! "
# $ " ! !
%! %! &
'( ) $ " *
% % + " $
* %! %!
" ! $ !
,
-. %! $ $
$ $ "
. " %! / 010
! " #
! $ % && ' % '&
()' ! ' * ' ' *$' ! '
Pengantar
Daftar Isi
Hipotesis Pasar Efisien dan Anomali Pasar Modal
Tanya Uni Hesty: Bagaimana Seharusnya Penelitian
Mahasiswa D3 vs. Mahasiswa S1
PSAK No.1 (Revisi 2009): Komponen Laporan Keuangan
Lengkap, Penyajian Laporan Keuangan, dan Extraordinary
Items
Biaya Tetap versus Biaya Variabel
Paradoks Produktivitas dan Tata Kelola Sistem Informasi
Keganjilan yang diakibatkan oleh adanya efek kalender dalam pasar modal sangat berkaitan erat dengan hipotesis tentang pasar modal yang efisien. Efek ini akan mengakibatkan efisiensi itu mengalami gangguan. Pasar dikatakan efisien apabila harga-harga sekuritas yang ada mencerminkan secara penuh informasi yang tersedia (Fama 1970). Mengapa efisiensi pasar ini sangat diperlukan? Efisiensi pasar berkaitan erat dengan alokasi dana dan pertumbuhan ekonomi. Pasar yang tidak efisien akan mengakibatkan adanya kesalahan dalam alokasi dana investasi pada aset-aset tertentu secara berlebihan atau berkekurangan. Sementara itu secara agregat kondisi ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dimana pemerintah akan mengalami permasalahan dalam pengalokasian sumber daya akibat adanya kesalahan dalam pengalokasian modal (misalloacation of capital) dari para investor.
mempengaruhinya tetap ada ditambah lagi dengan faktor keperilakuan dari pihak investor dalam menyikapi informasi yang diberikan oleh pasar.
Jones (1996 dalam Jogiyanto 2005, h.96) mendefinisi anomali pasar sebagai teknik atau strategi yang tampaknya bertentangan dengan pasar efisien. Anomali kalender merupakan salah satu dari beberapa anomali pasar yang mengganggu hipotesis pasar efisien bentuk lemah. Berdasarkan penelitian-penelitian tentang anomali kalender yang dilakukan pada beberapa pasar modal di dunia seperti di Amerika, Kanada, Perancis, Italia, Hongkong, China, India, Bangladesh, Singapura, Mesir dan sebagainya menunjukkan bahwa keganjilan ini terjadi secara berulang-ulang sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang menarik untuk diamati di pasar modal.
Keberadaan anomali ini akan menyebabkan kenaikan dan penurunan harga-harga saham yang berimplikasi pada keuntungan/return investasi di pasar modal dapat diprediksi oleh para investor. Adanya pola-pola pergerakan return saham yang dapat diprediksi akibat pengaruh anomali kalender mengakibatkan return yang terjadi tidak lagi bersifat acak/random. Pola pergerakan return ini dapat diamati oleh para investor sehingga mereka dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan return yang tidak normal. Return saham yang seharusnya acak dan tidak dapat diprediksi sesuai dengan hipotesis pasar efisien bentuk lemah akan menjadi bertentangan akibat adanya anomali tersebut. Hartono (2005, h. 18) mengatakan bahwa pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah apabila harga sekuritas mencerminkan secara penuh informasi masa lalu. Jika pasar efisien secara bentuk lemah, maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga sekarang.
variances, Kruskal-Wallis, Mann-Whitney, Wilcoxon hingga yang terakhir menggunakan
generalised autoregressive conditional heteroskedasticity.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di sejumlah pasar modal dunia memiliki hasil yang beragam tentang anomali pasar modal. Beberapa penelitian tersebut menemukan anomali sebagai berikut:
1. Efek hari dalam minggu (day-of-the-week effect) 2. Efek Senin (Monday effect)
3. Efek Rabu (Wednesday effect), 4. Efek Jumat (Friday effect)
5. Efek akhir minggu (weekend effect) 6. Efek hari libur (holiday effect)
7. Efek bulan dalam tahun (month-of-the-year effect)
Berbagai anomali di atas secara umum terjadi di hampir seluruh pasar modal di dunia, perbedaan yang terjadi hanya pada level dan bentuk anomali apa saja yang terjadi. Anomali tersebut akan menyesuaikan dengan beberapa faktor seperti: aspek kultural masyarakat, masa pelaporan pajak, penerbitan laporan keuangan, dan akhir tahun fiskal.
(Oleh: Arif Perdana)
Fama, E.F., (1970), Efficient Capital Markets: A Review of Theory & Empirical Work. Journal
of Finance, Vol. 25, No. 2, tersedia di : http://dv1litvip.jstor.org/stable/2325486
Hartono, Jogiyanto, (2005), Pasar Efisien secara Keputusan, Jakarta : Gramedia.
Uni Hesty saat ini mengajar di jurusan akuntansi Politeknik Caltex di
kota bertuah Pekanbaru dan akan segera mengajar di Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Negri Sutan Syarif Kasim Pekanbaru. Uni menamatkan
S1 di Universitas Andalas, Padang. Setelah berkutat dengan kuliah
selama 5,5 tahun dengan nilai ala kadarnya, meneruskan kuliah profesi
akuntan dan menamatkan studi S2 di kampus biru UGM, tempat yang
kemudian mengubahnya menjadi pencinta pembelajaran.
Silakan kirim pertanyaan apa saja seputaran akuntansi kepada Uni Hesty melalui e-mail di :
Seorang kolega pernah bertanya kepada saya tentang perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa D3 dan S1. Pertanyaan ini ia ajukan karena ia merasa belum menemukan standar yang pas dan baku tentang tata cara penelitian dimasing-masing jenjang pendidikan. Selain belum adanya standar, kadang sebagai dosen, saya dan kolega sering
dibuat bingung oleh judul yang diajukan mahasiswa. Judul yang diajukan mahasiswa S1 seringkali terlalu rendah untuk level mereka (lebih cocok untuk dijadikan penelitian oleh mahasiswa D3) atau sebaliknya, judul yang diajukan oleh mahasiswa D3 malah kadang terlalu tinggi (lebih cocok dijadikan skripsi atau malah tesis).
Jika dianalogikan dengan tingkatan pendidikan dari TK, SD, SMP dan SLTA, sebenarnya dalam penelitian, mahasiswa
SD sudah mulai bisa mengeja atau membaca sedikit demi sedikit maka siswa TK baru diajarkan untuk mengenal huruf. Siswa yang baru belajar mengenal huruf tentu saja tidak bisa dipaksa untuk membaca satu paragraf kalimat dan sebaliknya bagi mereka yang sudah belajar membaca, tentu saja huruf-huruf menjadi hal yang sudah tidak perlu lagi diajarkan, melainkan perlu didorong untuk membaca lebih banyak tulisan lagi.
