• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "7 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

17

TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM

DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Kedudukan Anak dalam Keluarga

1. Pengertian Anak

Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak (keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai macam hak dan kewajiban.1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya.

Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2 Oleh karena itu dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.

1

Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49

2

(2)

Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan yaitu:

a. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Kata-katanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi segala-galanya berada di tangan wali.

b. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.4

Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia menegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap 7 (tujuh) tahun. Jadi kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah

3

Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 112

4

(3)

menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan sebagainya.5

Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT:

!" # $%& '(

)! " *

+

,-./

Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-hartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)6

Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta dalam persoalan ini.7

5

Ibid, hlm. 114

6

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Tanjung Mas Inti, 1992, hlm. 115

7

(4)

Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian seorang anak.

2. Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak a. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya, anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat dikandung badan.8

Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.9 Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya. Sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

8

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988, hlm. 400

9

(5)

01 23 $4 56 ! 2)78 2 !9 )7 : * 2 ; : <= ;*)# 56

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” ( Q.S. at-Thalaq: 7)10

Artinya: Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik, suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga tidak boleh si ayah disusahkan karena masalah anaknya”. (.S.Al-Baqarah: 233).11

10

Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 946

11

(6)

Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.12 Sebaliknya anak juga wajib menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para anggota kerabatnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

Z 9 $: )!Y? $

& :?

"* R $?CD [* Y 3CD \" 'U7*

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan supaya kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, terutama jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang. Dan ucapkanlah.”Ya Tuhanku berikanlah rahmat kepada mereka berdua sebagaiman mereka telah mendidik aku dengan kasih sayangnya waktu aku masih kecil”. (Al-Isra’: 23-24).13

b. Hak-hak Anak

Pada dasarnya, seorang anak berhak mendapatkan pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka

12

Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 144

13

(7)

belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau mengalami menstruasi bagi anak perempuan.

Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun jikalau perkawinan telah diputuskan.

Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu, dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya.14

Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang anak yang diasuh:

1. Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas.

14

(8)

Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberikan batasan berdasarkan ijtihad karena pertimbvangan kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan batas usia untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun, dan untuk anak perempuan sembilan tahun. Ada pula di antara yang memberi batas untuk anak laki-laki berusia sembilan tahun dan untuk anak perempuan sebelas tahun.

2. Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri suaminya.

3. Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.

(9)

diserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya dengan sukarela.

5. Pendapat Ibnu Qayyim, tentang masalah ini diadakan undian atau anak melakukan pilihan tempat tinggalnya, pada ibu atau bapaknya, karena orang tuanya sudah bercerai, barulah kita lakukan hal itu jika membawa kemaslahatan kepada anak yang bersangkutan.

6. Menurut UU. No. I tahun 1974, berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlkau terus menerus, meskipun perkawinan antara orang tua putus.15

Menurut KUH Perdata, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak itu merupakan hubungan dan kewajiban hukum pada batas umur tertentu, sampai anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan mencapai umur tertentu yang disebut dewasa.16

Dalam apa yang dinamakan kuasa orang tua oleh hukum perdata, yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban orang tua terhadap hak-hak seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan. Dalam hukum perdata, kuasa orang tua hanya ada jikalau kedua-duanya masih hidup dan tidak bercarai (pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut hukum Islam

15

Peunoh Daly, op.cit., hlm. 405-406

16

(10)

kewjiban itu tetap ada, sungguhpun kedua orang tua sudah bercerai atau salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.17

B. Pembuktian Asal Usul Anak

Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batas-batas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum. Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalan perkawinan yang sah.18 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak. Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan orang lain.

Lahirnya seorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan manusia lain yang dapat menyatakan bahwa seorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang wanita adalah ibunya.

17

Abdoeraoef, op. cit., hlm. 89

18

(11)

Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan menghasilkan seorang anak. Hukum di manapun didunia yang mengenal lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau istri setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.19

Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,20 karena asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukkan hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya.21

Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan dua macam akta, yaitu:

1. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu menikah.

19

M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indoensia, Jakarta: Haji Masagung, 1994, cet. I, hlm. 48

20

Ibid, hlm. 56

21

(12)

2. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu dilahirkan dan kapan anak itu dilahirkan.22

Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Nomor akta.

2. Tempat, Tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan 3. Nama anak yang bersangkutan

4. Jenis kelamin

5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan akta nikah) 6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran

7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.

Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.

Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal

22

(13)

akta kelahiran merupakan identitas asal-usul seorang anak, secara eksternal merupakan idetitas diri dari yang bersangkutan.23

Dengan adanya gugatan pengingkaran suami terhadap keabsahan anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat tertulis, atau dapat pula dibuktikan dengan keadaan-keadaan yang nyata. Yang dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah, yang telah menunjuk pada praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam pasal 262 KUH Perdata bahwa:

1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seorang anak adalah anak sah dari keluarga tertentu.

2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama si bapak. 3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak 4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si bapak.24

Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi (pasal 263 KUH Perdata).

Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada, maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi, tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau

23

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, cet. III, hlm. 220.

24

(14)

juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (pasal 264 KUH Perdata).25

Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechfeit) seperti nikah, talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misal dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.26

Mengenai pencatatan, memiliki manfaat prefentif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan. Apalagi dalam masalah pencatatan perkawinan, yang mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum. Penelitian pegawai pencatat juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang, baik calon suami maupun calon istri. Karena dengan adanya pencatatan tersebut, status perkawinan akan menjadi jelas. dan anak yang dilahirkannya juga akan mempunyai kedudukan yang jelas. Jadi, anak yang mempunyai kedudukan anak sah adalah anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, sepanjang bayi itu lahir dari ibu

25

M. Ridwan Indra, op.cit, hlm. 58.

26

(15)

yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, sehingga dia dapat disebut sebagai anak yang berkedudukan sebagai anak sah.27

Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang anak. Kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu, dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan persetubuhan dengan istrinya, maka hal ini akan menjadikan suatu perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal untuk memastikan asal usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.28

Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum, sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yaitu mengenai anak hasil perbuatan zina itu.29

Menurut hukum Islam pelaku zina baik pria maupun wanita dihukum dengan seratus kali dera, bahkan kalau pelaku zina itu sudah berkeluarga atau dalam ikatan perkawinan, atau pernah kawin, maka hukumannya lebih berat lagi, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai mati.

Seseorang dapat dijatuhi hukuman yang seberat itu kalau perbuatan zina itu disaksikan oleh empat saksi pria Islam, yang adil atau memiliki

27

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, cet III, hlm. 111.

28

Ibid, hlm. 225.

29

(16)

integritas yang menyaksikan dan melihat ketika perbuatan zina itu dilakukan.

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw beliau sedang berada di dalam masjid ia memanggilnya seraya berkata: Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina, kemudian Nabi berpaling (tidak menghiraukannya) ia mengulangi sampai empat kali (pengakuan) setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui). Nabi memanggilnya lalu berkata, apakah kamu telah beristri (mukhsan)? Ia menjawab: Ya, setelah itu Nabi berkata kepada para sahabat: “Bawalah dia dan rajamlah”.30(HR. Mutafaq ‘Alaih).

Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, kemudian istrinya melahirkan anak dari hasil perzinaan itu, maka harus mendatangkan saksi-saksi dengan kriteria sebagai berikut:

1. Orang-orang yang menyaksikan perbuatan zina itu haruslah empat orang, Tidak cukup dengan seorang saksi, seperti dalam kesaksian-kesaksian lainnya. Dasarnya ialah firman Allah:

30

(17)

) c= " n $: !9 * o ; ) p : =o& 6 : 3q? %C*

$: 01 @ A? *n M ( $: ? '$& M Y ') $:L )

*

cH Y;

+ .

,-/

Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji datangkanlah empat orang di antara kamu untuk menjadi saksi. Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah hingga mereka menemui ajalnya atau hingga Allah memberikan jalan lain kepada-Nya” (an-Nisa: 15)

2. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sudah baligh. 3. Saksi-saksi itu haruslah orang-orang yang sehat akalnya. 4. Orang-orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil. 5. Orang-orang yang menjadi saksi itu hendaklah orang Islam.

6. Orang-orang menyaksikan itu hendaknya tahu peristiwanya secara mendetail, bahkan dia melihat persis masuknya penis si lelaki dalam vagina si wanita.

