kelompok Tahamemu Hamuduang dengan ketua Marta Konda Nguna, dan bendahara Hada Hudang. Untuk kelompok Hahanung Pahamu saya tidak tau nama ketua dan termasuk siapa anggota kelompoknya.”1

Pernyataan kepala desa Winumuru tersebut tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana mungkin beliau tidak tahu-menahu soal kelompok SPP Hahanung Pahamahu? Beberapa pertanyaan lanjutan peneliti ajukan untuk “memancing” informasi lebih soal ini, namun beliau tetap mengatakan “tidak tahu”. Berbekal informasi ini muncul keinginan untuk mengkonfirmasikannya kepada Fasilitator Kecamatan dan ketua UPK di Kananggar.

1

Yang menarik adalah kepala desa mampu menyebutkan dengan tepat pengurus dan anggota dua kelompok lain, namun untuk kelompok Hahanung Pahamu beliau dengan tegas mengatakan tidak mengetahui pengurus dan anggota kelompok ini, aneh memang.

(2)

Wawancara dengan bapak Leri sebagai FK ternyata juga tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Beliau hanya menjelaskan tentang tahun berdirinya ketiga kelompok SPP tersebut, tanpa bisa menjelaskan lebih lanjut soal anggota-anggota kelompok ini. Pada intinya pak Leri mengatakan: “Di Wimunuru ada tiga kelompok SPP, yaitu: kelompok Paluanda Lamahamu dibentuk 2011, sedangkan kelompok Tahamemu Hamuduang dan Hahanung Pahammu dibentuk tahun 2013.”2

Hal yang sama juga disampai oleh ketua UPK bahwa “terdapat tiga kelompok SPP di desa Winumuru, yaitu: kelompok Paluanda Lamahamu dibentuk 2011,sedangkan kelompok Tahamemu Hamuduang dan Hahanung Pahammu dibentuk tahun 2013”. Namun kedua “tokoh sentral” PNPM ini juga tidak mampu menjelaskan pengurus dan anggota kelompok Hahanung

Pahamu. Peneliti sudah mencoba untuk meminta dokumen atau proposal dari ketiga kelompok

SPP tersebut, namun tidak diberikan oleh pak Leri juga bapak ketua UPK. Bapak ketua UPK yang “dikejar” dengan beberapa pertanyaan lepas oleh peneliti hanya mampu menjawab dan menjelaskan nama-nama anggota kedua kelompok lainnya, beliau mengatakan bahwa kedua kelompok yang beliau ketahui adalah: “Kelompok Paluanda Lamahamu, adalah: Agustina Pekuwali (Ketua), Frederika Tamu Ina (Bendahara),Erna Maramba Meha (Anggota)Kuanga Naha (Anggota), Elisabeth Rambu Ipu (Anggota), Mardiana Yaku Nanga (Anggota), Danga Ata Dewa (Anggota), Arina Ata Hau (Anggota)Ngaji Kamunggul (Anggota), Anahamu Konga Naha (Anggota); sedangkan Kelompok Tahamemu Hamuduang adalah: Marta Konda Nguna (Ketua), Hada Hudang (Bendahara), Vina Kahi Timba (anggota), Rina Ata Hawu (anggota), Kristiani Tamu Apu (anggota), Ima Hana Yowa(anggota), Sarce Ana Mbabang (anggota), Mina Rambu Tamar (anggota), Erlika Rambu Mburu (anggota), Kahi Ana Awa (anggota).”3

Antara ada dan tiada! Mungkin itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keberadaan kelompok SPP Hahanung Pahamu di desa Winumuru. Beberapa informan kunci dari kedua kelompok lainnya coba “didekati” untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan “kelompok siluman” ini namun hasilnya sama saja–tidak ada yang mau menjawab. Kebingungan itu membuat peneliti untuk berhenti mencari tahu tentang kelompok Hahanung Pahamu, karena penelitian harus dilanjutkan. Walaupun demikian, satu pertanyaan yang tersisa soal ini adalah, mengapa dalam Laporan Pengembalian Pinjaman SPP, Program Pengembangan Kecamatan

2

Wawancara tanggal 21 September 2013

(3)

(PPK) periode Agustus 20134, nama kelompok yang muncul dalam laporan itu adalah Hahanung

Pahamu dan Paluanda Lamahamu sedangkan kelompok TahamemuHamuduang malah tidak ada

dalam laporan tersebut? Baik kepala desa, fasilotator kecamatan, maupun ketua UPK tidak mau meberikan komentar soal ini. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sistem administrasi PNPM Mandiri Perdesaan khususnya SPP di desa Winumuru sangat memprihatinkan.

6.1.1. Kelompok Paluanda Lamahamu

Seperti dijelaskan oleh Fasilitator Kecamatan, bahwa kelompok ini dibentuk pada tahun 2011, diketuai oleh Agustina Pekuwali, yang juga adalah isteri kepala desa Winumuru. Jumlah keseluruhan anggota kelompok ini adalah 10 (sepuluh) orang. Sebelum menjadi anggota kelompok SPP, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebagaian besar dari mereka adalah ibu rumah tangga yang belum memiliki usaha.Keikutsertaan mereka dalam SPP adalah untuk mendapatkan dana dan berusaha membantu ekonomi keluarga. Hasil wawancara dengan para anggota kelompok Paluanda Lamahumu menunjukan bahwa masing-masing dari mereka mendapatkan pinjaman dana SPP sebesar Rp 1.000.000, dengan demikian, maka asumsinya adalah alokasi dana pinjaman untuk kelompok ini adalah Rp. 10.000.000.

Nama kelompok dan jenis usaha dapat dilihat pada tabel di bahwa ini:

Tabel 6.1

Nama Anggota Kelompok Paluanda Lamahamu dan Jenis Usaha No Nama Anggota Jenis Usaha

Sebelum SPP Sesudah SPP

1 Agustina Pekuwali IRT (punya kios) Jualan barang di kios 2 Ngaji Kamunggul Ibu Rumah Tangga

(IRT)

Jualan di Pasar Taradisional

3 Kuanga Naha IRT Beternak Babi (usaha

suami)

4 Mardiana Yaku IRT Buka Kios

(4)

Danga

5 Frederika Tamu Ina IRT Buka Kios 6 Erna Maramba

Meha

IRT buka kios

7 Ariana Ata Hawu IRT Beternak Babi 8 Anahamu Konga

Naha

IRT Beternak Ayam

9 Elisabeth Rambu Ipu

IRT dan Jualan Sayur Buka kios

10 Danga Ata Dewa Jualan di Pasar Jualan Di pasar tradisional.

Sumber: Data Primer, diolah

Berdasarkan tabel di atas, jenis usaha yang sangat diminati oleh kelompok SPP adalah berjualan, baik dengan membuka kios di rumahnya maupun dengan berjualan di pasar tradisional. Hanya tiga orang anggota yang jenis usahanya berbeda (beternak ayam dan babi) dengan mayoritas anggota lainnya.

Selain itu, anggota yang memiliki jenis usaha beternak ayam dan babi adalah usaha yang sudah ada, dimiliki atau dikelola suami mereka. Hasil pinjaman dana SPP kemudian digunakan sebagai modal yang membantu usaha suami. Seperti dikatakan oleh Anahamu Konga Naha, bahwa: “Awalnya saya tidak punya usaha apa-apa, hanya di rumah kerja pekerjaan rumah tangga.Setelah adanya SPP, saya sendiri yang omong sama suami sebelum dapat uang pinjaman dari SPP PNPM, saya cerita sama suami mulai tentang program SPP itu sendiri sampai sistem pembayaran bunga setiap bulan.Setelah dapat uang pinjaman dari SPP PNPM saya dan suami beli ayam beberapa ekor di tetangga dan di Paranggang Tatunggu juga Paranggang Nggongi untuk di piara dan kalau sudah besar kami jual ayam, sisanya saya simpan buat beli makanan ayam (jagung dan padi), dan juga untuk makan sehari-hari.”

Sama seperti yang dikatakan Ariana Ata Hawu, bahwa: “saya tidak punya usaha apa-apa, saya hanya kerja pekerjaan rumah tangga saja, kalau pas kerja kebun baru saya ikut bantu suami.Setelah adanya SPP saya jadi ingin ikut, jadi saya jelaskan ke suami dan anak-anak saya tentang program Simpan Pinjam Perempuan, jumlah dana yang saya dapat, bunga pinjaman, sistem pembayaran bunga pinjaman (angsuran), dan terakhir baru saya bilang saya mau pinjam

(5)

uang buat tambah modal. Dan mereka semua setuju.Waktu dapat uang pinjaman dari SPP PNPM itu uang saya langsung pakai buat beli anak babi yang umur 6 bulan dan pa’u untuk dicampur dengan batang pisang yang ditumbuk supaya kasih makan babi. Untuk pencatatan pas beli babi dan beli pa’u saya tulis dalam buku catatan supaya saya bisa tau pengeluaran untuk beli makanan.”

Dalam proses pengajuan pinjaman SPP yang dilakukan oleh para isteri selalu terlebih dulu berdiskusi atau meminta pendapat suami. Bagi peneliti proses meminta pendapat suami menunjukan dua hal penting: pertama, dalam masyarakat yang “kental” dengan budaya patriarki, posisi laki-laki (suami) sebagai pengambil keputusan dalam keluarga masih merupakan hal “yang tabu” untuk dilanggar oleh perempuan (para isteri). Meminta pendapat suami adalah hal yang wajar dan tidak masalah, yang menjadi masalah adalah apabila dalam “diskusi” tersebut suami menjadi sangat dominan dalam mempengaruhi sang istri, dan indikasi seperti itu selalu ada dalam masyarakat partiakal; kedua, bahwa belum ada kesadaran yang cukup dari para isteri untuk melakukan usaha menuju kemandirian tanpa meminta bantuan dan bimbingan para suami. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kesadaran para istri untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan dilakukannya belum terlalu muncul kepermukaan dalam berhadapan dengan suaminya sendiri.