JIka dipindahkan kembali ke dalam analogi penelitian maka seharusnya mahasiswa D3 tidak terlalu dituntut untuk melakukan penelitian yang canggih, cukup yang sederhana saja. Lalu, bagaimana defenisi dari kata-kata sederhana itu sendiri? Menurut saya, dalam taraf ini, mereka cukup sampai pada taraf memahami tentang aktivitas penelitian itu sendiri seperti belajar menyusun latar belakang yang baik; menemukan literatur yang bisa disadur dengan pas; serta menyimpulkan hasil penelitian mereka dengan baik. Untuk level D3, mereka cukup melakukan penelitian yang bersifat deskriptif dan kualitatif saja, misalnya dengan melakukan penelitian yang bersifat studi kasus, melakukan replikasi penelitian dan menggantinya dengan sampel yang berbeda, atau jika harus
memakai perhitungan statistik cukup dengan memakai perhitungan yang sederhana saja seperti perhitungan statistik deskriptif. Yang paling penting untuk diingat adalah bahwa mereka sedang belajar meneliti, sehingga tidak perlu menuntut mereka terlalu tinggi. Jadi, kalaupun tugas akhir mahasiswa D3 lebih mirip dengan laporan magang dan PKL pada mahasiswa S1, itu seharusnya masih bisa dimaklumi. Kalau meminta mereka untuk bisa memahami dan melakukan penelitian dengan pengujian statistik yang rumit itu? Menurut saya itu belum saatnya, namun juga bukan berarti hal ini menjadi pembatas untuk mereka yang ingin melakukan penelitian yang levelnya diatas level D3.
apa saja yang ada di dalam penelitian tersebut; bagaimana mendefenisikannya; bagaimana ia harus diuji, bagaimana sampel dipilih hingga bagaimana kesimpulan terhadap penelitian tersebut harus diambil. Sehingga untuk mendukung tujuan agar mahasiswa S1 sampai ke tahap ini, mereka sudah mulai diperkenalkan dengan mata kuliah statistik, metodologi penelitian, dan rancangan skripsi.
Mereka yang sudah mulai belajar mengeja dan membaca, sudah mulai bisa diminta untuk membaca baris demi baris, hingga meningkat ke paragraf dan kemudian meningkat menjadi halaman atau bahkan menjadi bab. Begitu juga dalam melakukan penelitian, mereka yang sedang belajar meneliti dengan baik, seharusnya sudah mulai bisa diminta untuk melakukan penelitian yang tidak sederhana lagi, seperti melakukan
penelitian yang menggunakan model penelitian tertentu, atau penelitian yang sudah mulai menggunakan pengujian statistik yang lebih kompleks. Namun demikian, bukan berarti penelitian dengan menggunakan pengujian statistik menjadi harga mati sebuah untuk mengatakan sebuah penelitian menjadi rumit atau tidak. Penelitian yang bersifat studi kasuspun banyak yang tidak kalah rumit asal dilakukan dengan kajian yang mendalam dan detil.
!
! " #
Jika seorang investor ingin mengambil keputusan bisnis, maka salah satu pertimbangannya adalah dengan melihat dan menganalisis laporan keuangan perusahaan. Kenapa laporan keuangan? Laporan keuangan merupakan salah satu media utama yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya kepada pihak luar. Laporan ini juga merekam peristiwa kejadian bisnis dalam bentuk unit moneter. Dengan disediakannya laporan keuangan maka keadaan ekonomi perusahan (yang dituangkan ke dalam bentuk angka-angka moneter) tercermin dalam laporan keuangan tersebut. Untuk menganalisis laporan keuangan perusahaan, tentu saja diperlukan komponen-komponen laporan keuangan yang lengkap.
$ % # " !
& "
$ % # "
Dalam PSAK 1 (Revisi 2009) terdapat beberapa istilah baru yang diungkap dan terdapat juga beberapa istilah yang telah berubah jika dibandingkan dengan PSAK 1 tahun 1998. Istilah-istilah baru yang diungkap dalam PSAK 1 (Revisi 2009), yang sebelumnya tidak diungkap dalam PSAK 1 (Revisi 1998), adalah:
a. catatan atas laporan keuangan b. laba atau rugi
c. laporan keuangan bertujuan umum d. material
e. pemilik
f. pendapatan komprehensif lain g. penyesuaian reklasifikais h. standar akuntansi keuangan i. tidak praktis
j. Total Laba rugi komprehansif
Beberapa perubahan istilah diantaranya adalah
a. Penggantian istilah “kewajiban” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “liabilitas” pada PSAK 1 (Revisi 2009).
b. Penggantian istilah “aktiva” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “aset” pada PSAK 1 (Revisi 2009).
c. Penggantian istilah “neraca” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “laporan posisi keuangan” pada PSAK 1 (Revisi 2009)
'
Berdasar pada PSAK 1 (Revisi 2009), komponen laporan keuangan lengkap mengalami perubahan dari yang tadinya hanya mencakup lima item, sekarang mencakup enam item. Berdasar PSAK 1 (Revisi 1998), komponen laporan keuangan lengkap meliputi:
1 neraca,
2 laporan laba rugi,
3 laporan perubahan ekuitas, 4 laporan arus kas, dan
5 catatan atas laporan keuangan.
Sedangkan menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009) yang disahkan pada tanggal 15 Desember 2009 dan mulai yang efektif berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-komponen berikut ini :
1 laporan posisi keuangan pada akhir periode 2 laporan laba rugi komprehensif selama periode 3 laporan perubahan ekuitas selama periode 4 laporan arus kas selama periode
5 catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain; dan
6 laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
Jika kita bandingkan antara PSAK 1 (Revisi 1998) dengan PSAK No. 1 (Revisi 2009), terkait komponen laporan keuangan, maka terdapat dua perbedaan utama yaitu:
1. perubahan pada laporan laba rugi, dimana sebelumnya hanya mensyaratkan laporan laba rugi, sekarang harus menyajikan laporan laba rugi komprehensif
secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
Perlu ditekankan bahwa antara laporan laba rugi dengan laporan laba rugi komprehensif memiliki perbedaan. Laporan laba rugi adalah total pendapatan dikurangi beban, tidak termasuk komponen-komponen pendapatan komprehensif lain. Sedangkan laporan laba rugi komprehensif termasuk didalamnya laporan laba rugi dan pendapatan komprehensif. Pendapatan komprehensif mencakup (paragraf 7):
a. perubahan dalam surplus revaluasi (lihat PSAK 16 (Revisi 2007): Aset Tetap dan PSAK 19 (Revisi 2009): Aset Tidak Berwujud)
b. keuntungan dan kerugian aktuarial atas program manfaat pasti yang diakui sesuai dengan PSAK 24: Imbalan Kerja
c. keuntungan dan kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari entitas asing (lihat PSAK 10 (Revisi 2009): Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing)
d. keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan yang dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran)
e. bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran)
(
Penyajian laporan keuangan yang dituangkan dalam PSAK No.1 merupakan adopsi dari IAS 1 Presentation of Financial Statements (2009). Terdapat beberapa perbedaan berdasar PSAK 1
(Revisi 2009) dengan PSAK 1 (Revisi 1998). Beberapa perbedaan terkait penyajian laporan keuangan di antaranya:
pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, serta arus kas sedangkan menurut PSAK 1 (1998), informasi yang disajikan dalam laporan keuangan meliputi: aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, serta arus kas.
b. PSAK 1 (Revisi 2009) tidak mengatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur bahwa entitas sebaiknya mengeluarkan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.
c. Paragraf 84 PSAK 1 (Revisi 2009) tidak memperkenankan penyajian “pos luar biasa” dalam laporan laba rugi komprehensif (akan dibahas spada bagian berikutnya). d. Dalam paragraf 78 PSAK 1 (Revisi 2009) mensyaratkan bahwa seluruh pos
penghasilan dan beban yang diakui dalam satu periode dapat disajikan dengan dengan memilih salah satu format berikut:
Dalam bentuk satu laporan laba rugi komprehensif, atau Dalam bentuk dua laporan, yaitu:
i. Laporan yang menunjukkan komponen laba rugi (laporan laba rugi terpisah), dan
ii. Laporan yang dimulai dengan laba rugi dan menunjukkan komponen pendapatan komprehensif lain (laporan laba rugi komprehensif)
) *
+
, " #
-Tidak kita pungkiri bahwa sudah menjadi perdebatan sejak lama tentang apa yang harus dimasukkan dalam net income, apakah hanya kegiatan yang berasal dari aktivitas operasi ataukah juga memasukkan kegiatan yang berasal dari aktivitas tidak biasa (irregular items). Isu ini sangat penting mengingat tidak sedikit jumlah irregular item yang dilaporkan oleh entitas.1 Berdasarkan pendekatan modified all inclusive concept, perusahaan dapat melaporkan irregular items sebagai bagian dari net income-nya. Salah satu irregular items adalah pos luar biasa (extraordinary items)
1
Secara konsep, pos luar biasa merupakan transaksi dan kejadian yang tidak berulang yang berbeda secara signifikan dari kegiatan normal perusahaan. Untuk menentukan apakah suatu kejadian dikatakan luar biasa harus dikaitkan dengan kegiatan normal perusahaan atau dikaitkan dengan karakteristik perusahaan. Sebagai contoh, kerugian akibat terjadinya gempa bagi perusahaan yang terletak di negara Jepang (sering dilanda gempa) akan menjadi kejadian yang biasa saja, tetapi kerugian yang diderita oleh perusahaan di Indonesia (yang jarang terjadi gempa) dapat dikatakan sebagai kejadian yang luar biasa. Ini mengandung makna kriteria “luar biasa” akan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahana lainnya sehingga perlu menetapkan suatu kriteria untuk dapat mengkategorikan suatu kejadian masuk dalam “pos luar biasa”.