Dasar pemakaian syarat keenam ini ialah tindakan dan perkataan Rasulullah SAW ketika memeriksa perkara Ma’iz, jalan ceritanya adalah sebagai berikut:

(18)

7. Dalam memberikan kesaksian para saksi harus menggunakan kata-kata yang jelas, tidak dengan kata-kata sindiran.

8. Para saksi itu harus memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara simultan, jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah baik dalam arti waktu maupun tempat, maka hal itu tidak bisa diterima.

9. Orang-oarang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu harus laki-laki (semua).

10. Peristiwa perzinaan yang disaksikan mereka itu merupakan peristiwa yang masih baru (belum berselang lama). Hal ini didasarkan atas perkataan Umar bin Khattab: “siapa saja yang bersaksi atas suatu pengadilan, tetapi perkaranya sudah kadaluarsa (ketentuan lewat waktu), maka kesaksian tersebut hanya merupakan dendam. Dengan demikian, maka keasksiannya tidak di terima.31 Syarat yang terakhir ini tetap berlaku selama tidak ada alasan yang dapat diterima atas tertundanya kesaksian tersebut.

Suatu situasi yang amat langka karena kecil kemungkinan perbuatan zina itu dilakukan di tempat terbuka, dan kalau misalnya empat pria Islam yang baik-baik melihat seorang yang akan melakukan zina dan tidak berbuat sesuatu untuk menghalanginya, maka dapat diartikan bahwa mereka itu menyetujuinya.

Dari konsep hukum Islam tersebut, dapat diartikan pula bahwa kalau seorang suami menuduh istrinya berzina, dan ia menyangkal atau mengingkari kelahiran anak yang telah dilahirkan istrinya, maka seorang suami harus

31

(19)

menghadirkan empat orang saksi. Apabila ia tidak dapat mendatangkan saksi, maka kesaksian itu dapat diganti dengan lima kali sumpah oleh si penuduh (suaminya) itu.32

Konsep sumpah dalam perkara li’an atau gugatan suami dalam mengingkari keabsahan anak yang dilahirkan istrinya, hal ini diperintahkan oleh hakim pada waktu itu dan persoalan siapa yang diwajibkan lebih dahulu melakukan li’an tidak diterangkan dengan tegas oleh ayat al-Qur’an dan hadis, yang penting dalam hal ini siapakah dalam perkara tersebut yang menjadi pihak penggugat dan pihak tergugat.33

Hukum Islam memberikan suatu ketentuan bahwa untuk memastikan adanya keturunan harus diketemukan tiga syarat, yaitu: perkawinan, pengakuan dan bukti. Hal tersebut dapat juga dibuktikan dengan usia maksimal dan minimal kehamilan yang dialami oleh seorang wanita, namun kehamilan seorang wanita itu agaknya sulit untuk diketahui oleh orang lain dan yang lebih mengetahui kehamilannya adalah si wanita itu sendiri.

Ulama fiqih sepakat bahwa tenggang waktu minimal kandungan adalah (6) enam bulan, hal ini dikuatkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa janin yang berada di dalam kandungan itu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua bulan berikutnya disempurnakan bentuk (khilqah)nya. Dengan demikian

32

Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, Cet. 1, 1997, hlm. 9-10

33

(20)

apabila bayi lahir dalam usia enam bulan atau 180 (seratus delapan puluh) hari ia sudah sempurna meskipun kurang sehat.34

Untuk menetapkan pewujudan sang bayi dalam rahim ibunya hendaklah diperhatikan:

a. Tenggang waktu yang sependek-pendeknya antara akad perkawinan dengan kelahiran anak.

b. Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antara putusnya perkawinan dengan kelahiran anak.

Tenggang waktu masa hamil yang paling pendek diistimbathkan pada firman Allah dalm surat Al-Ahqaf:

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya bebuat baik kepada kedua orang tua (Ibu Bapaknya). Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (Q.S. Al-Ahqaf: 15)35 Dalam firman Allah dalam surat Luqman ayat 14:

) 2 !(& 2? "

D $d**

orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapih dalam dua tahun.

34

Al-Fiqih Muqaran Lil-Ahwal Al-Syakhsyiyah, Lil Madhzahibil Al-Arba’ah, Darun Nahdhah Al-Arabiah, Bairut, Juz. I, hlm. 489.

35

(21)

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu hanya kepada-Kulah kembalimu” ( Q.S. Luqman: 14)36

Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa, Allah telah memerintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya terutama ibunya karena dia telah mengandung dalam keadaan susah payah yang semakin bertambah.