6.1.2. Kelompok Tahamemu Hamuduang

Kelompok ini, sesuai dengan hasil wawancara dengan fasilitator kecamatan, dibentuk pada tahun 2013. Ada yang kontradiktif dalam pelaporan pengembealian pinjaman SPP periode Agustus 2013, sebab nama kelompok ini tidak ada dalam laporan tersebut, yang ada dan terdaftar dengan parihal dalam laporan itu hanyalah “kelompok siluman”5 dan kelompok Paluanda Lamahamu. Namun sekalipun tidak terdaftar dalam laporan pengembalian SPP tersebut, pengurus dan anggota kelompok Tahamemu Hamuduang ada di desa Winumuru, dan ketika para anggotanya diwawancarai mereka mengatakan bahwa mendapat pinjaman masing-masing Rp. 1.000.000, untuk membantu kelancaran usaha yang mereka geluti. Dengan demikian, maka dana guliran SPP yang diterima oleh kelompok ini adalah Rp. 10.000.000, yang dipinjamkan secara merata bagi setiap anggota kelompok.

5

Yang peneliti maksudkan dengan “kelompok siluman” adalah kelompok Hahanung Pahamu. Kelompok ini tidak bisa dijelaskan baik oleh Kepala Desa, FK maupun ketua UPK, sekalipun dalam wawancara tentang nama kelompok dan tahun berdirinya mereka menyebutkan adanya tiga kelompok.

(6)

Kelompok Tahamemu Hamuduang dipimpin atau diketuai oleh Marta Konda Ngguna, dalam silsilah keluarga, Marta Konda Ngguna masih merupakan kerabat ibu Agustina Pekuwali. Mungkin hal ini wajar saja sebab yang namanya tinggal dalam satu desa, tatanan kekerabatan dan kekeluargaan merupakan kekuatan yang dipakai dalam menjadi solidaritas masyarakat. Bahwa dengan solidaritas seperti ini pula peneliti kesulitan dalam mencari dan mendapatkan informasi guna mengungkap keberadaan kelompok yang peneliti identifikasi sebagai “kelompok siluman” di atas.

Anggota kelompok Tahamemu Hamuduang berjumlah 10 (sepuluh) orang, sudah termasuk ketua dan bendahara. Ini berarti terdapat 20 orang anggota SPP di desa Winumuru. Jenis usaha yang dilakukan oleh anggota kelompok Tahamemu Hamuduang tidak jauh berbeda dengan kelompok sebelumnya, atau dengan kata lain terdapat keseragaman jenis usaha kedua kelompok SPP ini. Untuk lebih jelas jenis nama anggota kelompok dan jenis usaha yang dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.2

Nama Anggota Tahamemu Hamuduang dan Jenis Usaha Yang Dilakukan

No Nama Anggota Jenis Usaha

Sebelum SPP Sesudah SPP

1 Marta Konda Ngguna (ketua)

IRT, punya kios Buka Kios

2 Ima Hana Yowa IRT Jualan di Pasar Tradisional 3 Erlika Rambu Mburu IRT, memelihara ayam

tapi tidak dijual

Beternak ayam

4 Hada Hudang bajual barang kios,

5 Kahi Ana Awa IRT, jual pisang Buka kios

6 KristianiTamu Apu IRT Buka Kios

7 Mina Rambu Tamar IRT Beternak Babi

8 Rina Ata Hawu IRT Beternak Babi

9 Sarce Ana Mbabang IRT, menanam sayur dijual ke tetangga

Jualan dipasr Tradisional

10 Vina Kahi Timba IRT Buka kios

(7)

Seperti pinang dibelah dua! Mungkin itulah kata-kata yang tepat untuk mendiskripsikan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompok ini ketika memperbandingkan jenis usaha antara kedua kolompok SPP yang ada di desa Winumuru. Hasil observasi dan wawancara menunjukan adanya kesamaan atau kemiripan baik hal yang melatar belakangi mereka untuk ikut SPP maupun jenis usaha yang dilakukan antara anggota kedua kelompok tersebut. Beberapa kemiripan tersebut adalah: pertama, hampir setiap anggota kelompok sebelum menjadi anggota SPP, mereka adalah Ibu Rumah Tangga (IRT), kedua, setelah menjadi anggota SPP jenis usahanya sama, yakni berjualan baik membuka kios maupun berjualan di pasar tradisional dan beternak, ketiga, hampir semua dari mereka selalu meminta pendapat suami sebelum meminjam dana SPP, dan keempat, sebagian dari mereka dengan dana SPP yang dipinjam hanya untuk melanjutkan usaha suami.

Dengan demikian, berdasarkan data (tabel 6.2) di atas, dapat disimpulkan bahwa pada level anggota SPP belum muncul kreativitas lain dari para ibu (isteri) yang tergabung dalam kelompok SPP untuk berupaya mengembangkan jenis usaha mereka yang berbeda dengan usaha yang sudah dilakukan oleh anggota kelompok lain. Dalam konteks seperti ini, tuntutan bagi fasilitator kecamatan, ketua UPK dan juga pengurus PNPM Mandiri di Kecamatan Paberiwai adalah untuk setidaknya lebih berperan dalam memberdayakan anggota SPP dalam mengembangkan variasi jenis usaha dan tidak terpaku (atau mengcoppy paste) jenis usaha yang telah dilakukan anggota kelompok lain. Apalagi dana tersebut fungsinya adalah dana guliran, maka jenis usaha yang sama dalam satu desa mengakibatkan persaingan usaha menjadi tidak sehat, dan pengembalian dana menjadi terhambat.

Kalau dicermati dengan baik, maka jenis usaha SPP yang dilakukan oleh para anggotanya adalah seragam, yakni: membuka kios, berjualan di pasar, dan beternak ayam dan babi. Bahkan dana yang dipinjam anggota (isteri) terkadang tidak digunakan sendiri oleh anggota untuk membuka usaha, tetapi berbagi dengan suami mereka. Seperti yang dikatkan oleh Kristiani Tamu Apu, bahwa: “Saya hanya kerja kebun dan setiap hari siap makan kasih suami.Saya diskusi dengan suami pada saat mau pinjam uang SPP PNPM dan suami setuju dengan syarat uang pinjaman itu nanti dia yang kelola.Waktu dapat dana pinjaman dari SPP PNPM, suami langsung minta untuk dia yang pegang itu uang dan dia yang kelola, dia pakai bisnis kutlak. Dan sebagian dia kasih saya untuk beli barang kios, barang kios pertama yang saya beli waktu itu hanya gula pasir, kopi, daun teh dengan rokok, karena uang pinjaman yang dikasih juga sedikit sekali.”

(8)

Bukan Cuma Kristiani Tamu Apu yang menjadi “korban” suami dalam dana yang dipinjamnya dari SPP PNPM, Erlika Rambu Mburu juga bernasib sama. Dana pinjaman dari SPP malah digunakan oleh suaminya untuk melanjutkan usaha peternakan ayam “kecil-kecilan”. Dalam wawancara, Erlike Rambu Mburu mengatakan: “Sebelum masuk jadi anggota SPP, saya sudah piara ayam juga, tapi tidak saya jual karena kalau pas ada keluarga yang datang bertamu saya potong untuk makan sudah, jumlahnya juga tidak sebanyak waktu saya sudah dapat dana pinjaman dari PNPM.Setelah bertanya ke suami terus dia kasih izin saya pinjam. Waktu dapat uang pinjaman suami yang pegang itu uang dan dia pakai beli ayam untuk di piara, ayam jantan 10 ekor ayam betina 10ekor karena harganya masih 30ribu satu ekor waktu itu, sisa uang suami yang simpan dia bilang pakai beli padi dan jagung kasih makan ayam, saya ikut-ikut saja dan saya hanya tukang bantu kasih makan ayam saja. Yang tukang tulis untuk laporan ke pengurus PNPM juga suami sendiri.”

Dalam konteks dan realitas seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa isteri dimanfaatkan suami, sekalipun para isteri (anggota) mengatakan bahwa “ada diskusi” dengan suami. Namun, diskusi yang terjadi berdasarkan penuturan mereka dapat dikatakan juga bahwa suami memang benar-benar berperan penting dalam menentukan apa yang harus dilakukan oleh isterinya yang adalah anggota kelompok. Jika konteksnya seperti ini, maka mungkin perlu diusulkan adanya Simpan Pinjam Laki-Laki (SPL), agar para isteri tidak dimanfaatkan oleh suami mereka.

Mengenai jumlah dana SPP yang teralokasikan kepada kelompok SPP di desa Winumuru, jika menggunakan data hasil wawancara dengan anggota SPP maka kesimpulan yang bisa diambil adalah dana SPP yang ada di Wimunuru adalah sebesar Rp. 20.000.000, dengan asumsi setiap anggota meminjam Rp. 1.000.000. Namun demikian, hasil wawancara dengan Fasilitator Kecamatan dan ketua Unit Pengelolaan Kegiatan menunjukan adanya kontradiktif atau masalah tentang dana bergulir SPP di desa ini. Kedua tokoh “sentral” PNPM Mandiri di Kecamatan Paberiwai ini dengan jelas mengatakan bahwa “dana SPP yang dialokasikan bagi kelompok SPP di desa Winimuru adalah sebesar Rp. 30.000.000 untuk 3 (tiga) kelompok yang ada”.