Suatu aktivitas dikategorikan sebagai pos luar biasa jika memenuhi 2 persyaratan berikut: 1. Bersifat tidak normal; kejadian atau transaksi yang bersangkutan memiliki tingkat
abnormalitas yang tinggi dan tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan normal perusahaan.
2. Tidak sering terjadi; kejadian atau transaksi yang bersangkutan tidak sering terjadi dalam kegiatan normal perusahaan.
Sebagai pertimbangan lain, untuk menentukan apakah peristiwa atau transaksi dikatagorikan sebagai pos luar biasa maka entitas perlu mempertimbangkan lingkungan tempat entitas tersebut beroperasi. Sebagai contoh Weyerhaeuser Company (forest and lumber) memasukan pos luar biasa atas terjadinya aktivitas volkanik pada gunung St. Helens
sejumlah $36 juta. Erupsi volkanik ini menghancurkan logistik, bangunan, equipment, sistem transportasi, dan kayu. Bagi Weyerhaeuser Company kerugian yang ditimbukan oleh aktivitas volkanik tersebut sangat jarang terjadi dan bersifat tidak normal sehingga dapat diklasifikasikan sebagai extraordinary items, tetapi mungkin saja bagi perusahaan lain yang terletak didaerah rawan terjadinya aktivitas volkanik, kerugian sebagai akibat adanya aktivitas volkanik tidak dapat dikatagorikan sebagai extraordinary items.
tidak lagi memperkenankan disajikannya pos luar biasa dalam laporan keuangan. sebelumnya, penyajian pos luar biasa dalam laporan laba rugi perusahaan diatur berdasarkan PSAK No. 25 mengenai ‘Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi’, paragraf 10 - 14.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa pos luar biasa tidak diperkenankan lagi disajikan dalam laporan keuangan? Jika melihat ke belakang ketika terjadi tragedi serangan teroris di Amerika tanggal 11 september 2001 dan peristiwa terjadinya badai Katrina tahun 2005, seluruh media di Amerika mengkatagorikan dua peristiwa tersebut sebagai “extraordinary.” Namun FASB’s Emerging Issues Task Forces (EITF) menyatakan bahwa melampirkan kerugian yang berasal dari kejadian tanggal 11 September akan menjadi tidak efektif dalam mengkomunikasikan akibat dari adanya serangan tanggal 11 September sehingga hal ini bertentangan dengan tujuan luas dari disediakannya laporan keuangan yaitu mengkomunikasikan secara efektif dan jelas (informasi laporan keuangan). Alasan lain yang dikemukakan oleh EITF adalah sulitnya “menangkap” akibat-akibat finansial dari serangan teroris pada satu item laporan keuangan. Sementara menurut IAS, dikeluarkannya extraordinary items dari laporan keuangan karena terdapat kesulitan dalam memisahkan
efek-efek finansial dari satu kejadian dengan kejadian lain secara objektif.
Secara umum, alasan eliminasi extraordinary items dari laporan keuangan dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Terdapat kesuliatan untuk menentukan apakah suatu peristiwa/transaksi dapat dikatagorkan sebagai pos luar biasa. Hal ini disebabkan karena kriteria penentuan pos luar biasa masih membutuhkan judgement.
3) Memisahkan kos yang termasuk dalam extraordinary item dengan yang tidak termasuk dalam extraordinary items bukan saja merupakan hal yang tidak praktis2 , tetapi juga merupakan hal yang tdak berguna bagi pengguna laporan keuangan yang berfokus pada informasi yang dapat membantu prediksi future earnings dan akibat cash flow dari adanya kejadian–kejadian tersebut. Sehingga udaha untuk memisahkan kos dalam
ordinary atau extraordinary akan menghalangi (bukan meningkatkan) komunikasi
informasi keuangan
4) Salah satu katagori extraordinary items adalah tidak sering terjadi (infrequently in practice) sehingga karena tidak sering terjadi makan sebaiknya dieliminasi.
Secara umum penulis sependapat dengan Massoud et al. (2007) bahwa memang sudah saatnya extraordinary items dihilangkan karena telah cukup lama manfaat dari disajikannya extraordinary item menjadi tidak jelas. Mengapa? Dengan mengklasifikasikan suatu kejadian
dalam extraordinary items tidak akan mengubah efek bottom-line atas kejadian tersebut terhadap organisasi, karena extraordinary items hanya sebagian kecil dari semua pos yang ada dalam kaporan keuangan yang bisa dijadikan pertimbangan organisasi.
(Oleh: Yeni Januarsi)
.
Massoud, Raiborn, and Humphrey. 2007. Extraordinary Items: Time To Eliminate The Classification. CPA Journal
Burke, J.A. 2006. An Extraordinary Decision Leads to Extraordinary Changes. CPA Journal Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Salemba
Empat. Jakarta
Kieso, Weygandt, and Warfields. 2010. Intermediate Accounting. Wiley.
2
Dalam mata kuliah akuntansi manajerial ataupun akuntansi biaya, kita sering sekali berhubungan dengan berbagai macam biaya; mulai dari biaya tetap, biaya variabel, biaya diferensial, biaya relevan dan biaya lain-lain. Secara sederhana, biaya merupakan sejumlah pengorbanan (baik yang berupa uang ataupun yang bisa diubah atau dikonversikan dengan sejumlah uang) yang kita keluarkan untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu. Sebagai contoh, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di kampus, kita mengorbankan uang kuliah, uang buku, fotokopi, ongkos angkutan umum, hingga uang yang tiap bulan dibayarkan untuk sewa rumah.
Di antara berbagai macam biaya tadi, di bagian paling dasar dari biaya terdapat biaya yang bernama biaya tetap dan biaya variabel. Kedua biaya ini merupakan jenis biaya yang hampir selalu ada dalam berbagai komposisi biaya, terutama digunakan untuk menghasilkan sebuah produk. Meskipun seringkali berjalan beriringan, kedua biaya ini sebenarnya memiliki karakteristik yang berlawanan.
yang kita lakukan? Biaya tetap dan unit yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan memiliki hubungan yang terbalik. Hubungan terbalik ini maksudnya adalah semakin banyak unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan maka biaya tetap per unit atau per aktivitas yang kita lakukan akan semakin kecil jumlahnya.
Jika dihubungkan dengan aktivitas produksi, kita bisa mengambil contoh sebuah gudang yang disewa untuk lokasi pabrik dengan biaya sewa Rp 100.000.000 per tahun. Pada tahun awal, ketika produksi belum dimulai, kita mengeluarkan biaya sewa sejumlah Rp.100 juta per tahun. Ketika mulai berproduksi, kita tetap membayar jumlah yang sama. Bahkan ketika jumlah produksi semakin banyak, jumlah sewa pabrik yang kita bayarkan masih sama. Skema biaya tetap dalam produksi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1
Contoh Perhitungan Biaya Tetap
Biaya Sewa per Tahun
Jumlah Unit yang Diproduksi
Biaya sewa gudang per unit
Rp 100.000.000 200 Rp. 500.000
Rp 100.000.000 500 Rp. 200.000
Rp 100.000.000 2500 Rp. 40.000
Adapun contoh nonproduksi dari biaya tetap adalah biaya abonemen pada tagihan listrik dan telepon. Biaya abonemen ini adalah jumlah biaya yang harus kita bayarkan setiap bulannya meskipun pada bulan itu kita tidak menyalakan satu alat listrik pun di rumah atau tidak melakukan satu percakapan lewat telepon.
sedangkan untuk biaya secara total jumlahnya akan menyesuaikan dengan banyaknya jumlah unit yang diproduksi ataupun jumlah aktivitas yang dilakukan. Jika biaya tetap memiliki hubungan terbalik dengan jumlah unit yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan maka, secara total, biaya variabel memiliki hubungan searah dengan jumlah unit yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan. Hubungan searah ini maksudnya adalah semakin banyak unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan, maka akan semakin banyak biaya variabel yang kita keluarkan.
Untuk memasarkan produk yang kita buat, kita menyewa tenaga penjual dengan membayarkan komisi sebanyak Rp.10.000 dari tiap barang yang berhasil ia jual. Jika si penjual hanya mampu menjual 10 buah produk dengan harga satuan Rp.100.000, maka besarnya biaya komisi yang harus kita keluarkan untuk si penjual adalah : Rp10.000 x 10 = Rp.100.000. Jika dalam sebulan ia mampu menjual hingga 200 unit, maka biaya komisi yang harus kita keluarkan adalah Rp.10.000 x 200 = Rp. 2.000.000. Selanjutnya, besarnya biaya komisi yang akan kita keluarkan adalah sebesar jumlah unit yang mampu dijual si penjual kita kalikan dengan biaya komisi per unit yang kita berikan. Untuk lebih jelasnya, kita bisa melihat skema perhitungan biaya variabel pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Contoh Perhitungan Biaya Variabel
Biaya Komisi per Unit Jumlah Unit yang Terjual
Total Biaya Komisi yang Dikeluarkan
Rp. 10.000 10 Rp. 100.000
Rp. 10.000 200 Rp. 2.000.000
Rp. 10.000 750 Rp. 7.500.000
!
!
!
!
"
"
"
"
Biaya tetap dan biaya variabel memang biasa disandingkan. Dalam komposisi tagihan telepon misalnya, total biaya yang harus kita bayarkan merupakan gabungan dari biaya tetap dan biaya variabel. Seperti yang tertulis pada contoh 2 di atas, abonemen merupakan biaya tetap, sedangkan biaya percakapan merupakan biaya variabel; yang berasal dari jumlah menit percakapan yang kita lakukan x tarif percakapan per menitnya.
Selain tagihan telepon, contoh lain dari gabungan biaya tetap dan biaya variabel adalah total uang kuliah yang harus dibayarkan setiap semester. Dalam komposisi pembayaran uang kuliah, SPP merupakan biaya tetap karena jumlah yang akan kita bayarkan tidak berubah meskipun kita berada di semester 1 ataupun di semester 10 sedangkan biaya sks merupakan biaya variabel, yang besar jumlahnya tergantung pada jumlah sks yang kita ambil x biaya per sks yang telah ditetapkan.
Tidak sedikit perusahaan yang mengalami kegagalan dalam implementasi teknologi informasi (TI) atau sistem teknologi informasi (STI), termasuk juga yang berkaitan dengan sistem informasi akuntansi. Ada beberapa penyebab yang dapat ditelusuri. Secara garis besar ada yang bersifat teknis dan non-teknis. Sisi teknis berkaitan dengan teknologi yang berada di belakang sistem tersebut, sementara sisi non teknis berada pada aspek keperilakuan dan managerial dalam
penggunaan sistem tersebut. Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai aspek managerial yang mempengaruhi kesuksesan penerapan sistem teknologi informasi.
yang akan diterima oleh suatu entitas bisnis. Berkaitan dengan hal ini muncul terminologi productivity paradox. Istilah
productivity paradox pertama kali
dikemukakan oleh Steven Roach dalam penelitiannya yang berjudul America's Technology Dilemma: A Profile of the
Information Economy yang dipublikasikan
pada tanggal 22 April 1987 (Brynjolfsson & Hitt 1998). Kesimpulan mengenai
productivity paradox diperoleh karena
adanya peningkatan yang sangat besar dalam teknologi komputasi, namun demikian tidak diimbangi dengan imbas yang dihasilkan dari sisi kinerja ekonomi, khususnya untuk sektor ekonomi yang didominasi oleh “pekerja informasi”. (Brynjolfsson & Hitt 1998).
Perdebatan panjang mengenai productivity paradox bermunculan, ada
yang mendukung dan ada juga yang menentang. Argumen yang mendukung dikemukakan oleh Carr (2003) yang menyatakan bahwa investasi dalam bidang teknologi seringkali tidak sejalan dengan hasil yang dapat diperoleh. STI tidak lagi menjadi sesuatu yang strategis bagi perusahaan dan telah menjadi suatu komoditas. Sejumlah survey dan penelitian menemukan bahwa productivity paradox tidak sepenuhnya
benar dan tidak juga sepenuhnya salah. Beberapa sektor produksi ada yang mengalami peningkatan dalam produktivitas dalam kaitannya dengan penggunaan STI, namun ada juga yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hasil survey yang dilakukan oleh Federal Reserve Board, Information Technology and Productivity: Where Are
We Now and Where Are We Going, pada
tahun 2002 menemukan bahwa peningkatan produktivitas hanya terjadi pada beberapa sektor industri seperti industri perakitan komputer, sekuritas (keuangan), pabrikan semikonduktor, telekomunikasi, dan grosir. Produktivitas terbesar yang dicapai oleh industri-industri tersebut berada dalam rentang waktu 6 tahun sejak tahun 1995 hingga 2000 (Keller 2004). Argumen yang kontra
productivity paradox datang dari
pengeluaran dan penggunaan STI. Salah satunya adalah penciptaan bidang-bidang kerja yang bergaji tinggi yang berhubungan dengan penyediaan jasa dan penjualan STI. (Keller 2004). Survey yang dilakukan oleh OECD dan U.S. Department of Commerce ini melihat imbas STI secara lebih luas dalam konteks negara dan bukan pada tingkatan perusahaan. Jika dilihat secara lebih luas, dapat disimpulkan STI memiliki imbas yang besar dalam produktivitas perekonomian saat ini. yang memanfaatkan STI dalam proses bisnisnya seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan-perusahaan yang belum mendapatkan hasil yang maksimal dalam investasi di bidang STI. Productivity paradox yang menjadi bahan
perdebatan sesungguhnya berada pada lingkup perusahaan atau industri tertentu saja dan bukan berada pada lingkup yang lebih luas seperti negara dan regional tertentu. Oleh karena itu fenomena
productivity paradox sebenarnya tidak
dapat sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan STI itu sendiri dan tidak adanya ukuran yang jelas bagaimana
.23
$
mengukur kesuksesan implementasi STI. Kegagalan dalam STI umumnya terjadi karena proses perencanaan dan analisis masalah yang salah sehingga hasil pengembangan STI kedalam perusahaan menjadi tidak berhasil. Faktor kepemimpinan juga memainkan peranan yang amat penting. Keterlibatan dan partisipasi manajemen puncak akan sangat menentukan kesuksesan implementasi STI. Beberapa studi yang berkaitan dengan hal tersebut menemukan terdapat keterkaitan yang erat antara kesuksesan implementasi STI dengan hubungan eksekutif yang didalamnya melibatkan CEO dan CIO (Feeny et al. 1992; Earl & Feeny 1995; Chen & Preston, 2007). Dari sisi
pengukuran kesuksesan, STI tidak hanya diukur dari perspektif keuangan, namun juga harus diukur dari persepektif non keuangan lainnya seperti kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan, akurasi proses bisnis, dsb. Pengukuran kesuksesan STI yang hanya diukur dari perspektif keuangan tidak tepat, karena dua variabel ini tidak selalu berhubungan secara langsung.
Berkaitan dengan adanya kesalahan dalam pengelolaan dan pengukuran kesuksesan implementasi STI, pemikiran
mengenai tata kelola teknologi informasi (IT governance) kini berkembang. Ada berbagai definisi yang dikemukakan berkaitan dengan tata kelola TI. Ross & Weill (2004) Mendefinisikan tata kelola TI
strategis, pengendalian dan rerangka proses. Mekanisme relasional merupakan komponen yang melengkapi rerangka tata kelola TI. Mekanisme sangat dibutuhkan dalam tataran operasional, tata kelola TI tidak akan berhasil tanpa adanya mekanisme meskipun telah memiliki struktur dan proses yang baik. Mekanisme ini meliputi partisipasi bisnis/TI, dialog strategis, pelatihan, pembelajaran dan komunikasi. Dalam tataran operasional, panduan operasional tata kelola TI dapat menggunakan COBIT, CMMi, COSO, ISO/IEC 17799:2005, ISO/IEC TR 13335,
ISO/IEC 15408:2005, ITIL, NIST 800-14, PRINCE2, PMBOK, TickIT (Van Grembergen & De Haes 2008).
Aspek managerial terutama yang berkaitan dengan tata kelola teknologi informasi memegang peranan penting dalam kesuksesan implementasi STI. Dengan demikian, penerapan STI semata tanpa mempertimbangkan bagaimana memanfaatkannya dengan benar, sama sekali tidak bermanfaat bagi perusahaan. (Oleh: Arif Perdana)
Referensi:
Referensi:
Referensi:
Referensi:
Brynjolfsson, Erik & Lorin M. Hitt. 1998. Beyond the Productivity Paradox: Computers are the Catalyst for Bigger Changes. Forthcoming in the Communications of the ACM.
Carr, Nicholas. G. 2003. IT Doesn’t Matter. Harvard Business Review. May 2003. USA: Harvard Business School Press.
Chen. Daniel Q & David S. Preston. 2007. Understanding CIO Role Effectiveness: the Antecedents and Consequents. Proceedings of the 40th Hawaii International Conference on System Sciences – 2007
Earl M.J. and David.F. Feeny. 1995. Is Your CIO Adding Value, The McKinsey Quarterly.
Feeny, David. F. et.al. 1992. Understanding the CEO/CIO Relationship. MIS Quarterly, Vol. 16 Issue 4.
Keller, Erik. 2004. Technology Paradise Lost: Why Companies Will Spend Less to Get More from Information Technology. Greenwich, CT: Manning Publications Co
vanGrembergen, Wim & Steven De Haes. 2008. Implementing Information Technology Governance: Models, Practices, and Cases. United States of America: IGI Global.
Setelah menemukan topik, sebagaimana dibahas di ‘Kolom Uni Hesty’ bulan April kemarin, langkah berikutnya adalah mencari literatur. Literatur berperan penting bagi pemahaman kita atas suatu topik. Hal ini karena pemahaman kita hanya akan sebagus literatur yang kita pelajari. Literatur yang baik adalah literatur yang memiliki kualitas tinggi pada:
1) Isi atau kandungan/content penelitian.
Penelitian dilakukan secara benar.
Ini berarti penelitian terkait memiliki rumusan masalah yang baik dan terjustifikasi; pengembangan hipotesis yang valid; benar dalam menggunakan, mengadaptasi, dan mengaplikasi model; serta benar dalam menginterpretasi hasil. Singkat cerita, penelitian ini haruslah melakukan segala langkah-langkah penelitian dengan tepat dan hati-hati sehingga hasilnya pun benar, tidak dirusak oleh kekeliruan (error) ataupun bias.
Hasil penelitian memiliki kontribusi penting.
Kontribusi suatu paper dilihat dari perspektif dunia penelitian di saat penelitian itu dipublikasi. Contohnya paper Ray Ball dan Philip Brown (1968) yang berjudul ‘An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’1 Bila kita lihat saat ini maka paper itu tampak sederhana dan biasa. Namun, tidak demikian ketika paper itu dipublikasi pada tahun 1968. Saat itu, tren penelitian akuntansi adalah penelitian
1
normatif dan penelitian Ball dan Brown (bersama dengan penelitian William H. Beaver [1968]2) merupakan pionir penelitian akuntansi positif. Paper-paper serupa yang dibuat kemudian (replikasi) tidak memiliki peran sepenting peran paper Ball dan Brown (1968) walaupun bukan tidak mungkin paper-paper yang lebih baru tersebut justru menggunakan metode yang lebih canggih.
2) Pemaparan ide, pemikiran, dan aspek penelitian.
Kualitas kedua ini terkait dengan bagaimana peneliti mengkomunikasikan penelitiannya ke pembaca melalui tulisan. Selain melakukan penelitian dengan benar, paper yang baik juga memudahkan pembaca untuk memahami penelitiannya. Ini berarti paper yang baik umumnya memiliki ciri-ciri berikut ini:
Argumen dipaparkan secara runut.
Pemikiran disampaikan dalam bahasa yang baik dan benar serta lugas. Kalimat yang digunakan tidak canggung ataupun ambigu.
Aspek-aspek penelitian disajikan dalam cara-cara yang memudahkan pembaca mengerti penelitian tersebut.
Kedua kualitas di atas memastikan bahwa kita mempelajari penelitian yang ‘benar’ dan penting dengan relatif mudah. ‘Benar’ di sini berarti penelitian dilakukan dengan benar, bukan penelitian yang dilakukan secara serampangan atau yang punya banyak kekeliruan. Penelitian yang tidak dilakukan dengan benar membuat hasilnya tidak dapat dipercaya dan, oleh karenanya, tidak dapat dijadikan dasar bagi penelitian lain, termasuk penelitian kita.
Selain itu, kita juga perlu melandaskan penelitian kita pada penelitian yang penting. Hal ini terkait dengan keterandalan/reliabilitas asumsi yang kita gunakan, argumen yang kita bangun, model yang kita adopsi atau adaptasi, dan sebagainya. Prinsipnya, informasi atau pengetahuan tangan pertama itu lebih baik daripada turunan/derivasinya. Misalnya, ketika kita meneliti manipulasi aktivitas real dan mengadopsi Model Roychowdhury maka pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari paper Roychowdhury (2006)3 akan jauh lebih
2
Beaver, W.H. 1968. The information content of annual earnings announcements. Journal of Accounting Research 6: 67-92.
3
baik daripada mempelajari paper lain yang sekedar mengutip atau juga menggunakan model Roychowdhury (2006).
Sementara itu, kualitas pemaparan dan penulisan ide, pemikiran, dan aspek penelitian yang baik akan memudahkan kita memahami penelitian itu sendiri. Misalnya saja, Roychowdhury (2006) bahkan menjelaskan mengapa ia keluar dari kebiasaan umum dengan menambahkan konstan/intercept yang tidak terskala (unscaled) ke dalam modelnya. Penjelasan ini terdapat pada footnote 18, Roychowdhury (2006).
3 ! ! ! $ ∝ 1⁄ $
* ! ! 2 ! ! ! ! *
45) ! ! $ ! 3 !
$ ∝ $ ! ! 45) %!
6 ! 3 !* ⁄ %!
! ! 6 ! * 7 !
! $ $ 6 ! 8 !
! %% $ ! ! $
1⁄
Kedua kualitas yang dimiliki oleh paper yang baik tersebut memastikan bahwa kita mempelajari penelitian yang dilakukan dengan benar dan mudah memahaminya. Ini sangat berguna buat orang yang relatif baru dalam melakukan penelitian.4 Topik-topik ‘berat’ seperti relevansi nilai, manipulasi laba, dan lainnya akan menjadi sangat masuk akal dan mudah dipahami bila kita mempelajarinya melalui literatur yang berkualitas. Tulisan ini berusaha memberi gambaran jenis-jenis literatur yang baik dan, oleh karenanya, perlu kita pelajari ketika sudah menentukan topik penelitian.5
4
Bila kita masih baru dalam melakukan penelitian (e.g. saat menyusun skripsi) maka kita tidak/belum memiliki standar tertentu dan cenderung menganggap semua referensi sebagai ‘benar dan baik’. Masalahnya, hal ini membuat kita mudah terjebak ke dalam referensi yang tidak ‘benar dan baik’ dan, kemudian, melakukan penelitian dengan tidak ‘benar dan baik’ pula. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan otot-otot standar mutu yang baik dalam penelitian dengan cara mempelajari literatur yang berkualitas.
5
Pertanyaan penting sebelum kita melakukan sesuatu adalah ‘kenapa’? Jadi, kenapa kita perlu baca paper teranyar? 6
Kita belum tahu topik itu mau dibawa ke mana dan apa yang mau dilakukan dengannya.
Ini terjadi bila kita hanya memiliki topik namun belum punya gambaran spesifik tentang apa yang mau kita teliti. Seumpama kita tertarik isu manipulasi laba (earnings management). Namun kita belum tahu isu spesifik manipulasi laba yang ingin atau bisa kita teliti, model yang perlu digunakan, perkembangan isu manipulasi laba itu sendiri, dan lain-lain. Paper teranyar memberi gambaran terkini tentang berbagai alternatif yang bisa kita pilih dalam aspek-aspek tadi serta menunjukkan kelebihan dan kelemahan suatu alternatif. Ini merupakan fitur yang tidak bisa anda peroleh dengan paper selain paper teranyar.
Contoh: Pengukuran akrual diskresioner oleh Cohen et al. (2007: p. 10-11)7
9 ! ! ! !% ! $ * %! *
! %! % .34 ! 2 $ !
! ! ! %! * ! ! ! ! %%
! * !* ! %% ! ! ,# 6 :::$ ; 5!
! ::
-) ! ! % ! ! ! ! , ! ::
-; !* , :: - <
9 ! ! ! %!
! #! $ = ! $ 9 ,
->%!! ! ? 9 ! @ * *
! * ! ! !% %! %
6
Untuk kepentingan pembahasan, esai ini menggunakan working paper Daniel A. Cohen, Aiyesha Dey, dan Thomas Z. Lys, ‘Real and Accrual-based Earnings Management in the Pre- and Post-Sarbanes Oxley Periods,’ versi Juni 2007 sebagai contoh. Working paper versi 2007 ini sudah tidak tersedia di SSRN, namun anda bisa menggunakan versi 2008 yang bisa diunduh secara bebas di SSRN:
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1280711
7
>%!! ! <? A ! !
! ! !
! ! ! ! $ ! ! !
! * ! %! 9 !
* !* ! ! $ !
* ! ! 7 !
3% ! * ! $ ! ! @ !
* !* 7 ! !* !% ! $ $ * ! !* B @
) * $ ! ! !
! ! ! !
Berdasar penjelasan dalam paper Cohen et al. (2007) tersebut, kita bisa membuat gambaran mengenai pengukuran akrual diskresioner sebagaimana ‘Orat-Oret 1’ berikut.
Pembahasan ukuran manipulasi laba oleh paper Cohen et al. (2007) secara implisit menggambarkan perkembangan model akrual diskresioner dan alasan penggunaan aspek-aspeknya. Paper Cohen et al. (2007) menunjukkan perkembangan pengukuran akrual
!
diskresioner dari model Jones (1991)8 yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995)9 dan kemudian pendekatan kontekstualnya diperbaiki oleh Kothari et al. (2005).10 Paper ini menjelaskan alasan mengapa pengestimasian model dilakukan untuk setiap industri yang diklasifikasi dengan 2-digit kode SIC (Kasznik 1999).11 Paper ini juga menjelaskan mengapa ia tetap menggunakan model Jones meskipun model ini banyak dikritik atas kekeliruan dalam menangkap komponen akrual diskresioner (lihat footnote 13). Di samping itu, Cohen et al. (2007) menunjukkan bahwa mereka juga menguji hipotesis dengan menggunakan ukuran akrual diskresioner tercanggih yang ada (Kothari et al. 2005) walaupun mereka tidak secara spesifik menjelaskan alasan penggunaannya.
Oleh karena itu, mempelajari paper teranyar sangat bermanfaat untuk dengan cepat memperoleh gambaran alternatif aspek penelitian yang ada. Gambaran mengapa sebaiknya kita menggunakan atau tidak menggunakan suatu model, meneliti atau tidak meneliti suatu variabel, dan lain-lain. Dengan mempelajari beberapa paper teranyar saja, kita sudah bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang sebaiknya kita lakukan atau tidak lakukan serta memperoleh gambarang mengenai aspek-aspek apa saja yang harus kita perhatikan dalam penelitian kita.
Kita perlu tahu apakah ide penelitian kita sudah diteliti atau belum.
Kadang kala peneliti sudah memiliki gambaran umum terkait ide penelitiannya. Namun demikian, (hampir) tidak ada gunanya mengerjakan ulang apa yang telah diteliti peneliti lain. Selain tidak/kurang berguna secara keilmuan, meneliti hal yang sama dengan peneliti lain itu juga tidak/kurang berguna bagi si peneliti itu sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya jurnal (yang bagus) tidak bersedia menerima naskah artikel penelitian yang sama sehingga hampir bisa dipastikan naskah itu tidak akan terpublikasi. Oleh karenanya, kita perlu mengecek apakah ide penelitian yang kita usulkan telah dikerjakan peneliti lain atau belum. Pengecekan ini dilakukan dengan melihat apakah ada paper-paper teranyar yang mengusung ide penelitian yang sama dengan yang kita ajukan. Bila tidak/belum ada maka
8
Jones, J.J. 1991. Earnings management during import relief investigation. Journal of Accounting Research 29 (2): 193-228.
9
Dechow, P.M., R.G. Sloan, dan A.P. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review 70 (2): 193-225.
10
Kothari, S.P., A.J. Leone, dan C.E. Wasley. 2005. Performance matched discretionary accrual measures. Journal of Accounting and Economics 39: 163-197.
11
kita bisa terus melanjutkan penelitian kita. Namun, bila sudah ada yang mengerjakan maka sebaiknya kita memikirkan hal tambahan yang bisa kita berikan pada penelitian yang telah ada tersebut sehingga penelitian kita menjadi ‘baru’ atau sedikitnya berkontribusi lebih terhadap penelitian yang sudah ada.
Kita perlu tahu perkembangan teranyar suatu topik.
Ketika kita meneliti, kita perlu tahu sampai di mana perkembangan suatu ilmu pengetahuan dan apa kontribusi penelitian kita terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada. Pemahaman atas perkembangan ilmu pengetahuan dan kontribusi penelitian kita terhadapnya memerlukan pengetahuan atas penelitian-penelitian teranyar. Apakah kita mengkonfirmasi suatu teori? Apakah penelitian kita menambah pemahaman atas suatu isu? Apakah penelitian kita justru mengangkat suatu isu yang selama ini tidak pernah diperhatikan? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa terjawab bila kita memiliki pemahaman yang lengkap atas topik yang kita teliti. Bagaimana topik ini dibangun, bagaimana ia berkembang, dan, untuk kepentingan pembahasan kita, sejauh mana topik ini telah berkembang?
Di sisi lain, secara teknis, kita perlu melakukan ini sebagai landasan latar belakang penelitian kita. Latar belakang penelitian menceritakan mengapa penelitian kita penting dan perlu untuk dilakukan. Ini, sekali lagi, menuntut pemahaman yang lengkap atas topik yang kita teliti dan sejauh mana perkembangannya saat ini. Paper terbaru biasanya memberi gambaran yang cukup lengkap atas perkembangan suatu topik.
Contoh: Motivasi penelitian Cohen et al. (2007, p. 4-5)
2 ! !% ! 7 7 !%
! ! ! ! .)C
% !% .)C ) 7 ! !% % (
! ! ! !
! ! %
! ,D !* $ D ! $ =! 6 B $ ! ! $ D !*
4 ! <- ) ! " ! 7 * !%
! 6 ! !
! ! ! % !% .)C
4! * $ * 7
! $ % ! ! ! ! !
* ,+ 9 :::$ 5 2 ! :: $ ; !*
. - 3 % $ E , - !
Orat-oret 2 menggambarkan peta penelitian tren manipulasi laba terkait Sarbanes Oxley Act (SOX). Cohen et al. (2007) bertujuan menguji apakah derajat manipulasi laba meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai puncaknya di periode skandal akuntansi serta kemudian menurun setelah berlakunya SOX. Berdasar tujuan ini, mereka memberi gambaran penelitian manipulasi laba yang melatari ide atau isu penelitian. Cohen et al. (2007) menyebutkan bahwa kecenderungan memanipulasi akuntansi dan untuk menghindari laba negatif (i.e. rugi) meningkat dari waktu ke waktu sebelum SOX. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Brown (2001), Bartov et al. (2002), Lopez dan Rees (2001), Matsumoto (2002), dan Brown dan Caylor (2003). Sementara itu, pola manipulasi faktor real, yang juga merupakan bentuk manipulasi laba, belum diketahui. Namun demikian, menurut penelitian terkait, manipulasi faktor real merupakan hal yang juga digunakan managemen dalam memanipulasi laba. Pendukung argumen keberadaan manipulasi faktor real ini antara lain Healy dan Wahlen (1999), Fudenberg dan Tirole (1995), Dechow dan Skinner (2000), serta hasil survei yang dilakukan oleh Graham et al. (2005).
! "# $
#$ "" % $ & ' "" % ( )
* "" % "" % $
! ""+, %
&
-.
#* / 0 1 % 2 3 %
Idealnya, kita merujuk pada paper yang sudah dipublikasi di jurnal. Hal ini karena suatu jurnal memiliki reputasi tertentu yang (diharapkan dan dianggap) bisa menjamin kualitas paper/artikel yang terbit di dalamnya. Artikel yang terbit di The Accounting Review, misalnya, dapat dipastikan memiliki kualitas yang sangat baik, entah itu dari segi isi/kandungan (content) maupun dari segi pemaparan. Hal ini karena The Accounting Review, yang merupakan salah satu jurnal top di Amerika Serikat, akan sangat serius dalam proses reviewnya dan dengan standar kualitas yang begitu tinggi.12
Namun demikian, tidak mudah mempublikasi paper di jurnal dan dalam kasus jurnal top, prosesnya berlangsung cukup lama. Review di suatu jurnal ternama bisa berjalan sampai dengan 2 tahun sehingga ketika penelitian itu dipublikasi di jurnal, sebenarnya ia tidak lagi merupakan topik teranyar. Paper Cohen et al. (2007) yang menjadi contoh kita, misalnya, telah dipresentasi pada ‘AAA 2006 Financial Accounting and Reporting Section (FARS) Meeting Paper’, namun baru berhasil dipublikasi di jurnal, The Accounting Review, pada tahun 2008. Oleh karenanya, kita tidak bisa menggunakan paper/artikel dari jurnal sebagai referensi kita akan paper atau penelitian teranyar.
Lalu, bagaimana caranya mencari penelitian teranyar? Kita bisa mencari penelitian/paper yang sedang dikerjakan alias working paper. Satu tempat yang menyenangkan untuk mencari working paper ini adalah SSRN. SSRN berupa database besar di mana kita bisa mencari paper berdasar pengarang, judul, topik/tema, dan periode pengunggahan (uploading) paper.
Namun demikian, kita perlu berhati-hati dalam memanfaatkan SSRN. Hal ini karena SSRN bersifat terbuka sehingga semua orang dan siapa saja dapat membuat akun serta mengunggah paper. Ini berarti paper di SSRN tidak memiliki standar kualitas tertentu, berbeda dengan refereed atau peer-reviewed journal. Namun demikian, kita masih bisa memperkirakan kualitas suatur working paper berdasar penulis ataupun institusinya. Ini dikarenaka seorang penulis/peneliti berkualitas biasanya akan menulis paper berkualitas pula. Demikian juga dengan institusi berkualitas, mereka biasanya memiliki sistem yang baik
sehingga paper-paper yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik. Oleh karenanya, ada baiknya memilih paper dengan ciri-ciri berikut:
ditulis oleh peneliti ternama
ditulis oleh peneliti yang pernah publikasi di jurnal top ditulis oleh pengarang yang berasal dari universitas ternama merupakan working paper universitas ternama
Ketika seseorang menyebut ‘paper klasik’ maka umumnya ia merujuk ke suatu paper yang pasti dibaca dan dikutip orang pada bidang penelitian tertentu. Singkatnya, suatu paper yang sangat berpengaruh. Misalnya, ketika kita mendengar paper ‘Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards’ yang ditulis Ross L Watts dan Jerold L. Zimmerman pada tahun 1978 maka kita tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa paper ini merupakan bacaan wajib bagi orang-orang yang
ingin mempelajari ‘akuntansi positif.’
Namun demikian, tidak ada standar atau kriteria khusus mengenai paper klasik. Penetapan apakah suatu paper sudah tergolong klasik atau belum biasanya dilakukan secara subjektif dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu. Salah satu contoh usaha
formal penetapan apakah suatu paper sudah tergolong klasik dilakukan oleh Association for the Advancement of Artificial Intelligence (AAAI) melalui ‘AAAI Classic Paper Award’.
AAAI Classic Paper Award13 menyebutkan bahwa penghargaan ini diberikan pada paper yang sangat berpengaruh dalam bidang artificial intelligence. Penentuan apakah suatu paper klasik atau tidak dilihat melalui dampak paper terkait, seperti:
Memulai area atau sub-area penelitian baru,14
13
Memungkinkan munculnya pengaplikasian-pengaplikasian penting,
Menjawab suatu isu atau pertanyaan yang telah lama belum memiliki penjelasan atau jawaban yang memuaskan ataupun mengklarifikasi sesuatu isu yang belum jelas (murky),
Membuat satu kemajuan besar yang menentukan sejarah dalam subarea terkait,
Diakui sebagai paper penting dan digunakan oleh area lain, baik di dalam atau di luar bidang artificial intelligence,
Sangat banyak dikutip.
Sekarang, bagaimana caranya kita mengetahui apakah suatu paper itu tergolong klasik atau tidak? Satu cara yang mudah adalah dengan bertanya pada dosen atau peneliti yang berkutat dalam bidang penelitian terkait. Sementara cara lain yang kurang praktis adalah dengan melihat paper yang mereview literatur di bidang tertentu. Paper ini, yang sering disebut paper review literatur, memberi gambaran perkembangan penelitian di bidang terkait lengkap dengan berbagai aspeknya. Satu paper review literatur yang terkenal adalah paper S.P. Kothari (2001) berjudul ‘Capital Markets Research in Accounting.’15|16 Bila kita mempelajari paper review literatur maka kita bisa membuat perkiraan paper yang menjadi landasan dalam bidang tertentu.