Adapun mengenai masyaqqah (kesusahan) di sini memiliki pengertian yang berbeda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid bahwa yang dimaksud dengan arti masyaqqah di sini adalah kesusahan seorang ibu ketika mengandung. Qatadah mengartikan dengan perjuangan (sungguh-sungguh), sedangkan Atha al-Hirsan mengartikan dengan keadaan lemah yang semakin bertambah. Dengan menggunakan dalil ( sdasdsd dsfdfd sd ), bahwa ia memelihara dan menyapihnya sampai dua tahun setelah dalam keadaan lemah (masa mengandung). Hal ini tercermin dalam ayat:

=9 J$> $ ? n n :s : ! K : & $:L D*n : J>? M

*

.

+ ...

T>XY

-/

Ayat tersebut di atas adalah sebagai istimbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Abbas dan Imam-imam yang lainnya dalam menetapkan tenggang masa kandungan yang paling sedikit, yaitu 6 (enam) bulan. Karena hal ini berkaitan dengan ayat h(dsjhdjshdjhjshdjhjhjhdjhjh is) menyebutkan tentang

36

Ibid, hlm. 654

>

rHr 2 m * 2!t*

(22)

susah payah seorang ibu sejak ia mengandung, memelihara, sampai menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan.37

Jika di dalam surat Al-Ahqaf tersebut Allah mengumpulkan dua masa mengandung dan menyapih itu sebanyak 30 (tiga puluh), sedang sudah diketahui berdasarkan surat Luqman ayat 14 bahwa menyapih itu adalah dua tahun (dua puluh empat bulan), maka jelaslah kiranya bahwa mengandung itu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, sedangkan sebagian ulama Hanabilah menetapkan 9 (sembilan) bulan.38

Jadi, apabila seorang wanita melahirkan anak ketika baru saja enam bulan menikah, maka ia tidak boleh dituduh telah berzina dan tidak boleh pula dijatuhi hukuman. Berkenaan dengan masalah ini Imam Malik pernah mengatakan bahwa, dia mendapat berita yang mengisahkan kasus seorang wanita yang melahirkan ketika baru saja enam bulan hamil. Sewaktu wanita itu dibawa menghadap Usman bin Affan, diputuskanlah olehnya agar wanita tersebut dihukum rajam.

Akan tetapi mendengar keputusan itu berkatalah Ali r.a. kepada Ustman, ”tidak pada tempatnya engkau menjatuhkan hukuman itu kepada wanita ini”. masa hamil ada kalanya enam bulan. Atas dasar pertimbangan inilah hukuman rajam tadi tidak tepat untuk dikenakan kepada wanita yang bersangkutan “ lanjut Ali.

37

Al-Imam Abil Fida Ismail Ibnu Katsir Al-Qurisyi Adimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz. 3,Dar al-Fikr, 1986, hlm. 446

38

(23)

Mendengar pendapat Ali itu, segeralah sayyidina Usman mengutus seseorang untuk membatalkan hukuman yang semula telah ditetapkan.39

Jumhur ulama berpendapat bahwa, suami boleh mengingkarinya sewaktu isterinya hamil. Imam Malik mempersyaratkan bahwa apabila suami tidak mengingkari kandungannya pada masa kehamilan, maka ia tidak boleh mengingkarinya sesudah kelahiran. 40

Ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batas minimal dan maksimal masa hamil (mengandung). Menurut Imam Malik batas maksimal kehamilan adalah 5 tahun. As-Syafi’i memberi batasan empat tahun sedangkan Imam Abu Hanifah memberi batasan dua tahun. Selain itu Muhammad bin Hakam berpendapat satu tahun Qamariyah ada pula yang berpendapat bahwa batasan maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang terakhir ini adalah pendapat Dzahiriyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, kenyataannya masa hamil pada umumnya berkisar antara sembilan bulan sampai satu tahun. Jika ada yang lebih dari batas waktu tersebut hanyalah merupakan pengecualian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, apabila seorang isteri melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa kehamilan, maka suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkannya itu. Bahkan secara yuridis anak itu bukan bukan lagi dianggap anak yang sah. Begitu pula halnya seorang wanita yang telah dicerai kemudian ia melahirkan anak pada masa

39

Sayid Sabiq, Terj. Fiqih Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm. 122

40

(24)

yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan anak dari suaminya.41

Apabila dalam pembuktian keturunan dengan tenggang masa minimal dan maksimal hamil belum menyakinkan, maka bisa dengan persaksian seorang ahli dengan sebutan saksi ahli, yaitu bisa dengan persaksian seorang dokter yang menyakinkan persalinan tersebut.42

C. Penetapan Kedudukan Anak

Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat, tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.43

Dr.Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam” mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya. Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya; yaitu wanita yang melahirkannya itu.