Masalahnya adalah kalau ada 1 (satu) kelompok yang tidak jelas keberadaaanya, maka dana sebesar Rp. 10.000.000., lagi dikemanakan atau ada dimana? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak pernah terungkap seiring dengan tidak terungkapnya keberadaan kelompok Hahanung

(9)

6.2.Partisipasi Perempuan Dalam Pengelolaan Dana SPP pada Aras Kelompok

6.2.1. Pemetaan Partisipasi dalam Sosialisasi, Akses, dan Kontrol Program SPP PNPM

Pertimbangan menggabungkan topik ini karena hasil penelitian menunjukan bahwa partisipasi perempuan dalam program SPP hanya terjadi pada saat sosialisasi, sedangkan dalam hal akses dan kontrol tingkat partisipasi perempuan (anggota SPP) tidak ada. Dalam hal sosialisasi juga keterlibatan dan memberi ide atau usulan hampir tidak ada, yang terjadi adalah calon anggota di undang dan diberi waktu untuk mendengarkan sosialisasi yang dibawakan oleh FK dan UPK, kemudian diseleksi dan masuk dalam anggota kelompok SPP yang sebenarnya sudah ada, atau sudah terbentuk sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam hal partisipasi atau keterlibatan para anggota dalam sosialisasi progam SPP PNPM cukup tinggi, setidaknya semua informan (anggota kelompok SPP) yang berjumlah 20 orang mengatakan bahwa bahwa mereka mengikuti proses sosialisasi yang dilakukan oleh petugas PNPM lewat pemerintah desa Winumuru, dikantor desa. Perbedaannya terletak pada sumber informasi yang mereka terima tentang adanya sosialisasi SPP-PNPM tersebut. Pola penyampaian informasi dilakukan lewat “mulut ke mulut” dan tidak ada undangan resmi dari yang berwenang melakukan sosialisasi tersebut.

Pola penyampaian informasi tentang sosialisasi SPP seperti ini, memang efektif pada tingkat desa, namun akan menjadi tidak efektif jika tidak memperhatikan luas desa dan jumlah penduduknya. Untuk memperkuat argumentasi bahwa semua anggota mengikuti sosialisasi, hasil wawancara dengan anggota SPP dirigkas dan ditampilkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.3

Alasan Keikutsertaan Anggota SPP Dalam Sosialisasi No Nama

Anggota

Partisipasi dalam Sosialisasi Kesimpulan Peneliti

1 Agustina Pekuwali

Iya saya ikut terlibat umbu, karena pada waktu bapak sekretaris desa ada datang kasih tahu saya untuk datang ke balai desa jam 9 besok dia bilang ada sosialisasi dari pengurus PNPM kecamatan dan mereka mau kasih pinjam uang buat perempuan katanya. Jadi besoknya saya

 Ikut terlibat atas undangan sekdes.  Seleksi dan

bentuk 3 kelompok karena dana

(10)

dengan ibu-ibu yang dapat undangan datang ke kantor desa jam 9pagi dan sampai di kantor fasilitator kecamatan(FK) ternyata belum datang setengah jam kemudian baru mereka datang dan sampe dengan sampe mereka langsung perkenalan dan langsung jelaskan kalau sekarang ada program Simpan Pinjam Perempuan, dan untuk perempuan saja, setelah omong panjang lebar tentang program SPP itu kami di suruh daftar program ini perempuan membentuk kelompok terus nanti mengajukan nama kelompok ke kecamatan untuk di seleksi lewat wawancara apa perempuan yang tergabung dalam kelompok betul-betul warga KK miskin atau tidak, setelah itu mereka kasih tahu saya bahwa jumlah pinjaman untuk perempuan 30 juta jadi kami membentuk 3 kelompok dimana masing-masing kelompok ada 10 orang. Jadi masing-masing dapat pinjaman 1 juta rupiah per orang.

perkelompok 10juta.

2 Frederika Tamu Ina

Iya saya ikut karena waktu itu bapak sekdes kasih tahu saya dan beberapa teman ibu-ibu untuk ikut sosialisasi di kantor desa, 1 minggu depan hari senin jam 9, menurut pak sekdes ada simpan pinjam khusus untuk perempuan, dan hanya perempuan saja yang boleh dapat pinjaman dana itu, nama programnya Simpan Pinjam Perempuan PNPM katanya, minggu depannya saya langsung ke kantor desa, disana kami masih tunggu pengurus PNPM sekitar 1jam baru mereka datang dari

 Ikut atas undangan sekretaris desa.  Seleksi sebelum dapat pinjaman dana dari SPP PNPM.

(11)

kananggar,setelah mereka datang mereka perkenalan dan langsung ksih sosialisasi, dan setelah itu minggu depannya mereka datang lagi untuk seleksi, karena mereka bilang dana pinjaman SPP ini memang khusus untuk keluarga miskin dan khusus untuk perempuan. 3 Elisabeth

Rambu Ipu

Iya saya ikut sosialisasi adi, karena 1 hari sebelum sosialisasi opas desa datang dirumah kasih tahu saya untuk ke balai desa besok jam 09.00pagi katanya karena ada sosialisasi dari pengurus PNPM kecamatan dan mereka mau kasih pinjam uang buat perempuan katanya. saya langsung tanya sama suami,boleh tidak ikut, waktu itu suami saya kasih ijin jadi besoknya saya pergi ke kantor desa jam 9pagi dan sampai di kantor ternyata banyak teman ibu-ibu juga yang datang dan mereka cerita kalau bapak sekdes yang kasih tahu mereka juga, sampe jam 09.00pagi fasilitator kecamatan(FK) belum datang 30menit kemudian baru FK datang dan sampe dengan sampe mereka langsung perkenalan dan langsung jelaskan kalau sekarang ada program simpan pinjam perempuan, dan untuk perempuan saja, kami di seleksi dan setelah lolos kami di suruh daftar jadi anggota kelompok saya daftar untuk jadi anggota kelompok Paluanda Lamahamu.

 Terlibat sebagai peserta

 Diundang pemerintah melalui opas desa  Atas ijin sama

suami.  Seleksi sebelum jadi anggota penerima dana SPP. 4 Erna Maramba Meha

Iya saya ikut sosialisasi, waktu itu bapak sekdes datang kasih tahu saya untuk ke balai desa nanti katanya karena ada sosialisasi dari pengurus

 Ikut sosialisasi sebagai peserta  Diundang

(12)

PNPM kecamatan tentang Simpan Pinjam Perempuan. Selesai pak FK jelaskan mengenai program Simpan Pinjam Perempuan kami di seleksi karena yang boleh dapat dana Simpan Pinjam harus keluarga yang memang benar-benar miskin, setelah di seleksi baru mereka kasih tahu jumlah dana yang mereka kasih itu ada 30juta jadi bagi 10juta per kelompok.

sekretaris desa.  Seleksi sebelum jadi anggota penerima dana SPP PNPM.  Dana SPP 30juta dibagi perkelompok 10juta. 5 Arina Ata Hawu

Iya saya ikut sosialisasi, karena pas hari minggu dan pulang gereja bapak sekdes kasih tahu saya untuk ikut ke balai desa karena ada sosialisasi dari pengurus PNPM kecamatan tentang program Simpan Pinjam Perempuan PNPM dan mereka prioritaskan keluarga yang di lihat kurang mampu untuk di kasih pinjam uang. Pulang dari gereja saya cerita ke suami saya, dan saya minta ijin untuk ikut, suami saya kasih ijin, fasilitator kecamatan (FK) datang langsung perkenalan dan jelaskan kalau sekarang ada program simpan pinjam perempuan, kami diseleksi lewat wawancara dengan FK dan ketua UPK dan yang lolos seleksi disuruh masuk dalam anggota kelompok yang sudah ada dan mereka kasih informasi besar dana Simpan Pinjam ada 30juta setiap kelompok dapat 10juta.

 Ikut sebagai peserta.

 Diundang oleh pak sekdes saat pulang gereja.  Atas ijin suami.  Seleksi lewat wawancara  Dana SPP 30juta, perkelompok dapat 10juta. 6 Mardiana Yaku Danga

Ya, saya ikut waktu itu bapak sekretaris desa datang dirumah undang saya untuk ikut sosialisasi, dan pas saya dan saya punya suami ada dirumah jadi suami bilang ikut saja, jadi

 Ikut sebagai peserta.

 Diundang oleh pak sekdes.

(13)

saya ikut sosialisasi waktu itu. Yang datang kasih materi sosialisasi waktu itu bapak Fasilitator Kecamatan sendiri dari kananggar sama-sama dengan pak UPK. kami di wawancara yang lolos baru bisa masuk dalam kelompok dan nanti tunggu pencairan, setelah pencairan bendahara UPK langsung kasih uang dikasih sama bendahara kelompok dan bendahara kelompok nanti yang bagi ke kami.

 Seleksi lewat wawancara.  Izin suami

7 Konga Naha Iya saya ikut sosialisasi karena kebetulan waktu pulang dari kerja bakti bersihkan jalan desa pak sekdes langsung omong dengan saya, dia undang saya untuk ikut acara sosialisasi nanti dibalai desa, karena mau ada sosialisasi program simpan pinjam perempuan.Saya waktu itu minta pak sekdes omong langsung sama saya punya suami juga supaya saya punyan suami kasih ijin saya untuku ikut sosialisasi, dan saya punya suami kasih ijin juga ternyata, akhirnya saya ikut sosialisasi pas sosialisasi pak FK sama pak UPK jelaskan tentang program SPP PNPM dan juga tentang sistem pembayaran bunga pinjaman. Kami di mintauntuk bentuk 3 kelompok waktu itu karena dana yang kami dapat 30juta dan per kelompok dapat 10juta.

 Ikut sebagai peserta.

 Diundang oleh pak sekdes saat kerja bakti di desa.

 Diminta untuk bentuk 3 kelompok karena dana yang akan kami terima 30juta, dan peranggota 10juta.  Izin suami 8 Anahamu Konga Naha

Iya saya ikut sosialisasi, karena bapak sekdes datang dirumah untuk undang ikut sosialisasi, pas bapak sekdes datang undang saya punya suami juga ada dirumah jadi saya punya tidak jelaskan ulang lagi sama saya punya suami,

 Ikut sebagai peserta.

 Diundang oleh pak sekdes.  Atas ijin suami.

(14)

saya hanya tinggal minta ijin untuk ikut sosialisasi, saya punya suami waktu itu langsung kasih ijin sama saya, saya langsung ikut, sampai dib alai desa pak FK dan pak UPK omong soal simpan pinjam perempuan mulai dari sistem pinjam sampai pembayaran bunga pinjaman dan mereka bilang jumlah dana yang akan kami dapat 10juta perkelompok.

 Dikasih

informasi jumlah dana yang akan diterima 10juta perkelompok.

9 Danga Ata Dewa

Iya saya ikut sosialisasi, karena sebelumnya sekdes kasih tau saya pas ketemu dipasar tatunggu hari kamis untuk ke balai desa katanya karena ada sosialisasi dari pengurus PNPM kecamatan dan mereka mau kasih pinjam uang buat perempuan katanya. saya minta ijin sama suami untuk ikut sosialisasi, pas sosialisasi pak FK dan bapak UPK yang jelaskan kalau sekarang ada program simpan pinjam perempuan, kami langsung di minta bentuk 3 kelompok waktu itu, dan mereka bilang kalau dana yang kami terima perkelompok itu ada 10juta/kelompok.

 Ikut sebagai peserta.

 Diundang oleh pak sekdes saat bertemu dipasar.  Izin suami

 Di minta bentuk 3 kelompok untuk terima dana 10juta per kelompok.

10 Ngaji Kamunggul

Sekdes datang pagi-pagi di rumah dan undang ke kantor desa, sebelum saya ikut sosilisasi saya coba omong baik-baik dengan suami dulu dan minta ijin sama dia. Sampai di kantor desa ada petugas dari kecamatan yang menjelaskan kalau sekarang ada program simpan pinjam perempuan. Kami langsung diminta membentuk kelompok terus nanti mengajukan nama kelompok ke kecamatan untuk di periksa apa perempuan yang tergabung dalam kelompok

 Ikut sebagai peserta.  Diundang oleh pak sekdes.  Izin suami  Diminta bentuk 3 kelompok dan setiap kelompok di kasih pinjaman 10juta, jadi per

(15)

betul-betul keluarga miskin atau tidak, setelah itu kasih tahu bahwa jumlah pinjaman untuk perempuan 30 juta jadi kami membentuk 3 kelompok dimana masing-masing kelompok ada 10 orang.jadi masing-masing dapat pinjaman 1 juta rupiah per orang.

orang 1juta.

11 Marta Konda Nguna

Pada waktu itu kami ibu-ibu di undang ke kantor desa dan sampai di kantor desa ada petugas dari kecamatan yang menjelaskan kalau sekarang ada program simpan pinjam perempuan.di program ini perempuan membentuk kelompok terus nanti mengajukan nama kelompok ke kecamatan untuk di seleksi lewat wawancara apa perempuan yang tergabung dalam kelompok betul-betul warga KK miskin atau tidak,setelah itu mereka memberi tahu kami bahwa jumlah pinjaman untuk perempuan 30 juta jadi kami membentuk 3 kelompok dimana masing-masing kelompok ada 10 orang.jadi masing-masing dapat pinjaman 1 juta rupiah per orang.

 Diundang kekantor desa.  Di seleksi untuk pembentukan kelompok  Tiga kelompok  Alokasi dana 30 juta.

12 Hada Hudang Iya saya ikut terlibat Umbu, karena pada waktu bapak sekretaris desa ada datang kasih tahu beberapa ibu-ibu termasuk saya untuk datang ke balai desa karena ada sosialisasi dari pengurus PNPM kecamatan. Waktu itu FK terlambat dan sampe dengan sampe mereka langsung perkenalan dan langsung jelaskan tentang SPP. Kemuadian kami di seleksi, yang boleh masuk adalah keluarga yang masuk kategori keluarga miskin dan khusus untuk

 Ikut atas undangan sekretaris desa.  Seleksi sebelum pembentukan kelompok penerima dana simpan pinjam.  Khusus perempuan

(16)

perempuan 13 Kristiani Tamu

Apu

Saya ikut sosialisasi pertama kami perempuan-perempuan di desa ini di undang ke kantor desa oleh ketua kelompok saya coba minta ijin sama suami dan suami kasih ijin. Saat sosialisasi pak FK dan bapak UPK terangkan tentang program SPP dan kami di seleksi syarat untuk menjadi anggota kelompok SPP harus perempuan yang tergolong keluarga miskin. Terus di suruh untuk bentuk kelompok,setelah itu kelompok yang sudah terbentuk di periksa dan di seleksi oleh kecamatan setelah di seleksi kelompok yang lolos di undang lagi ke kantor desa untuk terima uang pinjaman.

 Ikut atas ijin suami.  di undang sama ketua kelompok ke kantor desa.  Izin suami  Seleksi.  Di suruh untuk bentuk kelompok. 14 Erlika Rambu Mburu

Saya ikut, karena waktu ibu saya punya tetangga kasih tahu kalau bapak sekdes ada minta saya juga untuk ikut sosialisasi di kantor desa, waktu sosialisai itu FK kasih penjelasan tentang program simpan pinjam perempuan, memang saya sudah tahu sebelumnya tentang program simpan pinjam perempuan karena saya punya saudara ada yang dapat dana pinjaman simpan pinjam PNPM dan dia sering cerita tentang program simpan pinjam perempuan, habis sosialisasi kami masih di seleksi jadi yang boleh dapat dana simpan pinjam hanya perempuan yang dari keluarga miskin, saya lolos seleksi, minggu berikutnya kami di undang lagi untuk terima uang simpan pinjam PNPM.  Ikut di undang sama sekdes melalui tetangga.  Seleksi.  Yang lolos seleksi di undang untuk datang terima uang minggu berikutnya.

(17)

Yowa kasih tahu saya untuk ikut waktu itu, dia bilang saya di undang lewat ketua kelompok untuk ikut sosialisasi, saya minta ijin sama suami dan suami kasih ijin, sampai dibalai desa pak FK dan ketua UPK kasih sosialisasi ke kami ibu-ibu.Selesai sosialisasi kami di seleksi lewat wawancara satu persatu, setelah itu pengenguman hasil wawancara saya lolos dapat dana pinjaman.Mereka bilang kalau uang pinjaman itu akan cair minggu depan jadi nanti uangnya bendahara kelompok yang bagi.

suami.  Diundang melalui ketua kelompok.  Izin suami  Seleksi lewat wawancara.  Dana cair seminggu kemudian dan dibagikan Bendahara 16 Kahi Ana Awa Ya saya ikut karena undang sama ibu ketua

kelompok untuk ikut sosialisasi, dia bilang kalau pak sekdes undang saya lewat dia, dan waktu itu saya minta ijin sama suami untuk ikut sosialisasi supaya bisa dapat uang pinjaman dari program simpan pinjam PNPM. Saat sosialisasi yang kasih penjelasan tentang program SPP waktu itu bapak FK sendiri dengan didampingi sama bapak UPK. setelah sosialisasi kami ibu-ibu masih di wawancara satu-satu untuk di seleksi sebelum bagi kelompok peneriman dana simpan pinjam, sebagian ibu-ibu yang datang waktu itu lolos wawancara, dan yang lolos wawancara langsung di daftar trus di bagi-bagi masuk dalam kelompok yang sudah ada.

 Ikut atas ijin suami.  Diundang oleh sekdes melalui ketua kelompok.  Seleksi lewat wawancara.  Kelompoknya

sudah ada dan tinggal masuk

17 Vina Kahi Timba

Saya ikut, karena ketua kelompok yang datang kasih tau saya untuk ikut, dia bilang pak sekdes yang undang saya melalui dia, sebelum ikut

 Ikut atas ijin suami.

(18)

sosialisasi saya masih minta ijin sama suami dulu, karena suami bilang boleh ikut saya ikut sosialisasi sudah waktu itu, saat sosialisasi waktu itu pak Fasilitator kecamatan yang jelaskan tentang program simpan pinjam, mulai syarat jadi anggota kelompok sampe sistem bayar bunga pinjaman, sebelum di bagi-bagi dalam kelompok penerima dana simpan pinjam mereka masih seleksi semua ibu-ibu yang ikut sosialisasi waktu itu, seleksinya lewat wawancara, karena yang boleh masuk dalam kelompok penerima dana simpan pinjam harus benar-benar dari keluarga yang miskin.

 Diundang oleh pak sekdes melalui ibu Ketua  Seleksi lewat wawancara.  Kelompok sudah ada 18 Mina Rambu Tamar

Saya ikut sosialisasi karena saya di undang sama pak sekretaris desa waktu itu, dia datang dirumah dan minta saya untuk ikut sosialisasi program simpan pinjam PNPM, kebetulan saat itu ada saya punya suami jadi pak sekretaris desa omong lansung dengan saya punya suami, setelah pak sekdes pulang baru saya minta ijin sama saya punya suami, dia kasih ijin, saat sosialisasi yang kasih materi soal program sosialisasi waktu itu pak fasilitator kecamatan. Habis penjelasan tentang program simpan pinjam kami di seleksi satu persatu lewat wawancara sebelum kami dibagi dalam kelompok.

 Ikut atas ijin suami.

 Diundang oleh pak sekdes.  Seleksi lewat

wawancara.

19 Rina Ata Huwa Saya ikut karena saya di undang sama pak sekdes untuk ikut, dan sebelum saya ikut sosialisasi saya minta ijin sama suami terlebih dahulu kalau dia kasih ijin baru saya bisa

 Ikut atas ijin suami.

 Diundang oleh pak sekdes.

(19)

ikut.kebetulan waktu itu suami kasih ijin saya ikut sosialisasi program simpan pinjam perempuan PNPM, setelah selesai penjelasan kami ibu-ibu di wawancara satu persatu untuk di seleksi apa benar kami yang ikut ini asalnya dari keluarga miskin setelah itu kami masuk dalam kelompok-kelompok yang sudah ada.

 Seleksi.

 Masuk kelompok yang sudah ada

20 Sarce Ana Mbabang

Saya ikut karena bapak sekdes undang saya lewat dia punya istri untuk ikut sosialisasi, setelah dapat undangan saya masih minta ijin sama suami untuk ikut sosialisasi, karena suami kasih ijin jadi saya ikut sosialisasi. Waktu sosialisasi pak FK kasih penjelasan tentang program SPP, syarat dan sistem pembayaran bunga dia jelaskan. Setelah pak FK menjelaskan, kami di seleksi terlebih dahulu supaya tau kami benar dari keluarga miskin atau tidak, setelah seleksi yang boleh masuk dalam kelompok itu hanya ibu-ibu yang berasal dari keluarga miskin.

 Ikut atas ijin suami.  Diundang oleh pak sekdes melalui istrinya.  Seleksi sebelum masuk dalam kelompok.

Sumber: Data Primer 2013, diolah

Berdasarkan data hasil wawancara dan hasil kesimpulan (tema) yang telah peneliti identifikasi, terdapat beberapa hal menarik untuk didiskusikan lebih lanjut: pertama, bahwa informasi tentang adanya sosialisasi SPP yang dilakukan oleh FK dan UPK diterima masyarakat (ibu-ibu) lewat kepala desa, sekretaris desa, tetangga, bahkan oleh ketua kelompok. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyebaran informasi tentang sosialisasi SPP-PNPM cukup terbatas hanya pada orang-orang tertentu yang dianggap oleh (mereka) pembawa informasi sebagai keluarga yang benar-benar miskin. Namun demikian, argumentasi ini secara metodeologis tentu tidak akurat (kuat) sebab ternyata dalam sosialisasi juga ada seleksi melalui wawancara yang dilakukan oleh FK dan ketua UPK. Hal ini (seleksi–wawancara) menunjukan bahwa harapan FK dan UPK adalah semua keluarga (khususnya perempuan) boleh hadir dalam

(20)

sosialisasi dan nantinya akan “disaring” lewat wawancara, namun harapan itu tidak terwujud karena informasi tantang sosialisasi yang dilakukan para aktor desa ternyata terbatas pada orang-orang tertentu.

Kedua, keterlibatan atau keikutsertaan perempuan (khususnya para isteri) dalam

sosialisasi SPP-PNPM adalah atas dasar izin dari suami. Hal ini mungkin dianggap wajar saja, bahwa seorang isteri keluar rumahnya perlu meminta izin dari suaminya, apalagi dalam masyarakat desa yang masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Masalahnya adalah izin yang diberikan suami berkaitan dengan keinginan dan kemauan sang isteri untuk meminjam dana bergulir SPP-PNPM. Ini artinya kebanyakan para suami belum percaya atau terlalu yakin dengan kemampuan isteri mereka tentang pengembalian dana tersebut, dan kemungkinan usaha apa yang perlu dilakukan agar modal itu bisa berputar dan kembali.

Selain itu berkaitan dengan hal kedua, dapat saja dikonstruksi sebuah pemikiran yang sumbernya bisa ditemukan dalam perspektif budaya patriarki yang memang masih kental dianut, bahwa laki-laki memang berkuasa di dalam rumah tangga. Keputusan apapun yang berkaitan dengan urusan rumah tangga harus mendapat persetujuan dari suami. Termasuk keputusan tentang apa yang akan dilakukan isteri di luar rumah, semuanya harus mendapat restu dari “raja” rumah tangga. Dalam hal ini suara “ratu” rumah tangga “dinomor sepatukan”.

Ketiga, mengenai besaran alokasi anggaran SPP di Winumuru, beberapa informan

mengatakan bahwa dalam sosialisasi tersebut, dana yang dialokasikan adalah sebesar Rp. 30.000.000 untuk tiga kelompok, dan seleksi memang dilakukan untuk kepentingan ketiga kelompok itu. Namun demikian, dalam prakteknya, hanya ada dua kelompok yang benar-benar dapat diwawancarai dan diobservasi tentang keberadaan mereka. Satu kelompok lagi jejaknya tidak pernah diketahui, bahkan kepala desa dan sekretaris desa yang berperan penting dalam mengundang para ibu untuk datang dalam sosialisasi tersebut hanya bisa menyebutkan nama kelompok tanpa mampu menunjukan siapa anggota dan apa usahanya. Demikian pula ketika hal ini dikonfirmasi kepada FK dan ketua UPK tidak ada jawaban yang mereka kemukakan untuk menengahi ketidak-beresan kelompok SPP di desa ini. Dalam konteks seperti ini, maka bisa saja dikatakan bahwa anggaran/dana SPP sejumlah Rp. 10.000.000 menjadi hilang tak berbekas– entah ke mana dan di mana.

Keempat, adalah soal kelompok dan keanggotaan kelompok. Apabila mencermati

(21)

desa Winumuru memang sudah terbentuk sebelum sosialisasi tentang SPP dilakukan. Hal ini tampak dalam pernyataan bahwa “setelah diseleksi lewat wawancara kami kemudian masuk dalam kelompok.” Pertanyaannya siapa yang membentuk kelompok itu? Apalagi juga terdapat pernyataan dari beberapa informan bahwa “mereka diundang oleh ketua?” dengan demikian, soal kelompok ini ada kesesuain dengan pola pemberian informasi tentang sosialisasi SPP yang kelihatannya terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Dengan demikian, implikasinya adalah soal partisipasi anggota dalam perencanaan program SPP menjadi terbengkalai. Hasil penelitian membuktikan bahwa dalam perencanaan program SPP tidak ada satupun dari anggota yang ikut merencanakan. Bahkan ketua kelompok SPP Paluanda Lamahamu ibu Agustina pekuwali ketika diwawancarai, mengatakan bahwa: “Dalam perencanaan program SPP, saya tidak ikut karena yang ikut hanya Kepala Desa dan Aparat Desa. Kami hanya di suruh bentuk kelompok nanti kalau sudah ada dana baru kita di panggil untuk terima uang pinjaman.”

Hal senada juga dikatakan oleh bendahara kelompok Paluanda Lamahamu, ibu Frederika Tamu Ina, bahwa:“Iya saya sama-sama dengan ketua kelompok tidak ikut terlibat dalam perencanaan program Simpan Pinjam Perempuan PNPM ini.Karena hanya sekretaris desa yang ikut dalam perencanaan program SPP-PNPM sama-sama dengan FK.”

Pertanyaannya adalah apakah Kepala Desa, Aparat Desa, dan Fasilitator Kecamatan memahami dan mengerti tentang kebutuhan para ibu yang menjadi anggota SPP tersebut? Ataukan yang muncul dalam benak mereka (para aktor perencana) yang penting dananya cair untuk dibagi-bagikan? Rasanya kedua pertanyaan ini jawabannya sama-sama benar, bahwa mereka yang paling tahu kebutuhan para ibu (mungkin karena mereka kepala rumah tangga), karena itu yang penting dananya cair nanti ibu-ibu tinggal menerima–mudah-mudahan menerima dana sisa.

Dengan berpegang pada informasi ketua dan bendahara kelompok Paluanda Lamahmu yang tidak ikut ambil bagian dalam proses perencanaan program SPP tersebut, peneliti kemudian mencoba bertemu dengan ketua dan bendahara kelompok Tahumemu Hamuduang harapannya adalah menemukan informasi yang berbeda tentang partisipasi dalam perencanaan program SPP. Hasil wawancara dengan ketua dan bendahara Tahamemu Hamuduang, juga menunjukan “kesuraman” dalam hal partisipasi ini, pada intinya keduanya mengatakan bahwa: “Tidak ikut

(22)

terlibat dalam perencanaan program PNPM. Karena hanya sekretaris desa dan aparat desa yang lain yang ikut sama-sama dengan FK ikut dalam perencanaan program SPP-PNPM.”

Masalahnya adalah jika ketua dan bendahara saja sudah tidak diundang atau diikutsertakan dalam perencanaan program SPP yang akan mereka lakukan nantinya, bagaimana mungkin anggota kelompok dilibatkan? Anggota kelompok yang diwawancarai soal keterlibatan mereka dalam perencanaan program masing-masing mengatakan bahwa “tidak pernah diundang” untuk ikut merencanakan program SPP yang akan mereka geluti. Yang menarik adalah pernyataan yang dikemukakan oleh ibu Kuanga Naha (salah satu anggota kelompok Paluanda

Lamahamu, bahwa: “saya tidak ikut dalam perencanaan Simpan Pinjam Perempuan karena saya

tidak di undang baik itu ketua kelompok maupun sekdes, jadi saya hanya bergabung dalam kelompok saja supaya saya bisa pinjam uang dan bisa buka usaha kecil.”

Demikian pula pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu anggota kelompok

Tahamemu Hamuduang ibu Irna Hana Yowa, bahwa: “Saya tidak ikut dalam perencanaan karena

habis sosialisasi dan bagi uang oleh bendahara saya tidak pernah di undang untuk ikut perencanaan program simpan pinjam perempuan PNPM.”

Berdasarkan pernyataan-pernyataan dari anggota kelompok sebenarnya dapat disimpulkan bahwa ada semacam kerinduan dari mereka untuk ikut dalam perencanaan program, namun yang terjadi adalah mereka tidak pernah diundang untuk hal ini. Keinginan mereka untuk mendapatkan pinjaman dana SPP memang dimanfaatkan dengan baik oleh para aktor yang duduk dalam struktur, baik struktural pemerintahan desa maupun struktur PNPM untuk mengucurkan anggaran bagi mereka. Keinginan kuat dari para anggota ini sekaligus juga merupakan kelemahan mereka sebab setelah menerima dana sebesar Rp. 1.000.000., untuk masing-masing orang tidak ada lagi keberanian untuk bertanya tentang mengapa mereka tidak diikutsertakan dalam perencanaan program, apalagi bertanya tentang adanya kelompok “siluman” dan ketidak-jelasan Rp. 10.000.000 dana SPP yang diperuntukan bagi “kelompok siluman” itu. Faktanya dana sebesar Rp. 10.000.000 dan kelompok “siluman” sampai dengan penelitian ini berakhir tidak ada informan yang mampu memberikan jawaban pasti.

Sebenarnya, secara teoritis, jika dipertimbangkan soal sisi kekeluargaan dan kedekatan anggota kelompok, mereka memiliki mosal sosial yang cukup untuk “saling menggerakan” dan mengingtak soal keterlibatan masing-masing dalam setiap tahapan, baik sosialisasi, perencanaan, akses, pemanfaatan, dan monitoring terhadap setiap usaha mereka. Namun, sayang yang terjadi

(23)

adalah tiadanya komunikasi yang intens dan baik antar sesama anggota, bahkan anggota dengan ketua. Beberapa informan (anggota) mengatakan bahwa setelah menerima dana SPP tidak pernah ada rapat yang dibuat atau mereka tidak pernah diundang untuk rapat anggota sekalipun. Salah satu informan (E.R.I / 39 tahun), mengatakan bahwa: “Kurang ada komunikasi antara anggota kelompok dan tidak pernah ada solusi buat anggota yang usahanya bangkrut, dan pengurus kelompok ‘tidak saling kenal’ atau tidak mau tahu dengan anggotanya, kita tidak pernah rapat masing-masing jalan sendiri”.

Dengan demikian, maka jawaban terhadap apakah pernah memberikan ide atau usulan yang konstruktif demi pengembangan SPP di desa Winumuru, atau minimal untuk kelompoknya menjadi terjawab–yakni tidak pernah memberikan ide atau usulan. Bagaimana memberikan ide dan usulan, kalau rapat anggota saja tidak pernah ada. Hal yang bisa dikatakan dalam konteks ini adalah bahwa: yang penting dana SPP cair, masing-masing anggota meminjam Rp. 1000.000., dan menjalankan usaha sendiri-sindiri. Kelompok hanya merupakan nama agar bisa digunakan sebagai bargening dalam mendapatkan dana pinjaman dari PNPM.

Dalam konteks seperti ini, maka partisipasi dalam monitoring kegiatan menjadi tanggungjawab masing-masing anggota. Tidak adanya rapat anggota yang dibuat pengurus kelompok membuat monitoring tidak berjalan atau terjadi dengan sempurna. Rapat anggota, bagi peneliti merupakan forum yang baik dalam hal melakukan kontrol terhadap usaha yang dilakukan oleh anggota, namun dengan tidak adanya rapat, maka tidak ada pula mekanisme kontrol yang baik, yang dilakukan pengurus (ketua dan bendahara) kelompok, maka pertanyaannya adalah untuk apa ada kelompok SPP?.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu anggota kelompok Paluanda Lamahamu, Erna Maramba Meha, bahwa: “Saya tidak ikut karena yang di minta dampingi FK dan aparat desa untuk ikut monitoring dan evaluasi sama-sama dengan FK dan pengurus desa hanya ketua kelompok dan bendahara saja.”

Hal senada dikatakan oleh anggota kelompok Tahamemu Hamuduang, Irna Hana Yowa, soal monitoring dan evaluasi, bahwa: “Saya tidak ikut dalam monitoring dan evalusi karena habis sosialisasi dan bagi uang oleh bendahara saya tidak pernah di undang untuk ikut tahap monitoring dan evaluasi program simpan pinjam perempuan PNPM.”

Masing-masing ketua dan bendahara kelompok ketika dikonfirmasi soal monitoring dan evaluasi mengatakan bahwa mereka “diundang oleh FK dan UPK dan bergabung dengan aparat

(24)

desa dalam melakukan monitoring dan evaluasi program, yang dilakukan tiga bulan sekali”. Sayangnya ketika ditanya apakah hasil ini kemudian disosialisasikan kepada anggota kelompok, para pengurus (ketua dan bendahara) kelompok tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Intinya hasil monitoring dan evaluasi tidak sampai ke anggota kelompok sebab tidak ada rapat anggota yang dilakukan.

Ketua kelompok Paluanda Lamahamu ketika ditanyakan soal monitoring dan evaluasi kelompok usaha SPP mengatakan bahwa: “saya terlibat juga, dalam kontrol yang di lakukan UPK setiap tiga bulan sekali terhadap program PNPM khusus untuk SPP tidak ada kontrol yang mereka lakukan mereka hanya kontrol secara menyeluruh program PNPM di desa Winumuru. Kita kelompok SPP hanya di suruh setor uang pinjaman setiap bulan setelah itu tidak ada kontrol dan evaluasi dari UPK.”

Berdasarkan pernyataan ketua kelompok Paluanda Lamahamu di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang monitoring dan evaluasi program PNPM oleh pengurus (FK dan UPK) masih terbatas pada hal umum dan tidak menyentuh akar permasalahan (usaha) yang dihadapi kelompok, khususnya kelompok SPP di Winumuru. Atau dengan kata lain, yang penting setoran atau pengembalian dana dari tiap anggota lancar, sudah cukup bagi FK dan UPK. Soal usaha yang dilakukan, sekalipun macet, tidak ada variasi usaha, dan terkesan tidak berkembang, bukan urusan FK dan UPK.

6.2.2. Pemetaan Manfaat Program Simpan Pinjam Perempuan PNPM

Setiap program pemerintah tentu diharapkan atau bertujuan dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Demikian pula program SPP-PNPM yang dicanangkan pemerintah, diharapkan dapat membantu perempuan khususnya perempun dalam kategori rumah tangga miskin untuk ikut serta membantu suami, menunjang ekonomi keluarga. Selain bermanfaat bagi keluarga, harapannya dengan dibentuknya kelompok SPP khususnya di desa Winumuru, maka diharapkan kelompok juga dapat menerima manfaat dari program ini.

Hasil wawancara dengan ketua kelompok Tahamemu Hamuduang, ibu Marta Konda Nguna menyangkut manfaat dari SPP bagi kelompok, pada intinya mengatakan bahwa: “kegiatan atau program SPP ini sangat bermanfaat bagi kami dan juga kelompok. Dari sisi ekonomi, manfaatnya adalah bisa merubah ekonomi keluarga anggota kelompok lebih baik dan perempuan belajar bisa cari uang bantu suami untuk biayai hidup keluarga; sedangkan manfaat sosialnya

(25)

adalah perempuan bisa mandiri dan bersosialisasi dengan orang lain lewat bisnis yang dia jalani dan biar suami tidak terlalu anggap remeh karena hanya tau minta uang dan bergantung sama suami; dan manfaat budaya yang bisa kami rasakan adalah bahwa perempuan dalam keluarga maupun dalam masyarakat lebih di hargai karena perempuan tidak hanya tau bergantung sama suami, tapi sudah bisa cari uang sendiri jadi di hargai sama keluarga dan masyarakat.”

Mengenai manfaat sosial dan budaya yang dikemukakan oleh ketua kelompok di atas, tidak memiliki kesesuaian dengan jawaban-jawaban anggotanya ketika ditanyakan soal topik yang sama. Hampir semua anggota kelompok Tahamemu Hamuduang mengatakan bahwa mereka tidak merasakan manfaat sosial dan budaya dari kegiatan SPP pada aras kelompok. Kedua manfaat (sosial dan budaya) itu hanya dirasakan pada aras keluarga mereka. Di kelompok tidak ada manfaat sosial dan budaya, dengan alasan utama tidak pernah ada rapat atau pertemuan anggota untuk saling bersosialisasi. Untuk lebih jelasnya pernyataan para anggota kelompok dapat diformulasikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6.4

Manfaat Sosial dan Budaya SPP pada Aras Kelompok

Berdasarkan Pernyataan Anggota KelompokTahamemu Hamuduang No Nama

Anggota

Jawaban Kesimpulan Peneliti

1 Kristiani Tamu Apu

Manfaat ekonomi : kalau mau omong manfaat ekonomi buat kelompok mungkin saya boleh bilang sudah cukup bantu kami perempuan dalam usaha cari uang bantu suami.

Manfaat sosial : tidak ada manfaat sosial selama ini yang saya dapatkan dari kelompok. Manfaat Budaya : tidak ada manfaat budaya yang saya dapat dari kelompok.

 Ekonomi : cukup bantu perempuan usaha bantu suami cari uang.  Sosial dan budaya

: tidaka ada.

2 Erlika Rambu Mburu

Manfaat ekonomi : dengan adanya dana pinjaman simpan pinjam perempuan kami perempuan merasa lebih diperhatikan dan dari uang pinjaman ini kami bisa pakai usaha

 Ekonomi : perempuan lebih diperhatikan, dana pinjaman

(26)

untuk bisa penuhi kebutuhan keluarga dalam rumah tangga.

Manfaat sosial : manfaat sosial dalam kelompok tidak ada.

Manfaat budaya : manfaat budaya dalam kelompok juga tidak ada.

bisa pakai untuk penuhi kebuthan keluarga.  Manfaat sosial dan budaya : tidak ada. 3 Irna Hana Yowa

Manfaat ekonomi : kami masing-masing bisa cari uang untuk bantu suami beli kebutuhan yang kurang dalam rumah tangga.

Manfaat sosial : untuk dalam kelompok sendiri selama ini saya tidak pernah rasa ada manfaat sosial maupun manfaat budaya.

 Ekonomi : masing-masing bisa bantu suami cari uang beli kebutuhan dalam rumah tangga.  Tidak ada manfaat sosial dan budaya di kelompok

4 Kahi Ana Awa Manfaat ekonomi : dengan dana simpan pinjam yang dikasih kami kelompok bisa cari uang untuk keluarganya kami masing-masing. Manfaat sosial dan budaya: saya pikir tidak ada manfaat sosial maupun budaya yang saya dapatkan dari kelompok.

 Ekonomi : kelompok bisa cari uang kasih keluarga masing-masing.

 Sosial dan budaya: tidak ada. 5 Vina Kahi

Timba

Manfaat ekonomi : keadaan ekonomi keluarga yang dapat bantuan dana SPP PNPM sedikit lebih baik dari sebelumnya, sudah terlalu susah untuk cari uang untuk makan sehari-hari.

Manfaat sosial dan budaya : untuk manfaat sosial dan budaya dalam kelompok saya pikir

 Ekonomi : keadaan ekonomi keuarga penerima bantuan dana pinjama sedikit lebih baik.

(27)

tidak ada, rapat atau diskusi sesama anggota dalam kelompok saja tidak pernah ada.

: tidak ada karena tidak pernah ada rapat atau diskusi kelompok.

6 Mina Rambu Tamar

Manfaat ekonomi : kami bisa mandiri cari uang bantu suami untuk beli makan sehari-hari kasih keluarga dan setidaknya kami perempuan yang dapat dana SPP-PNPM hidupnya sedikit lebih sejahtera secara ekonomi.

Manfaat sosial dan budaya: tidak ada manfaat sosial dan budaya yang saya dapat dari kelompok.

 Ekonomi : bisa mandiri bantu suami cari uang kasih keluarga. Lebih sejahtera.  Sosial dan budaya

: tidak ada.

7 Rina Ata Hawu

Manfaat ekonomi : kami ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok sudah bisa cari uang untuk keluarga, jadi tidak terlalu harap suami terus yang kasih kami uang.

Manfaat sosial dan budaya : tidak ada manfaat sosial maupun budaya dalam kelompok karena anggota jarang ada pertemuan.

 Ekonomi : ibu-ibu sudah bisa cari uang untuk keluarga.Tidak harap suami.  Sosial dan budaya

: tidak ada. 8 Sarce Ana

Mbabang

Manfaat ekonomi : kami ibu-ibu bisa belajar cari uang untuk kasih makan keluarga.

Manfaat sosial dan budaya : dalam kelompok selama ini saya rasa tidak ada manfaat sosial maupun manfaat budaya yang saya dapatkan dari kelompok.

 Ekonomi : ibu-ibu bisa belajar cari uang buat keluarga.

 Sosial dan budaya : tidak ada.

Sumber: Data Primer 2013, diolah

Berdasarkan jawaban-jawaban dari informan (anggota) kelompok Tahamemu

Hamuduang di atas, aras kelompok juga tidak ditemukan manfaat ekomoni, sebab hasil usaha

yang mereka terima hanya diperuntukan bagi keluarga, tidak ada iuran anggota yang bertujuan “menggerakkan” kelompok ke arah yang lebih maju (positif). Artinya dana yang dicairkan dari

(28)

UPK diterima dan “dibagi” habis bagi kelompok, jadi secara ekonomi kelompok tidak mengelola dana khusus yang bisa dipinjam atau dipinjamkan oleh mereka yang bukan anggota, sehingga memberi manfaat ekonomi bagi kelompok. Realitas yang terjadi adalah manfaat ekonomi di aras keluarga “diangkat” ke tingkat yang lebih tinggi dan diklaim sebagai manfaat ekonomi kelompok. Faktanya kelompok tidak mengelola anggaran, semisal dari iuran anggota bagi keberlanjutan kelompok.

Hal senada (manfaat ekonomi, sosial, dan budaya) juga terjadi pada kelompok Paluanda

Lamahamu, ketua kelompok dan bendahara “mengklaim” bahwa ada manfaat ekonomi, sosial,

dan budaya yang dirasakan pada aras kelompok. Seperti yang dikatakan ketua kelompok ini, Agustina Pakuwali, bahwa: “Manfaat ekonomi yang bagi kelompok adalah adanya peningkatan ekonomi dalam keluarga anggota kelompok (perempuan) bisa cari uang bantu suami untuk biayai hidup keluarga; dan manfaat sosialnya adalah perempuan bisa mandiri dan kalau dalam mencari uang biar suami tidak terlalu anggap remeh karena hanya tau minta uang dan bergantung sama suami; sedangkan untuk manfaat budaya, dijelaskan perempuan dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak lagi dianggap sepele karena selama ini perempuan hanya tau bergantung sama suami, tapi sekarang istri sudah bisa cari uang sendiri jadi di hargai sama keluarga.”

Mencermati jawaban yang diberikan oleh sang ketua kelompok, dan bila membandingkannya dengan jawaban-jawaban dari para anggota, maka hasilnya menunjukan pertentangan atau kontradiktif. Artinya anggota kelompok tidak merasakan adanya manfaat sosial dan budaya yang mereka rasakan pada aras kelompok. Mereka berpendapat bahwa tidak ada rapat dan komunikasi antar anggota tidak terjadi secara intens sehingga manfaat sosial dan budaya tidak ada pada aras kelompok. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa solidaritas kelompok cukup rapuh, sebab setiap anggota berusaha sendiri dengan usahanya dan tidak pernah mendapat atau menerima bimbingan usaha dari ketua yang selalu diundang untuk ikut monitoring dan evaluasi oleh FK dan UPK tiga bulan sekali.

Semua anggota mengatakan bahwa terdapat manfaat ekonomi, namun polanya sama dengan yang diungkapkan oleh anggota kelompok Tahamemu Hamuduang. Artinya ada semacam klaim bahwa keberhasilan atau manfaat ekonomi yang diterima anggota dalam keluarga diketengahkan sebagai manfaat ekonomi kelompok. Realitanya kelompok ini juga tidak mengelola dana (seperti iuran anggota) sebagai bagian dari “menggerakkan” atau memberdayakan kelompok.

(29)

Selain itu, mengenai manfaat ekonomi, sosial, dan budaya dari kegiatan SPP pada aras keluarga, semua informan (20 orang sebagai anggota SPP) mengemukakan bahwa mereka merasakan manfaat ini dalam keluarga masing-masing.6 Bagi para informan, manfaat yang dirasakan adalah kebutuhan ekonomi keluarga semakin tercukupi, ruang gerak bagi isteri untuk bertemu dan besosialisasi dengan orang lain semakin terbuka, ada penghargaan tersendiri bagi ibu-ibu dalam masyarakat.

Hal senada mengenai manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang dirasakan anggota kelompok SPP khususnya pada aras keluarga, juga disampaikan oleh Sekretaris Desa Winumuru bahwa “ berdasarkan pengamatan saya, ibu-ibu yang menjadi anggota SPP bisa lebih mandiri mencari uang untuk keluarga dan ekonomi keluarga semakin membaik, bisa untuk biaya sekolah anak; dan dalam masyarakat, ibu-ibu yang mengikuti kegiatan SPP ini lebih mudah bergaul, keluarga lebih di hargai dalam masyarakat; sedangkan dalam hal budaya khususnya bagi keluarga lebih diperhitungkan dalam adat di masyarakat dan istri semakin dihargai dalam keluarga.”7.

Hal menarik yang perlu dikemukakan adalah bahwa dengan “eksisnya” para isteri mengikuti kegiatan SPP, dalam waktu yang akan datang (jika kegiatan SPP terus berlanjut), maka secara budaya menurut Ketua dan Bendahara Kelompok (kedua kelompok), “dapat merubah pemikiran laki-laki bahwa bukan hanya mereka yang dapat bekerja untuk keluarga, ada sikap saling menghargai dan menopang serta pengakuan bahwa kaum perempuan juga dapat membantu kaum pria dalam bekerja dan keluarga lebih di perhitungkan dalam adat istiadat di dalam keluarga maupun dalam masyarakat.”8 Tentu hal ini merupakan harapan yang perlu diapresiasi, dengan catatan bahwa kelompok perlu juga diberdayakan, didampingi, dan diberi pelatihan agar usaha yang mereka kembangkan tidak selalu seragam, yakni: berjualan (membuka kios dan jualan di pasar), dan beternak. Anggota kelompok perlu diberdayakan untuk mampu mengembangkan usaha yang lebih bervariasi, misalnya tenunan atau kain sumba yang belum tersentuh dalam usaha kelompok perlu dipertimbangkan prospek usahanya bagi kelompok.

6.2.3. Pemetaan Dampak dari Program Simpan-Pinjam PNPM

6

Lihat lampiran, manfaat ekonomi, sisial, dan budaya yang dirasakan anggota pada aras keluarga.

7

Wawancara dengan Daniel Mila Meha (Sekdes), tanggal 15 Oktober 2013

(30)

Dampak ekonomi, sosial dan budaya dari program simpan-pinjam PNPM bagi kelompok menurut Ketua dan Bendahara Kelompok dampak ekonomi ada peningkatan ekonomi dalam keluarga anggota kelompok lebih baik dan perempuan belajar bisa cari uang bantu suami, dampak sosial perempuan bisa mandiri dan bersosialisasi dengan orang lain lewat bisnis yang dia jalani dan suami tidak terlalu anggap remeh, dampak budaya perempuan dalam keluarga maupun dalam masyarakat lebih di hargai.

Menurut Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu dampak ekonomi dapat membantu perekonomian keluarga masing-masing, sedangkan dampak sosial dan budaya tidak ada karena jarang ketemu dan rapat kelompok sesama anggota kelompok tidak saling mengenal. Satu dari mereka mengaku tidak mendapat pinjaman karena ketua kelompok tidak menyetor bunga pinjaman ke UPK. dan menurut Kelompok Tahamemu Hammu Duang dampak ekonomi keadaan ekonomi keluarga penerima bantuan dana pinjaman sedikit lebih baik. Dampak sosial dan budaya tidak ada karena tidak pernah ada rapat atau diskusi kelompok.

Menurut satu Aparat Desa yaitu sekdes Dampak Ekonomi : ibu-ibu bisa lebih mandiri cari uang untuk keluarga. Ekonomi keluarga semakin membaik, bisa untuk biaya sekolah anak. Dampak Sosial : ibu-ibu lebih mudah bergaul, keluarga lebih di hargai dalam keluarga dan masyarakat. Dampak Budaya Keluarga lebih di perhitungkan dalam adat di masyarakat dan istri semakin dihargai dalam keluarga. Kepala Desa dan Pamong sendiri hanya berkomentar bilang kurang tahu karena tidak pernah ikut kegiatan SPP-PNPM.

Dampak ekonomi dari Simpan-pinjam PNPM bagi suami, isteri, dan anak-anak, menurut Ketua dan Bendahara Kelompok ada peningkatan ekonomi dalam keluarga anggota kelompok, dampak sosial perempuan bisa mandiri suami tidak terlalu anggap remeh, dampak budaya perempuan dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak lagi dianggap sepele. Menurut Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu dan Kelompok Tahamemu Hammu Duang Dampak ekonomi membantu perekonomian keluarga menjadi semakin membaik. Sedangkan menurut Aparat Desa sekdes kehidupan keluarga lebih sejahtera, dan kepala desa dan pamong desa mengatakan kurang tahu karena tidak pernah ikut kegiatan SPP-PNPM dan tidak tau persis kegiatan usaha ibu-ibu yang dapat dana pinjaman dari SPP-PNPM.

Dampak sosial dari Simpan-pinjam PNPM bagi suami, isteri dan anak-anak Ketua dan Bendahara Kelompok Paluanda Lamahamu dan Kelompok Tahamemu Hamuduang Dampak Sosial: keluarga lebih di hargai baik itu di dalam keluarga, dan masyarakat.

(31)

Sedangkan menurut Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu dan Kelompok Tahamemu Hammu Duang mengatakan Dampak Sosial mereka lebih di hargai dalam pergaulan dan masyarakat kerena ekonomi keluarga yang sudah lebih baik dari sebelumnya. Menurut Aparat Desa salah satunya sekdes mengatakan lebih di hargai dalam pergaulan di masyarakat.Sedangkan kepala desa dan pamong desa mengatakan kurang tahu karena tidak pernah ikut kegiatan SPP-PNPM dan tidak tau persis kegiatan usaha ibu-ibu yang dapat dana pinjaman dari SPP-PNPM.

Dampak budaya dari Simpan-pinjam PNPM bagi suami, isteri dan anak-anak, menurut Ketua dan Bendahara Kelompok dampak budaya dapat merubah pemikiran laki-laki bahwa hanya mereka yang dapat bekerja untuk keluarga, ada sikap saling menghargai dan menopang serta pengakuan bahwa kaum perempuan juga dapat membantu kaum pria dalam bekerja, keluarga lebih di perhitungkan dalam adat istiadat di dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Menurut Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu dan Kelompok Tahamemu Hammu Duang dampak budaya lebih diperhitungkan dalam masyarakat karena sering sumbang uang saat tetangga dan keluarga acara dan keluarga karena ekonomi keluarga lebih baik.

Menurut Aparat Desa Sekdes dampak budaya dalam adat budaya keluarga lebih diperhitungkan, kepala desa dan pamong desa kurang tahu karena tidak pernah ikut kegiatan SPP-PNPM dan kurang tahu karena tidak tau persis kegiatan usaha ibu-ibu yang dapat dana pinjaman dari SPP-PNPM.

6.3.Partisipasi Perempuan Dalam Implementasi Program SPP PNPM Pada Aras Kelompok

6.3.1. Pemetaan Partisipasi Perempuan, Penggunaan Dana SPP Dalam Keluarga Usaha perempuan sebelum menerima dana pinjaman PNPM mandiri dari hasil wawancara dengan Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu satu dari tujuh anggota semuanya tidak memiliki usaha. Hanya satu orang yang usaha jualan di pasar tradisional. Sedangkan anggota Kelompok Tahamemu Hammu Duang tujuh dari mereka tidak memilik usaha apa-apa, satu dari mereka memilik usaha buat kebun sayur saat musim panas.

Keterlibatan perempuan dalam pengajuan dana pinjaman sebelum pengajuan dana simpan-pinjam PNPM Mandiri Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu istri sendiri yang minta

(32)

persetujuan suami untuk bisa pinjam dana di SPP-PNPM lewat diskusi Kelompok Tahamemu Hammu Duang.

Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan dana pinjaman dari program simpan-pinjam PNPM Mandiri mulai dari alokasi, penggunaan, pencatatan, dan pelaporannya ke pengurus program Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu ada yang menggunakan semua dana untuk beli barang kios nota belanja di simpan untuk bukti laporan ke bendahara UPK. ada juga yang dana pinjaman dipakai untuk beli babi dan makanan babi. Catatan beli babi dan makanan babi di tulis dalam buku catatan sebagai bukti. Uang sebagian dipakai untuk beli ayam, sebagian di simpan untuk beli makanan ayam dan juga untuk beli kebutuhan sehari-hari. Uang dipakai untuk beli pinang kering, sirih, tembakau untuk dijual di pasar, sisanya di simpan untuk beli kebutuhan sehari-hari. Cerita tetang pengelolaan dana sebagai laporan. Uang dipakai untuk beli pinang muda diiris lalu di jemur dan buah kelapa yang sudah tua untuk dimasak jadi minyak kelapa untuk di jual ke pasar terdekat. Anak yang membantu membuat laporan.

Sedangkan Kelompok Tahamemu Hammu Duang dua orang anggota suami mereka yang kelola sebagian untuk istri untuk beli barang kios dan istri buat laporan dalam buku catatan pengeluaran dan pemasukan, Suami yang kelola untuk beli ayam. Laporan suami yang urus, Istri sendiri terlibat dalam pengelolaan SPP. Uang dipakai untuk beli daun lontar, garam, kapur, pinang, sirih. Pengeluaran dicatat untuk laporan. Istri yang kelola beli barang kios. Nota belanja di simpan dan di salin dalam buku catatan. Istri yang terlibat dalam pengelolaan uang pinjaman atas kepercayaan suami. Beli barang kios, nota belanja barang sebagai bukti laporan. Suami-istri kelola sama-sama. Cari babi 2 bulan, beli pa’u. Laporan istri yang urus. Suami istri sama-sama kelola, Istri terlibat dalam pengelolaan dana SPP-PNPM melalui persetujuan setelah diskusi. beli sayur saat sayur yang ditanam sendiri belum bisa untuk dipanen, beli kelapa untuk buat minyak kelapa, beli sirih dan pinang. Catat pengeluaran dalam buku catatan untuk laporan.

Gambaran pengelolaan usaha perempuan setelah dana pinjaman dari dari program simpan-pinjam PNPM Mandiri menurut Anggota Kelompok Paluanda Lamma Hammu ada yang buka kios, ada yang tiap hari tumbuk batang pisang untuk makanan babi, ayam dan ada pula yang usaha buat minyak kelapa murni dan setiap hari selasa, kamis dan sabtu kepasar tradisional untuk di jual. Kelompok Tahamemu Hammu Duang ada dua orang yang suaminya yang kelola, empat orang lainnya mereka sendiri yang kelola, dan dua orang lainnya mereka kerja sama dengan suami kelola usaha.

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan ini harus dilaksanakan oleh seorang suami apabila hendak tetap melanjutkan perceraian karena ini merupakan konsekuensi yang harus mereka terima

Hasil amplifikasi gen COI menggunakan DNA template ekstrak DNA genom rotifer terobservasi adanya pita DNA pada posisi sekitar 700 bp.Kualitas hasil pengurutan

Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013 (Lembaran Daerah Kota Balikpapan Tahun

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1, dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 76 huruf (d). Tidak adanya

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya yang terkait dengan pengaruh rasio keuangan (PER, DER, EPS, ROA, CR, dan

1) Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Oleh karena itu, apabila piutang

Quraish Shihab menggunakan metode penulisan tafsir tahlili dan maudhu’i (tematik) dan menjelaskan isi kandungan ayat satu persatu terlebih dahulu mengulas secara global

Kekuatan hukum sertifikat hak milik atas tanah yang dibuat berdasarkan putusan pengadilan dalam hal transaksi jual beli yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah sama