Di sisi lain, paper klasik tidak berjumlah banyak dan biasanya memiliki bahasan yang bersifat umum seperti teori akuntansi positif, hubungan angka akuntansi dengan nilai saham, dan sebagainya. Padahal, umumnya, kita memiliki topik penelitian yang sudah sangat spesifik seperti relevansi nilai (value relevance), manipulasi laba, pengungkapan/disclosure, dan sebagainya. Oleh karenanya, kita perlu mencari paper semi-klasik. Paper semi-klasik adalah paper yang memiliki karakteristik paper klasik namun tidak memiliki pengaruh sekuat dan seluas paper klasik.
Lantas, bagaimana mencari/mengetahui suatu paper semi-klasik? Satu cara yang relatif mudah adalah dengan mencari, berdasar topik tertentu, daftar artikel yang dipublikasi di jurnal top, kemudian perhatikan referensinya. Kita akan menemukan beberapa paper yang
14
Aspek ini dibahas lebih mendalam di bagian ‘Paper Seminal.’
15
Kothari, S.P. 2001. Capital markets research in accounting. Journal of Accounting and Economics 31: 105-231.
direferensi oleh hampir semua artikel jurnal top dalam paper kita. Inilah paper semi-klasik. Berikut ini adalah contoh paper semi-klasik di beberapa bidang:
No. Bidang Paper
1) Manipulasi laba ‘Earnings Management during Import Relief Investigation’ oleh Jennifer J. Jones (1991)
2) Relevansi nilai ‘Earnings, Book Values, and Dividends in Equity Valuation’ oleh James A. Ohlson (1995)17
Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary:
Paper seminal adalah paper klasik yang (dianggap) memulai perkembangan suatu topik. Paper seminal paling terkenal di akuntansi mungkin adalah paper Ball dan Brown (1968) yang berjudul ‘An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’18 Paper ini mengubah tren penelitian akuntansi yang semula normatif menjadi positivis. Berikut adalah gambaran American Accounting Association (AAA) mengenai paper seminal yang tercermin dalam penghargaan ‘Seminal Contributions to Accounting Literature Award: :
. ! " ! * ,
" " $ & (
-! % . % &,
17
Ohlson, J.A. 1995. Earnings, book values, and dividends in equity valuation. Contemporary Accounting Research 11 (2): 661-687.
18
Anda bisa memperoleh paper ini dengan googling ‘Ball and Brown 1968.’
19
Sumber: http://aaahq.org/awards/award2.htm
! " # $ %
$ $ F * G , - !
(
. " $ &. 4! ! ! !
= * ( A
+ 2 ! ! ! B! . #
:HI
! " !# $ ! % !
B! = 9 ! = J
, - :IH
&'' ( ) * !# + ! %#
! . ; E 5
, - :IH
&',' ) ! + ( !
9 + D
:KH
&',- ( . ! ( ) / 0 !
B D D !*
:KH
Kenapa kita perlu mempelajari paper seminal? Penting sekali untuk mengetahui sejarah suatu penelitian dan mengapa ia dimulai sehingga anda bisa mengetahui konteks penelitian itu dibuat dan menyesuaikannya dengan konteks penelitian anda. Paper seminal, sebagai paper pembaharu di bidang riset tertentu, biasanya membuat argumentasi yang kuat dan komprehensif mengapa penelitian tertentu harus dilakukan. Misalnya, paper Ball dan Brown (1968) menjelaskan mengapa penting sekali untuk melakukan penelitian positivis, tidak hanya penelitian normatif. Sementara, paper-paper sesudahnya, secara umum, tidak lagi memuat argumentasi serupa karena telah mendasarkan diri pada argumentasi paper seminal dan hasil penelitiannya.
! ! % !% !
7 !% * ! 2 ! ! !%
! % * ! ! ! ! ! 3 $
! !% ! ! ! 7 * ! %
! ! * ! * !
! ! 2 ! ! !% ! ! %
! !% !* !% *! $ $ 7 ! * ! !%
! ! %! ! ! !
3 ! ! ! % @ ! !
! $ %! !* ! ! !* ! !%
! ! ' !* ! ! 7 !* !%
! ! ! * ! % ! 7 6 ! !%
% ! ' 5 $ !* ! ! ! %% * ! ! ! *
% ! ! %% !% *! '
2 ! !% ! ! ! %
! ! % $
L M %! !% ! % 2 % !
*! ! !% ! ! * !
! ! * ! ! ! $ $ $
! $ $ 7 ! $ ! " % * !
D ! ! % *! $
! ! @ $ ! !% ! !
* ! ! ! ! 3 ! L M % $ !
%% * * *$ !
% ! !% ! !% !% ! NC $ C $ O !
!% NP $ P $ O * ! ! % 4 ! A
L9 ! !% ! ! ! %
7 % * ! %
! * ! M
2 !% ! ! !% %
! ! 9 % ! ! !
% % !% % ! +
! ! ! $ !% % $ !%
! !% ! ! @ ! *
*! ! ! ! ! !% % D !
!% ! ! $ ! ! * !
! % D! !
!% 7 ! * % !
%
Ketika komunitas akademik akuntansi dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran normatif, Ball dan Brown (1968) mengajukan penelitian positif mereka. Pertama-tama, sebelum mengajukan hasil penelitian, mereka harus mampu meyakinkan komunitas akademik bahwa penelitian positif itu sendiri penting untuk dilakukan. Ball dan Brown (1968) kemudian mengajukan argumen mengapa penelitian positif penting.
"# #
' & (
' #
)
6
7 7
?
Orat-oret 3 menggambarkan letak perbedaan penelitian normatif dan penelitian positif menurut Ball dan Brown (1968). Penelitian normatif dianggap gagal menilai perbedaan signifikan antara praktik akuntansi senyatanya dengan model praktik ideal yang diajukan para peneliti normatif. Hal ini menunjukkan kekurangan penelitian normatif dalam fungsinya menilai praktik akuntansi. Sementara itu, penelitian positif mengatasi kelemahan tersebut dengan mempelajari bagaimana perilaku pengguna akuntansi terhadap hasil praktik akuntansi tertentu (e.g. angka laba). Perilaku pengguna akuntansi ini (dianggap) relevan untuk dijadikan patokan/benchmark penilaian kebermanfaatan akuntansi karena para pengguna inilah yang bisa merasakan seberapa jauh atau besar kebermanfaatan akuntansi. Bila suatu angka akuntansi tertentu dianggap tidak berguna maka ia tidak akan digunakan, vice versa.20
Tantangan: Bikin oret-oretmu sendiri untuk kasus definisi laba yang diceritakan dalam
paper Ball and Brown (1964) sebagaimana dikutip dalam artikel ini.
Serupa dengan kasus pada paper klasik, tidak banyak paper yang tergolong seminal. Hal ini menyulitkan kita ketika melakukan penelitian yang temanya cukup sempit. Solusinya, serupa dengan kasus paper klasik, kita mencari penelitian yang mengawali suatu subtopik tanpa terlalu memperhatikan pengaruhnya dalam penelitian akuntansi secara umum. Penelitian oleh Linda Elizabeth DeAngelo (1981) dengan judul ‘Auditor Size and Audit Quality’, misalnya, mengawali penelitian kaitan kualitas auditor dengan ukuran auditor tersebut (salah satunya dikotomi Big 4 – nonBig 4). Namun demikian, mencari paper jenis ini lebih sulit daripada mencari paper semi-klasik. Satu cara yang direkomendasi adalah bertanya pada dosen anda atau dengan membaca paper yang mereview literatur dalam topik terkait.
bersambung...
(Oleh: Arie Rahayu)
20