41

Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary. AZ, op.cit., hlm. 131.

42

Ali Hasbullah, Al-Furqatu baina Zaujain, Dar al-Fikr Al-Araby, 1968, hlm. 241

43

(25)

Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak yang tidak sah antara lain:

1. Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara sah.

2. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi terjadinya kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu:

a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam) bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum perkawinan.

b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan hamilnya kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.44

Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak sah atau tidak dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan dan dimana anak itu dilahirkan.

Hukum Islam menetapkan bahwa untuk memecahkan problema ini memebuat jalan keluar yang dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an, maka barang siapa yakin atau menuduh bahwa isterinya telah membasahi

44

(26)

ranjangnya dengan orang lain, kemudian sang isteri itu melahirkan anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

L & )T o

)6 CD F,[

:) ? * a *8n >? :?`C*

mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedangkan yang kelimanya ialah bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan dihilangkan dari perempuan itu siksa (dera) lantaran ia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah bahwa dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang yang benar.( Q.S. an-Nur: 6-9).45

Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, maka pengadilan memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan memberikan penetapan kedudukan terhadap anak. Apakah dia berkedudukan sebagai anak sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu diterima berarti anaknya mempunyai kedudukan sebagai anak tidak sah dan apabila gugatan itu tidak diterima (ditolak) maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah.

45

(27)

Ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam dan hukum perdata (KUH Perdata). Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa, setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka), dapat diakui sekaligus dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau dalam sumbang (anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita yang dilarang kawin antara keduanya).

Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, hubungan seks di luar nikah yang dilakukan anak yang lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Hal ini berarti bahwa, zina menurut KUH perdata adalah hubungan seks yang dilakukan di luar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau beristeri.

Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, sitinjau dari segi hukum pidana adalah, bahwa yang dapat dihukumi hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristeri dan mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai hukuman pidana.46

Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum pernah menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan akibat hubungan hukum dengan

46

(28)

ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.47

Jadi, jikalau ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam

Burgerlijk Wetboek (BW), kita akan melihat adanya tiga tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan:

1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu bapaknya. 2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua

orang tuanya.

3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.48

Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “Natuurlijk Kind” ia dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang dianutoleh BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan pengakuan (Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa diletakkan dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu langkah yang lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orang tua yang mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan di hari perknikahan juga membawa pengesahan anak.

47

Soedaryo Soimin, op.cit., hlm. 40

48

(29)

Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan itu dapat dilakukan dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung.49

Perlu di terangkan bahwa KUH.Perdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang di larang kawin satu sama lain. 50

Adapun mengenai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatnya, terutama hak mewaris. Jadi, hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya. sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan ibunya dan keluarga ibunya,juga mempunyai hubungan dengan bapaknya dan keluarga bapaknya.

49

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XXVII, hlm. 50

50

Referensi

Dokumen terkait

Menyiapkan #emua kelengkapan yang dibutuhkan untuk pro#e# ru&#34;ukan8 34 Mematuhi ke#epakatan per&#34;an&#34;ian ker&#34;a#ama yang telah di#epakati.. Sudah ada tempat tidur

Peneliti berasumsi bahwa imunisasi merupakan pemberian kekebalan buatan terhadap tubuh anak dengan memasukkan kuman lemah yang berfungsi untuk memberi kekebalan terhadap tubuh dari

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah dalam menanamkan ideologi Muhammadiyah dan faktor-faktor apa saja yang menjadi

Shalat gerhana disyariatkan kepada setiap muslim, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau

Tes undulasi : suatu tes untuk menandakan adanya cairan dalam rongga abdomen 8.Capillary refill time : tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk 

'3 ('ropiltiourasil menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambat oksidasi dari iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin. ?bat ini

Disusunnya Laporan Proyek Perubahan ini adalah akhir dari Tahapan Jangka Pendek Proyek Perubahan dengan hasil selesainya aplikasi berbasis web dan hybrid app android

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua